Anda di halaman 1dari 21

TUGAS KELOMPOK 9

MAKALAH
MUKJIZAT DAN SUNATULLAH, MAAD DAN AKHERAT

Disajikan Pada Materi Ajar


Ilmu kalam
Dosen Pengajar

Disusun Oleh :

1. Annisa Nurmuthmainnah 2112170

2. Yusril Alaika 2112281

3. Siti Mutia Rahma 2112266

4. Hagi Aswad 21121944

Sekolah Tinggi Agama Islam AL Karimiyah


(STAISKA)
JL. H. Maksum No.23, Sawangan Baru, Kec. Sawangan,
Kota Depok - Jawa Barat 16511
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
yang berjudul “ Mukjizat dan Sunatullah, Maad dan Akherat “ dapat tersusun sampai dengan
selesai.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Ilmu Kalam. Selain itu makalah ini
bertujuan untuk menambah wawasan tentang pentingnya bagi pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bpk. Selaku guru mata pelajaran Ilmu Kalam.
Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan
makalah ini, semoga bantuannya mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari penyusun
maupun materinya, kritik dan saran sangat diharapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya.

Depok, 12 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................................................

KATA PENGANTAR .....................................................................................................................

DAFTAR ISI ...................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG ..............................................................................................................


1.2 RUMUSAN MASALAH ..........................................................................................................
1.3 TUJUAN PENULISAN ............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

2.1 MUKZIZAT ..............................................................................................................................

2.2 SUNATULLAH ........................................................................................................................

2.3 MA‟AD ......................................................................................................................................

2.4 AKHIRAT .................................................................................................................................

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN ........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Mempercayai akan adanya mukjizat Rasullullah , Hari Kiamat dan alam akhirat
merupakan bukti keimanan kita selama di dunia. Dengan meyakini akan adanya akhirat
maka kita akan senantiasa dan berhati-hati untuk melakukan segala perbuatan selama di
dunia. Salah satunya adalah dengan menjalankan perintah Allah SWT, baik yang wajib
maupun sunnah.
Pembahasan makalah kali ini akan membahas mengenai Mukjizat dan
Sunnatullah,Maad dan Akherat.

1.2 RUMUSAN MAKALAH


Berdasarkan latar belakang di atas, penyajian makalah ini dirumuskan ke dalam
beberapa bagian penting menyangkut Mukjizat Dan Sunnatullah, Maad Dan Akherat yaitu :
1. Apakah mukjizat,sunnatullah,maad dan akherat itu?
2. Apakah tujuan dan manfaat mukjizat?
3. Pembagian sunnatullah menurut para ulama ?
4. Sebutkan argumentasi hari akhir?
5. Apakah pentngnya mengetahui teor ini?

1.3 TUJUAN PENULISAN


Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penyusun makalah ini
bertujuan untuk:
1. Mengetahui pengertian dari mukjizat, sunnatullah ,maad dan akherat
2. Mengetahui kebesaran Allah SWT
3. Meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT

BAB II

2.1 Arti Kata Mukjizat


Mukjizat menurut istilah ialah ‘’melemahkan’’ atau ‘’segala seuatu yang melemahkan’’.
Sedangkan, menurut istilah atau yang lazim dipakai di sisi para ahli agama , mukjizat ialah
keadaan-keadaan dan kejadian-kejadian yang menyalahi kebiasaan atau yang luar biasa
yang dilakukan oleh seorang nabi atau rasul Allah . Atau mukjizat adalah sesuatu
yangmelemahkan kekuatan atau kesanggupan manusia, baik kekuatan lahir maupun batin,
kekuatan jasmani maupun ruhani. Sehingga , seluruh manusia tidak akan mampu
melakukan,menandingi , menyerupai, menolak , atau menentangnya.

Dengan kata lain, mukjizat itu ialah sesuatu yang luar biasa yang terjadi pada diri
seorang nabi atau rasul Allah dalam rangka mendakwakan dirinya sebagai nabi atau rasul
Allah, dan seorang manusia pun tidak akan mampumelakukan yang sepertinya.

A. Tujuan Dan Manfaat Mukjizat

Mukjizat itu oleh Allah diberikan kepada orang orang yang dipilih dan ditetapkan
oleh-Nya menjadi nabi dan rasul-Nya, sejak mereka diangkat menjadi nabi dan rasul
sampai pada hari wafat mereka , kecuali sebagian mukjizat Nabi Muhammad saw.,
karena sebagian mukjizat beliau ini ada yang diberikan sejak beliau diangkat menjadi
utusan dan langsung berlaku sampai akhir zaman.

Adapun tujuan dan manfaat mukjizat itu diberikan kepada para nabi dan rasul Allah
ialah yang menguatkan seruan dan pendakwaan mereka sebagai nabi dan rasul Allah
kepada umat mereka masing-masing., terutama kepada orang-orang yang belum atau
tidak mau percaya terhadap kenabian dan kerasulan mereka juga untuk menebalkan
kepercayaan dan meneguhkan keyakinan orang-orang yang telah percaya .

