Anda di halaman 1dari 21

TOKOH FILSAFAT BARAT PADA ABAD PERTENGAHAN

Thomas Aquinas

(Biografi dan Pemikirannya)

Sejarah perkembangan filsafat barat merupakan hal yang menarik untuk dikaji.
Terdapat banyak teori atau aliran filsafat yang mewarnai dunia pengetahuan barat yang kini
dikenal sebagai negara-negara maju. Kemajuan perkembangan pengetahuan mesyarakat
negara-negara tersebut tidak sepenuhnya lepas dari perkembangan filsafat yang
melatarbelakanginya. Perkembangan filsafat-filsafat yang ada dan terjadi memberikan corak
warna pada kehidupan masyarakat di dunia.

Seiring perkembangan zaman, paradigma berfikir massyarakat barat modern lebih


banyak dipengaruhi oleh aliran logis, yaitu filsafat Positivisme Logis. Filsafat ini
mengajarkan bahwa hanya daya panca indera manusialah yang mampu mengubah kehidupan
masyarakat dunia menjadi lebih maju, dalam hal ini masyarakat menjadi maju pesat dalam
bidang pengetahuan.

Sebelum filsafat Positivisme Logis menjiwai masyarakat barat, lahir pemikiran atau
filsafat yang disampaikan oleh filsuf termasyhur bernama Santo Thomas Aquinas. Aliran
filsafatnya bertentangan dengan filsafat barat yang menentang metafisika. Karena dilahirkan
di Italia dan pernah menempuh studi di Universitas Paris, pemikiran Thomas Aquinas juga
diperngaruhi oleh pemikiran muslim, meskipun beliau adalah seorang Khatolik yang taat.

Thomas Aquinas merupakan filsuf dan teolog yang teguh pendiriannya. Ketika para
ilmuwan Barat menentang teori-teori filsafatnya dengan gencar, beliau tettap kokoh
mempaertahankan prinsip-prinsip yang mengakui adanya kekuatan Allah yang tidak sama
dengan para makhluk-Nya. Beliau memberikan pencerahan tentang etika, dan membedakan
antara pengetahuan dan keimanan manusia.

Biografi Thomas Aquinas

St. Thomas Aquinas, salah satu tokoh filsafat barat pada abad pertengahan, dilahirkan
di Lombardy, Rossa Sicca, daerah di kerajaan Napels, Italia pada tahun 1225 M (ada sumber
yang menyebutkan pada tahun 1224 M). Dia berasal dari keluarga keturunan bangsawan,
Kaisar Frederick I dan Henry VI. Thomas Aquinas terlahir dari pasangan Pangeran Landulf,
keturunan Aquino dan Theodora, seorang Countest of Teano.

Keluarganya merupakan penganut agama Khatolik yang taat. Latar belakang ini ikut
menentukan latar belakang pendidikan dan tujuan hidupnya.

Thomas Aquinas yang juga dikenal dengan nama Italia yaitu Thomaso d’Aquino,
ketika berumur lima tahun (sekitar tahun 1257), Thomass Aquinas mulai belajar di Biara
Benedictus di Monte Cassino hingga dia berusia lima belas tahun. Setelah selama sepuluh
tahun belajar di Monte Casssino sebagai pendidikan dasar guna menjadi seorang biarawan,
dia melanjutkan memperdalam ilmu bahasa di negara lain dengan beralih menjadi seorang
Ordo Dominikan. Hal ini pada mulanya ditentang oleh keluarganya yang merupakan
penganut Khatolik yang taat, namun tekat bulatnya pada akhirnya mampu meluluhkan hati
kedua orang tuanya sehingga dia mendapatkan restu dari keduanya dan ressmi menjadi salah
seorang anggota Ordo Dominikan tepat pada tahun 1245.

Pada mulanya dia belajar di Napels, tepatnya di Universitas Frederick II Nepal selama
enam tahun, kemudian melanjutkan pendidikannya di Paris dibawah bimbingan seorang
Aristotelian termasyhur bernama Albertus Agung. Dari beliau, St. Thomas Aquinas
mendapatkan teori-teori filsafat Aristoteles.

Ketekunannya dalam mempelajari ilmu selama menempuh pendidikan membawanya


menjadi seorang Doktor dalam bidang teologi dari Universitas Paris. Dia kemudian mendapat
kepercayaan untuk mengajar disana sampai dengan tahun 1259 M. Selanjutnya dia aktif
menjadi biarawan di beberapa biara Dominican, Roma, Italia selama kurang lebih sepuluh
tahun atau hingga sekitar tahun 1269 M.

Semasa hidupnya, Thomas Aquinas berjasa dalam memberi kuliah bidang filsafat dan
teologi beberapa kota yang ada di Italia, yaitu kota Anangi, Orvetio, Roma, dan Vitebro.
Selanjutnya, dia kembali ke Paris selama tiga tahun sebelum dia dipanggil ke Naples guna
mengemban tugas yang sama dan peran tambahan sebagai pendiri sekolah Dominican disana
pada tahun 1272 M. St. Thomas Aquinas, seorang teolog yang terkenall pada era abad
pertengahan, meninggal dunia ketika berusia sekitar lima puluh tahun, tepatnya pada tanggal
7 Maret 1274 M.

Pemikiran Thomas Aquinas

Thomas Aquinas, seorang filsuf dan teolog barat termasyhur pada masa abad
pertengahan. Pemikirannya merupakan tidak lepas dari pengaruh dua orang filosof besar,
Agustinus dan Aristoteles dapat mengguncang Eropa. Pada masanya, pemikiran yang
dicetuskan oleh Thomas Aquinas, yang membangun keharmonisan antara agama dan akal
membawa pengaruh yang sangat kuat di jajaran masyarakat Eropa. Pemikiran-pemikiran
Thomas Aquinas yaitu filsafat thomisme, Essentia dan Exentia, Argumen Kosmologi, filsafat
tentang penciptaan, filsafat tentang makhluk murni, filsafat jiwa, dan Etika Teologis.

Berikut ini adalah rincian pemikiran St.Thomas Aquinas:

1. Thomisme

Thomisme adalah aliran filsafat yang dicetuskan sebagai hasil pemikiran St.Thomas
Aquinas, seorang imam Khatolik yang saleh. Kata ”thomisme” berasal dari Summa
Theologica, salah satu dokumen paling berpengaruh dalam filsafat abad pertengahan dan
terus dipelajari oleh generasi penerus, bahkan generasi sekarang. Dalam ensiklopedi Angelici
Doctoris, Paus St Pius X mengingatkan bahwa ajaranajaran Gereja tidak bisa dipahami
secara ilmiah tanpa dasar-dasar filosofis dasar utama tesis 'Thomas. St Thomas Aquinas
percaya bahwa kebenaran adalah benar dimana pun ditemukan, seperti juga para filsuf
Yunani , Romawi , Yahudi , dan Muslim.
Secara khusus, ia adalah seorang realis. Dia mengakui bahwa dunia dapat diketahui
seperti apa adanya. St Thomas Aquinas menganut faham terminologi dan metafisika
Aristoteles. Filsafat Thomismenya ini menekankan pada pengertian materi dan bentuk,
potensi dan aktus, serta bakat dan perealisasiannya. Filsafat ini mempunyai tujuan untuk
menciptakan kedamaian Yunani dan Nasrani dalam hal filsafat sekuler.

Thomas mengikuti pemahaman Aristoteles, merujuk kepadanya sebagai "Filsuf". St.


