Anda di halaman 1dari 19

PENYELESAIAN SENGKETA NON LITIGASI (BANI DAN BASYARNAS)

Makalah Diajukan Guna Memenuhi Mata Kuliah


Hukum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah

Disusun Oleh:
Kelompok 3
1. Sari Safitri (2132061)
2. Lia Hazari (2132068)

Dosen Pengampu: Feby Ayu Amalia, M.H.

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK
BANGKA BELITUNG
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan
dalam menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongannya
penulis tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa
sholawat beserta salam tercurahkan kepada Nabi agung Muhammad SAW yang
syafa’atnya kita nantikan kelak.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehatnya, sehingga makalah “ Penyelesaian Sengketa Non Litigasi (Bani dan
Basyarnas) ” dapat diselesaikan. makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata
kuliah Hukum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah, Penulis berharap makalah
tentang Penyelesaian Sengketa Non Litigasi (Bani dan Basyarnas) ini dapat
membuat kita semua mengetahui tentang Penyelesaian Sengketa Non Litigasi (Bani
dan Basyarnas).
Penulis menyadari makalah bertema Penyelesaian Sengketa Non Litigasi
(Bani dan Basyarnas) ini perlu banyak penyempurnaan karena kesalahan dan
kekurangan. Penulis terbuka terhadap kritik dan saran pembaca agar makalah ini
lebih baik. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, terkait penulisan
penulis memohon maaf.
Demikian yang dapat penulis sampaikan akhir kata semoga malah ini dapat
bermanfaat.

ii
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Non Litigasi .......... 3
B. Penyelesaian Sengketa Non Litigasi (BANI) ....................................... 5
C. Penyelesaian Sengketa Non Litigasi (BASYARNAS)......................... 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan jaman banyak bermunculan transaksi
bisnis transaksi bisnis yang baru. Tetapi semakin banyak transaksi-
transaksi bisnis yang baru bermunculan ini tentu berpotensi melahirkan
konflik/sengketa antara para pihak. Setiap sengketa yang terjadi tentu
membutuhkan pemecahan dan penyelesaian yang cepat. Karena
membiarkan sengketa bisnis terlambat penyelesaiannya akan
mengakibatkan perkembangan pembangunan ekonomi tidak efisien,
produktifitas menurun, dunia bisnis mengalami kemunduran dan biaya
produksi meningkat. Hal ini tentu akan merugikan konsumen dan
menghambat peningkatan kesejahteraan serta kemajuan sosial kaum
pekerja.1
Kondisi di atas juga berlaku pada bidang ekonomi syariah
sebagai salah satu sektor ekonomi khusus yang sedang mengalami
perkembangan saat ini, baik pada skala nasional maupun internasional.
Banyaknya lembaga keuangan ekonomi syariah serta peningkatan
interaksi masyarakat dengannya tentu sangat berpotensi melahirkan
sengketa atau permasalahan hukum. Oleh karena itu sangat diperlukan
lembaga atau pranata penyelesaian sengketa ekonomi syariah yang
profesional, efektif dan efisien. Cara yang paling mudah dan sederhana
dalam penyelesaian sengketa adalah penyelesaian oleh para pihak
sendiri. Hal ini dapat ditempuh melalui upaya musyawarah atau negosiasi
antara kedua pihak yang bersengketa.
Cara lain yang dapat ditempuh adalah menyelesaikan sengketa
tersebut dengan bantuan pihak ketiga yang netral, atau melalui proses
mediasi. Jika tidak selesai melalui proses ini maka dapat dilakukan melalui
lembaga yang tugasnya menyelesaikan sengketa. Lembaga resmi untuk

1
Suyud Margono, ADR dan Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2004), hlm 12.

1
menyelesaikan sengketa yang disediakan oleh negara atau litigasi adalah
pengadilan, sedangkan yang disediakan oleh lembaga swasta atau non-
litigasi adalah arbitrase. Penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan
disebut juga dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau dalam
istilah Indonesia diterjemahkan menjadi Alternatif Penyelesaian
Sengketa (APS). Penyelesaian sengketa ekonomi/bisnis melalui
mekanisme alternatif penyelesaian sengketa dianggap lebih tepat
dibandingkan dengan penyelesaian melalui jalur pengadilan. Hal ini
disebabkan karena APS memiliki beberapa kelebihan yang sangat cocok
untuk dunia bisnis.2
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui jalur non-litigasi
atau jalur Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) menjadi kewenangan
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Basyarnas merupakan
salah satu wujud dari Arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Non
Litigasi?
2. Bagaimana Penyelesaian Sengketa Non Litigasi (BANI)?
3. Bagaimana Penyelesaian Sengketa Non Litigasi (BASYARNAS)?