Dengan kata lai, mukjizat itu terjadi dengan seksama ketika orang-orang yang telah
diangkat menjadi nabi dan rasul itu menyerukan dakwahnya kepadamasyarakat dan
mendakwakan dirinya sebagai nabi dan rasul Allah. Tujuannya adalah untuk menunjukan
bahwa mereka itu benar-benar sebagai nabi dan rasul Allah yang disuruh untuk
menyampaikan seruan-Nya kepada umat mereka. Karena, para nabi itu dalam
mendakwakan dirinya dan menyampaikan dakwahnyakepada orang ramai selalu
menyatakan bahwa apa yang mereka sampaikan itu berasa dari Allah, sedangkan
dakwah tidak bisa berhasil kecuali jika ada bukti-bukti yang menunjukan kebenarannya.
Karena itu, Allah membw\erikan mukjizat kepada mereka sekadar untuk menguatkan
pendakwaan mereka sebagai nabi dan Rasul-Nya.

B. Macam-Macam Mukjizat
Beberapa puluh ayat Al-Qur’an menerangkan bahwa ada berbagai mukjizat para
nabi dan rasul Allah yang diutus di masa beberapa abad sebelum dibangkitkan Nabi
Muhammad saw.. Mukjizat-mukjizat para nabi yang terdahulu itu sesuai dengan
keadaan umat atau kaum yang sedang mereka berikan dakwah (seruan).

Maksud nya , jika keadaan umat itu perhatiannya sedang tertarikboleh


pengetahuan sihir, nabi yang diutus kepada mereka membawa mukjizat yang dapat
mengatasi urusan sihir , sehingga mereka tidak ada kesanggupan lagi umtuk
menandinginya. Namun , jika keadaan umat itu sedang dalam kemajuan urusan ilmu
kesehatan , nabi yang diutus kepada mereka membawa mukjizat yang dapat
mengatasi kepandaian orang yang ahli ilmu kesehatan., sehingga mereka tidak lagi
berkemampuan untuk mengalahkannya. Demikianlah seterusnya, karena Allah itu
maha mengetahui , Mahabijaksana, dan Mahakuasa dalam segala sesuatu.

Dengan demikian para nabi yang diutus oleh Allah setiap kaum atau bangsa itu
dengan sendiri nya dapat mengatasi semua keadaan yang menjadi perhatian
kaummnya masing masih , yaitu dengan membawa mukjizat yang beraneka ragam.
Karena itu, umat muslimin tidak perlu heran dan cukup tinggal percaya saja terhadap
bermacam macam mukjizat para nabi utusan Allah telah diterangkan di dalam Al-
Qur’an.
C. Pembagian Mukjizat

Keadaan mukjizat yang diturunkan kepada para nabi dan rasul Allah itu terbagi dua
bagian hisysyah dan mukjizat ma’nawiyah.
 Mukjizat hisysyah yang dapat dilihat oleh mata,dapat di dengar oleh telinga, dan
dicium oleh hidung, dapat diraba oleh tangan, dan dapat diinjak oleh kaki. Dengan
kata lain , mukjizat yang dapat dicapai oleh pancaindra.
Mukjizat ini sengaja dikemukakan atau ditunjukkan kepada orang biasa , yakni
kepada mereka yang tidak atau kurang biasa menggunakan pikirannya, tidak begitu
luas pandangan mata hatinya ,dan rendah budi pekerti nya.
Adapun mukjizat ma’nawiyah adalah mukjizat yang tidak dapat dilihat oleh mata
kepala, tidak dapat didengar oleh telinga, tidak dapat dicium oleh hidung , tidak dapat
diraba oleh tangan , dan tidak dapat diinjak oleh kaki. Dengan kata lain , tidak dapat
dicapai oleh dan dengan perantara pancaindra.
Mukjizat ini hanya dapat dimengerti atau dikenali oleh manusia yang berpikiran
sehat, berbudi luhur, berperasaan halus,berpandangan mata hati yang luas dan , dan
bisa menggunakan pikirannyayang disertai dengan penuh kepercayaan yang ghaib.
Mukjizat ini biasa dikatakan sebagai sesuatu yang manusia tidak akan mengerti atau
mengenalnya dengan perantara peraturan-peraturan yang tetap berlaku di dunia ini.

2.2 Pengertian Sunnatullah

Sunnatullâh merupakan istilah dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata, yaitu
sunnah dan Allah .(Dengan digabungkannya dua kata tersebut, maka menjadi
susunan iḍafiah (susunan kata yang terdiri dari kata yang berpredikat sebagai
mudlof (kata yang disandari) dan mudlof ilaihi (kata yang disandarkan). Kata
sunnat berkedudukan sebagai mudlof dan kata Allah berkedudukan sebagai mudlof
ilaihi nya.

Di dalam bahasa arab, kata sunnat dengan fi'il madli (kata kerja untuk masa
lampau)nya sannaini mempunyai beberapa arti. Diantaranya adalah, tharīqat (jalan,
cara, metode), as-sīrat (peri kehidupan, perilaku), thabī'at (tabiat, watak), asy-syrī'at
(syariat, peraturan, hukum) atau dapat juga berarti suatu pekerjaan yang sudah
menjadi tradisi (kebiasaan).
Sedangkan kata Allah adalah nama bagi Dzat Tuhan Yang Maha Esa, Sang
Pencipta dan Maha Adil, dan Maha Segalanya. Setiap nama Allah mencakup
diriNya dan juga yang lainnya. Bersifathakiki untuk-Nya dan majazi bagi yang
lainnya. Di dalamnya terkandung makna rubūbiyah (ketuhanan) dan seluruh makna
itu tercakup di dalamnya.

