Anda di halaman 1dari 21

SUMBER PERUMUSAN HUKUM ISLAM 2

(AL-ADILLAH AS-SYAR’IYYAH AL-MUTAFFAQ ‘ALAIHA 2)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

“Ushul Fiqh”

Dosen Pengampu: Yudhi Ahmad Bashori. M.H.I

Disusun oleh: PAI. E/ Kel. VI

Abdul Aziz Al-Qomari (210316152)

Lia Yuliarti (210316177)

Yuliana Puspitasaari (210316169)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

PONOROGO

2017
DAFTAR ISI

JUDUL HALAMAN ...............................................................................................i


KATA PENGANTAR…………………..............................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................ 1
BAB II : PEMBAHASAN
A. Ijma’ ....................................................................................................... 2
B. Qiyas ...............................................................................................
BAB III : KESIMPULAN......................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada masa Rasulullah Saw., permasalahan yangg timbul selalu


bisa ditangani dengaan baik dan pengambilan sumber hukumnya ialah
Al-Qur`an dan Rasulullah Saw. Dan apa bila ada suatu hukum yang
sekiranya kurang di mengerti oleh para sahabat maka hal tersebut dapatt
ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah Saw. Akan tetapi, setelah
beliau Rasulullah Saw wafat, para sahabat agak sedikit kesulitan dalaam
memutuskan permasalahan-permasalahan yangg terjadi yangg dalilnya
tidak ditemukan/tersurat dalaam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal
permasalahan yangg muncul semakin kompleks, oleh karena itu
muncullah Ijma’ dan Qiyas.
Sumber Hukum Islam ialah Al-Quran dan Sunnah Rasulullah.
Dua sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena
keduanya merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum AllahDalam
makalah ini, penulis mencoba menguraikan Ijma sebagai metode
penggalian hukum umat islam. Bahasan dalaam makalah ini berkaitan
dengaan pengertian, syarat dan rukun, kehujjahan,dan macam-macam
Ijma dan Qiyas.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana ijma’ sebagai sumber perumusan hukum islam?


2. Bagaimana qiyas sebagai sumber perumusan hukum?
C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui bagaimana ijma’ sebagai sumber perumusan hukum


islam
2. Untuk mengetahui bagaimana qiyas sebagai sumber perumusan hukum
islam
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ijma’
1. Pengertian Ijma’
Secara bahasa kata ijma’ berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk
ُ ‫ اِجْ َما‬،ُ‫ يُجْ ِمع‬،‫ اَجْ َم َع‬, yang memiliki banyak arti diantaranya:
masdar dari kata ‫ع‬
ketetapan hati atau keputusan untuk melakukan sesuatu dan sepakat.
Secara etimologi, ijma‘ mengandung dua arti.
a. Pertama berarti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu, atau
memutuskan berbuat sesuatu (al-‘azm ‘ala al-syay’). Ijma‘ dalam
artian pengambilan keputusan ini dapat dilihat dalam firman Allah
pada surat Yunus (10): 71:
…karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-
sekutumu (untuk membinasakanku).
Ijma’ dalam arti ini juga dapat dilihat pada Hadis Nabi saw. yang
bunyinya:
Tidak ada puasa bagi orang yang tidak meniatkan puasa semenjak
malam.
b. Kedua, ijma‘ dengan arti sepakat. Dalam arti ini kata ijma‘ dapat
dilihat penggunaannya dalam Alquran pada surat Yusuf (12): 15:
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke
dasar sumur (lalu mereka
masukkan dia). (QS. Yusuf [12]: 15)
Adapun secara istilah, Ijma’ adalah “kesepakatan semua imam
mujtahid pada suatu masa setelah wafatnya Rasul terhadap hukum syara’
mengenai suatu kasus”.1

1
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (jakarta : Prenada Media Group,2011). 62
2. Syarat-syarat ijma’

