Anda di halaman 1dari 15

KODIFIKASI AL-QUR’AN

Oleh: Rustam Effendi dan Muhammad Tuwah

I. Pendahuluan

Secara historis, perjalanan pembukuan al-Qur'an memang tidak serumit

pembukuan hadits. Namun bukan berarti bahwa proses kodifikasi al-Qur'an tidak

menarik untuk dikaji. Dalam bahasa Arab, kodifikasi sering diistilah dengan kata

jama‟a. Dalam bahasa Arab kata jama‟a dari segi bahasa mempunyai arti menyusun

yang terpisah atau yang tak beraturan. Yaitu, mengumpulkan sesuatu dengan

mendekatkan bagian satu dengan bagian yang lain.

Dalam ilmu al-Qur‟an, kata jama‟a mempunyai dua arti yang nantinya dari

makna itu akan melahirkan pemaknaan yang luas. Yang pertama jama‟a mempunyai

makna, yaitu: menghafal semuanya. Dan makna yang kedua, yaitu: membukukan al-

Qur‟an semuanya dalam bentuk tulisan dari ayat dan surat yang masih terpisah-pisah

berkumpul menjadi satu.

Mushaf al-Qur‟an yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui

perjalanan panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang

silam dan mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu

jaminan atas keotentikan al-Qur‟an langsung diberikan oleh Allah Swt yang termaktub

dalam firman-Nya; “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur‟an, dan

sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. al-Hijr: 9).

Karena iu, tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan kodifikasi al-Qur‟an, baik

pada masa Rasulullah Saw, Abu Bakar Ash-Siddiq, maupun Utsman bin Affan.

1
II. Sejarah Kodifikasi al-Qur’an (Masa Rasulullah, Abu Bakar, dan Utsman)

1. Kodifikasi al-Qur‟an Masa Rasulullah Saw

Al-Qur‟an diturunkan secara berangsur-angsur berupa beberapa ayat dari sebuah

atau berupa sebuah surat yang pendek secara lengkap. Penyampaian al-Qur‟an secara

keseluruhan memakan waktu kurang lebih 23 tahun, yakni 13 tahun waktu Nabi

Muhammad Saw masih tinggal di Mekkah sebelum hijrah dan 10 tahun waktu

Rasulullah Saw sesudah hijrah ke Madinah.

Wahyu Ilahi yang diturunkan sebelum hijrah tersebut disebut ayat Makiyah

merupakan 19/30 dari al-Qur‟an bercirikan surat dan ayat-ayatnya pendek-pendek dan

gaya bahasanya singkat padat (ijaz). Karena sasaran yang pertama-tama dan utama pada

periode Mekkah ini adalah orang-orang Arab asli (suku Quraisy dan suku-suku Arab

lainnya) yang sudah tentu mereka paham benar akan bahasa Arab. Mengenai isi surat

ayat Makkiyah pada pada umumnya berupa ajakan atau seruan untuk bertauhid yang

murni atau Ketuhanan Yang Maha Esa secara murni dan juga pembinaan mental dan

akhlak.

Adapun wahyu Ilahi yang diturunkan sesudah hijrah disebut surat/ayat

Madaniyah dan merupakan 11/30 dari al-Qur‟an. Surat dan ayat-ayatnya panjang-

panjang dan gaya bahasaya panjang lebar dan lebih jelas. Sasarannya bukan hanya

orang-orang Arab asli, melainkan juga non Arab dari berbagai bangsa yang telah mulai

banyak masuk Islam dan sudah tentu mereka kurang/belum menguasai bahasa Arab.

