Anda di halaman 1dari 19

JURNAL

PENYELESAIAN SENGKETA DILUAR PEGADILAN

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah

Dosen Pengampu : Bani Idris Hidayanto, M.H

Semester: VII ES

Disusun Oleh :

Asep Naparil ( 19401756)

PROGRAM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN AN-NUR

YOGYAKARTA

2022
A. Latar Belakang
Keberadaan dan operasional Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di
Indonesia hingga tahun 2006 memperlihatkan grafik kenaikannya. Dengan
upaya yang lebih giat untuk mempromosikan hukum syariah, Lembaga
Keuangan Syariah tumbuh dan menjadi pengaruh positif dalam hukum
Indonesia. Pesatnya perkembangan perbankan dan lembaga Keuangan Syariah
lainnya, seperti asuransi Syariah (takaful), leasing (ijarah), pegadaian Syariah,
reksadana syariah, Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Syariah, BMT
Koperasi Syariah, Lembaga Penyelesaian Sengketa dengan Kredibilitas dan
Kompetensi di Bidang Ekonomi Islam Diperlukan untuk Menyerap Probabilitas
Ini. Lembaga Penyelesaian yang dimaksud dapat berupa Lembaga Peradilan
atau Non Peradilan. Sebagai pengganti Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) dan beberapa Badan Arbitrase Syariah Daerah (BASYARDA),
seperti yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, saat ini terdapat Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) .1
Ada beberapa peraturan yang berkaitan dengan bisnis syariah, tetapi tidak
ada aturan menyeluruh yang mengatur hubungan antara ekonomi syariah dan
hukum formal syariah (hukum acara) dan hukum material. Regulasi ekonomi
Syariah yang ada didasarkan pada ajaran yang tercantum dalam kitab fikih dan,
pada tingkat lebih rendah, fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah
Nasional (DSN) dan aturan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Mengingat
kasus-kasus yang diajukan oleh para pihak yang berselisih kepada Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) atas permasalahan yang
menyangkut sengketa Bank Syariah, maka BASYARNAS menyelesaikan kasus
tersebut berdasarkan dua perangkat hukum yang berbeda satu sama lain: fatwa
yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional dan KUHPER (Perdata). Hal
ini dilakukan untuk memastikan aturan hukum diikuti ketika menyelesaikan
masalah tertentu.