Jadi, sunnatullāh dapat diartikan sebagai cara Allah memperlakukan


manusia, yang dalam arti luasnya bermakna ketetapan-keteapan atau hukumhukum
Allah yang berlaku untuk alam semesta.Sedangkan, di antara beberapa pengertian
secara terminologis yang menurut penulis lebih mencakup adalah bahwa
Sunnatullāh adalah sebagai jalan yang dilalui dalam perlakuan Allah terhadap
manusia sesuai dengan tingkah laku, perbuatan dan sikapnya terhadap syariat Allah
dan Nabi-Nya dengan segala implikasi nilai akhir di di dunia dan akhirat. Kata
'sunnatullah' secara semantik terdiri dari dua suku kata, yaitu sunnah dan Allah..
Kata sunnah berasal dari kata sanna yasunnu. Kata dasar sīn dan nūn, pada
mulanya, berarti ‗sesuatu yang berjalan dan terjadi secara mudah„. Seperti sanantu
almā' `lāwajhī(aku menuangkan/mengalirkan air ke wajahku), sanantu al-tharīq
(aku berjalan melalui jalan itu), seakan-akan jalan yang dilalui tersebut sebegitu
mudah.

Pengertian Terminologis

Yang dimaksud dengan "terminologis" di sini adalah pendapat beberapa


ulama tentang sunnatullah. Para ulama, secara umum membedakan sunnatullah
dalam dua bentuk, yaitu sunnah kauniyyah (hukum alam) dan sunnah
ijtimā‟iyyah(hukum kemasyarakatan). Sunnah kauniyyah adalah hukum-hukum
Allah yang berlaku di alam semesta.Sedangkan sunnah ijtimā‟iyyah adalah hukum-
hukum Allah yang berlaku bagi manusia dalam kehidupan sosialnya. Kedua sunnah
ini, baik yang terkait dengan alam maupun manusia, memiliki kesamaan karakter
yaitu senantiasa berlaku konsisten dan tidak akan pernah mengalami
penyimpangan, baik pada masa lalu, sekarang, maupun masa yang akan datang. Ia
juga berlaku bagi seluruh manusia, baik mukmin maupun kafir, karena manusia
dalam konteks ini dipandang sebagai sosok yang utuh yang selalu terikat dengan
hukum-hukum tersebut. Muhammad Bāqir al-Sadr, seorang ulama Syi„ah ternama
yang memperoleh gelar kehormatan, Marja‟, menyatakan bahwa sunnatullah adalah
hukum-hukum Allah yang pasti dan tidak berubah, yang berlaku di jagad raya. Ia
merupakan hukum paripurna yang menghubungkan antara peristiwa sosial dan
peristiwa sejarah.

Sementara Mahmūd Syaltūt, mantan Syaikh al-Azhar, Mesir, menyatakan


bahwa sunnatullah pada hakekatnya merupakan hukum-hukum Allah yang terkait
dengan bangkit dan runtuhnya suatu bangsa. Melihat beberapa definisi sunnatullah
yang dipahami oleh para ulama dan intelektual muslim, maka sebenarnya perbedaan
pendapat itu hanya pada narasinya, sedangkan dari segi substansinya pendapat
mereka adalah sama, yakni terkait dengan prilaku manusia dalam kehidupan
sosialnya. Pendapat-pendapat ini akan berbeda dengan definisi yang dibangun oleh
para pakar ilmu kealaman dan fisikawan.Sementara penulis lebih cenderung
memahami sunnatullah, dengan mengacu makna etimologisnya, yakni tharīqah dan
sīrah, adalah sebagai cara Allah dalam memperlakukan hamba-Nya dalam konteks
kehidupan sosialnya, sekaligus jalan tersebut seharusnya diikuti oleh manusia dalam
melaksanakan aktifitasnya.

Persoalan-persoalan Penting sekitar Sunnatullah


1. Sifat dan Karakteristik Sunnatullah
a. Konsisten
Penetapan ini didasarkan pada penelitian beberapa ayat yang dapat diasumsikan
sebagai yang menjelaskan sifat dan karakteristik sunnatullah. Misalnya:

‫ِن‬ ِ ِ ِ َّ ‫السيِ ِئ وَْل ََِييق الْمكْر‬


‫ي فَلَ ْن ََِت َد‬ َ ‫السيِّ ُئ اَّْل ِِبَ ْىلوٖ ۗفَ َه ْل يَْنظُُرْو َن اَّْل ُسن‬
َ ْ ‫َّت ْاْلََّول‬ ِ ‫استِكْبَ ًارا ِِف ْاْلَْر‬
ُ َ ُ ْ َ ّ َّ ‫ض َوَمكَْر‬ ْ
‫اللِ ََْت ِويْ ًل‬ ِ ِ ِ ِ ِ ٰ ‫َّت‬
ّٰ ‫الل تَْبديْ ًل ەن َولَ ْن ََت َد ل ُسنَّت‬
ِ ِ
ّ ‫ل ُسن‬
Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang
jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang
merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan
(berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang
terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah
Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah
Allah itu. (Quran Surat Fatir Ayat 43)

