Anda di halaman 1dari 16

DALIL-DALIL HUKUM DARI SUMBER AQLIYYAH JAMA’IYYAH

‫ الدليل السابع – العرف‬:‫الفصل األول‬ -


‫ الدليل الثالث – اإلجماع‬:‫الفصل األول‬

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Ilmu Ushul Fiqih

Dosen Pengampu:

Dr. Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, S.Th.I., MA.

Disusun oleh:

Muhamad Ainul Yaqin

NIM :2398235010

PROGRAM STUDI PASCA HUKUM KELUARGA

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI

TEBUIRENG JOMBANG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt. yang telah melimpahkan rahmat, karunia,

dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul

“Sumber Sumber Hukum Syariah (Dalil Aqliyah)” tepat pada waktunya. Tidak lupa

salawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhamad saw. yang telah

menunjukkan kepada manusia jalan yang lurus berupa ajaran Islam dan menjadi

anugerah serta rahmat bagi seluruh alam.

Makalah ini kami susun berkat kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, kami sampaikan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang

telah membantu kami secara maksimal dalam proses penyusunan makalah ini. Selain

itu, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah yang kami

susun. Sehingga, kritik dan saran sangat kami harapkan, agar membuat kami lebih

maju dan lebih baik dikemudian hari.

Demikian yang bisa kami sampaikdan, semoga makalah ini dapat menambah

khazanah ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat bagi kita semua. Amin ya

rabbal ‘alamin.

Jombang, 03 November 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................... 4
B. Rumusan masalah ............................................................................................... 5
C. Tujuan ................................................................. Error! Bookmark not defined.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian ijma ................................................................................................... 7
B. Tingkatan ijma' ................................................................................................... 8
C. Rukun Rukun Ijma ............................................................................................. 8
D. Pengertian Dan Macam Macam Urf .................................................................. 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumber hukum dalam agama Islam yang paling utama dan pokok

