Anda di halaman 1dari 10

EFISIENSI ARBITRASE SYARIAH DALAM PENYELESAIAN

KONFLIK BISNIS SYARIAH

Fani Pratiwi, Hasbi Syadiki, Ibtisam, Muhammad Amin Siregar, Pangeran Fatih
Hasyim Lubis

Prodi Hukum Ekonomi Syaria, Fakultas Syariah Dan Hukum

Universitas Islam Negri Sumatera Utara

Email : hasbisyahdiky223@gmail.com

ABSTRAK
Sebuah lembaga yang disebut arbitrase syariah membantu menyelesaikan masalah syariah
secara damai di luar pengadilan biasa. Arbitrase diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999, yang
menyatakan berwenang menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan hukum perdata.
menjelaskan bagaimana menerapkan prinsip syariah untuk tantangan dalam bisnis,
keuangan, perdagangan, dan industri. Tujuan artikel ini adalah untuk mengevaluasi seberapa
baik arbitrase syariah bekerja di Indonesia untuk menyelesaikan masalah komersial yang
melibatkan hukum. Karena litigasi (yudisial) atau non litigasi (di luar pengadilan) dapat
digunakan untuk mengatasi kesulitan bisnis. Kajian artikel ini berfokus pada lembaga
Arbitrase Syariah. Teknik penelitian yang digunakan adalah perspektif normatif dan hukum,
yaitu deskriptif kualitatif. Di Indonesia, arbitrase syariah dinilai cukup efektif dalam
menyelesaikan konflik syariah terkait bisnis. Karena fakta bahwa arbitrase syariah lebih
fleksibel dalam menerima persyaratan untuk menyelesaikan perselisihan, lebih hemat biaya
dan waktu, dan menghargai kedamaian, pihak yang bersengketa lebih cenderung
memilihnya daripada metode peradilan. Al-Qur'an, hadits, dan Fatwa MUI juga digunakan
sebagai landasan hukum oleh lembaga arbitrase syariah.

Kata Kunci : Arbitrase Syariah, Bisnis Syariah, Efektivitas Sengketa


A. Pendahuluan
Pertukaran ekonomi adalah konstan dalam keberadaan manusia. Transaksi ekonomi yang
terjadi seringkali meliputi pencarian sumber daya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
seperti makanan dan tempat tinggal. Regulasi yang dapat menjadi pedoman yang tepat untuk
penyelenggaraan kegiatan ekonomi diperlukan untuk kegiatan ekonomi yang baik. Di bumi,
orang melayani Allah SWT dengan bertindak sebagai khalifah dan melakukan apa yang
diperintahkan. Karena manusia memiliki tanggung jawab sebagai khalifah, artinya kewajiban
untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan hidup, dan diamanahkan untuk memuliakan
Sang Pencipta melalui ibadah, maka Allah SWT menetapkan pedoman atau proses yang
harus diikuti manusia dalam melakukan aktivitas muamalah (ekonomi). Kurangnya informasi
yang dimiliki sebagian pelaku bisnis saat menjalankan bisnis sangat mempengaruhi transaksi
yang diselesaikan. Sebagian besar pelaku bisnis yang lebih fokus pada keuntungan finansial
daripada akhirat menjadi salah satu penyebab tantangan bisnis saat ini. Ini menunjukkan
bahwa meskipun tindakan itu bertentangan dengan keyakinan agama, orang lebih peduli
tentang kesejahteraan dunia. Individu dan kelompok yang bekerja bersama dalam hubungan
bisnis mengantisipasi hubungan kerja yang positif dan ramah untuk mencapai tujuan
bersama. Namun di lapangan, hal-hal tidak selalu berjalan sesuai rencana; kadang-kadang ada
tantangan dan ketidaksepakatan antara kedua belah pihak.
Kesalah pahaman dan kesenjangan komunikasi antara dua orang dapat menyebabkan hal
ini terjadi. Bisnis yang dijalankan sesuai dengan syariah maupun yang dijalankan secara
normal mungkin sama-sama memiliki tantangan. Saat ini bisnis syariah semakin berkembang
berkat pesatnya perkembangan bank syariah, yang memungkinkan munculnya usaha syariah
yang lebih diminati. MUI, pemerintah, dan pengusaha muslim membentuk Bank Muamalat
pada tahun 1991; merupakan bank pertama yang menerapkan prinsip syariah. Pendirian bank
yang mengikuti prinsip syariah didahului oleh Bank Muamalat. Selanjutnya, agar berdampak
pada pertumbuhan bisnis syariah, bank konvensional mulai membangun cabang atau divisi
yang berpegang pada prinsip syariah. seperti pegadaian syariah, hotel syariah, wisata syariah,
dan asuransi syariah. Al-Qur'an dan hadis harus menjadi landasan bagi implementasi hukum
syariah.
Masalah atau perbedaan pendapat antara kedua pihak yang bekerjasama dalam suatu
proyek akan selalu menjadi bagian dari proses implementasi di lapangan. Akad yang dibuat
tidak jelas, sepihak, dan ketentuannya dianggap terlalu rumit untuk dipahami, yang menjadi
faktor pemicu terjadinya konflik ekonomi syariah. Salah satu pihak ceroboh dan kurang teliti

