MAKALAH
MUKJIZAT DAN SUNATULLAH, MAAD DAN AKHERAT
Disusun Oleh :
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
yang berjudul “ Mukjizat dan Sunatullah, Maad dan Akherat “ dapat tersusun sampai dengan
selesai.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Ilmu Kalam. Selain itu makalah ini
bertujuan untuk menambah wawasan tentang pentingnya bagi pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bpk.Drs. Tatang Muhajang. M.Ag Selaku guru mata
pelajaran Ilmu Kalam. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapatkan balasan yang setimpal
dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari penyusun
maupun materinya, kritik dan saran sangat diharapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
Adapun tujuan dan manfaat mukjizat itu diberikan kepada para nabi dan rasul Allah
ialah yang menguatkan seruan dan pendakwaan mereka sebagai nabi dan rasul Allah
kepada umat mereka masing-masing., terutama kepada orang-orang yang belum atau
tidak mau percaya terhadap kenabian dan kerasulan mereka juga untuk menebalkan
kepercayaan dan meneguhkan keyakinan orang-orang yang telah percaya .
Dengan kata lai, mukjizat itu terjadi dengan seksama ketika orang-orang yang telah
diangkat menjadi nabi dan rasul itu menyerukan dakwahnya kepadamasyarakat dan
mendakwakan dirinya sebagai nabi dan rasul Allah. Tujuannya adalah untuk menunjukan
2
bahwa mereka itu benar-benar sebagai nabi dan rasul Allah yang disuruh untuk
menyampaikan seruan-Nya kepada umat mereka. Karena, para nabi itu dalam
mendakwakan dirinya dan menyampaikan dakwahnyakepada orang ramai selalu
menyatakan bahwa apa yang mereka sampaikan itu berasa dari Allah, sedangkan
dakwah tidak bisa berhasil kecuali jika ada bukti-bukti yang menunjukan kebenarannya.
Karena itu, Allah membw\erikan mukjizat kepada mereka sekadar untuk menguatkan
pendakwaan mereka sebagai nabi dan Rasul-Nya.
B. Macam-Macam Mukjizat
Beberapa puluh ayat Al-Qur’an menerangkan bahwa ada berbagai mukjizat para
nabi dan rasul Allah yang diutus di masa beberapa abad sebelum dibangkitkan Nabi
Muhammad saw.. Mukjizat-mukjizat para nabi yang terdahulu itu sesuai dengan
keadaan umat atau kaum yang sedang mereka berikan dakwah (seruan).
Dengan demikian para nabi yang diutus oleh Allah setiap kaum atau bangsa itu
dengan sendiri nya dapat mengatasi semua keadaan yang menjadi perhatian
kaummnya masing masih , yaitu dengan membawa mukjizat yang beraneka ragam.
Karena itu, umat muslimin tidak perlu heran dan cukup tinggal percaya saja terhadap
bermacam macam mukjizat para nabi utusan Allah telah diterangkan di dalam Al-
Qur’an.
C. Pembagian Mukjizat
3
Keadaan mukjizat yang diturunkan kepada para nabi dan rasul Allah itu terbagi dua
bagian hisysyah dan mukjizat ma’nawiyah. Mukjizat hisysyah yang dapat dilihat oleh
mata,dapat di dengar oleh telinga, dan dicium oleh hidung, dapat diraba oleh tangan,
dan dapat diinjak oleh kaki. Dengan kata lain , mukjizat yang dapat dicapai oleh
pancaindra. Mukjizat ini sengaja dikemukakan atau ditunjukkan kepada orang biasa ,
yakni kepada mereka yang tidak atau kurang biasa menggunakan pikirannya, tidak
begitu luas pandangan mata hatinya ,dan rendah budi pekerti nya.
Adapun mukjizat ma’nawiyah adalah mukjizat yang tidak dapat dilihat oleh mata
kepala, tidak dapat didengar oleh telinga, tidak dapat dicium oleh hidung , tidak dapat
diraba oleh tangan , dan tidak dapat diinjak oleh kaki. Dengan kata lain , tidak dapat
dicapai oleh dan dengan perantara pancaindra.