Mengenai isi surat-surat/ayat-ayat Madaniyah pada umumnya berupa norma-norma

2
hukum untuk pembentukan dan pembinaan suatu masyarakat atau umat Islam dan

negara yang adil dan makmur yang diridhai Allah Swt.1

Di masa Rasulullah Saw setiap wahyu yang turun, satu ayat atau lebih, terlebih

dahulu Nabi Muhammad memahami dan menghafalkannya, kemudian disampaikan dan

diajarkan kepada para sahabatnya pesis seperti apa yang diterimanya, tanpa ada

perubahan dan penggantian sedikitpun. Selanjutnya, Rasulullah menganjurkan kepada

para sahabat yang telah menerima ayat-ayat itu untuk menghafalkannya dan

meneruskannya pula kepada para pengikutnya.

Selain itu wahyu tersebut ditulis dan dicatat oleh dewan penulis wahyu yang

disebut khuttab al-wahy yang telah dibentuk oleh Rasulullahm, di antaranya; Abu Bakar

Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin

Fuhairah, Amer bin Al-„Ash, Muawiyah bin Abi Sufyan, Yazid bin Abi Sufyan, Al-

Mughirah bin Syu‟bah, Zubair bin Al-„Awwam, Khalid bin Walid, Al-„Ala Al-

Hadhramiy, Muhammad bin Salamah, Ubay bin Ka‟ab, Zaid bin Tsabit dan Tsabit bin

Qais ibn Syammas. Para penulis wahyu ini menurut orientalis Blacherc dalam

kutipannya Masyfuk Zuhdi berjumlah 40 oarang, demikian pula Maulana Muhammad

Ali menurut kutipan Rif‟at Syauqi dan Muhammad Ali Hasan menyebutkan sejumlah

itu.2

Para sahabat menulis al-Qur‟an pada „usub (pelapah kurma), likhaf (batu halus

berwarna putih), riqa‟ (kulit), aktaf (tulang unta), dan aqtab (bantalan dari kayu yang

biasa dipasang di atas punggung unta). Salah seorang “jurnalis” wahyu yang mendapat

kepercayaan dari Rasulullah, yaitu Zaid bin Tsabit menuturkan pengalamannya dalam

1
Masjfuk Zuhdi. Pengantar Ulumul Qur‟an. (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980), hlm. 13-14
2
A. Chairudji Abd. Chalik. Ulumul Qur‟an. (Jakarta: Diadit Media, 2007), hlm .47-48

3
riwayat al-Bukhari sebagai berikut: “Dahulu kami di sisi Rasulullah menyusun Al-

Qur‟an dari riqa‟. Aku mengumpulkannya dari riqa‟, aktaf (tulang unta) dan hafalan-

hafalan orang”.

Untuk menghindari kerancuan akibat bercampuraduknya ayat-ayat al-Qur‟an

dengan lainnya, misalnya hadis Rasulullah, maka beliau tidak membenarkan seorang

sahabat menulis apapun selain al-Qur‟an. Hal ini bisa dilihat dari hadis riwayat Muslim

dari Abi Sa‟id Al-Khudriy yang berbunyi: “Janganlah kalian tulis dariku sesuatu kecuali

al-Qur‟an. Barangsiapa yang telah menulis dari (sumberku) selain Al-Qur‟an supaya

menghapusnya”.

Larangan Rasulullah untuk tidak menuliskan selain al-Qur‟an ini, dapat

dipahami sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjamin nilai-nilai

otentifikasi dan akurasi al-Qur‟an. Setiap kali turun ayat al-Qur‟an Rasulullah

memanggil “jurnalis” wahyu. Hal ini bisa disimak pada hadis riwayat Imam Ahmad

yang dinyatakan shahih oleh Ibn Hibban dan Al-Hakim, dari Abdullahbin Abbas, dari

Utsman bin Affan.3

Kepada para penulis wahyu ini Rasul menunjuk letak masing-masing ayat yang

akan mereka tuliskan, yaitu di dalam surat mana, sebelum atau sesudah ayat mana. Hal

ini disebabkan susunan ayat itu tidak kronologis, sebab kebanyakan surat tidaklah

diturunkan sekaligus komplit. Seringkali suatu surat belum selesai diturunkan semua

ayat-ayatnya telah disusuli pula oleh surat-surat lainnya, sehingga apabila turun,