Thomas Aquinas juga mengikuti beberapa prinsip neoplato, seperti ketika dia mengatakan
bahwa "adalah mutlak benar bahwa ada sesuatu yang pertama yang pada dasarnya ada dan
pada dasarnya baik , yang kita sebut Allah, ... [dan bahwa segala sesuatu] bisa disebut baik
dan ada, sejauh ia berpartisipasi di dalamnya dengan cara suatu asimilasi tertentu ...”

2. Essentia dan Exentia

Ajaran Thomas Aquinas yang dikenal dengan sebutan Essentia dan Exentia ini.
Essentia mengajarkan hakikat Tuhan, sedangkan esentia mengajarkan keberadaan Tuhan.
Menurut filsafat ini, Tuhan adalah sempurna keberadaannya dan tidak berkembang.Dalam
ajaran ini, essensi dan esketia tentang Tuhan adalah ada dan satu.Filsafat ini membedakan
Tuhan dengan makhluk ciptaan-Nya, dimana Tuhan ada satu, sedangkan makluknya tidak
bersifat satu. Menurut Thomas, Allah (Tuhan) merupakan aktus paling umum yang disebut
dengan actus purus(aktus murni), dimana Tuhan dinyatakan nyata adanya dan bersifat
tunggal (Esa).

3. Argumen Kosmologi

Ajaran atau filsafat Thomas Aquinas yang ketiga adalah argumen kosmologi dan biasa
disebut teologi naturalis. Dalam kosmologi, Thomas Aquinas berpendapat bahwa manusia
dapat mengenal Allah melalui akal yang mereka miliki, meskipun pengetahuan tentang Allah
yang mereka peroleh dengan akal terrsebut tidak jelas dan menyelamatkan. Dengan akal
yang mereka miliki, manusia sebagai makhluk Tuhan (Allah) dapat mengetahui bahwa Allah
itu ada dengan sifat-sifat yang dimiliki-Nya. St. Thomas Aquinas menyampaikan lima bukti
adanya Tuhan sebagaimana rincian berikut:

a. Adanya gerak di dunia mengharuskan kita menerima bahwa ada penggerak


pertama yaitu Allah. Menurut Thomas apa yang bergerak tentu digerakkan
oleh sesuatu yang lain. Gerak menggerakkan ini tidak dapat berjalan tanpa
batas. Maka harus ada penggerak pertama. Penggerak pertama ini adalah
Allah.
b. Di dalam dunia yang diamati terdapat suatu tertib sebab-sebab yang
membawa hasil atau yang berdaya guna. Tidak pernah ada sesuatu yang
diamati yang menjadi sebab yang menghasilkan dirinya sendiri. Oleh karena
itu, maka harus ada sebab berdaya guna yang pertama, inilah Allah.
c. Di dalam alam semesta terdapat hal-hal yang mungkin ada dan tidak ada.
Oleh karena semuanya itu tidak berada sendiri tetapi diadakan, dan oleh
karena semuanya itu dapat rusak, maka ada kemungkinan semua itu ada, atau
semuanya itu tidak ada. Jika segala sesuatu hanya mewujudkan kemunginan
saja, tentu harus ada sesuatu yang adanya mewujudkan suatu keharusan.
Padahal sesuatu yang adanya adalah suatu keharusan, adanya itu disebabkan
oleh sesuatu yang lain, sebab-sebab itu tak mugkin ditarik hingga tiada
batasnya. Oleh karena itu, harus ada sesuatu yang perlu mutlak, yang tak
disebabkan oleh sesuatu yang lain, inilah Allah.
d. Diantara segala yang ada terdapat ha-hal yag lebih atau kurang baik, lebih
atau kurang benar dan lain sebagainya. Apa yang lebih baik adalah apa yang
lebihmendekati apa yang terbaik. Jadi jikalau ada yang kurang baik, yang baik
dan yang lebih baik, semuanya mengharuskan adanya yang terbaik. Dari
semuanya dapat disimpulkan bahwa harus ada sesuatu yang menjadi sebab
daris segala yang baik, segala yang benar, segala yang mulia. Yang
menyebabkan semuanya itu adalah Allah.
e. Kita menyaksikan, bahwa segala sesuatu yang tidak berakal seperti
umpamanya tubuh alamiah, berbuat menuju pada akhirnya. Dari situ tampak
jelas, bahwa tidak hanya kebetulan saja semuanya itu mencapai akhirnya, tapi
memang dibuat begitu. Maka apa yang tidak berakal tidak mungkin bergerak
menuju akhirnya, jikalau tidak diarahkan oleh suatu tokoh yang berakal,
berpengetahuan. Inilah Allah.

Dari kelima bukti di ats, kita dapat mengetahui bahwa ada suatu tokoh yang
menyebabkan adanya segala sesuatu, tokoh/actus yang berada karena diriNya sendiri, yaitu
Tuhan (Allah), tetapi semua itu tidak dapat membuktikan hakikat Allah yang sebenarnya
kepada manusia. Para insan tahu sebatas bahwa Allah ada tanpa mengetahui wujud riil-Nya.
Namun, pada dasarnya para manusia memang memiliki beberapa pengetahuan filsafat
tentang Allah.

Berpijak pada keyakinan dan kenyatan bahwa manusia mempunyai kelebihan yang
membedakan mereka dengan makhluk lain, yaitu akal, St. Thomas Aquinas berpendapat
bahwa terdapat tiga cara yang dapat ditempuh manusia untuk mengenal Tuhannya. Ketiga
cara tersebut adalah sebagai berikut:

1. Segala makhluk sekadar mendapat bagian dari keadaan Allah. Hal ini mengakibatkan,
bahwa segala yang secara positif baik pada para makhluk dapat dikenakan juga
kepada Allah (via positiva).
2. Via Negativa, merupakan kebalikan dari teori pertama. Disebabkan oleh adanya
analogi keadaan yaitu segala yang ada pada makhluk tentu tidak ada pada Allah
dengan cara yang sama
3. Jadi ada yang baik pada makhluk tentu berada pada Allah dengan cara yang jauh
melebihi keadaan pada para makhluk itu (via iminentiae).

4. Penciptaan

Pemikiran filsafat Thomas Aquinas yang tidak kalah penting dari yang lain adalah
filsafat tentang teori penciptaan.Filsafat ini tidak lepas dari ajaran tentang partisipasi, dasar
yang dia terima dari Agustinus-Neoplatonisme. Namun demikian terdapat perbedaan yang
mendasar antara pemikiran kedua tokoh tersebut. Ajaran Neoplatonisme menekankan
emansipasi makhluk, sedangkan ajaran Thomas Aquinas menekankan pada kelebihan Allah,
yaitu murni karya penciptaan Allah yang menyebabkan keberadaan dunia seisinya.

Penciptaan merupakan perbuatan Allah secara kontinu dan berkelanjutan. Adapun


makluk-makhluk dan benda-benda ciptaan-Nya bersifat fana. Dari kekekalan, Allah
menciptakan jagat raya dan waktu. Penciptaan yang terjadi secara kontinu untuk menciptakan
para makhluk untuk dipelihara. Dengan demuikian tidak ada dualisme Allah dan para
makhluk-Nya, seperti manusia dan alam semesta. Menurut ajaran ini, Allah menciptakan dati
”yang tiada” yang biasa disebut ex nihilo. Mengutip bahasa Al-Qur’an, Allah (Islam) bersifat
Maha Menciptakan, melalui kun fayakun Nya, Dia (Allah) berkuasa penuh atas perwujudan
makhluk yang Dia ciptakan.