Dari ayat ini, paling tidak, ada dua kata yang digunakan al-Qur„an untuk
menyifati sunnatullah, yaitu lā tabdīl dan lā tahwīl. Yang dimaksud dengan tabdīl
adalah bahwa tidak ada seorang pun yang mampu merubah ketetapan Allah ini,
yaitu azab Allah atas orang-orang kafir. Sedangkan tahwīl adalah bahwa ketetapan
Allah tersebut tidak mungkin dipindahkan kepada orang lain.Sementara ulama yang
lain, tidak membedakan kedua istilah ini. Mereka memahaminya sebagai ketetapan
Allah yang tidak bisa diganti (lā yataghayyar). Maksudnya, tidak mungkin
mengganti azab dengan rahmat.

Jadi, pemahaman terhadap hal ini dimaksudkan untuk mendidik manusia agar
dalam benaknya timbul kesadaran bahwa segala peristiwa yang terjadi dan timbul
dalam gerak sejarahnya adalah tunduk dan patuh terhadap hukum-hukum Allah
yang bersifat permanen.

b. Universal
Sifat universalitas sunnatullah adalah didasarkan pada penggunaan redaksi nakirah
(tabdīl dan tahwīl) dalam bentuk nafī (lan), menurut Ibn `Asyur, menunjukkan
makna umum. Artinya, ketetapan Allah yang tidak berubah dan pasti ini, berlaku
bagi umat-umat masa lalu, umat yang hidup pada saat turunnya al-Qur„an, dan umat
setelahnya.

Yang dikehendaki dengan ‗universal„ ini adalah bahwa manusia diposisikan


sama. Artinya, jika sunnatullah itu terjadi, maka tidak ada seorang pun mampu
menghindar dari padanya. Sebab, ketetapan Allah (sunnatullah) ini akan
menimpa seluruh umat manusia tanpa membedakan ras, suku, golongan,
ideologi, dan lain-lain. Misalnya dalam fenomena perang Uhud, bagaimana
Rasulullah, sebagai representasi manusia yang paling suci, juga harus
mengalami cedera fisik yang cukup berat, meskipun tidak sampai terbunuh.
Rasulullah memang ma`shūm, namun dalam konteks sunnatullah, beliau tidak
mendapatkan perlakuan istimewa dari Allah atau dikecualikan.

Dengan memahami sifat universalitas sunnatullah inilah, setiap manusia


harus menyadari bahwa prilaku positif atau negatif, akan. membawa dampak
secara kolektif, jika berubah menjadi budaya masyarakat. Oleh karena itu, setiap
anggota masyarakat harus selalu berusaha untuk mengembangkan prilaku baik,
atau senantiasa berada di jalan kebenaran.

Dalam kaitan ini, Naqaib al-Attas menyatakan bahwa entitas individu


adalah entitas yang bertanggungjawab pada dirinya sendiri, sedangkan
pertanggungjawabannya kepada masyarakat juga menjadi bagian dari
pertanggungjawabannya kepada dirinya sendiri itu. Dengan demikian, gagasan
untuk berbuat baik kepada orang lain, pada hakekatnya, juga merupakan
perbuatan baik terhadap diri sendiri. Atau dengan lain kata, bahwa seseorang
tidak bisa memisahkan diri dari komunitas masyarakatnya. Sehingga alQur'an
selalu mengingatkan, bahwa selaku individu, agar tidak cukup melihat dirinya
sendiri benar, akan tetapi ia harus memastikan bahwa orang lain juga hidup
dalam kebajikan.

Sebab, boleh jadi, perbuatan buruk yang hanya dilakukan oleh seorang
individu ternyata membawa implikasi yang cukup luas bagi masyarakat.
Demikian ini, sebab mereka membiarkan perbuatan buruk itu tanpa berusaha
menghentikannya. Sebagai akibatnya, orang lain tertarik untuk menirunya, yang
pada akhirnya, perbuatan tersebut menjadi budaya masyarakat. Maka, saat itulah
perbuatan buruk, yang awalnya hanya dilakukan oleh seorang individu, ternyata
membawa akibat yang cukup serius bagi kehidupan masyarakat. Atau dengan
lain kata, ketidakpedulian manusia atas kemunkaran yang terjadi di sekitarnya
akan membawa kepada kehancuran, yang dampaknya juga dirasakan oleh
mereka yang tidak melakukannya.
Sebagaimana dalam firman-Nya:

ِ ‫الل َش ِديْ ُد الْعِ َق‬ ۤ


‫اب‬ َّ ‫َب الَّ ِذيْ َن ظَلَ ُم ْوا ِمنْ ُك ْم َخا‬
َّٰ ‫صةً َنو ْاعلَ ُمْْٓوا اَ َّن‬
ِ ُ‫واتَّ ُقوا فِتْ نَةً َّْل ت‬
َّ َ ‫صْي‬ ْ َ

Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang
yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.
(Q.s. al-Anfâl/8: 25)