Rasulullah lalu menunjukkan letak ayat itu. Apabila suatu surah telah lengkap

diturunkan semua ayat-ayatnya Rasulullah lalu memberikan nama untuk surat itu, dan

untuk memisahkan antara suatu surat dengan surat sebelumnya atau sesudahnya,

3
Kamaluddin Marzuki. Ulum Al-Qur‟an (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 67-68

4
Rasulullah menyuruh letakkan lafazh basmalah pada awal masing-masing surat itu.

Tertib urut ayat-ayat dalam masing-masing surat itu dikokohkan pula oleh Nabi sendiri

dengan bacaan-bacaannya dalam waktu shalat ataupun di luar shalat.4 Oleh sebab itu,

para ulama bersepakat bahwa pengumpulan al-Qur‟an bersifat “tauqifi”. Yaitu bahwa

urutannya sedemikian rupa seperti yang kita lihat saat ini, adalah berdasarkan perintah

dari wahyu Allah Swt.

Telah diceritakan bahwa Jibril As turun membawa satu atau beberapa ayat

kepada Nabi Saw. Ia berkata kepada Rasul: “Hai Muhammad! Allah Swt

memerintahkan kepadamu supaya kamu meletakkan ayat ini pada permulaan ini dari

sudut ini”. Demikian pula Rasulullah saw berkata kepada para sahabat: “Letakkan ayat

itu pada tempat ini”.5

Di samping itu, Rasulullah juga menggerakkan kaum muslimin untuk

memberantas buta huruf al-Qur‟an, dengan cara; 1). Memberikan penghormatan dan

penghargaan yang tinggi kepada orang-orang yang telah pandai menulis dan membaca;

2). Menggunakan tenaga para tawanan perang dalam usaha pemberantasan buta huruf;

dan 3). Setiap kali ayat-ayat turun, Rasulullah menyampaikannya kepada para sahabat

dan menyuruh mereka menghafalkannya.6

2. Kodifikasi al-Qur‟an Masa Khalifah Abu Bakar Shiddiq

Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan sejumlah besar

sahabat yang hafal Al-Qur‟an. Dalam peperangan tersebut tidak kurang dari 70

4
A. Chairudji Abd. Chalik Ulumul Qur‟an, hlm. 49
5
M. Qodirun Nur. Ikhtisar Ulumul Qur‟an Praktis. (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), hlm. 80
6
A. Chairudji Abd. Chalik. Ulumul Qur‟an, hlm. 50-51

5
penghafal al-Qur‟an gugur, bahkan dalam suatu riwayat disebutkan sekitar 500 orang,7

dan mengakibatkan sebagian al-Qur‟an musnah.

Umar bin Khatab ra. merasa sangat kuatir melihat kenyataan ini, lalu ia

menghadap Abu Bakar ra. dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan

membukukan Al-Qur‟an karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan

Yamamah telah banyak membunuh para qari‟. Di segi lain Umar merasa khawatir juga

kalau-kalau peperangan di tempattempat lain akan membunuh banyak qari‟ pula,

sehingga Al-Qur‟an akan hilang dan musnah, awalnya Abu Bakar ra. menolak usulan

itu dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.

Tetapi Umar ra. tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar ra.

untuk menerima usulan tersebut, kemudian Abu Bakar ra. memerintahkan Zaid bin

Sabit ra, mengingat kedudukannya dalam masalah qiraat, kemampuan dalam masalah

penulisan, pemahaman dan kecerdasannya, serta kehadirannya pada pembacaan yang

terakhir kali. Abu Bakar ra. menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar.

Pada mulanya Zaid ra. menolak seperti halnya Abu Bakar ra. sebelum itu. Keduanya

lalu bertukar pendapat, sampai akhirnya Zaid ra. dapat menerima dengan lapang dada

perintah penulisan Al-Qur‟an itu.8 Zaid ra. melalui tugasnya yang berat ini dengan

bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para qari‟ dan catatan yang ada pada para

penulis. Kemudian lembaranlembaran (kumpulan) itu disimpan di tangan Abu Bakar ra.