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu dapat terjadi
apabila memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini:

a. Saat berlangsungnya kejadian yang memerlukan adanya ijma‘, terdapat


sejumlah orang yang berkualitas mujtahid; karena kesepakatan itu
tidak berarti jika yang sepakat hanya satu orang.
b. Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah, tanpa
memandang kepada negeri asal, jenis, dan golongan mujtahid. Kalau
yang mencapai kesepakatan itu hanya sebagian mujtahid, atau
mujtahid kelompok tertentu, wilayah tertentu atau bangsa tertentu,
maka kesepakatan itu tidak dapat disebut ijma‘, karena ijma‘ itu hanya
tercapai dalam kesepakatan menyeluruh.
c. Kesepakatan itu tercapai setelah terlebih dahulu masing-masing
mujtahid mengemukakan pendapatnya sebagai hasil dari usaha
ijtihadnya, secara terang terangan, baik pendapatnya itu dikemukakan
dalam bentuk ucapan dengan mengemukakan fatwa tentang hukum
kejadian itu; atau dalam bentuk perbuatan dengan memutuskan hukum
dalam pengadilan dalam kedudukannya sebagai hakim. Penyampaian
pendapat itu mungkin dalam bentuk perseorangan yang kemudian
ternyata hasilnya sama; atau secara bersama-sama dalam satu majelis
yang sesudah bertukar pikiran ternyata terdapat kesamaan pendapat.
d. Kesepakatan itu haruslah merupakan kesepakatan yang bulat dari
seluruh mujtahid. Jadi, kalau kesepakatan itu hanya dari kebanyakan
mujtahid saja sedang sebagian mujtahid lainnya terdapat perbedaan,
maka bukanlah merupakan ijma‘ yang dapat dijadikan hujah
syar‘iyyah.
e. Sesudah nabi wafat, artinya bahwa pada masa Nabi masih hidup tidak
ada ijma’.Karena segala permasalahan hukum dapat dijawab langsung
oleh Nabi.
3. Rukun-rukun ijma’
a. Yang terlibat dalaam pembahasan hukum syara’ melalui ijma tersebut
ialah seluruh mujtahid. Apabila ada di antara mujtahid yangg tidak
setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yangg dihasilkan itu
tidak dinamakan hukum ijma’
b. Mujtahid yang terlibat dalaam pembahasan hukum itu ialah seluruh
mujtahid yangg ada pada masa tersebut darii berbagai belahan dunia
Islam.
c. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid
mengemukakan pandangannya.
d. Hukum yangg disepakati itu ialah hukum syara’ yangg bersifat aktual
dan tidak ada hukumnya secara rinci dalaam Al-Qur’an
e. Sandaran hukum ijma’ tersebut secara haruslah Al-Qu’an dan atau
hadis Rasulullah SAW.
4. Macam-macam ijma’
a. Macam-macam Ijma Ditinjau dari ruang lingkup para mujtahid yang
berijma, maka terdiri dari :
1) Ijma Ummat, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid dalam suatu
masalah pada suatu masa tertentu.
2) Ijma’ shohaby, yaitu persesuaian faham segala ulama shahabat
terhadap sesuatu urusan.
3) Ijma’ Ahli Madinah, yaitu persesuaian faham ulama-ulama Ahli
Madinah terhadap sesuatu kasus. Ijma ini bagi Imam Malik adalah
hujjah.
4) Ijma’ Ahli Kuffah, yaitu persesuaian ahli Kufah, terhadap sesuatu
