Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENGERTIAN TARBIYAH DALAM AL-QUR’AN

Di susun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah : Tafsir Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. Sumarna, M. A. Pd

Disusun oleh:

Kelompok 1

Maryana (2212036)

Sutinah (2212045)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK


BANGKA BELITUNG

2023

0
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
“Sesungguhnya telah kami menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk. 1
Keistimewaan ini menyebabkan manusia dijadikan kholifah atau wakil Tuhan di
muka bumi yang kemudian dipercaya untuk memikul amanah berupa tugas dalam
menciptakan tata kehidupan yang bermoral di muka bumi”.2

Meski manusia lahir tanpa emiliki pengetahuan apa pun, tetapi ia telah dilengkapi
dengan fitrah yang memungkinkannya untuk menguasai berbagai pengetahuan dan
peradaban. Dengan memfungsikan fitrah itu ia belajar dari lingkungan dan masyarakat
orang dewasa yang mendirikan institusi Pendidikan. Kondisi awal individu dan proses
pendidikannya tersebut diisyaratkan oleh Allah di dalam firman Nya sebagai berikut:
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahi sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”

Potensi pendengaran, penglihatan dan hati pada ayat di atas menunjukkan


kesempurnaan bentuk dan kelebihan manusia dari makhluk lainnya. Sebagaimana
konsekuensinya, manusia dituntut untuk berbakti kepada Allah dengan memanfaatkan
kesempurnaan, kelebihan akan pikiran, dan segala kelebihan lain yang telah
dianugerahkan kepadanya.
Keistimewaan dan kelebihan manusia tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan
fisik. Manusia dilengkapi dengan potensi berupa kekuatan fisik, fungsi organ tubuh dan
panca indra. Kemudian dari aspek mental, manusia dilengkapi dengan potensi akal, bakat,
fantasi maupun gagasan. Potensi ini dapat mengantarkan manusia memiliki peluang untuk
bisa menguasai serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sekaligus
menempatkannya sebagai makhluk berbudaya.3
Manusia juga dilengkapi dengan kalbu yang memungkinkan manusia sebagai
makhluk bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman dan kehadiran ilahi secara
spiritual. Perpaduan daya-daya tersebut memiliki potensi yang menjadikan manusia
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, serta mampu menghadapi tantangan yang
mengancam kehidupannya. Dengan menggunakan kemampuan akalnya manusia dapat

1
Q. S. At-Tin/95: 4
2
Syafei Ma’arif, Islam dan Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 9
3
Q. S. An-Nahl/16: 78

1
berkreasi membuat berbagai peralatan guna mempertahankan diri dari gangguan musuh
dan alam lingkungannya.4
Selain itu manusia juga mampu berinovasi dan berkarya dalam meningkatkan
kualitas hidupnya. Manusia pun dapat mempertahankan kelangsungan generasinya dari
kepunahan, melalui kemampuan nalar dan kreativitasnya.5
Meski manusia memiliki potensi yang luar biasa hebat, namun tidak ada artinya
jika tidak dikembangkan melalui bimbingan dan tuntutan yang terarah, teratur dan
berkesinambungan. Karena pada dasarnya, keistimewaan dan kelebihan manusia tersebut
merupakan potensi yang memiliki peluang begitu besar untuk dikembangkan. Hal ini
menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang berpotensi untuk di didik.6
Pendidikan adalah persoalan penting bagi semua umat. Pendidikan selalu menjadi
tumpuan harapan untuk mengembangkan individu dan masyarakat. Memang Pendidikan
merupakan alat untuk memajukan peradaban, mengembangkan masyarakat dan membuat
generasi mampu berbuat banyak bagi kepentingan mereka.7
Secara terminologis, Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah daya upaya
untuk menunjukkan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran dan
tumbuh anak yang antara satu dan lainnya saling berhubungan, agar dapat menunjukkan
kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak selaras dengan
dunianya.8
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan.9 Dengan Pendidikan, pemberian ilmu pengetahuan dan penghayatan diberikan
ke dalam kehidupan sehari-hari pada diri anak didik. Pendidikan yang diberikan selalu
berupaya untuk mempengaruhi semaksimal mungkin terhadap orang-orang yang terlihat di
dalam Pendidikan itu, baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Dalam Islam, Pendidikan adalah kewajiban bagi manusia, karena Islam
memandang Pendidikan sebagai proses yang terkait dengan upaya mempersiapkan
manusia untuk mampu memikul taklif (tugas hidup) sebagai khalifah Allah di muka bumi.