Zaid ra. berkata,”Abu Bakar ra. memanggilku untuk menyampaikan berita mengenai

korban perang Yamamah. Ternyata Umar sudah ada disana. Abu Bakar berkata: „Umar

telah datang kepadaku dan mengatakan bahwa perang Yamamah telah menelan banyak

7
M. Quraish Shihab, (et. al), Sejarah & „Ulum al-Qur‟an, cet. 4, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008),
hlm. 28
8
Muhammad Bakr Isma‟il, “Dirasah fi Ulumul al-Qur‟an”. Dalam Mardan, Al-Qur‟an Sebuah
Pengantar Memahami al-Qur‟an Secara Utuh, (Jakarta: Pustaka Mapan, 2009), hlm. 68

6
korban dari kalangan penghafal Al-Qur‟an dan ia khawatir kalau-kalau terbunuhnya

para penghafal Al-Qur‟an itu juga akan terjadi djuga i tempat-tempat lain, sehingga

sebagain besar Al-Qur‟an akan musnah. Ia menganjurkan agar aku memerintahkan

seseorang untuk mengumpulkan al-Qur‟an.9

Namun, kecintaannya terhadap al-Qur‟an telah menghapus keraguannya, dan

menggerakkan Zaid untuk melacak dan menghimpun lembaran-lembaran al-Qur‟an

yang berserakan. Dalam menjalankan tugasnya Zaid lebih selektif dan hati-hati. Artinya

tidak semua setoran dari para sahabat diterima begitu saja dengan tangan terbuka,

melainkan harus disertai sumber tertulis dan saksi (setidaknya dua saksi). Hal ini

dilakukan Zaid untuk mencari kesepakatan bahwa setoran yang diterimanya benar-benar

ayat al-Qur‟an dari Nabi Muhammad.10 Dengan demikian, pengumpulan al-Qur‟an yang

dilakuakan oleh Zaid pada periode ini berpijak pada empat hal, yaitu: a. Ayat-ayat al-

Qur‟an yang ditulis dihadapan Nabi dan yang disimpan dirumah beliau. b. Ayat-ayat

yang ditulis adalah yang dihafal para sahabat penghafal alQur‟an. c. Tidak menerima

ayat yang hanya terdapat pada tulisan atau hafalan saja, melainkan harus harus ada bukti

bahwa itu tertulis dan dihafal. d. Penulisan dipersaksikan kepada dua orang sahabat

bahwa ayat-ayat tersebut benar-benar ditulis dihadapan Nabi pada saat Nabi masih

hidup.11 Tugas penulisan al-Qur‟an dilaksaakan oleh Zaid dalam kurun waktu satu

tahun sejak selesai perang Yamamah sampai sebelum Abu Bakar wafat. Lembaran-

lembaran ini disimpan oleh Abu Bakar sampai wafat dan kemudian disimpan Umar bin

9
Nasruddin, “Sejarah Penulisan Al-Qur‟an Nasruddin (Kajian Antropologi Budaya)”. Dalam Jurnal
Rihlah, Vol. II No. 1 Mei (2015), hlm. 58.
10
M. Musthafa Al-A‟zami, Sejarah Teks al-Qur‟an Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Sohirin
Solihin, dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 87
11
Mawardi Abdullah, Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 25

7
Kat}t}ab, hingga kemudian disimpan oleh Hafshah bint Umar.12 Kompilasi al-Qur‟an

pada masa ini disebut dengan istilah s}uh}uf, merupakan kata jamak yang secara literal

artinya, keping atau kertas. 13


Adapun pembukuan al-Qur‟an masa Abu Bakar ini

disebut sebagai pembukuan al-Qur‟an kedua setelah masa Rasulullah.14

Adapun karakterisrik penulisan al-Qur‟an pada masa Abu Bakar, antara lain: a.