5. Makhluk murni

Dalam teori filsafat ini, para malaikat yang merupakan makhluk rohani yang murni
juga tersusun dari essentia dan exentia. Malaikat-malaikat itu berwujud roh(essentia/hakikat)
dan bereksitensi. Hakikat dan eksisitensi para malaikat membedakan mereka dengan
makhluk-makhluk lain seperti manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda mati.
Karena para malaikat tidak mempunyai potensi untuk berkembang sebagaimana makhluk
hidup ciptaan Allah yang lain, mereka tidak mempunyai susunan materi, bentuk, potensi dan
aktus, para malaikat tidak memiliki jasad, hanya ruhlah yang menjadi essentia (hakikat)
mereka.

6. Jiwa

Pada bahasan teori filsafat tentang makhluk murni menekankan pada hakikat dan
eksistensi para malaikat, sementara pada filsafat Jiwa, hal yang ditekankan adalah hakikat
dan eksistensi manusia. Menurut teori ini, manusia adalah makhluk yang berdiri sendiri dan
tersusun atas bentuk dan materi. Manusia memiliki jiwa atau ruh dengan tubuh/jasad sebagai
bentuknya.

Menurut Thomas Aquinas, jiwa dan jasad tidak dapat dipisahkan, mereka saling
berhubungan. Jiwa bukanlah hal yang berdiri sebagai individu melainkan merupakan daya
gerak yang memberikan wujud kepada tubuh sebagai materi. Sehingga, manusia memiliki
dua hal yang menyatu sebagai pembentuk diri, yaitu pembentuk jassmani dan rohani mereka.
Jiwalah yang menjadi kekuatan ruhani manusia, yang menyatu dalam jasad manusia dan
memiliki lima daya/kekuatan sebagai berikut:

a. Daya jiwa vegetatif, yaitu hal yang berkaitan dengan penggantian zat dan
pembiakan.
b. Daya jiwa yang sensitif, yaitu yang berkaitan dengan keinginan. Jiwa
mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi arah keinginan manusia.
c. Daya jiwa yang menggerakkan. Jasad para makluk, termassuk manusia dapat
tergerak untuk hal-hal tertentu karena pengaruh jiwa.
d. Daya jiwa untuk berfikir. Dengan adanya jiwa, manusia terdorong untuk
berfikir, menentukan tata cara melakukan dan mewujudkan perubahan.
e. Daya jiwa untuk mengenal. Proses identifikasi yang dilakukan manusia
terhadap hal yang ada dan terjadi di sekeliling mereka dipengaruhi oleh jiwa
dan kekuatannya. Dengan jiwa pula manusia dapat mengenal Tuhan.

7. Etika Teologis

Tidak terlepas dari hubungan dan kehidupan manusia, filsafat etila teologis yang
disampaikan oleh Santo Thomas Aquinas ini mengajarkan tentang moral. Etika mencakup
moral yang diberlakukan bagi manusia sebagai individu maupun kelompok/masyarakat,
menurut ajaran ini merupakan cahaya yang diturunkan oleh Allah dari cahaya manusia atau
diturunkan dari tabiat manusia sebagai makhluk sosial yang hidup dalam lingkungan
masyarakat. Menurut Thomas Aquinas tindakan yang mengerakkan manusia kepada tujuan
akhir berkaitan dengan kegiatan manusiawi bukan dengan kegiatan manusia. Perintah moral
yang paling dasar adalah melakukan yang baik, menghindari yang jahat.

Berbeda dengan khalayak pada era kehidupannya, St. Thomas Aquinas menganut
pola pikir dan metode induktif. Dia menyesuaikan etika dengan kenyataan hidup. Etikanya
bersifat teologis, etika yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah sebagai Sang Pencipta.
Namun demikian, etika teologis yang dia sampaikan tidak membuat ciri khas filosofis bahwa
etika mempunyai kecenderungan untuk mengarahkan manusia menemukan garis hidup dan
akalnya lenyap begitu saja. Realisaasinya adalah mewujudkan tujuan paling akhir dari
kehidupan manusia yaitu secara perorangan manusia meyakini Allah dan secara sosial
masyarakat, manusia harus diatur sesuai dengan tuntutan tabiat manusia untuk dapat saling
membantu sesama manusia dalam mengendalikan nafsu yang tidak lepas dari diri dan jiwa
mereka.

Menurut St. Thomas Aquinas, pada dasarnya semua nafsu adalah baik. Yang
manjadikan wujud kejahatan pada nafsu-nafsu tersebut adalah ketika nafsu-nafsu tersebut
melanggar wilayah masing-masing dantidak mendukung akal serta kehendak. Kejahatan
selalua ada selama kebaikan masih ada. Nafsu dapat dikendalikan melalui akal yang
merupakan pencerminan dari akal Illahi, akal yang mendasari kehidupan yang berpijak dan
beriman kepada Allah sehingga akal tersebut dapat menghasilkan kebajikan. Pandangan
St.Thomas Aquinas mengenai peraturan menunjukkkan kelebihan etika filsafat yang dia
sampaikan dibandingkan dengan etika teolog yang lain.

Dwi Pujianingtyas P. | 2012 | Thomas Aquinas; Biografi dan Pemikiran


Hugo de Groot

Hugo de Groot atau yang lebih dikenal dengan Grotius adalah tokoh pemikir Belanda kaliber
internasional dengan segudang karya monumental yang bukan saja menjadi rujukan
masyarakat internasional, tapi juga memberikan pengaruh mendalam dan rela f abadi dalam
sejarah dunia. Grotius adalah tokoh dengan mul wajah dan wijhah (orientasi) keilmuan. Dia
adalah ahli sejarah, ahli hukum,filosof, diplomat, dan juga prak si hukum. Dari sekian banyak
pengakuan danjulukan yang diterima Grotius adalah kepakarannya dalam hukum
internasional sehingga dunia mengakuinya sebagai Bapak Hukum Internasional Modern
khususnya lewat magnum opus nya, De Jure Belli ac Pacis.

Buku “De Jure Belli ac Pacis” adalah karya yang masuk da ar karya klasik dunia (universal
classic) yang substansinya dak didasarkan kepada keahlian yang lazim dalam sebuah karya
klasik. Dalam buku ini Grotius menyajikan pikiran dan ide- idenya lewat retorika yang keluar
dari arus utama yang cenderung monoton dan membosankan, juga berhasil mengurai
kompleksitas persoalan yang nyaris tanpa solusi dengan jalan keluar yang berbasis
rasionalitas canggih. Oleh karenanya dak aneh apabila karya Grotius ini diakui sebagai
tulisan yang sangat bermutu dan elegan.

Meskipun diakui mengandung beberapa kelemahan, namun karya Grotius ini diakui sebagai
karya jenius yang terekam abadi dalam lipatan sejarah manusia berabad-abad. Tampil sebagai
ilustrasi kemajuan peradaban manusia dan merupakan warisan yang sangat berharga. Karya
Grotius ini bukan literatur dalam penger an teknis, tapi lebih nggi dari itu. Sebuah
kemenangan kecerdasan atas dominasi irasionalitas dan kecenderungan peradaban.

Publikasinya menandai sebuah era dalam sejarah bangsa-bangsa ke ka mengalami peradaban


chaotik tanpa hukum dan nalar, ia berhasil menciptakan sebuah sistem yang mencerahkan
untuk menerangi jalan penguasa dan masyarakat agar berada di jalan damai dan kerukunan
antar bangsa yang abadi.

