“Ushul Fiqh”
PONOROGO
2017
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
PEMBAHASAN
A. Ijma’
1. Pengertian Ijma’
Secara bahasa kata ijma’ berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk
ُ اِجْ َما،ُ يُجْ ِمع، اَجْ َم َع, yang memiliki banyak arti diantaranya:
masdar dari kata ع
ketetapan hati atau keputusan untuk melakukan sesuatu dan sepakat.
Secara etimologi, ijma‘ mengandung dua arti.
a. Pertama berarti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu, atau
memutuskan berbuat sesuatu (al-‘azm ‘ala al-syay’). Ijma‘ dalam
artian pengambilan keputusan ini dapat dilihat dalam firman Allah
pada surat Yunus (10): 71:
…karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-
sekutumu (untuk membinasakanku).
Ijma’ dalam arti ini juga dapat dilihat pada Hadis Nabi saw. yang
bunyinya:
Tidak ada puasa bagi orang yang tidak meniatkan puasa semenjak
malam.
b. Kedua, ijma‘ dengan arti sepakat. Dalam arti ini kata ijma‘ dapat
dilihat penggunaannya dalam Alquran pada surat Yusuf (12): 15:
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke
dasar sumur (lalu mereka
masukkan dia). (QS. Yusuf [12]: 15)
Adapun secara istilah, Ijma’ adalah “kesepakatan semua imam
mujtahid pada suatu masa setelah wafatnya Rasul terhadap hukum syara’
mengenai suatu kasus”.1
1
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (jakarta : Prenada Media Group,2011). 62
2. Syarat-syarat ijma’
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu dapat terjadi
apabila memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini:
2
H. Burhanuddin, Fiqih Ibadah, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001). 72
sebagai sumber hukum yang ketiga setelah al-qur’an dan sunnah. Ijma’ di
sebagai hujjah yang pasti, di dasarkan atas alas an-alasan sebagai berikut.
a. Al-qur’an surah an-nisa’ (4) 115:
B. Qiyas
3
.ibid., 73.
1. Pengertian Qiyas
Dilihat dari segi bahasa, kata ُ ْالقِيَاسberasal dari bahasa Arab,
bentuk masdar ً َ قِي، ُ تَقِيْس, ُ قَ\\\\\اسartinya
dariاس\\\\\ا mengukur dan
membandingkan sesuatu dengan semisalnya.
Adapun menurut istilah syara’, adalah “Menghubungkan suatu
perkara yang tidak ada hukumnya dalam nas dengan perkara lain
yang ada nas hukumnya karena ada persamaan illat”.
Para ahli ushul fiqih memberi definisi Qiyas secara istilah
bermacam-macam: Mengeluarkan hukum yang sama dari yang
disebutkan kepada yang tidak disebutkan dengan menghimpun antara
keduanya, membandingkan yang didiamkan kepada yang dinashkan
( diterangkan) karena ada illat hukum, menyatukan sesuatu yang
tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang
disebutkan hukumnya oleh nash dikarenakan kesatuan illat hukum
antara keduanya.4
2. Rukun Qiyas
4
Rachmawat Syafe’I,Ilmu Ushul Fiqh (Bandung:Pustaka Setia,2010), 86
d. 'Illat, yaitu suatu sifat yangg ada pada ashal dan sifat itu yangg
dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka
persamaan sifat itu menjadi dasar untukk menetapkan hukum
fara' sama dengaan hukum ashal.5
3. Macam-Macam Qiyas
a. Qiyas aulawi
c. Qiyas dalalah
5
.ibid 87.
d. Qiyas syibhi
4. Kehujjahan Qiyas
Kehujjahan Qiyas dapat ditunjukan dengan beberapa alasan :
Al-quran Jumhur ulama ushul, memandang Qiyas dapat jadi
hujjah atas alasan ayat di atas. I'tibar dalam ayat di atas berasal dari
kata ubur, artinya, melewati atau melampaui. Maka Qiyas itu
melewati atau menyembrangkan hukum asal ( pokok ) kepada hukum
cabang. Jadi Qiyas termasuk ke dalam makna ayat di atas. - Ibnu
Taimiyah berdalil dengan ayat di atas tentang Qiyas jahi hujjah,
dengan alasan, kata al-'Adlu, searti dengan kata al-taswiyah,
maknanya seimbang atau sama. Maka qiyas adalah menyamakan
hukum diantara dua masalah. Dengan demikian Qiyas termasuk pada
makna ayat di atas. Ayat di atas menyuruh mengembalikan urusan
kepada Allah dan Rasulnya, baik urusan yang ada nashnya dan yang
tidak ada nashnya. Maka Qiyas adalah mengembalikan urusan yang
tidak ada Nashnya kepada yang ada nashnya dari Alquran dan al-
Sunnah.
1. Al-Sunnah
Hadits Nabi di atas menunjukan bahwa Rasulullah
menyetujui apa yang akan diputuskan Muadz bin Jabal
dengan Ijtihad setelah tidak ada pada Alquran dan al-
Sunnah. Maka dalil di atas memberi isyarat akan bolehnya
Qiyas, karena Qiyas itu termasuk Ijtihad. Dalam peristiwa
yang tidak ditunjukan oleh wahyu sering Rasulullah
menetapkan hukumnya dengan jalan Qiyas, misalnya, saat
Rasulullah menjawab pertanyaan Umar r.a. tentang
mencium istri saat shaum, Rasulullah mengqiyaskannya
kepada berkumur-kumur waktu shaum, karena sama
illatnya yaitu perbuatan permulaan, maka hukumnya sama
tidak merusak shaum.