masalah, Ijma ini dianggap hujjah bagi Imam Hanifah.
5) Ijma’ khalifah, yaitu kesepakatan atau persesuaian faham terhadap
sesuatu pada khalifah yang empat. Ijma ini oleh sebagian ulama
dianggap hujjah atas dasar hadits: Kamu wajib mengikuti
sunnahku dan sunnah khulafa al-Rasyidin.
6) Ijma’ syaikhani, yaitu persesuaian faham Abu Bakar dan Umar
dalam suatu hukum. Ijma ini oleh sebagian ulama dianggap hujjah,
atas dasar “Teladanilah kedua orang ini sesudahku, yaitu Abu
Bakar dan Umar”.
b. Jika dilihat dari cara terjadinya dan martabatnya, ijma terbagi kepada
dua:
1) Ijma’ sharih,yaitu ijma yang menampilkan pendapat masing
masing ulama secara jelas dan terbuka baik melalui ucapan (fatwa)
atau perbuatan (keputusan) Atau bisa diartikan dengan  ijma’ yang
dikeluarkan oleh para mujtahid secara  lisan maupun tulisan yang
mengeluarkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain pada
zamanny. Ternyata seluruh pendapat mereka menghasilkan
pendapat yang sama atas hukum suatu perkara. Ijma’ bentuk
pertama ini terhitung sangat langka karena sangat sulit untuk
mencapainya. Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa
ijma’ semacam ini hanya dapat terlaksana pada zaman sahabat
karena jumlah mujtahid ketika itu masih sedikit dan tempat mereka
berdekatan. Ijma sharih ini menempati peringkat ijma yang paling
tinggi. Hukum yang ditetapkan bersifat qat’i sehingga umat wajib
mengikutinya. Maka para ulama sepakat dan menerima untuk
menjadikan ijma sharih ini sebagai hujah syari’iyah dalam
penetapan hukum syara. Contoh ijma’ sharih, dalam hal
menetapkan bulan suci ramadhan, dari zaman setelah nabi
meninggal terjadi kekosongan khulafah kemudian para sahabat
nabi melakukan perundingan (ijma’) penggantian khulafah atau
penganti nabi untuk memimpin islam, pada saat membukukan
alquran menjadi satu itulah beberapa sedikit contoh dari Ijma’
sharih.
2)  Ijma’ sukuti yaitu sebagian mujtahid menampilkan pendapatnya
secara jelas mengenai hukum suatu peristiwa melalui perkataan
atau perbuatan. Atau bisa diartikan ijma’ yang dikeluarkan oleh
para mujtahid dengan cara diam, tidak mengeluarkan pendapatnya,
yang diartikan setuju atas pendapat mujtahid lainnya.Adapun
mujtahid yang lain tidak memberikan tanggapan apakah ia
menerima atau menolak. Ijma’ sukuti ini bersifat zhan (dugaan)
dan tidak mengikat. Oleh karena itu boleh bagi mujtahid untuk
mengemukakan pendapat yang berbeda setelah ijma’ itu
diputuskan. Imam syafi’i dan imam malik menganggap ijma’
sukuti ini tidak dapat dijadikan dasar hukum. Adapun imam abu
hanifah dan imam ahmad bin hambal menjadikannya sebagai
sumber hukum. Karena diamnya mujtahid menunjukkan tanda
setuju. Contoh ijma’sukuti, diadakannya adzan dua kali dan
iqomah untuk sholat jum’at yang diprakarsai oleh sahabat utsman
bin affan r.a. pada sahabat lainnya tidak ada yang memproses atau
menolak ijma’ beliau tersebut dan diamnya para sahabat lainnya
adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut.
  