Mukjizat ini hanya dapat dimengerti atau dikenali oleh manusia yang berpikiran
sehat, berbudi luhur, berperasaan halus,berpandangan mata hati yang luas dan , dan
bisa menggunakan pikirannyayang disertai dengan penuh kepercayaan yang ghaib.
Mukjizat ini biasa dikatakan sebagai sesuatu yang manusia tidak akan mengerti atau
mengenalnya dengan perantara peraturan-peraturan yang tetap berlaku di dunia ini.
4
lainnya. Di dalamnya terkandung makna rubūbiyah (ketuhanan) dan seluruh
makna itu tercakup di dalamnya. Jadi, sunnatullāh dapat diartikan sebagai cara
Allah memperlakukan manusia, yang dalam arti luasnya bermakna ketetapan-
keteapan atau hukumhukum Allah yang berlaku untuk alam semesta.Sedangkan,
di antara beberapa pengertian secara terminologis yang menurut penulis lebih
mencakup adalah bahwa Sunnatullāh adalah sebagai jalan yang dilalui dalam
perlakuan Allah terhadap manusia sesuai dengan tingkah laku, perbuatan dan
sikapnya terhadap syariat Allah dan Nabi-Nya dengan segala implikasi nilai akhir
di di dunia dan akhirat. Kata 'sunnatullah' secara semantik terdiri dari dua suku
kata, yaitu sunnah dan Allah.. Kata sunnah berasal dari kata sanna yasunnu. Kata
dasar sīn dan nūn, pada mulanya, berarti ‗sesuatu yang berjalan dan terjadi secara
mudah„. Seperti sanantu almā' `lāwajhī(aku menuangkan/mengalirkan air ke
wajahku), sanantu al-tharīq (aku berjalan melalui jalan itu), seakan-akan jalan
yang dilalui tersebut sebegitu mudah.
Pengertian Terminologis
Yang dimaksud dengan "terminologis" di sini adalah pendapat beberapa
ulama tentang sunnatullah. Para ulama, secara umum membedakan sunnatullah
dalam dua bentuk, yaitu sunnah kauniyyah (hukum alam) dan sunnah
ijtimā‟iyyah(hukum kemasyarakatan). Sunnah kauniyyah adalah hukum-hukum
Allah yang berlaku di alam semesta.Sedangkan sunnah ijtimā‟iyyah adalah
hukum-hukum Allah yang berlaku bagi manusia dalam kehidupan sosialnya.
Kedua sunnah ini, baik yang terkait dengan alam maupun manusia, memiliki
kesamaan karakter yaitu senantiasa berlaku konsisten dan tidak akan pernah
mengalami penyimpangan, baik pada masa lalu, sekarang, maupun masa yang
akan datang. Ia juga berlaku bagi seluruh manusia, baik mukmin maupun kafir,
karena manusia dalam konteks ini dipandang sebagai sosok yang utuh yang selalu
terikat dengan hukum-hukum tersebut.
Muhammad Bāqir al-Sadr, seorang ulama Syi„ah ternama yang
memperoleh gelar kehormatan, Marja‟, menyatakan bahwa sunnatullah adalah
hukum-hukum Allah yang pasti dan tidak berubah, yang berlaku di jagad raya. Ia
merupakan hukum paripurna yang menghubungkan antara peristiwa sosial dan
peristiwa sejarah. Sementara Mahmūd Syaltūt, mantan Syaikh al-Azhar, Mesir,
menyatakan bahwa sunnatullah pada hakekatnya merupakan hukum-hukum Allah
5
yang terkait dengan bangkit dan runtuhnya suatu bangsa. Melihat beberapa
definisi sunnatullah yang dipahami oleh para ulama dan intelektual muslim, maka
sebenarnya perbedaan pendapat itu hanya pada narasinya, sedangkan dari segi
substansinya pendapat mereka adalah sama, yakni terkait dengan prilaku manusia
dalam kehidupan sosialnya. Pendapat-pendapat ini akan berbeda dengan definisi
yang dibangun oleh para pakar ilmu kealaman dan fisikawan.Sementara penulis
lebih cenderung memahami sunnatullah, dengan mengacu makna etimologisnya,
yakni tharīqah dan sīrah, adalah sebagai cara Allah dalam memperlakukan hamba-
Nya dalam konteks kehidupan sosialnya, sekaligus jalan tersebut seharusnya
diikuti oleh manusia dalam melaksanakan aktifitasnya.
