Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ad-Dair’aquli di dalam kitab Fawaidnya mengatakan: telah menceritakan kepada
kami Ibrahim bin Bisyar, (ia berkata): telah menceritakan kepada kami Sufyan Ibn ‘Uyainah,
dari Az-Zuhri, dari ‘Ubaid, dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, “Qubidha annabiyyu saw walam
yakun Alquran jumi’afisyai” (Nabi saw telah diambil (Allah), sedangkan Alquran belum
dikumpulkan pada sesuatu).
Imam Al-Khathabi mengatakan, “Adanya Alquran yang belum dihimpun oleh Nabi
saw di dalam mushaf dikarenakan adanya ayat yang dinantikan, yaitu (ayat-ayat) yang me-
nasikh sebagai hukum-hukumnya atau tilawahnya. Tetapi ketika telah selesai (sempurna)
turunnya dengan wafatnya Nabi saw maka Allah memberikan ilham kepada
Khulafaurrasyidin untuk melakukan itu, sebagai bukti terhadap janji Allah untuk memelihara
kitab-Nya pada umat ini. Maka sebagai permulaannya adalah ada ditangan Abu Bakar ash-
Shiddiq atas usulan Umar bin Khattab.
Adapun riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Hadits Abu Sa’id Al-
Khudri yang berkata: Rasulullah saw bersabda, “Laa taktubuu ‘annii syai’an ghairal
Qur’an...,” ini tidak bertentangan dengan hal di atas, karena perintah untuk menulis memiliki
penulisan secara khusus dengan cara yang khusus pula. Alquran telah ditulis semuanya pada
masa Rasulullah saw, tetapi belum dihimpin dalam satu mushaf dan belum terangkai surat-
suratnya secara berurutan.
Imam Al-Hakim di dalam kitabnya, Al-Mustadrak, mengatakan, “Alquran telah
dihimpun (ditulis) dalam tiga tahapan sebagai berikut: Penulisan Alquran pada masa
Rasulullah, penulisan Alquran pada masa Abu Bakar, dan penulisan Alquran pada masa
Utsman bin Affan yang akan dibahas pada pembahasan berikut.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kodifikasi
Kata jama’a atau dalam bahasa populer adalah kodifikasi. dalam bahasa arab kata
jama’a dari segi bahasa mempunyai arti menyusun yang terpisah atau yang tak beraturan.
Yaitu mengumpulkan sesuatu dengan mendekatkan bagian satu dengan bagian yang lain.
Dalam Ilmu Alquran, kata jama’a mumpunyai dua arti yang nantinya dari makna itu akan
melahirkan maklumat-maklumat yang luas. Yang pertama jama’a mempunyai makna yaitu :
menghafal semuanya. Dan makna yang kedua yaitu : membukukan Alquran semuanya dalam
bentuk tulisan dari ayat dan surat yang masih terpisah-pisah berkumpul menjadi satu. Seperti
apa yang pernah dikatakan oleh ‘Abdulaah bin ‘Amru ; aku sudah mengumpulkan Alquran
setiap malam hari, maksudnya saya sudah menghafalkan Alquran. Dan selanjutnya yang telah
dikatakan Abu Bakar kepada Zayd bin Stabit ; ikutilah Alquran lalu kumpulkanlah,
maksudnya tulis Alquran itu semuanya.

B. Sejarah Kodifikasi Al-Quran


Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan dari langit oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW melalui malaikat Jibril a’s. Sejarah penurunannya selama 23 tahun secara
berangsur-angsur telah memberi kesan yang sangat besar dalam kehidupan seluruh manusia.
Di dalamnya terkandung pelbagai ilmu, hikmah dan pengajaran yang tersurat maupun
tersirat.
Sebagai umat Islam, kita haruslah berpegang kepada Al-Quran dengan membaca,
memahami dan mengamalkan serta menyebarluas ajarannya. Bagi mereka yang mencintai
dan mendalaminya akan mengambil iktibar serta pengajaran, lalu menjadikannya sebagai
panduan dalam meniti kehidupan dunia menuju akhirat yang kekal abadi.
Mushaf Al-Qur’an yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan
panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan
mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu jaminan atas
keotentikan Al-Qur’an langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam firman-
Nya QS.AL Hijr -(15):9: "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an),
dan kamilah yang akan menjaganya"

2
C. Kodifikasi Alquran Zaman Rasulullah
Alquran diturunkan kebumi melalui seorang Nabi yang tidak bisa menulis dan
membaca tulisan, beliau adalah Nabi Muhammad Saw. Walau beliau seorang yang tidak bisa
menulis dan membaca pada awal masa kenabiannya, namun rasa semangat dalam menerima
wahyu, serta menghafalkannya tidak mengurangi sama sekali. Hal itu dibuktikan ketika
dalam proses pentransferan wahyu ke Rasulullah.
Beliau mengikuti dengan seksama, serta perhatian tinggi dalam pengajaran dan
pimbingan yang disampaikan oleh malaikat Jibril, ketika dalam proses pentrasferan. Beliau
benar-benar memperhatikan lafadz dan huruf yang keluar dari malaikat jibril, serta tidak mau
melewatkan satu huruf pun dari Alquran yang tertinggal dari konsentrasi beliau. Hal itu
semua karena beliau sangat meperhatikan betul dalam menerima wahyu dari Ilahi.
Sampai Allah SWT. Menggambarkan dalam Alquran, sikap Rasulullah Saw. ketika
hendak mengafalkan Alquran, beliau sangat tergesa-gesa dan ingin sekali bisa menguasai
Alquran tersebut dalam hatinya. Allah SWT. Berfirman dalam Surat al-Qiyaamah ayat 16-19,
yaitu:

‫( اَل ت ُ اح ِّر ْك ِّب ِّه ِّل ا‬16) ُ‫( ِّإ َّن اعلا ْيناا اج ْم اعهُ اوقُ ْرآ اناه‬17) ُ‫فاإِّذاا قا ارأْنااه‬
‫سان ااك ِّلت ا ْع اج ال ِّب ِّه‬
ُ‫( فاات َّ ِّب ْع قُ ْرآاناه‬18) ُ‫( ث ُ َّم ِّإ َّن اعلا ْيناا بايااناه‬19)
“Jnganlah kamu gerakan lidahmu untuk membaca Alquran hendak cepat-cepat
menguasainya.Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaan itu. Kemudian, atas tanggung kamilah penjelasannya.”
Dan setelah Nabi Muhammad Saw. Mengahafal dan memahami Alquran, barulah
beliau menyampaikan Alquran kepada sahabat-sahabt, dengan membacakanya pelan-pelan
dan penuh perhatian agar mereka bisa mengfalkannya dan mempelajarinya. Semangat mereka
dalam mempelajari, memahami dan menghafal Alquran seperti api yang menyala-nyala,
karena dari mereka sendiri sangat mencinta terhadap Nabi, Allah Swt dan Alquran, maka
dengan landasan bahan bakar kecintaan tersebut, membantu mereka dalam menghafal dan
mempelajari Alquran.
Alquran diturunkan secara berangsur-angsur berupa beberapa ayat dari sebuah atau
berupa sebuah surat yang pendek secara lengkap. Dan penyampaian Alquran secara
keseluruhan memakan waktu kurang lebih 23 tahun, yakni 13 tahun waktu Nabi masih
tinggal di Mekkah sebelum hijriyah dan 10 tahun waktu Nabi sesudah hijrah ke Madinah.

3
Wahyu ilahi yang diturunkan sebelum hijrah tersebut disebut ayat Makiyah
merupakan 19/30 dari Alquran, surat dan ayat-ayatnya pendek-pendek dan gaya bahasanya
singkat padat (ijaz), karena sasaran yang pertama-tama dan utama pada periode Mekkah ini
adalah orang-orang Arab asli (suku Quraisy dan suku-suku Arab lainnya) yang sudah tentu
mereka paham benar akan bahasa Arab. Mengenai isi surat ayat Makkiyah pada pada
umumnya berupa ajakan/seruan untuk bertauhid yang murni atau Ketuhanan Yang Maha Esa
secara murni dan juga pembinaan mental dan akhlak.
Adapun wahyu ilahi yang diturunkan sesudah hijrah disebut surat/ayat Madaniyah dan
merupakan 11/30 dari Alquran. Surat dan ayat-ayatnya panjang-panjang dan gaya bahasaya
panjang lebar dan lebih jelas, karena sasarannya bukan hanya orang-orang Arab asli,
melainkan juga non Arab dari berbagai bangsa yang telah mulai banyak masuk Islam dan
sudah tentu mereka kurang/belum menguasai bahasa Arab. Mengenai isi surat-surat/ayat-ayat
Madaniyah pada umumnya berupa norma-norma hukum untuk pembentukan dan pembinaan
suatu masyarakat/umat Islam dan negara yang adil dan makmur yang diridhai Allah SWT.
Alquran mulai diturunkan kepada Nabi Muhammad pada malam Qadar tanggal 17
Ramadhan pada waktu Nabi telah berusia 41 tahun bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610
M. Wahyu yang pertama-tama diterima oleh Nabi adalah ayat 1-5 surat Al-‘Alaq, pada waktu
Nabi sedang berada di gua Hira, sedang wahyu yang terakhir adalah surat Al-Maidah: 3, pada
waktu Nabi sedang berwukuf di Arafah melakukan Haji Wada’ pada tanggal 9 Djulhijjah
tahun kesepuluh Hijriyah 7 Maret 632 M. Antara wahyu pertama dan wahyu terakhir yang
diterima Nabi berselang kurang lebih 23 tahun.
Pada masa Nabi, setiap wahyu yang turun, satu ayat atau lebih, terlebih dahulu Nabi
Muhammad memahami dan menghafalkannya, kemudian disampaikan dan diajarkan kepada
para sahabatnya pesis seperti apa yang diterimanya, tanpa ada perubahan dan penggantian
sedikitpun. Selanjutnya Rasulullah menganjurkan kepada para sahabat yang telah menerima
ayat-ayat itu untuk menghafalkannya dan meneruskannya pula kepada para pengikutnya.
Selain itu wahyu tersebut ditulis dan dicatat oleh dewan penulis wahyu yang
disebut Khuttab al-Wahy yang telah dibentuk oleh Rasulullah. Mereka ini terdiri dari para
sahabat yang telah dapat menulis dan membaca, baik dari golongan Muhajirin ataupun
Anshar, baik ketika masih berada di Mekkah maupun di Madinah. Para penulis wahyu
tersebut tersebut ialah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin
Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Amer bin Al-‘Ash, Muawiyah bin Abi Sufyan, Yazid bin Abi
Sufyan, Al-Mughirah bin Syu’bah, Zubair bin Al-‘Awwam, Khalid bin Walid, Al-‘Ala Al-
Hadhramiy, Muhammad bin Salamah, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Tsabit bin Qais
4
ibn Syammas. Para penulis wahyu ini menurut orientalis Blacherc dalam kutipannya Masyfuk
Zuhdi berjumlah 40 oarang, demikian pula Maulana Muhammad Ali menurut kutipan Rif’at
Syauqi dan Muhammad Ali Hasan menyebutkan sejumlah itu.
Alat-alat yang mereka gunakan kalau tidak dikatakan primitif masih sangat sederhana.
Para sahabat menulis Alquran pada ‘usub (pelapah kurma), likhaf (batu halus berwarna
putih), riqa’ (kulit), aktaf (tulang unta), dan aqtab(bantalan dari kayu yang biasa dipasang di
atas punggung unta). Salah seorang “jurnalis” wahyu yang mendapat kepercayaan dari
Rasulullah, yaitu Zaid bin Tsabit menuturkan pengalamannya dalam riwayat Al-Bukhari
sebagai berikut: “Dahulu kami di sisi Rasulullah menyusun Alquran dari riqa’. Aku
mengumpulkannya dari riqa’, aktaf (tulang unta) dan hafalan-hafalan orang”.
Untuk menghindari kerancuan akibat bercampuraduknya ayat-ayat Alquran dengan
lainnya, misalnya hadis Rasulullah, maka beliau tidak membenarkan seorang sahabat menulis
apapun selain Alquran. Hal ini bisa dilihat dari hadis riwayat Muslim dari Abi Sa’id Al-
Khudriy yang berbunyi:

‫التكتبوا عني غير القران ومن كتب عني غير القران فليمحه( رواه مسلم‬
Janganlah kalian tulis dariku sesuatu kecuali Alquran. Barangsiapa yang telah menulis dari
(sumberku) selain Alquran supaya menghapusnya.
Larangan Rasulullah untuk tidak menuliskan selain Alquran ini, oleh Dr. Adnan
Muhammad Zarzur dipahami sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjamin
nilai-nilai akurasi Alquran. (Ulumul Qur’an, Madkhul ila Tafsir Alquran wa Bayan
I’jazihi, hal 86). Setiap kali turun ayat Alquran Rasulullah memanggil “jurnalis” wahyu. Hal
ini bisa disimak pada hadis riwayat Imam Ahmad yang dinyatakan shahih oleh Ibn Hibban
dan Al-Hakim, dari Abdullahbin Abbas, dari Utsman bin Affan.
Kepada para penulis wahyu ini Rasul menunjuk letak masing-masing ayat yang akan
mereka tuliskan, yaitu di dalam surat mana, sebelum atau sesudah ayat mana. Hal ini
disebabkan susunan ayat itu tidak kronologis, sebab kebanyakan surat tidaklah diturunkan
sekaligus komplit. Seringkali suatu surat belum selesai diturunkan semua ayat-ayatnya telah
disusuli pula oleh surat-surat lainnya, sehingga apabila turun, Rasulullah lalu menunjukkan
letak ayat itu. Apabila suatu surah telah lengkap diturunkan semua ayat-ayatnya Rasulullah
lalu memberikan nama untuk surat itu, dan untuk memisahkan antara suatu surat dengan surat
sebelumnya atau sesudahnya, Rasulullah menyuruh letakkan lafazhbasmalah pada awal
masing-masing surat itu. Tertib urut ayat-ayat dalam masing-masing surat itu dikokohkan
pula oleh Nabi sendiri dengan bacaan-bacaannya dalam waktu shalat ataupun di luar shalat.

5
Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra, ia berkata:

‫كنا عند رسول هللا نؤلف القران من الرقاع‬


Kami di sisi Rasulullah saw mengumpulkan Alquran dari kulit.
Maksudnya mengumpulkan Alquran dengan mengurutkan ayat-ayatnya, sesuai
dengan petunjuk Rasululllah saw dan perintah (wahyu) dari Allah swt. Oleh sebab itu, para
ulama bersepakat bahwa pengumpulan Alquran adalah bersifat “tauqifi”. Yaitu bahwa
urutannya sedemikian rupa seperti yang kita lihat saat ini, adalah berdasarkan perintah dari
wahyu Allah swt.
Telah diceritakan bahwa Jibril as turun membawa satu atau beberapa ayat kepada
Nabi saw. Ia berkata kepada beliau: “Hai Muhammad! Allah swt memerintahkan kepadamu
supaya kamu meletakkan ayat ini pada permulaan ini dari sudut ini.” Demikian pula
Rasulullah saw berkata kepada para sahabat: “Letakkan ayat itu pada tempat ini.”
Untuk memperhebat dan memperlancar penulisan Alquran Rasulullah menggerakkan kaum
muslimin untuk memberantas buta huruf. Berbagai cara dan usaha telah dilakukan Rasulullah
dalam hal ini, antara lain sebagai berikut:
1. Memberikan penghormatan dan penghargaan yang tinggi kepada orang-orang yang telah
pandai menulis dan membaca.
Rasulullah saw bersabda:

‫يوزن يوم القيامة مداد العلماء بدم الشهداء‬


Pada hari kiamat tinta para ulama ditimbang dengan darah para syuhada.
Berdasarkan hadis ini berarti orang-orang yang pandai tulis baca ditempatkan sederajat
dengan para pahlawan yang mati syahid di medan pertempuran.
2. Rasulullah menggunakan tenaga para tawanan perang dalam usaha pemberantasan buta
huruf.
3. Setiap kali ayat-ayat turun, Rasulullah menyampaikannya kepada para sahabat dan
menyuruh mereka menghafalkannya.
Mengenai penulisan Alquran di masa Rasulullah, dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Tadwin Alquran, telah terjadi pada masa Rasulullah, yaitu bahwa semua Alquran itu telah
dituliskan dan telah tersusun berdasarkan petunjuk Rasul, walaupun sutat-suratnya belum
tersusun seperti apa yang dilihat sekarang ini dan tulisan-tulisannya belum terhimpun
dalam satu kesatuan yang terdiri dari benda-benda yang seragam, baik bahannya maupun
ukurannya. Al-Suyuti mengatakan:
6
‫وقد كان القران كتب كله في عهد رسول هللا صلي هللا عليه وسلم لكن غير مجموع في‬
‫موضع واحد وال مرتب السور‬
Alquran betul-betul talah ditulis seluruhnya (dengan lengkap) pada masa Rasulullah
saw, hanya saja belum terhimpun dalam satu bahan yang seragam dan surat-suratnya
pun belum tersusun urut (seperti yang dapat dilihat sekarang ini).
2. Kegiatan-kegiatan dalam mentadwinkan Alquran di masa Rasulullah itu menurut yang
diterangkan oleh riwayat-riwayat adalah terjadi dalam periode yang kedua, yaitu
periode Madaniy, sedang dalam periode pertama belumlah begitu tampak, walaupun telah
ada juga lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Alquran itu.
Jadi setiap kali menerima wahyu Alquran, kata Ibnu Katsir ketika menjelaskan
pengertian ayat 16-20 surah Al-Qiyamah, ada tiga tahap penting yang dilalui Rasulullah,
yaitu:
Pertama, tahap penghimpunan Alquran dibentuk Rasulullah yakni penghafalan.
Kedua, tahap pembacaan ayat-ayat Alquran. Artinya Jibril membacakan ayat-ayat yang baru
saja ia sampaikan di hadapan Raulullah.
Ketiga, tahap penjelasan atau tahap bayan. Pada tahap yang terakhir ini Rasulullah
diberitahukan pengertian atau maksud ayat yang beliau terima.
Suhuf Alquran yang disimpan di rumah Nabi dan diperkuat dengan nasakh-nasakh
Qur’an yang dibuat oleh para penulis wahyu untuk pribadi masing-masing serta ditunjang
oleh hafalan para sahabat yang hafidz Alquran yang tidak sedikit jumlahnya, maka semuanya
itu dapat menjamin Alquran tetap terpelihara secara lengkap dan murni, sesuai dengan janji
Allah swt dalam surat Al-Hijr: 9, yang artinya: “Sesungguhnya Aku telah menurunkan
peringatan (Alquran) dan sesungguhnya Aku telah memeliharanya/mengamankannya”.

D. Kodifikasi Alquran Zaman Khalifah Abu Bakar Al-Siddiq


Alquran telah selesai diturunkan semuanya pada tanggal 19 Dzulhijjah tahun ke-10 H,
yaitu dengan turunnya ayat yang terakhir di Arafah ketika Rasulullah mengerjakan Haji
Wada’, kira-kira 81 malam sebelum wafatnya.
Setelah Rasul wafat, timbullah kekacauan di Jazirah Arab, karena beberapa orang dari
pemimpin qibalah mengadakan pemberontakan. Mereka berusaha mempengaruhi rakyat
supaya turut pula dalam pemberontakan itu. Tujuannya pemberontakan ini bermacam-
macam, antara lain:
1. Karena ingin membebaskan diri mereka dari tuntutan-tuntutan agama Islam.

7
2. Di antara mereka ada yang ingin mendapatkan kekuasaan dan pengaruh. Mereka ini
adalah Musailamah Al-Kadzdzab dari suku Bani Hanifah di Yamamah, Sajah dari suku
Bani Taghlab dan Tamim, Thulaihah ibn Khuwailid dari suku Bani As’ad, dan Al-Aswad
Al-Anasi di Yamah.
3. Orang-orang yang hanya ke luar dari agama Islam tapi tidak mengadakan tindakan-
tindakan lain yang bersifat memusuhi Islam dan kaum Muslimin.
Untuk memadamkan pemberontakan ini, maka khalifah Abu Bakar yang baru saja
terpilih sesudah wafat Rasulullah, membentuk 11 pasukan tentara yang masing-masing
dipimpin oleh seorang amir (panglima), antara lain Khalid ibn Walid. Tapi walaupun
demikian tidaklah sedikit korban yang jatuh. 360 orang dari golongan Anshar dan 300 orang
dari golongan Muhajirin, termasuk di dalamnya 70 para qurra.
Pertempuran di Yamamah ini mencemaskan pemimpin Islam di Madinah, terutama
Umar ibn Khattab. Ia khawatir kalau-kalau pertempuran semacam itu terjadi lagi ditempat
lain yang mengakibatkan pula gugurnya para qurra. Hal ini akan mengakibatkan habisnya
secara berangsur-angsur orang yang hafal Qur’an. Kalau ini benar-benar terjadi demikian,
niscaya Alquran tidak akan lagi terpelihara dengan semestinya. Ini disebabkan karena yang
menjadi faktor pertama di masa itu dalam memelihara Alquran ialah hafalan mereka. Umar
lalu mengusulkan kepada Abu Bakar supaya mengeluarkan perintah untuk mengumpulkan
Alquran itu. Pada mulanya terjadi perbedaan pendapat, Umar di satu pihak dan Abu Bakar
dan Zaid di pihak lain. Akhirnya setelah diadakan musyawarah dan menugaskan kepada Zaid
untuk melaksanakan pengumpulan Alquran itu. Tugas ini dilaksanakan oleh Zaid dengan
sangat teliti.
Zaid sangat hati-hati dalam menjalankan tugas ini, sekalipun ia seorang penulis
wahyu yang utama dan hafal Alquran. Ia dalam menjalankan tugasnya berpegangan dengan
dua hal, yaitu:
1. Ayat-ayat Alquran yang ditulis di hadapan Nabi dan disimpan di rumah Nabi.
2. Ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat yang hafidz Alquran.
Zaid tidak mau menerima tulisan ayat-ayat Alquran, kecuali kalau disaksikan dengan
dua orang saksi yang adil bahwa ayat itu benar-benar ditulis di hadapan Nabi atas
perintah/petunjuknya.
Tugas menghimpun Alquran itu dapat dilaksanakan oleh Zaid dalam waktu kurang
lebih 1 tahun, yakni antara sesudah terjadi perang Yamamah dan sebelum wafatnya Abu
Bakar.

