Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

HADITS PADA MASA KHULAFAURRASYIDIN


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Pelajaran Qur’an Hadits

KLS X IPS 1

Di Susun Oleh :

1.) Adzim maghriza


2.) Juned nur afifi
3.) Maulida nafiah
4.) Nurul anis anggraeni

MA ABADIYAH
Kuryokalangan – Gabus - Pati
TAHUN 2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hadis merupakan sumber sunnah Nabi SAW yang menjadi rujukan kedua dalam
kajian hukum Islam setelah al-Qur’an al-Karim. Oleh karena itu, kedudukan hadis
sangat signifikan dan urgen dalam Islam. Hanya saja urgensi dan signifikansi hadis
tidak mempunyai makna, manakala eksistensinya tidak didukung oleh uji kualifikasi
histories yang memadai dalam proses transmisinya (periwayatan). Dengan demikian,
sebelum hadis itu menjadi sunnah yang merupakan sumber dan landasan suatu istinbat
hukum, maka uji kualifikasi histories untuk menentukan otentik tidaknya hadis tersebut
merupakan hal yang niscaya dilakukanHadis merupakan sumber sunnah Nabi SAW
yang menjadi rujukan kedua dalam kajian hukum Islam setelah al-Qur’an al-Karim.
Oleh karena itu, kedudukan hadis sangat signifikan dan urgen dalam Islam. Hanya saja
urgensi dan signifikansi hadis tidak mempunyai makna, manakala eksistensinya tidak
didukung oleh uji kualifikasi histories yang memadai dalam proses transmisinya
(periwayatan). Dengan demikian, sebelum hadis itu menjadi sunnah yang merupakan
sumber dan landasan suatu istinbat hukum, maka uji kualifikasi histories untuk
menentukan otentik tidaknya hadis tersebut merupakan hal yang niscaya dilakukan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana periwayatan hadits masa Khulafaur Rasyidin ?
2.      Bagaimana sikap mereka dalam meriwayatkan hadits ?
3.      Bagaimana cara sahabat  meriwayatkan hadits ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Periwayatan Hadits Masa Khulafa’ Arrasyidin ( 11 H – 40 H )


Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Nabi SAW. berpesan kepada para
sahabat dan Kepada para umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar
pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan Hadits (Sunnah).yang harus dipegangi dalam
aspek kehidupan umat.[1]
Sebagaimana sabdanya :