c. Ijma’ dilihat dari dalalahnya (petunjuk) juga terbagi dua macam ialah:
1) Qath’i dalalah hukumnya. Artinya ,hukum yang ditunjuk sudah
dapat dipastikan kebenarannya ,sehingga tidak perlu dipersoalkan
lagi dan tidak perlu diijtihadkan.
2)    Dzanni dalalah hukumnya. Artinya ,hukum yang ditunjuk itu
kebenarannya masih bersifat dugaan . karena itu masih terbuka
untuk dipersoalkan lagi dan tidak tertutup unutk dikaji oleh para
mujtahid lainnya, sebab hasil ijtihadnya bukan merupakan
pendapat seluruh mujtahid.2
5. Kedudukan Ijma’ sebagai Hujjah
Ijma’ merupakan dasar penetapan hukum mengikat dan wajib
dipatuhi dan diamalkan. Maka dari itu para ulama’ menetapkan ijma’

2
H. Burhanuddin,  Fiqih Ibadah, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001). 72
sebagai sumber hukum yang ketiga setelah al-qur’an dan sunnah. Ijma’ di
sebagai hujjah yang pasti, di dasarkan atas alas an-alasan sebagai berikut.
a. Al-qur’an surah an-nisa’ (4) 115:

‫الر ُس ْو َل ِم ْن َب ْع ِد َم ا َتَبنَّي َ لَهُ اهْلُ َدى َو َيتَّبِ ْع َغْي َر‬


َّ ‫نُ َولِِّه َما َت َوىَّل َو َنو َم ْن يُ َش اقِ ِق‬
‫صْيًرا‬ِ‫تم‬ ِ ِ ِ‫سبِي ِل الْمْؤ ِمن‬
َ ْ َ‫َّم َو َساء‬
َ ‫ُصله َج َهن‬ ْ َ ‫َ ْ ُ نْي‬
“Dan barang siapa yang menentang rosul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami
masukkan ke dalam jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruk tempat
kembali”(an-nisa’:115).