8
Alquran itu bukan saja dari tulisan-tulisan yang telah ada pada lembaran-lembaran
yang telah disebutkan di atas, bahkan juga didengarkan pula dari mulut orang-orang yang
hafal Alquran, kemudian dituliskan kembali pada lembaran-lembaran yang baru, dengan
susunan ayat-ayatnya tetapi seperti yang ditunjukkan Rasulullah. Lembaran-lembaran ini
kemudian diikat menjadi satu, lalu diberi nama Mushhaf, dan disimpan sendiri oleh khalifah
Abu Bakar, kemudian oleh khalifah Umar.
Maka faedah yang nyata dalam pengumpulan Alquran di masa Abu Bakar ini ialah
bahwa Alquran itu terkumpul di dalam satu mushhaf yang terbuat dari lembaran-lembaran
yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya, dan ayat-ayatnya tetap tersusun sesuai
yang telah ditunjukkan Rasulullah. Adanya mushhasf ini telah dapat menentramkan hati
kaum muslimin, bahwa Alquran itu akan lebih terpelihara, dapat dihindarkan dari bahaya
penambahan, pengurangan atau pemalsuan atau kehilangan sebagian ayat-ayatnya. Mushhaf
ini disimpan oleh khalifah Abu Bakar sendiri.
Lembaran-lembaran AlQur’an yang dikumpulakn menjadi satu mushhaf pada zaman
Abu Bakar mempunyai beberapa segi kelebihan yang amat penting:
1. Penelitian yang sangat berhati-hati, detail, cermat dan sempurna.
2. Yang ditulis pada mushhaf hanya ayat yang sudah jelas tidak di nasakhbacaannya.
3. Telah menjadi ilma’ umat secara mutawatir bahwa yang tercatat itu adalah ayat-ayat
Alquran.
4. Mushhaf itu memiliki Qira-ah Sab’ah yang dinuqil secara shahih.
Tidak syak, ketiga tokohyang disebut di atas berperan penting dalam pengumpulan
Alquran. Umar yang terkenal dengan terobosan-terobosan jitunya menjadi pencetus ide. Ini
tentu punya arti tersendiri. Dan Zaid sudah barang tentu mendapat kehormatan besar, karena
ia dipercaya menghimpun Kitab Suci Alquran yang memerlukan kejujuran, kecermatan dan
ketelitian juga kerja keras. Tak bisa disangkal dalam hal ini khalifah Abu Bakar
sebagaidecision maker menduduki posisi tersendiri. Tak berlebihan bial Ali bin Abi Thalib
memujinya dengan mengatakan: ”Orang yang paling besar pahalanya di dalam masalah
mushhaf adalah Abu Bakar. Dialah orang yang pertama yang (mengambil keputusan)
mengumpulkan kitab Allah”.

E. Kodifikasi Alquran Zaman Khalifah Usman bin Affan


Latar belakang pengumpulan Alquran pada masa Usman tidak sebagaimana mestinya,
sebab yang melatarbelakangi pengumpulan Alquran pada masa Abu Bakar. Pada masa
Usman ini Islam telah tersebar luas. Kaum muslimin hidup berpencar diberbagai penjuru kota
9
maupun pelosok. Di setiap kampung terkenal qira’ah sahabat yang mengajarkan Alquran
kepada penduduk kampung itu. Penduduk Syam memakai qira’ah Ubai bin Kaab.
Penduduk Kufah memakai qira’ah Abdullah bin Mas’ud, yang lainnya lagi memakai
qira’ah Abu Musa Al-Asy’ari. Maka tidak diragukan lagi timbul perbedaan bentuk qira’ah
dikalangan mereka, sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara
mereka sendiri. Bahkan terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain,
disebabkan perbedaan qira’ah tersebut. Perbedaan tersebut ialah:
1. Perbedaan mengenai susunan surat. Naskah-naskah yang mereka miliki itu tidak sama
susunan atau tertib urut surat-suratnya. Hal ini disebabkan karena Rasulullah sendiri
memang tidak memerintahkan supaya surat-surat Alquran itu disusun menurut tertib umat
tertentu, karena masing-masing surat itu pada hakikatnya adalah berdiri sendiri, seingga
seolah-olah Alquran itu terdiri dari 114 kitab. Rasulullah hanya menetapkan tertib urut
ayat dalam masing-masing surat itu.
2. Perbedaan mengenai bacaan. Asal mula pertikaian bacaan ini adalah karena Rasulullah
sendiri memang memberikan kelonggaran kepada qabilah-qabilah Islam di Jazirah Arab
untuk membaca dan melafadzkan ayat-ayat Alquran itu menurut dealek mereka masing-
masing. Kelonggaran ini diberikan oleh Rasulullah agar mudah bagi mereka untuk
membaca dan menghafalkan Alquran itu, tetapi kemudian kelihatanlah tanda-tanda bahwa
pertikaian tentang qiraat itu, kalau dibiarkan berlangsung terus, tentu akan mendatangkan
perpecahan yang lebih luas dikalangan kaum kuslimin, terutama karena masing-masing
qabilah menganggap bahwa bacaan merekalah yang paling baik dan ejaan merekalah
yang paling betul. Lebih berbahaya lagi apabila mereka menuliskan ayat-ayat itu dengan
ejaan yang sesuai dengan dealek mereka masing-masing.[19]
Orang yang mula-mula mensinyalir dan menumpahkan perhatian kepada keadaan ini
ialah seorang sahabat bernama Hudzaifah Al-Yamani. Ia ikut dalam pertempuran, ketika
kaum muslimin menaklukkan Armenia dan Azarbaijan. Di dalam perjalanan ia pernah
mendengar perbedaan qiraat kaum muslimin, bahkan ia pernah menyaksikan dua orang
muslim sedang bertengkar mengenai bacaan tersebut, di mana yang seorang berkata kepada

