Anda di halaman 1dari 12

PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI LEMBAGA ARBITRASE

Oleh : Livia Nanda,1 Muhammad Syafiq,2 Nurwanda Safitri,3


Pahrul Parubahan,4 Ratna Dewi,5 Sakinah.6

1,2,3,4,5,6
Kelas HES VI D, Jurusan Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.
Email: Kinah667@Gmail.com

Abstrak
Permintaan untuk tujuan debat melalui badan kebijaksanaan berkembang di antara
spesialis keuangan, karena tujuan pertanyaan melalui badan pernyataan menikmati
keuntungan dibandingkan dengan pengadilan formal. Keunggulan lain dari badan arbitrase
antara lain dapat menjaga hubungan bisnis antara para pihak, prosedur yang cepat dan
sederhana, biaya yang murah, menjaga kerahasiaan perselisihan, menerima keputusan yang
menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution), dan menerima keputusan. Produk
dapat diidentifikasi. Keputusan pengangkut uang. Pemeriksaan ini merupakan eksplorasi sah
yang dibakukan. Metode hukum preskriptif digunakan sebagai pendekatan. Penegasan untuk
menentukan debat bisnis.
Hasil akhir dari penelitian ini dapat diselesaikan sebagai berikut. (1) Akta kompromi
setelah perselisihan klausula arbitrase dibuat dalam bentuk tertulis yang terpisah dari
perjanjian utama atau factum de compromittendo sebelum perselisihan klausula arbitrase
dimasukkan dalam perjanjian utama adalah dua cara perselisihan bisnis dapat diselesaikan
melalui lembaga arbitrase. Sedangkan cara penyelesaian sengketa yang paling umum melalui
landasan diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 s/d 60 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 dan memiliki pilihan badan arbitrase bersifat konklusif dan memiliki kekuatan
hukum yang sangat tahan lama serta membatasi pertemuan, pertemuan harus dibatasi oleh
kehormatan arbitrase, padahal pada tahap eksekusi sebenarnya mensyaratkan masuknya
Pengadilan Negeri. (2) Pelaksanaan putusan yang dibuat oleh lembaga arbitrase dalam
rangka penyelesaian sengketa bisnis sebagaimana ditentukan dalam Pasal 59 sampai dengan
64 Undang-undang No. Asli atau salinan otentik putusan arbitrase disampaikan dan
didaftarkan oleh arbiter kepada Panitera Pengadilan Negeri untuk dilakukan pengujian syarat
formil dan materil oleh Ketua Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan. Dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembaga arbitrase
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat.