2
Irham Rahman dkk, Jurnal : Analisis Pasal 59 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Di Bidang Arbitrase Syariah, 2014, hlm 2.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Non Litigasi
Di Indonesia, penyelesaian sengketa ekonomi syariah dikenal
melalui dua jalur yaitu melalui litigasi atau penyelesaian melalui pengadilan
dan melalui jalur non litigasi, yaitu penyelesaian sengketa di luar
pengadilan. Penyelesaian secara litigasi dalam ekonomi syariah
dilaksanakan melalui pengadilan agama bidang ekonomi syariah. Adapun
dalam hal penyelesaian sengketa ekonomi syariah diluar pengadilan, di
Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan lahirnya undang-
undang mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, negara
memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menyelesaikan sengketa
bisnisnya di luar pengadilan, baik melalui konsultasi, mediasi, negosiasi,
konsiliasi atau penilaian para ahli.3
Penyelesaian sengketa melalui non litigasi adalah penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
bersifat tertutup untuk umum (closed door session) dan kerahasiaan para
pihak terjamin, proses beracara lebih cepat dan efisien. Proses penyelesaian
sengketa diluar pengadilan ini menghindari kelambatan yang diakibatkan
prosedural dan administratif sebagaimana beracara di pengadilan umum dan
memiliki win-win solution. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini
dinamakan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).4 Jika dilihat dari
sejarahnya, dinamika penyelesaian sengketa di Indonesia di luar jalur
litigasi dimulai pada tahun 1992 dengan dibentuknya lembaga Alternatif
penyelesaian Sengketa yaitu Badan Arbitrase Muamalat Indonesia BAMUI
yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia pada 29 Desember 1992 yang
kemudian pada tanggal 24 Desember 2003, berdasarkan keputusan MUI

3
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan
Agama, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014),hlm. 441
4
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitase Internasional dan
Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika Offset,2012) hlm. 9

3
Nomor KEP-09/MUI/XII/2003, BAMUI resmi diubah menjadi Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).5
Kemudian, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah mulai diatur kebebasan choice of forum
penyelesaian sengketa, hal tersebut diatur pada Pasal 55 ayat 1 dan ayat 2
memberikan pilihan hukum untuk penyelesaian sengketa ekonomi syariah
dimana sengketa tersebut dapat diselesaikan di pengadilan agama atau
berdasarkan kesepakatan para pihak yang dicantumkan dalam perjanjian
untuk di selesaikan di luar peradilan agama. Dimana maksud dari Pasal 55
ayat 2 UU Perbankan Syariah tersebut, dalam penjelasannya disampaikan
yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi
akad adalah upaya Musyawarah Mediasi perbankan, Melalui Badan
Arbitrase Syariah Nasional atau lembaga arbitrase lain dan atau melalui
peradilan dalam lingkungan peradilan umum.
Lembaga resmi untuk menyelesaikan sengketa yang disediakan oleh
negara atau litigasi adalah Pengadilan, sedangkan yang disediakan oleh
lembaga swasta atau non-litigasi adalah Arbitrase. Penyelesaian sengketa di
luar lembaga peradilan disebut juga dengan Alternative Dispute Resolution
(ADR) atau dalam istilah Indonesia diterjemahkan menjadi Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS). Pada saat ini di Indonesia terdapat 7 (tujuh)
lembaga arbitrase institusional yang bersifat nasional, yaitu :
1. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang diprakarsai oleh
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN)
2. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang diprakarsai
oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan telah berganti nama
menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
3. Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI)
4. Badan Arbitrase Komoditi Berjangka Indonesia (BAKTI)
5. Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM HKI)

5
Nilam Sari, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Lembaga Arbitrase,
(Banda Aceh: Yayasan Pena,2016), hlm. 60

