Anda di halaman 1dari 15

DEFINISI ALQURAN DAN SEJARAH KODIFIKASNYA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Studi Alquran.

Disusun Oleh:

SOFI AHMAD AL-FARISI

MUHAMMAD ALIFAN AHARI

Dosen pengampu:

Ustadz Habibul Anami, Lc. MA.

PROGAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM SUNAN GIRI PONOROGO

2022
DAFTAR ISI

KATA PENGANAR

DAFAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

B. Rumusan masalah

C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

a. Definisi alquran

b. Kodifikasi alquran

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A, kesimpulan

B. Saran
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Quran merupakan mukjizat teragung yang dianugerahkan kepada Nabi Muhammad

SAW yang berlaku hingga akhir zaman kelak. Kemukjizatannya tidak dapat dipastikan

sampai dimana, dari mulai susunan kalimat, bahasa, jumlah huruf, susunan kata, kandungan,

dan seterusnya. Kemukjizatannya ada yang sudah diketahui, dan banyak yang belum

diketahui. Siapa pun yang memperhatikannya, ia akan menemukan begitu banyaknya

keajaiban yang ada dalam Al-Quran. Seluruh kebutuhan manusia, seluruhnya terdapat dalam

AlQuran. Segala problematika yang dihadapi manusia, solusinya sudah dipecahkan dalam Al-

Quran. Al-Quran akan menuntut siapa saja yang komitmen mengikutinya menuju kehidupan

yang lebih bahagia, baik di dunia maupun di akhirat. Apalagi bagi masyarakat Muslim.

Mereka tidak akan pernah bisa terlepas dari Al Quran. Sama sekali tidak akan pernah bisa.

Bahkan jika sekiranya sebentar lagi berpisah dari Al-Quran, terasa ada sesuatu yang tidak

lengkap dalam kehidupan. Itulah Al-Quran. Undang-undang kehidupan pun terdapat dalam

Al-Quran.Al-Quran lah yang mengarahkan manusia menuju kebaikan dan mencegah manusia

dari segala sesuatu yang membahayakan serta merugikan. Tentu saja dengan penjelasan dan

kaidah yang sudah ditetapkan Rasulullah SAW. Maka tidak mungkin bagi seorang Muslim

yang hendak menjalankan keislamannya secara lebih sempurna kecuali dengan kehadiran Al-

Quran dan As-Sunnah. Oleh sebab itu tidak heran jika keberadaannya cepat berkembang di

suatu komunitas Muslim. Termasuk di Indonesia. Tafsir di Indonesia inilah yang akan

menjadi topik pembicaraan kali ini.


B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Alquran

2. Bagaimana sejarah kodifikasi Alquran

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Alquran

2. Untuk mengetahui pengkodifikasian Alquran


BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi al-Qur'an
Setiap penganut agama di dunia ini mempunyai suatu kitab yang dianggap suci yang

dijadikan pedoman hidup dan dasar hukum dalam beragama. Kita umat Islam oleh Allah swt.

diberi kitab suci al-Qur'an al Karim yang di turunkan melalui perantara malaikat jibril kepada

Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umatnya.

Al-Qur'an adalah kalam Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw

diawali dengan surah al Fatihah dan diakhiri dengan surah al- Naas. Al-Qur'an secara bahasa

berarti bacaan, terambil dari akar kata qara'a artinya membaca, diakhiri dengan huruf alif dan

nun mengikuti wazan (falanun) atau (fu'lanun) yang memiliki makna" paling sempurna : atau

sesempurna sempurna "sehingga al- Qur'an berarti bacaan yang paling sempurna atau

sesempurna sempurna bacaan.

Di dalam kitab Mabahis Fi Uluum al-Qur'an karya ilmiah Syaikh Manna' Khalil al-

Qatthan (lihat hal: 26) Definisi al-Qur'an adalah:

‫ وتحدى به العرب فعجزوا‬,‫ان القرآن الكريم كالم هللا أوحى به إلى رسول هللا بلفظه‬

‫ فهو‬,‫ واليزال التحدي به قائما‬,‫ أو بسورة من مثله‬,‫ أو بعشر سور مثله‬,‫عن أن يأتوا بمثله‬

‫معجزة خا لدة إلى يوم القيامة‬.