Kata Kunci: sengketa bisnis, lembaga arbitrase


PENDAHULUAN
Melihat aktivitas perusahaan di mana ratusan pertukaran terjadi setiap hari, tidak dapat
dihindari bahwa bentrokan dan perbedaan pendapat muncul di antara para pihak. Setiap jenis
perdebatan yang muncul secara terus menerus membutuhkan penentuan dan penyelesaian
yang cepat. Semakin luas pertukaran yang dilakukan, semakin sering perdebatan muncul.
Artinya, semakin banyak perselisihan yang harus diselesaikan. (Suyud Margonoo, 2004 ).
Perdebatan perdagangan disebabkan oleh praktik-praktik perdagangan yang berlawanan
dengan ketentuan-ketentuan dalam kontrak perdagangan, seperti: B. Perbedaan Pengandaian,
Perbedaan Pemahaman, Perbedaan Penjelasan, dan Kekecewaan dalam Mengerjakan Hak dan
Komitmen di Bawah Kontrak Dagang Kontrak dagang dapat menimbulkan perdebatan
dagang. (Endang, 2010).
Sebagai cara untuk menangani dan menyelesaikan perdebatan perdagangan, kontrak
komersial dan kesepahaman dapat memasukkan pengaturan tentang strategi penentuan
perdebatan dalam penyusunan atau perancangan persetujuan tersebut. Hal ini sering kali
merupakan aplikasi penting dari prinsip kesempatan berkontrak dan memungkinkan para
pihak untuk mengatur metode penentuan perdebatan komersial yang mereka miliki, termasuk
pilihan hukum, pilihan tempat pertemuan, dan pilihan tempat tinggal (Mounir Fadi, 2007).
Asas pacta sunt servanda ditekankan dalam Pasal 1338 KUHPer.
Hal ini menyiratkan bahwa kesepakatan yang dibuat oleh para pihak menetapkan
perikatan yang sah yang harus dilaksanakan oleh para pihak. Lebih lanjut menurut Abdulkadir
Muhammad, menjelaskan bahwa “perjanjian mengikat para pihak yang membuat- nya.
Perjanjian berlaklu sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik (te goeder trouw, Pasal 1338 KUHPerdata)”.
Penyelesaian perdebatan di bidang bisnis yang juga menyangkut soal-soal bisnis dapat
diselesaikan melalui dua cara yang berbeda atau keputusan peraturan (decision of regulation),
secara spesifik melalui yayasan gugatan dengan pembentukan pengadilan terbuka dan melalui
yayasan non-penuntutan atau melalui tujuan pertanyaan pilihan. (ADR) melalui diskusi,
intervensi, pasifikasi, dan mediasi. Ada dua jenis arbitrase di Indonesia: arbitrase institusional
(permanen atau dilembagakan sebagai organisasi) dan arbitrase ad hoc (sementara atau
sementara). Secara umum, dalam skala nasional, arbitrase (arbitrare dalam bahasa Latin)
digunakan untuk menyelesaikan perselisihan. Organisasi mediasi kelembagaan di Indonesia
yang keberadaannya telah membantu tujuan debat non penuntutan yang dikoordinir oleh
Badan Diskresi Publik Indonesia (selanjutnya disingkat BANI) yang dibentuk oleh Dinas
Perindustrian pada tanggal 3 Desember 1977 (Subekti, 1995).
Tata cara penyelesaian sengketa yang dituangkan dalam perjanjian dengan klausula
arbitrase dapat disusun sebelum terjadinya sengketa (acta kompromi) atau pada saat yang
sama dengan perjanjian pokok dibuat (pactum de kompromindo). Mereka juga dapat disusun
setelah terjadinya perselisihan yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian. sebagaimana
termuat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Mediasi dan Tujuan
Pertanyaan Pilihan (selanjutnya dikontrak dengan Peraturan Nomor 30 Tahun 1999), yang
menyatakan :
Pemahaman mediasi antara pertemuan dalam hubungan yang sah tertentu tergantung pada
pengaturan peraturan ini untuk menentukan perdebatan atau kontras penilaian.
menyatakan secara tegas bahwa semua pertanyaan atau pertentangan penilaian yang timbul atau
yang mungkin timbul dari hubungan yang sah tersebut akan diselesaikan melalui mediasi atau
melalui tujuan debat elektif.
Sebelum menentukan tujuan dari pertanyaan melalui kebijaksanaan, pertemuan atau yang
dialamatkan oleh pengacara mereka harus terlebih dahulu mengarahkan konsultasi untuk
mencapai kesepakatan untuk menciptakan kesepahaman yang membantu pertemuan, namun
jika tidak menghasilkan kesepakatan, pertemuan akan menentukan perdebatan dengan mediasi.
Penyelesaian perselisihan melalui organisasi mediasi memiliki pilihan terakhir dan membatasi
untuk pertemuan untuk pertanyaan, dengan adanya pembentukan arbitrase, pilihan yang tidak
sepenuhnya diatur oleh yayasan arbitrase tidak dapat diajukan lagi ke pengadilan mengingat
aturan pacta sunt servanda dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Umum.
Di Indonesia, lembaga arbitrase menawarkan dua jenis penyelesaian sengketa alternatif:
arbitrase institusional (tetap atau dilembagakan sebagai organisasi) dan ad hoc (sementara atau
sementara). Institusi lembaga arbitrase di Indonesia yang telah membantu penyelesaian
sengketa non litigasi, seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang didirikan pada
tanggal 3 Desember 1977 oleh Kamar Dagang dan Industri (Subekti, 1995). Penyelesaian
sengketa melalui lembaga arbitrase sangat diminati oleh kalangan bisnis karena memiliki
kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan formal. Manfaat lain dari yayasan mediasi
termasuk siklus cepat dan mudah, biaya rendah, privasi debat dipertahankan, pilihan merangkul
dan berguna untuk pertemuan (pengaturan saling menguntungkan), serta menjaga hubungan
bisnis dari pertemuan, sehingga mereka ditentukan oleh keputusan para penghibur bisnis.

Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Umum


Perdagangan penentuan debat yang sudah berlangsung lama adalah legal. Kasus bisa jadi
merupakan pegangan menang-kalah, memakan waktu, terbuka dengan ketepatan waktu yang
kecil, yang cenderung pada isu-isu modern. Penentuan debat di luar pengadilan juga telah
berkembang dari waktu ke waktu. Penentuan debat di luar pengadilan dilakukan dalam sesi
tertutup, memastikan kerahasiaan para pihak, membuat metode ini lebih cepat dan lebih mahir.
Penentuan perdebatan di luar pengadilan ini menghindari penundaan metode pengadilan dan
peraturan yang umum dan memberikan pengaturan yang saling menguntungkan. Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan ini disebut dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau
Alternative Dispute Resolution (ADR).
Sejarah berdirinya APS diawali pada tahun 1976 kala itu Pimpinan Mahkamah Agung
Amerika Serikat Warren Burger mempelopori ilham ini pada sesuatu konferensi di Saint Paul,
Minnesota Amerika Serikat. Perihal ini dilatarbelakangi oleh bermacam aspek gerakan
reformasi pada permulaan tahun 1970, di mana dikala itu banyak pengamat dalam bidang
hukum serta warga akademisi mulai merasakan terdapatnya keprihatinan yang sungguh-
sungguh menimpa dampak negatif yang terus menjadi bertambah dari litigasi di majelis
hukum. Kesimpulannya American Bar Assosiation( ABA) merealisasikan rencana itu serta
berikutnya meningkatkan Komite APS pada organisasi mereka diiringi dengan masuknya
kurikulum APS pada sekolah hukum di Amerika Serikat serta pula pada sekolah ekonomi
APS pertama kali berkembang di negara Amerika Serikat, di mana pada saat itu APS
berkembang karena dilatarbelakangi hal-hal sebagai berikut.
 Kurangi kemacetan di pengadilan. Banyaknya permasalahan yang diajukan ke pengadilan
menimbulkan proses pengadilan sering- kali berkelanjutan, sehingga memakan bayaran
yang besar serta kerap membagikan hasil kurang terlalu memuaskan.
 Mempercepat dan memperluas proses ke pengadilan.
 Membagikan peluang untuk tercapainya penyelesaian sengketa yang menciptakan
keputusan yang bisa diterima oleh seluruh pihak serta memuaskan (Frans Hendra, 2013).
Pada kenyataannya, jiwa penentuan perdebatan elektoral seperti yang ada sekarang ini
sudah ada di antara para pendahulu negara Indonesia. Biasanya sangat asli di negara
Indonesia, sebagaimana dibuktikan oleh budaya pertimbangan untuk mencapai kesepakatan
yang baik, di mana orang cenderung menyelesaikan perdebatan secara kekeluargaan daripada
membawanya ke pengadilan.
Mereka akan membawa musyawarah ke kepala desa jika para pihak yang berselisih
tidak dapat mencapai kesepakatan. Dengan jiwa musyawarah untuk mencapai kesepakatan
yang ditetapkan di negara Indonesia, APS dimungkinkan dapat dibuat dan dilibatkan oleh
para ahli hukum yang ada di Indonesia. 30 Tahun 1999.
Teknik penyelesaian perdebatan diatur dalam PP No. 30 Tahun 1999, Alternatif
Penyelesaian Sengketa atau dikenal juga dengan ADR, melalui berbagai strategi penyelesaian
sengketa, antara lain konsultasi; perundingan; mediasi; perdamaian; dan pertimbangan
profesional.
APS dikendalikan dalam PP no. 30 Tahun 1999 yang diacu dalam Pasal 1 angka 10
menyatakan bahwa APS adalah landasan untuk menyelesaikan perdebatan atau perbedaan
penilaian melalui teknik-teknik yang diselesaikan oleh majelis, khususnya penyelesaian di
luar pengadilan melalui konferensi, diskusi, intervensi, placation, atau master judgment.
Menurut Sudargo Gautama, aliran APS ada dua, yaitu sekolah yang mengklaim arbitrase
terpisah dari APS dan sekolah yang mengklaim arbitrase merupakan bagian dari APS. Namun
ketika UU No. 30 Tahun 1999, diskresi dipisahkan dari APS. Hal ini cenderung beralasan
bahwa APS merupakan lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan mengingat
pemahaman majelis dengan menyimpan tujuan pertanyaan melalui perkara di pengadilan.