4
Ahmad D. Marimba, Pengantar filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma'arif , 1989), hal. 23.
5
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan suatu analisa psikolog dan Pendidikan (Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1992), hal 261-262
6
Jalaluddin, cet. 2 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 13-14.
7
Hasan Langgulung, hal. 33
8
Hery Noer Aly dan Munzier, Watak Pendidikan Islam , cet. 1 (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000),
hal. 1.
9
Ki Hajar Dewantar, Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta: Majlis Luhur Taman Siswa, 1962),
hal. 14-15.

2
Untuk maksud tersebut, manusia diciptakan lengkap dengan potensinya berupa akal dan
kemampuan belajar. Sebagaimana firman Allah SWT sebagai berikut:
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang
maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.10
Terlepas dari pentingnya Pendidikan bagi manusia, ada baiknya untuk
mengetahui apa sebenarnya Pendidikan menurut Islam. Dalam dunia Pendidikan, istilah
Tabiyah, ta’lim dan ta’dib sudah tidak asing lagi ditelinga kita terlebih pada masa modern.
Pada masa dahulu jauh sebelum konsep pemaknaan tarbiyah sebagai arti dari Pendidikan,
Pendidikan Islam disebut dengan dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw.
Dari sinilah akan diadakan peembahasan, apa sebenarnya yang dimaksud dengan
tarbiyah, dengan merujuk pada pendapat para mufasir. Maka permasalahan ini menurut
para penulis sangat menarik untuk diteliti, oleh karena itu penulis merasa perlu untuk
membahas apa sebenarnya yang dimaksud dengan tarbiyah dalam Al-Qur’an. Apakah kata
tarbiyah mencakup seluruh aspek yang ada dalam Pendidikan yang selama ini.
Pengkajian-pengkajian tentang Pendidikan dalam Islam pada dasarnya sangat
banyak dilakukan, namun kajian Pendidikan khususnya yang bersumber Al-Qur’an masih
sangat sedikit. Kalaupun ada hanya pengkajian pada kisah-kisah atau ayat-ayat tertentu
yang berkaitan dengan Pendidikan serta masalah-masalah yang berkaitan dengan
Pendidikan, seperti konsep atau metodologi Pendidikan Al-Qur’an.
Mengingat telah mengkristalnya istilah tarbiyah bagi Pendidikan dalam Islam,
maka sudah sepatutnya diadakan penelitian dan pengkajian tentang Pendidikan melalui
akar kata bahasa Arab dari tarbiyah.

BAB II
10
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia , edisi ketiga, cet. 1 (Jakarta:
Balai Pustaka, 2001), hal. 263.

3
PEMBAHASAN

A. Tafsir Q. S. Al-Fatihah ayat ke 2


1. Penjelasan umum surat Al-Fatihah
Al-fatihah terdiri dari Tujuh ayat dan menurut mayoritas ulama diturunkan di
Mekkah. Namun menurut pendapat sebagian ulama, seperti Mujahid, surat ini
diturunkan di Madinah. Menurut pendapat lain lagi, surat ini diturunkan dua kali,
sekali dei Mekkah, sekali di Madinah. Ia merupakan surat pertama di dalam daftar
surat Al-Qur’an. Meski demikian, ia bukanlah surat yang pertama kali diturunkan,
karena surah yang pertama kali diturunkan adalah surah Al-Alaq.
Surat ini dinamakan al-fatihah (pembuka) karena secara tekstual ia memang
merupakan surat yang membuka atau mengawali Al-Qur’an, dan sebagai bacaan yang
mengawali dibacanya surah lain dalam sholat. Selain al-fatihah , surat ini juga
dinamakan oleh mayoritas ulama dengan Ummul kitab. Namun nama ini tidak disukai
oleh Anas, Al-Hasan, dan Ibn Sirin. Menurut mereka, nama ummul kitab adalah
sebutan untuk Al-Lauh Al-Mahfuz. Selain nama itu di atas, menurut As-Suyuthi
memiliki lebih dari dua puluh nama, diantaranya adalah al-wafiyah (yang mencakup),
asy-syafiyah (yang menyembuhkan), dan as-sab’ul matsani (Tujuh ayat yang diulang-
ulang).