1
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Study tentang Teori akad dalam Fikih Muamalat),
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada 2007), h. 84-86.
Setelah terbitnya Undang-Undang No. 3 tahun 2006,
keberadaan pengadilan yang memiliki keahlian menjelaskan
permasalahan ekonomi syariah menjadi jelas. Ini adalah kasus
pengadilan di komunitas agama. Hal ini tertuang dalam Pasal 49,
yang juga menyebutkan bahwa Pengadilan Agama Berwenang
bertanggung jawab untuk mendidik dan mengorientasikan umat
Islam di bidang Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf,
Zakat, Infaq, dan ekonomi syariah. Pada bagian di atas disebutkan
bahwa unsur-unsur kegiatan ekonomi syariah meliputi: Bank
syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, kewajiban dan kontrak
syariah untuk barang dan jasa, sekuritas syariah.2
B. Permasalahan
Pertama Bagaimana cara penyelesaian sengketa bisnis syariah diluar
pengadilan? Kedua apa saja lembanga yang dapat menyelesaikan sengketa
bisnis syariah?
C. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum Normatif, yang
mengutamakan data sekunder Melalui studi dokumen atau penelusuran
Literatur. Adapun yang dimaksud data sekunder Adalah sebagai berikut:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang memiliki
kekuatan hukum mengikat yang meliputi Peraturan perundang-
undangan yang Terkait dengan aspek arbitrase dan Sulhu.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan Hukum yang dapat memberi
penjelasan Terhadap hukum primer, seperti tulisan-tulisan dalam bidang
arbitrase dan sulhu, buku-buku dan hasil Penelitian lainnya.
3. Bahan hukum tersier, yaitu kamus, Ensiklopedi, dan lain-lain.
D. KAJIAN TEORI
1. Perdamaian (sulhu)
2
Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Cet. III; Jakarta, Kencana
media Group,2005), h. 5.
Terjemahan harfiah dari kata "sulh" adalah "bercinta", tetapi dalam
konteks hukum Islam, itu merujuk pada kesepakatan atau pakta untuk
mengakhiri perselisihan antara pihak yang berselisih secara sipil dan
damai. Menurut Surat AnNisa' ayat 126 yang artinya "Perdamaian itu
adalah hal yang baik", Allah SWT sangat menganjurkan penyelesaian
perselisihan dengan perdamaian. Ada tiga rukun yang harus dipenuhi
dalam sumpah damai, atau perjanjian, agar sah yaitu ijab, qabul, dan
lafadz. Apabila ketiga syarat tersebut terpenuhi, maka perjanjian telah
dilaksanakan sesuai rukun.3
Kesepakatan bersama kedua belah pihak menimbulkan kontrak hukum
dengan kewajiban tertentu bagi masing-masing pihak. Perjanjian yang
disepakati bersama bersifat mengikat dan tidak dapat digugat di
pengadilan. Dalam hal salah satu pihak tidak menyetujui syarat-syarat
perjanjian, maka perjanjian tersebut harus diubah dengan persetujuan
kedua belah pihak.4
Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian damai dapat diklasifikasi kepada
beberapa hal sebagai berikut:5
a. Hal yang menyangkut subyek
Setiap orang yang berbicara tentang subyek atau pelaku
perdamaian harus melakukannya dengan cara yang sesuai dengan
hukum. Selain itu, yang melaksanakan perdamaian haruslah mereka
yang mempunyai kuasa untuk melepaskan haknya atau berwenang
untuk melakukan apa saja yang dimaksud dengan istilah
"perdamaian". Tidak semua orang yang cakap memiliki kekuatan
untuk mendukungnya. Orang yang mengetahui hukum tetapi tidak
memiliki kekuatan untuk menegakkannya ialah wali atas harta orang

3
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat Dan Hukum Nasional (Jakarta:
Prenada Media, 2017) Hal 113.
4
Busri Harun, MONOGRAF Hukum Syariah Dalam Penyelesaian Sengketa Bang Syariah (Jakarta:
La Tansa Mashiro Publisher, 2017) Hal 30.
5
Abbas Op. Cit., Hal 203.
di bawahnya, seorang pengampu atas harta orang di bawahnya, atau
nazir (pengawas) wakaf atas hak milik orang di bawahnya dia.6
b. Hal yang menyangkut obyek
Obyek dari perdamaian harus memenuhi beberapa ketentuan
yakni: pertama, berbentuk harta, berwujud ataupun yang tidak
berwujud seperti hak milik intelektual, bernilai (dapat dihargai),
dapat diserahterimakan dan bermanfaat, kedua, jelas sehingga tidak
menimbulkan kesamaran atau ketidakjelasan, yang berujung
melahirkan pertikaian baru terhadap obyek yang sama.7
c. Masalah yang boleh didamaikan (disulh-kan)
Para Pakar hukum Islam sepakat bahwa sengketa yang boleh
didamaikan hanya sengketa terkait harta benda yang dapat ditakar
nilainya dan hak-hak manusia yang dapat diganti.8
d. Pelaksanaan perdamaian
Pelaksanaan perdamaian bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu
di luar persidangan atau melalui persidangan pengadilan. Diluar
persidangan, penyelesaian sengketa bisa dilakukan oleh diri sendiri
(yang melakukan perdamaian) tanpa melibatkan pihak lain, atau
meminta bantuan orang lain untuk menjadi penengah (wasit), hal
tersebut arbitrase atau hakam. Pelaksanaan perdamaian melalui
Pengadilan dilakukan pada saat sidang berlangsung. Dalam
ketentuan perundang-undangan ditentukan bahwa sebelum suatu
perkara diproses, atau boleh juga selama diproses bahkan Juga
ketika sudah diputus oleh Pengadilan tetapi belum mempunyai
kekuatan hukum tetap, hakim harus menganjurkan atau menawarkan
pihak yang bersengketa supaya berdamai. Jika hakim berhasil
mendamaikan pihak yang bersengketa, maka kemudian dibuatlah
putusan perdamaian, kedua belah pihak yang melakukan