Dasar Hukum Lembaga Arbitrase


Arbitrase berasal dari arbitrare (bahasa Latin) yang berarti kekuasaan untuk
menyelesai- kan sesuatu menurut kebijaksanaan. Dihubungkannya arbitrase dengan
kebijaksanaan itu, dapat menimbulkan salah kesan seolah-olah seorang arbiter atau suatu
majelis arbitrase dalam menyelesaikan suatu sengketa tidak mengindahkan norma-norma
hukum lagi dan menyandarkan pemutusan sengketa tersebut hanya pada kebijaksanaan saja.
Kesan tersebut keliru, karena arbiter atau majelis tersebut juga menerapkan hukum seperti apa
yang dilakukan oleh hakim atau pengadilan. Berikut adalah beberapa definisi mengenai
arbitrase. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Arbitrase dalam pengertian UU No. 30 Tahun 1999 adalah suatu cara penyelesaian
sengketa perdata di luar pengadilan berdasarkan perjanjian arbitrase tertulis antara para pihak
yang bersengketa. Pengadilan negeri tidak berwenang memutus sengketa antara para pihak
jika para pihak terikat oleh suatu perjanjian arbitrase.
Dengan demikian, pengadilan memiliki komitmen untuk memahami dan menghormati
kekuasaan dan unsur-unsur otoritas. Bagaimanapun, harus diingat bahwa kemampuan untuk
mengikatkan diri pada pengaturan kebijaksanaan harus didasarkan pada persetujuan bersama.
Elemen yang disengaja dan perhatian umum adalah alasan legitimasi pemahaman pernyataan.
Mengingat hal ini, legitimasi dan pembatasan pemahaman mediasi apa pun harus sesuai
dengan pengaturan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Umum. Ketika sampai pada
pilihan hukum, para pihak bebas memilih hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikan
setiap perselisihan yang mungkin timbul atau tidak timbul di antara mereka.
Rencana permainan diskresi sebagaimana disinggung dalam Pasal 7 Peraturan No. 30
Tahun 1999 menentukan bahwa perhimpunan dapat menyepakati penyelesaian atas suatu
perdebatan yang telah atau akan terjadi di antara mereka untuk diselesaikan melalui mediasi
dengan suatu kesepahaman yang disepakati oleh perhimpunan. Hak para pihak untuk
mengajukan perselisihan atau perselisihan yang dituangkan dalam perjanjian ke pengadilan
negeri menjadi batal dengan adanya perjanjian tertulis.
Menurut Marwan, Jimmy P. (2009), arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa
perdata di luar pengadilan umum yang semata-mata didasarkan pada perjanjian arbitrase
tertulis antara para pihak yang berselisih. Menurut M. Husein dan A. Supriyani, mediasi
berasal dari kata arbitrer (Latin) yang mengandung arti kemampuan untuk menentukan suatu
perkara sesuai dengan penelitian. Sementara itu, menurut Plain Elkoury dan Edna Elkoury,
diskresi adalah siklus sederhana yang dipilih oleh majelis dengan sengaja dengan alasan
mereka percaya bahwa kasus tersebut harus diselesaikan oleh hakim nonpartisan sesuai
keputusan mereka dimana pilihan mereka bergantung pada perselisihan untuk situasi. Menurut
Joni Emirzon (2000), para pihak sebelumnya telah sepakat untuk menerima keputusan tersebut
sebagai final dan mengikat.
Sesuai Gary Goodpaster, mediasi adalah penyelesaian rahasia pihak-pihak yang
mempertanyakan, mengharapkan debat potensial atau menghadapi pertanyaan nyata,
menyetujui untuk mempresentasikan debat mereka kepada pemimpin yang mereka pilih dalam
beberapa desain. Sesuai referensi Dark's Regulation Word, masuk akal bahwa kebijaksanaan
adalah referensi debat kepada individu (ketiga) yang tidak berprasangka yang dipilih oleh
pertemuan untuk pertanyaan yang setuju sebelumnya untuk menjaga kehormatan wasit yang
diberikan setelah sidang di mana dua pemain memiliki kesempatan untuk didengar. Berikut ini
dijelaskan lebih lanjut: Pengaturan dimaksudkan untuk menghindari formalitas, penundaan,
biaya, dan perpajakan dari litigasi tipikal dengan mengambil dan mengikuti keputusan individu
terpilih dalam masalah yang disengketakan daripada menggunakannya untuk menegakkan
keadilan pengadilan.(Joni Emirzon, 2000).
Menurut R. Subekti, arbitrase adalah pemutusan suatu sengketa oleh seorang atau
beberapa orang yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa sendiri, di luar hakim
atau pengadilan. Orang yang ditunjuk untuk memutuskan sengketa dinamakan arbiter atau
wasit (Subekti,1995), Asbitrase dapat menjadi cara untuk menyelesaikan perdebatan yang
terhormat di luar pengadilan terbuka berdasarkan arbitrase yang disusun antara pihak-pihak
yang terlibat dalam perdebatan, menurut Sofar Maru Hutagalung. Perjanjian Arbitrase adalah
suatu pernyataan dalam bentuk klausul pernyataan yang terkandung dalam pernyataan
pernyataan yang terpisah yang dibuat oleh para pihak baik dalam menyusun beberapa waktu
yang baru saja terjadi perdebatan atau yang dibuat oleh para pihak setelah perdebatan muncul
(Sophar, 2012), Dengan demikian pada dasarnya arbitrase ialah sesuatu proses penyelesaian
sengketa para pihak yang dicoba secara musyawarah dengan menunjuk pihak ketiga selaku
penengah, yang buatkan dalam sesuatu kontrak (Joni Emirzon, 2000).
Direnungkan, Perda no. Maksud dari Bagian 30 tahun 1999 adalah untuk mengakhiri
hubungan hukum awal para pihak untuk mengizinkan mereka membuat perjanjian selanjutnya.
Premis humanistik ditentukan dalam PP no. 30 Tahun 1999 karena banyaknya pertanyaan yang
muncul di sela-sela pertemuan yang masuk ke pengaturan intervensi. Alasan yuridis
diharapkannya PP No. 30 Tahun 1999 karena peraturan perundang-undangan penyelesaian
sengketa berbasis arbitrase saat ini sudah ketinggalan zaman dengan perubahan dunia usaha
dan hukum secara keseluruhan.
Hal-hal yang dapat dimasukkan dalam Perjanjian Arbitrase termasuk dalam Klausul
Arbitrase. Ketika istilah "klausul arbitrase" digunakan, itu berarti bahwa perjanjian arbitrase
mengikuti atau menambah perjanjian utama yang relevan. Sebagian besar waktu, klausul
arbitrase dalam kontrak memberi para pihak lebih banyak kendali atas banyak hal. Klausul
arbitrase dapat menentukan lembaga arbitrase tertentu, lokasi di mana arbitrase akan
berlangsung, hukum dan peraturan yang akan berlaku, kualifikasi arbiter, dan bahasa yang akan
digunakan dalam arbitrase. Frans Hendra, 2013), dan UU No. Menurut Pasal 30 Tahun 1999,
sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya menyangkut sengketa yang
menyangkut perdagangan dan hak yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
sepenuhnya berada di bawah penguasaan para pihak yang bersengketa. . Pertanyaan yang tidak
bisa diselesaikan oleh lembaga penegasan adalah perdebatan yang menurut hukum tidak bisa
diakomodasi.