ۚ ِ ِ ِ ِ
ۚاللِ تَدْب د د ِ ْ ً ە ِ ِ ِ ِ ِ اس د ددَِرْبَ ًِفرا ِا ْاْلَ ْر
ّٰ م َوََ ْر د دَ الس د دديِّ ُِ َوَْل َرْي د د ُدئ ال َْا ْر د دُ الس د دديِّ ُُ اْل َِ ْ ل د د ٖ ۗفَد َه د د ْ َدْظُ د دُ ْو َن اْل ُس د د َ ْاْلَول د د ْ َ فَدلَ د د ْ ََت د د َ ل ُس د د ْ
ِٰ ِ ولَ ََِت َ لِس
ً ْالل ََْت ِو
ّ ُ َْ
Artinya : Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana
(mereka) yang jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang
yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan
(berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang
terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah
Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah
Allah itu. (Quran Surat Fatir Ayat 43)
Dari ayat ini, paling tidak, ada dua kata yang digunakan al-Qur„an untuk
menyifati sunnatullah, yaitu lā tabdīl dan lā tahwīl. Yang dimaksud dengan tabdīl
adalah bahwa tidak ada seorang pun yang mampu merubah ketetapan Allah ini,
yaitu azab Allah atas orang-orang kafir. Sedangkan tahwīl adalah bahwa
ketetapan Allah tersebut tidak mungkin dipindahkan kepada orang lain.Sementara
ulama yang lain, tidak membedakan kedua istilah ini. Mereka memahaminya
6
sebagai ketetapan Allah yang tidak bisa diganti (lā yataghayyar). Maksudnya,
tidak mungkin mengganti azab dengan rahmat.
Jadi, pemahaman terhadap hal ini dimaksudkan untuk mendidik manusia agar
dalam benaknya timbul kesadaran bahwa segala peristiwa yang terjadi dan timbul
dalam gerak sejarahnya adalah tunduk dan patuh terhadap hukum-hukum Allah
yang bersifat permanen.
b. Universal
Sifat universalitas sunnatullah didasarkan pada penggunaan redaksi nakirah
(tabdīl dan tahwīl) dalam bentuk nafī (lan), menurut Ibn `Asyur, menunjukkan
makna umum. Artinya, ketetapan Allah yang tidak berubah dan pasti ini, berlaku
bagi umat-umat masa lalu, umat yang hidup pada saat turunnya al-Qur„an, dan
umat setelahnya.
7
pertanggungjawabannya kepada dirinya sendiri itu. Dengan demikian, gagasan
untuk berbuat baik kepada orang lain, pada hakekatnya, juga merupakan
perbuatan baik terhadap diri sendiri. Atau dengan lain kata, bahwa seseorang
tidak bisa memisahkan diri dari komunitas masyarakatnya. Sehingga alQur'an
selalu mengingatkan, bahwa selaku individu, agar tidak cukup melihat dirinya
sendiri benar, akan tetapi ia harus memastikan bahwa orang lain juga hidup
dalam kebajikan.
Sebab, boleh jadi, perbuatan buruk yang hanya dilakukan oleh seorang
individu ternyata membawa implikasi yang cukup luas bagi masyarakat.
Demikian ini, sebab mereka membiarkan perbuatan buruk itu tanpa berusaha
menghentikannya. Sebagai akibatnya, orang lain tertarik untuk menirunya,
yang pada akhirnya, perbuatan tersebut menjadi budaya masyarakat. Maka,
saat itulah perbuatan buruk, yang awalnya hanya dilakukan oleh seorang
individu, ternyata membawa akibat yang cukup serius bagi kehidupan
masyarakat. Atau dengan lain kata, ketidakpedulian manusia atas kemunkaran
yang terjadi di sekitarnya akan membawa kepada kehancuran, yang
dampaknya juga dirasakan oleh mereka yang tidak melakukannya.