1.Sketsa Biografis
Grotius, atau Hugo de Groot yang dalam bahasa La n dikenal dengan nama Huig de
Groot lahir di kota Del , Belanda, pada tanggal 10 April 1583.¹ Grotius memulai
pendidikannya di Universitas Leiden pada tahun 1594 pada usia sebelas tahun sehingga ia
dijuluki sebagai anak yang dewasa sebelum waktunya (precocious). Karena kecerdasannya,
Grotius kemudian menjadi murid dari para ilmuwan terkenal dari Belanda, juga ilmuwan
Prancis kenamaan J.J.Scaliger, sejarawan Belanda Justus Lipsius, dan ahli matema ka Simon
Stevin.² Berbeda dengan anggapan masyarakat pada umumnya yang menganggap Grotius
hanya menekuni bidang hukum, faktanya dia memina banyak cabang ilmu yang ditawarkan
di universitas. Di didik dalam tradisi pendidikan yang humanis memberikan pengaruh khusus
kepada Grotius yang membawanya menjadi sosok sastrawan La n dan juga ahli sejarah
kenamaan.³
Grotius lulus dari Universitas Leiden pada tahun 1597 kemudian bergabung dengan
Jus n van Nasau dan Johan van Oldenbarnevelt dalam suatu misi diploma k ke Prancis yang
bertujuan untuk mencegah Prancis melakukan perjanjian perdamaian dengan Spanyol, karena
Belanda terlibat perang untuk memerdekakan diri dari Spanyol. Meskipun demikian, Grotius
dak memainkan peran diploma k resmi, hanya mendampingi gurunya Oldenbarnevelt.⁴
Meskipun misi diploma k tersebut dak sepenuhnya sukses, namun sangat berar bagi Grotius,
karena dia mendapat pujian dari Raja sebagai “the miracle of Holland”. Yang lebih pen ng,
satu tahun kemudian Grotius dianugerahi doktor ilmu hukum dari University of Orleans yang
dikemudian hari akan menjadi modal pen ng atas kontribusinya dalam sejarah pertumbuhan
hukum internasional.
Pada tahun 1601 Grotius mulai berkarir sebagai sejarawan yang antara lain menulis
mengenai legi masi perjuangan kemerdekaan Belanda dari Pemerintah Spanyol yang
dituangkan dalam bukunya De An quitate Reipublicae Batavicae (The An quity of the
Batavian Republic). Tiga tahun kemudian (1604) ke ka usianya menginjak 23 tahun, Grotius
membuka kantor hukum dan salah satu klien utamanya adalah Dutch East India Company.
Sebagai prak si hukum Grotius terlibat dalam penyelesaian sengketa hukum antara Portugis
dan Belanda dalam masalah perdagangan di Selat Malaka pada tahun 1602. Buah dari
keterlibatannya, Grotius kemudian menulis buku dengan judul De Jure Praedae (Rampasan
yang legal). Meskipun buku tersebut dak tuntas namun berisi argumentasi hukum Grotius
dalam kasus tersebut. Tanpa alasan yang jelas, Grotius dak pernah menerbitkan buku
tersebut. Manuskrip tersebut kemudian ditemukan di sebuah pelelangan pada tahun 1864.
Salah satu bagian pen ng dari manuskrip tersebut adalah bab yang membahas mengenai
konsep Mare Liberum (Laut Bebas) yang berisi argumentasi hukum untuk mempertahankan
hak berdagang Dutch East India

Catatan kaki ; Charles Edwards, Hugo Grotius the Miracle of Holland: A Study in Poli cal and Legal Thought, Chicago:
Nelson-
Hall, 1981, hlm. 2; R.W. R.W. Lee, Hugo Grotius, Annual Lecture on a Mastermind, Henrie e Hertz Trust of the
Bri sh Academy 1930, London: Humphrey Milford, 1930, hlm. 5.
Richard Tuck, Introduc on to The Rights of War and Peace, Indianapolis: Liberty Fund, 2005, hlm. xiii.
Company dalam negosiasi 11 tahun gencatan senjata antara Spanyol dan Belanda pada tahun
1609 .⁵
Mare Liberum mendapat respon serius dari kalangan ilmuwan. Pada tahun 1612 buku
tersebut ditempatkan dalam da ar buku terlarang oleh lembaga Inkuisisi Spanyol (Spanish
Inquisi on) dan pada tahun 1625 para ilmuwan Portugis di Universitas Valladolid yang
dipimpin oleh Guru Besar Hukum Kanonik Serafim de Freitas menerbitkan buku dengan
judul De justo imperio Lusitanorum Asia sebagai bantahan terhadap Mare Liberum. Yang
paling masyhur adalah bantahan dari ilmuwan Inggris, John Selden yang mempublikasikan
bukunya pada tahun 1636 dengan judul provoka f dan menantang, Mare Clausum.⁶
Perdebatan panas antara Grotius dan Selden, antara Mare Liberum versus Mare Clausum ini
masyhur dengan is lah ‘Ba le of the Book’.
Sebagai seorang Teolog, pada tahun 1611 Grotius menerbitkan buku dengan judul Mele us
sive de iis quae inter Chris anos conveniunt epistola (Mele us or Le er on the Points of
Agreement between Chris ans) yang berisi gagasan mengenai persatuan Kristen. Buku teologi
berikutnya diterbitkan tahun 1617 dengan judul Defensio Fidei Catholicae de Sa sfac one (A
Defence of the Catholic Faith Concerning the Sa sfac on of Christ, Against Faustus Socinus).
Karya tersebut melibatkan Grotius pada pemikiran kontroversial mengenai keagamaan pada
waktu itu. Grotius dan rekannya sekaligus juga gurunya Johan van Oldenbarnevelt ditangkap
pada tanggal 29 Agustus tahun 1618 atas laporan lawan poli knya untuk suatu kesalahan yang
dak jelas. Namun penahanan ini menjadi berkah tersendiri bagi Grotius, karena selama di
penjara dia dapat menuntaskan beberapa karya tulisnya antara lain De Veritate Religionis
Chris aniae dan Inleiding tot de Hollandsche Rechtsgeleertheyd (Introduc on to the
Jurisprudence of Holland). Karya tulis lainnya yang diselesaikan adalah De Jure Belli ac
Pacis yang mulai ditulis pada tahun 1622 dan dipublikasikan pada tahun 1625. Buku ini
merupakan magnum opus dari Grotius dan menjadi iden k dengan dirinya. Penulisan buku ini
dimo vasi oleh situasi sosial poli k yang penuh gejolak ke ka itu dan kerusakan akibat Perang
Tiga Puluh Tahun.⁷ Grotius meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus 1645 pada usia 62
tahun dan dimakamkan di kota Delft.

Catatan kaki : Mar n van Gelderen, Introduc on to The Dutch Revolt, Cambridge: Cambridge University Press, 1993, hlm.
xxvii.
Hugo Grotius, Mare Liberum (The Free Sea), trans. Richard Hakluyt, ed. David Armitage, Indianapolis: Liberty
Fund, 2004.
Mónica Brito Vieira, “Mare Liberum vs. Mare Clausum: Grotius, Freitas, and Selden’s Debate on Dominion over
the Seas,” Journal of the History of Ideas, Vol. 64, No.3, 2003, hlm. 361–77.
Yasuaki Onuma, Introduc on to A Norma ve Approach to War: Peace, War and Jus ce in Hugo Grotius, Oxford:
Clarendon Press, 1993, hlm. 8.