Kedudukan dan Fungsi Lembaga Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis


Badan arbitrase disebut badan arbitrase. Anggota badan arbitrase terdiri dari para
profesional dari berbagai bidang seperti bisnis, industri, perbankan dan hukum. Padahal,
persoalan penyelesaian sengketa bisnis atau niaga melalui lembaga arbitrase bukanlah hal
baru dalam praktik hukum Indonesia. Disebut demikian karena sudah dikenal pada masa
Hindia Belanda. Namun, karena pada saat itu hanya berlaku untuk golongan tertentu, maka
pengaturan lembaga ini juga diatur tersendiri, yaitu dalam “Rechtsvordering (RV) Order”
KUHAP, yang berlaku untuk golongan Eropa. Dalam Pasal 615 Rv ditegaskan adalah
diperkenankan kepada siapa saja yang terlibat dalam suatu sengketa mengenai hak-hak yang
berada dalamkekuasaannya untuk menyelesaikan sengketa tersebut kepada seseorang atau
beberapa orang wasit (arbiter).
Apabila dicermati secara sepintas isi Pasal tersebut, seolah- olah tiap sengketa bisa
dituntaskan oleh lembaga ini, tapi bukanlah demikian halnya sebab yang bisa dituntaskan oleh
lembaga arbitrase merupakan cuma yang menyangkut kekuasaan para pihak yang
bersengketa, ialah tentang hak serta kewajiban yang mencuat dalam perjanjian. Buat itu
terdapat baiknya butuh dicermati azas yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat( 1) KUHPerdata
yang mengemukakan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Jadi apa yang telah disetujui oleh kedua belah pihak yang menjamin, pada saat itu bagi
mereka itu dianggap sebagai hukum yang harus dipatuhi. Dalam perkembangan dunia
perdagangan saat ini, terdapat kontrak standar, sehingga para pihak harus
mempertimbangkannya, apakah mereka setuju atau tidak dengan persyaratan yang dinyatakan
dalam kontrak. Sering kali, kontrak standar mencakup klausul bahwa jika terjadi perdebatan
atau perbedaan dalam penerjemahan substansi pemahaman, maka hal tersebut akan
diselesaikan oleh lembaga kebijaksanaan (badan wasit). Hal ini menyiratkan bahwa sejak para
pihak menyetujui dan menandatangani kontrak, mereka telah menyatakan bahwa perdebatan
yang akan terjadi akan diselesaikan oleh lembaga Arbitrase.
Tetapi, dapat pula terjadi bahwa dalam suatu kontrak tidak ada klausul tersebut,
tetapi jika dikehendaki oleh para pihak apabila ada perselisihan masih dapat diselesaikan oleh
lembaga arbitrase, yakni berdasarkan persetujuan kedua belah pihak, tetapi harus dibuat
secara tertulis. Adapun tugas lembaga arbitrase adalah menyelesaikan persengketaan yang
diserahkan kepadanya berdasarkan suatu perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak
yang ber- sengketa.
Pasal 1 angka 8 UU No 30 Tahun 1999 memberikan defenisi mengenai lembaga arbitrse
yaitu: “Badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat menberikan pendapat yang mengikat
mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa”.
Jika dicermati dalam praktik dunia bisnis yang berkembang dewasa ini, tampak bahwa
dalam suatu kontrak apakah ia yang sudah baku ataupun belum sudah ada suatu klausul
arbitrase, artinya jika timbul perselisihan akan diselesaikan oleh lembaga ini. Tampaknya,
penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan (Out of Court Settlement) semakin banyak
diminta sebab ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh, yakni prosedurnya cukup cepat
dan rahasia perusahaan lebih terjamin. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dikenal
dengan Alternative Dispute Resolution atau Metode Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR
atau MAPS). Azas penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu putusan harus dijalankan
secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Di Indonesia sendiri, penyelesaian sengketa di
luar pengadilan diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 138 tahun
1999 tanggal 12 Agustus 1999.

Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Lembaga Arbitrase


Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa melalui “adjudikatif privat”, yang
putusannya bersifat final dan mengikat. Dalam ketentuan Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999
disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak
yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Adapun objek pemeriksaan Arbitrase adalah
memeriksa sengketa keperdataan, tetapi tidak semua sengketa keperdataan dapat
diselesaikan melalui arbitrase, hanya bidang tertentu yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1)
UU No. 30 Tahun 1999 yaitu: “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya
sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang- undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.
Penyelesaian pertanyaan dengan menggunakan diskresi BANI dalam hal rapat
pendahuluan calon tidak hadir, tanpa penjelasan yang substansial, maka permohonan mediasi
dinyatakan tidak sah. Hal ini sejalan dengan ketentuan perkara perdata HIR. Namun sekali
lagi, jika tergugat tidak hadir pada sidang pendahuluan, ia akan dibawa untuk hadir di bawah
pengawasan pengadilan suatu saat nanti yang diselesaikan selambat-lambatnya empat belas
hari. setelah dikeluarkannya permintaan tersebut. Kecuali BANI menentukan bahwa gugatan
pemohon tidak berdasarkan hukum atau keadilan, maka pemeriksaan akan dilanjutkan tanpa
kehadiran termohon dan gugatan pemohon akan dikabulkan. Jadi pengaturan ini sesuai
verstek di HIR. Ini menyiratkan bahwa BANI dikenang karena mediasi kelembagaan publik
karena diskresi ini diberikan oleh asosiasi tertentu dan sengaja diselesaikan untuk
mengakomodasi perdebatan yang muncul dari pengaturan. Berbeda dengan arbitrase ad hoc,
faktor yang disengaja dan berkelanjutan ini membedakannya. Selain itu, penegasan BANI
sudah ada sebelum perdebatan muncul, yang tidak sama dengan intervensi yang ditunjuk
secara khusus. Selain itu, meskipun sengketa yang sedang ditangani telah diselesaikan,
arbitrase yang dilakukan oleh BANI ini akan berlanjut tanpa batas waktu dan hanya memiliki
yurisdiksi atas wilayah negara yang bersangkutan.
Inti dari arbitrase adalah klausul arbitrase. Klausul intervensi akan memutuskan apakah
sebuah perdebatan dapat diselesaikan melalui intervensi, di mana perdebatan tersebut dapat
diselesaikan, hukum mana yang akan digunakan, dan seterusnya. Klausul pernyataan dapat
berdiri sendiri atau terpisah dari klausul pernyataan. Tidak ada keharusan dalam UU Arbitrase
bahwa klausul penegasan harus dibuat dalam akta notaris, klausul penegasan harus dibuat
dengan hati-hati, tepat dan mengikat. Intinya adalah untuk menghindari klausul pernyataan
digunakan oleh salah satu pihak sebagai kekurangan yang dapat digunakan untuk
memindahkan perdebatan ke pengadilan.
BANI memberikan klausula arbitrase baku sebagai berikut: “Seluruh perselisihan yang
timbul dari perjanjian itu akan diselesaikan dan diadili oleh BANI sesuai denganperaturan
Arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang
bersengketa, seperti pada awalnya dan tingkat terakhir".
Berdasarkan ketentuan Pasal 1(1) UU Arbitrase No. 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara
penyelesaian sengketa di luar pengadilan umum berdasarkan perjanjian arbitrase
yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa. Pihak-pihak dalam suatu perjanjian
yang menginginkan suatu sengketa diselesaikan melalui arbitrase dapat menggunakan salah satu
dari dua cara yang dapat membuka jalan bagi arbitrase yaitu :
 Pactum de Compromittendo
Pactum de compromittendo berarti kesepakatan setuju dengan putusan arbiter.Bentuk
klausul ini diatur dalam Pasal 2 UU No. 30 Tahun 1999, yang berbunyi sebagai berikut.
Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antarpara
pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian
arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda
pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut
akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.

Pokok yang penting dalam ketentuan pasal tersebut, antara lain kebolehan untuk
membuat persetujuan di antara para pihak yang membuat persetujuan, untuk menyerahkan
penyelesaian perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari kepada arbitrase atau
melalui alternatif penyelesaian sengketa. Persetujuan yang dimaksud adalah klausul
arbitrase (arbitration clause). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa klausul arbitrase dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin
timbul di masa yang akan datang (Frans Hendra, 2013).
Mengenai cara pembuatan klausul pactum de compromittendo, tidak tegas diatur dalam
Pasal 2 UU No. 30 Tahun 1999. Namun dari segi pendekatan penafsiran dan praktik,
dijumpai dua cara yang dibenarkan, yaitu:
 Mencantumkan klausul arbitrase tersebut dalam perjanjian pokok. Ini cara yang lazim
diterapkan dalam praktik, yaitu perjanjian pokokmenjadi satu kesatuan dengan klausul
arbitrase. Persetujuan arbitrase yang berisi kesepakatan bahwa para pihak setuju akan
menyelesaikan perselisihan (dispute) yang timbul di kemudian hari melalui forum
arbitrase, dimuat dalam perjanjian pokok.
 Pactum de compromittendo dimuat dalam akta tersendiri atau terpisah dari perjanjian
pokok. Apabila pactum de compromittendo berupa akta yang terpisah dari perjanjian
pokok, waktu pembuatan perjanjian arbitrase harus tetap berpegang pada ketentuan,
bahwa akta persetujuan arbitrase harus dibuat sebelum perselisihan atau sengketa
terjadi. Hal itu harus sesuai dengan syarat formal keabsahan pactum de
compromittendo, harus dibuat dibuat sebelum perselisihan timbul (Frans Hendra, 2013).