‫اب هللاِ َو ُسنَّةَ َرس ُْولِ ِه‬ ِ َ‫ت فِ ْي ُك ْم َأ ْم َري ِْن لَ ْن ت‬


َ َ‫ ِكت‬: ‫ضلُّ ْوا َما تَ َم َّس ْكتُ ْم بِ ِه َما‬ ُ ‫تَ َر ْك‬
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah
berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-
Hadits).” (HR. Malik)
Dan sabdanya pula :
ً‫بَلِّ ُغوا َعنِّي َولَوْ آيَة‬
“sampaikanlah dariku walau satu ayat”
Pesan-pesan Rasulullah sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat,
sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan
memelihara pesan-pesannya, kecintaan mereka kepada rasulullah dibuktikan dengan
melaksanakan segala yang dicontohkan nya. Kemudian setelah Nabi wafat,
kepemimpinan umat islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama
menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar al-Shiddiq, kemudian disusul oleh
Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Keempat kalifah ini
dalam sejarah dikenal dengan sebutan Khulafa’ Al- Rasyidin. Dan periodenya biasa
disebut dengan zaman sahabat besar.
Periode Khulafa’ Al- Rasyidin ini dikenal dengan masa pembatasan dan
memperketat periwayatan hadits (‘Ashr At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah).
[2] Pada masa ini ditandai dengan sikap kehati-hatian para sahabat dengan berusaha
untuk membatasi segala periwayatan yang berkenaan dengan hadits.
1.      Abu Bakar Ash-Shiddiq (11 H-13 H)
Khalifah Abu Bakar (w.13 H) mengkonfirmasikan keakuratan suatu hadits dengan
menggunakan metode syahadah  (kesaksian). Menurut Muhammad bin Ahmad al-
Dzahabi (w. 748 H) Abu Bakar merupakan sahabat pertama yang menunjukkan kehati-
hatiannya dalam meriwayatkan suatu hadits. Beliau mengharuskan adanya saksi jika
ada orang yang meriwayatkan suatu hadits. Pernyataan al-Dzahabi ini didasarkan pada
pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu
ketika, ada seorang nenek yang menghadap khalifah Abu Bakar, meminta hak waris hak
waris harta yang ditinggalkan cucunya. AbuBakar menjawab, bahwa dia tidak melihat
petunjuk al-Qur’an dan praktek Nabi SAW. yang memberikan bagian harta waris
kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya kepada para sahabat. Al-Mughirah bin
Syu’bahmenyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian waris
kepada nenek sebesar seperenam bagian. Al-Mughirah mengaku hadir tatkala Nabi
SAW. menetapkan kewarisan nenek itu. Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar
meminta agar al-Mughirah menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin
Maslamah (w. 47 H) memebarikan kesaksian atas kebenaran pernyataan al-Mughirah
itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam
bagian berdasakan hadits Nabiyang disampaikan oleh al-Mughirah tersebut.[3]
Ada beberapa alasan yang menjadi penyebab Abu Bakar hanya sedikit
meriwayatkan hadits meskipun dia seorang sahabat yang lama bergaul dengan Nabi.
Bahkan sangat akrab dengan Nabi mulai semenjak masa sebelum Nabi hijrah ke
Madinah. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Karna sifatnya yang sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadits.
b.      Dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah karna ancaman dan
kekacauan yang membahayakan pemimpin umat Islam.
c.       Para sahabat sibuk dalam penghimpunan al-Qur’an.
d.      Kebutuhan terhadap hadits tidak sebanyak pada zaman sesudahnya.
e.       Jarak waktu kewafatannya sangat dekat dengan kewafatan Nabi hanya sekitar tiga
tahun.[4]
2.      Umar bin al-Khattab (13 H-29 H)
Seperti Abu Bakar, Umar pun sangat berhati-hati dalam masalah periwayatan
hadits. Ketika ia , dia menjadi khalifah, dia mengintruksikan kepada para sahabat agar
berhati-hati dalam melakukan periwayatan hadits. Demikian juga, ketika dia mengirim
utusan ke Irak, dia mewasiatkan supaya utusan itu mengajarkan dan menyebarkan al-
Qur’an, dan menahan diri untuk tidak memperbanyak riwayat.
Dijelaskan bahwa pernah seorang bertanya kepada Abu Hurairah, apakah ia
banyak meriwayatkan hadits pada masa Umar. Abu Hurairah menjawab, “Sekiranya
saya memperbanyak riwayat, tentulah Umar akan mencambuk saya dengan
cambuknya”.
Bukti lain bahwa Umar sangat hati-hati dalam periwayatan hadits terlihat,
misalnya ketika Umar mendengar hadits yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab. Umar
baru bersedia menerima setelah para sahabat yang lain (diantaranya Abu Dzar)
memperkuat bahwa ia telah pula mendengar hadits Nabi tentang apa yang dikemukakan
oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay, “Demi Allah, sesungguhnya
saya tidak menuduhmu telah berdusta, saya melakukan demikian karna saya ingin
berhati-hati dalam melakukan periwayatan terhadap hadits Nabi.”
Dari keterangan diatas tampak adanya persamaan antara Umar dan Abu bakar
dalam meneliti kebenaran suatu riwayat, yakni mengharuskan adanya saksi.