6
Abbas, loc. Cit.
7
Ibid.
8
Ibid.
perdamaian itu dihukum untuk mematuhi perdamaian yang telah
mereka sepakati.9
2. Arbitrase Syari’ah (Tahkim)
Dalam Islam, “arbitrase” biasa dikenal dengan istilah
tahkim. Tahkim sendiri berasal dari kata hakkama. Secara umum,
tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase, yaitu
pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang
yang berselisih atau lebih, yang bertujuan menyelesaikan
perselisihan mereka secara damai, dan orang yang berdamai tersebut
disebut dengan Hakam.10
Pengertian tahkim menurut ahli pendapat ulama kalangan
Syafi’iyah yaitu mendamaikan para pihak yang berselisih dengan
hukum Allah atau menyatakan dan menetapkan hukum syara’ pada
suatu peristiwa yang wajib dilaksanakannya.
Ulama golongan mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan
Hambaliyah sepakat bahwa segala keputusan tahkim (arbitrase)
bersifat mengikat kepada pihak-pihak yang bersengketa, tanpa lebih
dahulu meminta persetujuan kedua belah pihak. Pendapat ini juga
disepakati oleh sebagian ulama golongan mazhab Syafi’i. Hal
tersebut bersumber langsung kepada hadis Rasulullah SAW yang
menyatakan bahwa apabila mereka telah sepakat menggunakan
tahkim untuk menyelesaikan persengketaan, lalu keputusan tahkim
itu tidak mereka patuhi, maka bagi orang yang tidak mematuhinya
akan mendapat siksa dari Allah SWT. Di samping itu, barang siapa
yang diperbolehkan oleh syari’at untuk memutus suatu perkara,
maka putusannya adalah sah, oleh karena itu putusannya mengikat,
begitupun dengan hakim di Pengadilan yang telah diberikan
wewenang oleh penguasa untuk mengadili suatu perkara.11

9
Abbas, loc. Cit.
10
A.W. Munawir, Kamus al Munawir, Pondok Pesantren Al Munawir, Yogyakarta, 1984, hal. 843.
11
Amran Suadi, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Sengketa Ekonomi Syariah
(Jakarta: Kencana, 2022) Hal 40.
Ruang lingkup arbitrase hanya terkait permasalahan yang
menyangkut hak-hak perseorangan (huququl ibad) secara penuh,
yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur hak-hak pribadi yang
berkaitan dengan harta benda. Ketika seseorang yang baru saja
berselisih dengan orang lain terkait Muamalat, mereka harus
meminta bantuan dari seseorang yang menjadi penengah. Oleh
karena tujuan Arbitrase hanya untuk membukakan jalan terhadap
sengketa.12
E. PEMBAHASAN
1. Sulhu dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR)
Konsep sulh (perdamaian), sebagaimana dipaparkan dalam berbagai
kitab fiqih, menjadi landasan hukum Islam dalam rangka mengamankan
sengketa tertentu, dan karenanya merupakan hal yang ta terelakan bagi
masyarakat umum. Sebab, pada mulanya perdamaian bukan sekadar
atribut positif kondisi manusia, tetapi juga fitrah umat manusia. Setiap
orang ingin setiap aspek kehidupannya menyenangkan; tidak boleh ada
orang yang ingin mengganggunya, tidak ada orang yang ingin
direndahkan, dan setiap orang ingin bahagia dalam setiap aspek
kehidupannya. Dengan demikian, lembaga perdamaian merupakan
bagian dari kehidupan manusia.13
Keinginan akan adanya lembaga sulh (perdamaian) Pada saat ini ini
tentunya tidak hanya sebagai wacana dan cita-cita belaka, melainkan
sudah masuk ke wilayah realisasi. Situasi ini dapat dibandingkan
dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) yang populer dan banyak
digunakan. Dalam konteks Indonesia, perdamaian telah dilaksanakan
sesuai dengan preseden hukum positif yaitu Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dalam hal terdapat informasi positif mengenai perdamaian, maka setiap
hal yang berkaitan dengan perdamaian, baik yang terutama berupa