3. Hukum Kausalitas dan Usaha Manusia


Sebagaimana penjelasan sebelumnya, bahwa karakteristik sunnatullah adalah
pasti dan konsisten. Sehingga sunnatullah, dalam konteks hukum kemasyarakatan,
merupakan hukum sebab-akibat, sebagaimana yang terjadi pada fenomena alam.
Dengan demikian, hukum kausalitas dalam konteks sunnatullah ini bersifat
―dialektika‖, yaitu bersifat rasional dan bukan ―kebetulan‖, yang terkait dengan
perkembangan alam, masyarakat dan ide. Artinya, ketika sebab itu muncul maka
sebagai konsekwensi logisnya, akan segera‖ disusul dengan munculnya akibat.
Namun, hukum kausalitas ini tidak bisa secara saklek diberlakukan di dalam
kehidupan kesejarahan manusia, seperti pada fenomena alam. Sebab manusia
bukanlah makhluk yang dipaksa, sebagaimana alam, tetapi mereka diberi hak untuk
memilih. Dalam kaitan ini, Muthahhari memberikan penjelasan yang cukup logis,
jika hukum kausalitas secara mutlak mendominasi perjalanan kesejarahan manusia,
maka harus diterima bahwa setiap kejadian adalah bersifat pasti dan tidak terelakkan.
Sebagai konsekwensi logisnya, tidak seorangpun yang bertanggungjawab atas
perbuatannya. Begitu juga, ia tidak patut dipuji dan dicela atas perbuatan-
perbuatannya itu. Sebaliknya, jika hukum kausalitas tidak menguasai dinamika
sejarah manusia, maka tidak akan ada nilai universalitas dan obyektifitas. Inilah
kesulitan yang dialami oleh para sosiolog dan sejarawan.
4. Fenomena Alam dalam Konteks Sunnatullah
Pada hakikatnya, seluruh alam semesta, baik manusia maupun makhluk lainnya,
mengabdi kepada Allah dengan caranya masing-masing. Sebagaimana diisyaratkan
oleh firman Allah:

‫ض َوَم ْن فِْي ِه َّن َواِ ْن ِّم ْن َش ْي ٍء اَِّْل يُ َسبِّ ُح ِِبَ ْم ِدهٖ َوٰل ِك ْن َّْل تَ ْف َق ُه ْو َن تَ ْسبِْي َح ُه ْم اِنَّوٖ َكا َن َحلِْي ًما َغ ُف ْوًرا‬
ُ ‫السْب ُع َو ْاْلَْر‬
َّ ‫ت‬ َّ ُ‫تُ َسبِّ ُح لَو‬
ُ ‫الس ٰم ٰو‬

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah.
Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu
tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.
(Q.s. al-Isra„/17: 44)

Kata tasbīh, yang berarti menyucikan Allah, pada mulanya berarti ―bersegera
dalam menyembah Allah‖. Kemudian dijadikan sebagai simbol dari segala bentuk
perbuatan baik. Namun, secara umum, tasbīh mengacu kepada makna ibadah dalam
arti yang luas, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun niat; dan termasuk di
dalamnya, segala bentuk pujian kepada-Nya.

Dari sinilah kemudian bisa dipahami bahwa seluruh makhluk itu beribadah atau
mengabdi kepada-Nya dengan caranya masingmasing. Manusia diberi hak pilih atau
tidak dipaksa, sementara alam tidak memiliki atau dipaksa. Dengan lain kata, alam
tidak ada pilihan kecuali harus mengikuti ketetapan yang telah digariskan oleh Allah
kepada-Nya, tanpa bisa melakukan pelanggaran/tidak ta„at. Misalnya, matahari
terbit dari timur dan tenggelam di barat, hujan turun karena gumpalan awan yang
mengandung air kemudian dibawa oleh angin, dan sebagainya. Berbeda dengan
manusia, walaupun mengikuti sunnah-Nya; namun, dalam orientasinya, mereka bisa
melakukan penyimpangan dari sunnah tersebut atau tidak ta'at. Misalnya, manusia
bisa saja tidak menyembah Allah, tidak jujur, berlaku maksiyat, berbuat kezaliman,
dan sebagainya. Hal ini, sebagai konsekuensi logis dari hak pilih tersebut, walaupun
pada akhirnya, mereka direspons oleh sunnatullah sebagai ketetapan Allah yang
pasti. Sementara bentuk pengabdian alam kepada Allah, dinyatakan oleh al-Qur„an,
adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia; bahkan, mereka ditundukkan (taskhīr)
demi hal itu.