4
6. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
7. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI).6
B. Penyelesaian Sengketa Non Litigasi (BANI)
Pada tanggal 3 Desember 1977, sebelum berlakunya Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999, didrikan Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) sebagai lembaga penyelesaian sengketa komersial yang
bersifat otonom dan independent. Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Anggaran
dasar BANI, BANI adalah sebuah badan yang didirikan atas prakarsa
KADIN Indonesia, yang bertujuan untuk memberikan penyelesaian yang
adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai
soal perdagangan dan Industri dan keuangan, baik yang bersifat Nasional
maupun yang bersifat Internasional.
BANI merupakan lembaga peradilan yang mempunyai status
yang bebas, otonom dan juga independent, yang artinya, BANI tidak
dapat diintervensi oleh kekuasaan yang lain, selayak lembaga peradilan
yang independent. Dengan demikian, BANI diharapkan dapat bersikap
objektif, adil, dan jujur memandang dan memutuskan perkara yang
dihadapinya nanti.
Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
kekuasaan kehakiman, metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan
telah diakui, dimana dinyatakan bahwa upaya penyelasaian sengketa
perdata dapat dilakukan di luar pengadilan Negara melalui arbitrase atau
alternatif penyelesaian sengketa. Pengaturan penyelesaian sengketa di
luar pengadilan ini diberikan pengaturan secara umum sampai dengan
pasal 61 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 1999.
Pada dasarnya, BANI merupakan lembaga yang menyelenggarakan
penyelesaian sengketa yang timbul sehubungan dengan perjanjian-
perjanjian atau transaksi bisnis mengenai soal perdagangan, industri, dan
keuangan. Dalam menjalankan kegiatan di lapangan usaha bisnis,

6
Ely Masykuroh, Pengantar Teori Ekonomi, (Panoraga: Panoraga Press,2008) hlm. 10.

5
merupakan satu kebutuhan mutlak agar suatu sengketa dapat ditangani dan
diselesaikan secara cepat dan adil. Hal ini dikarenakan semakin lambat
sengketa tersebut diselesaikan akan semakin besar pula biaya dan juga
kerugian yang dapat dideritakan oleh para pelaku usaha. Untuk mencapai
penyelesaian secara cepat dan adil tersebut, maka para pelaku usaha
memilih penyelesaian yang lebih efektif dan efisien dibandingkan
dengan mengupayakan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Secara
umum BANI didirikan untuk tujuan sebagai berikut:
1. Dalam rangka turut serta dalam upaya penegakan hukum di
Indonesia menyelenggarakan penyelesaian sengketanya atau
industri dan keuangan, melalui arbitrase dan bentuk-bentuk
alternatif penyelesaian sengketa lainya antara lain di bidang
korporasi, asuransi, lembaga 9 keuangan, fabrikasi, hak kekayaan
intelektual, lisensi, franchise, konstruksi, pelayaran atau maritim,
linkungan hidup, pengindraan jarak jauh, dan lain-lain dalam
lingkup peraturan perundang-undangan dan Internasioanl.
2. Menyelenggarakan jasa-jasa bagi penyelenggaraan penyelesaian
sengketa melalui arbitrase atau bentuk-bentuk alternatif
penyelesaian sengketa lainya, seperti negosiasi, mediasi,
konsiliasi, dan pemberian pendapat yang mengikat sesuai dengan
peraturan prosedur BANI atau peraturan prosedur lainya yang
disepakati oleh para pihak yang berkepentingan.
3. Bertindak secara otonom dan independent di dalam pengakuan
hukum dan keadilan.
4. Menyelenggarakan pengkajian dan riset serta program-program
pelatihan atau pendidikan mengenai arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa.7
Maka untuk itu, prosedur pengajuan suatu persoalan arbitrase
melalui BANI harus ada persetujuan antara kedua belah pihak atau suatu