 Akta Kompromis
Pengertian mediasi jenis kedua disinggung sebagai akta jual beli. Akta kompromi tersebut
dijelaskan secara rinci dalam Pasal 9 UU No. 30 Tahun 1999:
Perjanjian tertulis harus ditandatangani oleh kedua belah pihak jika para pihak memutuskan
untuk menggunakan arbitrase sebagai cara untuk menyelesaikan perselisihan mereka setelah hal
itu terjadi.
Dalam hal majelis tidak dapat menyepakati perjanjian yang dibuat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka perjanjian yang dibuat harus dibuat dengan akta notaris.
(1) Hal-hal yang harus dicantumkan dalam perjanjian tertulis: hal-hal yang dipersoalkan; Nama
lengkap dan rumah pertemuan; nama lengkap dan rumah otoritas atau dewan arbitrase; di mana
mediator atau pengadilan arbitrase akan mengejar pilihan; nama lengkap sekretaris; periode
penyelesaian debat; surat pernyataan kesanggupan dari hakim; dan pernyataan bahwa pihak
yang bersengketa bersedia membayar untuk setiap dan semua biaya yang terkait dengan
arbitrase.
Demi hukum, setiap perjanjian tertulis yang tidak mencantumkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) adalah batal demi hukum. Mengingat pengaturan Pasal 9
Peraturan No. 30 Tahun 1999 di atas, menurut penciptanya secara yuridis pengaturan dapat
dilihat bahwa akta jual beli sebagai kesepakatan diskresi dibuat setelah timbul perdebatan di
antara pertemuan-pertemuan atau secara keseluruhan dalam pengaturan tidak ada kesepakatan
mediasi. . Oleh karena itu, akta kompromi adalah akta dengan aturan untuk menyelesaikan
perbedaan pendapat antara pembuat janji.
Maka dari penelaahan pencipta di atas, dilihat dari metodologi yuridis yang mengatur,
tujuan persoalan bisnis melalui organisasi diskresi dapat diselesaikan dengan dua cara, yaitu
dengan factum de compromittendo, sebelum terjadi persoalan, ketentuan mediasi sudah diingat.
untuk pemahaman yang penting, dan dengan membuat akta trade off setelah perdebatan terjadi.
Klausul arbitrase ditulis secara independen dari perjanjian utama. Sementara itu, menurut Pasal
27 sampai dengan 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, digunakan lembaga arbitrase
untuk menyelesaikan sengketa. Calon mendaftar ke BANI dengan melengkapi persyaratan
pengurusan, penggambaran kasus dan permohonan secara lengkap, dengan menghubungkan
akta pengaturan yang ditunjukkan dengan syarat diskresi dan calon memilih hakim. Para pihak
harus terikat dengan putusan arbitrase, meskipun Pengadilan Negeri harus tetap terlibat dalam
tahap eksekusi, menurut Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa putusan
lembaga arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap. , dan mengikat para pihak.