2. Kedudukan Surat Al-Fatihah dalam Al-Qur’an


Surat Al-Fatihah memiliki kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an, karena
merupakan surat yang paling agung, sebagaimana ayat kursi merupakan ayat yang
paling agung.
Saking pentingnya surat ini, ia dicantumkan di awal muhaf. Oleh karena itu,
ia disebut juga “Faatihatul Kitab” (pembukaan Al-Qur’an). Ia menunjukkan betapa
penting dan tingginya kedudukan surat ini, sebab ia tidak dikedepankan maupun
dicantumkan di awal mushaf, melainkan karena kedudukannya yang amat penting.

3. Tafsir Surat Al-fatihah ayat ke 2


“Segala puji bagi Allah”
Dalam menafsirkan potongan ayat ini, Thanthawi berupaya mengaitkan
antara lahirnya pujian (syukur) dengan factor-faktor yang menyebabkannya.
Menurutnya, karakter manusia cenderung memberikan pujian kepada seseorang yang

4
telah berjasa kepadanya. Misalnya, seorang anak akan berterima kasih kepada kedua
orang tuanya atas asuhan dan didikan yang telah mereka curahkan kepadanya, seorang
siswa akan berterima kasih kepada gurunya atas curahan ilmu yang telah diberikan
kepadanya, dan sebagainya.11
Menurut Thanthawi, secara garis besar, rahmat yang diturunkan Allah
kepada manusia terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Rahmat dari sisi manusia, seperti para nabi, kedua orang tua, para ulama, para
pahlawan, dan para dermawan
b. Rahmat dari selain manusia, seperti pancaran sinar matahari, turunnya hujan dari
langit, mengalirnya air di sungai, pemandangan yang indah, dan cahaya bintang
gemintang.
Kedua jenis rahmat tersebut sama-sama bersumber dari Allah semata.
Karenanya, sudah barang tentu pujian dan sanjungan hanya ditujukan kepada-Nya dan
tidak kepada selain-Nya.
Logika yang dibangun Thanthawi adalah jika kepada para nabi, kedua orang
tua, dan para guru, manusia diwajibkan untuk berterima kasih, maka kepada Allah
tentu lebih wajib lagi. Sebab, Dialah yang memberikan semua rahmat tersebut. Begitu
juga, apabila manusia merasa berterima kasih atas turunnya hujan, mengalirnya air
sungai, dan adanya sinar matahari, maka ia harus mengalamatkan terima kasih
tersebut kepada Allah swt., karena Dialah yang menjadi sumber adanya rahmat
tersebut.
Thanthawi juga memberikan penafsiran yang menarik terhadap ayat ini.
Menurutnya, menetapkan pujian hanya kepada Allah merupakan titik tolak
terwujudnya kemerdekaan dan persamaan derajat manusia, sekaligus dapat
menghapus tradisi Arab Jahiliah yang suka memuja para raja dan dermawan secara
berlebihan.
Menurut Thanthawi, telah menjadi tradisi bangsa Arab yang turun-temurun
bahwa pernyataan seorang penyair memiliki pengaruh besar terhadap jiwa dan
kehidupan mereka. Suatu kabilah (suku bangsa) yang dahulunya dipandang rendah
dan hina oleh kabilah lainnya dapat diangkat menjadi kabilah yang terkenal dan
disegani berkat pujian dan sanjungan seorang penyair. Sebaliknya, suatu kabilah yang
dahulunya megah dan disegani dapat menjadi kabilah yang hina lantaran syair seorang
penyair.
11
Thanthawi Jauhari, al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, hal. 5

5
Misalnya, sebuah syair yang menyanjung keturunan (kabilah) Anfunnaqah:
Artinya: “Mereka adalah suatu kaum yang (bagaikan hidung) selalu di muka,
sedangkan kaum lainnya menjadi ekor (pengikut)nya. Siapakah yang
menyamakan hidung unta dengan ekornya.”

Sebelum munculnya syair ini, Bani Anfunnaqah selalu merasa rendah diri
dan malu tampil ke depan umum. Bahkan, orang lain pun malu menyebut nama
mereka. Akan tetapi, setelah syair tersebut diucapkan, mereka menjadi megah dan
terkenal. Jika seorang ditanyakan asalnya, dengan rasa bangga ia menjawab: «Saya
berasal dari Bani (suku) Anfunnaqah.
Contoh yang kedua adalah sebuah syair dari Jarir:
Rendahkanlah pandanganmu, engkau hanya dari Bani Nuamairi. Engkau
tidak sederajat dengan Bani Ka›b maupun Bani Kilab.