Dan ancaman siksa yang terdapat pada ayat diatas,


ditunjukkan kepada orang yang melakukan yang haraam dan
meninggalkan yang wajib. Dan ijma’ adalah mengikuti jalan orang
mukmin. Karena meninggalkan perbuatan mengikuti jalan orang-
orang mukmim adalah wajib. Barang siapa menentang orang-orang
mukmin atau menentang pendapat mereka, berarti ia tidak mengikuti 
jalan orang-orang mukmin. Mengikuti pendapat orang-orang mukmin,
berarti mengikuti sesuatu yang ditetapkan berdasarkan ijma’ dengan
demikian ijma’ dapat dijadikan hujjah yang harus dipergunakan untuk
menggali hokum syara’ (istinbath) dari naskh-naskh syara’.
b. Dan Ahlussunnah Wal Jama’ah meyakini bahwa ijma’ adalah hujjah,
dan ijma’ yang bisa dijadikan sebagi hujjah hanyalah dari umat Nabi
Muhammad SAW. Bukan dari nabi-nabi terdahulu. Karena kebenaran
hanyalah pada ijma’ umat Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana
sabda Rosululloh saw yang artinya:
Umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan (HR. Tirmidzi dan yang
lain)
6.   Kemungkinan Terjadi ijma’ dan Masa Berlaku ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’
dan kewajiban melaksanakannya. Jumhur berkata, “ ijma’ itu bisa terjadi
bahkan telah terlaksana”. Sedangkan pengikut Nizam dan golongan
Syi’ah menyatakan, ijma’ itu tidak mungkin terjadi, dengan
mengemikakan beberapa argument, antara lain :
Pertama, sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur tentang
diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa
sehingga harus memenuhi dua kriteria :
a. Mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan mampu
untuk mengadakan ijma’,
b.  Mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang permasalahan
tersebut.
Kedua, ijma’ itu harus berlandaskan pada dalil qath’ ataupun yang
dhanni. Bila berlandaskan pada dalil qath’I maka tidak diragukan lagi
bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila didasarkan pada
dalil yang dzanni, dapat dipastikan para ulama’ akan berbeda pendapat
karena masing-masing mujtahid akan mengeluarkan pendapatnya dengan
kemampuan berfikir daya nalar mereka disertai berbagai dalil yang
menguatkan pendapat mereka.
Permasalahan yang kerap dihadapi oleh ijma’ adalah apakah ijma’
dihukum masih berlaku jika masanya telah berlalu dan semua mujtahid
yang ikut dalam ijma’ ini sudah meninggal. Untuk menjawab hal tersebut
dapat dilihat pendapat para ulama sebagai berikut:
a.       Imam ahmad bin hambal, abu bakar ibnu al-fauraq ,dan sebagian
kecil ulama syafi’ iyah berpendapat bahwa berlalunya masa dan
meninggalkan peserta ijma’ mengakibatkan ijma’ itu tidak berlaku
lagi. Mereka beralasan bahwa pernah terjadi penyimpangan terhadap
hukum yang telah ditetakan oleh ijma’. Kasusnya adalah tentang
“ummul walad (sahaya perempuan) yang telah dihamili majikannya.
Menurut ijma’ hukumnya disamakan dengan hamba sahaya biasa,
sehingga ia dapat dijual dan tidak dapat merdeka dengan sendirinya
jika majikan mati.” Atas dasar ijma’ itu maka umar bin khattab
memerdekakan ummul walanya. Setelah umar wafat , ali berbeda
pendapat dengan umar. Menurutnya bahwa ummul walad berbeda
dengan hamba sahaya biasa. Ia bisa merdeka dengan sendirinya jika
majikannya telah mati.
b.      Menurut jumhur ulama yang terdiri kebanyakan pengikut syafiyah,
abu hanifah, ulam kalam asy’ariyah, dan mu’tazilah. Mereka
berpendapat bahwa berlalunya masa dan meninggalkan semua ulama
mujtahid bukan syarat tidak berlakunya ijma’. Artinya ijma’ masih
tetap berlaku. Mereka beralasan ,karena kehujahan ijma’ ini berdasar
kepada al-qur’an dan sunah nabi. Kedua sumber tersebut tidak lapuk
dengan berlalunya masa. Dan mereka pun beralasan bahwa hakikat
ijma’ adalah kesepakatan. Kekuatan hukum terletak pada
kesepakatan ini bukan pada meninggalkan peserta ijma’. Contoh
kasus: “ seseorang menemui abu bakar untuk meminta keputusan
hukum terhadap haknya untuk mendapatkan warisan harta dari
cucunya yang meninggal. Kemudian abu bakar menyuruh nenek itu
pulang untuk menanti jawabannya. Abu bakar berusaha mencari
jawaban dalam al-quran dan hadist ternyata tidak ketemukan.
Kemudian abu bakar bertanya kepada para sahabat. Tampillah
sahabat bernama mughirah ibnu syu’bah dan muhammad ibn
maslamah, keduanya mengaku mengetahui nabi pernah memberikan
hak bagi nenek sebanyak seperenam. Berdasarkan berita dua sahabat
tersebut maka abu bakar menetapkan warisan untuk nenek tadi
sebanyak seperenam. Apa yang ditetapkan oleh abu bakar ternyata
tidak satu pun sahabat yang menyanggahnya. Maka jadilah
keputusan abu bakar itu sebagai ijma’ yang tetap berlaku sampai
sekarang. Contoh lain adalah pengangkatan abu bakar sebagai
seorang khalifah pertama menggantikan nabi dilakukan secara
kesepakatan (ijma’) diantara para sahabat yang diakui kebenaran
sampai sekarang.3

B. Qiyas

3
.ibid., 73.
1. Pengertian Qiyas
Dilihat dari segi bahasa, kata ُ‫ ْالقِيَاس‬berasal dari bahasa Arab,
bentuk masdar ً َ‫ قِي‬، ُ‫ تَقِيْس‬, ُ‫ قَ\\\\\اس‬artinya
dari‫اس\\\\\ا‬ mengukur dan
membandingkan sesuatu dengan semisalnya.
Adapun menurut istilah syara’, adalah “Menghubungkan suatu
perkara yang tidak ada hukumnya dalam nas dengan perkara lain
yang ada nas hukumnya karena ada persamaan illat”.
Para ahli ushul fiqih memberi definisi Qiyas secara istilah
bermacam-macam: Mengeluarkan hukum yang sama dari yang
disebutkan kepada yang tidak disebutkan dengan menghimpun antara
keduanya, membandingkan yang didiamkan kepada yang dinashkan
( diterangkan) karena ada illat hukum, menyatukan sesuatu yang
tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang
disebutkan hukumnya oleh nash dikarenakan kesatuan illat hukum
antara keduanya.4
2. Rukun Qiyas

a. Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yangg telah


ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis
'alaih (yangg menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat
menyerupakan), atau mahmul 'alaih (tempat membandingkan);

b. Fara' yangg berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yangg belum


ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yangg dapatt
dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yangg
diukur) atau musyabbah (yangg diserupakan) atau mahmul
(yangg dibandingkan);

c. Hukum ashal, yaitu hukum darii ashal yangg telah ditetapkan


berdasar nash dan hukum itu pula yangg akan ditetapkan pada
fara' seandainya ada persamaan 'illatnya; dan

4
Rachmawat Syafe’I,Ilmu Ushul Fiqh (Bandung:Pustaka Setia,2010), 86
d. 'Illat, yaitu suatu sifat yangg ada pada ashal dan sifat itu yangg
dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka
persamaan sifat itu menjadi dasar untukk menetapkan hukum
fara' sama dengaan hukum ashal.5

3. Macam-Macam Qiyas
a. Qiyas aulawi

Yaitu qiyas yangg illatnya mewajibkan adanya hukum dan


yangg disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yangg
lebih utama dariipada tempat menyamakannya (mulhaq bih),
misanya memukul kedua orang tua dengaan mengatakan “ah”
kepadanya.
b. Qiyas musawi

Yaitu suatu qiyas yangg illat-nya mewajibkan adanya


hukum yangg terdapatt pada mulhaq nya sama dengaan illat
hukum yangg terdapatt dalaam mulhaq bih. Misalnya merusak
harta benda anak yatim mempunyai illat hukum yangg sama
dengaan memakan harta anak yatim, yakni sama –sama
merusakkan harta.

c. Qiyas dalalah

Yakni suatu qiyas dimana illat yangg ada pada mulhaq


menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya,
seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil pada harta orang
dewasa dalaam kewajibannya mengeluarkan zakat, dengaan
illat bahwa seluruhnya ialah harta benda yangg mempunyai
sifat dapatt bertambah.

5
.ibid 87.
d. Qiyas syibhi

Yakni suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapatt diqiyaskan


pada dua mulhaq bih, tetapi diqiyaskan dengaan mulhaq bih
yangg mengandung banyak persamaaannya dengaan mulhaq.
Misanya seorang hamba sahaya yangg dirusakkan oleh
seseorang.

