Anda di halaman 1dari 6

ABITRASE SYARIAH

Untuk memenuhi tugas resume mata kuliah Abitrase Syariah yang dibina oleh
Dr. Hj. Umi Supraptiningsih, M.Hum.

Kelompok 2

Moh. Ainur Ridha (21383021091)


Moh. Rega Prama Putra. R (21383021140)
Naisatul Musrifa (21383022105)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2023

1
Macam-Macam APS Dalam Islam
1. Metode Perdamaian (As-Shulhu)
Secara bahasa, kata al- shulhu artinya: Memutus pertengkaran atau
perselisihan.Secara istilah(Syara’) ulama mendefinisikan as-shulhu sebagai
berikut:Menurut Taqiy al- Din Abu Bakar Ibnu Muhammad al- Husaini “ “Akad
yang memutuskan perselisihan dua pihak yang bertengkar (berselisih) “sedangakan
Hasby Ash- Siddiqie dalam bukunya Pengantar Fiqih Muamalah berpendapat
bahwa yang dimaksud al- Shulh adalah “ Akad yang disepakati dua orang yang
bertengkar dalam hak untuk melaksanakan sesuatu, dengan akad itu dapat hilang
perselisihan.” 1Selanjutnya Sayyid Sabiq berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan al–Shulhu adalah “ suatu jenis akad untuk mengakhiri perlawanan antara
dua orang yang berlawanan.” 2Dari beberapa definisi di atas maka dapat di
simpulkan bahwa As-Shulhu adalah suatu usaha untuk mendamaikan dua pihak
yang berselisihan, bertengkar, saling dendam, dan bermusuhan dalam
mempertahankan hak, dengan usaha tersebut dapat di harapkan akan berakhir
perselisihan. Dengan kata lain, sebagai mana yang di ungkapkan oleh Wahbah
Zulhaily As-shulhu adalah akad untuk mengakhiri semua bentuk pertengkaran atau
perselisihan.3
Rukun-rukun as-shulhu ada 4 yaitu : 1). Mushalih 2). Mushalih anhu 3).
Mushalih alaih 4). Sighat ijab dan qabul
Dengan adanya al-shulhu, penggugat berpegang kepada suatu yang disebut
badal al-shulhu dan tergugat tidak berhak meminta kembali dan menggugurkan
gugatan (Suhendi, 2002: 174). Syarat para pihak yang melakukan perdamaian
adalah,
a. Pertama, Berakal sehat. Tidak sah suatu perdamaian yang dilakukan
oleh orang gila atau anak-anak yang belum berakal, yang belum bisa
membedakan antara yang baik dan buruk (mumayyiz);
b. Kedua, Pihak-pihak yang melakukan al-shulhu tidak boleh masih
berusia belum dewasa, baik keduanya atau salah satu pihak kalau
sekiranya perdamaian yang akan mereka lakukan berkaitan dengan
persoalan yang menimbulkan bahaya atau kerugian.
c. Ketiga, Pelaksanaan al-shulhu dalam lapangan yang berkaitan dengan
kehartabendaan pada anak-anak yang masih kecil, mestilah dilakukan
oleh walinya, seperti ayahnya atau orang yang memeliharanya; dan

1
Hasbi Ash Siddiqi, Pengantar Fiqih Muamalat,(Bulan Bintang: Jakarta, 1984), hlm.92
2
Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah,(Dar al- Fiqir, 1987), hlm.189.
3
Wahbah Zuhaily, Al- Fiqih (Beirut: Dar Al- Fikr Al- Muashir, 2005), Jilid Iv, Hlm. 4330

2
d. Keempat, Salah satu pihak yang melakukan akad itu bukanlah orang
yang murtad.
Secara garis besar, perdamaian dalam bentuk al-shulhu dibagi menjadi tiga bentuk,
yakni diantaranya :
1) Al-shulhu al-ikrar
Al-shulhu al-ikrar yaitu perdamaian dalam suatu kasus yang sudah ada
pengakuan pihak tergugat. Misalnya seorang menggugat pihak lain tentang suatu
harta dan pihak tergugat membenarkan isi tuduhan penggugat. Untuk
menyelesaikan perselisihan antara keduanya, pihak penggugat dan tergugat
melakukan al-shulhu. Perdamaian dalam soal yang seperti tersebut disepakati
kebolehannya oleh para ulama. Perdamaian tersebut bisa berlaku terhadap benda
dengan benda, atau pada kemanfaatan harta, seperti barang sewaan.
2) Al-shulhu al- inkar
Al-shulhu inkar yaitu perdamaian sesuatu yang diingkari oleh pihak
tergugat, seperti penggugat mempunyai hak atas sesuatu yang ada di tangan
tergugat, tetapi pihak tergugat menyangkat tuduhan itu. Kasus seperti tersebut
banyak terjadi di masyarakat. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan
Hambaliyah, al-shulhu inkar diperbolehkan. Mereka beralasahan bahwa
perdamaian itu sangat baik dan dianjurkan seperti disebutkan dalam al-Qur‟an.
Ulama Syaifi‟iyah dan Abi Laila berpendapat bahwa perdamaian dalam
sengketa yang diingkar oleh tergugat itu tidak boleh dilakukan, kecuali
disyaratkan pihak penggugat menyatakan tuduhannya benar dan pihak tergugat
mengakui bahwa itu tidak berhak atas sesuatu yang dituduhkan. Menurut
kelompok tersebut, al-shulhu inkar jika diperbolehkan sama saja menghalalkan
yang haram dan mengharamkan yang halal.
3) Al-shulhu al-sukut
Al-shulhu al-sukut ialah perdamaian dalam kasus diamnya pihak tergugat,
yakni adanya suatu perkara gugatan di mana pihak tergugat tidak memberikan
jawaban atas gugatan yang dituduhkan kepadanya, baik pengakuan maupun
pengingkaran. Pada persoalan tersebut, pihak penggugat mengadakan al-shulhu
dengan pihak tergugat guna mengakhiri perselisihan. Jumhur ulama sepakat
bahwa al-shulhu sukut diperbolehkan. Sedangkan ulama Syafi‟iyah
berpendapat bahwa perdamaian tersebut tidak boleh, sebab sikap diam itu
menunjukkan sikap pengingkaran tergugat (Suhendi, 2002: 55-57).