Artinya :"Sungguh al- Qu'ran al-Karüm adalah firman Allah. yang diwahyukan kepada

Rasulullah melalui lafadznya, dan Rasulullah pun mempersatukan bangsa Arab dengan al-Qur'an

tersebut sehingga mereka (bangsa Arab) pun tidak sanggup mendatangkan kalam yang
semacamnya atau sepuluh surat yang seperti, atau satu surat sekalipun. Dan tidak henti hentinya

persatuan itu tegak berdiri dengan sebab al-Qur'anul Kariim, oleh karena itu al Qur'an menjadi

mu'jizat yang kekal hingga yaumil qiyamah".

Di dalam kitab Al-Tibyan fi uluum al-Qur'an karya Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni

(pengajar kajian tafsir di Universitas Ummul Quro, Mekkah) (lihat hal 10) ta'rif/ definisi al-

Qur'an ialah Kalam Allah yang berbentuk mu'jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

Sang Penutup para Nabi dan Rasul melalui perantara Jibril alaihissalam yang ditulis di berbagai

mushaf, yang sampai kepada kita secara mutawatir, yang dihitung ibadah membacanya, yang

dimulai dengan surat al Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Naas.

Definisi Alquran seperti ini adalah definisi yang telah disepakati oleh ulama dan ahli

usul.

B. PENGKODIFIKASIAN AL-QUR’AN

Kodifikasi Alquran atau pengumpulan Alquran dibagi menjadi dua masa yaitu masa Nabi

Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan masa Khulafaur Rasyidin. Setiap masa atau fase ada

kelebihan, keunggulan dan kekhususan masing-masing.

Secara etimologi lafadz Al jamu seringkali dimaknai al hifdzu yang artinya menghafal atau

Al istidzhar min suduri Rijal yang artinya menampakkan sesuatu yang berada di hati seseorang.

Juga bisa dimaknai Al kitabah atau at tasjil yang artinya menulis atau mencatat.

1. Penulisan AL-QUR’AN pada masa NABI

Metode pengumpulan al-qur’an pada masa nabi, amat menyukai wahyu, ia senantiasa

menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya, persis

dijanjikan Allah, (sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya


(didadamu)berkata, “rasulullah adalah orang yang pling pemurah dan puncak kemurahannya

pada bulan Ramadhan ketika beliau ditemui oleh Jibril. Beliau ditemui pada malam bulan

Ramadhan.1

Tulisan al-qur’an pada masa nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf. Biasanya yang

ada di tangan seorang sahabat misalnya, belum tentu dimiliki orang lain. Menurut para

ulama diantara sahabat yang menghafal seluruh isi al-qur’an , ketika nabi masih hidup

adalah Ali Bin Abi Thalib, Muadz Bin Jabal, Ubai Bin Ka’ab, Zaid Bin Tsabit, Abdullah

Bin Mas’ud. Mereka juga menyebut Zaid Bin Tsabit adalah orang yang terakhir kali

membacakan al-qur’an dihadapan nabi.

Az-Zarkasi berkata, “ Al-Qura’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada Zaman

nabi agar ia tidak berubah dalam setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan

sesudah Al-Qur’an selesai turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah”.

Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid Bin Stabit

yang mengatakan “Rasulullah telah wafat, sedang al-qur’an belum sama sekali

dikumpulkan”. Maksudnya ayat-ayat dan surat-suratnya belum dikumpulkan secara tertib

dalam satu mushaf. Al-khattabi berkata “Rasulullah tidak mengumpulkan Al-qur’an dalam

satu mushaf itu karena senantiasa menunggu ayat yang menghapus terhadap sebagihan

hukum-hukum bacaannya”.