2. Sekulerisasi Hukum Alam


Secara tradisional, hukum alam pada umumnya dinisbahkan kepada hukum Tuhan atau
hukum agama (...to link reason with some no on of a deity).⁸ Hukum alam dimaknai sebagai
hukum yang lebih nggi (higher law) yang memiliki karakteris universal dan itu dak lain
adalah hukum Tuhan. Hukum alam adalah hukum yang berisi kehendak Tuhan (divine will).⁹
Salah satu proponen utamanya adalah Thomas Aquinas yang kemudian mempopulerkan
mazhab Thomism.¹⁰ Proponen lainnya adalah John Salisbury, Dante Alighieri, Piere Dubois,
Marsilius Padua, John Wyclliffe dan Johannes Huss. Bagi kaum Thomisms, hukum alam
adalah hukum yang
bersumber dari sesuatu yang berada di luar nalar (irasional). Grotius kemudian mengoreksi
paham ini dengan melepaskan hukum alam dari unsur-unsur teologis. Sumber hukum alam
adalah rasionalitas manusia. Dengan perkataan lain, Grotius melakukan sekulerisasi hukum
alam. Hal ini dilakukan Grotius sebagai bagian dari reformasi di kawasan Eropa Utara
dengan menumpang reformasi gereja yang dilakukan oleh kaum Kristen Protestan. Dengan
pola pikir yang menolak teologi Katolik Roma dan juga menolak paham hukum alam ala
kaum Thomist, Grotius lebih memilih nalar (akal budi manusia) sebagai sumber hukum alam
dengan meminjam konsep Plato mengenai nalar sosial umat manusia (social nature of
humankind). Dalam konteks ini eksistensi hukum alam dipahami sebagai perwujudan dari
akal budi manusia, yaitu kehendak untuk hidup bersama dalam masyarakat. Jadi, menurut
Grotius yang alami itu (nature) sekaligus juga yang rasional itu adalah keinginan manusia
untuk hidup di masyarakat. Maka, hukum alam menurut Grotius adalah hukum yang berbasis
kepada akal budi manusia. Namun, Grotius memaknai nalar sosial ini lebih luas dari
pemaknaan Plato. Menurut Grotius, nalar sosial ini bukan sebatas kehendak untuk hidup
dimasyarakat, tetapi juga kehendak untuk hidup dalam suatu masyarakat yang damai dan ter
b (peaceful and well-ordered society). Jadi, nalar sosial tersebut bukan saja prasyarat untuk
terjaganya ter b sosial, melainkan juga menjadi sumber dari segala bentuk hukum (source of
all law properly so-called). Atas dasar ini, Grotius mendalilkan bahwa, “natural law is so
immutable that it cannot be changed by God Himself”. Hukum alam yang sudah
tersekulerkan menurut Grotius didasarkan atas dua prinsip pokok. Pertama, secara a priori,
menguji segala sesuatu dengan parameter rasionalitas dan akal budi manusia, kedua, secara a
posteriori, menguji penerimaan

catatan kaki : Ian McLeod, Legal Theory, UK: Palgrave Macmillan, 2005, hlm. 55.
Brian Bix, “Natural law Theory” dalam buku A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory, yang disusun
oleh Dennis Pa erson (ed.), Oxford: Blackwell Publishers, 1999, hlm. 224-225.
McLeod, Op.cit., hlm. 52.

prinsip tersebut oleh bangsa-bangsa di dunia. Menurut Grotius, hukum alam terdiri dari
prinsip-prinsip mengenai nalar yang benar (right reason) yang mengantarkan kita untuk
mengetahui bahwa suatu perbuatan itu secara moral benar atau salah atas dasar kesepakatan
atau ke daksepakatan dengan per mbangan rasional dan nalar sosial. Hukum alam dapat
ditemukan (discoverable) dengan nalar manusia. Menurut nalar hukum alam yang
tersekulerkan (seculerized natural law) ala Grotius, benar dan salah tergantung kepada
hakikat atau nalar tentang sesuatu, bukan karena firman Tuhan (decre of Good).¹¹ Dalam
konteks ini Ian McLeod mengatakan sebagai berikut, “...by delivering an account of natural
law devoid of the taint of Propery, Grotius made it possible for people to subscribe to its
tenets, irrespec ve of the nature, or even the existence, of their personal religious beliefs”.¹²
Beberapa contoh prinsip hukum alam yang berbasis kepada nalar sekulernya Grotius antara
lain, Pacta sunt servanda (perjanjian harus dihorma ), menghorma hak milik orang lain,
pembayaran kompensasi atas kerugian yang di mbulkan.
Prinsip-prinisp tersebut terlahir dari nalar sosial manusia, demikian kata Grotius. Dalam
bukunya yang dipublikasikan lebih awal, De Jure Praedae, Grotius mengemukakan prinsip
pokok ajarannya tentang hukum alam sebagai sesuatu yang bersumber dari Tuhan sebagai
pencipta alam semesta. Namun, pergeseran ke arah sekulerisasi hukum alam mulai terlihat
dalam magnum opus nya, De Jure Belli ac Pacis yang mendefinisikan hukum alam bukan
sebagai divine will, melainkan, “...the Rule and Dictate of Right Reason, shewing the Moral
Deformity or Moral Necessity there is in any Act, according to its Suitableness or
Unsuitableness to a reasonable Nature”. Konsekuensinya, kata Grotius, suatu perbuatan
dinilai baik atau buruk bukan oleh Tuhan sang Pencipta semesta, melainkan oleh rasionalitas
alamiah (reasonable nature).¹³ Dalam hal ini Grotius menegaskan bahwa prinsip hukum alam
tersebut memiliki suatu validitas intrinsik dan dapat dipahami sebagai sebuah upaya untuk
mewujudkan suatu tatanan moral universal yang sebenarnya di tengah perpecahan ins tusi
dan paham keagamaan (Kristen) pada saat itu.¹⁴ Hal ini tentu saja berkaitan dengan semakin
menyusutnya pengaruh dogma ajaran Kristen. Sekulerisasi hukum alam ala Grotius menurut
Jean Barbeyrac berbasis kepada apa yang oleh Grotius disebut sebagai e amsi daremus atau
disebut juga sebagai hipotesis non-theis k (impious hypothesis). Hipotesis ini sebetulnya
digunakan oleh Grotius sebagai basis filosofis dalam pengembangan teori hukum
internasional. Ada dua arus utama terkait dengan interpretasi seputar sekularisasi hukum alam
yang berbasis kepada hipotesis non-theis k. Menurut penafsiran konven onal (standard

Catatan kaki : Hari Chand, Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur: Interna onal Law Book Series, 2005, hlm. 41.
McLeod, Op.cit., hlm. 56.
Jeffery, Op.cit., hlm. 36.
E.B.F. Midgley, The Natural Law Tradi on and the Theory of Interna onal Rela ons, New York: Harper & Row,
1975, hlm. 141.

