Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“Ijma’ Dan Qiyas”


Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
USHUL FIQIH

Dosen Pengempu : Dr. H.KHALIRURAHMAN


Disusun oleh : Asifah Kamaliah
Nim : 232300012

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)

STAI AL-AQIDAH AL-HASYIMIYYAH JAKARTA

TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang Teknik Presentasi
ini. Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih banyak kekurangannya, oleh karena
itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga makalah ini berguna bagi
penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya serta dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu.

Jakarta, 02 November 2023

penulis

I
DAFTAR I

KATA PENGANTAR............................................................................. i

DAFTAR ISI........................................................................................... ii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................. 1

B. Rumusan Masalah………............................................................ 1

C. Tujuan Penulisan.......................................................................... 1

BAB II : PEMBAHASAN

A. Ijma’...........................................................................…………..2

B. Syarat-syarat Ijma......................................................................2

C. Landasan (Sanad) Ijma’............................................................ 3

D.Macam-macam Ijma’ ................................................................... 4

E. Dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan Ijma........................ 4

F. Kemungkinan terjadi Ijma’................................................,,...... 5

G. Pengertian Qiyas…………………………………………...……7

H. Syarat Syarat Qiyas……………………………………...……...9

I. Dalil Kehujjahan Qiyas…………………………………………10

J.Macam Macam Qiyas……………………………………………11

I. Contoh Ijma’ Dan Qiyas………………………………………13

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA..................................................................... 16

II
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam sebagai agama yang sempurna memiliki hukum yang datang dari Yang Maha
Sempurna, kemudian tersampaikan melalui Nabi Muhammad SAW, dengan Al-Quran sebagai
pedomannya. Kemudian sumber hukum agama islam selanjutnya adalah Sunnah atau yang kita
kenal dengan Hadits. Al Quran dan Hadits merupakan dua hal yang menjadi pedoman utama bagi
umat Islam dalam menjalankan hidup demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Namun, seiring dengan berkembangnya zaman ada saja hal-hal yang tidak terdapat solusinya
dalam Al Quran dan Hadits. Oleh karena itu ada sumber hukum agama islam lain,
diantaranya adalah Ijma’ dan Qiyas. Namun, Ijma’ dan Qiyas tetap merujuk pada Al Qur’an dan
Hadits, karena Ijma’ dan Qiyas merupakan penjelasan dari keduanya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Ijma’ sebagai sumber hukum Islam?
2. Bagaimana Qiyas sebagai sumber hukum Islam?
3. Apa saja macam-macam Ijma’?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui macam-macam ijma’ dan kehujjahan Ijma’ sebagai sumber
hukum;
2. Untuk mengetahui kehujjahan Qiyas sebagai sumber hukum.
3. Mengetahui Contoh Dari Ijma’ Dan Qiyas

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. IJMA’
1. Pengertian Ijma’
Definisi ijma’ menurut bahasa terbagi menjadi dua arti:
1) Bermaksud atau berniat.
2) Kesepakatan terhadap sesuatu. Suatu kaum dikatakan telah ber-ijma’ bila mereka
bersepakat terhadap sesuatu.
Adapun perbedaan antara kedua arti di atas yang pertama bisa dilakukan oleh satu orang atau
banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak
mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya sendiri.
Sedangkan ijma’ menurut, istilah para ulama ushul berbeda pendapat dalam
mendefinisikan ijma’ di antaranya:
1) Pengarang kitab Fushulul Bada’i berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan
semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW dalam suatu masa setelah beliau
wafat terhadap hukum syara’.
2) Pengarang kitab tahrir, Al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’ adalah
kesepakatan mutjahid suatu masa dai ijma’ Muhammad SAW terhadap masalah
syara’. (Al-Ghifari)
3) Menurut Abdul Karim Zaidan adalah kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat
islam tentang hukum syara’ pada suatu masa setelah Rasulullah wafat. 1

2. Syarat-syarat Ijma’
1) Yang bersepakat adalah para mujtahid
Secara umum mujtahid itu diartikan sebagai para ulama yang mempunyai
kemampuan dalam meng-istinbath hukum dari dalil-dalil syara’.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam atau mereka yang belum mencapai
derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’, begitu pula penolakan mereka. Karena mereka
tidak ahli dalam menelaah hukum-hukum syara’.

1
https://deepublishstore.com/blog/materi/ijma-dan-qiyas/diakses pada 02 november 2023, 08:15WIB

2
2) Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak, meskipun sedikit,
maka menurut jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan ijma’, karena ijma’ itu harus
mencakup keseluruhan mujtahid.
Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila dilakukan oleh sebagian
besar mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan ijma’, termasuk pula kesepakatan
sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqh, sebagian besar itu telah
mencakup hukum keseluruhan.
3) Para Mujtahid Harus Umat Muhammad SAW
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW
tidak bisa dikatakan ijma’. Hal itu menunjukkan adanya umat para Nabi lain yang
ber-ijma’. Adapun ijma’ umat Nabi Muhammad SAW tersebut telah dijamin bahwa
mereka tidak mungkin ber-ijma’ untuk melakukan kesalahan.
4) Dilakukan setelah wafatnya Nabi
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa
menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap
sebagai syari’at.
Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at. Maksudnya,
kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syari’at, seperti
tentang wajib, sunah, makruh, haram, dan lain-lain. 2

3. Landasan (Sanad) Ijma’


Ijma’ baru dapat diakui sebagai dalil atau landasan hukum bilamana dalam
pembentukannya mempunyai landasan syara’ yang disebut sanad (landasan) ijma’.
Para ulama Fiqh sepakat atas ke-absahan Al-Quran dan Sunnah sebagai
landasan ijma’. 3

2
https://www.seputarpengetahuan.co.id/2020/10/qiyas.html/diakses pada 02 november 2023, 09:35WIB
3
https://artikellepas18.blogspot.com/2018/01/makalah-ushul-fiqh-ijma.html/diakses pada 02 november
2023, 10:34WIB

3
4. Macam-macam Ijma’
Macam-macam ijma’ bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu:
1) Ijma’ Sharih (bersih atau murni)
Yaitu kesepakatan mujtahid terhadap hukum mengenai suatu peristiwa. Masing-
masing bebas mengeluarkan pendapat. Jelas terlihat dalam fatwa, dan dalam memutus
suatu perkara. Tiap-tiap mujtahid itu merupakan sumber hukum, jelas terlihat dari
pendapat mereka. Semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing,
kemudian menyepakati salah satunya.
2) Ijma’ Sukuti
Adalah ijma’ dimana para ulama mujtahid berdiam diri tidak mengeluarkan
pendapatnya atas mujtahid lain, dan diamnya itu sebagai pertanda persetujuan atas
pendapat mujtahid lain, bukan karena takut atau malu. Pengertian itu menurut Hanafiyah
dan Hanabilah,dan mereka mengatakan bahwa ijma’ sukuti sah dijadikan sumber hukum.
Karena apabila mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas
menentangnya. Manakala mereka tidak menentangnya secara tegas, hal itu menandakan
bahwa mereka menyetujuinya. Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan kalangan
Malikiyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum. Alasannya,
diamnya sebagian para mujtahid belum tentu menandakan setuju, karena bisa jadi
disebabkan takut kepada penguasa, atau boleh jadi juga disebabkan merasa sungkan
menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat itu karena dianggap senior. Jadi ijma’
sukuti adalah bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan pendapatnya, sedangkan
ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar. 4

5. Dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan Ijma’


1) Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi:
‫ﻣﺎرأه اﻟﻤﺴﻠﻤﻮن ﺣﺴﻨﺎ ﻓﮭﻮ ﻋﻨﺪ ﷲ ﺣﺴﻦ‬
Artinya:“Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan
Allah juga baik.”
2) Sabda Rasulullah Saw

https://muslim.or.id/19712-mengenal-ijma-sebagai-dasar-hukum-agama.html/diakses pada 02 november


4

2023, 10:45WIB

4
‫ﻻ ﺗﺠﻤﻊ اﻣﺘﻰ ﻋﻠﻰ ﺿﻼﻟﺔ‬
Artinya:“UmatKu tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat.”
3) Demikian juga sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dari
sahabat Umar bin Khatab R.A :
‫اﻻ ﻓﻤﻦ ﺳﺮه ﺑﺤﺠﺔ اﻟﺠﻨﺔ ﻓﻠﯿﻠﺰم اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﻓﺈن اﻟﺸﯿﻄﺎن ﻣﻊ اﻟﻔﺬ وھﻮ ﻣﻦ اﻻﺛﻨﯿﻦ اﺑﻌﺪ‬
Artinya:“Ingatlah barang siapa yang ingin menempati surga, maka bergabunglah
(ikutilah) jammah. Karena syaithan bersama orang-orang yang menyendiri. Ia akan lebih
jauh dari 2 orang dari pada orang yang menyendiri.”
Firman Allah Swt :
‫وﻣﻦ ﯾﺸﺎﻗﻒ اﻟﺮﺳﻮل ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﻣﺎ ﺗﺒﯿﻦ اﻟﮭﺪى وﯾﺘﺒﻊ ﻏﯿﺮ ﺳﺒﯿﻞ اﻟﻤﺆﻣﻨﯿﻦ ﻧﻮﻟﮫ ﻣﺎ ﺗﻮﻟﻰ وﻧﺼﻠﮫ‬
‫ﺟﮭﻨﻢ وﺳﺄت ﻣﺼﯿﺮا ) اﻟﻨﺴﺎء‬
Artinya:“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenarannya
baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia
berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia k edalam
neraka jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
Nash di atas menjelaskan bahwa yang bukan jalannya orang mukmin adalah harom.
Karena berarti dia telah menentang Allah dan Rasul-Nya dengan ancaman neraka jahanam.
Dengan demikian mengikuti jalan orang mukmin adalah wajib. Jika jamaah orang mukmin
mengatakan “ini halal” jika ada orang yang menyatakan hal tersebut sebagai suatu yang
“haram” maka dia tidak mengikuti jalan orang mukmin.
Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwasannya mengikuti pendapat orang-orang
mukmin berati suatu hal yang di tetapkan berdasarkan Ijma’. Dengan demikian Ijma’ dapat
di jadikan hujjah yang harus di pergunakan untuk menggali hukum syara’ (istinbath)
dari nash-nash syara’.

6. Kemungkinan terjadi Ijma’


Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan terjadinya ijma’ dan nilai
argumentasinya. Mengapa? Karena terjadinya perbedaan pendapat dalam
mengartikan ijma’. Diantaranya berpendapat bahwa: Ijma’ adalah kesepakatan
para Mujtahid pada setiap masa terhadap hukum syara’ jika demikian maka ijma’ tersebut
tidak mungkin terjadi.

5
Tetapi jika yang di maksud ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid terhadap hukum-
hukum syara’ tetap di tetapkan berdasarkan dalil nash yang qoth’i.
Seperti Kesepakatan mereka tentang wajibnya mereka shalat menghadapi qiblat,
kewajiban puasa, zakat, ibadah haji dan lain-lain. Maka hal tersebut mungkin terjadi. Dalam
hal ini yang menjadi argumentasi (hujjah) bukan ijma’, melainkan dalil-dalil nash qoth’i.
Dengan demikian ijma’ tidak memiliki peran apa-apa karena ijma’ bisa di katakan berfungsi
jika ia mampu meningkatkan hukum yang bersifat dhonny menuju Qoth’i. Hukum-hukum
seperti di sebutkan di atas seperti wajibnya shalat, puasa dan sebagainya pada dasarnya
sudah bersifat qoth’i. Kemudian siapakah orang-orang yang ijma’nya bisa di terima? Dan
bagaimana kriteria mujtahid yang ijma’nya dapat diterima? Untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan ini beliau imam Syafi’i membuka dialog dalam kitab Jima’ul Ilmu : “Siapakah
di antara ulama ijma’nya dapat di jadikan hujjah ialah orang-orang yang di akui (di angkat)
oleh penduduk suatu negara sebagai ahli fiqih yang fatwa-fatwanya dapat di terima oleh
penduduk tersebut dengan senang hati. Akan tetapi jawaban tersebut di angkat oleh imam
Syafi’i, karena tidak ada ulama’ yang memiliki sifat-sifat diatas walaupun ada ahli fiqh yang
di akui sebagian penduduk dalam suatu negara namun di anggap orang bodoh yang tidak
berhak memberikan fatwa oleh sebagian penduduk lain. Apalagi ulama’ yang fatwanya
di terima secara bulat oleh seluruh penduduk antar negara.
Dengan adanya pernyataan-pernyataan di atas beliau Imam Syafi’i cenderung
menolak ijma’ dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1) Para Fuqoha berdomisili di berbagai tempat yang saling berjauhan, sehingga
mereka tidak mungkin dapat bertemu.
2) Terjadinya perbedaan pendapat diantara para fuqoha yang tersebar di berbagai
daerah di seluruh negara-negara islam.
Tidak ada kesepakatan ulama tentang orang-orang yang di terima ijma’nya.
Dengan demikian ijma’ yang dapat di jadikan argumentasi (Hujjah)
hanyalah ijma’ para sahabat. Karena pada masa itu mereka masih berdomisili dalam
suatu jazirah dan belum berpencar di berbagai negara sehingga memungkinkan
terjadinya ijma’. Akan tetapi pada masa tabi’in berhubung sudah berpencar di berbagai
negara hingga sulit mengadakan pertemuan di antara mereka. Maka benarlah
sesungguhnya jika ulama mengatakan bahwa tidak ada ijma’ yang di sepakati dan

6
di terima oleh semua ulama, kecuali ijma’nya para sahabat. Dan dapat di simpulkan
bahwa masa sekarang ini tidak mungkin terjadinya ijma’. 5

B. QIYAS
1. Pengertian Qiyas
Qiyas secara bahasa adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan
suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun
memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya, dan berbagai aspek dengan perkara
terdahulu sehingga di hukumi sama.
Dalam Islam, Ijma’ dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang
ternyata belum di tetapkan pada masa-masa sebelumnya.
Qiyas secara istilah adalah
Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan
sesuatu yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum. Karena
dengan qiyas ini berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum kepada
sumbernya al-quran dan hadits. Sebab dalam hukum islam kadang tersurat jelas dalam al-
quran dan hadits, tapi kadang juga bersifat implicit-analogik (tersirat) yang terkandung
dalam nash. Beliau Imam Syafi’i mengatakan “Setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum
dan umat Islam wajib melaksanakannya.” Namun jika tidak ada ketentuan hukum yang pasti,
maka haruslah di cari dengan cara ijtihad. Ijtihad itu adalah qiyas.
Proses peng-qiyasan di lakukan dengan cara meng-analogikan sesuatu yang serupa
karena prinsip persamaan‘illat akan melahirkan hukum yang sama. Asas qiyas adalah
menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifatnya.
Apabila pendekatan tersebut menemukan titik persamaan maka konsekuensi hukumnya
harus sama pula dengan hukum yang ditetapkan. A1-Qur’an menjelaskan perbedaan hukum
karena tidak adanya persamaan sifat dan perbuatan yaitu firman Allah :
‫اﻓﻠﻢ ﯾﺴﯿﺮوا ﻓﻰ اﻻرض ﻓﯿﻨﻈﺮوا ﻟﯿﻒ ﻛﺎن ﻋﺎﻗﺒﺔ اﻟﺬﯾﻦ ﻣﻦ ﻗﺒﻠﮭﻢ دﻣﺮ ﷲ ﻋﻠﯿﮭﻢ وﻟﻠﻜﺎﻓﺮﯾﻦ اﻣﺜﺎﻟﮭﻢ‬
Artinya:”Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi ini
sehingga mereka dapat melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka. Allah

5
https://www.dream.co.id/dinar/pengertian-sumber-hukum-islam-ijma-dan-dalil-dalil-yang-mendasarinya-
dalam-al-quran-hadis-211221s.html/diakses pada 02 november 2023, 11:08WIB

7
telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima akibat-
akibat seperti itu.”
Yang kedua adalah analogi beda sifat, beda hukum.
‫ام ﺣﺴﺐ اﻟﺬﯾﻦ اﺣﺘﺮﺟﻮا اﻟﺴﯿﺄت ان ﺗﺠﻌﻠﮭﻢ ﻛﺎ اﻟﺬﯾﻦ أﻣﻨﻮا وﻋﻤﻠﻮا اﻟﺼﺎﻟﺤﺎت ﺳﻮاء ﻣﺤﯿﺎھﻢ وﻣﻤﺎ‬
(۲۱: ‫ﺗﮭﻢ ﺳﺄ ﻣﺎ ﯾﺤﻜﻤﻮن )اﻟﺠﺎﺛﯿﺔ‬
Artinya:”Apakah orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan
menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh, yaitu
sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.”
Firman Allah yang berbunyi.
:‫ام ﻧﺠﻌﻞ اﻟﺬﯾﻦ اﻣﻨﻮا وﻋﻤﻠﻮا اﻟﺼﺎﻟﺤﺎت ﻛﺎ اﻟﻤﻔﺴﺪﯾﻦ ﻓﻰ اﻻرض ام ﻧﺠﻌﻞ اﻟﻤﺘﻘﯿﻦ ﻛﺎ اﻟﻔﺠﺎر )اﻟﺼﺎد‬
( ۲۸
Artinya:”Patutkah kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal sho!eh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah
kami menganggap orang-orang yang bertaqwa sama dengan orang-orang yang berbuat
maksiat?”
Dengan ketiga dalil Al-Qur’an tersebut di atas sangat sesuai dengan prinsip berfikir
rasional yaitu menyamakan sesuatu karena adanya persamaan dan membedakan sesuatu
karena adanya faktor perbedaan.
Menurut pendapat Imam Al-Muzani seorang sahabat Imam Syafi’i menyimpulkan
pandangan beliau tentang qiyas yaitu : Para ahli hukum dan masa Rasulullah hingga
sekarang selalu mempergunakannya dalam setiap masalah agama. Sesuatu yang setara
dengan hak adalah hak dan yang dengan setara bathil ya bathil pula. Ibnu Qoyyim
sependapat dengan hal tersebut.
Karena qiyas merupakan aktivitas akal, maka ada ulama yang berbeda pendapat
dengan jumhur ulama tentang tentang di gunakan atau tidaknya qiyas. Dalam hal ini
terdapat tiga kelompok besar yaitu:
1) Kelompok Jumhur menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang
tidak jelas nashnya baik dalam Al-Quran/Al-hadist pendapat
sahahabat (ijma’) ulama tapi hal tersebut di lakukan dengan tidak berlebihan dan
melampaui batas.

8
2) Madzab Dhohiriyah dan Syiah Imamiyah Sama sekali tidak memakai qiyas,
hanya terpaku pada teks.
3) Akhor/kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas. Terkadang dalam
kondisi atau masalah tertentu kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pen-
taskhih dan ke-umuman Al-Qur’an dan Al Hadist. 6

2. Syarat-Syarat Qiyas

Berikut ini adalah beberapa syarat-syarat qiyas yaitu:

a. Maqis alaihi (tempat menqiyaskan sesuatu kepadanya). Syarat-syaratnya


b. harus ada dalil atau petunjuk yang membolehkan mengqiyaskan sesuatu kepadanya, baik
secara nau’I atau syakhsi (lingkungan yang sempit atau terbatas).
c. harus ada kesepakatn ulama tentang adanya illat pada ashal maqis alaih itu.
d. Maqis (sesuatu yang akan dipersamakan hukumnya dengan ashal)
e. illat yang terdapat pada furu memiliki kesamaan dengan illat yang terdapat pada ashal.
f. harus ada kesamaan antara furu itu dengan ashal dalam hal ilat maupun hukuum baik yang
menyangkut ain atau jenis dalam arti sama dalam ain illat atau sejenis illat dan sama dalam
ain hokum atau jenis hukum.
g. Ketetapan pada hukum tidak menyalahi dalil qat’i.
h. Tidak terdapat penentang hukum lain yang lebih kuat terhadap hukum pada furu dan
hukum dalam penentang itu berlawan dengan illat qiyas itu.
i. Furu itu tidak pernah diatur hukumnya dalam nash tertentu.
j. Furu itu tidak mendahului ashal dalam keberadaannya.
k. Hukum Ashal adalah hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis alaihi yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan diberlakukan pada furu. Adapu
yang menjadi syarat-syaratnya
l. Hukum ashal itu adalah hukum syara, karena tujuan qias syari adalah untuk mengetahui
hukum syara pada furu.
m. Hukum ashal itu ditetapkan dengan nash bukan dengan qiyas.
n. Hukum ashal itu adalah hukum yang tetap berlaku, bukan hukum yang telah di nasakh.

6
https://muamala.net/definisi-qiyas-dalil-dan-jenisnya/diakses pada 02 november 2023, 01:01WIB

9
o. Hukum ashal itu tidak menyimpang dari ketentuan qiyas.
p. Hukumashal itu harus disepakati oleh ulama.
q. Dalil yang menetapkan hukum ashal secara langsung tidak menjangkau kepada furu.
r. Illat adalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum.

3. Dalil Kehujjahan Qiyas


Tidak di ragukan lagi bahwa aliran jumhur adalah aliran yang tepat dan paling kuat.
Mengapa? Dikarenakan argumentasinya berdasarkan atas prinsip berpikir logis
di samping tetap berpegang pada Al-qur’an dan petunjuk Rasulullah. Dalil Al-qur’annya
adalah sebagai berikut:
‫ﯾﺎاﯾﮭﺎ اﻟﺬﯾﻦ اﻣﻨﻮا اطﯿﻌﻮا ﷲ واطﯿﻌﻮا اﻟﺮﺳﻮل واول اﻻﻣﺮ ﻣﻨﻜﻢ ﻓﺈن ﺗﻨﺎزﻋﺘﻢ ﻓﻰ ﺳﻲء ﻓﺮدواه اﻟﻰ ﷲ واﻟﺮﺳﻮل ان ﻛﻨﺘﻢ‬
‫ﺗﺆﻣﻨﻮن ﺑﺎ� واﻟﯿﻮم اﻻﺧﺮ‬
.(59 : ‫)اﻟﻨﺴﺎء‬
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulil
Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Qur ‘an) dan rasul (sunnah) jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Ayat tersebut menjadi dasar hukum qiyas. Karena di dalamnya terdapat ungkapan
“kembali kepada Allah dan Rasulnya” tidak lain dan tidak bukan adalah perintah supaya
menyelidiki tanda-tanda bahwa apa sesungguhnya yang di kehendaki Allah dan Rasul-Nya.
Hal ini dilakukan dengan jalan mencari illat hukum yang di namakan qiyas.
Kemudian dalil Al-qur’annya sebagai berikut:
۱۱۱: ‫ﻟﻘﺪ ﻛﺎن ﻓﻰ ﻗﺼﺼﮭﻢ ﻋﺒﺮة )ﯾﻮﺳﻒ‬
“Sesungguhnya dalam kisah mereka terdapat pelajaran....”
Di dalam lafadz ‘itibar di atas di tafsirkan dengan makna Al-itt’azh (mengambil
pelajaran). Hal itu tidak lain adalah penetapan terhadap firman Allah dan ciptaan-Nya yaitu
bahwa sesuatu yang berlaku bagi contoh, maka ia berlaku pula pada yang menjadi
contohnya.
Analoginya yaitu apabila seorang pegawai di jatuhi hukuman karena menerima suap,
lalu sang kepala berkata kepada teman-teman sekantor “Sesungguhnya ini adalah suatu

10
pelajaran bagi kamu, maka ambilah sebagai pelajaran.” Maka dapat di pahami dari kata-
kata Sang Kepala tersebut kamu akan sepertinya, jika kamu melakukan hal yang sama, kamu
akan di hukum sebagaimana hukuman yang menimpanya, dan juga sebuah hadist Rasulullah
SAW:
: ‫ ﻗﺎل‬,‫ ﻗﺎل ﻟﮫ ﻟﯿﻒ ﺗﻘﻀﻰ اذا ﻋﺮض ﻟﮫ ﻗﻀﺎء‬.‫م ﻟﻤﺎ اراد ان ﯾﺒﻌﺜﮫ اﻟﻰ اﻟﯿﻤﻦ‬.‫ان رﺳﻮل ﷲ ص‬
‫ اﻟﺤﻤﺪ � اﻟﺬى وﻓﻖ رﺳﻮل‬: ‫م ﻋﻠﻰ ﺻﺪره ﻗﺎل‬.‫اﻗﻀﻰ ﺑﻜﺘﺎب ﷲ ﻓﺈن ﻟﻢ أﺟﺪ ﻓﺒﺴﻨﺔ رﺳﻮل ﷲ ص‬
‫م‬.‫ﷲ ﻟﻤﺎ ﯾﺮﺿﻰ رﺳﻮل ﷲ ص‬
Artinya:“Bahwasannya Rasulullah Saw, ketika hendak mengutus Muadz menuju
negeri Yaman, berkata kepadanya : Bagaimanakah kau memberi putusan? Muadz
menjawab : “Saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah. Jika saya tidak
menemukannya, saya memutuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah Saw, kemudian jika
saya tidak menemukannya, maka saya akan ber-ijtihad dan saya tidak akan sembrono.
Lantas Rasulullah Saw menepuk-nepuk dadanya dan berkata:“Segala puji adalah bagi
Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah kepada apa yang di ridhoi oleh
Rasulullah Saw”.
Dari hadist di atas Rasulullah Saw mengakui Muadz untuk ber-ijtihad, bila dia tidak
menemukan nash yang dia gunakan untuk memberi putusan baik Al-Qur’an ataupun As-
Sunnah. Sedang ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk sampai kepada
hukum. Dan Ijtihad juga meliputi qiyas.
Dengan adanya dalil kehujjahan qiyas di atas, dapat kita simpulkan bahwasannya
pada saat sekarang pun qiyas masih terjadi.

4. Macam-macam Qiyas
Berikut ini ada beberapa macam-macam qiyas yang perlu anda pahami, yaitu:
1. Qiyas Illat
Jenis qiyas yang pertama adalah qiyas illat, yakni jenis qiyas yang sudah jelas illat
dari kedua persoalan yang dibandingkan atau diukur. Sehingga baik masalah pokok
maupun cabang sudah jelas illatnya, sehingga para ulama secara mutlak akan sepakat
mengenai hukum dari sesuatu yang sedang dibandingkan dan diukur tadi. Misalnya
saja hukum mengenai minuman anggur, buah anggur memang halal namun ketika
dibuat menjadi minuman maka akan mengandung alkohol. Alkohol memberi efek
11
memabukan sehingga hukum meminumnya sama dengan minuman jenis lain yang
beralkohol, yakni haram atau tidak boleh diminum. Qiyas Illah kemudian terbagi lagi
menjadi beberapa jenis, misalnya:
a. Qiyas Jali Jenis qiyas selanjutnya adalah qiyas jali, yakni jenis qiyas yang illat
suatu persoalan bisa ditemukan nashnya dan bisa ditarik kesimpulan nashnya
namun bisa juga sebaliknya. Misalnya adalah pada persoalan larangan untuk
menyakiti kedua orang tua dengan perkataan kasar. Hukumnya tidak
diperbolehkan sebagaimana hukum haram (tidak diperbolehkan) untuk
menyakiti fisik kedua orang tua tadi (memukul atau menyakiti secara fisik).
Sehingga setiap anak diharuskan untuk menjaga lisan maupun perbuatan di
hadapan orang tua agar tiada menyakiti hati mereka.
b. Qiyas Khafi Jenis qiyas yang selanjutnya adalah qiyas khafi, yaitu jenis qiyas
yang illat suatu persoalan diambil dari illat masalah pokok. Jadi, jika hukum
asal atau persoalan utamanya adalah haram maka persoalan yang menjadi
cabang pokok tersebut juga haram, demikian jika sebaliknya. Salah satu
contoh jenis qiyas satu ini adalah hukum membunuh manusia baik dengan
benda yang ringan maupun berat. Dimana hukum keduanya adalah haram
atau dilarang, sebab membunuh adalah kehataan sekaligus dosa karena
mendahului kehendak Allah SWT dalam menentukan umur makhluk hidup di
dunia.
2. Qiyas Dalalah
Jenis qiyas yang selanjutnya adalah qiyas dalalah, yaitu jenis qiyas yang
menunjukkan kepada hukum berdasarkan dalil illat. Bisa juga diartikan sebagai qiyas
yang diterapkan dengan cara mempertemukan pokok dengan cabang berdasarkan dalil
illat tadi. Contoh dari qiyas jenis ini adalah ketika mengqiyaskan nabeez dengan arak,
dimana dasarnya adalah sama-sama mengeluarkan bau yang terdapat pada minuman
memabukan.
3. Qiyas Shabah
Jenis qiyas yang berikutnya adalah qiyas shabah, yakni qiyas yang mempertemukan
antara cabang dengan pokok persoalan hanya untuk penyerupaan. Contohnya sendiri
bisa diambil dari yang disampaikan oleh Abu Hanifah mengenai mengusap atau

12
menyapu kepala anak berulang-ulang. Tindakan tersebut kemudian dibandingkan
dengan menyapu lantai memakai sapu. Sehingga didapat kesamaan yaitu sapu. Hanya
saja untuk qiyas shabah sendiri oleh beberapa muhaqqiqin mendapat penolakan.
Sehingga menjadi jenis qiyas yang terbilang jarang diterapkan. 7

C. Contoh Ijma’ Dan Qiyas


1. Contoh Ijma’
a. Ijma’ sahabat tentang pemerintahan. Wajib hukumnya mengangkat seorang imam atau
khalifah untuk menggantikan Rasulullah dalam mengurusi urusan Daulah Islamiah
yang menyangkut urusan agama dan dunia yang disepakati oleh para Sahabat pada saat
di Saqifah Bani Sai’idah.
b. Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang dipelopori oleh
sahabat Utsman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat lainnya
tidak ada yang memprotes ataupun menolak ijma’ yang dilakukan sahabat Utsman
tersebut dan diamnya para sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas
prakarsa tersebut. Contoh tersebut merupakan ijma’ sukuti.
c. Upaya pembukuan Kitab Suci Al-Qur’an yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar
as Shiddiq r.a
d. Shalat tarawih merupakan shalat dilakukan sesudah sholat isya’ sampai waktu fajar.
Bilangan rakaatnya yang pernah dilakukan oleh Rasulullah yaitu 8 rakaat. Sahabat
Umar bin Khattab mengerjakannya sampai 20 rakaat. Amalan Umar bi Khattab ini
disepakati oleh ijma’. Ijma’ ini tergolong ijma’ fi’ly dari Khulafa’ Rosyidin.
e. Para imam madzhab menyepakati atas keharaman Ghasab (merampas hak orang lain).
f. Para imam madzhab menyepakati bahwa antara kerbau dan sapi adalah sama dalam
perhitungan zakatnya.
g. Jual beli madhamin (jual beli hewan yang masih dalam perut) menurut jumhur ulama’
tidak diperbolehkan. Alasannya ialah mengandung unsur gharar (yang belum jelas
barangnya).

7
https://www.liputan6.com/hot/read/4731605/pengertian-qiyas-jenis-jenis-rukun-dan-contohnya-dalam-
hukum-islam?page=4/diakses pada 02 november 2023, 01:17WIB

13
h. Ulama’ menyepakati tentang dibolehkannya daging dhob karena sahabat sepakat bahwa
diamnya nabi adalah membolehkan.
i. Para sahabat di masa Umar bin Khattab bersepakat menjadikan hukuman dera sebanyak
80 kali bagi orang yang meminum-minuman keras. Ijma’ tersebut termasuk dzanni.
j. Para ulama Mujtahid sepakat bahwa jual beli dihalalkan, sedangkan riba diharamkan.

2. Contoh Qiyas
Menurut para ulama ushul, qiyas itu memerlukan empat unsur utama. Empat unsur ini
sering juga disebut dengan rukun. Berikut ini penjelasan dari masing-masing rukun qiyas dan
contohnya, yaitu:

a. Al-Ashlu

Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai hukum yang sudah jelas dengan
didasarkan pada nash yang jelas. Air perasan buah kurma dan anggur termasuk contoh
al-ashlu. Sebab pada waktu turunnya ayat haramnya khamar, keduanya adalah khamar
yang dikenal di masa itu.
b. Al-Far'u
Makna al-far'u adalah cabang, sebagai lawan kata dari al-ashlu di atas. Yang
dimaksud dengan al-far'u adalah suatu masalah yang tidak ditemukan nash hukumnya
di dalam Al-Quran atau As-Sunnah secara eksplisit. Dalam contoh kasus khamar di atas,
yang menjadi al-far'u adalah an-nabidz, yaitu perasan dari selain kurma dan anggur,
yang diproses menjadi khamar dengan pengaruh memabukkan.
c. Al-Hukmu
Yang dimaksud dengan al-hukmu adalah hukum syar'i yang ada dalam nash,
dimana hukum itu tersemat pada al-ashlu di atas. Maksudnya adalah perasan.
d. Al-'Illat
Yang dimaksud dengan al-'illat adalah kesamaan sifat hukum yang terdapat dalam
al-ashlu (dan juga pada al-far'u). Dalam contoh di atas, 'illat adalah benang merah yang
menjadi penghubung antara hukum air perasan buah anggur dan buah kurma dengan air
perasan dari semua buah-buahan lainnya, dimana keduanya sama-sama memabukkan.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat islam tentang
hukum syara’ pada suatu masa setelah Rasulullah wafat.
2. Syarat-syarat Ijma’:
a. Yang bersepakat adalah para mujtahid;
b. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid;
c. Para mujtahid harus umat Muhammad SAW;
d. Dilakukan setelah wafatnya Nabi; dan
e. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at.
3. Macam-macam Ijma’:
a. Ijma’ Sharih (bersih atau murni); dan
b. Ijma’ Sukuti.
4. Qiyas ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain
yang ada nashnya, dalam hukum yang telah di tetapkan oleh nash karena adanya kesamaan
dua kejadian itu dalam illat hukumnya.
a. Rukun qiyas
1. Ashl;
2. Al-Far’u;
3. ‘Illat; dan
4. Hukum al-Ashl.

b. Pembagian Qiyas:
1. Dari segi kekuatan ‘illat;
2. Dari segi kejelasan ‘illatnya Dari segi kejelasan ‘illatnya;
3. Dari segi keserasian ‘illatnya dengan hukum;
4. Dari segi di jelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu; dan
5. Dari segi metode yang digunakan dalam ashl dan furu’.

15
DAFTAR PUSTAKA

https://deepublishstore.com/blog/materi/ijma-dan-qiyas/
https://artikellepas18.blogspot.com/2018/01/makalah-ushul-fiqh-ijma.html
https://artikellepas18.blogspot.com/2018/01/makalah-ushul-fiqh-ijma.html
https://www.dream.co.id/dinar/pengertian-sumber-hukum-islam-ijma-dan-dalil-dalil-yang-
mendasarinya-dalam-al-quran-hadis-211221s.html
https://muamala.net/definisi-qiyas-dalil-dan-jenisnya/
https://arwave.blogspot.com/2015/10/kehujjahan-qiyas-kedudukan-qiyas.html
https://www.liputan6.com/hot/read/4731605/pengertian-qiyas-jenis-jenis-rukun-dan-contohnya-
dalam-hukum-islam?page=4
https://budisma.net/umum/syarat-syarat-qiyas-adalah-sebagai-berikut.html

16

Anda mungkin juga menyukai