7
Erie Hariyanto, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, 2014. Jurnal
Hukum Iqtidha.. hlm. 10

6
klausul yang dicantumkan di dalam perjanjian yang menyatakan bahwa para
pihak menyetujui bahwa sengketa diantara mereka akan diselesaikan
melalui BANI. Semua sengketa yang timbul dari pernjanjian ini, akan
diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasioanl Indonesia (BANI)
menurut peraturan administrasi dan peraturan-peraturan prosedur
arbitrase BANI, yang keputusanya mengikat kedua belah pihak yang
bersengketa sebagai keputusan tingkat pertama dan terakhir.
Dalam hal ini jika para pihak telah sepakat dalam perjanjian
untuk membawa segala sengketa keperdataan (Baik Wanprestasi Maupun
Perbuatan Melawan Hukum) untuk diselesaikan melalui forom arbitrase,
maka pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para
pihak tersebut. Denagan menunjuk BANI dan atau memilih pengaturan
prosedur BANI untuk penyelesian sengketa, para pihak dalam perjanjian
atau sengketa tersebut dianggap sepakat untuk meniadakan proses
pemeriksaan perkara melalui Pengadilan Negeri sehubungan dengan
perjanjian tersebut, dan akan melaksanakan setiap putusan yang diambil
oleh Majelis Arbitarse berdasarkan peraturan prosedur BANI.
Untuk memulai prosedur arbitrase, maka pertama-tama permohonan
arbitrase sebagai pihak yang memulai arbitrase ini harus:
a. Mendaftarkan dan menyampaikan terlebih dahulu permohonan
arbitrase kepada sekretariat BANI.
b. Kemudian setelah majelis arbitrase terbentuk, diteruskan kepada
ketua majelis arbitrase dan setiap anggota majelis arbitrase serta para
pihak.
Permohonan arbitarse tersebut harus di lengkapi dengan document-
dokument seperti:
1) Identitas lengkap para pihak (nama, alamat, beserta keterangan
penunjukan atas kuasa hukumnya apabila memang diketahui telah
menggunakan kuasa hukum).
2) Uraian singkat mengenai duduk perkara yang menjadi dasar dan
alasan pengajuan permohonan arbitrase (keterangan fakta-fakta

7
yang mendukung permohonan arbitrase dan butir-butir
permasalahanya).
3) Tuntutan (besarnya konpensasi dan lainya).
4) Bukti-bukti yang mendukung sebagai dasar pembuktian.8
Berikut ini ada 4 (empat) tahapan prosedur berperkara di BANI:
1. Pendaftaran Pemohon
Tahap pertama ini tentunya menjadi inisiatif pihak pemohon
yang ingin menyelesaikan sengketa yang dihadapinya ke BANI. Ada
kalamya, pilihan penyelesaian sengketa ke arbitrase merupakan
kesepakatan para pihak, namun tetap saja harus ada salah satu pihak
yang berkedudukan sebagai pemohon
Permohon wajib didaftarkan oleh pemohon ke sekretaris
BANI. Dalam permohonan tersebut, perlu dijelaskan kedudukan
permohonan terkait perjanjian arbitrase, kewenangan BANI untuk
memeriksa perkara, dan upaya atau prosedur apa yang telah
ditempuh para pihak sebelum ke forum BANI
2. Penunjukan Majelis Arbiter
Selain prosedur beperkara yang sederhana, kebebasan para
pihak dalam memilih arbiter juga menjadi keunggulan dari
penyelesaian sengketa. Kebebasan dimaksud tidak hanya berkaitan
dengan siapa arbiternya, para pihak bisa menentukan apakah akan
menggunakan majelis arbiter atau arbiter tunggal
Apabila pilihannya adalah majelis arbiter, maka masing-
masing pihak mengangkat satu arbiter. Lalu, untuk arbiter ketiga
yang didaulat sebagai ketua majelis diangkat berdasarkan
kesepakatan terkait arbiter ketiga tidak tercapai, maka atas
permohonan salah satu pihak ketua pengadilan negeri yang akan
mengangkat arbiter ketiga tersebut
3. Sidang Pemeriksaan

8
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada), 2000, Cet. I hal. v-vi.