Kebijaksanaan Umar melarang para sahabat dalam memperbanyak periwayatan hadits
sesungguhnya tidaklah berarti bahwa Umar sama sekali melarang para sahabat
meriwyatkan hadits, tetapi larangan itu dimaksudkan agar masyarakat lebih berhati-hati
dalam periwayatan hadits dan agar perhatian masyarakat tidak terganggu terhadap al-
Qur’an.
Pernyatan ini didasarkan kepada kenyataan sejarah bahwa Umar pernah
merencanakan untuk menghimpun hadits Nabi secara tertulis. Tetapi, tak lama
kemudian beliau mengurungkan rencana tersebut. Diriwayatkan dari ‘Urwah ibn al-
Zubair bahwa Umar bin Khattab hendak menulis hadits, lalu beliau meminta
pertimbangan kepada para sahabat.  Para sahabat mengusulkan untuk tetap menulisnya.
Tetapi setelah satu bulan, Umar memohon petunjuk kepada Allah dengan jalan
melakukan shalat Istikharah,  akhirnya dia mengurungkan niatnya itu dan bertekad akan
memalingkan perhatiannya kepada al-Qur’an.
Dengan memperhatikan uraian diatas, dapat di simpulkan bahwa Umar
sesungguhnya berada diantara dua keinginan, disatu sisi, dia ingin mengembangkan
periwayatan hadits, sementara disis lain, dia ingin hadits tetap terpelihara dari
kebohongan dan manipulasi. Bagi Umar, kedua keinginan itu kelihatannya sulit
terwujud dalam waktu bersamaan sehingga dia menetapkan pilihannya untuk
memelihara kemurnian hadits dengan memperketet kegiatan periwayatan.[5]
3.      Utsman bin ‘Affan (25 H-35 H)
Sebagaimana halnya Abu Bakar dan Umar, Utsman ibn Affan juga sangat teliti
dan hati-hati dalam menerima hadits. Ia pernah mengatakan dalam suatu khotbahnya,
agar para sahabat tidak banyak meriwayatkan hadits yang mereka tidak pernah
mendengarnya di masa Abu Bakar dan Umar.[6]
Usman, memang tidak banyak meriwayatkan hadits, Ahmad bin Hambal
meriwayatkan hadits nabi yang berasal dari Utsman sekitar empat puluh hadits saja, itu
pun banyak matan hadits yang terulang, karna perbedaan sanad. Dengan demikian,
jumlah hadits yang diriwayatkan oleh Utsman tidak sebanyak jumlah hadits yang
diriwayatkan oleh Umar bin Khattab.[7]
Namun, pada zaman Utsman ini, kegiatan umat islam dalam periwayatan hadits
lebih banyak jika dibandingkan pada zaman Umar bin Khattab. Hal ini terjadi karena
secara pribadi, Utsman tidak sekeras Umar, juga karna wilayah islam telah meluas
sehingga para sahabat banyak yang berpencar keberbagai wilayah-wilayah diluar
jazirah Arab, yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan untuk mengendalikan
kegiatan periwayatan hadits secara ketat.[8]
4.      Ali bin Abi Thalib (35 H-40 H)
Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda dengan para khalifah
pendahulu nya dalam periwayatan hadits. Ali baru bersedia menerima riwayat hadits
Nabi setelah periwayat hadits yang bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadits
yang disampaikan itu benar-benar berasal dari Nabi. Hanya terhadap periwayat yang
benar-benar dipercayainya lah, Ali tidak meminta periwayat hadits untuk bersumpah,
misalnya ketika beliau menerima riwayat Abu Bakr al-Shiddiq. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi Ali bukanlah
merupakan syarat mutlak bagi keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggaptidak
perlu apabila orang yang yang menyampaikannya benar-benar yakin bahwa ia tidak
mungkin keliru.[9]
Ali bin abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW. Hadits
yang diriwayatkan, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan).
Hadits yang berupa catatan isinya berkisar tentang ; Pertama, Hukuman
Denda; Kedua, pembebasan orang islam yang ditawan oleh orang
kafir; Ketiga, larangan melakukan hukum qishas terhadap orang islam yang membunuh
orang kafir.[10]
Dilihat dari kebijaksanaan dan kehati-hatian dalan  kegiatan periwayat hadits,
masa khalifah Ali bin Abi Thalib sama dengan masa sebelumnya. Akan tetapi situasi
umat islam pada masa Ali telah berbeda dengan situasi sebelumnya. Pada masa Ali,
pertentangan politik dikalangan umat islam semakin meluas, peperangan antar
kelompok pendukung Ali dengan pendukung Muawiyah sering terjadi. Hal ini
membawa dampak negative dalam bidang kegiatan periwayatan hadits, yakni timbulnya
pemalsuan-pemalsuan hadits.[11]
Adapun perbandingan jumlah hadits yang diriwayatkan oleh masing-masing
khalifah adalah sebaga berikut:
a.       Abu Bakar al-Shiddiq meriwayatkan 142 hadits.
b.      Umar bin Khattab meriwayatkan 537 hadits.
c.       Utsman bin Affan meriwayatkan 146 hadits.
d.      Ali bin Abi Thalib meriwayatkan 586 hadits.
 Dengan demikian, keseluruhan hadits yang diriwayatkan oleh Khulafaur Rasyidin
berjumlah 1141 hadits. Jika dibandingkan dengan jumlah hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah yang berjumlah 5374 hadits, maka hadits riwayat Khulafaur Rasyidin,
terlihat sangat sedikit, yaitu sebesar 27%.[12]