12
Ibid.
13
Harun, loc. Cit.
upaya maupun proses teknis yang mengarah pada pelaksanaan putusan
dengan sendirinya, telah didukung sepenuhnya oleh negara.14
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat dikatakan sebagai undang-
undang yang paling penting dan khusus dalam konteks keputusan suatu
negara untuk melaksanakan dan melembagakan urusan sengketa. Dalam
undang-undang ini juga disebutkan bahwa pemerintah memberikan
dukungan kepada masyarakat untuk membantu mereka menyelesaikan
masalah bisnis di luar Pengadilan, baik melalui konsultasi, negosiasi,
konsiliasi, atau penilaian para ahli.15
Menurut Suyud Margono16, keputusan penduduk secara de facto
untuk menggunakan alternatif penyelesaian sengketa (ADR) didasarkan
pada faktor-faktor berikut: pertama, penduduk tidak sepenuhnya yakin
dengan sistem pengadilan dan pada saat yang sama telah menyadari
bahwa menggunakan sistem arbitrase lebih menguntungkan daripada
menggunakan yang terakhir; Akibatnya, penduduk lebih tertarik untuk
mencari alternatif lain ketika harus memilih di antara berbagai usaha
bisnis, khususnya jalur arbitrase. Ketidakpercayaan yang kedua Dengan
kata lain, sangat sedikit perkara sengketa yang dilaporkan ke Pengadilan
yang merupakan perkara yang sudah pernah diajukan ke hadapan arbiter
BANI.17
Penyelesaian sengketa dengan cara ADR merupakan alternatif yang
menguntungkan. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Perkara mengatur masalah
penyelesaian sengketa di luar Pengadilan, yaitu dengan musyawarah,
mediasi, perundingan, konsiliasi, dan ahli penilaian. UndangUndang
dalam hal ini tidak sepenuhnya memberikan pengertian atau penjelasan

14
Amran Suadi, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Sengketa Ekonomi Syariah
(Jakarta: Kencana, 2022) Hal 78.
15
Ibid.
16
Suyud Margono, ADR Dan Arbitrase: Proses Pelembagaan Dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2000) Hal 83.
17
Margono, loc.cit.
yang jelas atas setiap hal yang terjadi. Bagian ini akan membahas
informasi utama mengenai bentuk ADR berikut:18
a. Konsultasi
Kamus Hukum Black mendefinisikan konsultasi sebagai
"kegiatan konsultasi atau transaksi hukum lainnya, seperti antara
klien yang telah menandatangani perjanjian kerahasiaan." Selain itu,
musyawarah juga dianggap sebagai pembicaraan antar pihak atas
suatu masalah tertentu. Dalam praktiknya, berkonsultasi sebagai
praktisi ADR mungkin memerlukan perekrutan konsultan untuk
mengevaluasi situasi dan menawarkan solusi. Dalam hal ini
konsultasi tidak dominan; sebaliknya, ini hanya memberikan garis
dasar yang dapat digunakan sebagai titik referensi oleh otoritas yang
tepat untuk menjelaskan situasinya.
b. Negoisasi
Negosiasi tentang prosedur bisnis dilakukan antara dua pihak
dengan tujuan (kepentingan) yang berbeda secara substansial
dengan menciptakan tujuan tertentu dalam kompromi dan
menawarkan hadiah. ADR seperti ini memungkinkan para pihak
untuk terlibat dalam negosiasi tanpa harus berhenti di tengah jalan
dengan mengizinkan mereka untuk mengkomunikasikan tuntutan
mereka kepada masing-masing negosiator yang telah ditugaskan
untuk kasus tersebut untuk melanjutkan dengan cara yang
bersahabat atau untuk memberikan kelonggaran bila diperlukan.
Negoisasi hanya dilakukan di luar pengadilan, tetapi tidak
seperti perdamaian dan konsiliasi yang dapat dilakukan pada
sebelum proses persidangan (litigasi) atau dalam proses pengadilan,
dan dilakukan sebagai persyaratan memenuhi persidangan,
negosiasi harus diajukan ke Pengadilan Negeri dalam waktu 30 hari
sejak tanggal penerimaan, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Ayat. 7