dalam menetapkan hukum dan memecah masalah dalam mencari suatu

jawaban adalah alQur’an dan al-Hadis. Sebagai sumber paling utama dalam

Islam, alQur`an merupakan sumber pokok dalam berbagai hukum Islam. Al-

Qur’an sebagai sumber hukum isinya merupakan susunan hukum yang sudah

lengkap. Selain itu juga al-Qur`an memberikan tuntunan bagi manusia

mengenai apa-apa yang seharusnya ia perbuat dan ia tinggalkan dalam

kehidupan kesehariannya.4 Sedangkan al-Hadis merupakan sumber hukum

yang kedua setelah al-Qur’an. Disamping sebagai sumber ajaran Islam yang

secara langsung terkait dengan keharusan mentaati Rasulullah Saw, juga

karena fungsinya sebagai penjelas (bayan) bagi ungkapan-ungkapan al-

Qur’an mujmal, mutlak, amm dan sebagainya

Meski pun kita sepakat bahwa Al-Quran adalah wahyu dan AsSunnah

juga bersumber dari wahyu, namun dalam kenyataannya ketika kita menarik

kesimpulan hukum, masih banyak sumber-sumber hukum di luar Al-Qur’an

dan As-Sunnah, sebenarnya masih banyak lagi sumber hukum lainnya

seperti Al-Mashlahah Al-Mursalah, Al-Istishhab, Saddu Adz-Dzari’ah, Al-

'Urf, Qaul Shahabi atau mazhabu Ash-Shahabah, Syar'u Man Qablana, Al-

Istihsan, Al- ’Urf dan lainnya

4
B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian ‫?اإلجماع‬

2. Apa Saja Tingkatan ‫?اإلجماع‬

3. Apa saja Rukun-rukun ‫ اإلجماع‬Dan Macam-macam ‫?اإلجماع‬

4. Apa pengertian Dan Macam macam ‫? العرف‬

C. Tujuan Penulisan Makalah

1. Untuk Mengetahui Pengertian ‫اإلجماع‬

2. Untuk Mengetahui Apa Saja Tingkatan ‫اإلجماع‬

3. Untuk Mengetahui Penjelasan Tentang Rukun-rukun ‫ اإلجماع‬Dan

Macam-macam ‫اإلجماع‬

4. Untuk Mengetahui Apa pengertian Dan Macam macam ‫العرف‬

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian ijma
Ijma’ menurut bahasa Arab bererti kesepakatan atau sependapat
tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang yang bereti “kaum itu telah
sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu.” Menurut istilah ijma’, ialah
kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara’ dari peristiwa yang
terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah
setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang
pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada
pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas
kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah
pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui
pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin
menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma’.
Jumhhur ushul fiqh, sebagai mana dikutip Wahbah al-Zuhaili,
Muhammad Abu Zahrah, dan ‘Abdul Wahhab Khalaf, merumuskan ijma’
dengan “ kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad saw. Pada suatu
masa, setelah wafatnya rasulullah saw. Terhadap hukum syara’. Muhammad
Abu Zahrah menambahkan diakhir definisi tersebut kalimat: “ yang bersifat
amaliyah. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa ijma’ hanya berkaitan
dengan persoalan-persoalan furu (amaliyah praktis). Definisi ini , menurut
ketiga tokoh ushul fiqh ini, Bahwa ijma’ tersebut hanya dilakukan dan
disepakati oleh para mujtahid Muslim pada suatu masa setelah wafatnya
Rasulullah saw. Jumhur ulama fiqh menganggap perlu menyatakan dalam
rumusan definisi ijma’ itu kalimat “ sesudah wafatnaya Rasulullah saw.
Karena selama Rasulullah saw. Masih hidup seluruh permasalahan yang
timbul bisa ditanyakan langsung kepada beliau , sehingga tidak diperlukan
ijma’. Mujtahid yang melakukan ijma’, menurut rumusan definisi
jumhur Ulama ini, tidak perlu seluruh mujtahid , tetapi cukup mujtahid yang

6
hidup pada masa tertentu, sehingga para mujtahid pada setiap generasi boleh
melakukan ijma’ , Namun demikian, apabila pada suatu masa ketika
dilakukan ijma’ ada diantara mujtahid yang tidak setuju dengan hukum yang
ditetapkan tersebut, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan ijma’. 1
B. Tingkatan Ijma
Dilihat dari segi cara terjadinya kesepakatan terhadap hukum syara’
itu, para ulama ushul fiqh membagi ijma’ kepada dua bentuk, yaitu ijma’
sharih/lafzhi dan ijma’ sukuti. Ijma’ sharih/lafzhi adalah kesepakatan para
mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadat hukum
masalah tertentu. Ijma’ seperti ini, sangat langka terjadi, apalagi bila
dilakuakan kesepakatan itu didalam satu majlis atau pertmuan yang dihadiri
seluruh mujtahid pada masa tertentu. menurut Imam syafi’i dan kalangan
malikiyah , ijma’ suskuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan
pembentukan hukum, Alasanya, diamnyasebagian para mujtahid belum tentu
menandakan setuju, karena bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bila
mana pendapat itu telah didukung oleh penguasa, atau boleh jadi juga
disebabkan merasa sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya
pendapat itu karena dianggap lebih senior.
Ijma’ sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada satu
masa tentang hukum suatu maslah dan tersebar luas, sedangkan sebgian
mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang
kemukakan diatas, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut. Ijma’
sukuti ini pengaruhnya terhadap hukum tidak meyakinkan, karenanya para
ulama ushul fiqh menempatkannya sebagai dalil zhanni. 2

1
Haroen Nasrun, USHUL FIQH 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta,2001.

2
Haroen Nasrun, USHUL FIQH 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta,2001.hal.57

7
C. Rukun-rukun ijma
Dalam definisi ijma telah disebutkan adalah : kesepakatan para
mujtahid dari umat islam pada suatu masa atas hukum Syara definisi ini dapat
di ambil kesimpulan bahwa rukun ijma dimana menurut Syar’I ia tidak akan
terjadi kecuali dengan keberadaanya, adalah empat, yaitu: 3
1. adanya sejumlah para mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa
karena sesungguhnya kesepakatan tidak mungkin dapat tergambar
kecuali pada sejumlah pendapat, dimana masing-masing pendaapat
sesuai dengan pendapat lainya. Maka kalau sekiranya pada suatu
waktu tidak terdapat sejumlah para mujtahid, Misalnya tidak
ditemukan seorang mujtahid sama sekali, atau hanya di temukan
seorang mujtahid, maka secara Syara’ tidak akan terjadi ijma’ pada
waktu itu. Oleh karena inilah, maka tidak ada ijma’ pada masa
Rosululloh SAW ., karena hanya belio sendirilah mujtahid waktu itu.
2. adanya kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan umat islam terhadap
hukum Syara mengenai suatu kasus atau peristiwa pada waktu
terjadinya tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan mereka,
ataupun kelompok mereka. Maka kalau seandainya para mujtahid
negeri makkah dan madinah saja ataupun para mujtahid negri irak
saja, atau mujtahid negeri hijaz saja, atau para mujtahid ahli bait, atau
para mujtahid ahli sunah, bukan mujtahid golongan Syi’ah sepakat
atas hukum Syara’ Mengenai suatu peristiwa, maka dengan
kesempatan kusus ini tidaklah sah ijma’ Menurut Syara’. Karena
ijma’ itu tidak bisa terjadi kecuali dengan kesempatan umum dari
semua mujtahid dunia islam pada masa suatu kejadian selain mujtahid
tidak masuk penilaian.
3. Bahwasanya kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan
pendapat masing-masing orang dari para mujtahid itu tentang
pendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa, baik penyampaian
pendapat masing-masing mujtahid itu berbentuk ucapan, misalnya Ia

