Kodifikasi Al-Qur’an
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dari Mata Kuliah Ilmu Qur’an
Dosen Pengampu: Ganang Prihatmoko, M.A
Disusun oleh:
Ahmad Fauzan
Ahmad Jundi Habibullah
Wi Imam Kholatif
Segala puji bagi Allah ﷻ, hanya kepadaNya kita memuji, memohon
pertolongan, dan memohon ampunan. Kita berlindung kepada Allah ﷻdari
kejahatan diri kita dan buruknya amalan kita. Barang siapa yang diberi petunjuk
oleh Allah ﷻ, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barang siapa yang
disesatkan oleh Allah ﷻ, maka tidak ada yang dapat menunjukinya.
Aku bersaksi bahwa tidak ada Illah yang berhak di ibadahi kecuali Allah ﷻ
semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad ﷺ
adalah hamba dan Rasul-Nya.
Mushaf al-Qur’an yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui
perjalanan panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun
yang silam dan mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui.
Selain itu jaminan atas keautentikan Al-Qur’an langsung diberikan oleh Allah ﷻ
yang termaktub dalam firman-Nya QS. Al-Hijr [15]:9 :
2
Bekasi, 20 September 2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Pertempuran Yamamah merupakan ekspedisi militer yang dipimpin Khalid bin Walid atas
perintah Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk menumpas gerakan nabi palsu Musailamah al-
Kazzab yang meresahkan dunia Islam sepeninggal Rasulullah ﷺ.
2
Abu Ya’la Kurnaedi, Tajwid Lengkap Asy-Syafi’i (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i,
2016), hal.521
3
Di masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan sempat terjadi perselisihan di
ditengah kaum Muslimin yang dilaporkan oleh Hudzaifah bin Yaman kepada
sang Khalifah selepas ekspedisi militer yang dilakukannya ke Armenia dan
Azerbaijan. Konflik yang dilaporkan tersebut berkenaan dengan perbedaan
qira’at3 dalam pembacaan al-Qur’an, sehingga pada akhirnya kumpulan suhuf
yang telah dikumpulkan sebelumnya disalin4 dan disatukan menjadi sebuah
mushaf yang kita kenal sekarang sebagai mushaf ‘Utsmani.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kodifikasi al-Qur’an?
2. Bagaimana sejarah kodifikasi al-Qur’an?
C. Tujuan Penyusunan
1. Untuk mengetahui dan memahami tentang kodifikasi al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui sejarah kodifikasi al-Qur’an.
3
Qira’at adalah salah satu cara membaca al-Qur’an dari seorang imam ahli qira’at yang
berbeda dengan cara membaca imam lainnya, sekalipun riwayat dan jalur periwayatannya sama,
baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf ataupun bentuknya.
4
Suhuf-suhuf yang telah terkumpul sebelumnya di masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq
disalin kembali oleh Zaid bin Tsabit, Abdullah bin az-Zubair, Sa’id bin al-Ash, dan Abdurrahman
bin Harits bin Hasyim atas perintah Khalifah Utsman bin Affan.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
“menghafalnya dalam hati”6 dan kedua; pengumpulan dalam arti كتاب ه كلهyang
جمعه بمعنى كتابته و تدوينه كله حروفا: الثاني, جمعه بمعنى حفظه في الصدور و الستظهاره: األول
5
Suharto & Tata Iryanto, Kamus Bahasa Indonesia Terbaru, Surabaya: Penerbit Indah
Surabaya IKAPI, 2004, hal. 140
6
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Terj. Aunur Rafiq el-Mazni),
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013, hal. 150
7
Ibid, hal. 151
8
Prof. DR. Fahd bin ‘AbdurrahmanAr-Ruumii, Diraasaat fii ‘Uluumil Qur’aanil Kariim,
Riyadh: Universitas Arab Saudi, 2009, hal. 71
5
B. Sejarah Kodifikasi al-Qur’an
1. Pengumpulan al-Qur’an Pada Masa Nabi ﷺ
Kodifikasi atau pengumpulan al-Qur’an telah dimulai sejak zaman
Rosulullah ﷺ, bahkan telah dimulai sejak masa-masa awal turunnya al-Qur’an.
Sebagaimana diketahui bahwa al-Qur’an diwahyukan secara berangsur-angsur.
Setiap kali menerima wahyu, Nabi ﷺlalu membacakannya di hadapan para
sahabat karena ia memang diperintahkan untuk mengajarkan al-Qur’an kepada
mereka.
Pengumpulan al-Qur’an pada masa nabi, dikategorikan menjadi dua bagian,
yaitu; pengumpulan dalam konteks hafalan dan pengumpulan dalam konteks
penulisanya.9 Pertama; Pengumpulan dalam konteks hafalan. Allah ﷻ
menurunkan al-Qur’an kepada Nabi ﷺyang ummii (tidak bisa baca dan tulis).
