Anda di halaman 1dari 14

1

MAKALAH

SUMBER UTAMA STUDI ISLAM 3


( Ijtihad Dan Syarat-Syaratnya)
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Studi Islam

Dosen Pengampu: Subaidi, S.Pd, M.Ag

Disusun Oleh:

Sehrotul Hasanah

Nawal

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)


SEKOLAH TINNGI ILMU TARBIYAH AL IBROHIMY
GALIS BANGKALAN 2023-2024
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Sholawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan
syafa’atnya di akhirat nanti

Adapun tujuan utama penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi


tugas mata kuliah Studi Islam yang berjudul “Sumber Utama Studi Islam 3”.
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Subaidi, S.Pd, M.Ag.
selaku dosen pengampu dan juga terimakasih kepada piha-pihak yang turut
membantu dalam pembuatan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini masih begitu banyak kekurangan,


maka diharapkan kepada pembaca khususnya Dosen untuk memberikan
kritik dan sarannya demi kebaikan penyusunan makalah kami kedepannya.

Bangkalan, 07 November 2023

Penyusun
3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................2

BAB I.............................................................................................................4

PENDAHULUAN.........................................................................................4

A. Latar Belakang.....................................................................................4

B. Rumusan Masalah................................................................................4

C. Tujuan..................................................................................................4

BAB II............................................................................................................6

PEMBAHASAN............................................................................................6

A. Pengertian Ijtihad.................................................................................6

B. Macam-Macam Ijtihad........................................................................7

C. Kedudukan ijtihad................................................................................9

D. Metode dan syarat ijtihad..................................................................10

BAB III........................................................................................................13

PENUTUP...................................................................................................13

A. KESIMPULAN.................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................14
4

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ijtihad telah dikenal dan dipraktekkan oleh umat Islam semenjak
zaman Rasulullah SAW. Masih hidup, dan terus berkembang pada masa
sahabat serta generasi-generasi berikutnya. Para sahabat melakukan
ijtihad selain karena mendapat dorongan dan bimbingan Nabi SAW. Juga
atas inisiatif dari kalangan sahabat itu sendiri. Cukup banyak riwayat yang
dapat dirujuk yang menunjukkan upaya yang dilakukan oleh para sahabat
dalam berijtihad. Misalnya riwayat yang menceritakan ijtihad Umar
tentang hal yang membatalkan puasa dan ijtihad tersebut secara
hukum telah dibenarkan oleh Nabi saw. Ijtihad dapat dipandang sebagai
faktor utama dalam dinamika umat Islam.

Berbanding terbalik dengan zaman Nabi dulu, di zaman modern


seperti sekarang semakin banyak masalah-masalah baru yang berkembang
sehingga memerlukan aturan dan ketetapan yang jelas. Maka hadirlah ijtihad
sebagai cara penentu aturan tersebut. Ijtihad sendiri sangat diperlukan untuk
melakukan penafsiran pada dalil-dalil yang rancu atau tidak jelas maknanya.
Bagaimana umat Islam memperbaiki dan menafsirkan dalil yang tidak jelas
maknanya? Hal ini dapat dilakukan dengan mencari referensi dari Al-Quran
dan Al-Sunnah. Apabila masih tidak ditemukan suatu hukum yang
menerangkan dalil tersebut, maka kita bisa mencari suatu
pembenaran ketetapan dengan pengetahuan dan akal sehat.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian ijtihad?


2. Apa saja macam-macam ijtihad?
3. Bagaimana kedudukan ijtihad ?
4. Apa metode dan syarat ijtihad

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa pengertian ijtihad?


5

2. Untuk mengetahui macam-macam ijtihad?


3. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan ijtihad?
4. Untuk mengetahui metode dan syatat ijtihad? .
6

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad

Secara bahasa ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu yang


artinya bersungguh dalam menggunakan tenaga, baik fisik maupun pikiran.
Menurut kamus dalam ilmu mawaris ijtihad adalah menggunakan seluruh
kemampuan berfikir untuk menetapkan suatu hukum syari’at.1

Ibrahim Husen mengidentifikasikan makna ijrihad dengan istinbath.