3
Prof. Dr Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Usul Fikih” Jakarta 2003 M. Hal.57

8
memberikan fatwa mengenai peristiwa itu, atau berbentuk perbuatan,
misalnya ia memberikan suatu putusan mengenainya; baik masing-
masing dari mereka mengemukakan pendapatnya pendapat mereka,
atau mereka menemukakan pendapat, mereka secara kolektif,
misalnya para mujtahid di dunia islam mengadakan suatu konggres
pada suatu masa terjadinya suatu peristiwa, dan peristiwa itu
dihadapkan kepada mereka, dan setelah mereka bertukar orientasi
pandangan, maka mereka seluruhnya sepakat atau satu hukum
mengenainya.
4. bahwa kesepakatan dari seluruh mujtahid atau suatu hukum itu
terealisir. Kalau sekiranya kebanyakan dari mereka sepakat, maka
kesepakatan yang terbanyak iti tidak menjadi ijma’, kendatipun amat
sedikit jumlah mujtahid yang menentang dan besar sekali jumlah
mujtahid yang sepakat karena sepanjang masih dijumpai suatu
perbedaan pendapat, maka masih ditemukan kemungkinan benar pada
salah satu pihak dan kekeliruan pada pihak lainya. Oleh karena itu,
maka kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi hujjah Syar’iyah
yang pasti dan meningkat.
D. Pengertian Urf
Dari segi etimologi al-‘urf berasal dari kata yang terdiri dari
huruf ‘ain, ra’ dan fa’ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul
kata ma’rifah (yang dikenal), ta’rif (definisi), dan kata ‘urf (kebiasaan yang
baik)
Adapun dari segi terminologi. Kata ‘urf mengandung makna:4
‫ع َلى َم ْعنَى َخا‬ َ ُ‫طالَقَه‬ْ ‫ أ َ ْولَ ْفظٌ ت َ َعا َرفُ ْوا ِإ‬، ‫ع َب ْينَ ُه ْم‬
َ ‫علَ ْي ِه م ِْن كُ ِل فِ ْع ٍل شَا‬
َ ‫ار ْوا‬
ُ ‫س‬ ُ َّ‫ماَا ْعت َادَهُ ان‬
َ ‫اس و‬
َ ‫ص ال تَأَلَّفَهُ ال ُّلغَةُ َوال يَتَبَادَ ُر‬
‫غي َْرهُ ِع ْندَ ِس َما ِع ِه‬ ِ
Seuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya
dalam bentuk setiap perbuatan yang populer di antara mereka, ataupun
suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dlam

4
Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta, Sinar Grafika Offset, 2010).

9
pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak
memahaminya dalam pengertian lain.
Dalam istilah fuqaha ‘urf ialah kebiasaan. Dari pengertian ini kita
mengetahui bahwa ‘urf dalam sesuatu perkara tidak bisa terwujud kecuali
apabila ‘urf itu mesti berlaku atau sering-seringnya berlaku pada perkara
tersebut, sehingga masyarakat yang mempunyai ‘urf tersebut selalu
memperhatikan dan menyesuaikan diri dengannya. Jadi unsur pembentukan
‘urf ialah pembiasaan bersama antara orang banyak, dan hal ini hanya
terdapat pada keadaan terus-menerus atau sering-seiringnya dan kalau tidak
demikian, maka disebut perbuatan perseoranagan.
Sebagai contoh ialah kebiasaan masyarakat Indonesia pada
perkawinan ialah bahwa keluarga dari fihak calon mempelai laki-laki datang
ketempat orang tua calon mempelai perempuan untuk meminangnya.]5Selain
itu, pada adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual beli dengan
tukar menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Dan juga
kebiasaan mereka untuk tidak mengucapkan kata “daging” sebagai “ikan” 6
E. Macam macam urf
Para Ulama Ushul fiqh membagi ‘Urf kepada tiga macam :7

Dari segi objeknya :

a. Urf lafdzi (kebiasaan yang menyangkut Ungkapan)

Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan

lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga

makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran

5
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta, PT Bulan Bintang, 1995).
6
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta, Pustaka Amani,
2003).
7
Rahmat Illahi Besri, ‘Urf : Pengertian, Dasar Hukum, macam-macam, kedudukan,
dan permasalahannya, ibelboyz.wordpress.com, diakses
dari https://ibelboyz.wordpress.com/2011/10/13/ %E2%80%98urf-pengertian -dasar-hukum-macam-
macam-keduduka n-dan-permasalahannya/, pada tanggal 03 november pukul 11:36.