Mushaf ini telah menghimpun semua ayat al-Qur‟an dengan cara yang sangat teliti, ayat

dan surat telah tersusun menurut susunan yang sebenarnya seperti yang diwahyukan

Allah kepada Nabi SAW. b. Meniadakan ayat-ayat al-Qur‟an yang telah di mansukh. c.

Mushaf ini mencakup tujuh bahasa sebagaimana al-Qur‟an diturunkan. d. Mushaf ini

telah diterima secara luas dan semua ayat-ayatnya juga bersifat mutawwatir.15

Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar catatan-catatan tersebut dikumpulkan

dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surah yang tersusun serta dituliskan

dengan sangat berhati-hati dan mencakup tujuh huruf yang dengan itu Qur‟an

diturunkan. Dengan demikian Abu Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan

Al-Qur‟an dalam satu mushaf dengan cara seperti ini, disamping terdapat pula mushaf-

mushaf pribadi pada sebagian sahabat, seperti mushaf Ali ra, Ubai dan Ibn Mas‟ud ra.

Tetapi mushaf- mushaf itu tidak ditulis dengan cara-cara diatas dan tidak pula

dikerjakan dengan penuh ketelitian dan kecermatan. Juga tidak dihimpun secara tertib

yang hanya memuat ayat- ayat yang bacaannya tidak dimansuk dan secara ijma‟

sebagaimana mushaf Abu Bakar. Keistimewaan-keistimewaan ini hanya ada pada

12
Mustafa Murad, Kisah Hidup Abu Bakar as-Siddiq, terj. Ahmad Ginanjar & Lulu M. Sunman, cet.
4, (Jakarta: Zaman, 2013), hlm. 147. Lihat juga dalam Koeh (Peny), Dar al-‟Ilm, Atlas Sejarah Islam,
(Jakarta: Kaysa Media, 2011), hlm. 55
13
M. Musthafa Al-A‟zami, Sejarah Teks al-Qur‟an, hlm, 92
14
Manna‟ Khalil al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟an, terj.Aunur Rafiq El-Mazni, cet. 6,
(Jakarta: Putaka al-Kautsar, 2011), hlm. 162
15
Mawardi Abdullah, Ulumul Qur‟an, hlm. 27

8
himpunan Al-Qur‟an yang dikerjakan Abu Bakar. Para ulama berpendapat bahwa

penamaan Al-Qur‟an dengan „mushaf‟ itu baru muncul sejak saat itu, yaitu saat Abu

Bakar mengumpulkan Al-Qur‟an. Ali ra. berkata,”Orang yang paling besar pahalanya

dalam hal mushaf ialah Abu Bakar ra. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada

Abu Bakar ra. Dialah orang yang pertama mengumpulkan kitab Allah.”

3. Kodifikasi al-Qur‟an Masa Khalifah Utsman bin Affan

Latar belakang pengumpulan al-Qur'an di masa Utsman r.a, di antaranya karena

wilayah kekuasaan Islam pada masa Utsman telah meluas, sehingga orang-orang Islam

telah terpencar di berbagai daerah dan kota. Di setiap daerah telah populer bacaan

sahabat yang mengajar mereka. Misalnya, penduduk Syam membaca al-Qur'an

mengikuti bacaan Ubay ibnu Ka‟ab, penduduk Kufah mengikuti bacaan Abdullah Ibnu

Mas'ud, dan sebagian yang lain mengikuti bacaan Abu Musa al-Asy‟ari. Di antara

mereka terdapat perbedaan tentang bunyi huruf dan bentuk bacaan. Masalah ini

membawa mereka kepada pintu pertikaian satu sama lainnya dan bahkan saling kufur-

mengkufurkan karena berbeda pendapat dalam bacaan.16

Karena latar belakang dari kejadian tersebut, Utsman mengambil inisiatif

mengumpulkan sahabat-sababat yang terkemuka dan cerdik cendekiawan untuk

bermusyawarah dalam meredam perselisihan tersebut. Utsman memerintahkan Zaid bin

Tsabit untuk memimpin pembakuan al-Qur‟an dalam satu bahasa agar keragaman dialek

tidak menjadi sebab disharmonisnya komunitas muslim.17 Zaid bin Tsabit (wakil dari

kaum Anshar) dibantu Abdullah bin Zubair, Said Ibnu al-'Asb dan Abdurrahman Ibnu

Hisyam (wakil dari suku Quraisy/Muhajirin) untuk melaksanakan tugas itu.