18
Joni Emirizon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan: Negoisasi, Mediasi,
Konsiliasi, Dan Arbitrase, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2000) Hal 24.
dan 8 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
c. Konsiliasi
Dalam Black's Law Dictionary dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan "consilience" adalah "menyesuaikan pendapat dan
penyelesaian suatu perselisihan dengan suasana damai dan tanpa
adanya keras kepala yang dilakukan di pengadilan dengan maksud
untuk menghindari proses litigasi.
Dari penjelasan tersebut dapat kita pahami bahwa litigasi
dan arbitrase adalah contoh proses non-ADR yang memungkinkan
konsiliasi. Kata lain yang berkaitan erat dengan ADR adalah
"institusi perdamaian" dan "berbentuk konsiliasi", yang dijelaskan
dalam Pasal 1851 KUH Perdata sebagai lembaga yang dapat muncul
dalam proses pembangunan dan juga menjadi "tarik tambang".
untuk disajikan.
Konsiliasi memiliki kekuatan hukum yang mengikat sama dalam
konsultasi dan negoisasi, yaitu 30 hari terhitung setelah
penandatangannya dan dilaksanakan dalam waktu 30 hari terhitung
sejak pendaftarannya.
d. Pendapat Ahli
ADR alternatif yang diperkenalkan dalam Undang-Undang
No. 30 Tahun 1990 adalah pendapat (penilaian) ahli. Pejabat yang
relevan memiliki tanggung jawab untuk memberi tahu kantor arbiter
tentang setiap pendapat yang berkaitan dengan hubungan perjanjian
yang relevan dengan badan hukum.
Ketentuan ini pada dasarnya merupakan realisasi
pelaksanaan dari tugas lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang
berbunyi lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para
pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan
pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu
dalam hal belum timbul sengketa.
2. Arbitrase
Umumnya dalam kontrak bisnis telah disepakati dalam kontrak yang
dibuatnya Buat menuntaskan sengketa yang terjalin di setelah itu hari di
antara mereka. Usaha Penyelesaian sengketa bisa diserahkan kepada
forum-forum tertentu cocok dengan Konvensi. Terdapat yang langsung
ke lembaga Majelis hukum ataupun terdapat pula yang melalui
Lembaga di luar Majelis hukum ialah arbitrase (choice of forum/ choice
of jurisdiction). DiSamping itu, dalam klausul yang terbuat oleh para
pihak didetetapkan pula hukum mana yang Disepakati buat
dipergunakan apabila di setelah itu hari terjalin sengketa di antara
mereka (choice of law). 19
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang dimulai pada tanggal 12
Agustus 1999, merupakan dasar hukum yang mengatur penggunaan
arbitrase dalam sengketa bisnis. Adapun Pembahasan tentang syarat-
syarat objektif yang dibahas dalam Pasal 1320 KUH Perdata serta
syarat-syarat subyektif dan syarat-syarat objektif yang dibahas dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Hal ini didasarkan bahwa
arbitrase merupakan Kesepakatan yang dijanjikan dalam suatu kontrak
bisnis dan sekaligus menjadi bagian Dari seluruh topik yang
diperjanjikan oleh para pihak tersebut.20
Ada beberapa organisasi arbitrase di Indonesia yang berspesialisasi
dalam penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan berbagai jenis
sengketa bisnis yang timbul selama perdagangan tahap akhir. Organisasi
tersebut antara lain BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia),
BASYARNAS (Badan Arbitrase Syari’ah Nasional), dan BANI (Badan