Sebagaimana dalam firman-Nya:
Artinya : Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-
orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras
siksa-Nya. (Q.s. al-Anfâl/8: 25)
8
sebagai konsekwensi logisnya, akan segera‖ disusul dengan munculnya akibat.
Namun, hukum kausalitas ini tidak bisa secara saklek diberlakukan di dalam
kehidupan kesejarahan manusia, seperti pada fenomena alam. Sebab manusia
bukanlah makhluk yang dipaksa, sebagaimana alam, tetapi mereka diberi hak untuk
memilih. Dalam kaitan ini, Muthahhari memberikan penjelasan yang cukup logis,
jika hukum kausalitas secara mutlak mendominasi perjalanan kesejarahan manusia,
maka harus diterima bahwa setiap kejadian adalah bersifat pasti dan tidak
terelakkan. Sebagai konsekwensi logisnya, tidak seorangpun yang
bertanggungjawab atas perbuatannya. Begitu juga, ia tidak patut dipuji dan dicela
atas perbuatan-perbuatannya itu. Sebaliknya, jika hukum kausalitas tidak
menguasai dinamika sejarah manusia, maka tidak akan ada nilai universalitas dan
obyektifitas. Inilah kesulitan yang dialami oleh para sosiolog dan sejarawan.
م َوََ ْ فِْي ِه َواِ ْن َِّ ْ َش ْي ٍء اِْل ُ َسبِّ ُح ِِبَ ْا ِهٖ َوٰل ِر ْ ْل تَد ْف َق ُه ْو َن تَ ْسبِْي َح ُه ْم اِن ٖ َكِف َن َحلِْي ًاِف َغ ُف ْوًرا ُ تُ َسبِّ ُح لَ ُ الس ٰا ٰو
ُ ت السْب ُع َو ْاْلَْر
Artinya : Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih
kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya,
tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha
Pengampun. (Q.s. al-Isra„/17: 44)
Kata tasbīh, yang berarti menyucikan Allah, pada mulanya berarti ―bersegera
dalam menyembah Allah‖. Kemudian dijadikan sebagai simbol dari segala bentuk
perbuatan baik. Namun, secara umum, tasbīh mengacu kepada makna ibadah dalam
arti yang luas, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun niat; dan termasuk di
dalamnya, segala bentuk pujian kepada-Nya.
Dari sinilah kemudian bisa dipahami bahwa seluruh makhluk itu beribadah atau
mengabdi kepada-Nya dengan caranya masingmasing. Manusia diberi hak pilih
atau tidak dipaksa, sementara alam tidak memiliki atau dipaksa. Dengan lain kata,
9
alam tidak ada pilihan kecuali harus mengikuti ketetapan yang telah digariskan oleh
Allah kepada-Nya, tanpa bisa melakukan pelanggaran/tidak ta„at. Misalnya,
matahari terbit dari timur dan tenggelam di barat, hujan turun karena gumpalan
awan yang mengandung air kemudian dibawa oleh angin, dan sebagainya. Berbeda
dengan manusia, walaupun mengikuti sunnah-Nya; namun, dalam orientasinya,
mereka bisa melakukan penyimpangan dari sunnah tersebut atau tidak ta'at.
Misalnya, manusia bisa saja tidak menyembah Allah, tidak jujur, berlaku maksiyat,
berbuat kezaliman, dan sebagainya. Hal ini, sebagai konsekuensi logis dari hak
pilih tersebut, walaupun pada akhirnya, mereka direspons oleh sunnatullah sebagai
ketetapan Allah yang pasti. Sementara bentuk pengabdian alam kepada Allah,
dinyatakan oleh al-Qur„an, adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia; bahkan,
mereka ditundukkan (taskhīr) demi hal itu.