yang lain:‫قراءتك‬ ‫ ”قراءتي أحسن من‬Bacaanku lebih baik dari pada bacaanmu”. Hudzaifah
merasa khawatir melihat kenyataan ini, sebab itu ketika ia kembali ke Madinah, ia
menghadap khalifah Usman dan melaporkan apa-apa yang telah dilihat dan didengarnya.
Mengenai perbedaan qiraat itu Hudzaifah berkata (Al-Suyuti, I, 1979:61):

‫أدرك اآل مة قبل أن يختلفوا إختالف اليهود و النصاري‬


10
Tertibkanlah umat, sebelum mereka berselisih seperti perselisihannya orang-orang Yahudi
dan Nasrani.
Usul Hudzaifah ini diterima khalifah Usman. Itulah sebabnya, Usman kemudian
berpikir dan merencanakan untuk membendung sebelum kegilaan itu meluas. Beliau akan
mengusir penyakit sebelum kesulitan mencari obat. Kemudian beliau mengumpulkan para
sahabat yang alim dan jenius serta mereka yang terkenal pandai memadamkan dan
meredakan fitnah dan persengketaan itu.
Usman ra telah melaksanakan ketetapan yang bijaksana ini. Beliau memilih empat
orang tokoh handal dari sahabat pilihan. Mereka adalah Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair,
Sa’ad bin ‘Ash dan Abdurrahman bin Hisyam. Mereka dari suku Quraisy golongan
Muhajirin, kecuali Zaid, ia dari golongan Anshar. Usaha yang amat mulia ini berlangsung
pada tahun 24 H.
Tugas panitia ini ialah membukukan Alquran, yaitu menuliskan atau menyalin
kembali ayat-ayat Alquran itu dari lembaran-lembaran yang telah ditulis pada masa Abu
Bakar, sehingga menjadi mushhaf yang lebih sempurna yang akan dijadikan standar bagi
seluruh kaum muslimin sebagai sumber bacaan dan hafalan mereka.
Kepada panitia ini khalifah Usman memberikan patokan-patokan sebagai berikut:
1. Supaya panita itu berpedoman kepada bacaan orang-orang yang hafal Alquran, di
samping tulisan-tulisan yang ada pada mushhaf Abu Bakar.
2. Jika terjadi pertikaian, antara panitia itu sendiri tentang bacaan Alquran, maka panitia
hendaklah menuliskannya menurut dealek suku Quraisy, karena Alquran itu diturunkan
menurut dealek mereka.
Setelah panitia itu selesai mengerjakan tugasnya, maka naskah yang dipinjam dari
Hafsah dikembalikan kepadanya. Kemudian Usman memerintahkan untuk mengumpulkan
dan membakar semua lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Alquran, selain dari
lembaran-lembaran yang ada pada mushhaf, dan naskah-naskah yang baru ditulis oleh
panitia. Panitia tersebut menulis sebanyak 5 buah mushhaf. 4 buah di antaranya dikirimkan
ke daerah-daerah, yaitu Mekkah, Syiria, Basrah, Kufah, dan yang satu lagi tetap di Madinah
untuk khalifah Usman. Inilah yang dinamakan mushhaf Usman atau mushhaf Al-Imam.
Kini tinggal satu lagi usaha, yaitu membakar mushhaf lainnya. Ia khawatir, kalau-
kalau mushhaf yang bukan salinan “Panitia Empat” itu tetap beredar. Padahal pada mushhaf-
mushaf yang peredarannya dikhawatirkan itu terdapat kalimat yang bukan Alquran. Karena
merupakan catatan khusus sahabat-sahabat tertentu. Di situ terdapat juga beberapa kalimat
yang merupakan tafsiran dan bukan Kalam Allah.
11
Usman memutuskan agar mushhaf-mushhaf yang beredar adalah mushhaf yang
memenuhi persyaratan berikut:
1. Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.
2. Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca
kembali di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.
3. Kronologi surah dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushhaf Abu
Bakar yang susunan surahnya berbeda dengan mushhaf Usman.
4. Sistem penulisan yang digunakan mushhaf mampu mencakupi qiraat yang berbeda sesuai
dengan lafadz-lafadz Alquran ketika turun.
5. Semua yang bukan termasuk Alquran dihilangkan. Misalnya yang ditulis dimushhaf
sebagian sahabat, di mana mereka juga menulis makna ayat di dalam mushhaf, atau
penjelasan Nasikh-Mansukh.
Adapun manfaat dari usaha penulisan kembali Alquran di masa khalifah Usman ini, di
antaranya:
1. Kaum muslimin telah dapat disatukan dalam mushhaf-mushhaf yang seragam ejaan
tulisannya.
2. Mereka juga dapat disatukan pada qiraat yang sama yang tidak menyalahi ejaan tulisan
pada mushhaf itu, walaupun setelah wafatnya khalifah Usman sampai sekarang ini masih
tetap ada bermacam-macam qiraat, namun qiraat-qiraat itu adalah yang telah diakui
kebenarannya dan diriwayatkan dengan mutawatir dari Rasulullah, dan tidak pula
berlawanan dengan ejaan tulisan pada mushhaf Usman itu. Adapun qiraat-qiraat yang
tidak sesuai dengan ejaan tulisan itu telah dapat dilenyapkan.
3. Kaum muslimin dapat pula disatukan mengenai susunan surat pada mushhaf-mushhaf
mereka. Dengan demikian dapatlah dihindarkan bahaya yang lebih besar, sebab kalau
susunan mushhaf itu tidak seragam di mana-mana tentulah akan timbul keragu-raguan
pada generasi yang akan datang kemudian tentang kebenaran Alquran itu.
4. Dengan adanya 5 buah nushhaf yang resmi itu, maka kaum muslimin telah mempunyai
standar yang akan menjadi pedoman mereka dalam membaca, menghafal dan
memperbanyak mushhaf-mushhaf Alquran itu, sehingga penyiaran dan pemeliharaan Al-
Quran itu lebih baik dan lebih terjamin keasliannya.
Sampai sekarang, setidaknya masih ada empat mushaf yang disinyalir adalah
salinan mushaf hasil panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit pada masa khalifah
Usman bin Affan. Mushaf pertama ditemukan di kota Tasyqand yang tertulis dengan