10
masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapi;

padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada.

Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual

daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli

mengatakan “ saya beli daging 1 kg” pedagang itu langsung

mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah

mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.

b. Urf ‘amalii (kebiasaan yang berbentuk ungkapan)

Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan

perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud

“perbuatan biasa” adalah kebiasaan masyrakat dalam masalah

kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain,

seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu

minggu, kebiasaan masyarakat memakan makanan khusus atau

meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam

memakai pakain tertentu dalam acara-acara khusus.

Dari segi Cakupan nya :

a. ‘urf -‘am (kebiasaan yang bersifat umum)

Adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh

masyarakat dan diseluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil,

seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci,

tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad

11
sendiri dan biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang

berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat

terbang adalah duapuluh kilogram.

b. ‘urf khosh (kebiasaan yang bersifat khusus).

Adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyrakat

tertentu. Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat

tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat

lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan

barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa

garansi terhadap barang tertentu.

Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’ :

a. Al-‘urf al-Shahih ( kebiasaan yang dianggap sah)

Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat

yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) tidak

menghilangkan kemaslahtan mereka, dan tidak pula membawa

mudarat kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak

laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak

dianggap sebagai mas kawin.

12
b. Al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).

Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’

dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya, kebiasaan

yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti

peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam

sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar

sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan

bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang di raih peminjam,

penambahan utang sebesar 10% tidaklah membertakan, karena

keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupaiah tersebut mungkin

melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi praktik seperti ini

bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan

syara’, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh

saling melebihkan

13
BAB III

KESIMPULAN

Ijma’ menurut bahasa Arab bererti kesepakatan atau sependapat tentang

sesuatu hal Menurut istilah ijma’, ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang

hukum syara’ dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia.

Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan

pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum

muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan

atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama.

Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar

RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang

seperti ini dapat dikatakan ijma’.

Dilihat dari segi cara terjadinya kesepakatan terhadap hukum syara’ itu, para

ulama ushul fiqh membagi ijma’ kepada dua bentuk, yaitu ijma’ sharih/lafzhi dan

ijma’ sukuti.

‘Urf bisa dikatakan sebagai suatu perkataan dan perbuatan yang menyangkut

kebiasaan yang sering dilakukan. Macam-macam ‘urf yaitu dari segi objeknya (Al-

‘Urf al-Lafzhi dan Al-‘urf al-‘amali), dari segi cakupannya (Al-‘urf al-‘am dan Al-

‘urf al-khash), dari segi keabsahannya dari pandangan syara’ (Al-‘urf al-Shahih dan

Al-‘urf al-fasid). ‘Urf dianggap sebagai salah satu sumbar undang-undang, dimana

unsur-unsurnya banyak diambilkan dari hukum-hukum yang berlaku, kemudian

dikeluarkan dalam bentuk pasal-pasal dalam undang-undang. Syarat ‘Urf sebagai

sumber hukum islam yaitu, ‘urf harus berlaku terus menerus atau kebanyakannya

14
berlaku, ‘urf yang dijadidkan sumber hukum bagi sesuatu tindakan harus terdapat

pada waktu diadaknnya tindakan tersebut, tidak ada penegasan (nas) yang

berlawanan dengan ‘urf, pemakaian ‘urf tidak akan mengakibatkan

dikesampingkannya nas yang pasti dari Syari’at.

15
DAFTAR PUSTAKA

Haroen Nasrun, USHUL FIQH 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta,2001.

Haroen Nasrun, USHUL FIQH 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta,2001.

Prof. Dr Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Usul Fikih” Jakarta 2003 M.

Abd.Rahan Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta, Sinar Grafika Offset, 2010).

Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta, PT Bulan Bintang, 1995).

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta, Pustaka Amani,

2003).
1
Rahmat Illahi Besri, ‘Urf : Pengertian, Dasar Hukum, macam-macam, kedudukan,

dan permasalahannya,ibelboyz.wordpress.com,diaksesdari https://ibelboyz.wordpress.com/2011/10/1

3/ %E2%80%98urf-pengertian -dasar-hukum-macam-macam-keduduka n-dan-permasalahannya/,

pada tanggal 03 november pukul 11:36.

16

Anda mungkin juga menyukai