2
sehingga membahayakan kesepakatan. Pihak lain tidak memiliki integritas dan keandalan,
sehingga tidak mungkin bagi mereka untuk melaksanakan ketentuan perjanjian sekaligus
melanggar hukum. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan
bisnis.
seperti melalui litigasi (gugatan hukum) dan non litigasi (arbitrase). Pertama, situasi
diselesaikan oleh pengadilan (litigasi) melalui sistem perlawanan. Pendekatan ini sesuai
dengan UU No. 3 Tahun 2006 yang menetapkan legal standing Peradilan Agama untuk
mengadili konflik ekonomi syariah. Hal ini sejalan dengan justifikasi yang diberikan dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 1 Ayat 1. Alternatif
penyelesaian sengketa (non litigasi) adalah dua alternatif penyelesaian konflik secara damai
dan damai. Mengenai metode penyelesaian konflik alternatif, mereka termasuk negosiasi,
mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Sehingga para pihak yang bersengketa dapat memutuskan
cara penyelesaiannya sesuai dengan keputusan yang telah dibuat. Pengusaha dan pebisnis
lainnya lebih cenderung memilih arbitrase karena lebih murah, memakan waktu lebih sedikit,
dan menghasilkan keputusan yang tidak dapat dibatalkan oleh pengadilan. Selain itu, tidak
ada kendala regional tentang bagaimana konflik dapat diselesaikan melalui arbitrase. dalam
arti bahwa arbitrase juga dapat menyelesaikan konflik yang melibatkan bisnis asing.
Menurut Undang-undang No. 30 Tahun 1999 yang mengatur tentang arbitrase, arbitrase
adalah badan yang berbeda dengan kewenangan untuk membantu menyelesaikan sengketa
ekonomi yang termasuk dalam hukum perdata jika terjadi ketidaksepakatan atas kesepakatan
atau kontrak antara para pihak. Arbitrase adalah suatu proses yang dapat menyelesaikan
masalah dalam sengketa perdata dengan cara yang telah disepakati oleh para pihak yang
bersengketa dan berlangsung di luar pengadilan. Para pihak yang berselisih juga memiliki
pilihan untuk memilih arbiter yang akan membantu menyelesaikan konflik dan menawarkan
solusi. kyai untuk membicarakan pembentukan badan hukum di luar sistem peradilan untuk
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Sebuah organisasi alternatif, yang pada saat itu dikenal sebagai Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI), secara resmi didirikan pada tanggal 23 Oktober 1993. Nama
BAMUI diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dengan Surat
Keputusan MUI Nomor: Kep-09/MUI /XII/2003, yang dikeluarkan pada tanggal 24
Desember 2003. Alasan kedua untuk pembentukan arbitrase syariah adalah seputar
permasalahan hukum yang dimiliki oleh para pelaku bisnis yang menggunakan akad syariah
dalam upaya mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh lembaga keuangan syariah dan
ekonomi syariah. Hal ini terjadi karena peraturan perundang-undangan negara tidak