3
Abdul Ghofur Anshori menyebut konsep penyelesaian sengketa secara al-shulhuh
adalah penyelesaian sengketa alternatif dan sama dengan penyelesaian sengketa secara
non legalitas, dimana mempunyai beberapa keunggulan.4

2. Metode Arbitrase Syari’ah (Tahkim)


Untuk menyelesaikan perkara atau perselisihan secara damai dalam hal
keperdataan, selain dapat dicapai melalui inisiatif sendiri dari para pihak, juga
dapat dicapai melalui keterlibatan pihak ketiga sebagai wasit (mediator). Upaya
ini biasanya akan ditempuh apabila para pihak yang berperkara itu sendiri
ternyata tidak mampu mencapai kesepakatan damai.Institusi formal yang
khusus dibentuk untuk menangani perselisihan/ sengketa disebut arbitrase,
yaitu cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa (Yulianti, 2007)
Beberapa ulama mencoba merumuskan 5syarat-syarat yang berkaitan dengan
pelaksanaan
akad tahkim, yaitu sebagai berikut:
a. Semua pihak yang ikut terlibat dalam praktek tahkim, baik sebagai arbiter
(hakam), atau pihak yang bersengketa harus cakap bertindak hukum.
b. Semua pihak, baik hakam dan pihak yang bersengketa memenuhi kategori
kompetensi sebagai saksi.
c. Hakam mempunyai kompetensi untuk mengadili sebagaimana yang
disyaratkan terhadap seorang hakim.
d. Proses pelaksanaan tahkim berpedoman pada prinsip “waqt al-tahkim wa
al-hukm,” yaitu adanya kesesuaian antara penetapan putusan dengan
eksekusi putusan.
e. Bagi pihak yang bersengketa harus jelas dan pasti (mu’ayyan) dalam
menentukan/menunjuk hakam.
f. Perkara yang diajukan ke institusi tahkim (arbitrase) harus jelas.
Terkait dengan bentuk tahkim, pada Angka 3.1, Angka 5.1, Angka 9.1 dan Angka
9.3 Standar Syariah ini, mengisyaratkan perbedaan perjanjian tahkim kepada dua
macam, yaitu (1) pactum de compromittendo, dan (2) acta compromise. Pactum de
compromittendo
Ada perbedaan pendapat dari para ahli hukum Islam dalam persoalan objek yang
termasuk kewenangan tahkim atau arbitrase. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa di

4
Jurnal “Penyelesaian sengketa konsumen melalui jalur al-shulhu dan jawatan al-hisbah”,Hafiz
Aravik,2016
5
Jurnal "Model-Model Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia" Neni Hardiati,Sindi
Widiana, Seproni Hidayat,UIN Sunan Gunung Djati,STAI Yamisa,2021

4
antara kewenangan tahkim adalah masalah harta benda, hudud, qisas, nikah, dan lian
baik yang menyangkut hak Allah maupun hak manusia (Az-Zuhaili, 2005). Sementara
Ulama Malikiyah mengatakan bahwa tahkim dalam syariat Islam hanya dibenarkan
dalam bidang harta benda saja dan tidak dibenarkan dalam bidang hudud, qisas dan
lian, sebab persoalan ini merupakan urusan Peradilan (Jauhari, 2011). Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa tahkim dibenarkan dalam segala hal kecuali dalam
bidang qisas dan hudud.6

6
Jurnal “Tahkim dalam Standar Syariah dan Urgensinya terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah di Indonesia” Arifki Budia Warman , Riska Fauziah Hayati, Universitas Islam Negeri Mahmud
Yunus Batusangkar, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,2022

5
DAFTAR PUSTAKA

Hasbi Ash Siddiqi, Pengantar Fiqih Muamalat,(Bulan Bintang: Jakarta, 1984), hlm.92
Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah,(Dar al- Fiqir, 1987), hlm.189.
Wahbah Zuhaily, Al- Fiqih (Beirut: Dar Al- Fikr Al- Muashir, 2005), Jilid Iv, Hlm.
4330
Jurnal “Penyelesaian sengketa konsumen melalui jalur al-shulhu dan jawatan al-
hisbah”,Hafiz Aravik,2016
Jurnal "Model-Model Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia" Neni
Hardiati,Sindi Widiana, Seproni Hidayat,UIN Sunan Gunung
Djati,STAI Yamisa,2021
Jurnal “Tahkim dalam Standar Syariah dan Urgensinya terhadap Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia” Arifki Budia Warman , Riska Fauziah
Hayati, Universitas Islam Negeri Mahmud Yunus Batusangkar, Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,2022

Anda mungkin juga menyukai