Artnya : Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah
sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu
adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu. (Q.s. al-Hajj/22: 47-48)
Ayat di atas, oleh mayoritas ulama dipahami sebagai perhitungan hari diakhirat,
akan tetapi, ada yang berpendapat lain, bahwa waktu tersebut mengacu kepada
sejarah keduniaan manusia. Hal ini, didasarkan pada konteks ayat tersebut,
terutama penyebutan nasib yang dialami oleh suatu kota yang zalim (yang
dimaksudkan adalah para penghuninya).
10
2.3 Pengertian Al Maad
ABSTRAK Berbicara tentang ma‟ad selalunya terkait dengan hari kiamat (yaum al-
qiyamah). Ketika menyebut yaum al-qiyamah, yang terbayang dalam benak kita adalah
dahsyatnya kehancuran alam semesta ini sebagai akhir dari kehidupan, perhitungan Allah serta
hari pembalasan dan keadilan-Nya. Al-Ma‟ad merupakan penegasan keyakinan akan
berakhirnya alam duniawi dan berganti dengan alam akhirat untuk menusia bangkit
mempertanggung jawabkan segala perbuatannya selama hidup di dunia. Kata al-Ma‟ad terambil
dari akar kata “‟Ada, “Ya‟udu” artinya kembali. Al-Ma‟ad berarti tempat kembali, yakni tempat
kembalinya segala sesuatu. Dan Akhirat adalah tempat kembali (yang diperuntukkan) bagi
ummat manusia. Eksistensi Al-Ma‟ad sebagai sebuah keniscayaan yang wajib diimani oleh
setiap manusia dapat diungkap melalui penggunaan dalil-dalil naqli sebagai yang terdapat dalam
al-Qur‟an ataupun dengan petunjuk aqli baik secara logika/argumentatif maupun dengan analisa
terhadap fenomena alamiah.
Pengertian al-Ma‟ad Kata al-Ma‟ad terambil dari akar kata “‟Ada, “Ya‟udu” artinya kembali.
Al-Ma‟ad berarti tempat kembali.
1. Menurut Ibn Faris, kata al-Ma‟ad bermakna “tempat kembalinya segala sesuatu, dan Akhirat
adalah tempat kembali (yang diperuntukkan) bagi ummat manusia.
2. Penelusuran penulis terhadap kata ini di Mu‟jam Mufahras li Alfaz al-Qur‟an tidak
diketemukan penggunaannya untuk makna sama sebagai tersebut di atas, pemaknaan sebagai
11
tempat kembali yang terpakai adalah kata derivasinya dalam bentuk fi‟il Mudhari‟ dengan
memakai kata “ Nu‟idu” pada QS. Al-anbiya‟:104:
Artinya: (Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaranlembaran kertas.
Sebagaimana Kami telah memulai panciptaan pertama begitulah Kami akan
mengulanginya/mengembalikannya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya
Kamilah yang akan melaksanakannya.
Keraguan Terhadap Hari Akhir Sebagai fondasi agama, keyakinan pada hari akhir bersifat
mutlak. Akan tetapi, dalam setiap babakan sejarah, tetap saja ada orang-orang yang
meragukannya. Dengan analisa sederhana, pengingkaran terhadap hari akhir didasari pada
beberapa jenis keraguan, sebagai berikut:
12
2.4 Akhirat
Percaya kepada Hari Akhirat merupakan salah satu rukun iman yang harus diyakini oleh
setiap muslim. Al-Qur‟an menjelaskan bahwa akhirat ialah hari dimana manusia akan
men dapatkan hukuman atau kenikmatan sesuai dengan amal perbuatan ketika
hidup di dunia. Akhirat adalah alam terakhir yang dilalui umat manusia setelah
alam dunia, dunia adalah jembatan yang mesti dilalui oleh setiap manusia sebelum
menempuh alam akhirat yang kekal sepanjang zaman. Karena itu, Al-Qur‟an