Istinbath berasal dari kata nabath (air yang mula-mula memancar dari
sumber yang digali). Oleh karena itu menurut bahasa arti istinbath sebagai
muradif dari ijtihad yaitu ; mengeluarkan sesuatu dari persembunyian.

Menurut mayoritas Ulama Ushul Fiqh Ijtihad adalah : pencurahan


segenap kesanggupan (secara maksimal) seorang ahli fiqh untuk
mendapatkan pengertian tingkat dhanni terhadap hukum syari’at.2

Ijtihad adalah suatu usaha darurat didalam sejarah perkembangan


syari’at, karena ijtihad jalan untuk mengistinbathkan hukum dari dalil, baik
dari yang naqli maupun yang aqli. Orang yang mempunyai kelengkapan
syarat ditugaskan mengistinbathkan hukum atas dasar fardhu kifayah. Ada
Ulama yang berkata : kita perlu membayangkan hal-hal yang mungkin
terjadi lalu kita bahas hukumnya, agar ketika terjadi hal-hal itu hukum telah
ada. Inilah jalan yang ditempuh oleh fuqaha akhir ra’yi dan golongan
Hanafiyah, dan haram berijtihad pada masalah-masalah yang telah terjadi
ijma’.

Menurut Istilah, Ijtihad berarti pengarahan segenap kemampuan


untuk menemukan hukum syara’ melalui dalil-dalil yang rinci dengan
metode tertentu.

Definisi Ijtihad menurut para ulama’ adalah sebagai berikut :

1. Menurut Imam Ghazali Ijtihad adalah pengerahan kemampuan oleh


seorang fiqh (mujtahid) dalam rangka menghasilkan hukum syara’.

1
Muhaimin, Studi Islam, ( Jaarta : Putra Grafika, 2012), hal, 177
2
Mochtar Adam, Ijtihad Dalam Sorotan, ( Bandung : Mizan, 1991 ), hal 98
7

2. Menurut Abdul Wahab Kholaf Ijtihad adalah pengerahan


kemampuan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil yang
rinci yang bersumber dari dalil-dalil syara’.
3. Menurut Muhammad Khudari Ijtihad adalah mencurahkan
kemampuan untuk mengistinbathkan hukum syara’ dari apa yang
dipandang pembuat syara’ sebagai dalil. Yaitu kitabulloh dan
sunnah Nabi-Nya.

Dengan demikian dapat dinamakan ijtihad apabila memenuhi tiga


unsur yaitu : usaha yang bersungguh-sungguh menemukan atau
mengistinbathkan hukum islam, dan menggunakan dalil-dalil yang rinci .
Pertama tidak dinamakan ijtihad apabila usaha yang dilakukan tidak
bersungguh-sungguh. Persyaratan ini sekaligus membatasi pelaksanaan
ijtihad, yaitu hanya kepada mereka yang memiliki kemampuan dan
keterampilan yang berhubungan dengan masalah yang diijtihadi. Kedua,
tujuan ijtihad adalah untuk menemukan atau merumuskan ketetapan hukum
islam yang belum ada kepastian hukumnya dalam Al-Qur’an maupun hadits.
Ketiga, menggunakan dalil-dalil yang rinci yaitu dalil yang bersumber dari
nash al-Qur’an dan hadits. Oleh karena itu, penguasa terhadap metode
istinbath hukum menjadi sangat penting dalam pelaksanaan ijtihad. Karena
metode inilah yang akan menghasilkan ketetapan hukum yang dihasilkan
dengan nash al-Qur’an dan hadits yang menjadi dasar hukumnya. Ketika
unsur diatas adala satu kesatuan, jadi jika salah satunya ada yang tidak
terpenuhi maka usaha tersebut tidak disebut ijtihad.