4. Relativitas Waktu dalam Sunatullah


Hal terpenting yang perlu diketahui dalam pembahasan sunnatullah adalah
persoalan waktu. Sebab, perubahan sejarah manusia tidak terjadi secara tiba-tiba;
akan tetapi, setelah terhimpunnya sebab-sebab yang terjadi secara perlahan-lahan
kamudian berakhir dengan perubahan yang besar dalam rentang waktu yang sangat
panjang. Oleh karena itu, waktu dalam konteks ini harus dilihat dalam hukum
kesejarahan manusia, yang, tentunya, berbeda dengan waktu yang dipahami secara
umum, satu hari sebanding dengan 24 jam. Ini didasarkan pada firman Allah:

ِ ‫ف َونَ ْه تِ ْانعَذَا‬
َ‫ب َويَ ْستَ ْع ِجهُ ْووَك‬ َ ‫ّللاُ ي ُّْخ ِه‬ ِ ‫سىَة َكا َ ْن‬
ٰ ‫ف َرتِّكَ ِع ْىد َ يَ ْو ًما َواِن َو ْعدَي‬ َ ‫تَعُد ُّْونَ ِ ّمما‬

Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali
tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti
seribu tahun menurut perhitunganmu. (Q.s. al-Hajj/22: 47-48)

Ayat di atas, oleh mayoritas ulama dipahami sebagai perhitungan hari diakhirat, akan
tetapi, ada yang berpendapat lain, bahwa waktu tersebut mengacu kepada sejarah
keduniaan manusia. Hal ini, didasarkan pada konteks ayat tersebut, terutama
penyebutan nasib yang dialami oleh suatu kota yang zalim (yang dimaksudkan
adalah para penghuninya).35 Dalam konteks perubahan sosial, misalnya, di kalangan
sosiolog terdapat suatu kesepakatan bahwa waktu bukan hanya merupakan dimensi
universal tetapi menjadi faktor inti dan penentu. Waktu dalam konteks ini dipahami
sebagai "waktu kualitatif", yang ditentukan oleh sifat proses sosial.

2.3 Pengertian Al Maad

ABSTRAK Berbicara tentang ma‟ad selalunya terkait dengan hari kiamat (yaum al-
qiyamah). Ketika menyebut yaum al-qiyamah, yang terbayang dalam benak kita adalah
dahsyatnya kehancuran alam semesta ini sebagai akhir dari kehidupan, perhitungan Allah serta
hari pembalasan dan keadilan-Nya. Al-Ma‟ad merupakan penegasan keyakinan akan
berakhirnya alam duniawi dan berganti dengan alam akhirat untuk menusia bangkit
mempertanggung jawabkan segala perbuatannya selama hidup di dunia. Kata al-Ma‟ad terambil
dari akar kata “‟Ada, “Ya‟udu” artinya kembali. Al-Ma‟ad berarti tempat kembali, yakni tempat
kembalinya segala sesuatu. Dan Akhirat adalah tempat kembali (yang diperuntukkan) bagi
ummat manusia. Eksistensi Al-Ma‟ad sebagai sebuah keniscayaan yang wajib diimani oleh
setiap manusia dapat diungkap melalui penggunaan dalil-dalil naqli sebagai yang terdapat dalam
al-Qur‟an ataupun dengan petunjuk aqli baik secara logika/argumentatif maupun dengan analisa
terhadap fenomena alamiah.

Pendahuluan Pembicaraan tentang ma‟ad, akan selalunya berhubungan dengan


peristiwa kiamat (yaum al-qiyamah). Dalam yaum alqiyamah, yang terbayang dalam benak kita
menusia bangkit mempertanggung jawabkan segala perbuatannya di dunia selama hidup.
Kedudukan iman kepada hari akhir atau hari kebangkitan merupakan bagian ushuluddin yang
mesti dimiliki oleh semua agama selain ketuhanan dan kenabian. Artinya, kita meyakini dengan
pasti kebenaran terjadinya hari kebangkitan atau hari akhir sebagai tempat untuk menerima
segala balasan kehidupan di dunia yang telah dilakukan oleh manusia baik berdasarkan nash (al-
Quran dan hadis) maupun akal. Hari kebangkitan merupakan suatu masa yang pasti akan terjadi.
Hanya saja, kita tidak mengetahui secara pasti kapan waktu yang dijanjikan Allah itu akan
datang. Hari kiamat merupakan keadilan yang Allah beri hamba-hamba-Nya. Allah tidak
bertindak zalim waktu itu, tetapi Allah sedang berlaku adil atas apa yang telah kita lakukan
selama kita hidup di dunia. Karena sesungguhnya, setiap amal buruk manusia dan jin adalah
bahan bakar neraka sedangkan amal baik manusia menjadi pembentuk surga.

Pengertian al-Ma‟ad Kata al-Ma‟ad terambil dari akar kata “‟Ada, “Ya‟udu” artinya kembali.
Al-Ma‟ad berarti tempat kembali.

1. Menurut Ibn Faris, kata al-Ma‟ad bermakna “tempat kembalinya segala sesuatu, dan Akhirat
adalah tempat kembali (yang diperuntukkan) bagi ummat manusia.
2. Penelusuran penulis terhadap kata ini di Mu‟jam Mufahras li Alfaz al-Qur‟an tidak
diketemukan penggunaannya untuk makna sama sebagai tersebut di atas, pemaknaan sebagai
tempat kembali yang terpakai adalah kata derivasinya dalam bentuk fi‟il Mudhari‟ dengan
memakai kata “ Nu‟idu” pada QS. Al-anbiya‟:104:

َ ‫ة َك َما َتدَأْوَا ٓ اَو َل خ َْهق وُّ ِع ْيدُي َو ْعدًا‬


َ‫عهَ ْيىَا اِوا ُكىا ِع ِع ِهيْه‬ ِ ُ ‫س ِِج ِّم ن ِْه ُكت‬
ّ ‫ي ِ ان‬ َ ‫َط ِوى انس َم ۤا َء َك‬
ّ ‫ط‬ ْ ‫َي ْو َو و‬
Artinya: (Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaranlembaran kertas.
Sebagaimana Kami telah memulai panciptaan pertama begitulah Kami akan
mengulanginya/mengembalikannya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya
Kamilah yang akan melaksanakannya.