Oleh sebab itu Nabi ﷺlebih fokus untuk menghafal dan menghayatinya agar
beliau dapat menguasai al-Qur’an sebagaimana halnya diturunkan. Allah ﷻ
berfirman:
رسوالمنهم يتلواعليهم ءايته ويزكيهم ويعلّمهم الكتاب والحكمة وإن
ّ األميّن
ّ هو الذي بعث في
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan
mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (as Sunnah). Dan
sesungguhnya merka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
(QS. al-Jumu’ah [62]: 2)
Biasanya, orang yang ummii itu mengandalkan kekuatan hafalan dan
ingatanya. Hafalan serta daya pikirnya mereka sangat dalam dan begitu terbuka.
Upaya-upaya sederhana yang dilakukan yaitu Nabi ﷺmenghafal ayat-ayat itu
dan menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian sahabat
menghafalnya juga sesuai dengan apa yang disampaikan Nabi ﷺ.
Kedua; Pengumpulan dalam bentuk tulisan. Upaya kedua yang dilakukan
dalam upaya pemeliharaan al-Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya dengan
9
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, maka suatu hal yang logis bila Al-Qur’an
bisa dibukukan dalam satu mushaf setelah Nabi ﷺwafat.
6
persetujuan dan tuntunan Nabi.10 Rasulullah.saw mengangkat para penulis wahyu
al-Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti ‘Ali, Muawiyah, Ubay bin
Ka’ab, Zaid bin Sabit, menurut riwayat, para penulis beliau 26 ﷺorang, bahkan
ada yang meriwayatkan 42 orang.11
Bila ada ayat turun beliau ﷺmemerintahkan para sahabat untuk
menuliskannya dan menujukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga
penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan didalam hati.12 Para sahabat
menulisakan al-Qur’an diberbagai media seperti: pelepah kurma, lempengan batu,
daun lontar, kulit binatang atau daun, pelana, potongan tulang-belulang binatang
dan lain sebagainya sehingga pada saat itu al-Qur’an belum dinamakan mushaf
karena belum disatukan atau masih berceceran. Az-Zarkasyi berkata: “al-Qur’an
tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar tidak berubah pada
setiap waktu. Oleh sebab itu penulisannya dilakukan kemudian sesudah al-Qir’an
selesai turun semua yaitu dengan wafatnya Rasulullah ﷺ.”13
7
Mulanya sang khalifah sempat bimbang karena hal ini tak pernah
diperintahkan Rasulullah ﷺ secara langsung, namun akhirnya beliau
menyetujuinya. Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu memerintahkan seorang
sahabat yang memiliki kedudukan yang mulia dalam hal Qira’at, hafalan,
penulisan dan pemahamannya terhadap al-Qur’an untuk memimpin proyek
penting ini. Langkah ini disetujui oleh semua sahabat Nabi yang hidup pada masa
itu. Kemudian tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Sabit radhiyallahu ‘anhu
mulai bekerja, mereka kumpulkan tulisan-tulisan ayat‐ayat al-Qur’an yang
terpencar‐pencar dari tulang‐tulang, pelepah kurma, kepingankepingan batu dan
mengambil dari para penghafal al-Qur’an.
Kehati‐hatian Zaid sangat nyata terbukti dari prinsipnya tidak mau
menerima dari seseorang mengenai Qur’an sebelum disaksikan oleh dua orang
saksi. Ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa Zaid hanya menerima al-
Qur’an apabila orang itu memiliki catatan dan juga telah menghapal apa yang ia
catat tersebut. Zaid bin Sabit radhiyallahu ‘anhu adalah seorang penghafal juga
namun ia tidak mengurangi kehati‐hatian dan kecermatannya melakukan
pengumpulan al-Qur’an dari semua orang yang memiliki catatan dan
menghafalnya.14
b. Pengumpulan pada masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu
‘anhu
Dalam perjalanan selanjutnya, ketika jabatan khalifah dipegang ‘Utsman bin
‘Affan dan Islam tersiar secara luas sampai ke Syam (Syria), Irak, dan lain-lain,
ketika itu timbul pula suatu peristiwa yang tidak diinginkan kaum muslimin.
Ketika khalifah ‘Utsman mengerahkan bala tentara Islam ke wilayah Syam dan
Irak untuk memerangi penduduk Armenia dan Azarbaijan, tiba-tiba Hudzaifah bin
al-Yaman menghadap khalifah ‘Utsman dengan maksud memberi tahu bahwa di
kalangan kaum muslimin di beberapa wilayah terdapat perselisihan pendapat
mengenai tilawah (bacaan) al-Qur’an.15
Dari peristiwa tersebut tergambar latar belakang mendasar mengenai
pembukuan al-Qur’an pada priode pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan
14
Ibid, hal. 191-194
15
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 1, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000,
hal. 58
8
radhiyallahu ‘andhu. Perbedaan qira’at menjadi titik tolak pekerjaan besar yang
dilakukan oleh khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Persoalan-persoalan umat Islam pada
masa kekhalifahan ‘Utsman semakin beragam seiring perluasan daerah melalui
wilayah-wilayah penaklukan Islam pada enam tahun pertaman pemerintahannya.
Pengajaran al-Qur’an pada penduduk daerah taklukan diserahkan kepada wali ahli
al-Qur’an sesuai dengan kemempuan hafalan dan keahlian yang dimiliki.