B. Macam-Macam Ijtihad

1. Ijma’

Ijma’ artinya kesepakatan, yakni kesepakatan para Ulama dalam


dalam menetapkan suatu hukum-hukum dalam agama berdasarkan
Al-Qur’an dan Hadist dalam suatu yang terjadi. Hasil dari ijma’
adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para Ulama dan ahli agama
yang berwenang untuk diikuti seluruh umat. Contoh dari ijma’
adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli Agama
yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

2. Qiyas
8

Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya


menetapkan suatu hukum, suatu perkara yang baru dan belum ada
pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab,
manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara Terdahulu
sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma‟ dan Qiyas bersifat
darurat, Bila memang terdapat hal-hal yang ternyata belum
ditetapkan pada masa-masa sebelumnya.
Beberapa defenisi Qiyas (analogi): Menyimpulkan hukum dari yang
asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan
keduanya membuktikan hukum defenitif untuk yang defenitif
lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya : Tindakan
menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-
Qur‟an] Contohnya adalah pada surat Al-Isra‟ ayat 23 dikatan
bahwa perkatan „ah‟„cis‟ atau „hus‟ kepada orang tua tidak di
perbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina , apalagi
sampai memukulnya karena sama-sama menyakiti hati orangtua.

3. Istihsan

Beberapa defenisi Istihsan:

Fatwa yang dikeluarkan oleh Faqih (ahli fikih), hanya karena dia
merasa hal itu benar. Argumentasi dalam pikiran seorang Faqih tanpa
bisa diekspresikan secara lisan olehnya. Mengganti argumentasi
dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
Tindakan memutuskan sesuatu perkara untuk mencegah
kemudharatan. Tindakan menganalogikan suatu perkara di
masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya. Contohnya :
menurut hukum Syara’ kita tidak boleh mengadakan jual beli yang
Barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan
syara’ memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa
pembelian diperbolehkan dengan sistem pembayaran di awal,
sedangkan barangnya dikirim kemudian.

4. Maslahah Mursalah

Maslahah Mursalah adalah tindakan memutuskan masalah yang


tidak ada nashnya dengan pertimbangan kepentingan manusia
9

bersarakan prinsip menarik manfaat dan menghindari


kemudharatan.

Contohnya dalam Al-Qur’an maupun hadist tidak terdapat dalil


yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al-Qur’an.
Akan tetapi hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan
Umat.

5. Sududz Dzariah

Sududz Dzariah adalah tindakan memutuskan sesuatu yang mubah


menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya:
Zina hukumnya haram, maka melihat aurat wanita yang
menghantarkan kepada perbuatan zina juga merupakan haram.
Shalat jumat merupakan kewajiban maka meninggalkan segala
kegiatan untuk melaksanakan shalat jum’at wajib pula hukumnya.
Melarang perbuatan judi tanpa uang. Melarang meminum seteguk
minuman keras, padahal seteguk tidak memabukkan.

6. Istishab

Istishab adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu


ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah dia sudah
berwudu atau belum. Disaat seperti ini, ia harus berpegang
atau yakin kepada keadaan sebelum berwudu sehingga ia
harus berwudu kembali karena sholat tidak sah jika tidak
berwudu.
7. Urf

Urf adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-


istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan
tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist.
Contohnya adalah dalam jual beli. Si pembeli menyerahkan
uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya
tanpa mengadakan ijab Kabul karena harga telah dimaklumi
bersama antara penjual dan pembeli.
10

C. Kedudukan ijtihad

Ijtihad dalam sumber hukum islam adalah sebagai penentu hukum


setelah AL Quran dan hadist apabila dalam al quran dan hadist tidak
ditemukan secara jelas dan rinci mengenai hukum yang dimaksud. Ijtihad
adalah hasil pemikiran para ulama ahli fikih. Kedudukan ijtihad dapat
dikatakan sejajar dengan hukum Islam lainnya, yakni Alquran dan sunnah.