Keraguan Terhadap Hari Akhir Sebagai fondasi agama, keyakinan pada hari akhir bersifat
mutlak. Akan tetapi, dalam setiap babakan sejarah, tetap saja ada orang-orang yang
meragukannya. Dengan analisa sederhana, pengingkaran terhadap hari akhir didasari pada
beberapa jenis keraguan, sebagai berikut:

1. Keraguan mengembalikan yang telah tiada.


Keraguan ini didasari pada prinsip filsafat yang menyatakan „mustahilnya mengembalikan
yang telah tiada‟ yang berpijak pada kemustahilan diri secara substansial. Maksudnya, mereka
menganggap bahwa manusia hanyalah susunan materi yang kemudian mati dan hancur,
sehingga tidak mungkin diadakan kembali, karena jika diadakan itu berarti manusia yang lain,
“Dan jika (ada sesuatu) yang kamu herankan, maka yang patut mengherankan adalah ucapan
mereka; “apabila kami telah menjadi tanah, apakah kami sesungguhnya akan (dikembalikan)
menjadi makhluk yang baru?” orangorang itulah yang kafir kepada Allah; orang-orang itulah
yang diletakkan belenggu dilehernya; mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal
didalamnya.” ( Q.S Ar-Ra‟d: 5); “Maka, apakah Kami letih dengan penciptaan pertama?
Sungguh mereka dalam keraguan tentang penciptaan yang baru.” (Q.S. Qaf:15).

2. Keraguan karena ketidakmungkinan tubuh dihidupkan kembali.


Hal ini berdasarkan asumsi mengenai kemustahilan terjadinya. Artinya, meskipun mereka tidak
memutahilkan secara substansiamereka meragukan kembalinya ruh tersebut secara aktual (bi
al-fi‟l) dan kejadian riilnya tergantung pada kondisi tubuh dan syarat-syarat penting (seperti
rahim, perkawinan, dll), yang ternyata sudah tidak ada lagi, sehingga tubuh yang telah hancur
tersebut kehilangan potensi untuk hidup kembali.

2.4 Akhirat
Percaya kepada Hari Akhirat merupakan salah satu rukun iman yang harus diyakini oleh
setiap muslim. Al-Qur‟an menjelaskan bahwa akhirat ialah hari dimana manusia akan
men dapatkan hukuman atau kenikmatan sesuai dengan amal perbuatan ketika hidup di
dunia. Akhirat adalah alam terakhir yang dilalui umat manusia setelah alam dunia, dunia
adalah jembatan yang mesti dilalui oleh setiap manusia sebelum menempuh alam akhirat
yang kekal sepanjang zaman. Karena itu, Al-Qur‟an menamainya dengan beberapa istilah
yang menunjukkan hakekat yang sesungguhnya yaitu:
1. Al Hayawan (Kehidupan yang sebenarnya)

ْ ‫اْل ِخَرةَ ََلِ َي‬


ٰ ْ ‫َّار‬ ِ ِ‫اْلٰيوةُ الدُّنْيآْ اَِّْل ََلو َّولَع‬ ِِ
‫اْلَيَ َوا ُن لَ ْو َكانُ ْوا يَ ْعلَ ُم ْو َن‬ َ ‫ب َوا َّن الد‬
ٌ ٌْ َ َْ ‫َوَما ٰىذه‬

Artinya : Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri
akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui. (Qs. Al Ankabut : 64)

2. Al Qarar (tempat yang kekal)

ٰ ْ ‫اع َّۖواِ َّن‬


‫اْل ِخَرَة ِى َي َد ُار الْ َقَرا ِر‬ ْ ِ‫ٰي َق ْوِم اََِّّنَا ٰى ِذه‬
ٌ َ‫اْلَٰيوةُ الدُّنْيَا َمت‬

Artinya : Wahai kaumku sesungguhnya dunia adalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya
akhirat itulah yang kekal. (Qs. Ghafir : 39)

3. Al Jaza (tempat pembalasan)

ُ ْ ِ‫اللَ ُى َو ا ْْلَ ُّق الْ ُمب‬


‫ي‬ ْ ‫اللُ ِديْنَ ُه ُم‬
ّٰ ‫اْلَ َّق َويَ ْعلَ ُم ْو َن اَ َّن‬
ِ ٍ
ّٰ ‫يَ ْوَم ِٕىذ يُّ َوفّْي ِه ُم‬

Artinya : Pada hari itu Allah menyempurnakan balasan yang sebenarnya bagi mereka, dan
mereka tahu bahwa Allah maha benar,maha menjelaskan. (Qs.