Sebelum munculnya syair ini, Bani Numairi selalu merasa bangga dan suka
menyombongkan diri. Tetapi setelah tersebarnya syair ini, mereka menundukkan
kepala (merasa rendah diri) dan dipandang hina oleh lawan-lawan mereka sehingga
malu menampakkan wajah di dalam berbagai pertemuan.
Thanthawi juga menyebutkan di antara nama-nama penyair yang terkenal
saat itu, yaitu Hisan, Nabigah al-Dzibyani, dan Zuhair bin Abi Salma. Menurutnya,
ketiga penyair tersebut sering memuja para raja dan dermawan dengan syairnya.
Misalnya, Hisan yang sering memuja Raja Ghassan, Nabigah al-Dzibyani yang sering
memuja Raja an-Nukman, dan Zuhair bin Salma yang sering memuja Harim bin Sinan
(seorang yang dikenal sangat dermawan).
Dapat diambil contoh misalnya syair pujaan an-Nabigah terhadap Raja an-
Nukman:
Engkau laksana matahari, sedangkan raja-raja lain hanya bintang kecil
belaka. Bila matahari terbit, maka tiada satu bintang pun yang tampak di
antara mereka.

Untuk memuji Harim bin Sinan (seorang yang dikenal sangat dermawan),
Zuhair bersyair:
«Sungguh Harim menjadi obyek orang-orang yang mencari harta dan orang-
orang yang meminta selalu datang ke rumahnya.»

Begitulah sekelumit contoh tradisi Arab jahiliah yang dipaparkan oleh


Thanthawi, di mana syair-syair pujian hanya tertumpuk kepada para raja dan para
dermawan di antara mereka.

6
Karena itulah Thanthawi menegaskan bahwa turunnya surah al-Fatihah—
yang di dalamnya memuat seruan untuk mengkhususkan pujian hanya kepada Allah—
dapat membebaskan masyarakat Arab jahiliah dari kungkungan perbudakan dan
menyegarkan akal mereka dalam berpikir sehat dan tidak terikat pada pemberian
makhluk yang tidak seberapa dibandingkan pemberian Allah.
Untuk mengukuhkan penafsirannya terhadap ayat ini, Thanthawi merujuk
kepada ayat lain dalam surah al-Baqarah: 200, yang berbunyi:
Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka berzikirlah kepada
Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyang kamu, bahkan
berzikirlah lebih dari itu…(Q.S. al-Baqarah [2]: 200)

Menurutnya, perintah dalam ayat tersebut merupakan bimbingan bagi


manusia supaya mereka memuji dan berzikir hanya kepada Allah semata.
Terkait dengan pernyataan Thanthawi bahwa setiap pujian mempunyai
motivasi, maka menurutnya, Allah menyebutkan lagi nikmat-Nya yang terpenting,
yaitu:
Artinya: “Tuhan (pendidik, pemelihara) alam semesta”
Menurut Thanthawi, Allah lah yang mendidik dan memelihara alam semesta.
Bentuk pendidikan dan pemeliharaan Allah adalah dengan meningkatkannya dari
kekurangan menuju kesempurnaan. Untuk menggambarkan bentuk pemeliharaan
Allah tersebut, Thanthawi mengemukakan beberapa yang contoh, di antaranya12:
a. Pemeliharaan Allah terhadap tumbuh-tumbuhan
1) Biji Jagung
Menurut Thanthawi, hampir seluruh kaum muslim di segenap penjuru
bumi memakan jagung dan menyaksikan penanamannya. Akan tetapi,
kebanyakan mereka tidak mengetahui proses pemeliharaan Allah terhadap
jagung tersebut.
Sesungguhnya pada setiap batang jagung ada bunga jantan di bagian atas
dan bunga betina di bagian tengahnya. Bunga jantan ini disebut dengan “malai”
yang tumbuh pada ujung batang. Pada bunga jantan itu terdapat serbuk jantan
yang akan jatuh kepada bunga betina (tongkol). Pada tongkol ini terdapat
benangbenang halus yang berwarna merah muda, yang disebut juga dengan
tangkai putik (rambut jagung). Tangkai putik (benang-benang halus) ini

12
Rahman, F. (2017). Tafsir Saintifik Thanthawi Jauhari Atas Surah Al-Fatihah. Hikmah: Journal of
Islamic Studies, 12(2), 303-336.