3. Perkataan dan perbuatan shahabat.
a. Perkataan Umar bin Khatab kepada Abu Musa al-
Asy'ari : Gunakan pemahaman yang mendalam
dalam masalah yang menggagapkan hatimu, yang
tidak terdapat dalam Alquran dan Al-Sunnah. Cari
kemiripannya dan keserupaannnya dan kemudian
Qiyaskan perkara-perkara itu sewaktu
menemukannya.
b.Dalam peristiwa pembai'atan Abu Bakar r.a.
untuk menjadi khalifah, diqiyaskan kepada Nabi
Muhamad saw. yang menyuruh Abu Bakar
mengimami shalat, sebagai ganti pada waktu Beliau
sakit.6
6
Suwarjin,Ushul Fiqh(Yogyakarta:Teras,2012), 76
2. Al-Sunnah
Hadits Nabi di atas menunjukan bahwa Rasulullah
menyetujui apa yang akan diputuskan Muadz bin Jabal
dengan Ijtihad setelah tidak ada pada Alquran dan al-
Sunnah. Maka dalil di atas memberi isyarat akan bolehnya
Qiyas, karena Qiyas itu termasuk Ijtihad. Dalam peristiwa
yang tidak ditunjukan oleh wahyu sering Rasulullah
menetapkan hukumnya dengan jalan Qiyas, misalnya, saat
Rasulullah menjawab pertanyaan Umar r.a. tentang
mencium istri saat shaum, Rasulullah mengqiyaskannya
kepada berkumur-kumur waktu shaum, karena sama
illatnya yaitu perbuatan permulaan, maka hukumnya sama
tidak merusak shaum.
3. Perkataan dan perbuatan shahabat.
a. Perkataan Umar bin Khatab kepada Abu Musa al-
Asy'ari : Gunakan pemahaman yang mendalam
dalam masalah yang menggagapkan hatimu, yang
tidak terdapat dalam Alquran dan Al-Sunnah. Cari
kemiripannya dan keserupaannnya dan kemudian
Qiyaskan perkara-perkara itu sewaktu
menemukannya.
b.Dalam peristiwa pembai'atan Abu Bakar r.a.
untuk menjadi khalifah, diqiyaskan kepada Nabi
Muhamad saw. yang menyuruh Abu Bakar
mengimami shalat, sebagai ganti pada waktu Beliau
sakit.7
BAB III
7
Suwarjin,Ushul Fiqh(Yogyakarta:Teras,2012), 76
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. a). Pengertian Ijma’
Secara bahasa kata ijma’ berasal dari bahasa Arab, yaitu
ُ ِاجْ َما،ُ يُجْ ِمع، اَجْ َم َع, yang memiliki banyak
bentuk masdar dari kata ع
arti diantaranya: ketetapan hati atau keputusan untuk melakukan
sesuatu dan sepakat.
b. Syarat-syarat ijma’
1. Saat berlangsungnya kejadian yang memerlukan adanya ijama‘.
2. Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah
3. Kesepakatan itu tercapai setelah terlebih dahulu masing-masing
mujtahid,
4. Kesepakatan itu haruslah merupakan kesepakatan yang bulat dari
seluruh mujtahid.
5. Sesudah nabi wafat
c. Rukun-rukun Ijm’
1. Yang terlibat dalaam pembahasan hukum syara’ melalui ijma
tersebut ialah seluruh mujtahid. Apabila ada di antara mujtahid yangg
tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yangg dihasilkan
itu tidak dinamakan hukum ijma’
2. Mujtahid yang terlibat dalaam pembahasan hukum itu ialah seluruh
mujtahid yangg ada pada masa tersebut darii berbagai belahan dunia
Islam.
3. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid
mengemukakan pandangannya.
4. Hukum yangg disepakati itu ialah hukum syara’ yangg bersifat
aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalaam Al-Qur’an
5. Sandaran hukum ijma’ tersebut secara haruslah Al-Qu’an dan atau
hadis Rasulullah SAW
d. Macam-macam Ijma Ditinjau dari ruang lingkup para mujtahid yang
berijma, maka terdiri dari :
a. Ijma Ummat d. Ijma’ Ahli Kuffah
b. Ijma’ shohaby e. Ijma’ khalifah
c. Ijma’ Ahli Madinah f. Ijma’ syaikhani
2. Jika dilihat dari cara terjadinya dan martabatnya, ijma terbagi
kepada dua:
a. Ijma’ sharih
b. Ijma’ sukuti
3. Ijma’ dilihat dari dalalahnya (petunjuk) juga terbagi dua macam
ialah:
a. Qath’i
b. Dzanni
1. Macam-macam Ijma Ditinjau dari ruang lingkup para mujtahid yang
berijma, maka terdiri dari :
a. Ijma Ummat d. Ijma’ Ahli Kuffah
b. Ijma’ shohaby e. Ijma’ khalifah
c. Ijma’ Ahli Madinah f. Ijma’ syaikhani
2. Jika dilihat dari cara terjadinya dan martabatnya, ijma terbagi
kepada dua:
a. Ijma’ sharih
b. Ijma’ sukuti
3. Ijma’ dilihat dari dalalahnya (petunjuk) juga terbagi dua macam
ialah:
a. Qath’i
b. Dzanni
b. rukun qiyas
1. Ashal, yang berarti pokok
2. Fara' yangg berarti cabang
3. Hukum ashal, yaitu hukum darii ashal yangg telah ditetapkan
berdasar nash dan hukum
4. 'Illat, yaitu suatu sifat yangg ada pada ashal dan sifat itu yangg
dicari pada fara‘
c. MACAM-MACAM QIYAS
1. Qiyas aula
2. Qiyas musaw,i
3. Qiyas dalalah
4. Qiyas syibhi
DAFTAR PUSTAKA