Dengan demikian, jam’u Al-Qur’an (pengumpulan Al-Qur’an) dimasa nabi ini

dinamakan) Hifzhan (hafalan) dan Kitabatan (pembukaan) yang pertama.2

1
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Pustaka Al-Kautsar, 2018), 151.
2
Al-Qaththan, 152.
Di dalam kitab Tibyan fi ulumil Quran di jelaskan bahwa Pada masa Baginda Nabi

Muhammad shallallahu alaihi wasallam pengumpulan Alquran terdapat dua metode yang

terlaksana bersamaan

1.Pengumpulan Alquran fi shudur Alquran dengan cara dihafal dan menampakkan

hafalannya

2. Pengumpulan Alquran fi shuthur dengan cara menulis Alquran dan mengukir Alquran

2. Pengkodifikasian Al-Qur’an pada masa khulafaurrosyidin

a. Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq

Sayyidina Abu Bakar menjabat sebagai Khalifah pertama dalam islam sesudah Rasul

wafat. Ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan murtadnya

sejumlah orang arab. Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan

sejumlah besar sahabat penghafal Al-Qur’an. Dalam peristiwa tersebut melibatkan tujuh

puluh qari’ dari sahabat gugur. Umar bin Al-Khattab merasa sangat khawatir melihat

kenyataan ini, lalu ia meghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar

mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an karna dikhawatirkan akan musnah, sebab

banyaknya para Qari’ yang musnah pada peperangan. 3

Disisi lain, Umar merasa khawatir juga kalau peperanga terjadi ditempat-tempat lain

akan membunuh banyak Qari’ pula sehingga Al-Qur’an akan hilang dan musnah. Akan

tetapi, Abu Bakar menolak usulan ini dan keberatan melakukan apa yang tidak pernah

dilakukan oleh Rasulullah, namun Umar tetap membujuknya sehingga Allah membuka hati

Abu Bakar memrintahkan Zaid Bin Stabit, mengingat kedudukannya dalam maslah Qira’at,

hafalan, penulisan, pemahaman dan kecerdasan serta kehadirannya pada pembacaan yang
3
Al-Qaththan, 158.
terakhir kali. Pada mulanya Zaid menolak seperti halnya Abu Bakar sebelum itu. Keduanya

lalu bertukar pendapat, sampai akhirnya Zaid dapat menerima pendapat dengan lapang dada

perintah penulisan Al-Qur’an itu.

Zaid Bin Stabit berkata “Abu Bakar memanggilku untuk menyampikan berita

mengenai korban perang yamamah. Ternyata umar sudah ada disana. Abu Bakar berkata

‘Umar telah datang kepadaku dan mengatakan, bahwa perang diyamamah telah menelan

banyak korban dari kalangan Qurra’ dan ia khawatir kalau terbunuhnya para Qurra’ itu juga

akan terjadi ditempat-tempat lain, sehingga sebagian besar Al-Qur’an akan musnah. Ia

menganjurkan agar aku memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Al-Qur’an.4

Oleh karna itu, menjalankan sebuah kewajiban mereka sendiri lebih utama dari pada

melakukan sesuatu yang dapat membawa kepada tindakan kriminal dan bencana terhadap

islam dan pemeluknya.5

b. Sayyidina Umar bin khatthab

Setelah Abu Bakar wafat, mushaf terjaga dengan sangat ketat di bawah tanggung

jawab langsung Umar ibn Khaththab sebagai khalifah kedua. Pada masa Khalifah Umar ibn

Kaththab, mushaf itu diperin tahkan untuk disalin kembali ke dalam lembaran (shahifah)

yang lebih6

pada masa Abu Bakar, mushaf Alquran tidak disusun menurut tertib turunnya ayat,

tetapi surah-surah itu disusun menurut urutan turun nya wahyu. Selain itu, di dalamnya tidak

lagi terdapat catatan-catatan tambahan sebagai tafsir dari beberapa ayat tertentu, seperti yang

sering ditemui dalam mushaf-mushaf para sahabat.

c. Ustman Bin Afwan

4
Al-Qaththan, 159.
5
Al-Qaththan, 167.
6
ahmad izzan, ulumul quran (Bandung: Tafakkur, t.t.), 71.72
Sepeninggal Umar ibn Khathab, jabatan khalifah dipegang oleh Utsman bin 'Affan.