7
berongga seperti pipa, tetapi tidak dapat dilihat oleh mata kepala manusia tanpa
dibantu mikroskop. Setelah serbuk jantan jatuh kepada bunga betina, ia masuk
ke dalam rongga benang halus itu sampai bertemu dengan serbuk betina yang
berada pada tongkol, sehingga terjadilah pembuahan yang akhirnya menjadi
jagung.
2) Biji gandum
Pada tiap-tiap biji dari setangkai gandum terdapat tiga lapis selaput
pembungkus, dan pada bagian atas selaput itu terdapat kepala putik yang
menyerupai sebuah kantong yang penuh dengan mayang seperti mayang jagung.
Kantong yang terdapat pada kepala putik itu jatuh kepada bunga betina yang
merupakan bakal biji di dalam tangkai. Apabila mayang (serbuk) jantan jatuh
pada tempat biji betina, maka terjadilah biji gandum.
3) Buah kurma
Pohon kurma mengisap segala zat halus dari dalam tanah sebagai
makanan bagi seluruh bagianbagiannya. Zat makanan itu diisapnya melalui
saringan batang, kemudian dicerna oleh pelepah (tangkai daun), dan ampasnya
menjadi makanan batang, sedangkan intinya yang lebih halus dilangsungkan ke
tandan untuk dicerna (diproses). Adapun yang lebih halus lagi dilanjutkan ke
mayang, dan dari mayang dilanjutkan ke buah. Di dalam buah, inti tersebut
diproses lagi, sehingga yang paling halus menjadi daging buah yang manis,
sedangkan yang agak kasar menjadi biji yang keras. Di antara biji dengan
dagingnya yang manis ada suatu selaput halus (tipis) yang gunanya untuk
membatasi antara zat pahit dari biji dan zat yang manis. Di dalam belahan biji
itu terdapat pula suatu sumbu yang panjang, yang berfungsi untuk menyalurkan
makanan ke seluruh bagian buah.
b. Pemeliharaan Allah terhadap Mutiara di Laut
Mutiara adalah sejenis binatang yang mulanya berenang di permukaan
air, kemudian turun ke dasar laut. Ia terbungkus dengan zat kapur guna
melindunginya dari gangguan binatang lain. Adapun butir mutiara terdapat di
dalam dagingnya. Binatang ini berbeda dengan binatangbinatang biasa pada
umumnya. Binatang pada umumnya mencium dengan hidung, makan dengan
mulut, membela diri dengan kaki dan tanduk.
Adapun binatang mutiara, ia mempunyai jaring yang halus laksana jaring
nelayan yang kokoh dengan tata susunan yang menakjubkan. Jaring itu

8
merupakan saringan yang dapat menahan masuknya pasir ke dalam mulutnya
ketika ia menghirup udara atau menelan makanan. Di bawah jaring itu terdapat
beberapa buah mulut, dan pada setiap mulut ada empat bibir yang dapat
menerima segala makanan yang sesuai dengan keadaannya dan menolak lainnya
yang tidak sesuai. Adapun butir mutiara itu tumbuh dari kumpulan pasir halus
atau binatang yang keras, yang terpaksa masuk ke dalam rongga mulutnya,
kemudian binatang ini mengeluarkan semacam zat perekat untuk menutupinya,
dan setelah itu membeku hingga keras (membatu). Mutiara ini ada bermacam-
macam; ada yang ukurannya lebih kecil daripada biji kacang, dan ada pula yang
lebih besar daripada telur burung merpati. Biasanya, mutiara-mutiara ini
dijadikan bahan perhiasan yang sangat menarik bagi kaum wanita
c. Pemeliharaan Allah terhadap manusia
1) Pembentukan organ tubuh manusia
Manusia diciptakan dari setetes air mani (sperma) yang di dalamnya terdapat
beribu-ribu atau bahkan beratus ribu sel hidup. Ia terpancar dari alat kelamin
laki-laki dan berjalan dalam saluran alat kelamin perempuan, lalu bertemu
dengan sel telur di dalamnya. Setelah itu keduanya menyatu menjadi satu sel.
Sel itu kemudian berkembang secara berganda: 2-4-8- 16-32-64-128 dan
seterusnya secara deret ukur, yang mempunyai rahasia mengagumkan
menurut ilmu hitung (arithmatika). Demikianlah perkembangannya yang
cepat dan teratur hingga umur sembilan bulan. Suatu hal yang menakjubkan
bahwa perkembangan berganda dari sel yang satu ini kemudian membentuk
susunan organ tubuh yang sangat rapi seperti urah nadi, pembuluh darah,
syaraf dan otot, daging, lemak, kuku, rambut, dan panca indera.
2) Pemeliharaan janin dalam Rahim ibunya
Allah menciptakan air susu ibu sebelum bayi lahir. Selama pertumbuhan janin
di dalam rahim, air susu ibu itu bertambah terus. Jika hamil telah sempurna
dan tiba waktunya melahirkan, maka air susu ibu pun telah sesuai dengan
umur bayinya. Pendek kata, air susu ibu terus berproses hingga keadaannya
sesuai dengan pertumbuhan kondisi bayi. Oleh karena itu, para dokter
melarang menyusukan bayi kepada orang lain, karena alat pencernaan sang
bayi tidak sesuai dengan air susunya. Para dokter mengatakan bahwa yang
paling baik bagi setiap bayi adalah air susu ibunya sendiri, karena air
susunyalah yang paling sesuai dengan perkembangan bayi itu.