8
Setelah tahap pendaftaran permohonan dan pengangkatan
arbiter, sidang pemeriksaan digelar secara tertutup dengan Bahasa
Indonesia atau bahasa lain atas persetujuan majelis arbiter. Dengan
surat kuasa, para pihak dapat diwakili oleh kuasanya.
Sekretaris majelis arbiter wajib menyampaikan salinan
permohonan beserta dokumen-dokumen terkait kepada pihak
termohon dan kemudian meminta termohon menyampaikan
tanggapan tertulis dengan jangka waktu maksimal 30 hari. Jangka
waktu penyampaian tanggapan oleh Ketua BANI dapat
diperpanjang paling lama 14 hari
4. Putusan Akhir
Dalam waktu paling lama 30 hari sejak ditutupnya
persidangan, majelis arbiter wajib menetapkan putusan akhir.
Ketentuan jangka waktu ini dapat diperpanjang secukup atas
pertimbangan majelis arbiter. Selain putusan akhir, majelis arbiter
juga berwenang menetapkan putusan pendahuluan, putusan sela atau
putusan parsial.9
Upaya perdamaian dilakukan pada tahap proses pemeriksaan sidang
pertama dimana para pihak yang bersengketa lengkap hadir dan dapat
dilakukan sebelum dan selama masa persidangan. Dalam usaha
mendamaikan ini, majelis arbitrase dapat memberi saran dan bantuan untuk
menyusun perumusan masalah perdamaian. Jika majelis berhasil
mengusahakan perdamaian, dan para pihak telah menyusun perumusan isi
perdamain yang mereka sepakati, isi perdamaian dituangkan majelis dalam
bentuk akta yang disebut putusan akta perdamaian. Akta perdamian
adalah final dan binding, dalam arti setiap putusan akta perdamaian
sama keadaan dan kualitasnya dengan putusan pengadilan yang
memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Uapaya perdamain tidak
menghentikan proses pemeriksaan arbitrase, masa upaya perdamain tidak

9
M. Yahya Harahap, “Arbitrase”. edisi 2 Cet. 4. (Jakarta: Sinar Grafika, 2006). h. 88.

9
termasuk ke dalam batas jangka waktu 180 (seratus delapan puluh)
hari. Jika perdamaian tidak tercapai, maka proses pemeriksaan arbitrase
akan kembali dilanjutkan.
C. Penyelesaian Sengketa Non Litigasi (BASYARNAS)
BASYARNAS dibentuk karena Pengadilan Agama pada saat itu
belum memiliki kewenangan untuk memeriksa perkara ekonomi Islam,
sehingga dibentuklah BAYARNAS karena kepentingan yang mendesak
yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa
perdata di antara bankbank syariah dengan para nasabah. Sebagaimana
peranannya dalam mendirikan Bank Muamalat Indonesia, MUI juga
memprakarsai dibentuknya BAMUI yang mana pada tanggal 21 Oktober
1993 BAMUI diresmikan. Penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui
jalur non-litigasi atau jalur Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) menjadi
kewenangan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Basyarnas
merupakan salah satu wujud dari Arbitrase Islam yang pertama kali
didirikan di Indonesia.10
BASYARNAS memiliki ketentuan sendiri dalam menyelesaikan
sengketa bisnis syariah. Selain mengacu pada hukum Islam juga mengacu
pada hukum nasional. Pada dasarnya penyelesaian sengketa melalui
arbitrase berpedoman pada Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 adalah bersifat umum, karena BASYARNAS memiliki
ketentuan sendiri, maka berlaku lex specialis derogat legi generali yaitu
peraturan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat
umum. Meskipun BASYARNAS memakai peraturan prosedurnya sendiri,
peraturan BASYARNAS tersebut tidak boleh mengenyampingkan
ketentuan yang ada dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, dengan
demikian berlakulah kedua peraturan tersebut, yaitu hukum Islam dan
hukum nasional. Dasar hukum tersebut harus diikuti bagi para pihak yang