12
Khat Kufy. Dulu sempat dirampas oleh kekaisaran Rusia pada tahun 1917 M dan disimpan
di perpustakaan Pitsgard (sekarang St.PitersBurg) dan Umat Islam dilarang untuk melihatnya.
Pada tahun yang sama setelah kemenangan komunis di Rusia, Lenin memerintahkan
untuk memindahkan Mushaf tersebut ke kota Opa sampai tahun 1923 M. Tapi setelah
terbentuk Organisasi Islam di Tasyqand para anggotanya meminta kepada parlemen Rusia
agar Mushaf dikembalikan lagi ketempat asalnya yaitu di Tasyqand (Uzbekistan, negara di
bagian asia tengah).
Mushaf kedua terdapat di Museum al Husainy di kota Kairo mesir dan Mushaf ketiga
dan keempat terdapat di kota Istambul Turki. Umat islam tetap mempertahankan keberadaan
mushaf yang asli apa adanya. Sampai suatu saat ketika umat islam sudah terdapat hampir di
semua belahan dunia yang terdiri dari berbagai bangsa, suku, bahasa yang berbeda-beda
sehingga memberikan inspirasi kepada salah seorang sahabat Ali bin Abi Thalib yang
menjadi khalifah pada waktu itu yang bernama Abul-Aswad as-Dualy untuk membuat tanda
baca (Nuqathu I’rab) yang berupa tanda titik.
Atas persetujuan dari khalifah, akhirnya ia membuat tanda baca tersebut dan
membubuhkannya pada mushaf. Adapun yang mendorong Abul-Aswad ad-Dualy membuat
tanda titik adalah riwayat dari Ali r.a bahwa suatu ketika Abul-Aswad adDualy menjumpai
seseorang yang bukan orang arab dan baru masuk Islam membaca kasrah pada kata
‘Warasuulihi’ yang seharusnya dibaca ‘Warasuuluhu’ yang terdapat pada QS. At-Taubah (9)
3 sehingga bisa merusak makna.
Abul-Aswad ad-Dualy menggunakan titik bundar penuh yang berwarna merah untuk
menandai Fathah, Kasrah, Dhammah, Tanwin dan menggunakan warna hijau untuk menandai
Hamzah. Jika suatu kata yang ditanwin bersambung dengan kata berikutnya yang berawalan
huruf Halq (idzhar) maka ia membubuhkan tanda titik dua horizontal seperti ‘adzabun alim’
dan membubuhkan tanda titik dua Vertikal untuk menandai Idgham seperti ‘ghafurrur rahim’.
Adapun yang pertama kali membuat Tanda Titik untuk membedakan huruf-huruf
yang sama karakternya (nuqathu hart) adalah Nasr bin Ashim (W. 89 H) atas
permintaan Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqafy, salah seorang gubernur pada masa Dinasti
Daulah Umayyah (40-9 5 H). Sedangkan yang pertama kali menggunakan tanda Fathah, Kas
rah, Dhammah, Sukun, dan Tasydid seperti yang-kita kenal sekarang adalah Al-Khalil bin
Ahmadal-Farahidy(W.170H) pada abad ke II H. Kemudian pada masa Khalifah Al-
Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk
membaca dan menghafal Alquran khususnya bagi orang selain Arab dengan
menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa Isymam, Rum, dan Mad.
13
Sebagaimana mereka juga membuat tanda Lingkaran Bulat sebagai pemisah ayat
dan mencamtumkan nomor ayat, tanda-tanda waqaf (berhenti membaca), ibtida (memulai
membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri dari nama, tempat
turun, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain.
Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Alquran adalah Tajzi’ yaitu tanda
pemisah antara satu Juz dengan yang lainnya berupa kata Juz dan diikuti dengan
penomorannya (misalnya, al-Juz-utsalisu: untuk juz 3) dan tanda untuk menunjukkan isi
yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh,setengah juz dan juz itu sendiri.
Sebelum ditemukan mesin cetak, Alquran disalin dan diperbanyak dari Mushaf
Utsmani dengan cara tulisan tangan. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke16 M. Ketika
Eropa menemukan mesin cetak yang dapat digerakkan (dipisah-pisahkan) dicetaklah Alquran
untuk pertama kali di Hamburg,Jerman pada tahun 1694M.
Naskah tersebut sepenuhnya dilengkapi dengan tanda baca. Adanya mesin cetak
ini semakin mempermudah umat Islam memperbanya mushaf Alquran. Mushaf Alquran
yang pertama kali dicetak oleh kalangan umat islam sendiri adalah mushaf edisi Malay
Utsman yang dicetak pada tahun 1787 dan diterbitkan di St. Pitersburg Rusia.
Kemudian diikuti oleh percetakan lainnya, seperti di Kazan pada tahun 1828, Persia
Iran tahun 1838 dan Istambul tahun 1877. Pada tahun 1858, seorang Orientalis Jerman,
Fluegel,menerbitkan Alquran yang dilengkapi dengan pedoman yang amat bermanfaat.
Sayangnya, terbitan Alquran yang dikenal dengan edisi Fluegel ini ternyata mengandung
cacat yang fatal karena sistem penomoran ayat tidak sesuai dengan sistem yang digunakan
dalam mushaf standar. Mulai Abad ke-20, pencetakan Alquran dilakukan umat Islam sendiri.
Pencetakannya mendapat pengawasan ketat dari para Ulama untuk menghindari timbulnya
kesalahan cetak.
Cetakan Alquran yang banyak dipergunakan di dunia islam dewasa ini adalah
cetakan Mesir yang juga dikenal dengan edisi Raja Fuad karena dialah yang
memprakarsainya. Edisi ini ditulis berdasarkan Qira’at Ashim riwayat Hafs dan pertama kali
diterbitkan di Kairo pada tahun 1344 H/1925 M. Selanjutnya, pada tahun 1947 M untuk
pertama kalinya Alquran dicetak dengan tekhnik cetak offset yang canggih dan dengan
memakai huruf-huruf yang indah. Pencetakan ini dilakukan di Turki atas prakarsa seorang
ahli kaligrafi turki yang terkemuka Said Nursi.