or orthodox interpreta on), sekulerisasi hukum alam dilakukan oleh Grotius lebih ditujukan
sebagai emansipasi ilmu hukum (emancipa on of jurisprudence) khususnya hukum
internasional dari dominasi teologi, khususnya dominasi interpretasi kaum gereja dan para
teolog Kristen. Sedangkan menurut tafsir kaum revisionist, teori hukum alam Grotius itu
bukan dan dak mengarah kepada sekulerisasi hukum alam, karena Grotius masih
mempertahankan premis-premis Ketuhanan di dalam doktrin-doktrinnya. Dalam hal ini
Grotius mengatakan sebagai berikut: “God, as being our Creator, and to whom we owe our
Being, and all that we have, ought to be obeyed by us in all things without Excep on,
especially since he has so many Ways shewn his infinite Goodness and Almighty Power”.
Pernyataan ini mengindikasikan bahwa hipotesis non-theis k hanya sekedar sarana hipote s
yang digunakan untuk menyambungkan tata laku atau moralitas yang berbasis kepada ajaran
Kristen dengan yang berbasis kepada nalar manusia.¹⁵
Dengan menetapkan prinsip bahwa hukum alam itu tetap berlaku, meskipun tanpa kehadiran
Tuhan, Grotius sebenarnya ingin menghilangkan dominasi doktrin Kristen, sehingga
masyarakat di luar penganut Kristen dapat mengiku dan menaa hukum khususnya hukum
perang dan damai yang dia perjuangkan ke ka itu. Menurut Ernest Troeltsch, Grotius secara
eksplisit menegaskan hubungan antara teorinya dengan dominasi Calvinism dan berusaha
untuk menggan sistem negara Gereja Calvinis c yang mendominasi kehidupan poli k dan
agama di Belanda yang menyebabkan negara tersebut menjadi terpecah, dengan kebijakan
yang lebih
toleran yang berbasis kepada rasionalitas dan mo vasi-mo vasi poli k.¹⁶ Dengan demikian,
hipotesis non-theis k itu dak ada kaitannya dengan sekulerisasi hukum
alam, melainkan untuk menegaskan bahwa hukum alam itu bukan dan dak berkaitan dengan
kehendak yang sewenang-wenang (arbitray will) atau Kehendak Tuhan (Divine Will).
Hukum alam adalah suatu sistem hukum abadi (immutable system) yang memiliki otonomi
dan indepedensi tersendiri untuk menentukan validitas norma fnya.¹⁷ Hal ini dikonfirmasi
oleh Grotius yang mengatakan bahwa, “...not even God can change the law of nature”.

3.Ius Getium
Iusgetium adalah is lah paling tua yang digunakan untuk merujuk kepada apa yang sekarang
dikenal dengan hukum internasional. Para sejarawan mencatat bahwa is lah tersebut pertama
kali digunakan oleh ahli hukum Romawi kenamaan, Markus Tullius Cicero (106-43 B.C.).
Oleh karenanya Cicero diakui dan dikenal sebagai Bapak Hukum Bangsa-Bangsa (Father of
the Ius Gen um). Ius gentium

Catatan kaki : Jeffery, Op.cit., hlm. 37.


Ibid.
B.P. Vermeulen and G.A. Van Der Wal, “Grotius, Aquinas and Hobbes: Gro an Natural Law between Lex Aeterna
and Natural Law,” Gro ana, Vol. 16/17 (1995/1996), hlm. 71.

dimaksudkan sebagai perwujudan hukum alam dalam realitas kehidupan manusia. Hal ini
bisa dilihat dari pernyataan Cicero ke ka menjelaskan relasi antara lex naturae dan ius
gentiumsebagai berikut: “...what is accepted by all peoples is to be held as natural law”. Oleh
karenanya ius gentiumdan ius naturale sebenarnya adalah sinonim, karena keduanya berasal
dari nalar alamiah (ra o naturalis).
Terilhami oleh esensi dari ius gen um, Grotius mengangkat sistem hukum alam untuk
menjadi hukum bangsa-bangsa (ius gentiumprimarium). Secara specific Grotius mengatakan;
“what the common consent of mankind has shown to be the will of all, that is law.”¹⁸ Grotius
kemudian mensistema sasi ius gentiummenjadi hukum internasional modern lewat karyanya
De Iure Belli ac Pacis (Hukum Perang dan Damai) yang dipublikasikan pada tahun 1625.
Grotius menawarkan
hukum antar bangsa yang berbasis kepada kehendak negara (voluntary ius gen um), suatu
sistem hukum posi f yang berbeda dengan hukum alam. Perwujudan hukum ini adalah
perjanjian (trea es) dan kebiasaan (customs) yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat
Eropa pada saat itu. Dalam pengantar bukunya De Iure Belli ac Pacis, Grotius menjelaskan
dua fondasi hukum bangsa-bangsa, yaitu pertama, kebiasaan (custom) dan persetujuan
(consent), dan kedua adalah “nature” (alam) baik dalam hukum posi f maupun hukum alam.¹⁹
Meskipun Grotius membedakan fondasi ius gentiumyang berasal dari hukum alam dan
hukum posi f, namun dia menegaskan bahwa berbagai macam hukum posi f sebenarnya
merupakan derivasi dari hukum alam. Basis hukum alam dalam ius gentiumditemukan dalam
prinsip mengenai kewajiban dan persetujuan bersama. Hal inilah yang menjadikan individu
terikat oleh perjanjian
untuk melaksanakan kewajiban satu individu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, menurut
Grotius, hukum alam dapat dikatakan sebagai ‘nenek moyang’ (Great Grandmother) dari
hukum domes k (municipal law) dan juga berbagai bentuk hukum posi f lainnya. Namun,
menurut Samuel Pufendorf, ini dak berar bahwa hukum bangsa-bangsa atau hukum
internasional itu sebagai hukum alam yang diterapkan kepada negara-negara. Tapi, hukum
alam itu adalah, pertama, sumber independen bagi hukum internasional, dan kedua, penetrasi
hukum alam dianggap mendampingi elemen-elemen pen ng lainnya dari semua bentuk
hukum.²⁰Dalam perkembangannya, Grotius membedakan antara hukum internasional dengan
hukum alam. Perbedaan utamanya terletak pada “persetujuan bersama” (common consent).
Hukum internasional mensyaratkan adanya persetujuan bersama dari negara-negara,
sedangkan eksistensi hukum alam dak memerlukan adanya persetujuan tersebut.

catatan kaki : Sebagaimana diku p oleh Jeffery, Op.cit., hlm. 38.