16
Muhammad Aly Ash-Shabunny, Pengantar Studi Al-Qur‟an (At-Tibyan), (Bandung: PT.
Alma‟arif, 1984), hlm. 94
17
Farid Wadji, Fenomena Al-Qur‟an: Pemahaman Baru Kitab Suci Agama-Agama Ibrahim,
(Bandung : PT. Marja, 2002), hlm. 41

9
Pelaksanaan gagasan yang mulia ini adalah pada tahun kedua puluh empat hijrah.18

Tugas panitia ini adalah membukukan al-Qur‟an, yakni menyalin lembaran-lembaran

tersebut menjadi buku. Dalam pelaksanaan tugas ini Utsman menasihatkan supaya

mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal al-Qur‟an dan dituliskan

menurut dialek suku Quraisy, sebab al-Qur‟an itu diturunkan menurut dialek mereka.19

Setelah selesai, Utsman mengirim ke setiap wilayah mushaf baru tersebut dan

memerintahkan agar semua al-Qur‟an atau mushaf lainnya dibakar. Zaid berkata:

“ketika kami menyalin mushaf saya teringat akan satu ayat dari surat al-Ahzab yang

pernah aku dengar dibacakan oleh Rasulullah, maka kami mencarinya dan kami

dapatkan pada Khuzaimah bin Sabit al-Anshari, ayat itu adalah:20

َ‫ِمنََ ْال ُمؤْ ِمنِيْنََ ِرجَالََصدقُ ْواَماعاهد ُواَللاََعل ْي َِه‬

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang
telah mereka janjikan kepada Allah”

Dengan ditugaskannya empat orang sahabat pilihan tersebut, maka hal itu

merupakan sebuah langkah konkret untuk mengatasi kenyataan pahit yang terjadi.

Apabila masa-masa dua khalifah sebelumnya, “Mushaf Abu Bakar” hanya disimpan di

rumah, maka Ustman melihat perlunya memasyarakatkan mushaf itu. Langkah Utsman

memang lebih tepat dianggap memasyarakatkan Mushaf Abu Bakar sekaligus

menyatukan bacaan. Alasannya yaitu karena Utsman tetap menyertakan Zaid bin Tsabit

di dalam panitia. Zaid yang sejak zaman Rasulullah dan Abu Bakar terlibat langsung

dalam penulisan dan penghimpunan al-Qur‟an, dapat dipastikan di dalam panitia ini

lebih banyak berperan ketimbang tiga anggota panitia lainnya. Sehingga kemungkinan

18
Muhammad Aly Ash-Shabunny, Pengantar Studi Al-Qur‟an (At-Tibyan), hlm. 95.
19
Zainal Abidin S, Seluk Beluk Al-Qur‟an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), hlm. 35
20
Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, hlm. 194

10
terjadinya perubahan, penambahan atau hilangnya kalimat tertentu dapat ditekan sampai

pada titik nol dan keaslian al-Qur‟an tetap terjamin.21 Zaid pun juga mengumpulkan

bahan al-Qur‟an yang terdapat pada daun kering, dan hafalan para sahabat Rasulullah.