3
menggunakan kriteria syariah dalam penyelesaian konflik, menurut teori yang digunakan di
pengadilan negeri. Dalam kasus konflik, Basyarnas berwenang mengambil keputusan sesuai
dengan hukum yang tidak berubah.
Kesepakatan penyelesaian melalui arbitrase merupakan kesepakatan tertulis antara para
pihak yang bersengketa, arbiter yang telah ditunjuk tidak dapat mengundurkan diri, dan
ketentuan jumlah arbiter yaitu bilangan ganjil adalah khas Basyarnas dan membedakannya
dari Bani. Selain itu, proses pengarsipan selesai secara tertulis dan berisi. Putusan arbiter
harus sesuai dengan ketentuan hukum yang disepakati para pihak yang bersengketa, putusan
bersifat final, dan apabila putusan tidak diterima oleh para pihak yang berselisih, maka hasil
putusan dapat diajukan ke pengadilan. Apabila pemohon pada sidang pertama tidak hadir
padahal sudah ada panggilan, maka permohonan pemohon gugur.

B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif, dan informasi yang diberikannya
bersifat primer dan sekunder, dikumpulkan melalui analisis terhadap karya-karya ilmiah
sebelumnya dan kemudian dibandingkan dengan konsep-konsep terkait. Dengan fokus pada
hukum Islam dan hukum perdata, penelitian ini menggunakan teknik yuridis normatif untuk
mengkaji pengertian perjanjian-perjanjian yang berkait. Selain itu, pemilihan objek, subjek,
dan aturan buatan merupakan langkah awal dalam teknik penelitian ini, yang merupakan
prosedur ilmiah yang dilakukan secara bertahap.

C. Pembahasan
1. Sejarah Arbitrase Syariah
Menurut pandangan Islam, tahkim mengacu pada pengadilan arbitrase. Tahkim berfungsi
sebagai mediator dalam kasus konflik. Al-Shulhu, kata Arab untuk arbitrase, digunakan
sebagai hasilnya. Al-Shulhu adalah bahasa Arab untuk "menyelesaikan masalah, perselisihan,
dan perselisihan." Tahkim berkembang dalam tradisi Islam sejak pemerintahan Khalifah Ali
bin Abi Thalib. Ayat-ayat Al-Qur'an berkaitan dengan syariah, atau hukum arbitrase Islam,
dan didasarkan pada hadits, ijma' ulama, dan qiyas. Hukum arbitrase Islam tentunya merujuk
pada keempat otoritas hukum tersebut.Namun, selain keempat sumber hukum tersebut,
arbitrase syariah di Indonesia juga mengacu pada UUD 1945 dan UU arbitrase syariah buatan

4
pemerintah.1 Di Indonesia, arbitrase syariah dibentuk dalam rangka Rakernas MUI. MUI
mengajukan gagasan arbitrase syariah pada tahun 1992 pada rapat kerja nasional (Rakernas),
dengan wakilnya Hartono Marjono, SH. Pada tanggal 22 April 1992, MUI mengadakan
pertemuan dengan profesor universitas dan pengacara untuk membahas ide pendirian
arbitrase syariah. Pada 2 Mei 1992, MUI sementara itu meminta Bank Muamalat Indonesia
untuk membuat model arbitrase syariah. Untuk membentuk badan arbitrase syariah, MUI
membentuk kelompok melalui SK. No.Kep. 392/MUI/V/1992. Oleh karena itu, Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia resmi dibentuk sebagai badan hukum yayasan pada tanggal 21
Oktober 1993. melalui SK. MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003.
2. Sengketa Bisnis Syariah Diadili Oleh Arbitrase
Karena arbitrase dilakukan di luar pengadilan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa, maka arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa yang
mengecualikan litigasi. Arbitrase dengan demikian merupakan putusan yang dibuat oleh
seorang arbiter atau dapat juga merupakan hasil kesepakatan beberapa arbiter yang dipilih
oleh para pihak yang bersengketa berdasarkan UU Pasal 5 No. 30 Tahun 1999 yang
menetapkan Arbitrase sebagai sarana penyelesaian sengketa ekonomi. memuat keterangan
sebagai berikut: Secara hukum tidak dapat diadakan perdamaian karena hanya sengketa
perdagangan industri dan sengketa muamalah yang dapat diselesaikan melalui arbitrase.
Sebagaimana dipaparkan dalam Bab XII Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Alternatif Perkara, hal itu juga didukung oleh Pasal 58 sampai dengan Pasal 61 Undang-
Undang tersebut bagian tentang kekuasaan hakim.
Pasal 58 mengatakan bahwa menggunakan organisasi arbitrase akan memungkinkan
penyelesaian perselisihan komersial secara damai. Namun demikian, saat ini ada arbitrase
khusus yang dapat menyelesaikan konflik di luar perdagangan, seperti Basyarnas, yang
dipercaya menangani masalah ekonomi syariah. Salah satu badan arbitrase yang dibentuk
MUI adalah Basyarnas. Terkait dengan konflik ekonomi syariah, seperti yang melibatkan
bisnis syariah, industri (pariwisata, perhotelan, dan kuliner) syariah, dan keuangan syariah,
Basyarnas memiliki peran khusus sebagai organisasi yang dapat menyelesaikannya.
Akibatnya status dan kekuasaan Basyarnas berbeda dengan DPS. Sementara Basyarnas,
divisi eksternal LKS, bertanggung jawab menangani atau menyelesaikan masalah, DPS
bertanggung jawab secara internal di dalam LKS. Basyarnas didirikan dengan tujuan:

1
Rosidah, N., & Zaidah, L. M. (2020). Efektifitas Penerapan Prinsip Syariah dalam Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah di Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). TAWAZUN: Journal
of Sharia Economic Law, 3(1), 16.

5
menyelesaikan masalah hukum perdata secara damai; menyelesaikan masalah komersial
dengan menggunakan ide syariah; menyelesaikan konflik yang melibatkan bank syariah; dan
penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan bisnis, perdagangan, jasa, dan keuangan
dengan menggunakan prinsip syariah. Dengan demikian, tujuan utama arbitrase syariah
adalah menyelesaikan konflik antara para pihak yang timbul dalam konteks ekonomi syariah
atau bisnis syariah. Menggunakan musyawarah untuk mencapai kesepakatan yang saling
menguntungkan Menunjuk seorang arbiter memberi mereka wewenang untuk melakukan
penyelesaian arbitrase. Arbiter yang dipilih harus mampu menciptakan lingkungan yang
bersih, bebas korupsi, dan tenang. Arbiter tidak memihak, memperhatikan fakta, dan dapat
bertindak adil. Mereka juga dapat memperbaiki bukti yang diajukan oleh pihak lawan.
Arbiter harus terbiasa dengan kontrak yang telah diadopsi oleh para pihak yang bersengketa,
serta dengan hukum kontrak, undang-undang hak milik, dan bagaimana menetapkan hal-hal
ini di pengadilan.2
3. Efektivitas Arbitrase Dalam Menyelesaikan Konflik
Proses dan alat yang digunakan oleh arbitrase syariah untuk menyelesaikan sengketa
bisnis etis efisien dan sesuai dengan hukum. Selain Al-Qur'an, Hadits juga merujuk Fatwa
DSN MUI dan Maqashid Syariah yang memupuk perdamaian, sebagai hukum yang
digunakan Basyarnas sebagai pedoman dalam menyelesaikan persoalan bisnis syariah. Oleh
karena itu, selama proses penyelesaian, Basyarnas akan menawarkan upaya perbaikan dengan
meningkatkan kontrak bisnis sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Akibat konflik
komersial antara pihak-pihak yang bertikai, masalah ekonomi syariah berkembang. Hal ini
dapat terjadi jika kemitraan bisnis tidak sesuai dengan syarat-syarat kontrak yang telah
disepakati atau jika kontrak tersebut mengandung ketentuan yang tidak sah yang
menimbulkan perselisihan.
Metode yang digunakan untuk menjaga keharmonisan dan itikad baik di antara pihak-
pihak yang bertikai akan mengungkapkan apakah arbitrase merupakan metode yang efektif
untuk menyelesaikan konflik atau tidak. Preferensi pihak-pihak yang berkontestasi untuk
arbitrasi dengan demikian disebabkan oleh hal ini. Karena dianggap lebih praktis daripada
melalui pengadilan, penyelesaian non-litigasi sering dipilih. Menurut Suyud Margono,
menggunakan teknik penyelesaian konflik alternatif seperti debat dan mediasi untuk
mencapai kesepakatan damai antara pihak-pihak yang bertikai memiliki daya tarik tersendiri

2
Faizal, B. T. W. (2019). Menakar Urgensi Pengaturan Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas). Indonesian Journal Of Law And Islamic Law (IJLIL), 1(1), 32-53.