Pada masa pemerintahan khalifah ketiga ini, dunia Islam mengalami banyak kemajuan dan

perkembangan. Mengingat wilayah penyebaran Islam sudah sedemikian luas di luar Jazirah

Arab, kebutuhan umat untuk mengkaji Alquran pun semakin meningkat. Banyak penghapal

Alquran ditugaskan ke berbagai provinsi untuk menjadi imam, sekaligus ulama, bertugas

mengajar dan mendidik umat.

Umat Islam yang tersebar dalam wilayah yang sedemikian luas itu mendapat

pelajaran dan menerima bacaan Alquran (qira'at) dari setiap sahabat yang ditugaskan ke

daerah. Penduduk Syiria, misalnya, memperoleh pelajaran dan qira'at dari sahabat Ubay ibn

Ka'b. Penduduk Kufah berguru kepada sahabat Abdullah ibn Mas'ud. Penduduk Bashrah,

Irak, berguru kepada sahabat Abu Musa al-Asy'ari. Versi qira'at yang dimiliki dan diajarkan

oleh setiap sahabat yang ahli qira'at itu berlainan satu sama lain. Keadaan ini, tentu saja,

menimbulkan dampak negatif di kalangan kaum muslimin. Di antara mereka ada yang saling

membanggakan versi qira'atnya, dan merendahkan yang lain. Mereka mengklaim bahwa

versi qira'atnyalah yang paling baik dan benar. Situasi seperti ini mencemaskan Khalifah

Utsman ibn 'Affan. Karena itu, ia segera mengundang para sahabat penghafal Alquran untuk

memecahkan masalah tersebut. Akhirnya, dicapai kesepakatan bahwa mushaf yang ditulis

pada masa Abu Bakar harus disalin kembali menjadi beberapa mushaf. Lalu, mushaf-mushaf

tersebut dikirimkan ke berbagai kota atau daerah untuk menjadi rujukan utama kaum

muslimin ketika menemui masalah dalam hal tilawah.

Inisiatif Utsman ibn Affan untuk segera membukukan dan menggandakan Alquran

muncul setelah ada usulan dari Khuzaifah al-Yamani, sebagaimana termaksud dalam sebuah
hadis yang diriwayatkan Bukhari. Kemudian, Khalifah Utsman ibn 'Affan mengirim sepucuk

surat yang isinya meminta agar Hafshah mengirimkan mushaf yang disimpannya untuk

disalin kembali menjadi beberapa naskah. Setelah itu, Khalifah Utsman ibn 'Affan

memerintahkan Zaid ibn Tsabit, dan Abdullah ibn Zubair,

Ciri-ciri mushaf Alquran yang ditulis pada masa Khalifah Utsman ibn 'Affan adalah

ayat-ayat Alquran yang tertulis di dalamnya berdasar kan riwayat mutawatir; surah-surah

dan ayat-ayatnya disusun dengan tertib sebagaimana mushaf yang disaksikan sekarang.

Sungguhpun demikian, penggandaan mushaf tidak berarti seluruh persoalan

berkenaan dengan Alquran dapat dituntaskan. Perlu diketahui bahwa mushaf pada masa

masa Khalifah Utsman ibn 'Affan belum menggunakan tanda baca seperti titik dan simbol-

simbol bacaan lainnya. Bagi orang-orang awam dalam bahasa Arab, ketiadaan tanda baca itu

menyebabkan adanya peluang terjadinya kekeliruan dalam membaca Alquran. Perbedaan

bacaan, apalagi kalau bacaan itu tidak benar, bisa membawa konsekuensi yang sangat fatal.