4. Hukum alam dan hukum internasional


Hukum internasional (ius gen um) menurut Grotius seper halnya hukum perdata masing-
masing negara adalah produk dari kehendak bukan produk alam atau nalar. Lebih lanjut
Grotius menjelaskan bahwa hukum internasional adalah tata laku (code of conduct) yang
mengatur interaksi negara-negara atau pemerintahan yang memberikan manfaat bagi negara-
negara. Hal yang sama berlaku pula bagi hukum perdata suatu negara yang memberikan
manfaat bagi negara tersebut atau warganegaranya. Kemanfaatan yang spesifik terhadap
negara-negara inilah yang merupakan elemen pembeda dengan konsep hukum alam. Alih-
alih menjadi komponen atau elemen dari hukum alam, hukum internasional justru merupakan
tata laku norma f yang otonom (autonomous norma ve code) yang paling sedikit dibatasi atau
terkendala oleh hukum alam. Menurut Grotius sebagaimana diku p Teson,²² hukum alam
menempatkan
dirinya sebagai penjaga moral manakala terjadi pengabaian terhadapnya. Apabila hukum
internasional dak mengatur, misalnya, apakah tawanan perang itu boleh dibunuh atau dak,
maka hukum alam akan menegaskan bahwa tawaranan perang dak boleh dibunuh. Tapi
apabila hukum internasional mengatur mengenai hal ini, maka aturan hukum internasional ini
akan menggan kan aturan hukum alam. Dalam konteks ini, Grotius menjelaskan lebih lanjut
bahwa hukum internasional dapat mengijinkan suatu ndakan yang sebetulnya terlarang dalam
hukum alam. Misalnya, hukum internasional dapat membenarkan adanya pembunuhan
terhadap tawanan perang . Hukum internasional menurut Grotius menjamin eksistensi doktrin
“solemn war” (perang yang benar mensyaratkan adanya deklarasi perang). Jadi, menurut
hukum internasional, suatu peperangan dinyatakan benar (just) apabila didahului dengan
deklarasi perang (solemn). Hal ini berbeda dengan hukum alam yang mengajarkan bahwa
suatu peperangan dianggap sah (just) apabila dilakukan untuk melawan atau menghukum ke
dakadilan alamiah (natural injus ces). Terlebih lagi, hampir semua larangan perang menurut
hukum alam justru dihapus dan digan kan dengan kebolehan menurut hukum internasional.
Dalam konteks ini adalah sah menurut hukum bagi seorang musuh untuk melukai lawannya
baik terhadap orang maupun barang. Pandangan ini menurut Teson cukup mengkhawa
rkan.²³ Grotius tampaknya ingin melegalkan kebiadaban perang agar sesuai dengan hukum
internasional. Tapi sebetulnya yang diinginkan oleh Grotius bukan menjadikan hukum
internasional sebagai hukum yang memiliki kekuasaan preskrip f. Yang menjadi perha an
Grotius adalah menjadikan hukum internasional bagian dari hukum posi f tapi bukan bagian
dari hukum yang dianggap valid secara preskrip f. Dalam konteks ini terdapat dua penger an
kata “lawful” (sah secara hukum), pertama adalah yang benar-benar sah oleh dirinya sendiri,
kedua yang sah secara eksternal. Hukum internasional ditolak sebagai hukum yang memiliki
kekuasaan preskrip f terutama disebabkan karena dak memiliki kekuatan mensahkan atau
mem-validkan dirinya sendiri. Alasan inilah yang menyebabkan Grotius mengenyampingkan
hukum internasional atas nama hukum alam. Yang lebih pen ng, alasan utama yang
digunakan Grotius untuk mendukung pandangan terbaliknya terhadap doktrin solemn war
adalah betul-betul didasarkan atas nilai hukum alam khususnya mengenai konsep equity
(kesetaraan), jus ce (keadilan), dan reason (nalar). Jadi pada akhirnya, hak untuk memperoleh
perdamaian (the right of peace) yang termasuk pula hak yang secara alamiah berbentuk
perang yang benar dan cara peperangan yang benar, mengalahkan hak untuk berperang (the
right of war).

catatan kaki ;

Fernando R. Teson, “Hugo Grotius on War and the State”, h p://oll.libertyfund.org/pages/lm-grotius, diakses 8
Agustus 2017.

5. Just War
Konsep just war (perang yang adil/benar) merupakan salah satu tema dalam magnum opus
nya Grotius. Dia membedakan antara ius ad bellum (alasan perang yang benar/the righ ul
causes of war) dan ius in bello (tata cara perang yang benar/the righ ul conduct of war).
Perang menurut Grotius, bukan hanya sesuai tapi dalam hal tertentu merupakan keharusan
yang dibenarkan oleh ke ga sistem hukum yaitu hukum alam, hukum internasional, dan
hukum domes k. Grotius dak menganggap bahwa perang itu diluar parameter moral dan
hukum, tapi dia berpendapat bahwa perang adalah instrumen untuk pemenuhan hak. Oleh
karena itu dia berpendapat bahwa apabila penyelesaian secara hukum gagal, maka perang
dapat dilakukan sebagai alternatif penyelesainnya.²⁴

Catatan kaki : Ibid.


Lihat Edward Dumbauld, Life and Legal Wri ngs of Hugo Grotius, Norman: University of Oklahoma Press, 1969,
hlm. 73.
John austin

Dalam pandangan Austin membedakan dua jenis hukum


menjadihukum yang dibuat oleh Tuhanuntuk orang-orang yang patuhdan
hukum yangdibuatoleh manusia untuk manusia. Meskipun masih membuka dengan
menjabarkanapa itu hukum Tuhan dan hukum manusia, namun Austin telah menunjukan
John Austin, gugatannya” terhadap hukum Tuhan yang penuh pengibaratan yang tidak valid
karena harus diterjemahkan melalui pengibaratan atau metefor.Sementara hukum yang dibuat
oleh manusia, Austin menyebutkan bahwa hukum tersebut dikeluarkan oleh sebuah
otoritasyang berdaulat.Yang memiliki kedaulatan ini mungkin individu atau juga sekelompok
individu. Syaratnya: (1) individu atau kelompok individu merupakan orang atau sekelompok
orang yang dipatuhi oleh segenapanggota masyarakat; dan (2) individu atau kelompok
individu yang berdaulat ini tidak patuh pada siapa pun juga diatasnya.

Lalu dimana Austin menempatkan moral sebagai aspek yang sangat essensial dalam hukum
alam? Kenyataannya Austin tidak menghilangkan moral dalam pandangan hukumnya. Dalam
dua karya utamanya Austin membedakan yurisprudensi dari moral sedemikian radikalnya
sehingga doktrin Hobbes tentang penyerapan hukum alam oleh hukum perdata dipungkiri dan
di ungguli (demikian pula pandangan Hume dan Bentham terhadap pemikiran ini).
Austin bukanlah seorang yang anti-moral. Namun beranjak dari pandangan monolak secara
validitas moral yang bersifat transenden, Austin memberikan ruang yang terpisah dari hukum
dalam kaca mata psitivisme hukumnya yang membuat identitas atas pemikirannya tentang
hukum sebagai yurisprudensi analitik.

Austin membedakan sendiri dalam tulisannya bahwa ada hukum positif dan moral positif.
Kedua-duanya merupakan hasil ciptaan manusia yang bersifat valid dan non-transenden dan
bagaimana proses kelahirannya.

Dengan demikian Austin mengemukakan bahwa hukum memilik empat unsur, yaitu: (1)
perintah (command ) , (2) sanksi (sanction) ,(3) kewajiban (duty), dan (4) kedaulatan
(sovereignty). Pemikiran tentang positivisme hukum tentu tidak berhenti ditangan John
Austin. Suntikan modernitas serta eraaufaklarung

membuat positivisme hukum mendapatkan tempat tersendiri. Berangkat dari dasar pemikiran
John Austin yang menyatakat bahwa hukum merupakan komando dari penguasa yang
berdaulat, H.L.A. Hart menangkap adanya kelemahan dari pemikiran John Austin tersebut.
Hart melihat adanya kemungkinan kesewenang-wenangan dari otoritas yang melahirkan
hukum untuk tidak taat atau tunduk kepada hukum yang dibuatnya. Hart menyatakan bahwa
hukum harus dilihat sebagai sebuah sistem peraturan yang mengatur. Pandangan
positivismeHart tergambar dengan bagaimana Hart melakukan pembedaan peraturan menjadi
dua macam yaitu :

1.Peraturan PrimerSecara umum, masyarakat prahukum hidup berdasarkan kebiasaan yang


lazim ditemukan dalam masing-masing komunitas masyarakat. Kerana itu kontrol sosial juga
ditentukan oleh kebiasaan yang biasa berlaku dalam masing-masing komunitas. Struktur
sosial yang mengatur perilaku masyarakatprahukum inilah yang oleh Hart sebut sebagai
“peraturan primer” atautepatnya “peraturan kewajiban
rimer”.2 . P e r a t u r a n S e k u n d e r Peraturan sekunder menjelaskan bagaimana peraturan
primer itu sendiri.Peraturan sekunder menjelaskan cara di mana peraturan primer secara
pastiditegaskan, diperkenalkan, dibuang, dan fakta pelanggarannya juga ditentukansecara
pasti

Catatan kaki : The Province of Jurisprudence Determined(London: Ed. John Murray,Albemarle


Street, 1832), hlm. 1.
Yavita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya,Moralitas Hukum,(Yogyakarta: Genta Publishing, 2014),
hlm. 29.

Hans kelsen

Yang kami maksud dengan “norma”adalah sesuatu yangseharusnyaada atau seharusnya


terjadi, khususnya bahwa manusia seharusnya berperilaku dengan cara tertentu.

Sebagai seorang yang identik dengan pemikiranHukum Tata Negara danHukum


Internasional, pengaruh kondisi sosial-politik dimasanya sangat mempengaruhi pemikiran
Hans Kelses tentang pemurnian hukum. Gerakan anti-yahudi (mulai dari pemilu Austria
hingga anti-Yahudi Hitler) serta perang dunia kedua menjadi peletak dasar pemikiran hukum
murni Hans Kelsen. Ini adalah benturan pertama Kelsen terhadap pemikiran Austin sebagai
komando milik otoritas berdaulat/berkuasa. Pada zamannya, Kelsen merasakan perlakuan
yang diskriminatif akibat hukum yang dilahirkanoleh penguasa serta isu yang anti-
yahudi.Hukum murni yang dimaksudkan oleh Kelsen karena ia hanya menjelaskan hukum
dan berupaya membersihkan obyek penjelasannya dari segala hal yang tidak bersangkut-paut
dengan hukum. Yang menjadi tujuannya adalah membersihkan ilmu hukum dari unsur-unsur
asing.

Pendekatan dan metode pemurnian hukum adalah bentuk pelepasan hukum dari hal-hal
penafsiran atau anasir-anasir yang bersifat non-hukum. Pemurnian hukum ini juga
menyepakati apa yang menjadi pemikiran Austin dan Hart (positivisme hukum)tentang
menentangsifat tradisionalhukum alam.Doktrin hukum alam jatuh bangun dengan asumsi
bahwa nilai itu imanen dalam realitas. Apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa sebuah
analisis obyektif dari realitas, yakni, sebuah analisis yang tidak mempresumsikan secara pasti
nilai atau norma, yang semestinya mengarah pada penegasan terhadap nilai atau norma ini,
maka doktrin hukum alamtidak mempunyai pondasi.

Jika aliran hukum kodrat memiliki argumen pada wacana validasi (legitimasi) hukum buatan
manusia, maka kekuatan argumen Positivisme Hukum terletak pada aplikasi struktur norma
positif itu kedalam struktur kasus-kasus kongkret.

Kelsen melihat ketidak sempurnaan Austin (hukum sebagai komando) dan Hart (hukum
sebagai sebuah sistem aturan) dalam merumuskan hukum positif sebagai sebuah struktur
norma. Sehingga Kelsen melahirkan teori yang melihat hukum sebagai sebuah sistem
hierarkis. Kelsen menamai puncak tertinggi dari hierarkis tersebut dengan sebutan
Groundnorm.Groundnorm

sebagai puncak tertinggi merupakan acuan dari segala sumber hukum dibawahnya baik yang
akan dibentuk atau yang sedang berjalan. Tatanan hukum bukanlah sebuah sistem norma
yang terkordinir yang berkedudukan sama, melainkan sebuah hierarki norma hukum dengan
berbagai jenjang Dengan demikian Kelsen menyatakan bahwa dibawah Groundnorm (norma
dasar) terdapat norma-norma hukum lainnya yang berjenjang.Dengan sistem hierarkis
tersebut,tingkatkeabstrakan tingkatan ditentukan berdasarkan posisinya.

Groundnorm memiliki tingkat keabstrakan tertinggi, dan akan semakin dikongkretkan


semakin mengarah kebawah. Konsep tatanan hukum yang hierarkis ini kemudian diambil alih
oleh Hans Nawiasky dengan modifikasi. Akan tetapi diskursi tentang norma hukum dasar dan
norma fundamental negara ini telah menjebak Kelsen dan Nawiasky pada perangkap aliran
hukum kodrat, sama halnya dengan von Savigny tatkala mengemukakan volksgeist sebagai
jiwa bangsa yangharus hadir sebagai pedoman pelembagaan perilaku sosial.

Berangkat dari Groundnorm sebagai pembatas atas norma-norma dibawahnya, Kelsen


ternyata terjebak dengan pemikirannya sendiri. Validitas hukum menurut Kelsen adalah
validitas hierarkis yang bersifat formil. Sementara konteks materil hukum adalah politik
hukum yang tergantuk kepada ideologi pembuat hukum atau semangat yang dibawa dalam
apa yang disebut dengan volksgeist tersebut. Meski menolak disamakan baik dengan aliran
hukum alam atau aliran sejarah hukum, namun pada kenyataan nilai dalam groundnorm yang
disebut oleh Kelsen sebagai sumber tertinggi ternyata memiliki tingkat keabstarkan yang
tinggi sama halnya dengan hukum alam yang bersifat transenden atau natural.

Akan tetapi norma dasar menurut Kelsen jika dilihat dari proses pembentukan adalah
nilai bersama masyarakat tentang hukum yaitu keadilan. Keadilan dalam kaca mata Kelsen
sebagai tujuan bersama masyarakat sebagai aspek materil dari hukum. Ternyata pemikiran
Austin dan Hart dalam positivisme hukum dengan Kelsen dari sisi formalistiknya.
Meskipundemikian pemikiran Kelsen tentang hierarki norma dalam perkembangan hukum
modern menjadi populer sebagai landasan konsepjudicial review.

Mungkin hal ini sangatlah berhubungan dengan perjalanan Kelsen sebagai perancang
konstitusi Austria yang melahirkan Mahkamah Konstitusi pertama di dunia serta juga
menempatkannya sebagai hakim di sana.

Catatan kaki : Hans Kelsen,Teori Umum Tentang Hukum dan Negara,(Bandung: Nusa
Media, 2011), (Terjemahan), hlm.183.

Hans Kelsen,Dasar-Dasar Hukum Normatif,(Bandung: Nusa Media, 2014), (Terjemahan), hlm. 208.

Shidarta,Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), hlm. 199.

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni,Loc.cit., hlm. 244.


Daftar pustaka : Hans Kelsen,Teori Hukum Murni,Nusa Media,Bandung,2011, diterjemahkandari
judul aslinyaThe Pure Theory of Law

John Austin, The Province of Jurisprudence Determined , Ed. John Murray, Albemarle Street,London
1832.

Collison, Diane.2001. Lima Puluh filosof Dunia yang Menggerakkan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hadiwijono, Harun. 1989. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius

http://blog.persimpangan.com/ filafat-perenialisme.

http://id.wikipedia.org/wiki/thomas.

http://thebookofphylosoph.blogspot.com/2010/06/thomisme.html.

http://www.biography.com/people/st-thomass-aquinas.

Anda mungkin juga menyukai