9
Demikianlah contoh-contoh yang disajikan Thanthawi mengenai bentuk
pemeliharaan Allah yang sangat sempurna dan mengagumkan terhadap alam semesta,
termasuk hal-hal kecil seperti biji jagung, biji gandum, dan buah kurma.24 Thanthawi
sangat menyayangkan kaum muslim yang selalu berikrar di dalam shalatnya bahwa
Allah adalah rabbil ‘alamin pemelihara alam semesta), tetapi kebanyakan di antara
mereka tidak mengetahui cara pemeliharaan Allah terhadap alam semesta. Lebih
ironis lagi, yang menyadari hal tersebut justru bangsa Eropa (yang non-muslim),
sehingga mereka jauh mendahului umat Islam dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan. Demikian geram Thanthawi terhadap kaum muslim yang enggan
merenungkan kesempurnaan pemeliharaan Allah ini, sampai-sampai ia
menganalogikan bahwa mereka tidak ada bedanya dengan binatang. Sebab, mereka
hanya bisa mengonsumi biji jagung, biji gandum, dan kurma, tetapi tidak pernah
berpikir tentang pendidikan dan pemeliharaan Allah terhadap ketiganya. Bukankah
yang membedakan manusia dengan binatang adalah akal pikirannya.13

B. Tafsir Q. S. Al-Isra ayat ke 24


Dari hal terkait tafsir dalam kandungan surat Al-Isra ayat 24 mengenai
Pendidikan karakter, tampaknya yang menjadi titik sentral dalam masalah bir al-
walidain adalah anak, maka posisi orang tua sebagai pendidik tidak menjadi batasan
utama. Hal ini bisa disebabkan adanya suatu anggapan bahwa orang tua tidak akan
melalaikan kewajibannya dalam mendidik anak.
Menurut Said Qutub orang tua itu tidak perlu lagi dinasehati untuk berbuat
baik kepada anak, sebab orang tua tidak akan pernah lupa akan kewajibannya dalam
berbuat baik kepada anaknya. Sedangkan anak sering lupa akan tanggung jawabnya
terhadap orang tua. Ia lupa pernah membutuhkan asuhan dan kasih sayang orang tua
dan juga lupa akan pengorbanannya. Namun demikian anak perlu melihat ke belakang
untuk menumbuh-kembangkan generasi selanjutnya. Jadi mempelajari cara orang tua
dalam mendidik anak menjadi ada hal yang perlu di pehatikan dan dipertimbangkan.
Hal pertama yang teranalisa dalam penjelasan kedua ayat tersebut adalah kewajiban
orang tua untuk memperlakukan anak dengan baik. Hal ini dapat dilihat dalam
penafsiran ayat wa bilwalidaini ihsana. Dalam penafsiran penggalan ayat tersebut,
anak dituntut berbuat baik kepada kedua orang tua disebabkan orang tua telah berbuat

13
Rahman, F. (2017). Tafsir Saintifik Thanthawi Jauhari Atas Surah Al-Fatihah. Hikmah: Journal of
Islamic Studies, 12(2), 303-336.