Caranya, ia mendengarkan dari orang-orang yang hafal, kemudian dicocokkannya

dengan yang telah dituliskan pada bahan-bahan tersebut. Dia tidak mencukupkan dari

sumber yang didengarnya saja, tapi juga mencocokkan kepada yang ditulis.22

Al-Qur‟an yang telah dibukukan itu dinamai dengan “al-Mushhaf”, dan panitia

ditulis lima buah al-Mushhaf. Empat buah diantaranya dikirim ke Mekkah, Syiria,

Basrah dan Kufah, agar di tempat-tempat itu disalin pula masing-masing mushhaf itu,

dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri dinamai dengan

“Mushhaf al-Imam”.23 Sesudah itu Utsman memerintahkan mengumpulkan semua

lembaran-lembaran yang bertuliskan al-Qur‟an yang ditulis sebelum itu dan

membakarnya. Ia khawatir kalau mushhaf yang bukan salinan “Panitia Empat” itu

beredar. Padahal pada mushhaf-mushhaf yang peredarannya dikhawatirkan itu terdapat

kalimat yang bukan al-Qur‟an.

Maka dari mushhaf yang ditulis di zaman Utsman itulah kaum muslimin di

seluruh pelosok menyalin al-Qur‟an itu. Adapun kelainan bacaan, sampai sekarang

masih ada karena bacaan-bacaan yang dirawikan dengan mutawatir dari Nabi terus

dipakai oleh kaum muslimin dan bacaan-bacaan tersebut tidaklah berlawanan dengan

apa yang ditulis dalam mushhaf-mushhaf yang ditulis di masa Utsman itu.

Dengan demikian keistimewaan pembukuan al-Qur‟an pada masa Utsman itu

adalah: a) Adanya penyerdahanaan dialek dari tujuh dialek menjadi satu dialek. b).

Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur‟an- Studi Kompleksitas Al-Qur‟an, (Bandung: PT.
21

Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 75.


22
Kahar Masyhur, Pokok-Pokok Ulumul Qur‟an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), hlm. 112
23
Zainal Abidin S, Seluk Beluk Al-Qur‟an, hlm. 36

11
Utsman bermaksud menyatukan mushhaf umat. c) Peringkasan terhadap apa yang

ditetapkan pada pemeriksaan terakhir dan membuang selain hal tersebut. d) Susunan

ayat dan surat sama seperti yang dikenal (saat ini).24

Kaum muslimin sepakat bahwa seluruh mushhaf yang dibagikan Utsman ke

berbagai penjuru negeri, berapapun jumlahnya adalah mushhaf yang sama dan

mencakup semua isi al-Qur‟an, yang diterima dari Nabi Muhammad. Musshaf tersebut

berisi 114 surat, naskah tersebut tidak memiliki titik dan syakal (harokat), dan tidak pula

memiliki tanda-tanda lain yang kita kenal dimasa ini. Bahkan menurut pendapat yang

populer, ia tidak pula memiliki nama-nama surat dan bagian-bagian yang

memisahkannya satu sama lain.

Kendati nasib semua mushhaf tersebut tidak diketahui secara pasti, namun Ibn

Katsir pernah melihat mushhaf Utsmani yang ada di Syam. Ibn Katsir mengatakan

sebagai berikut;

“Adapun mushhaf Utsmaniyah yang diakui sebagai Mushhaf Imam maka yang

termasyhur sekarang ini adalah yang terdapat di Syam dan tersimpan di Masjid Jami‟

Damaskus. Dulu mushhaf tersebut disimpan di kota Thibriyyah, kemudian dipindahkan

ke Damaskus pada akhir tahun 518 H. sungguh saya telah menyaksikan sendiri kitab

agung dan mulia dengan tulisan tangan yang indah, jelas dan kuat, yang menggunakan

tinta yang tahan luntur, dan ditulis di atas lembaran-lembaran yang saya duga adalah

kulit unta”.25

24
Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, Ulumul Al-Qur‟an: Studi Kompleksitas Al-
Qur‟an, (Yogyakarta: Titian Illahi Press, 1997), hlm. 124
25
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Pesan Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 170-171

12
Pembakuan teks al-Qur‟an pada masa Utsman dapat diberi penanggalan antara

650 hingga wafatnya Utsman pada 656. Masa ini merupakan titik utama dalam apa yang

biasanya disebut sebagai pembentukan naskah resmi al-Qur‟an.

III. Simpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengumpulan dan

penulisan al=Qur‟an pada masa Rasulullah dengan mengangkat beberapa orang

penulis, khususnya seorang “jurnalis” Zaid bin Tsabit, yang dianggap “mahir” dan dapat

dipercaya oleh Rasulullah Saw.

Al-Qur‟an yang berserakan dan ditulis dikulit unta, pepelah kurma, dan

sebagainya dikumpulkan dan ditulis kembali merupakan hardkopy dari ayat yang

dibacakan oleh Nabi Saw sekaligus juga dihafalkan.

Sepeninggal Rasulullah Saw. banyak penghapal al-Qur‟an wafat di medang

perang sehigga Umar bin Khattab mengusulkan kepada Abu Bakar agar dilakukan

pengumpulan hardkopy menjadi sebuah mushab kemudian disatukan dan disusun

berdasarkan surah yang telah disampaikan oleh Nabi Saw.

Pengumpulan atau penyalinan al-Qur‟an kembali dilakukan di masa

pemerintahan Utsman bin Affan untuk memberikan salinan tersebut kepada wilayah-

wilayah yang telah dikuasai oleh Islam, sebagai upaya untuk meminimalisisr perbedaan

terutama bacaan. Karena adanya perbedaan bacaan disetiap tempat disebabkan faktor

dialek dan bahasa yang berbeda.

13
DAFTAR PUSTAKA

A. Chairudji Abd. Chalik. Ulumul Qur‟an. (Jakarta: Diadit Media, 2007)


Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, Ulumul Al-Qur‟an: Studi Kompleksitas Al-
Qur‟an, (Yogyakarta: Titian Illahi Press, 1997)
Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur‟an- Studi Kompleksitas Al-Qur‟an,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992)
Farid Wadji, Fenomena Al-Qur‟an: Pemahaman Baru Kitab Suci Agama-Agama
Ibrahim, (Bandung : PT. Marja, 2002)
Kahar Masyhur, Pokok-Pokok Ulumul Qur‟an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, tth)
Kamaluddin Marzuki. Ulum Al-Qur‟an (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994)
Koeh (Peny), Dar al-‟Ilm, Atlas Sejarah Islam, (Jakarta: Kaysa Media, 2011)
M. Musthafa Al-A‟zami, Sejarah Teks al-Qur‟an Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj.
Sohirin Solihin, dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 2005)
M. Qodirun Nur. Ikhtisar Ulumul Qur‟an Praktis. (Jakarta: Pustaka Amani, 2001)
M. Quraish Shihab, (et. al), Sejarah & „Ulum al-Qur‟an, cet. 4, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2008)
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Pesan Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994)
Manna‟ Khalil al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟an, terj.Aunur Rafiq El-Mazni,
cet. 6, (Jakarta: Putaka al-Kautsar, 2011)
Masjfuk Zuhdi. Pengantar Ulumul Qur‟an. (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980)
Mawardi Abdullah, Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011)
Muhammad Aly Ash-Shabunny, Pengantar Studi Al-Qur‟an (At-Tibyan), (Bandung:
PT. Alma‟arif, 1984)
Muhammad Bakr Isma‟il, “Dirasah fi Ulumul al-Qur‟an”. Dalam Mardan, Al-Qur‟an
Sebuah Pengantar Memahami al-Qur‟an Secara Utuh, (Jakarta: Pustaka Mapan,
2009)
Mustafa Murad, Kisah Hidup Abu Bakar as-Siddiq, terj. Ahmad Ginanjar & Lulu M.
Sunman, cet. 4, (Jakarta: Zaman, 2013)

14
Nasruddin, “Sejarah Penulisan Al-Qur‟an Nasruddin (Kajian Antropologi Budaya)”.
Dalam Jurnal Rihlah, Vol. II No. 1 Mei (2015)
Zainal Abidin S, Seluk Beluk Al-Qur‟an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, tth)

15

Anda mungkin juga menyukai