10
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 99

10
sudah sepakat menyelesaikan sengketa melalui BASYARNAS dan tidak
boleh ada pertentangan dari kedua belah pihak. Jika tidak ada pertentangan
dari salah satu atau kedua belah pihak maka penyelesaian sengketa tersebut
dalam dilaksanakan secara harmonis sesuai dengan prinsip BASYARNAS.
Basyarnas sesuai dengan Pedoman Dasar yang ditetapkan oleh MUI
merupakan lembaga hakam yang bebas, otonom dan independen, tidak
dicampuri dan tidak dipengaruhi oleh lembaga kekuasaan dan pihak-pihak
lainnya. Basyarnas memiliki kewenangan untuk menyelesaikan secara adil
dan cepat sengketa muamalah (perdata) yang timbul dalam bidang
perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain yang menurut hukum
dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa, dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan
penyelesaiannya kepada Basyarnas sesuai dengan Prosedur Basyarnas.
Apabila para pihak dalam suatu perjanjian atau transaksi muamalat/perdata
secara tertulis sepakat membawa sengketa yang timbul diantara mereka ke
Basyarnas atau menggunakan Peraturan Prosedur Basyarnas, maka
Basyarnas mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa di
antara para pihak tersebut dan para pihak tunduk kepada Peraturan Prosedur
Basyarnas yang berlaku. Kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian
sengketa melalui Basyarnas, dilakukan oleh para pihak dengan cara
mencantumkan klausula arbitrase dalam suatu naskah perjanjian atau
membuat perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat dan disetujui oleh para
pihak, baik sebelum maupun setelah timbul sengketa. Tahapan-tahapan
prosedur penyelesaian sengketa melalui Basyarnas adalah sebagai berikut:
1. Permohonan Arbitrase
2. Penunjukan Arbiter Tunggal atau Arbiter Majelis
3. Jawaban, Eksepsi dan Rekonvensi Termohon
4. Perdamaian
5. Pembuktian dan Saksi/Ahli
6. Pencabutan Permohonan
7. Putusan

11
8. Pendaftaran Putusan
9. Eksekusi Putusan Basyarnas11
Faktor-faktor penunjang dan penghambat dalam penyelesaian
sengketa bisnis syariah melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS). Faktor Penunjang dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis
Syariah melalui BASYARNAS)
1. Kemampuan Arbiter
Berhasil tidaknya suatu proses penyelesaian sengketa
melalui BASYARNAS pada intinya didasarkan pada itikad baik para
pihak dan keahlian arbiter. Oleh karena itu, sangat diperlukan
tenaga-tenaga arbiter yang terlatih yang dididik oleh lembaga-
lembaga professional. Dalam BASYARNAS, para arbiter yang akan
menyelesaikan sengketa adalah para arbiter yang memang
berkompeten dalam bidangnya. Sehingga proses penyelesaian
sengketa dalam berjalan lancar dan cepat sesuai dengan
sebagaimana arbitrase yang seharusnya
2. Bukti Lengkap
Para pihak yang bersengketa wajib mengajukan bukti yang
menguatkan posisinya dan untuk membuktikan fakta-fakta yang
dijadikan dasar tuntutan atau jawaban. Arbiter tunggal atau arbiter
majelis dapat meminta para pihak untuk memberikan penjelasan
atau mengajukan dokumen-dokumen yang dianggap perlu untuk
mendukung fakta-fakta dalam surat permohonan tuntutan atau surat
jawaban dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter tunggal
atau arbiter majelis.
3. Para Pihak Datang Dalam penyelesaian sengketa melalui
BASYARNAS
apabila para pihak langsung datang untuk menyelesaikan
sengketa tersebut maka akan memudahkan para arbiter tunggal atau

11
Nurhasanah dan Hotnidah Nasution, Kecenderungan Masyarakat Memilih Lembaga
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Jurnal Ahkam, Tahun 2016. Vol. XVI, No. 2

12
arbiter majelis untuk mengetahui keinginan dari masing-masing
pihak. Para pihak yang bersengketa dapat langsung bernegosiasi
sehingga proses penyelesaian sengketa dapat berjalan lancar dengan
mengutamakan prinsip damai. Tetapi apabila kedua belah pihak
tidak menemukan kata sepakat, maka para arbiter tunggal atau
arbiter majelis yang akan memutuskan sengketa tersebut.
4. Proses Cepat
Bagi para pihak yang telah memilih acara arbitrase, harus
ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu dan tempat
diselenggarakan arbitrase dan apabila jangka waktu dan tempat
arbitrase tidak ditentukan, arbiter tunggal atau arbiter majelis yang
akan menentukan. Artinya suatu persetujuan arbitrase harus
menetapkan jangka waktu, yaitu berapa lama perselisihan atau
sengketa yang diajukan kepada arbitrase harus diputuskan. Apabila
para pihak tidak menentukan jangka waktu tertentu, lamanya waktu
penyelesaian akan ditentukan oleh majelis arbitrase berdasarkan
aturan-aturan arbitrase yang dipilih.
Faktor Penghambat dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah
melalui BASYARNAS Faktor penghambat dalam penyelesaian sengketa
bisnis syariah melalui BASYARNAS dibagi menjadi hambatan yuridis dan
hambatan non yuridis. Hambatan yang bersifat yuridis, yaitu:
1. Perlawanan pihak ketiga
2. Perlawanan pihak tereksekusi
3. Permohonan peninjauan kembali (PK)
4. Amar putusan tidak jelas
5. Objek eksekusi adalah barang milik negara
Hambatan yang bersifat yuridis yang telah dijelaskan di atas tidak
hanya terjadi dalam penyelesaian sengketa melalui BASYARNAS, tetapi
juga dapat terjadi dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase pada
umumnya.Hambatan yang bersifat non yuridis di antaranya:
1. Pengerahan Massa

13
Salah satu hal yang bisa mengakibatkan eksekusi menjadi
gagal atau tertunda adalah pengerahan massa. Dalam beberapa
kasus, eksekusi tertunda karena pihak-pihak yang bersengketa,
terutama pihak yang tereksekusi mengerahkan massa
2. Adanya Campur Tangan Pihak Lain
Adanya campur tangan pihak lain yang berperkara bisa
datang dari pihak eksekutif, legislatif ataupun pihak-pihak lainnya
yang biasanya meminta untuk dilakukan penundaan eksekusi
3. Peninjauan Barang Bukti
Saat ini, proses penyelesaian sengketa melalui
BASYARNAS hanya dapat diselesaikan di pusat saja yaitu di
Jakarta. Sedangkan kasus-kasus yang masuk dalam BASYARNAS
tidak hanya berasal dari pusat saja melainkan juga dari kota-kota
besar lainnya. Jadi, apabila pihak yang bersengketa berasal dari luar
kota maka arbiter atau mejelis arbitrase harus meninjau langsung
barang bukti ke kota-kota di mana para pihak yang bersengketa
tersebut berasal.12

12
Winarta, Frans Hendra, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitase Internasional dan
Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2012), hlm.43

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyelesaian sengketa melalui non litigasi adalah penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
bersifat tertutup untuk umum (closed door session) dan kerahasiaan para
pihak terjamin, proses beracara lebih cepat dan efisien. Proses penyelesaian
sengketa diluar pengadilan ini menghindari kelambatan yang diakibatkan
prosedural dan administratif sebagaimana beracara di pengadilan umum dan
memiliki win-win solution. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini
dinamakan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).
Kemudian, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah mulai diatur kebebasan choice of forum
penyelesaian sengketa, hal tersebut diatur pada Pasal 55 ayat 1 dan ayat 2
memberikan pilihan hukum untuk penyelesaian sengketa ekonomi syariah
dimana sengketa tersebut dapat diselesaikan di pengadilan agama atau
berdasarkan kesepakatan para pihak yang dicantumkan dalam perjanjian
untuk di selesaikan di luar peradilan agama. Dimana maksud dari Pasal 55
ayat 2 UU Perbankan Syariah tersebut, dalam penjelasannya disampaikan
yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi
akad adalah upaya Musyawarah Mediasi perbankan, Melalui Badan
Arbitrase Syariah Nasional atau lembaga arbitrase lain dan atau melalui
peradilan dalam lingkungan peradilan umum.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, 2014, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan


Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group)
Ely Masykuroh, 2008, Pengantar Teori Ekonomi, (Panoraga: Panoraga Press)
Erie Hariyanto, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, 2014. Jurnal
Hukum Iqtidha
Frans Hendra Winarta, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitase Internasional
dan Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika Offset)
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada), 2000, Cet. I
Irham Rahman dkk, Jurnal : Analisis Pasal 59 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Di Bidang Arbitrase Syariah,
2014
M. Yahya Harahap, 2006, “Arbitrase”. edisi 2 Cet. 4. (Jakarta: Sinar Grafika)
Nilam Sari, 2016, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Lembaga
Arbitrase, (Banda Aceh: Yayasan Pena)
Nurhasanah dan Hotnidah Nasution, Kecenderungan Masyarakat Memilih
Lembaga Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Jurnal Ahkam, Tahun
2016. Vol. XVI, No. 2
Rachmadi Usman, 2002, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti)
Suyud Margono, 2004, ADR dan Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek
Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia)
Winarta, Frans Hendra, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitase
Internasional dan Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika Offset)

16

Anda mungkin juga menyukai