19
Gusri Putra Dodi, Arbitrase Dalam Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: Kencana, 2022) Hal 25.
20
Putra dodi, loc. Cit.
Arbitrase Nasional Indonesia), yang fokus pada penyelesaian sengketa
terkait sengketa bisnis yang timbul pada tahap akhir perdagangan.21
a. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara resmi mengadopsi
nama BAMUI dan mulai beroperasi pada tanggal 1 Oktober 1993.
Tujuan utama BAMUI adalah memberikan informasi yang akurat
dan tepat waktu dengan cara yang ringkas. Muamalah perdata yang
timbul dalam bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan
lainnya, kedua, menerima permintaan yang diajukan oleh berbagai
pihak dalam suatu perjanjian tanpa adanya perselisihan.22
Syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang arbiter
perselisihan atau arbiter pengadilan, antara lain, adalah bahwa Anda
harus menjadi seorang Muslim yang taat yang bersedia untuk
memerintah tanpa memihak dan yang tidak takut untuk menantang
aturan yang ditetapkan yang mengatur perselisihan. Sesegera
mungkin setelah memulai tugas, arbiter harus memperhatikan
perdamaian; jika upaya tersebut berhasil, arbiter akan membuat
tindakan perdamaian dan meminta kedua belah pihak untuk
mengomentari dan menghapus perdamaian yang bersangkutan.23
Dalam hal perdamaian tidak berhasil, arbiter akan
melanjutkan persidangan dengan meminta para pihak memeriksa
keabsahan perdamaian melalui penggunaan penjamin, saksi-saksi,
atau cara lain, dan sebelum melanjutkan keterangan, perdamaian
harus ditarik secara resmi sesegera mungkin. Tetapi dapat
dikesampingkan bilamana kedua belah pihak setuju akan
dilaksanakannya sidang secara terbuka untuk umum. Asas
pemeriksaan sidang arbitrase bersifat tertutup dan asas ini tidak
bersifat mutlak atau permanen.

21
Ibid, hal 26.
22
Moh Taufiq, Dasar-Dasar Hukum Bisnis (Bantul: Penerbit Tanah Air Beta, 2022) Hal 118.
23
Ibid.
Tujuan utama dari inisiatif ini, secara lugas, adalah untuk
meningkatkan kesadaran publik dengan menempatkan nama dan lini
bisnis masing-masing organisasi di depan dan di tengah. Putusan
BAMUI bersifat final dan mengikat bagi pihak yang bersengketa
dan wajib mentaati keputusan tersebut, pihak yang harus segera
mentaati dan memenuhi pelaksanaannya.24
Jika terdapat pihak melaksanakan itu tidak secara suka rela,
maka Putusan dijalankan menurut ketentuan yang diatur dalam
Pasal 637 dan 639 KUHPer, dimana Pengadilan Negeri memiliki
peranan yang penting dalam memberikan exequatur bagi Putusan
arbitrase. Karena itulah, BAMUI harus bisa menyesuaikan dirinya
dengan tata hukum Yang telah ada, khususnya yang berada dalam
jangkauan kewenangannya, karena sengketa yang diputus oleh
BAMUI itu bukanlah perkara yang didalamnya termuat campur
tangan pemerintah atau Bukan masalah-masalah yang berhubungan
dengan NTCR, Wakaf dan Hibah Sebagaimana tersebut dalam Pasal
616 KUHPer, yang mana perkara-perkara tersebut dapat diurus oleh
pengadilan.
Mengingat tidak semua masalah dapat diselesaikan oleh
Pengadilan, BAMUI memfokuskan perhatiannya pada penyelesaian
sengketa yang akhir-akhir ini muncul akibat keterkaitannya dengan
sistem perdagangan, industri, keuangan, dan hukum Islam. Untuk
memastikan bahwa klausul arbitrase BAMUI diikuti oleh para pihak
yang bersepakat, arbiter harus dapat memberikan kesepakatan yang
adiligent dan legal kepada para pihak.25
b. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) memiliki
kantor di Jakarta dan melakukan proses arbitrase di tempat lain
sesuai kebutuhan. Saat didirikan, Badan Arbitrase Syariah