10
ihsan kepada anak; mengandung selama sembilan bulan, memberikan kasih sayang
dan perhatian sejak dari proses kelahiran hingga dewasa.
Dengan demikian, perintah anak untuk berbuat ihsan kepada orang tua
menjadi wajib dengan syarat orang tua telah terlebih dahulu berbuat ihsan kepadanya.
Ihsan orang tua terhadap anak sangat urgen sebab seorang anak yang dilahirkan ke
dunia ini dalam keadaan lemah tidak berdaya, tidak tahu apa-apa, dan perlu
pertolongan orang lain. Untuk mengatasi ketidakberdayaannya, anak sangat
bergantung epenuhnya kepada orang tua dan menunggu bagaimana arahan dan
didikan yang akan diberikan kepadanya. Hal kedua yang dapat dijadikan konsep
pendidikan emosional anak adalah14:
Kondisi lemah anak yang masih kecil dalam asuhan orang tua sama halnya
dengan kondisi orang tua yang telah tua renta dalam asuhan anak. Ketika Allah
mewajibkan anak untuk berbuat baik kepada orang tua sebagai balasan orang tua yang
telah memperlakukan anak dengan baik dan susah payah ketika anak kecil, maka
secara otomatis orang tua juga dituntut hal yang sama yakni memperlakukan anak
dengan baik; tidak bersikap yang menunjukkan kebosanan dan kejemuan secara lisan
maupun bahasa tubuh. Berkaitan dengan hal ini, orang tua seharusnya tidak
mengabaikan aspek psikologis dalam mengasuh anak. Anak memerlukan perhatian
dan kasih sayang. Meskipun belum bisa berpikir logis, anak tetap memerlukan kasih
sayang dan cinta orang tua. Pemberian materi yang banyak tanpa dibarengi dengan
perhatian dan rasa cinta dari orang tua akan membuat anak merasa tidak ada ikatan
emosi antara dirinya dan orang tua. Akibatnya anak tidak peka terhadap apa yang
dirasakan oleh orang tuanya, apalagi ketika orang tua telah renta.
Memperlakukan anak dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang bukan
hanya membantu anak berkembang dengan positif tetapi juga memudahkan orang tua
untuk mengontrolnya. Di saat orang tua bersikap lemah lembut dan sayang
kepadanya, maka anak tersebut akan mudah untuk diajak kerjasama dan akan
bersikapmenurut. Memperhatikan aspek psikologis anak dapat diwujudkan dengan
sikap dan perkataan. Allah mewajibkan anak untuk berkata lemah lembut dan tidak
menghardik orang tua ketika mereka telah pikun karena orang tua telah berlaku sabar,
bersikap lembut dan tidak menghardik anak. Dengan demikian orang tua juga dituntut
untuk lemah lembut dalam perkataan dan tidak menghardik anak.

14
Mustofa, B. (2016). Nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam al-Qur'an surat al-Isra ayat 23-
24 (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim).

11
Anak kecil yang belum bisa berpikir rasional dan logis sama halnya seperti
orang tua yang telah pikun. Anak kecil tentunya akan merasa senang dengan
dunianya. Misalnya anak kecil mempermainkan kotorannya sendiri yang menurut
daya nalar anak apa yang dilakukannya tersebut baik dan menyenangkan. Meskipun
hal demikian belum tentu logis dan baik menurut pemikiran orang dewasa. Dalam hal
ini orangtua perlu bersikap sabar. Penghinaan dan celaan adalah tindakan yang
dilarang dalam pendidikan, sekalipun terhadap bocah kecil yang belum berumur satu
bulan. Anak bayi sangatlah peka perasaannya. Ia dapat merasakan orang tua tidak
senang dan tidak menyukainya melalui sikap, bahkan yang masih tersirat dalam hati
orang tua, lebih-lebih lagi melalui perkataan yang jelas.
Sikap orang tua dalam menghadapi dan mengasuh anak pada masa kecil
memerlukan kesabaran dan tutur kata yang baik atau qaulan karima. Tutur kata yang
baik bisa diwujudkan seiring dengan adanya kesabaran. Apabila tidak ada kesabaran
dalam diri orang tua tentunya kata-kata kasar dan hardikan akan keluar tanpa
terkendali. Dan perkataan kasar serta hardikan tidak disenangi anak, walaupun
menurut orang tua semua itu demi kebaikan anak. Sebab yang dirasakan oleh anak
bahwa kata-kata yang tidak lemah lembut merupakan bukti ketidaksenangan orangtua
terhadapnya.

C. Tafsir Q. S. Al-Syu’ara ayat ke 16


Pada ayat-ayat ini, Allah menegaskan kepada Musa a.s bahwa semua yang
dikhawatirkanna itu tidak akan terjadi. Dia tidak akan dapat dibunuh oleh Fir’aun
karena Fir’aun tidak akan dapat berlaku sewenang-wenang terhadapnya. Adapun
permintaan musa agar saudaranya Harun diangkat menjadi Rasul telah dikabulkan
oleh Allah SWT. Dengan begitu, perintah untuk pergi berdakwah kepada Fir’aun dan
kaumnya dibebankan kepada Musa dan Harun. Di dalam ayat lain, Allah menegaskan
bahwa permintaan Musa a.s. itu dikabulkan yaitu:15
Allah SWT berfirman: “Sungguh. Telah diperkenankan permintaanmu, Hai
Musa (thaha/20: 36)

Allah menceritakan kepergian Musa dan Harun menyeru Fir'aun dan kaumnya
kepada agama tauhid dengan membawa mukjizat yang akan menguatkan seruannya
yaitu tongkat Musa yang dapat menjadi ular, dan tangannya bila dimasukkan ke
15
IMRAN, A. (2018). Amanah Dalam Al-Qur’ān (Kajian Tafsir Tematik) (Doctoral Dissertation, Uin
Sunan Kalijaga Yogyakarta).