Pada perkemba ngan mushaf selanjutnya, ada berbagai upaya yang dilakukan ulama untuk

membubuhi tanda-tanda baca terhadap Alquran.

Ketika wilayah Islam sudah semakin luas dan menjangkau banyak daerah non-Arab, seperti

Turki, India, Persia, Afrika, dan Timur Jauh, kesulitan berkenaan dengan mushaf tanpa

tanda baca semakin terasa. Suatu ketika, seorang asing 'ajam (orang-orang non-Arab)

membaca surat at-Taubah, 9: 3 dengan bacaan berikut.

‫ أن هللا برىء من المشركين ورسوله‬..


Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya. Padahal, ayat di

atas seharusnya dibaca dengan bacaan berikut.

‫ أن هللا بريء من المشركين ورسوله‬.

Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.

Perbedaan bacaan itu terjadi karena tidak adanya tanda baca. Ini memperlihatkan bahwa

perbedaan bacaan bisa menimbulkan perbe daan makna yang sangat besar, dan ini sangat

berbahaya bagi perjuangan kebenaran. Berangkat dari kenyataan ini, Khalifah Abdul Malik

ibn Marwan (685-705 M) al-Hajjaj ibn Yusuf as-Saqati untuk segera memberi tanda baca

(syakal) kepada Alquran. Tanda baca hasil karya al-Hajjaj ibn Yusuf as-Saqati ini kemudian

di standarkan penggunaannya. Dalam proses penyelesaian proyek besar ini, al-Hajjaj ibn

Yusuf as-Saqati dibantu Nashr ibn 'Ashim dan Yahya ibn Ma'mur, dua murid ulama tersohor

Abu al-Aswad ad-Duwali.

d. Perbedaan Mushaf masa Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina

Utsman

Jika bentuk mushaf hasil penulisan ketiga yang dilaksanakan oleh Khalifah Utsman ibn

'Affan itu dibandingkan dengan mushaf pada masa Nabi Saw., mushaf pada masa Abu

Bakar, dan Mushaf Utsmani, perbedaannya sebagai berikut.

1. Pada masa Nabi Saw.. penulisan dilakukan ketika wahyu Alquran diturunkan dengan

menyusun urutan ayat-ayat dalam surat-surat tertentu sesuai dengan petunjuk Nabi Saw.
Ayat-ayat tersebut ditulis secara terpisah pada kepingan-kepingan tulang, pelepah daun

kurma, dan batu-batuan.

2. Pada masa Khalifah Abu Bakar, penulisan dilakukan untuk menghimpun dan menyalin

kembali catatan-catatan Alquran menjadi sebuah mushaf. Tertib surahnya menurut urutan

turun nya wahyu.

3. Pada masa Ursman ibn 'Affan dilakukan penggandaan mushaf yang ditulis pada masa Abu

Bakar. Tertib ayat dan surahnya seperti yang ada sekarang ini.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Definisi Alquran

Alquran merupakan mukjizat terbesar yang diberilkan kepada nabi Muhammad melai

perantara malaikat jibril sebagai pedoman dan tuntunan serta petunjuk bagi umat manusia, yang

berisi huhum-hukum dan qonun.

2. Kodifikasi Alquran

Dibagi menjadi dua fase:

1. Fase Rasulullah SAW

2. Fase Khulafaur Rasyidin

Yang keduanya memiliki keunggulan dan keistimewaan masing-masing serta saling

melengkapi satu dan lainnya.

B. Saran

Penulisan makalah ini tidak lepas dari kesalahan, maka sangat dibutuhkan krtik dan saran

sebagai pembenahan kedepannya.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan, Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Pustaka Al-Kautsar, 2018.

izzan, ahmad. ulumul quran. Bandung: Tafakkur, t.t.

As-Shobuni,Syaikh ali Al-Tibyan fi uluum al-Qur'an.Pakistan Maktabah Al-Busyro, 2011.

Anda mungkin juga menyukai