B.     Metode Sahabat dalam meriwayatkan Hadits


Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadits, yang ditunjukkan oleh para
sahabat dengan sikap kehati-hatiannya tidak berarti hadits Rasul tidak diriwayatkan,
khususnya yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari seperti permasalahan Ibadah
dan Muamalah. Oleh karna itu, ada dua jalan sahabat dalam meriwayatkan hadits dari
rasul SAW. pertama dengan jalan periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti yang
disampaikan Rasul SAW), dan kedua, dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya
saja).
1.      Periwayatan Lafzhi
Seperti telah dikatakan, bahwa periwayatan lafzhi, adalah periwayatan hadits yang
redaksinya atau matannya persis seperti yang di wurudkan Nabi SAW. Ini hanya bisa
dilakukan apabila mereka hafal benar yang di sabdakan Rasulullah. Kebanyakan
sahabat menempuh periwayatan hadits melalui jalan ini. Mereka berusaha agar
periwayatan hadits sesuai dengan redaksi dari Rasulullah bukan menurut redaksi
mereka. Bahkan menurut Ajjaj al-Khatib, sebenarnya seluruh sahabat menginginkan
agar periwayatan itu dengan Lafzhi, bukan dengan Ma’nawi.[13] Sebagian dari mereka
melarang secara ketat meriwayatkan hadits dengan maknanya saja,hingga satu kata atau
satu huruf pun tak boleh diganti. Begitu pula tidak boleh mendahulukan susunan
katayang disebut Rasul dibelakang atau sebaliknya, atau meringankan bacaan yang
tadinya tsiqal (berat) dan sebaliknya. Dalam hal ini Umar bin Khattab pernah
berkata: “Barang siapa yang mendengar hadits dari Rasul, kemudian ia
meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar, maka orang itu selamat.”[14]
Diantara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadits dengan
lafzhi adalah Umar. Ia seringkali menegur sahabat yang membacakan hadits yang
berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya dari Rasul. SAW, seperti
yang yang dilakukannya terhadap Ubaid bin Amir. Suatu ketika seorang sahabat
menyebutkan hadits tentang lima prinsip dasar islam dengan meletakkan puasa
ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar meletakkannya pada
urutan keempat, sebagaimana yang didengarnya dari Rasulullah SAW.[15]