Para sahabat tersebar ke berbagai daerah, mereka ditugaskan menjadi guru
bagi masing-masing daerah yang mereka tempati dan membawa qira’at masing-
masing yang mereka terima dari Rasulullah ﷺ. Umat Islam di daerah Syam
mengikuti qira’at Ubay bin Ka’ab, wilayah Kuffah mengikuti qira’at ‘Abdullah
bin Mas’ud dan wilayah-wilayah lainnya mengikuti qira’at Abu Musa al-‘Asy’ari.
Perbedaan tersebut menjadi masalah bagi sebagian umat Islam apalagi bagi yang
tidak tahu bahwa al-Qur’an diturunkan dalam berbagai versi qira’at.16
Sangat disayangkan, masing-masing pihak merasa bahwa qira’at yang
dimilikinya lebih baik. Hal ini membuat para sahabat prihatin, karena takut kalau-
kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Pada
awalnya, perbedaan bacaan dikalangan sahabat tidak dipermasalah-kan, bahkan
pada masa Rasulullah Saw perbedaan bacaan tersebut diakui, seperti kata imdhi=
sir= pergilah, ‘ajjil= asri’= bersegeralah; akhkhir=amhil= tundalah. Akan tetapi
setelah Rasulullah wafat, perbedaan ini semakin meruncing, yakni pada masa
khalifah ‘Utsman bin ‘Affan, sampai-sampai terjadi percekcokan antara murid dan
gurunya.17
Setelah mendengar laporan dari Hudzaifah dan melihat langsung fenomena
yang tejadi di kalangan umat Islam, ‘Utsman bin ‘Affan kemudian mengutus
orang meminjam mushaf yang ada pada Hafsah istri Rasulullah ﷺuntuk
diperbanyak. Untuk kepentingan itu, ‘Utsman bin ‘Affan membentuk panitia
penyalin al-Qur’an yang diketuai Zaid bin Tsabit dengan tiga orang anggotanya
masing-masing Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Ash, Abdurrahman bin al-Harits
bin Hisyam.
16
Ilyas Yunahar, Kuliah ‘Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Itqan Publishing, 2013, hal 88
17
Abdullah al-Zanjani, Sejarah Al-Qur’an, (Terj. Kamaluddin Marzuki dan A. Qurtubi
Hasan) Jakarta: Hikmah, 2000, hal. 65-66
9
Tugas panitia ini ialah membukukan al-Qur’an, yakni menyalin lembaran-
lembaran yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar menjadi beberapa
mushaf. Dalam pelaksanaan tugas ini, Utsman menasehatkan supaya:
a. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal al-Qur’an.
b. Jika ada pertikaian antara mereka mengenai bahasa (bacaan), maka
haruslah dituliskan menurut dialek suku Quraisy, sebab al-Qur’an itu
diturunkan menurut dialek mereka.18
Maka dikerjakanlah oleh panitia kepada mereka, dan setelah tugas itu
selesai, maka lembaran-lembaran yang dipinjam dari Hafsah itu dikembalikan
kepadanya. Kemudian ‘Utsman bin ‘Affan memerintahkan mengumpulkan semua
lembaran-lembaran yang bertuliskan al-Qur’an yang ditulis sebelum itu dan
membakarnya. Mushaf yang ditulis oleh panitia adalah lima buah, empat di
antaranya dikirim ke Makkah, Syiria, Basrah dan Kufah, dan satu mushaf lagi
ditinggalkan di Madinah, untuk ‘Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai dengan
Mushaf al-Imam.
18
Zainal Abidin S, Seluk Beluk Al-Qur’an. Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hal 35
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Manurut KBBI kata kodifikasi memiliki arti “hal penyusunan prundang-
undangan”. Namun dalam kajian ilmu al-Qur’an kodifikasi al-Qur’an
dikenal dengan istilah Jam’ul-Qur’an (Pengumpulan Al-Qur’an).
2. Sejarah kodifikasi al-Qur’an dibagi menjadi dua masa:
a. Pada masa Rasulullah ﷺ,
b. Pada masa para sahabat, terkhusus pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq
dan pada masa ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhumaa.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini, kami rasa masih banyak sekali kekurangan
yang harus diperbaiki, oleh sebab itu kami ucapkan permohonan maaf atas segala
kekurangan sehingga apa yang diusahakan masih jauh dari kata sempurna seperti
kurang maksimalnya penyimpulan, serta minimnya penyajian dalil-dalil
substansial berkenaan dengan kalimat dalam teks berbahasa Arab. Akan tetapi
sesuai dengan kerangka ilmiah yang ada, sebuah konklusi tidaklah diambil begitu
saja tanpa didahului dengan upaya penggalian lebih lanjut mengenai pembahasan
terkait. Dalam hal ini, penyusun semaksimal mungkin berupaya menyajikan
pembahasan yang mudah dimengerti oleh semua kalangan, khususnya kalangan
awam. Dengan demikian kami harapkan dari penyusunan makalah ini dapat
memberikan sedikit wawasan bagi pembaca untuk memahami kodfifkasi al-
Qur’an.
11
DAFTAR PUSTAKA
12