24
Ibid.
25
Taufiq, loc. Cit.
Nasional (BASYARNAS) menggunakan nama Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) yang didirikan didirikan pada
tanggal 21 Oktober 1993 atas persetujuan Yayasan. Ketua
Umum MUI K.H. Hasan Basri dan Sekretaris Umum H.S.
Prodjokusumo mempresentasikan UU Pendiriannya ke-21.
BAMUI dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
berdasarkan pernyataan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) tahun
1992. Kemudian perubahan nama BAMUI menjadi
BASYARNAS diumumkan pada Rakernas MUI tahun 2002.
Dalam SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24
Desember 2003, nama, formasi, dan pegawai yang ada di
BAMUI berubah.26
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
merupakan lembaga hukum yang bebas, otonom, dan
Independen, tidak boleh ada campur tangan kekuasaan dari
pihak manapun. BASYARNAS juga merupakan perangkat
organisasi MUI sebagai DSN (Dewan Syariah Nasional), LP-
POM (Lembaga Pengkajian, Pengawasan Obat-obatan Dan
Makanan), YDDP (Yayasan Dana Dakwah Pembangunan).27
Adapun dasar hukum pembentukan lembaga BASYARNAS
sebagai berikut:28
1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan Altematif Penyelesaian Sengketa. Dalam Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 dijelaskan bahwa Arbitrase
merupakan cara Penyelesaian sengketa perdata di luar
peradilan umum, dan lembaga arbitrase Adalah badan yang
dipilih oleh berbagai pihak yang bersengketa untuk
memberikan Putusan mengenai sengketa tertentu.
26
Yusup Hidayat, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah DiIndonesia (Jakarta: Kencana, 2020)
Hal 121.
27
Ibid.
28
Hasbi, Nurul Huda, Referensi Arbitrase Syariah Diindonesia, (Jakarta: La Tnsa Mashiro
Publisher, 2017) Hal 11.
2) SK MUI (Majelis Ulama Indonesia) SK Dewan Pimpinan
MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember
2003 tentang Badan Arbitrase Syariah Nasional. Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah
lembaga hakim (arbitrase syariah) satu-satunya di
Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus
sengketa muamalah dalam bidang, keuangan,
industri,perdagangan, jasa, dan lain-lain.
3) Fatwa DSN-MUI. Semua fatwa DSN-MUI terkait
hubungan muamalah (perdata) akan diakhiri Dengan
ketentuan: “Jika salah satu diantara pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau jika Terjadi perselisihan
diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan Melalui Badan Arbitrase Syariah jika tidak
mencapai kesepakatan dalam sebuah musyawarah”
c. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
Mayoritas negara-negara di kawasan ini sekarang
memiliki pengadilan arbitrase untuk menyelesaikan
perselisihan ekonomi yang timbul karena wanprestasi atas
pelaksanaan proses tertentu. Saat ini, Indonesia adalah
negara yang dominan. Indonesia sekarang memiliki badan
arbitrase nasional yang disebut Badan Arbitrase Nasional
Indonesia, sering dikenal sebagai BANI.29
Setiap tujuan yang dikejar oleh Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) adalah untuk memberikan
penyelesaian yang cepat dan akurat untuk perselisihan yang
melibatkan pertukaran mata uang internasional atau
domestik yang timbul dari transaksi mendadak dan
mendesak. Selain berfungsi sebagai penegak sengketa,