12
ketiaknya akan menjadi putih bercahaya. Untuk menghilangkan segala was-was dan
kekhawatiran dalam hati Musa dan Harun, Allah menegaskan bahwa Ia selalu akan
mendengar dan memperhatikan apa yang akan terjadi di kala keduanya telah
berhadapan dengan Fir'aun. Hal ini dengan jelas diterangkan pada ayat lain yaitu:
Dia (Allah) berfirman, "Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku
bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat. (thaha/20: 46).

Allah menyuruh Musa dan Harun agar mengatakan dengan tegas kepada
Fir'aun bahwa mereka datang menghadap kepadanya untuk menyampaikan bahwa
mereka berdua adalah rasul yang diutus Allah, Tuhan semesta alam, kepadanya dan
kaumnya. Selain itu keduanya harus meminta kepada Fir'aun agar membebaskan Bani
Israil yang telah diperbudak selama ini. Keduanya ingin membawa mereka kembali ke
tanah suci Baitul Makdis, tanah tumpah darah mereka, di mana nenek moyang mereka
semenjak dahulu kala telah berdiam di sana. Hal ini bertujuan agar mereka dapat
dengan bebas memeluk agama tauhid tanpa ada tekanan atau hambatan dari siapa pun.
Dalam Tafsir al-Maragi diterangkan bahwa menurut riwayat, Bani Israil yang
tinggal di Mesir diperbudak oleh Fir'aun dan kaumnya dalam waktu yang lama, yaitu
selama 400 tahun. Fir'aun memang sangat berkuasa dan berbuat sewenang-wenang
terhadap rakyatnya, terutama Bani Israil. Menurut al-Qurtubi, sebagaimana dikutip
oleh al-Maragi, Musa dan Harun harus menunggu satu tahun untuk dapat menghadap
Fir'aun.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

13
Karena demikian luasnya pengertian al-tarbiyah ini, maka ada sebagian pakar
pendidikan lainnya yang menggunakan kata al-tarbiyah dengan arti pendidikan.
Menurutnnya, kata al-tarbiyah terlalu luas arti dan jangkauannya. Kata tersebut tidak
hanya menjangkau manusia melainkan juga manjaga alam jagat raya sebagaimana
tersebut. Benda-benda alam selain manusia itu tidak memiliki persyaratan potensial,
seperti akal, pancaindera, hati nurani, insting dan fitrah yang memungkinkan untuk
dididik. Yang memilikik potensi-potensi akal, pancaindera, hati nurani, insting dan
fitrah itu hanya manusia.

B. Saran
Kami mengakui banyaknya kesalahan dalam penulisan, untuk itu kepada para
pembaca, kami harapkan kritik dan saran yang membangun guna makalah ini menjadi
lebih baik lagi kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

Q. S. At-Tin/95: 4

14
Syafei Ma’arif, Islam dan Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985)

Q. S. An-Nahl/16: 78

Ahmad D. Marimba, Pengantar filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma'arif , 1989)

Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan suatu analisa psikolog dan Pendidikan
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992)

Jalaluddin, cet. 2 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002)

Hery Noer Aly dan Munzier, Watak Pendidikan Islam , cet. 1 (Jakarta: Friska Agung Insani,
2000)

Ki Hajar Dewantar, Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta: Majlis Luhur Taman Siswa,
1962)

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia , edisi ketiga, cet. 1
(Jakarta: Balai Pustaka, 2001)

Thanthawi Jauhari, al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm

Rahman, F. (2017). Tafsir Saintifik Thanthawi Jauhari Atas Surah Al-Fatihah. Hikmah:


Journal of Islamic Studies, 12(2)

Mustofa, B. (2016). Nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam al-Qur'an surat al-Isra ayat
23-24 (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim).

IMRAN, A. (2018). Amanah Dalam Al-Qur’ān (Kajian Tafsir Tematik) (Doctoral


Dissertation, Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta).

15

Anda mungkin juga menyukai