4. Kehujjahan Qiyas
Kehujjahan Qiyas dapat ditunjukan dengan beberapa alasan :
Al-quran Jumhur ulama ushul, memandang Qiyas dapat jadi
hujjah atas alasan ayat di atas. I'tibar dalam ayat di atas berasal dari
kata ubur, artinya, melewati atau melampaui. Maka Qiyas itu
melewati atau menyembrangkan hukum asal ( pokok ) kepada hukum
cabang. Jadi Qiyas termasuk ke dalam makna ayat di atas. - Ibnu
Taimiyah berdalil dengan ayat di atas tentang Qiyas jahi hujjah,
dengan alasan, kata al-'Adlu, searti dengan kata al-taswiyah,
maknanya seimbang atau sama. Maka qiyas adalah menyamakan
hukum diantara dua masalah. Dengan demikian Qiyas termasuk pada
makna ayat di atas. Ayat di atas menyuruh mengembalikan urusan
kepada Allah dan Rasulnya, baik urusan yang ada nashnya dan yang
tidak ada nashnya. Maka Qiyas adalah mengembalikan urusan yang
tidak ada Nashnya kepada yang ada nashnya dari Alquran dan al-
Sunnah.
1. Al-Sunnah
Hadits Nabi di atas menunjukan bahwa Rasulullah
menyetujui apa yang akan diputuskan Muadz bin Jabal
dengan Ijtihad setelah tidak ada pada Alquran dan al-
Sunnah. Maka dalil di atas memberi isyarat akan bolehnya
Qiyas, karena Qiyas itu termasuk Ijtihad. Dalam peristiwa
yang tidak ditunjukan oleh wahyu sering Rasulullah
menetapkan hukumnya dengan jalan Qiyas, misalnya, saat
Rasulullah menjawab pertanyaan Umar r.a. tentang
mencium istri saat shaum, Rasulullah mengqiyaskannya
kepada berkumur-kumur waktu shaum, karena sama
illatnya yaitu perbuatan permulaan, maka hukumnya sama
tidak merusak shaum.
3. Perkataan dan perbuatan shahabat.
a. Perkataan Umar bin Khatab kepada Abu Musa al-
Asy'ari : Gunakan pemahaman yang mendalam
dalam masalah yang menggagapkan hatimu, yang
tidak terdapat dalam Alquran dan Al-Sunnah. Cari
kemiripannya dan keserupaannnya dan kemudian
Qiyaskan perkara-perkara itu sewaktu
menemukannya.
b.Dalam peristiwa pembai'atan Abu Bakar r.a.
untuk menjadi khalifah, diqiyaskan kepada Nabi
Muhamad saw. yang menyuruh Abu Bakar
mengimami shalat, sebagai ganti pada waktu Beliau
sakit.6

6
Suwarjin,Ushul Fiqh(Yogyakarta:Teras,2012), 76
2. Al-Sunnah
Hadits Nabi di atas menunjukan bahwa Rasulullah
menyetujui apa yang akan diputuskan Muadz bin Jabal
dengan Ijtihad setelah tidak ada pada Alquran dan al-
Sunnah. Maka dalil di atas memberi isyarat akan bolehnya
Qiyas, karena Qiyas itu termasuk Ijtihad. Dalam peristiwa
yang tidak ditunjukan oleh wahyu sering Rasulullah
menetapkan hukumnya dengan jalan Qiyas, misalnya, saat
Rasulullah menjawab pertanyaan Umar r.a. tentang
mencium istri saat shaum, Rasulullah mengqiyaskannya
kepada berkumur-kumur waktu shaum, karena sama
illatnya yaitu perbuatan permulaan, maka hukumnya sama
tidak merusak shaum.
3. Perkataan dan perbuatan shahabat.
a. Perkataan Umar bin Khatab kepada Abu Musa al-
Asy'ari : Gunakan pemahaman yang mendalam
dalam masalah yang menggagapkan hatimu, yang
tidak terdapat dalam Alquran dan Al-Sunnah. Cari
kemiripannya dan keserupaannnya dan kemudian
Qiyaskan perkara-perkara itu sewaktu
menemukannya.
b.Dalam peristiwa pembai'atan Abu Bakar r.a.
untuk menjadi khalifah, diqiyaskan kepada Nabi
Muhamad saw. yang menyuruh Abu Bakar
mengimami shalat, sebagai ganti pada waktu Beliau
sakit.7

BAB III

7
Suwarjin,Ushul Fiqh(Yogyakarta:Teras,2012), 76
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. a). Pengertian Ijma’
Secara bahasa kata ijma’ berasal dari bahasa Arab, yaitu
ُ ‫ ِاجْ َما‬،ُ‫ يُجْ ِمع‬،‫ اَجْ َم َع‬, yang memiliki banyak
bentuk masdar dari kata ‫ع‬
arti diantaranya: ketetapan hati atau keputusan untuk melakukan
sesuatu dan sepakat.