menamainya dengan beberapa istilah yang menunjukkan hakekat yang
sesungguhnya yaitu:
1. Al Hayawan (Kehidupan yang sebenarnya)
ُۘ
اْلَيَد َوا ُن لَ ْو َكِفندُ ْوا دَ ْعلَ ُا ْو َن ٰ ْ ب َواِن ال َار
ْ اْل ِخَةَ ََلِ َي ِ ِ ْ َِوََِف ٰ ِذه
ٌ اْلَٰيوةُ ال ُّ نْديَِفْٓ اْل ََلٌْو ولَع
Artinya : Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya
negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui. (Qs. Al
Ankabut : 64)
Artinya : Pada hari itu Allah menyempurnakan balasan yang sebenarnya bagi mereka, dan
mereka tahu bahwa Allah maha benar,maha menjelaskan. (Qs. An Nur : 25)
ٰ ْ َوقِْي لِل ِذ ْ َ اتد َق ْوا ََِف َذآْ اَنْدَزَل َربُّ ُر ْم قَِفلُْوا َخْيدًا ۚلِل ِذ ْ َ اَ ْح َسُد ْوا ِ ِْف ٰ ِذهِ ال ُّ نْديَِف َح َسَةٌ َولَ َ ُار
اْل ِخَةِ َخْيدٌ َولَِ ْع َم َد ُار َ
ِ ن
َ ْ الْ ُاَق
13
Artinya : Dan kemudian dikatakan kepada orang yang bertaqwa, “apakah yang telah
diturunkan oleh Tuhanmu?.” Mereka menjawab,”kebaikan.” Bagi orang yang berbuat
baik di dunia ini mendapat (balasan) yang baik. Dan sesuangguhnya negri akhirat pasti
lebih baik. Dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertaqwa. (Qs. An-Nahl :
30)
Dengan begitu ketika manusia mengetahui bahwa hakikatnya kehidupan yang kekal
adalah akhirat, maka mereka harus memperhatikan apa yang mereka lakukan selama
di dunia dan memperbanyak amal kebaikan agar terhindar dari siksa neraka.
Seseorang yang hidup di dunia, pasti menginginkan untuk dapat masuk ke surga.
Mereka yang menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah akan terhindari
dari neraka. Berikut beberapa amalan agar terhindar dari api neraka:
14
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
mukjizat ialah keadaan-keadaan dan kejadian-kejadian yang menyalahi kebiasaan atau
yang luar biasa yang dilakukan oleh seorang nabi atau rasul Allah
Pembagian Mukjizat
Keadaan mukjizat yang diturunkan kepada para nabi dan rasul Allah itu terbagi dua
bagian hisysyah dan mukjizat ma’nawiyah.
Pengertian Sunnatullah
Sunnatullâh merupakan istilah dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata, yaitu sunnah
dan Allah .
Sifat dan Karakteristik Sunnatullah
Konsisten,Universal,huku kausualitas dan usaha manusia, Realitivitas waktu dan
sunnatullah, Fenomena alam dalam sunnatullah.
Pengertian Al Maad
Al-Ma‟ad merupakan penegasan keyakinan akan berakhirnya alam duniawi dan berganti
dengan alam akhirat untuk menusia bangkit mempertanggung jawabkan segala
perbuatannya selama hidup di dunia. Kata al-Ma‟ad terambil dari akar kata “‟Ada,
“Ya‟udu” artinya kembali. Al-Ma‟ad berarti tempat kembali, yakni tempat kembalinya
segala sesuatu. Dan Akhirat adalah tempat kembali (yang diperuntukkan) bagi ummat
manusia.
Pengertian Akhirat
Akhirat adalah alam terakhir yang dilalui umat manusia setelah alam dunia
15
DAFTAR PUSTAKA
Chalil, Kiai Haji Moenafar. 2001. Tarikh Nabi Muhammad Jilid 3. Jakarta : Gema Insani.
Akhmad,Chaerul. 2012 “Ensiklopedia Hukum Islam: Istilah Akhirat Dalam Al Qur‟an (1)”,
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/06/14/m5m217-ensiklopedi-
hukum-islam-istilah-akhirat-dalam-alquran-1, diakses pada 14 Juni 2012 21:51 WIB
https://sekolahnesia.com/contoh-makalah/
16
17