6
bagi para pelaku bisnis.3
Keuntungan yang juga dapat diperoleh dari penggunaan jalur non litigasi untuk
menyelesaikan sengketa antara lain; ketulusan antara para pihak yang berselisih dalam proses
penyelesaian, prosedur yang rahasia dan cepat, fleksibilitas yang lebih besar dalam
mengajukan persyaratan penyelesaian sengketa, penghematan biaya dan waktu yang lebih
besar, mengutamakan perdamaian, pembuatan kesepakatan yang lebih mudah, keputusan
yang diperoleh bersifat non-yudisial, dan keputusannya tetap.

4. Proses Penyelesaian Sengketa Niaga Syariah Badan Arbitrase Syariah Nasional


(BASYARNAS)
Menurut Pedoman Dasar MUI, BASYARNAS adalah lembaga peradilan yang bebas,
mandiri, dan otonom yang tidak terjerat atau terpengaruh oleh lembaga kekuasaan atau pihak
lain. BASYARNAS berwenang memutus secara adil dan cepat sengketa perdata yang timbul
di bidang usaha, keuangan, perindustrian, jasa, dan lain-lain yang menurut peraturan
perundang-undangan sepenuhnya berada di bawah kendali para pihak yang bersengketa.
Pihak-pihak hukum secara bersama-sama menyurati BASYARNAS untuk diselesaikan
penyelesaiannya sesuai dengan Prosedur BASYARNAS.4
BASYARNAS berwenang menyelesaikan perselisihan antara para pihak dan para pihak
tunduk pada Tata Tertib BASYARNAS yang berlaku apabila para pihak dalam perjanjian
tertulis atau muamalat/transaksi perdata setuju untuk menggunakan Tata Tertib
BASYARNAS atau membawa perselisihan yang timbul diantara mereka ke BASYARNAS.
Para pihak dapat melaksanakan kesepakatannya untuk mengajukan sengketa kepada
BASYARNAS dengan cara mencantumkan klausula arbitrase dalam perjanjian tertulis atau
dengan membuat perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat dan disepakati oleh para pihak
sebelum dan sesudah terjadi perselisihan. Berikut langkah-langkah yang dilakukan dalam
proses penyelesaian sengketa melalui BASYARNAS:5
a. Permohonan Arbitrase
b. Penunjukan Arbiter Tunggal atau Arbiter Majelis
c. Jawaban, Eksepsi dan Rekonvensi Termohon
d. Perdamaian
3
Hartini, R. (2007). Kedudukan Fatwa MUI Mengenai Penyelesaian Sengketa Melalui BASYARNAS Pasca
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
4
Frans Hendra Winarta, 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitase Internasional dan Nasional, Jakarta:
Sinar Grafika Offset, hlm. 9.
5
Rachmadi Usman, 2002. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, hlm. 99.

7
e. Peran Saksi/Ahli
f. Pencabutann
g. Putusan
h. Pendaftaran Putusan
i. Eksekusi BASYARNAS
5. Unsur Pendukung Dan Penghambat Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis
Syariah Badan Arbitrase Syariah Nasional
a. Faktor Penunjang dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah melalui BASYARNAS
I. Kemampuan Arbiter
Efektif atau tidak efektifnya prosedur penyelesaian sengketa melalui BASYARNAS sangat
tergantung pada niat baik para pihak dan pengalaman arbiter. Oleh karena itu, memiliki
arbiter terampil yang telah mengenyam pendidikan formal sangatlah penting. Arbiter yang
akan menyelesaikan konflik di BASYARNAS adalah mereka yang ahli di bidangnya masing-
masing. cara agar arbitrase beroperasi sebagaimana dimaksud yaitu, dengan cara yang cepat
dan efisien untuk menyelesaikan perselisihan.
II. Bukti Lengkap
Para pihak yang berargumen diharuskan untuk menghadirkan bukti untuk mempertahankan
posisinya dan menetapkan fakta-fakta yang mendukung klaim atau tanggapan. Para pihak
dapat diminta oleh arbiter tunggal atau majelis arbiter untuk menjelaskan posisinya atau
memberikan dokumen yang menurut mereka diperlukan untuk memperkuat informasi yang
tercantum dalam surat permohonan penuntutan atau surat tanggapan dalam jangka waktu
arbiter tunggal atau majelis arbiter telah ditetapkan.
III. Para Pihak Datang
Jika para pihak dengan cepat setuju untuk menyelesaikan masalah selama proses arbitrase
BASYARNAS, akan lebih mudah bagi arbiter tunggal atau majelis arbiter untuk memastikan
preferensi masing-masing pihak. Dengan mengedepankan prinsip perdamaian, para pihak
yang bersengketa dapat segera melakukan tawar-menawar agar proses penyelesaian konflik
dapat berjalan dengan lebih mudah. Jika para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan,
masalah tersebut akan diputuskan oleh arbiter tunggal atau majelis arbiter.
IV. Proses Cepat
Para pihak yang memilih agenda arbitrase harus menyetujui kerangka waktu dan lokasi
arbitrase, dan jika parameter tersebut tidak disepakati, arbiter tunggal atau majelis arbitrase
akan mengambil keputusan tersebut. Ini menyiratkan bahwa lamanya waktu yang diperlukan
untuk perjanjian arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan atau perselisihan yang diajukan

