Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH AKIDAH ISLAMIYAH

“ PENGERTIAN IJMA’ DAN QIYAS ”


Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Akidah Islamiyah
Dosen Pengampu : Drs. Munawar, M.M.

Disusun Oleh :
Abdurohim 23.01.0002
Miftahul Huda 23.01.0028
Ika Rachmawaty 23.01.0060

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( PAI )


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH ( STIT )
AL-AMIN INDRAMAYU
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “ Pengertian Ijma’ dan Qiyas ” sebagai syarat dan tugas dalam memenuhi mata
kuliah Akidah Islamiyah. Sholawat teriring salam semoga tetap tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, juga pengikutnya hingga akhir zaman.

Makalah ini diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Akidah Islamiyah. Sebagai
ungkapan rasa syukur terselesaikannya penyusunan Makalah ini, Penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Suwarno AS, S.Pd.I, M.M. selaku Ketua Program Studi PAI
2. Bapak Drs. Munawar, M.M. selaku Dosen Mata Kuliah Akidah Islamiyah

Penyusun sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai “Pengertian Ijma’ dan Qiyas”. Penyusun
juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penyusun berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah penyusun buat dimasa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya,
sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi penyusun sendiri maupun
orang yang membacanya, sebelumnya penyusun mohon maaf apabila terdapat
kesalahan dalam kata-kata yang kurang berkenan.

Indramayu, 10 Desember 2023

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................... ii


DAFTAR ISI.............................................................................. iii
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah.................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 1
C. Tujuan Penulis ................................................................... 1

BAB II. PEMBAHASAN .......................................................... 2


A. Pengertian Ijma’.................................................................................... 2
B. Macam-macam Ijma’ ............................................................................... 2
C. Pengertian Qiyas .............................................................. 4
D. Rukun-rukun Qiyas ............................................................................. 5
E. Kedudukan serta fungsi Ijma’ dan Qiyas ......................... 7

BAB III. PENUTUP .................................................................. 9


Kesimpulan ........................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………… 10

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Belakangan ini sering kita jumpai permasalahan - permasalahan, umumnya dalam

bidang agama yang sering kali membuat pemikiran umat islam cenderung kepada

perbedaan. Jadi dalam makalah ini kami akan sedikit menjelaskan mengenai Ijma’

dan Qiyas, yang mana sebagai sumber hukum islam setelah Al Qur’an dan Al Hadits.

2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Ijma’ dan Qiyas ?

2. Ada berapakah macam-macam Ijma’ ?

3. Apa saja Rukun-rukun Qiyas ?

4. Apa Fungsi dan Kedudukan Ijma’ dan Qiyas ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk memahami apa itu Ijma’ dan Qiyas.

2. Untuk mengetahui macam-macam Ijma’.

3. Untuk mengetahui rukun-rukun Qiyas.

4. Untuk mengetahui fungsi serta kedudukan Ijma’ dan Qiyas.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’

Menurut Sayyid Muhammad bin Alawy Al Maliky Alhasany dalam kitabnya yang
berjudul Al Qawaidul Asasiyah fi Ushulil Fiqh :

Ijma secara bahasa adalah tekad. Sedangkan menurut istilah adalah kesepakatan para
mujtahid ulama ahli fiqh dari orang-orang pada zaman itu, dari umat nabi Muhammad
SAW setelah nabi Muhammad wafat atas hokum-hukum yang baru, seperti haramnya
shalat ketika sedang berhadas.

Apabila terjadi suatu kejadian yang dihadapkan kepada semua mujtahid dari umat
islam pada waktu kejadian itu terjadi.dan mereka sepakat atas hukum mengenainya,
maka kesepakatan mereka itu disebut ijma’. Kesepakatan mereka atas satu hukum
mengenainya dianggap sebagai dalil, bahwasanya hukum tersebut merupakan hukum
syara’ mengenai kejadian itu.

Dalam defenisi itu hanyalah disebutkan sesudah wafat Rasulullah SAW, karena pada
masa hidup Rasulullah, beliau merupakan rujukan pembentukan hukum islam satu-
satunya, sehingga tidak terbayangkan adanya perbedaan dalam hukum syar’i, dan
tidak pula terbanyangkan adanya kesepakatan, karena kesepakatan tidak akan
terwujud kecuali dari beberapa orang.

B. Macam – macam Ijma’

Adapun ijma’ ditinjau dari segi cara menghasilkannya, maka ada dua macam yaitu :

Pertama : Ijma’ sharih, yaitu kesepakatan para mujtahid suatu masa atas hukum suatu
kasus, dengan cara masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya secara
jelas melalui fakta atau putusan hukum. Maksudnya bahwa setiap mujtahid
mengeluarkan pernyataan atau tindakan yang mengungkapkan pendapatnya secara
jelas.

2
Kedua : Ijma’ Sukuti, yaitu sebagian dari mujtahid suatu masa mengemukakan
pendapat mereka dengan jelas mengenai suatu kasus, baik melalui fakta atau suatu
putusan hukum, dan sisa dari mereka tidak memberi tanggapan terhadap pendapat
tersebut, baik merupakan persetujuan terhadap pendapat yang telah dikemukakan atau
menentang pendapat itu.

Adapun macam yang pertama, yaitu ijma’ sharih, maka itulah ijma’ haqiqi, dan ini
merupakan hujjah syar’iyah dalam mazhab jumhur ulama. Sedangkan macam yang
kedua yaitu Ijma’ Sukuti, maka ia adalah Ijma’ I’tibar (anggapan), karena
sesungguhnyaorang yang diam saja tidak ada kepastian, bahwa ia setuju. Oleh karena
itu, tidak ada kepastian mengenai tearwujudnya kesepakatan dan terjadinya Ijma’, dan
karena inilah , maka ia masih dipertentangkan kehijjahannya. Jumhur Ulama’
berpendapat bahwa ijma’ Sukuti bukannya hujjah, dan bahwa ijma’ tersebut tidak lebih
dari keadaannya sebagai pendapat sebagian dari individu para mujtahid.

Ulama’ hanafiyah berpendapat bahwa ijma’ sukuti adalah hujjah, apabila terdapat
suatu ketetapan bahwa mujtahid yang bersikap diam telah dihadapkan kasus
kepadanya dan dikemukakan kepadanya pendapat orang yang mengemukakan
pendapatnya mengenai kasus ini, dan ada waktu senggang yang cukup untuk mengkaji
dan membentuk pendapat namun ia diam saja, disamping itu juga tidak ditemukan
adanya suatu kecurigaan bahwa ia diam karena merasa takut atau karena dibujuk, atau
karena tidak mampu, atau karena mengejek. Karena sesungguhnya sikap diamnya
seorang mujtahid dalam posisi memberi fatwa, memberi penjelasan, dan membentuk
hukum islam setelah lewat kesempatan untuk mengkaji dan mempelajarinnya,
disamping tidak hal yang menghalang-halanginya untuk mengemukakann
pendapatnya, merupakan suatu dalil atas persetujuannya kepada pendapat yang telah
dikemukakan, sebab kalau sekiranya ia menentang, maka tidak cukup baginya berdiam
diri saja.

Prof. Abdul Wahhab Khallaf didalam bukunya ilmu ushul fiqh beliau perpendapat,
bliau menilai lebih unggul adalah pendapat jumhur ulama. Karena seorang mujtahid
yang diam, diamnya itu diliputi oleh kondisi dan kesamara, diantaranya yang bersifat
psikologi dan ada kalanya tidak bersifat psikologi, padahal tidak mungkin meneliti
seluruh kondisi dan kesamaran dan kepastian, bahwa ia diam saja sebagai persetujuan
dan keridaan terhadap pendapat yang dikemukakan. Orang yang diam saja tidak
mempunyai pendapat, dan kepadanya tidak bisa dinisabkan pendapat yang

3
manyetujuiatau pendapat yang menentang. Kebanyakan yang terjadi yang disebut
dengan ijma’ ialah berasal dari ijma’ sukuti.

Adapun ijma’ ditinjau dari segi bahwa ia mempunyai dalalah qath’i terhadap
hukumnya dalalah zhanni, maka ijma’ juga ada dua macam, yaitu :

Pertama : Ijma’ yang qath’i dalalahnya terhadap hukumnya. Inilah ijma’ sharih,
maksudnya bahwasanya hukumnya dipastikan dan tidak ada jalan untuk memutuskan
hukum yang berlainan dengannya dalam kasusnya itu, dan tidak ada peluang ijthad
dalam suatu kasus setelah terjadinya ijma’ yang sharih atas hukum syara’ mengenai
kasus itu.

Kedua : Ijma’ yang zhanni dalalahnya ats hukum, yaitu ijma’ sukuti, dalam arti
bahwasanya hukumnya diduga kuat, dan ijma’ ini tidak mengeluarkan kasus tersebut
dari kedudukan sebagai objek bagi ijtihad, karena ia merupakan ungkapan dari
pendapat sekelompok mujtahid, bulan keseluruhan mereka.

C. Pengertian Qiyas

Qiyas menurut bahasa berarti mengukur seperti kalimat “ aku mengukur tanah dengan
memakai satuan meter “. Qiyas mengharuskan adanya dua perkara , yang salah satunya
disandarkan kepada yang lain secara sama.

Qiyas menurut istilah ahli ilmu ushul fiqh adalah : Mempersamakan suatu kasus yang
tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum
yang ada nashnya, karena persamaan kedua itu dalam illat hukumnya.

Maka apabila suatu nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kasus dan illat
hukum itu telah diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui illat hukum,
kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus yang ada nashnya itu dalam
suatu illat yang illat hukum itu juga terdapat pada kasus itu, maka hukum kasus itu
disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya, berdasarkan atas persamaan
illatnya karena sesungguhnya hukum itu ada di mana illat hukum ada.

4
D. Rukun-rukun Qiyas

Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun yaitu :

1. Al-ashlu, yaitu : Sesuatu yang ada nash hukumnya. ia disebut juga al-maqis
‘alaih (yang diqiyaskan kepadanya), mahmul ‘alaih (yang dijadikan
pertanggungan), dan musyabbah bih (yang diserupakan dengannya).
2. Al-far’u, yaitu : Sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. ia juga disebut al-
maqis (yang diqiyaskan), al-mahmul (yang dipertanggungkan), dan al-
musyabbah (yang diserupakan).
3. Hukum Ashl, yaitu : Hukum syara’ yang ada nashnya pada al-ashl (pokok)nya,
dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-far’u (cabangnya).
4. Al-‘illat, yaitu : Suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum
pokok, dan berdasarkan adanya keberadaan sifat itu pada cabang (far’u), maka
ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukumnya.

Dari segi adanya anggapan dan ketiadaan anggapan syar’i terhadap sifat yang sesuai,
maka para ahli ilmu ushul fiqh membagi sifat yang sesuai (munasib) menjadi empat
macam, yaitu :

1. Munasib Muatstsir (sifat yang sesuai yang memberikan pengaruh).


2. Munasib Mulaim (sifat yang sesuai lagi cocok).
3. Munasib Mursal (sifat yang sesuai lagi bebas).
4. Munasib Mulgha (sifat yang sesuai yang sia-sia).

Berikut ini adalah penjelasan empat macam illat dan contoh-contohnya. :

1. Munasib Muatstsir : yaitu suatu sifat yang sesuai dimana syari’ telah menyusun
hukum sebagai illat hukm yang disusun berdasarkan kesesuaiannya dengannya
misalnya, Firman Allah SWT :

ِ ‫قُ ْل ه َُو اَ ًذى َفاعْ َت ِزل ُ ْواال ِّن َسا َء فِى ال َم ِحي‬.‫ْض‬
.‫ْض‬ َ ‫َو َيسْ أَل ُ ْو َن‬
ِ ‫ك َع ِن ْال َم ِحي‬

Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah haidh itu adalah
suatu kotoran, oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haidh….” (Qs. Al-Baqarah (2) : 222).

5
Shighat nash telah jelas bahwa illat hukum ini adalah kotoran tersebut. Oleh karena
itu, maka kotoran tersebut yang mewajibkan menjauhkan diri dari wanita pada waktu
haidhnya merupakan sifat yang munasib muatstsir.

2. Munasib Mulaim. Yaitu suatu sifat yang sesuai yang mana syari’ telah menyusun
hukum yang sesuai dengan sifat itu, namun tidak ada nash maupun ijma’ yang
menetapkannya sebagai illat hukum menurut pandangan syari’itu sendiri, yang
disusun sesuai dengan sifat itu. Hanya saja berdasarkan nash atau ijma’ diperoleh
ketetapan bahwa sifat itu dianggap illat hukum dari hukm sejenis yang oleh syari’ telah
disusun hukumnya sesuai dengan sifat itu, “contoh : sifat yang sesuai yang dianggap
oleh syari’ sebagai illat hukum dari jenis hukum yang dia telah menyusun hukum
sesuai dengannya ialah: keadaan masih kecil bagi tetapnya kewalian seorang ayah
dalam mengawinkan anak perempuan yang masih kecil.

3. Munasib Mursal. : Suatu sifat yang mana syari’ tidak menyusun hukum sesuai dengan
sifat itu, dan tidak ada dalil syari’ yang menunjukkan akan anggapan-Nya dengan salah
satu bentuk anggapan maupun dengan penyia-nyiaan anggapan-Nya. Ia adalah
munasib, artinya berusaha mewujudkan kemaslahatan, akan tetapi ia juga mursal,
contohnya : maslahatan yang menjadi dasar para sahabat dalam membentuk hukum
pembayaran pajak atas tanah pertanian, pembuatan mata uang, pentatwinan Al-qur’an,
dan penyabarannya.

4. Munasib Mulgha, yaitu : Suatu sifat yang ternyata bahwasanya mendasarkan hukum
atas sifat itu terdapat perwujudan kemaslahatan, namun syari’ tidak menyusun hukum
sesuai dengannya, dan syari’ tidak menunjukkan berbagai dalil yang menunjukkan
pembatalan anggapannya, misalnya menetapkan hukuman khusus bagi orang yang
berbuka puasa dengan sengaja pada bulan ramadhan, untuk masuk menjerakannya.

Illat ialah suatu sifat yang terdapat pada suatu ashl (pokok) yang menjadi dasar
daripada hukumnya, dan sifat itulah dapat diketahui adanya hukum itu pada far’
(cabangnya).

Misalnya, memabukkan adalah sifat yang ada pada khamar yang menjadi dasar
pengharaman, dan dengan adanya sifat memamukkan inilah diketahui pengharaman
terhadap semua minuman keras yang memabukkan. Penganiayaan adalah suatu sifat
dalam jual beli seseorang atas jual beli saudaranya, yang menjadi dasar
pengharamannya, dan dengan adanya sifaat penganiayaan itulah diketahui

6
pengharaman sewa-menyewa seseorang atas sesuatu yang telah disewa saudaranya.
Inilah yang dimaksudkan oleh para ahli usul fiqh dengan perkataan mereka yang
artinya: “Illat adalah sesuatu yang memberitahukan adanya hukum”.

Illat juga disebut: Manathul Hukm (hubungan hukum),sebab hukum dan tanda hukum.

Untuk mencari Illat, ada beberapa syarat yang harus kita ketahui yaitu :

Pertama : Bahwa Illat itu haruslah berupa suatu sifat yang jelas.

Kedua : Bahwa sifat itu haruslah pasti.

Katiga : Bahwa sifat itu merupakan hal yang sesuai.

Keempat : Bahwa ia merupakan suatu sifat yang terbatas pada ashl (pokoknya).

E. Kedudukan serta Fungsi Ijma’ dan Qiyas

a. Kedudukan dan Fungsi Ijma’

Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber dalil
hukum sesudah Al-Qur’an dan Sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum
yang mengikat wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam
Al-Qur’an maupun sunnah. Ulama Ushul Fiqh juga berpendapat bahwa ijma’ dapat
dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu hokum dan menjadi sumber hukum Islam
yang kuat. Jika sudah terjadi ijma’(kesepakatan) diantara mujtahid terhadap suatu
hukum masalah atau peristiwa,maka umat Islam wajib menaati dan mengamalkannya.

Alasan jumhur ulama Ushul Fiqh bahwa ijma’ merupakan hujjah yang kuat sebagai
sumber hukumIslam adalah sebagai berikut : Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an
surat An-Nisaa ayat 59 yang artinya :“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul-Nya, dan UlilAmri (pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapattentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-
Qur’an) dan Rasul(Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yangdemikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

7
Sebagai sumber hukum islam yang ketiga, berikut adalah beberapa fungsi ijma :

1. Menyisihkan kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam melakukan ijtihad. Hal


ini bisa saja terjadi jika ijtihad tersebut dilakukan secara individu.
2. Menjadikan satu pendapat-pendapat yang memiliki perbedaan dengan jalan
kesepakatan yang sudah dicapai.
3. Menjamin tentang penafsiran yang tepat atas Al-Quran dan keotentikan dari
hadis tersebut.

b. Kedudukan dan Fungsi Qiyas

Dalam teori hukum klasik, qiyas dianggap sebagai prinsip dasar atau sumber hukum
yang keempat setelah ijma’. Qiyas juga di pandang sebagai salah satu cara ijtihad,
karena qiyas merupakan proses ijtihad yang sistematis untuk mengungkap ketetapan
hukum yang sepenuhnya yang bergantung pada Al-Qur’an dan Sunnah.