Eksekusi Putusan Lembaga Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis


Pemenuhan kewajiban suatu pihak untuk melaksanakan tujuan yang digariskan dalam
suatu keputusan dikenal dengan istilah eksekusi keputusan. Baik pilihan juri maupun pilihan
diskresi pada hakikatnya memiliki implikasi yang tidak jauh berbeda, kedua pilihan tersebut
memandang apa yang disebut sebagai kesimpulan resmi. Putusan Pengadilan Negeri bersifat
terbuka karena seluruh proses persidangan terbuka untuk umum. Akibatnya, hakim harus
mengambil keputusan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Putusan tersebut batal demi
hukum dan tidak mempunyai akibat hukum apabila tidak dilakukan dalam sidang terbuka.
Putusan arbitrase tidak boleh diumumkan karena keputusan dalam kasus arbitrase
dibuat secara tertutup. Kehormatan arbitrase dapat dianggap sebagai pilihan yang memiliki
status setara dan kekuatan yang sah dengan pilihan otoritas yang ditunjuk. Arbiter atau majelis
arbitrase akan mengambil keputusan yang adil dan patut, dan keputusan akan diambil
selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah pemeriksaan selesai. Dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan diucapkan, lembar pertama atau rangkap
kehormatan arbitrase yang dapat dipercaya akan diserahkan dan didaftarkan oleh wasit atau
perantaranya kepada Panitera Pengadilan Negeri (Pasal 59 PP Nomor 30 Tahun 1999).
Setiap pilihan hakim, termasuk kehormatan arbitrase, pada tingkat dasar memiliki 3 (tiga)
macam kemampuan:
 Membatasi kekuatan;
 Kekuatan konfirmasi;
 Kekuasaan atau kemampuan eksekutorial untuk dikerjakan.
Para pihak yang bersengketa selalu diberi tenggang waktu untuk mematuhi keputusan
lembaga arbitrase; batas waktu ini tidak terbatas dan tergantung pada kebijaksanaan arbiter.
Pelaksanaan putusan penetapan intervensi oleh Pengadilan Negeri bergantung pada syarat,
bahwa kehormatan arbitrase dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak penetapan pilihan harus
didaftarkan pada kantor perwakilan Pengadilan Negeri. Putusan arbitrase tidak dapat
ditegakkan atau dibatalkan jika tidak didaftarkan dalam waktu tiga puluh hari, atau jika
terlambat didaftarkan.
Pasal 59 sampai dengan 64 UU No. 64 mengatur tentang tata cara pelaksanaan putusan
lembaga arbitrase. 30 Tahun 1999 menyetujui Pengurus Pengadilan Negeri sebelum melakukan
eksekusi untuk menganalisa apakah pilihan Badan Penegasan telah memenuhi syarat formil dan
materiil. Mengenai apa yang tersirat dalam istilah formal adalah pemahaman dari pertemuan
bahwa perdebatan mereka akan diselesaikan dalam organisasi diskresi, pengaturan harus
dinyatakan dalam laporan tertulis. Juga, apakah perdebatan mereka diingat untuk pertanyaan
pertukaran dan sehubungan dengan hak istimewa yang, menurut peraturan dan undang-undang,
sepenuhnya dibatasi oleh pertemuan pertanyaan. Selain itu, yang dimaksud dengan “syarat
material” adalah putusan lembaga arbitrase tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.
Mengingat pemeriksaan pencipta di atas, maka dalam cara yuridis pengaturan untuk
menegakkan kehormatan arbitrase yang tidak dilaksanakan dengan sengaja, terutama oleh
pihak-pihak yang dinyatakan kalah perkaranya, Peraturan No. 30 Tahun 1999 memberikan salah
satu bentuk pemaksaan kepada pihak yang lebih memilih untuk tidak dengan sengaja
menyelesaikan kehormatan arbitrase, lebih tepatnya eksekusi. Upaya negara, dalam hal ini
dilakukan oleh Pengadilan Negeri, untuk memberlakukan putusan hukum perdata yang dibuat
oleh suatu lembaga arbitrase disebut dengan eksekusi arbitrase.
Para pihak, khususnya pihak yang dianggap kalah, tidak memilih untuk melakukannya.
Pelaksanaan kehormatan arbitrase (eksekusi) adalah hasil yang sah dari yayasan (pendirian)
yang diselesaikan oleh organisasi lain (pendirian). Dalam hal ini pemilihan organisasi arbitrase
dilakukan oleh badan hukum khususnya Pengadilan Negeri, selanjutnya mengejar pilihan
yayasan arbitrase yang terakhir dan membatasi, dengan konsekuensi bahwa tidak ada
penyelesaian untuk kehormatan arbitrase, membatasi pertemuan , produktivitas dan
kelangsungan hidup adalah kualitas dari siklus mediasi.

PENUTUP
Para pihak. Namun demikian, para pihak harus terikat dengan putusan arbitrase
Perselisihan bisnis dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase dengan salah satu dari dua
cara: baik melalui akta kompromi setelah perselisihan klausula arbitrase dibuat dalam bentuk
tertulis terpisah dari perjanjian utama atau melalui factum de compromittendo sebelum
perselisihan terjadi di arbitrase klausula yang telah dicantumkan dalam perjanjian pokok.
Menurut Pasal 27 sampai dengan 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, proses
penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum
tetap, dan mengikat tersebut, meskipun Pengadilan Negeri tetap perlu dilibatkan pada tahap
eksekusi.
Pelaksanaan putusan badan arbitrase dalam penyelesaian sengketa bisnis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 64 UU No. 30 Tahun 1999 dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, pertama atau duplikat
yang kredibel dari hibah diskresi diajukan dan didaftarkan oleh mediator kepada Panitera
Pengadilan Negeri untuk survei kebutuhan formil dan materil oleh Pimpinan Pengadilan
Negeri yang mengikuti yayasan arbitrase pilihan memiliki kekuatan yang sah membatasi dan
bersifat konklusif dan membatasi.
DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2009.

Yogyakarta, 2008.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka, 1989.

Endang Purwaningsih. Hukum Bisnis, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010.

Frans Hendra Winarta. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan
Arbitrase Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, 2013.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Hukum Arbitrase, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
2003.

Huala Adolf. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, 2008

Joni Emirzon. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi,


Konsiliasi & Arbitrase), Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2000.

M. Marwan, dan Jimmy P. Kamus Hukum (Dicionary of Law Complete Edition), Surabaya,
Reality Publisher, 2009.

M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,


dan Putusan Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008.

Munir Fuady. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Bandung, PT.
Citra Aditya Bakti, 2003.

R. Subekti. Aneka Perjanjian, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1995.

R. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, 2001.

Simatupang, Richard Burton. Aspek Hukum dalam Bisnis,Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2003.

Sophar Maru Hutagalung. Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian


Sengketa,

Jakarta, Sinar Grafika, 2012.

Suyud Margono. ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase Proses Pelembagaan dan
Aspek Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2004.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.


Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.

Anda mungkin juga menyukai