8
untuk arbitrase harus ditentukan. Majelis arbitrase akan memutuskan kerangka waktu
penyelesaian berdasarkan aturan arbitrase yang dipilih jika para pihak tidak menunjukkan
kerangka waktu tertentu.
Hambatan hukum dan non hukum menjadi penyebab utama yang menghambat
penyelesaian sengketa bisnis syariah melalui BASYARNAS. tantangan yudisial, khususnya:

a. Perlawanan pihak ketiga;

b. Perlawanan pihak tereksekusi;

c. Permohonan peninjauan kembali (PK);

d. Amar putusan tidak jelas;

e. Objek eksekusi adalah barang milik negara.

Hambatan-hambatan yang bersifat hukum tersebut di atas dapat timbul tidak hanya dalam
arbitrase sengketa melalui BASYARNAS, tetapi juga dalam arbitrase sengketa pada
umumnya. Ada beberapa hambatan non-hukum:
a. Pengerahan Massa
b. Adanya Campur Tangan Pihak Lain
c. Peninjauan Barang Bukti

PENUTUP
Untuk menyelesaikan masalah komersial di bawah hukum Islam, BASYARNAS sangat
penting. Baik Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
maupun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mendukung
lahirnya BASYARNAS dalam kerangka perbankan syariah. Pengadilan Agama dapat
memerintahkan eksekusi jika salah satu pihak menolak untuk tunduk pada putusan
BASYARNAS. Karena BASYARNAS menangani masalah ekonomi syariah, seperti yang
melibatkan bisnis, perdagangan, asuransi, perbankan, dan fintech syariah/P2P Syariah,
penelitian menunjukkan pentingnya organisasi ini dalam proses penyelesaian sengketa.
BASYARNAS adalah pilihan terbaik untuk menyelesaikan konflik di bidang ekonomi
syariah karena merupakan lembaga non-litigasi.

9
DAFTAR PUSTAKA
Rosidah, N., & Zaidah, L. M. (2020). Efektifitas Penerapan Prinsip Syariah dalam
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS). TAWAZUN: Journal of Sharia Economic Law, 3(1), 16.
Faizal, B. T. W. (2019). Menakar Urgensi Pengaturan Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Indonesian Journal Of Law And
Islamic Law (IJLIL), 1(1), 32-53.
Hartini, R. (2007). Kedudukan Fatwa MUI Mengenai Penyelesaian Sengketa Melalui
BASYARNAS Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
Frans Hendra Winarta, 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitase Internasional dan
Nasional, Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Rachmadi Usman, 2002. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti
Elman Johari, “Penyelesaian Sengketa Syaria Business Melalui Badan Arbitrase Syariah
(BASYARNAS),” JURNAL AGHNIYA 2, no. 1 (13 Agustus 2020): 68–81.
Hasyim Sofyan Lahilote dan Moh Fitri Adam, “Eksistensi Basyarnas Dalam Penyelesaian
Sengketa Perbankan Syariah Di Indonesia,” Al-’Aqdu: Journal of Islamic Economics
Law 1, no. 2 (10 Desember 2021): 96–103.
Priadi dan Munthe, “Keabsahan Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional Dalam
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Di Indonesia.”
Syams Eliaz Bahri, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Basyarnas Ditinjau
Dari Asas Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan,” Tamwil 3, no. 1 (17 Juli
2020): 41,

10

Anda mungkin juga menyukai