Fungsi qiyas dalam mengungkapkan hukum dari Al-Qur’an dan


Sunnah,dikemukakannya “Semua peristiwa yang terjadi dalam kehidupan orang
Islam, pasti terdapat ketentuan hukumnya atau indikasi yang mengacu pada adanya
ketentuan hukumnya. Jika ketentuan hukum itu disebutkan maka haruslah dicari
indikasi mengacu pada ketentuan hukum tersebut dengan bertijtihad. ”Pernyataan
diatas menegaskan bahwa fungsi qiyas sangat penting dalam mengungkapkan hukum
dari dalilnya (Al-Qur’an dan Sunnah) guna menjawab tantangan peristiwa yang
dihadapi kaum muslimin yang tidak secara tegas disebutkan dalam Al-Qur’an ataupun
Sunnah.

Walaupun Qiyas berfungsi sangat berperan dalam mengungkapkan hukum peristiwa


yang tak disebutkan dalam nash, namun dalam pandangan Imam Syafi’I hasil
(pengetahuan hukum) yang diungkapkan qiyas tidak sama peringkatnya dengan
(pengetahuan) hukum yang diperoleh secara shahih dari Al-Qur’an,S unnah maupun
Ijma’. Alasan menempatkan kedudukan hasil qiyas lebih rendah dari pengetahuan
hukum secara shahih dari Al-Qur’an, Sunnah maupun Ijma’,karena pengetahuan
hukum yang diperoleh dengan qiyas hanya benar secara lahir (menurut apa yang
dicapai oleh kemampuan nalar mujtahid) yang tidak aman dari pengaruh subjektivitas.

8
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :

 Ijma secara bahasa adalah tekad. Sedangkan menurut istilah adalah kesepakatan para
mujtahid ulama ahli fiqh dari orang-orang pada zaman itu, dari umat nabi Muhammad
SAW setelah nabi Muhammad wafat atas hokum-hukum yang baru, seperti haramnya
shalat ketika sedang berhadas.

 Qiyas menurut bahasa berarti mengukur seperti kalimat “ aku mengukur tanah dengan
memakai satuan meter “. Qiyas mengharuskan adanya dua perkara , yang salah satunya
disandarkan kepada yang lain secara sama.

Qiyas menurut istilah ahli ilmu ushul fiqh adalah : Mempersamakan suatu kasus yang
tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum
yang ada nashnya, karena persamaan kedua itu dalam illat hukumnya.

 Ijma’ ada dua macam yaitu : Ijma’ sharih dan Ijma’ Sukuti.
Ijma’ Sharih yaitu fatwa setiap mujtahid yang dinyatakan dengan lisan ataupun
perbuatan , yang kemudian menjadi ijma’ setelah adanya kesepakatan bersama.
Ijma’ Sukuti yaitu kesepakatan sebagian ulama pada suatu zaman dalam
satu permaslahan tertentu dimana sebagian yang lain tidak mengemukakan pertenta
ngan ataupun persetujuannya.

 Kedudukan ijma’ menempati sumber dalil hukum islam yang ketiga sesudah Al-
Qur’an dan Al Hadits. Dan inilah beberapa fungsi ijma’ :
1. Menyisihkan kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam melakukan ijtihad. Hal
ini bisa saja terjadi jika ijtihad tersebut dilakukan secara individu.
2. Menjadikan satu pendapat-pendapat yang memiliki perbedaan dengan jalan
kesepakatan yang sudah dicapai.
3. Menjamin tentang penafsiran yang tepat atas Al-Quran dan keotentikan dari
hadis tersebut.

Kedudukan Qiyas yaitu sebagai sumber hukum yang keempat setelah ijma’. Dan
fungsi Qiyas sangat penting dalam mengungkapkan hukum dari dalilnya (Al-Qur’an
dan Sunnah) guna menjawab tantangan peristiwa yang dihadapi kaum muslimin yang
tidak secara tegas disebutkan dalam Al-Qur’an ataupun Sunnah.

9
DAFTAR PUSTAKA

Pengantar Hukum Islam, Prof. Dr.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy – Jakarta : Bulan


Bintang, 1994.

Ilmu Ushul Fiqh, Prof. Abdul Wahhab Khallaf – Semarang : Dina Utama, 19

Al Qowaidul Asasiyah Fi Ushuluil Fiqih, karya Sayyid Muhammad bin Alawi

Muhammad Abu Zahzah, Ushul Fiqh, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2025.

10

Anda mungkin juga menyukai