14
F. Persamaan dan Perbedaan Proses Kodifikasi
Pengumpulan Alquran oleh Abu Bakar berbeda dengan yang dilakukan oleh Usman.
Dari uraian di atas kita dapat membedakan yang dilakukan oleh kedua khalifah itu.
Pengumpulan Alquran pada masa Abu Bakar adalah memindahkan ayat-ayat Alquran dari
pelapah kurma, kulit, dan daun ke dalam satu mushhaf. Sementara sebab pengumpulannya
adalah karena gugurnya para huffadzh.Sedang pengumpulan Alquran pada masa Usman
adalah sekedar memperbanyak salinan mushhaf yang telah dikumpulkan pada masa Abu
Bakar untuk dikirimkan ke berbagai wilayah Islam. Adapun sebab pengumpulan Alquran
adalah terjadinya perbedaan qiraah dalam membaca Alquran. Wallahu A’lam Bishshawab.

15
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat kita ambil dari penjelasan di atas yaitu:
1. Pengumpulan Alquran pada masa Rasulullah, yaitu bahwa semua Alquran itu telah
dituliskan dan telah tersusun berdasarkan petunjuk Rasul, walaupun sutat-suratnya
belum tersusun seperti apa yang dilihat sekarang ini dan tulisan-tulisannya belum
terhimpun dalam satu kesatuan yang terdiri dari benda-benda yang seragam, baik
bahannya maupun ukurannya.
2. Pengumpulan Alquran di masa Abu Bakar ini ialah bahwa Alquran itu terkumpul di
dalam satu mushhaf yang terbuat dari lembaran-lembaran yang seragam, baik
bahannya maupun ukurannya, dan ayat-ayatnya tetap tersusun sesuai yang telah
ditunjukkan Rasulullah.
3. Pengumpulan Alquran pada masa Usman bin Affan adalah menyeragamkan bacaan
Alquran dengan jalan menyeragamkan penulisannya kemudian membukukannya
dengan menyalinkan kembali ayat-ayat Alquran yang sudah ditulis pada masa Abu
Bakar, sehingga menjadi mushhaf yang lebih sempurna yang akan dijadikan standar
bagi seluruh kaum muslimin sebagai sumber bacaan dan hafalan lalu diperbanyak dan
dikirimkan ke daerah-daerah.

16
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama: 1971, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: PT. Bumi Restu.
Drajat, Amroeni. 2017. Ulumul Quran Pengantar Ilmu-ilmu Alquran. Depok : Penerbit
Kecana
Baidan, Nashruddin: 2003, Perkembangan Tafsir Alquran di Indonesia, Solo: Tiga
Serangkai.
Ichwan, Muhammad Nor: 2001, Memasuki Dunia Alquran. Semarang: Lubuk Raya.
Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus: 1989, Alquran, Sumber Hukum Islam yang Pertama,
Bandung: Penerbit Pustaka.
http://rumahbuku.weebly.com/bangku-ii/sejarah-kodifikasi-Alquran diakses pada 30
September 2017

http://www.diruangguru.com/2015/06/makalah-kodifikasi-al-quran.html diakses pada 30


September 2017
Qardawi, Yusuf: 2003, Bagaimana Berinteraksi dengan Alquran. terjemahan: Kathur
Suhardi), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

17

Anda mungkin juga menyukai