FILSAFAT ISLAM:
UNSUR-UNSUR HELLENISME DIDALAMNYA
Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Studi Kritik Pemikiran Islam Modern
Program Non Reguler Doktor Pascasaarjana UIN Alauddin Makassar
Tahun Akademik 2018/2019
Oleh :
Muhammad Nur
NIM : 80100318045
Dosen Pemandu :
1. Prof. Dr. H. Nihaya, M.Ag
2. Prof. Dr. Muh. Saleh Tajuddin, MA
PROGRAM PASCASARJANA S3
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
1 R.T. Wallis, Neo Platonism (London: Gerlad Duckworth & Company Limited, 1972),
h. 164
2
C A. Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World (London: Croom Helm, 1988).
h. 28
3
yang ada sekitar falsafah: sampai di mana agama Islam mengizinkan adanya
masukan dari luar, khususnya jika datang dari kalangan yang tidak saja bukan "ahl
al-kitab" seperti Yahudi dan Kristen, tetapi malahan dari orang-orang Yunani kuna
yang "pagan" atau musyrik (penyembah binatang). Sesungguhnya beberapa ulama
ortodoks, seperti Ibn Taymiyyah dan Jalal al-Din al-Suyuthi (salah seorang
pengarang tafsir Jalalayn), menunjuk kemusyrikan orang-orang Yunani itu sebagai
salah satu alasan keberatan mereka terhadap falsafah. Tetapi sebelum membahas
lebih jauh segi-segi polemis ini, lebih dahulu dibahas pertumbuhan falsafah dalam
sejarah pemikiran Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian filsafat Islam.
2. Bagaimana sejarah lahirnya filsafat Islam dan siapa tokoh-tokohnya.
3. Bagaimana hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani.
4. Bagaimana unsur-unsur helenisme dalam filsafat Islam.
4
BAB II
PEMBAHASAN
4
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 18
6
pertengahan adalah Filsafat Islam. Filsafat Islam klasik mulai berkembang pada
masa Al-Kindi.5
Al-Kindi merupakan seorang Aristotelian, ia mengartikan filsafat sebagai
pola pikir manusia untuk lebih mengetahui dirinya, dari pengertian tersebut al-kindi
berusaha lebih “mengetahui dirinya sendiri” yang kemudian ia jadikan sebagai cara
atau alat untuk lebih mengetahui hal-hal yang sifatnya lebih besar. Filsafat al-Kindi
juga mengarah kepada al-Ilmu al-Insani wa Ilum al-Ilahi.
Tokoh filosof Islam yang terkenal di dunia sangatlah banyak, namun
beberapa tokoh yang sudah banyak dikenal antara lain :
1. AL-KINDI
Falsafat baginya adalah pengetahuan tentang yang benar. Tuhan dalam
falsafatnya tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah maupun hamiyah. Tidak
aniyah karena Tuhan tidak masuk dalam benda-benda yang ada dalam alam. Tidak
hamiyah karena Tuhan tidak merupakan genus atau species. Sesuai paham dalam
Islam, Tuhan bagi Al-Kindi adalah pencipta dan bukan penggerak pertama
sebagaimana pendapat Aristoteles.6
2. AL-RAZI
Seorang rasionalis yang hanya percaya pada kekuatan akal dan tidak
percaya pada wahyu dan perlunya Nabi-nabi. Ia berkeyakinan bahwa akal manusia
kuat untuk mengetahui yang baik dan yang buruk, untuk tahu pada Tuhan dan
mengatur hidup manusia di dunia ini.7
3. AL-FARABI
Berkeyakinan bahwa falsafat tak boleh dibocorkan dan sampai ke tangan
orang awam. Oleh karena itu, para filosof harus menuliskan pendapat-pendapat
6
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 15
7
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 17
7
dalam gaya bahasa yang gelap agar jangan diketahui oleh sembarang orang. Ia
mengatakan bahwa agama dan falsafat tidak bertentangan, keduanya sama-sama
membawa kepada kebenaran.8
4. IBN THUFAIL
Menurutnya, filsafat dan agama adalah selaras, bahkan merupakan
gambaran dari hakikat yang satu. Yang dimaksudkan agama di sini adalah batin dan
syari’at. Dia juga menyadari adanya perbedaan tingkat akal antara sesama manusia.
5. IBN RUSYD
Sebagai filsuf besar, juga memikirkan, membahas dan memecahkan
masalah-masalah yang pernah dipikirkan oleh filsuf-filsuf sebelumnya. Ia tidak
menerima begitu saja pikiran-pikiran mereka, tetapi mereka menerima yang setuju
dan menolak yang sebaliknya.
6. NASHIRUDDIN THUSI
Filsafat pertama meliputi alam semesta dan hal-hal yang berhubungan
dengan alam semesta. Termasuk dalam hal ini pengetahuan tentang ketunggalan
dan kemajemukan, kepastian dan kemungkinan, esensi dan eksistensi, kekekalan
dan ketidakkekalan. Bagi dia Tuhan tidak perlu dibuktikan secara logis. Eksistensi
Tuhan harus diterima dan dianggap sebagai postulat, bukannya dibuktikan.
Mustahil bagi manusia yang terbatas untuk memahami Tuhan di dalam
keseluruhan-Nya, termasuk membuktikan eksistensi-Nya.9
7. SUHRAWARDI AL-MAQTUL
Menggunakan istilah atau lambang yang berbeda dari biasanya dipahami
orang banyak. Seperti barzah, tidak berkaitan dengan persoalan kematian. Namun
istilah tersebut adalah ungkapan pemisah antara dunia cahaya dengan dunia
kegelapan. Timur dan Barat tidak berhubungan dengan letak geografisnya, tetapi
berlandaskan pada penglihatan horizontal yang memanjang dari Timur ke Barat.
8
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 26
9
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 35
8
Jadi, makna Timur diartikan sebagai Dunia Cahaya atau Dunia Malaikat yang bebas
dari kegelapan dan materi, sedangkan Barat adalah Dunia Kegelapan dan Materi.
Barat Tengah adalah langit-langit yang menampakkan pembauran antara cahaya
dengan sedikit kegelapan. Timur yang sebaliknya adalah apa yang berada dibalik
langit yang kelihatan, dan apa yang di atasnya, maka batas antara Timur dan Barat
bukanlah falak bulan seperti dalam filsafat Aristotelian, tetapi ia adalah langit
bintang-bintang tetap, atau penggerak yang tidak bergerak.10
8. MULLA SHADRA
Menurutnya, filsafat dibedakan menjadi dua pembagian utama yaitu :
a) Bersifat teoritis, yang mengacu kepada pengetahuan tentang segala sesuatu
sebagaimana adanya. Perwujudannya tercermin dalam dunia akal, termasuk
jiwa didalamnya sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Farabi dan Ibn
Sina.
b) Bersifat praktis, yang mengacu pada pencapaian kesempurnaan-
kesempurnaan yang cocok bagi jiwa. Perwujudannya adalah mendekatkan
diri kepada Tuhan. Ia juga meyakini adanya titik temu antara filsafat dan
agama sebagai kesatuan kebenaran yang dapat dibuktikan melalui mata
rantai historis yang berkesinambungan dari Adam sampai Ibrahim, orang-
orang Yunani, para sufi Islam dan para filsuf.11
10
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 146
11
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 174
9
wahyu sehingga wahyu dapat dibatalkan oleh akal? Dalam pemikira Islam, baik
dalam filsafat atau ilmu kalam, apalagi dalam bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah
membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada teks wahyu. Teks wahyu tetap
dianggap mutlak benar. Akal dipakai hanya untuk memahami teks wahyu dan
sekali-kali tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi
terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan member
interpretasi.
Menurut Harun Nasution, yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran
Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, baik oleh kaum Mutazilah maupun oleh
kaum filsuf Islam. Yang dipertentangkan hanyalah penafsiran dari teks wahyu
dengan penafsiran lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya
dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain
tentang penafisran wahyu. Dengan kata ijtihad ulama yang satu dengan yang lain.
Dalam ajaran islam, pemakaian akal memang tidak diberi kebebasan mutlak
sehingga pemikir islam dapat melanggar garis-garis yang telah ditentukan oleh
Quran dan hadits, tetapi tidak pula diikat dengat ketat. Perlu ditegaskan di sini
bahwa pemakaian akal yang diperintahkan Al-Quran, seperti yang terdapat dalam
ayat-ayat kauniyah, mendorong manusia untuk meneliti alam-alam sekitarnya, dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Penggunaan akal yang maksimal dalam rangka
memahami hakikat wujud atas sesuatu itulah sesungguhnya dunia filsafat. Namun
demikian, peranan akal yang maksimal dalam pembahasan masalah-masalah
keagamaan islam itu dijumpai bukan hanya dalam filsafat, tetapi juga dalam bidang
teologi, dan bahkan dalam fiqih dan tafsir Al-Quran sendiri. Hanya saja perbedaan
jika dalam bidang fiqih dan teologi, akal banyak dipakai dalam memahami teks-
teks keagamaan dalam Al-Quran dan hadits, sedangkan dalam filsafat islam,
sebagai bentuk pemikiran yang sedalam-dalamnya, tentang wujud akal yang
banyak dipakai dan berguna pemakaiannya dalam ilmu fiqih dan teologi.12
Ringkasnya, dapat dikatakan bahwa hubungan filsafat Islam dengan filsafat
Yunani, secara doctrinal memiliki hubungan bahwa islam memiliki ajaran untuk
12
Dedi Suriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2009), h. 34.
10
mencari pengetahuan dan alatnya adalah akal untuk menggali pemikiran yang
benar. Begitu pula, dalam filsafat yunani akal menjadi pusat pemikiran yang begitu
bebas, sementara dalam filsafat islam diberikan kelonggaran, meskipun terdapat
keketatan dalam penggunan rasio.13
Suatu kebenaran yang tidak dapat ditolak adalah pengaruh peradaban
Yunani, Persia, dan India. Diantara ilmu-ilmu India yang besar pengaruhnya
kepada intelektual Islam adalah ilmu hitung, astronomi, ilmu kedokteran, dan
matematika dengan angka-angka yang oleh orang Arab disebut angka India dan
oleh orang Eropa kemudian dikenal dengan nama angka Arab. Sedangkan dari
Persia terdapat ilmu bumi, logika, filsafat, astronomi, ilmu ukur, kedokteran, sastra,
dan seni.
Pengaruh terbesar yang diterima umat Islam dalam bidang ilmu dan filsafat,
menurut Ahmad Amin, adalah dari Yunani. Karena kontak umat Islam dengan
kebudayaan Yunani bersamaan waktunya dengan penulisan ilmu-ilmu Islam, maka
masuklah ke dalamnya unsur-unsur kebudayaan Yunani yang memberinya corak
tertentu, terutama dalam bentuk dan isi. Dalam bentuk, pengaruh logika Yunani
besar sekali, ilmu-ilmu Islam diberi warna baru, ditempa menurut pola Yunani dan
Disusun sesuai dengan sistem Yunani. Jadi, logika Yunani mempunyai pengaruh
yang sangat besar pada alam pikiran Islam di zaman Bani Abbas.
Perlu ditegaskan bahwa pengaruh bukan berarti menjiplak. Betapa
banyaknya para filosof baik Islam maupun non-Islam terpengaruh oleh pemikiran
filosof sebelumya, namun mereka tidak menyandang predikat penjiplak atau
pengembik. Ibnu Sina walaupun terpengaruh berat oleh Aristoteles, tetapi ia juga
memiliki pemikiran filsafat tersendiri, yang tidak dimiliki oleh al mu’allim al-
Awwal, Aristoteles sendiri.
Dalam rekaman sejarah, cara terjadinya kontak antar umat Islam dan filsafat
Yunani (juga sains) melalui daerah Suria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir. Filsafat
Yunani datang ke daerah-daerah ini ketika penaklukan Alexander yang agung ke
13
Dedi Suriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 35.
11
Timur pada abad keempat (331 SM). Ia juga mempersatukan orang-orang Yunani
dan Persia dalam satu Negara besar dengan cara berikut.
1. Ia angkat pembesar dan pembantunya dari orang Yunani dan Persia.
2. Ia mendorong perkawinan campuran antara Yunani dan Persia. Bahkan, ia
pernah menyelenggarakan perkawinan missal 24 jenderal dan 10.000
prajuritnya dengan wanita-wanita Persia di Susa.
3. Sementara itu, ia sendiri kawin dengan Statira, putrid Darius, Raja Persia
yang kalah perang.
4. Ia mendirikan kota-kota dan permukiman-permukiman yang dihuni
bersama oleh orang-orang Yunani dan Persia.
Dengan demikian, bercampurlah kebudayaan Yunani dan kebudayaan
Persia. Sebagai bukti dalam hal ini kota Alexandria di Mesir, yang dalam bahasa
Arab disebut al-Iskandaria, merupakan warisan dari usaha di atas.14
14
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, (Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2010), h. 57
15 Pemikiran hellenistik pertama kali menjadi perhatian kalangan Muslim adalah karena
interes mereka dalam permasalahn teologi. Perdaban antara muslim dan keristen yang berlangsung
didalam istana khalifah Umayyah yang toleran mengarahkan pemikir-pemikir muslim pada keluar
Kristen Yunani. Peristilahan helenistik, bentu-bentuk argumentasi rasional dan beberapa metode
kepustakaan. Pertemuan pertama yang berlangsung didemaskus ini diteruskan oleh kegiatan riset di
Baghdad, dan oleh kegiatan penerjamahan karya-karya Yunani dan Syiria kedalam Bahasa Arab.
Di Bayt al-Hikmah, karya-karya logika, keilmuan dan karya-karya teknik berbahasa Yunani dan
Syiria diterjamahkan kedalam bahsa arab. Karya-karya tersebut termasuk naskah-naskah logika
Aristoteles, dan beberapa karya dan Hipocrates.
12
termasuk pula di dalamnya bahasa. Hasilnya adalah, beberapa unsur yang berasal
dari Yunani digabung dalam bentuk yang bervariasi dengan unsur lain dari
peradaban daerah yang dikuasai, yang dikenal dengan Helenisme.16
Filsafat helenisme berasal dari filsafat hellens (nama orang) termasuk kaum
zabaniyah, yang mencari kebenaran melalui akal. Filsafat Hellenisme menurut
pengertian etika adalah “Manusia hendaknya mengikuti saja suratan takdir dan
penentuan alam baginya.17
Dengan demikian, ia akan mencapai harmoni dengan alam yang akan
membawanya kepada kebahagiaan (eudaimonia). Jadi, hukum alam harus ditaati
terlepas dari perasaan senang atau tidak, menguntungkan atau merugikan,
mengenakkan atau menjengkelkan. Soalnya bagi Zenon, kebahagiaan terletak
dalam tekad keras menjalankan kewajiban demi hukum alam yang objektif, bukan
demi perasaan atau selera subjektif orang perorang.
1. Neoplatonisme
Dari berbagai unsur pikiran Hellenik, Platonisme Baru (Neoplatonisme)
adalah salah satu yang paling berpengaruh dalam sistem falsafah Islam.
Neoplatonisme sendiri merupakan falsafah kaum musyrik (pagans), dan
rekonsiliasinya dengan suatu agama wahyu menimbulkan masalah besar. Tapi
sebagai ajaran yang berpangkal pada pemikiran Plotinus (205-270 M), sebetulnya
Neoplatonisme mengandung unsur yang memberi kesan tentang ajaran Tauhid.
Sebab Plotinus yang diperkirakan sebagai orang Mesir hulu yang mengalami
Hellenisasi di kota Iskandaria itu mengajarkan konsep tentang "yang Esa" (the One)
sebagai prinsip tertinggi atau sumber penyebab (sabab, cause). Lebih dari itu,
Plotinus dapat disebut sebagai seorang mistikus, tidak. dalam arti "irrasionalis",
"occultist" ataupun "guru ajaran esoterik", tetapi dalam artinya yang terbatas
kepada seseorang yang mempercayai dirinya telah mengalami penyatuan dengan
16 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam “Bagian Kesatu & kedua”, trj. Ghufron A.
Mas’adi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 141.
Tuhan atau "Kenyataan Mutlak."18 Untuk memahami sedikit lebih lanjut ajaran
Plotinus kita perlu memperhatikan beberapa unsur dalam ajaran-ajaran Plato,
Aristoteles, Pythagoras (baru) dan kaum Stoic.
Plato membagi kenyataan kepada yang bersifat "akali" (ideas, intelligibles)
dan yang bersifat "inderawi" (sensibles), dengan pengertian bahwa yang akali itulah
yang sebenarnya ada (ousia), jadi juga yang abadi dan tak berubah. Termasuk
diantara yang akali itu ialah konsep tentang "Yang Baik", yang berada di atas
semuanya dan disebut sebagai berada di luar yang ada (beyond being, epekeina
ousias). "Yang Baik" ini kemudian diidentifikasi sebagai "Yang Esa", yang tak
terjangkau dan tak mungkin diketahui.
Selanjutnya, mengenai wujud inderawi, Plato menyebutkannya sebagai
hasil kerja suatu "seniman ilahi" (divine artisan, demiurge) yang menggunakan
wujud kosmos yang akali sebagai model karyanya. Disamping membentuk dunia
fisik, demiurge juga membentuk jiwa kosmis dan jiwa atau ruh individu yang tidak
akan mati. Jiwa kosmis dan jiwa individu yang immaterial dan substansial itu
merupakan letak hakikatnya yang bersifat ada sejak semula (pre-existence) dan
akan ada untuk selamanya (post-existence immortality), yang semuanya tunduk
kepada hukum reinkarnasi.
Dari Aristoteles, unsur terpenting yang diambil Plotinus ialah doktrin
tentang Akal (nous) yang lebih tinggi daripada semua jiwa. Aristoteles
mengisyaratkan bahwa hanya Akal-lah yang tidak bakal mati (immortal),
sedangkan wujud lainnya hanyalah "bentuk" luar, sehingga tidak mungkin
mempunyai eksistensi terpisah. Aristoteles juga menerangkan bahwa "dewa
tertinggi" (supreme deity) ialah Akal yang selalu merenung dan berpikir tentang
dirinya. Kegiatan kognitif Akal itu berbeda dari kegiatan inderawi, karena
obyeknya, yaitu wujud akali yang immaterial, adalah identik dengan tindakan Akal
untuk menjangkau wujud itu.
Dualisme Plato di atas kemudian diusahakan penyatuannya oleh para
penganut Pythagoras (baru), dan dirubahnya menjadi monisme dan berpuncak pada
18
R.T. Wallis, Neo Platonism, h. 3
14
konsep tentang adanya Yang Esa dan serba maha (transenden). Ini melengkapi
ajaran kaum Stoic yang di samping materialistik tapi juga immanenistik, yang
mengajarkan tentang kemahaberadaan (omnipresence) Tuhan dalam alam raya.19
Kesemua unsur tersebut digabung dan diserasikan oleh Plotinus, dan menuntunnya
kepada ajaran tentang tiga hypostase atau prinsip di atas materi, yaitu Yang Esa
atau Yang Baik, Akal atau Intelek, dan Jiwa.20
2. Aristotelianisme
Telah dinyatakan bahwa Neoplatonisme cukup banyak mempengaruhi
falsafah Islam. Tetapi sebenarnya Neoplatonisme yang sampai ke tangan orang-
orang Muslim, berbeda dengan yang sampai ke Eropa sebelumnya, yang telah
tercampur dengan unsur-unsur kuat Aristotelianisme. Bahkan sebetulnya para
failasuf Muslim justru memandang Aristoteles sebagai "guru pertama" (al-mu'allim
al-awwal), yang menunjukkan rasa hormat mereka yang amat besar, dan dengan
begitu juga pengaruh Aristoteles kepada jalan pikiran para failasuf Muslim yang
menonjol dalam falsafah Islam.
Neoplatonisme sendiri, sebagai gerakan, telah berhenti semenjak jatuhnya
Iskandaria di tangan orang-orang Arab Muslim pada tahun 642.21 Sebab sejak itu
yang ada secara dominan ialah falsafah Islam, yang daerah pengaruhnya meliputi
hampir seluruh bekas daerah Hellenisme.
Tetapi sebelum gerakan Neoplatonis itu mandeg, ia harus terlebih dahulu
bergulat dan berhadapan dengan agama Kristen. Dan interaksinya dengan agama
Kristen itu tidak mudah, dengan ciri pertentangan yang cukup nyata. Salah seorang
tokohnya yang harus disebut di sini ialah pendeta Nestorius, patriark
Konstantinopel, yang karena menganut Neoplatonisme dan melawan ajaran gereja
terpaksa lari ke Syria dan akhirnya ke Jundisapur di Persia.22
19
Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, s.v. "Plotinus".
20
I.R. Netton, Muslim Neoplatonists (London: George Allen & Unwin, 1982), h. 34
23
I.R. Netton, Muslim Neoplatonists, h. 33
24
F.E. Peters. Aristotle and the Arabs (New York: New York University Press, 1986), h. 7
16
orang-orang Muslim menerima pikiran Yunani itu lima ratus tahun setelah fase
terakhir perkembangannya di Yunani sendiri, dan setelah dua ratus tahun pikiran
itu digarap dan diolah oleh para pemikir Kristen Syria. Menurut Peters lebih lanjut,
paham Kristen telah mencuci bersih tendensi "eksistensial" filsafat Yunani,
sehingga ketika diwariskan kepada orang-orang Arab Muslim, filsafat itu menjadi
lebih berorientasi pedagogik, bermetode skolastik, dan berkecenderungan logik dan
metafisik. Khususnya logika Aristoteles (al-manthiq al-aristhi) sangat berpengaruh
kepada pemikiran Islam melalui ilmu kalam. Karena banyak menggunakan
penalaran logis menurut metodologi Aristoteles itu, maka ilmu kalam yang mulai
tampak sekitar abad VIII dan menjadi menonjol pada abad IX itu disebut juga
sebagai suatu versi teologi alamiah (natural theology, al-kalam al-thabi'i, sebagai
bandingan al-kalam al-Qur'ani) di kalangan orang-orang Muslim.25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
25
F.E. Peters. Aristotle and the Arabs (New York: New York University Press, 1986), h.
xx-xxxi
17
B. Saran
18
Makalah ini tentu masih jauh dari yag diharapkan, olehnya itu diharapkan
masukan dan kritikan dari rekan-rekan khususnya dari bapak dosen sebagai
pemandu dalam mata kuliah ini untuk perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam “Bagian Kesatu & kedua”, trj.
Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: PT. RjaGrafindo Persada, 1999.
Netton, I.R., Muslim Neoplatonists. London: George Allen & Unwin, 1982.
Peters, F.E.. Aristotle and the Arabs. New York: New York University Press, 1986.
Qadir, C A., Philosophy and Science in the Islamic World. London: Croom Helm,
1988.
Wallis, R.T., Neo Platonism. London: Gerlad Duckworth & Company Limited,
1972.
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya. Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2010.