29
Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah Diindonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2022)
Hal 410.
keberadaan BANI di daerah juga memungkinkan untuk
menerima permintaan dari pihak berwenang dalam situasi
apapun untuk pemberian pendapat hukum tentang suatu hal.
Karena BANI didirikan untuk kepentingan bangsa Indonesia,
maka BANI wajib tunduk kepada hukum Indonesia.30
Sejak saat itu, banyak kasus HIR telah diamandemen
untuk memasukkan prosedur arbitrase, terutama Pasal 377
HIR, yang menyatakan bahwa proses arbitrase dilakukan
dalam konteks perselisihan antar pihak dan terus dilakukan
berdasarkan ketentuan Rv keempat. Dari sini dapat dipahami
bahwa satu-satunya kasus HIR yang secara resmi diubah
untuk memasukkan prosedur arbitrase adalah kasus-kasus di
mana Rv dianggap sebagai hukum arbitrase positif dan tidak
ada ruang untuk mengubah lembaga atau aturan yang
terkandung di dalamnya.31
Selain menyelesaikan sengketa, BANI juga
menerima permintaan pihak-pihak dalam suatu kontrak
untuk Memberikan pendapat yang mengikat terhadap suatu
persoalan. Meskipun terdapat perbedaan dengan tugas-tugas
pengadilan, tetapi Proses penyelesaian konflik BANI tetap
berpedoman kepada peraturan prosedur secara khusus.
Adapun prosedur pelaksanaan arbitrase melalui BANI
sebagai berikut Ini:32
1) Mendaftarkan surat permohonan untuk Mengadakan
arbitrase dan didaftar dalam register perkara masuk
2) Jika klausula dalam putusan arbitrase menyatakan
bahwa keputusan akan diambil melalui arbitrase,
maka klausula yang bersangkutan telah berakhir.

30
Ibid.
31
Ibid.
32
Gatot P Sumartono, Arbitrase Dan Mediasi Diindonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka,2006) Hal
97.
Mengingat hal ini, Ketua BANI segera mulai
membuat perintah untuk Menyampaikan Salinan Dari
Surat Permohonan Kepada Si Termohon, Disertai
Perintah Untuk Menanggapi Permohonan Ini dan
Memberi Jawaban Secara Termohon Dalam 30 Hari.
3) Menurut asas yang telah ditetapkan, pengadilan
arbiter yang telah ditunjuk atau arbiter dari sengketa
yang diajukan akan mengadakan rapat para pihak
untuk membicarakan nama BANI dan kemudian
mengadakan sidang untuk menyelesaikan masalah
tersebut.
4) Sejalan dengan itu, Ketua BANI menginstruksikan
kepada kedua pihak lainnya untuk mengadakan
sidang pada waktu yang ditentukan arbiter dalam
jangka waktu 14 hari menjelang hari berakhirnya
perintah, dengan pengertian bahwa mereka dapat
memberitahukan masing-masing pihak dengan sarana
kuasa surat khusus.
5) Nantinya, Majelis akan membahas tingkat kerjasama
yang baik antara kedua pihak yang berseberangan
tersebut.
6) Kedua belah pihak diminta untuk mengklarifikasi
setiap pendirian serta mengajukan bukti yang
menurut mereka perlu dilakukan.
7) Selama belum dijatuhkan putusan, pemohon dapat
mencabut permohonannya.
8) Jika arbiter menilai pemeriksaan sudah selesai,
majelis ketua akan menutup, memeriksa
pemeriksaan, dan menetapkan sidang berikutnya
yang tersedia untuk menyelesaikan putusan yang
akan dibuat.
9) Biaya pelaksanan tiap suatu putusan arbitrase
ditetapkan dengan peraturan Bersama antara BANI
dan Pengadilan Negeri yang bersengketa.
Meskipun BANI telah memutuskan suatu putusan
Arbitrase, Tetapi masih saja ada banyak orang yang tidak
puas terhadap putusan itu. Hal ini diketahui Karena sebagian
besar perkara yang telah diputus oleh arbiter BANI masih
saja banyak yang Diajukan kembali kepada Pengadilan
secara litigasi.
F. PENUTUP
Semakin bertumbuhnya lembaga keuangan syariah, maka tak akan luput
atas banyaknya sengketa-sengketa yang akan dihadapi, saat ini memang
terdapat peradilan agama untuk menyelesaikan sengketa-sengketa tersebut,
namun dalam menyelesaikan sengketa tersebut tidaklah harus melalui
pengadilan agama seperti yang peneliti bahas di atas, dia itu dapat
menggunakan metode sulhu, ataupun arbitrase. Karena di Indonesia sendiri
terdapat beberapa lembaga arbitrase yang menyediakan jasa dalam
menyelesaikan sengketa seperti, badan arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI), badan arbitrase Syariah nasional (BASYARNAS), dan badan
arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai