Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HELLENISME
MATA KULIAH FILSAFAT UMUM
DOSEN PENGAMPU : MARDIAH, M.Fil.I

KELOMPOK 3
HADI RUSADI (2020110812)
MUHAMMAD AMIN BADALI (2020170014)
MUHAMMAD RIANSYAH (2020110818)
ARIEF RAHMAN HAKIM (2020160004)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUL ULUM KANDANGAN


TAHUN AKADEMIK
2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur senantiasa selalu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan limpahan Rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa kita curahkan
kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari
jaman gelap gulita menuju jaman terang benderang.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Umum dari
Ibu Mardiah, M.Fil.l yang berjudul “Agama dan Akhlak” dan juga untuk teman-
teman sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan serta informasi yang semoga
bermanfaat.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah kami. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran untuk
membangun penulisan makalah selanjutnya agar lebih baik. Besar harapan kami
semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua Aamiin yaa
Rabbal’Aalamiin..Terima kasih,

Kandangan, 22 Maret 2021

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................ 1
1.3 Tujuan Perumusan Masalah............................................................... 1
BAB 2 PEMBAHASAN.................................................................................. 2
2.1 Hellenisme................................................................................................. 2
2.2 Stoisime...................................................................................................... 3
2.3 Epikurisme................................................................................................ 4
2.4 Skeptisme................................................................................................... 8
2.5 Neoplatonisme........................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 14

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hellenisme adalah suatu fase filsafat yang muncul saat terjadi kekosongan
pasca era Aristoteles. Hellenisme adalah nama untuk kebudayaan, cita-cita dan cara
hidup orang Yunani seperti yang terdapat di Athena pada zaman Pericles. Hellenisme
pada abad ke-4 SM diganti oleh kebudayaan Yunani, atau setiap usaha yang
menghidupkan kembali cita-cita Yunani zaman modern. Filsafat Yunani dimulai pada
pemerintahan Alexander Agung (356-23 SM) atau Iskandar Zulkarnain Raja
Macedonia.
Pada zaman ini terjadi pergeseran pemikiran filsafat, dari filsafat teoritis
menjadi filsafat praktis. Istilah Hellenisme diambil dari bahasa Yunani kuno
hellenizein yang berarti “berbicara atau berkelakuan seperti orang Yunani ” (to speak
or make Greek). Periode ini berlangsung kurang lebih 300 tahun, yaitu mulai 323 SM
(Masa Alexander Agung atau Meninggalnya Aristoteles) hingga 20 SM
(Berkembangnya Agama Kristen atau zaman Philo). Hellenisme ditandai dengan
fakta bahwa perbatasan antara berbagai negara dan kebudayaan menjadi hilang.
Kebudayaan yang berbeda-beda yang ada pada zaman ini melebur menjadi satu yang
menampung gagasan-gagasan agama, politik, dan ilmu pengetahuan. Selain itu,
hellenisme juga ditandai dengan keraguan agama, melarutnya kebudayaan, dan
pesimisme.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Pengertian Hellenisme beserta aliran-alirannya ?
1.3 Tujuan Perumusan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Hellenisme beserta aliran-alirannya

1
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Hellenisme
Helenisme adalah istilah modern yang diambil dari bahasa yunani kuno
hellenizein yang berarti “berbicara atau berkelakuan seperti orang yunani” (to speak
or make greek). Helenisme klasik: yaitu kebudayaan yunani yang berkembang pada
abad ke-5 dan ke-4 SM. Helenisme secara umum: istilah yang menunjuk kebudayaan
yang merupakan gabungan antara budaya yunani dan budaya asia kecil, syiria,
mesopotamia, dan mesir yang lebih tua. Lama periode ini kurang lebih 300 tahun,
yaitu mulai 323 SM (masa alexander agung atau meninggalnya aristoteles) hingga 20
sm (berkembangnya agama kristen atau jaman philo)
Jadi pemikiran filsafat helenisme adalah filsafat yunani untuk mencari hakikat
sesuatu atau sebuah pemikiran untuk mencari suatu kebenaran yang terjadi pada masa
yunani kuno.
Filsafat yunani yang sampai kepadadunia islam seperti yang di tinggalkan
oleh orang-orang yunani sendiri, baik melalui orang-orang Masehi Nestoriah dan
Jakobites maupun  melalui golongan-golongan lainnya.akan tetapi filsafat sampai
kepada mereka melalui pemikiran helenisme Romawi yang mempunyai ciri khas dan
corak tertentu yang memepengaruhi filsafat itu sendiri. Oleh karna itu, tidak semua
pikiran-pikiran filsafat yang sampai  kepada dunia islam barasal dari yunani, baik
dalam teks-teks aslinya maupun ulasan -ulasanya . melainkan hasil dari dua fase yang
berturut-turut , yaitu ”fase Helenisme” dan “fase Helenisme Romawi.” Oleh karna
itu, dalam pikiran filsafat terdapat dua corak yang berbeda atau dua corak yang
bercampur, sesuai dengan perbedaan alam pikiran pada masa yang
membicarakanya.1.
Orang-orang Stoik percaya bahwa emosi negatif yang menghancurkan
manusia dihasilkan dari keputusan yang salah, dan bahwa seorang sophis, yaitu orang
yang memiliki "kesempurnaan moral dan intelektual," tidak akan pernah mengalami
emosi-emosi yang merusak kebahagiaan, misalnya marah berlebihan, panik
berlebihan, sedih berlebihan, dsb. Seorang Stoik, seperti kata Epictetus hendaknya
tidak banyak bicara tentang ide-ide besar, apalagi kepada orang-orang awam,
melainkan bertindak selaras dengan apa yang dipikirkannya tentang kebaikan. Hal ini
dibedakan dengan istilah filsuf atau filosof (pecinta kebijaksanaan) yang hanya
menyukai ide-ide kebijaksanaan, tetapi biasanya gagal melakukan ide-ide
kebijaksanaan itu (Sophia).
Stoisisme adalah cara hidup yang menekankan dimensi internal manusia,
seorang Stoik dapat hidup bahagia ketika ia tidak terpengaruh oleh hal-hal di luar
dirinya. Di mata kaum Stoa, Logos Universal (Sang Ilahi) adalah yang menata alam
semesta ini dengan rasional, senegatif apa pun kejadian yang menimpa, seorang Stoa

1
Drs. Atang Abdul Hakim,M.A,Filsafat Umum, (Bandung:CV Pustaka Setia.2008). h. 97

2
yang bijak akan melihat kejadian tersebut sebagai bagian dari tenunan indah iahi atau
Logos. Ia akan menyesuaikan kodrat rasional dirinya sebagai manusia dengan hukum
alam (hukum sebab akibat) dari Alam Semesta.
Landasan ajaran Stoa meminjam tiga elemen filsafat yang berkembang di
Akademia yang didirikan oleh Aristoteles yakni logika atau rasio, materi atau fisika,
dan etika. Tema-tema yang sering dibicarakan terkait dimensi manusia sebagai fokus
utama, di antaranya mengenai takdir, kehendak bebas, pemeliharaan Ilahi, dan
kejahatan.
Ajaran Stoa yang paling menonjol adalah bagaimana manusia bertindak
menurut keteraturan hukum alam yang diselenggarakan yang Ilahi. Cleanthes menulis
beberapa versi dalam ekspresi gamblang sebuah daya tarik elemen yang didesakkan
oleh imannya,
“ Lead me, O Zeus, and lead me thou, O Fate,
Unto that place where you have stationed me: I shall not flinch, but follow: and if
become Wicked I should refuse, I still must follow”
Terjemahan bebas:
Bimbing aku, oh Zeus, bimbing aku, wahai penciptaku Hingga di tempat di mana
Engkau akan menghantarku Aku tidak akan lari darimu, namun mengikutimu, dan
seandainya hatiku berontak, Aku tetap akan ikut dikau”
— Cleanthes dari Assos
Sikap hidup yang menyelaraskan diri dengan kehendak ilahi yang tampak
dalam sikap hidup menyelaraskan diri dengan keteraturan alam ini disebut sebagai
etika katekontik. Dalam Stoa mula-mula, ajaran Stoa selalu melibatkan peran dewa-
dewa dalam miologi Yunani Kuno.
2.2 Stoisisme
Stoisisme adalah salah satu aliran atau mazhab filsafat Yunani-
Romawi yang didirikan tahun 108 SM di Athena oleh Zeno dari Citium dan
memperluas pengaruhnya dalam Kekaisaran Romawi.2 Nama mazhab ini
diambil dari lokasi di Athena tempat pertama kali mazhab ini ditemukan.
Dalam aliran stoisisme terdapat beberapa pokok pikiran yang dapat
dijelaskan menjadi 5 bagian yaitu :
1. Kaum Stoa menggabungkan ajaran filsuf kuno dengan pemikiran Plato
dan Aristoteles dengan keyakinan besar bahwa mereka mengajarkan etos
dan sikap baru yang mempunyai pengaruh mendalam terhadap etika.
2. ideal Stoisisme adalah manusia bijaksana yang hidup selaras dengan alam,
mengendalikan afeksinya, menanggung penderitaan secara tenang dan

2
Lorens Bagus (1996). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. hlm.  1037-1038.

3
sebagai tujuan kehidupannya ialah rasa puas dengan kebajikan sebagai
satu-satunya sumber kebahagiaan.
3. Tuhan adalah spesies jiwa dunia. Dia memiliki di dalam diriNya sendiri
benih atau daya seminal untuk setiap perkembangan sehingga setiap
peristiwa seakan direncanakan dan menjadi akibat penyelenggaraan
4. Stoisme bukan filsafat spekulatif dan sistematik melainkan pandangan
tentang kehidupan secara mendalam memperhatikan emosi-emosi
manusia.
5. anjuran kesamaan semua manusia merupakan karakteristik sebagaimana
juga suatu kosmopolitanisme tertentu.
Inti utama ajaran stoa adalah etika. Menurut ajaran ini, manusia adalah
sebagian dari alam, sehingga ia wajib untuk hidup selaras dengan alam.
Bagaimanapun, alam ini sudah berjalan sebagaimana adanya menurut
rasio (logos)-nya sendiri, sehingga semua kejadian yang sudah ditentukan
oleh alam itu tidak dielakkan manusia. Sebelum mencapai keselarasan
dengan alam itu, manusia terlebih dahulu harus menyelaraskan dirinya
sendiri, yakni berusaha menyesuaikan prilaku dengan akhlaknya.
Kebajikan tidak lain adalah akal yang benar (recta ratio).Akal atau rasio
yang dimaksud disini tidak sekedar akal pribadi manusia, tetapi juga akal
alam yang dapt diartikan sebagai hukum alam yang bersifat Illahi.

2.3 Epikurisme (Epikuros, 341-270)


Mirip dengan Stoisisme, epikurisme juga menekankan ajarannya pada
ajaran etika. Orang harus hidup bijaksana dan bahagia. Untuk itu, manusia
harus mengakui susunan dunia, tidak perlu takut mati, harus menggunakan
kehendak yang bebas dan mencari kesenangan sebanyak mungkin. Tetapi, jika
terlalu banyak kesenangan itu akan membuat sengsara. Oleh karena itu, orang
perlu membatasi diri dengan mengutamakan kesenangan batin. Epikurisme
akan mengingatkan kita untuk memahami bahwa ilmu pengetahuan
hendaknya memberikan kesenangan hidup(kesejatian batin). Artinya,
bagaimana kesenangan kita tetap bermuara pada etika yang menjadi pilar
hukum positif kehidupan.
Bagi Epikuros, tujuan filsafat adalah untuk mewujudkan kehidupan
yang tenang dan bahagia berupa perpaduan ataraxia (ketiadaan ketakutan,
kegelisahan, ataupun kecemasan) dan aponia (ketiadaan rasa sakit), dan juga
dengan menjalin persahabatan. Ia mengajarkan bahwa akar dari segala
penderitaan adalah penolakan kematian dan kecenderungan manusia untuk
membayangkan bahwa kematian itu mengerikan dan menyakitkan.
Menurutnya, hal ini telah menimbulkan kecemasan yang tidak perlu. Epikuros
sendiri berpandangan bahwa kematian adalah akhir dari tubuh maupun jiwa,

4
sehingga tidak perlu ditakuti. Walaupun Epikuros percaya akan keberadaan
para dewa, ia yakin bahwa mereka tidak ikut campur dalam urusan manusia
dan juga tidak mengazab ataupun mengaruniai orang berdasarkan tindakan
mereka. Epikuros juga mengajarkan bahwa orang tetap perlu berbuat baik
kepada sesama, karena jika mereka bertindak jahat, rasa bersalah akan
menghantui mereka dan membuat mereka tidak dapat mencapai ataraxia.
Epikuros beraliran empirisisme seperti Aristoteles. Dalam kata lain, ia
percaya bahwa indra adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat
diandalkan di dunia. Dalam bidang fisika, ia mendukung gagasan
materialisme seperti Demokritos. Epikuros mengajarkan bahwa alam semesta
itu tidak terbatas dan abadi, dan semua materi terdiri dari partikel-partikel
kecil tak terlihat yang disebut atom. Semua peristiwa di dunia dihasilkan oleh
pergerakan atom-atom di ruang kosong. Pemikiran Epikuros mengenai hal ini
berbeda dengan Demokritos karena Epikuros juga mengajarkan mengenai
"penyimpangan" atom: atom-atom dapat menyimpang dari arah yang
seharusnya dilalui, dan proses inilah yang menghasilkan kehendak bebas pada
diri manusia. Pemikiran Epikuros telah menyebar luas pada zaman kuno, dan
para penganut epikureanisme bahkan mengagumi sosoknya sebagai guru
besar, penyelamat, atau dewa. Namun, ajaran Epikuros sudah menuai
kontroversi sedari awal, termasuk ketika ia diusir dari Mitilene karena telah
membuat resah penduduknya. Epikureanisme sendiri mencapai puncak
kejayaannya pada tahun-tahun terakhir Republik Romawi, tetapi kemudian
aliran ini mengalami kemunduran dan kalah dengan mazhab stoisisme yang
merupakan saingannya. Epikureanisme mati pada zaman kuno akhir ketika
Kekristenan tengah mengalami perkembangan pesat. Ajarannya kembali
dikenal pada abad kelima belas berkat penemuan naskah-naskah penting,
tetapi epikureanisme baru dapat diterima pada abad ketujuh belas setelah
imam Katolik Prancis Pierre Gassendi membangkitkan kembali gagasan-
gagasan yang terkandung di dalamnya. Epikureanisme kemudian
memengaruhi gagasan berbagai tokoh penting pada Abad Pencerahan dan
sesudahnya, seperti John Locke, Thomas Jefferson, dan Karl Marx.
Epikuros adalah seorang hedonis dalam artian ia mengajarkan bahwa
hal-hal yang membahagiakan itu baik secara moral dan hal yang menyakitkan
itu jahat. Ia mendefinisikan "kenikmatan" sebagai ketiadaan
penderitaan.Berdasarkan definisi ini, kenikmatan seseorang dapat terus
meningkat seiring dengan berkurangnya rasa sakit. Begitu rasa sakitnya sudah
hilang sepenuhnya, kenikmatan duniawinya telah mencapai batas, yang
disebut dengan aponia. Epikuros sendiri mengajarkan bahwa semua manusia

5
sebaiknya mencoba mencapai ataraxia, yang juga bisa disebut "ketenangan
jiwa" atau ketiadaan kegelisahan, kecemasan, dan ketakutan. Jika seseorang
yakin bahwa aponia yang dinikmatinya akan terus berlanjut, ia juga akan
mencapai batas kenikmatan pikiran, karena kenikmatan dan penderitaan
pikiran bergantung pada kenikmatan dan penderitaan jasmani. Ataraxia adalah
kenikmatan pikiran ini, dan perpaduan antara aponia dan ataraxia dipandang
sebagai puncak kebahagiaan.
Ia berpendapat bahwa sebagian besar dari penderitaan yang dialami
manusia disebabkan oleh ketakutan yang tidak rasional akan kematian, azab,
dan penghukuman di akhirat. Dalam Surat kepada Menoikeus, Epikuros
menjelaskan orang mencari kekayaan dan kekuatan akibat ketakutan-
ketakutan ini dengan keyakinan bahwa uang, martabat, atau kuasa politik akan
menyelamatkan mereka dari kematian. Namun, ia menegaskan bahwa
kematian adalah akhir dari keberadaan. Selain itu, ia menyatakan bahwa
kisah-kisah menakutkan mengenai hukuman di akhirat adalah takhayul yang
konyol, sehingga baginya kematian bukanlah sesuatu yang patut ditakuti. Ia
menulis dalam Surat kepada Menoikeus: "Biasakan dirimu untuk meyakini
bahwa kematian tidak berpengaruh apa-apa bagi kita, karena kebaikan dan
kejahatan menyiratkan adanya kondisi sadar, dan kematian adalah ketiadaan
semua kondisi sadar;... Maka dari itu, kematian, yang paling buruk dari segala
kejahatan, bukan apa-apa bagi kita, mengingat bahwa, ketika kita [mati],
kematian tidak datang, dan, ketika kematian datang, kita tidak [mati]. Dari
ajaran inilah muncul pepatah: Non fui, fui, non sum, non curo ("Dulu aku
tiada, lalu ada. Kini aku tiada, aku tak peduli"), yang terukir di batu-batu nisan
para pengikut Epikuros dan juga sering ditemui di batu-batu nisan di
Kekaisaran Romawi. Kutipan ini kini masih sering digunakan di pemakaman
kaum humanis.
Walaupun ajaran Epikuros sering disalahtafsirkan sebagai pendukung
upaya untuk mencari kenikmatan duniawi secara berlebihan, ia justru malah
menyatakan bahwa seseorang hanya bisa bahagia dan terbebas dari
penderitaan jika ia hidup dengan bijak, tidak mabuk, dan bermoral. Ia sangat
menentang birahi yang berlebihan dan memperingatkan bahwa manusia harus
selalu mempertimbangkan apakah tindakannya akan mengakibatkan
penderitaan atau tidak. Ia menulis, "Hidup yang nikmat bukan berasal dari
serangkaian kegiatan minum-minum dan pesta pora, dan bukan juga dari
kenikmatan jaka dan perempuan, ataupun dari ikan dan yang lainnya di menu
mahal, tetapi dari penalaran yang tak terpengaruh oleh minuman keras. Ia juga
menambahkan bahwa satu potong keju yang bagus bisa saja sama