4. Al Muttaqin (tempat yang terbaik bagi orang yang bertaqwa)

‫ِ ن‬ ِ ِ ٰ ْ ‫وقِيل لِلَّ ِذين اتَّ َقوا ما َذآْ اَنْزَل ربُّ ُكم قَالُوا خي را نلِلَّ ِذين اَحسنُوا ِِف ٰى ِذهِ الدُّنْيا حسنَةٌ ولَ َدار‬
َ ْ ‫اْلخَرةِ َخْي ٌر َولَن ْع َم َد ُار الْ ُمتَّق‬
‫ي‬ ُ َ ََ َ ْ ْ َ ْ َ ْ ًَْ ْ ْ َ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ

Artinya : Dan kemudian dikatakan kepada orang yang bertaqwa, “apakah yang telah diturunkan
oleh Tuhanmu?.” Mereka menjawab,”kebaikan.” Bagi orang yang berbuat baik di dunia ini
mendapat (balasan) yang baik. Dan sesuangguhnya negri akhirat pasti lebih baik. Dan itulah
sebaik-baik tempat bagi orang yang bertaqwa. (Qs. An-Nahl : 30)

Dengan begitu ketika manusia mengetahui bahwa hakikatnya kehidupan yang kekal adalah
akhirat, maka mereka harus memperhatikan apa yang mereka lakukan selama di dunia dan
memperbanyak amal kebaikan agar terhindar dari siksa neraka. Seseorang yang hidup di dunia,
pasti menginginkan untuk dapat masuk ke surga. Mereka yang menjalankan perintah Allah dan
menjauhi larangan Allah akan terhindari dari neraka. Berikut beberapa amalan agar terhindar
dari api neraka:

1. Memelihara sholat 5 waktu


Sholat 5 waktu adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh umat islam, karena mengerjakan
sholat wajib termasuk rukun iman yang ke-2.
2. Membaca Al Qur‟an
orang-orang yang mahir membaca Al-Qur‟an, maka kelak ia akan bersama para malaikat-
Nya; Dari Aisyah ra, berkata; bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang membaca Al-
Qur‟an dan ia mahir membacanya, maka kelak ia akan bersama para malaikat yang mulia
lagi taat kepada Allah.” (HR. Bukhari Muslim)
3. Berdzikr dan bershalawat setiap memiliki waktu luang
Dzikir merupakan ibadah sunnah yang paling dianjurkan untuk dikerjakan setiap saat. Di
dalamnya mengandung banyak kebaikan dan keutamaan.
4. Berada di tengah-tengah orang baik
Berada di tengah-tengah orang-orang baik akan membuat kita menjadi lebih terarah untuk
bertingkah laku lebih baik. Bahkan dalam sebuah hadist Rasulullah saw bersabda,
"Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang saleh dan orang yang buruk, bagaikan
berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan
merugikanmu, engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat
baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau
pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak sedap.” (HR.
Imam Bukhari).
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
 mukjizat ialah keadaan-keadaan dan kejadian-kejadian yang menyalahi kebiasaan atau
yang luar biasa yang dilakukan oleh seorang nabi atau rasul Allah

 Pembagian Mukjizat
Keadaan mukjizat yang diturunkan kepada para nabi dan rasul Allah itu terbagi dua
bagian hisysyah dan mukjizat ma’nawiyah.
 Pengertian Sunnatullah
Sunnatullâh merupakan istilah dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata, yaitu sunnah
dan Allah .
 Sifat dan Karakteristik Sunnatullah
Konsisten,Universal,huku kausualitas dan usaha manusia, Realitivitas waktu dan
sunnatullah, Fenomena alam dalam sunnatullah.
 Pengertian Al Maad
Al-Ma‟ad merupakan penegasan keyakinan akan berakhirnya alam duniawi dan berganti
dengan alam akhirat untuk menusia bangkit mempertanggung jawabkan segala
perbuatannya selama hidup di dunia. Kata al-Ma‟ad terambil dari akar kata “‟Ada,
“Ya‟udu” artinya kembali. Al-Ma‟ad berarti tempat kembali, yakni tempat kembalinya
segala sesuatu. Dan Akhirat adalah tempat kembali (yang diperuntukkan) bagi ummat
manusia.
 Pengertian Akhirat
Akhirat adalah alam terakhir yang dilalui umat manusia setelah alam dunia
DAFTAR PUSTAKA

Chalil, Kiai Haji Moenafar. 2001. Tarikh Nabi Muhammad Jilid 3. Jakarta : Gema Insani.

Akhmad,Chaerul. 2012 “Ensiklopedia Hukum Islam: Istilah Akhirat Dalam Al Qur‟an (1)”,
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/06/14/m5m217-ensiklopedi-
hukum-islam-istilah-akhirat-dalam-alquran-1, diakses pada 14 Juni 2012 21:51 WIB

https://sekolahnesia.com/contoh-makalah/

Hapsari,Endah. 2014. “Bagaimanakah Kehidupan Akhirat”,


https://www.republika.co.id/berita/n0e5qi/bagaimanakah-kehidupan-akhirat, diakses pada 03
Feb 2014 11:24 WIB

Susan.2019. “Amalan Agar Terhindar Dari Api Neraka” , https://tagsdock.com/amalan-agar-


terhindar-dari-api-neraka/ diakses pada 18 September 2019

Anda mungkin juga menyukai