2.      Periwayatan Ma’nawi
Diantara para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan
darurat, karna tidak hafal persis seperti yang diwurudkan oleh Rasulullah, boleh
meriwayatkan hadits secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadits
yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah, akan tetapi
isinya atau maknanya tetap sama atau terjaga secara utuh, sesuai dengan yang
dimaksudkan oleh Rasulullah. Tanpa ada perubahan sedikitpun.
Meskipun demikian, para sahabat melakukannya dengan sangat hati-hati. Ibnu
Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan hadits ada istilah-istilah tertentu yang di
gunakannya untuk memperkuat panukilannya, seperti dengan kata: qala rasulullahi
hakadza (rasulullah telah bersabda begini), atau nahwan, atau qala rasulullah qariban
min hadza.[16]
Periwayatan hadits dengan maknawi akan mengakibatkan munculnya hadits-
hadits yang redaksinya antara satu hadits dengan hadits lainnya berbeda-beda,
meskipun maksud atau maknanya sama. Hal ini sangat tergantung kepada para sahabat
atau generasi berikutnya yang meriwayatkan hadits tersebut.
Karakteristik yang menonjol pada era sahabat ini adalah, bahwa para sahabat
memiliki komitmen yang kuat terhadap kitab Allah. Mereka memeliharanya dalam
lembaran mushaf, dan dalam hati mereka. Kehati-hatiannya terhadap kitab ini juga
diberlakukan terhadap sunnah meskipun di satu sisi ada larangan dari Nabi untuk
menuliskannya. Meskipun demikian mereka berupaya mempertahankan keotentikan
kedua-duanya. Setelah Al-Kitab ini terkumpul dalam satu suhuf, mereka baru berani
menuliskan Sunnah Nabi SAW.[17]
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapatlah kami simpulkan bahwa Periwayatan hadits masa
Khulafaur Rasyidin tersebar secara terbatas dan penulisan hadits pun masih belum
dilakukan secara resmi. Dan bahkan pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk
memperbanyak meriwayatkan hadits, dan sebaliknya, Umar menekankan agar para
sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Qur’an.
Pada masa ini para khalifah menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan
hadits, Karakteristik yang menonjol pada era sahabat ini adalah, bahwa para sahabat
memiliki komitmen yang kuat terhadap kitab Allah. Mereka memeliharanya dalam
lembaran mushaf, dan dalam hati mereka. Kehati-hatiannya terhadap kitab ini juga
diberlakukan terhadap sunnah meskipun di satu sisi ada larangan dari Nabi untuk
menuliskannya. Meskipun demikian mereka berupaya mempertahankan keotentikan
kedua-duanya. Setelah Al-Kitab ini terkumpul dalam satu suhuf, mereka baru berani
menuliskan Sunnah Nabi SAW.
Adapun dalam periwayatan, para sahabat mempunyai dua jalan, yaitu:
1.   Dengan lafaz asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi, yang mereka
hafal benar lafaz dari Nabi. SAW.
2.   Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal
lafazh yang asli dari Nabi SAW.

B.     Saran
Demikianlah makalah “Periwayatan Hadits Masa Khalifah” ini, semoga dapat
jadikan informasi untuk kita semua. Pemakalah menyadari masih banyak kekurangan
dalm makalah ini baik dari segi penulisan maupun isinya, oleh karena itu kami
harapkan saran dan kritikan dari teman-teman maupun dosen pengampu yang bersifat
membangun untuk lebik baik dimasa yang akan datang.   
DAFTAR PUSTAKA

[1] Barmawie Umarie. Status hadits sebagai Dasar Tasjri. (Solo: AB. Siti Sjamsijah.


1965) . hlm 13.
[2] M. Hasby As-Shidieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta: Bulan
Bintang  1987), hlm. 17-18
[3] Muhammad Ajjaj al-Khatib. Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mustalahuhu (Beirut:
Dar al-Fikr, 1989) hlm. 85
[4] Zikri Darussamin. Ilmu Hadits (Pekanbaru: Suska Press. 2010) hlm.44
[5] Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadits. (Jakarta: GP Press). hlm. 64-66
[6] Ajjaj al-Khattib, Al-sunnah Qabla al-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H) hlm. 97
[7] M. Syuhudi Ismail. Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, hlm. 44
[8] Noor Sulaiman. Op.cit,  hlm. 66
[9]Ibid, hlm. 67
[10] Zikri Darussamin. Op.cit, hlm. 48
[11] Noor Sulaiman. Op.cit,  hlm. 67
[12] Budi Munawar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, hlm. 263
[13] Munzier Suparta. Ilmu Hadits, (Jakarta: Rajawali Press. 2008).  hlm. 83
[14] Al-Ramaharmuzi, Al-Muhaddits Al-Fashil baina Al-Rawi wa Al-Wa’i. (Beirut: Dar
Al-Fikr 1984).  hlm. 127
[15] Munzier Suparta. Op.cit. hlm. 83-84
[16] Ajjaj al-Khattib. Op.cit.  hlm. 130
[17] Munzier Suparta. Op.cit. hlm. 84-85

Anda mungkin juga menyukai