b. Syarat-syarat ijma’
1. Saat berlangsungnya kejadian yang memerlukan adanya ijama‘.
2. Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah
3. Kesepakatan itu tercapai setelah terlebih dahulu masing-masing
mujtahid,
4. Kesepakatan itu haruslah merupakan kesepakatan yang bulat dari
seluruh mujtahid.
5. Sesudah nabi wafat

c. Rukun-rukun Ijm’
1. Yang terlibat dalaam pembahasan hukum syara’ melalui ijma
tersebut ialah seluruh mujtahid. Apabila ada di antara mujtahid yangg
tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yangg dihasilkan
itu tidak dinamakan hukum ijma’
2. Mujtahid yang terlibat dalaam pembahasan hukum itu ialah seluruh
mujtahid yangg ada pada masa tersebut darii berbagai belahan dunia
Islam.
3. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid
mengemukakan pandangannya.
4. Hukum yangg disepakati itu ialah hukum syara’ yangg bersifat
aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalaam Al-Qur’an
5. Sandaran hukum ijma’ tersebut secara haruslah Al-Qu’an dan atau
hadis Rasulullah SAW
d. Macam-macam Ijma Ditinjau dari ruang lingkup para mujtahid yang
berijma, maka terdiri dari :
a. Ijma Ummat d. Ijma’ Ahli Kuffah
b. Ijma’ shohaby e. Ijma’ khalifah
c. Ijma’ Ahli Madinah f. Ijma’ syaikhani
2. Jika dilihat dari cara terjadinya dan martabatnya, ijma terbagi
kepada dua:
a. Ijma’ sharih
b. Ijma’ sukuti
3. Ijma’ dilihat dari dalalahnya (petunjuk) juga terbagi dua macam
ialah:
a. Qath’i
b. Dzanni
1. Macam-macam Ijma Ditinjau dari ruang lingkup para mujtahid yang
berijma, maka terdiri dari :
a. Ijma Ummat d. Ijma’ Ahli Kuffah
b. Ijma’ shohaby e. Ijma’ khalifah
c. Ijma’ Ahli Madinah f. Ijma’ syaikhani
2. Jika dilihat dari cara terjadinya dan martabatnya, ijma terbagi
kepada dua:
a. Ijma’ sharih
b. Ijma’ sukuti
3. Ijma’ dilihat dari dalalahnya (petunjuk) juga terbagi dua macam
ialah:
a. Qath’i
b. Dzanni

2. a. pengertian qiyas Dilihat dari segi bahasa, kata ُ‫ ْالقِيَاس‬berasal


dari bahasa Arab, bentuk masdar dari‫ قِيَاسًا‬، ُ‫ تَقِيْس‬, ُ‫ قَاس‬artinya mengukur
dan membandingkan sesuatu dengan semisalnya.
Adapun menurut istilah syara’, adalah “Menghubungkan
suatu perkara yang tidak ada hukumnya dalam nas dengan perkara lain
yang ada nas hukumnya karena ada persamaan illat”.

b. rukun qiyas
1. Ashal, yang berarti pokok
2. Fara' yangg berarti cabang
3. Hukum ashal, yaitu hukum darii ashal yangg telah ditetapkan
berdasar nash dan hukum
4. 'Illat, yaitu suatu sifat yangg ada pada ashal dan sifat itu yangg
dicari pada fara‘
c. MACAM-MACAM QIYAS
1. Qiyas aula
2. Qiyas musaw,i
3. Qiyas dalalah
4. Qiyas syibhi

DAFTAR PUSTAKA

Shidiq Sapiudin, Ushul Fiqh, (jakarta : Prenada Media Group,2011). 62


Burhanuddin.H,  Fiqih Ibadah, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2001). 72

Syafe’I Rachmawat, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: CvPustaka Setia,2010), 86

Suwarjin,Ushul Fiqh (Yogyakarta: Teras,2012), 76

Anda mungkin juga menyukai