6
memuaskannya dengan semua makanan di acara kenduri. Selain itu, Epikuros
mengajarkan bahwa "tidak mungkin hidup nikmat jika tidak hidup dengan
bijaksana dan mulia dan adil", karena orang yang tidak jujur atau tidak adil
dalam berperilaku akan "dipenuhi dengan masalah" mengingat ia akan terus
merasa bersalah dan juga takut kesalahannya diketahui orang lain. Sementara
itu, orang yang baik dan adil kepada orang lain tidak perlu takut apapun dan
lebih mungkin mencapai ataraxia.
Epikuros membedakan dua jenis kenikmatan: kenikmatan yang
"bergerak" (κατὰ κίνησιν ἡδοναί) dan yang "diam" (καταστηματικαὶ ἡδοναί).
Kenikmatan yang "bergerak" muncul ketika seseorang sedang memenuhi
suatu hasrat dan indra-indranya sedang terangsang. Setelah hasratnya sudah
dipenuhi (contohnya saat seseorang sudah kenyang), kenikmatan ini dengan
segera hilang dan lalu muncul lagi penderitaan akibat keinginan untuk
memenuhi hasrat itu lagi. Sementara itu, kenikmatan yang "diam" mengacu
pada kenikmatan yang timbul saat sudah tidak lagi berhasrat akan sesuatu,
contohnya ketika seseorang sudah kenyang setelah makan. Bagi Epikuros,
kenikmatan yang diam adalah kenikmatan terbaik karena kenikmatan yang
bergerak selalu terikat dengan rasa sakit. Epikuros menganggap buruk seks
dan pernikahan. Ia justru menyatakan bahwa yang penting untuk kehidupan
yang bahagia adalah persahabatan. Salah satu Ajaran Pokok-nya berbunyi,
"Di antara segala sesuatu yang dihasilkan hikmat demi kebahagiaan seumur
hidup, yang paling penting adalah menjalin persahabatan. Ia juga mengajarkan
bahwa berkecimpung dalam bidang filsafat adalah suatu hal yang
menyenangkan. Salah satu kutipan Epikuros yang tercatat dalam Pepatah
Vatikan menyatakan, "Dalam pencarian yang lain, buahnya diperoleh dengan
susah payah di akhir. Tetapi dalam filsafat, kegembiraan beriringan dengan
pengetahuan. Kenikmatannya tidak datang setelah pelajaran: pembelajaran
dan kenikmatan berlangsung bersamaan."
Akibat keterkaitan antara kenikmatan dengan hasrat, Epikuros juga
membedakan tiga jenis hasrat, yaitu "hasrat alami dan perlu", "hasrat alami
dan tidak perlu", serta "hasrat angkuh dan kosong". "Hasrat alami dan perlu"
mudah untuk dipenuhi, dapat membawa kenikmatan yang besar jika
terpenuhi, dan penting bagi kelangsungan hidup; contohnya adalah hasrat
untuk makan. Sementara itu, "hasrat alami dan tidak perlu" merupakan hasrat
kodrati yang sebenarnya tidak dibutuhkan demi kelangsungan hidup.
Contohnya adalah hasrat untuk makan makanan mewah; walaupun semua
manusia perlu makan, orang masih bisa hidup dengan makanan yang
sederhana. Di sisi lain, "hasrat angkuh dan kosong" adalah hasrat akan sesuatu

7
yang tidak memiliki batas, sehingga sulit dipenuhi dan malah membuat orang
menginginkan lebih. Contohnya adalah hasrat untuk berkuasa, memperoleh
kekayaan, atau menjadi terkenal. Untuk mencapai kebahagiaan, Epikuros
menganjurkan manusia untuk meminimalkan hasrat agar hasrat tersebut
mudah dipenuhi. Dengan ini penderitaan yang timbul dari hasrat yang tak
terpenuhi dapat dihilangkan, dan begitu pula dengan kecemasan bahwa suatu
hasrat tidak akan terpenuhi.
2.4 Skeptimisme
Dari sekian banyak aliran filsafat yangberkembang sepanjang sejarah
filsafat Barat, tercatat ada satu aliran filsaft yang pengaruhnya terhadap
perkembangan filsafat sangat· besar, yaitu Skeptisisme. Yang menarik dari
aliran filsafat ini ialah para penganutnya.Para filsuf yang menganut aliran
skeptisisme, kebanyakan dari mereka sudah digolongkan pada aliran filsafat
tertentu. Descartes misalnya; termasuk aliran rsionalisme, sedangkan David
Hume adalah filsuf' yang beraliran empirisme, padahal keduanya adalah
penganut paham skeptis dan berfilsafat.
Oleh karena para pengnut skeptisisme terdiri dari para filsuf yang
sudah tergolong pada aliran filsafat tertentu, maka corak filsafat skeptisisme
mereka juga berbeda. Tulisan ini bermaksud untuk mengungkapkan corak-
corak filsafat skeptisisme yang terdapat dalam sejarah filsafat Barat,
berdasarkan ajaran ajaran yang di kemukakan oleh para penganutnya.
1. Zaman Yunani Kuno
Pada mulanya skeptisisme tidaklah merupakan suatu aliran yang jelas,
melainkan suatu tendensi yang agak umum yang hidup terus sampai akhir
masa Yunani Kuno. Mereka berpikir bahwa dalam bidang teoritis manusia
tidak sanggup mencapai kebenaran. Sikap umum mereka adalah
kesangsian (Bertens, 1988). Tendensi skeptis se- benarnya telah muncul
sejak zaman pra-Socrates. Ha! ini tampak dalam teori metafisika
Heracleitos yang mengatakan bahwa segala realitas dalam proses menjadi,
semua mengalir, tidak ada yang tetap. Orang tidak da- pat melangkah dua
kali dalam sungai yang sama (Popkin, 1967). Pendapat Heracleitos tentang
yang-ada (realitas) ini berlawanan dengan pendapat Parmenides yang me-
ngatakan bahwa yang-ada adalah yang tetap, yang tidak berubah.
Pemikiran yang skeptis juga terlihat dalam ajaran filosofi Xenophanes, ia
mengatakan bahwa: "Tidak seorang pun pernah melihat dan tidak akan
pernah tahu kebenaran yang jelas tentang para dewa dan hal-hal lain yang
saya bicarakan. kasus, bagaimanapun dia sendiri tidak akan

8
mengetahuinya: untuk semua yang ada hanya kepercayaan "(Annas,
1985). Pernyataan Xenophanes menunjukkan bahwa ia meragu- kan
kemampuan indera manusia. Apa yang dapat dilihat oleh penglihatan kita
kesalahan kebenaran, mela- inkan suatu illusi belaka. Dalam bentuknya
yang lain pemikiran skeptis dapat ditemukan dalam filsafat Socrates.
Socrates tidak me- ngarang uraian-uraian tentang filsfat, tetapi ia langsung
menerapkan filsafatnya melalui dialog-dialog dengan orang lain. Socrates
bersikap kritis, ia tidak menerima begitu saja pengandaian-pengandaian
yang telah diper- caya umum. la mempersoalkan garis- garis dan isi pendi-
dikan yang tradisional dan tetap. Segala macam kewiba- waan, entah.itu
ahli tatanegara, atau seorang pendidik, atau instansi lain, semua itu
dihadapinya dengan perta- nyaan dan keragu-raguan sistematis (Bakker,
1984). Dari metode filsafatnya yang kritis ini, terlihat bahwa Socra- tes
memakai skeptisisme sebagai alat untuk menjernih- kan keyakinan-
keyakinan orang.
Dengan bersikap sebagai seorang skeptikus, ia hendak meneliti
apakahpendapat seseorang memiliki konsistensi intern atau tidak.
Meskipun tendensi skeptisisme telah muncul sejak zaman pra-Socrates,
akan tetapi yang dapat disebut se- bagai pelopor skeptisisme di Yunani
Kuno 'adalah Pyrrho (360 - 270 SM). Menurutnya pengamatan memberi
penge- tahuan yang sifatnya relatif. Manusia sering keliru meli- dan
mendengar. Seandainya pengamatan manusia benar, kebenaran itu hanya
berlaku bagi hal-hal yang lahiriah saja, bukan mengenai hakekat hal itu
sendiri. Tidak hanya pengamatan, akal juga memberikan pengeta- huan
yang bersifat relatif.
Anggapan-anggapan manusia adalah relatif, oleh karena itu setiap dalil
dapat sekali- gus benar dan salah (Harun Hadiwiyono, 1980). Selain
seorang seorang skeptis dalam hal pengetahuan, Pyrrho juga sekpstis
terhadap moral (Russell, 1957). la menga- takan bahwa tidak ada alasan
yang rasionil untuk memi- lih suatu tindakan. Dalam prakteknya
seseorang tentu akan menyesuaikan diri dengan adat istiadat dari tempat ia
berdomisili.
2. Zaman modern
skeptisisme dalam filsafat Yunani Kuno adalah ajaran yang
menyatakan bahwa cerapan- cerapan indera (se$se perception) adalah
menipu atau menyesatkan dan tidak ada cara untuk memperoleh
pengetahuan, maka dalam zaman modern berarti keragu-raguan sistematik
yang mensyaratkan adanya bukti sebelum suatu putusan diakui
kebenarannya (Ali Mudhafir, 1988). Filsuf zaman modern yang menganut

9
filsafat skeptisisme itu ialah Descartes (1596-1650). Dalam berfilsafat ia
bersikap sebagai seorang skeptikus, akan tetapi Descartes bukan- lah
seorang skeptikus dalam artian seperti yang dianut oleh filsuf-filsuf
Yunani Kuno. Keragu- raguan Descartes sesungguhnya bersifat metodis
dan dipakai melulu sebagai alat.
Bertolak dari skeptis yang metodis ini ia ingin menemukan adakah hal
yang dapat bertahan terhadap sikap sangsi atau ragu-rgu sang subyek,
yang akan dapat menjadi kepastian dan menjadi dasar bagi kepastian yang
lain. Dari kesangsian metodis ini ia hendak menca- ri pangkal mutlak bagi
filsafat (Bakker, 1984). Penganut paham skeptisisme lainnya dalam zaman
modern ialah David Hume (1711-1776), ia berpendapat bahwa skeptisme
Descartes sebagai titik tolak terlalu radikal. Akan tetapi menurutnya suatu
sikap obyektif, tanpa prasangka, merupakan syarat mutlak bagi suatu sikap
ilmiah yang benar. Untuk mencapai itu Hume sendiri memakai skepsis
secara metodis, yaitu menang- guhkan segala pendapat dengan lengkap,
dan mengajukan argumen yang berlawanan (kontra) terhadap segala pem-
buktian. (Bakker, 1984). Dengan demikian Hume ingin membersihkan
metafisika, karena menurutnya metafisika merupakan tempat
persembunyian bagi agama. Oleh karena itu menurutnya skeptisisme
menjadi obat- toxine terhdap dogmatisme dan kepastian yang terlalu
besar.
3. Bentuk-Bentuk Skeptisisme
Skeptisisme dalam artinya yang sempit adalah sikap bahwa
pengetahuan itu mustahil dan segala usaha untuk mencapai kebenaran
tidaklah berguna. Kemampuan manusia adalah lemah dan terbatas, dan
bahwa indera dan akal keduanya tidak dapat diandalkan. Sedangkan dalam
artinya yang luas, skeptisisme mungkin hanya merupakan sikap
mempersoalkan sesuatu asumsi atau kesimpulan, sampai hal-hal tersebut
dapat diteliti secara mantap. Skeptisisme dalam artian tertentu cenderung
untuk men- dahului dan mendorong pemikiran filsafat Skeptisisme seperti
tersebut mengingatkan kita perlunya sikap hati- hati dari bahaya
dogmatisme. Dari hasil pembahasan ditemukan lebih dari satu
namaskeptisisme, yaitu :
a. Skeptisisme filososfis : kebenaran adalah relatif, setiap orang
memiliki dan tidak ada kesamaan antara yang satu dengan yang
lainnya. Skeptisisme seperti ini kebanyakan dianut oleh filsuf
Yunani Kuno.
b. Skeptisisme moral : oleh karena tidak ada pendapat yang benar,
maka juga tidak ada satupun tindakan yang dianggap benar.

10
Masing-masing orang akan berbuat sesuai dengan ketentuan yang
berlaku ditempatnya.
c. Skeptisisme metodologis : skeptisisme dalam artian ini tidak
sebagai suatu sikap, tetapi melulu hanya dipa- kai sebagai ngan
menangguhkan segala pendapat sebelumnya.
d. Skeptisisme metafisik : hal-hal yang bersifat metafisik mustahil
dapat dicapai oleh pengetahuan manusia, sebab kita hanya dapat
mengetahui fenomena bukan noumena. Selain itu hal-hal yang
bersifat me- tafisik juga tidak dapat memberikan pemecahan
terhadap hal-hal yang konkrit.
e. Skeptisisme analitik : skeptisisme seperti ini keba- nyakan dianut
oleh filsuf-filsuf analitik. Mereka meragukan ungkapan-ungkapan
filosofis yang dikemukakan oleh para filsuf, terutama filsuf-filsuf
idealisme.
2.5 Neoplatonisme

Neoplatonisme adalah aliran filsafat dibangun oleh Plotinus (205M) yang


merupakan filosof besar fase terakhir Yunani. Neoplatonisme merupakan
rangkaian terakhir dari fase Helenisme Romawi, yaitu suatu fase pengulangan
ajaran Yunani yang lama, jadi aliran ini masih berkisar pada filsafat Yunani, yang
teramu dalam mistik (tasawuf Timur), dan juga digabung dengan berbagai aliran
lain yang mendukung.Akibatnya, di dalamnya kadang terjadi tabrakan antara
filsafat Yunani dengan agama-agama samawi.Neoplatonisme ini terdapat unsur-
unsur Platonisme, Phytagoras, Aristoteles, Stoa, dan mistik Timur, jadi, berpadu
antara unsur-unsur kemanusiaan, keagamaan dan mistik3

Dari Pythagoras ia mengambil fikiran yang mangatakan bahwa semua yang


ada mendapatkan wujud Yang Esa.Jiwa manusia sejak kekal telah berada di dalam
jiwa dunia dan bersama dengannya telah memandang kepada yang Ilahi.
Seharunya jiwa melahirkan tubuh, tetapi jiwa lebih tertarik untuk menciptakan
suatu tubuh di mana ia dapat menemukan gambarnya sendiri.Keadaan itu menurut

3
Sholikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam,(Jogjakarta: Narasi, 2003),hlm. 161–168.

11
Plotinus, terdapat tiga substansi, yaitu roh, jiwa dan tubuh. Ketiganya membentuk
suatu keseluruhan, dan di mana jiwa sebagai tempat kesadaran.

Menurut Plotinus tujuan hidup manusia adalah persatuan kembali antara manusia
dengan Ilahi, manusia harus melalui tiga tahapan, yaitu melakukan kebajikan umum,
berfilsafat dan mistik. Plotinus awalnya tidak bermaksud akan mengemukakan
filosofinya sendiri. Ia hanya ingin memperdalam filosofi Plato yang dipelajarinya.
Itulah sebabnya filosofinya disebut Neoplatonisme.4

Apabila Plato mendasarkan ajarannya kepada yang baik yang meliputi segala-
galanya, ajaran Plotinus berpokok kepada yang satu. Yang satu itu pangkal dari
segala-galanya. Meskipun filosofinya berdasarkan ajaran Plato, ia juga mengambil
ajaran dari filosofi-filosofi sesudah Plato, selama ajaran-ajaran tersebut sesuai dengan
ajaran agamanya.

Plotinus memalingkan diri dari pemandangan yang berupa puing-puing dan derita
yng terjadi di dunia nyata, agar dapat berkontemplasi tentang dunia kebaikan dan
keindahan yang kekal. Menurut Plotinus dunia bukanlah tujuan, melainkan hanya
sebuah alat untuk mencapai persatuan dengan Tuhan. Dalam hal ini searah dengan
semua tokoh paling serius pada zamannya. Bagi mereka semua, baik yang Kristen
maupun yang pagan, dunia sehari-hari tampaknya tak lagi memberikan harapan, dan
hanya dunia lain yang pantas diberi kesetiaan.

Bagi orang Kristen, dunia lain itu adalah kerajaan surga, yang bisa dinikmati
sesudah mati. Bagi pengikut Plato, dunia lain adalah dunia ide yang kekal, suatu
dunia sejati yang berbeda dengan dunia yang hanya berupa penampakan khayali. Para
teolog Kristen menggabungkan sudut-sudut pandangan ini, contohnya: Menurut para
teolog Kristen Yesus Kristus adalah Tuhan yang mendaging menjadi manusia.Di
samping mengambil pemikiran dari Plato mereka juga banyak mengambil dari
pemikiran Plotinus, dan itu berarti agama Kristen berhutang budi pada Plotinus.

4
Muhammad Hatta.Alam Pikiran Yunani, (Jakarta:Tinta Mas, 1986).hlm.46

12
Neoplatonisme adalah bagian dari struktur utama teologi Kristen, dan sangat mustahil
menceraikan Neoplatonisme dari Kristianitas. Dengan demikian Neoplatonisme
sangat penting secara histories sebagai sumber pengaruh yang membentuk
Kristianitas. Filosofi Plotinus berpangkal kepada keyakinan bahwa segala sesuatu
datang dari Yang Asal. Yang Asal itu adalah permulaan dan sebab yang pertama dari
segala yang ada.

Menurut Plotinus, alam semesta dan segala isinya bersumber pada yang Ilahi,
yang merupakan sumber segala yang ada. Dengan demikian, maka makin jauh
sesuatu itu mengalir dari sumbernya makin kurang sempurna keadaannya. Dari Ilahi
mengalirkan Roh atau Nous, kemudian mengalirkan Soul yang terwujud menjadi
benda atau materi.Walaupun Plotinus mandasarkan diri pada pemikiran Plato tetapi
Plotinus memajukan hal baru yang belum terdapat dalam filsafat Yunani yaitu arah
pemikiran kepada Tuhan, dan Tuhan dijadikan dasar segala sesuatunya. Disini terlihat
Plotinus telah sampai pada suatu ajaran yang baru yaitu ajaran tentang mistik yang
akan dikembangkan pada filsafat abad pertengahan.5

5
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2002).

13
DAFTAR PUSTAKA

Drs. Atang Abdul Hakim,M.A,Filsafat Umum, (Bandung:CV Pustaka Setia.2008). h. 97


Lorens Bagus (1996). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. hlm. 1037-1038
Sholikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam,(Jogjakarta: Narasi, 2003),hlm. 161–168.
Muhammad Hatta.Alam Pikiran Yunani, (Jakarta:Tinta Mas, 1986).hlm.46
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2002).

14

Anda mungkin juga menyukai