D. Metode dan syarat ijtihad

1. Syarat-syarat ijtihad

Para ulama ushul fiqih telah menetapkan syarat-syarat yang harus


dipenuhi seorang mujtahid sebelum melakukan ijtihad. Dalam hal ini
Sya’ban Muhammad Ismail mengetengahkan syarat-syarat tersebut sebagai
berikut :

a) Mengetahui Bahasa Arab

Mengetahui bahasa arab dengan baik sangat diperlukan bagi seorang


mujtahid. Sebab Al Quran diturunkan dengan bahasa arab, dan Al
Sunnah juga dipaparkan dalam bahasa arab. Keduanya merupakan
sumber utama hukum islam, sehingga tidak mungkin seseorang bisa
mengistinbatkan hukum islam tanpa memahami bahasa arab dengan
baik.

b) Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang Al Quran.

Mengetahui Al Quran dengan segala ilmu yang terkait dengannya,


ini sangat diperlukan bagi seorang mujtahid. Sebab Al Quran
merupakan sumber utama hukum syara’, sehingga mustahil bagi
seseorang yang ingin menggali hukum-hukum syara’ tanpa
memeiliki pengetahuan yang memadai tentang Al Quran.

c) Memiliki pengetahuan yang memadai tentang Al Sunnah

Pengetahuan tentang Al Sunnah dan hal-hal yang terkait dengannya


harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Sebab Al Sunnah merupakan
sumber utama hukum syara’ disamping Al Quran yang sekaligus
11

berfungsi sebagai penjelasnya. Pengetahuan yan terkait dengan Al


Sunnah ini yang terpenting antara lain mengenai dirayah dan
riwayah, asbabul wurud dan al-jarh wa ta’dil.

d) Mengetahui letak ijma’ dan khilaf

Penegetahuan tentang hal-hal yang telah disepakati (ijma’) dan hal-


hal yang masih diperselisihkan (khilaf) mutlak diperlukan bagi
seorang mujtahid. Hal ini dimaksudkan agar seorang mujtahid tidak
menetapkan hukum yang bertentangan dengan ijma’ para ulama
sebelumnya, baik sahabat, thabi’in, maupun generasi setelah itu.
Oleh karena itu sebelum membahas suatu permasalahan, seorang
mujtahid harus melihat dulu status persoalan yang akan dibahas,
Apakah persoalan itu sudah pernah muncul pada zaman terdahulu
atau belum, jika persoalan itu belum pernah muncul sebelumnya,
maka dapat dipastikan bahwa belum ada ijma’ terhadap masalah
tersebut.

e) Mengetahui Maqashid al-Syariah

Pengetahuan tentang maqashid al-syariah sangat diperlukan bagi


seorang mujtahid, hal ini disebabkan bahwa semua keputusan hukum
harus selaras dengan tujuan syariat islam yang secara garis besar
adalah untuk memberi rahmat kepada alam semesta, khususnya
kemaslahatan manusia.

f) Memiliki pemahaman dan penalaran yang benar

Pemahaman dan penalaran yang benar merupakan modal dasar yang


harus dimilki oleh seorang mujtahid agar produk-produk ijtihadnya
bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

g) Memiliki pengetahuan tentang Ushul Fiqih

Penguasaan secara mendalam tentang ushul fiqih merupakan


kewajiban bagi setiap mujtahid. Hal ini disebabkan bahwa kajian
12

ushul fiqih antara lain memuat bahasan mengenai metode ijtihad


yang harus dikuasai oleh siapa saja yang ingin beristinbat hukum.

h) Niat dan I’tikad yang benar

Seorang mujtahid harus berniat yang ikhlas semata-mata mencari


ridho Allah. Hal ini sangat diperlukan, sebab jika mujtahid
mempunyai niat yang tidak ikhlas sekalipun daya pikirnya tinggi,
maka peluang untuk membelokan jalan pikirannya sangat besar,
sehingga berakibat pada kesalahan produk ijtihadnya.
13

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-
sungguh Dengan berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat
yang telah ditentukan untuk menggali Dan mengetahui hukum islam untuk
kemudian diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan
ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena
permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks dimana
membutuhkan hukum islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut.

Ijtihad memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam ketiga


setelah Al-Qur’an dan hadis. Ijtihad digunakan untuk menetapkan suatu
hukum Islam yang belum disebutkan secara tegas dalam Al-Qur’an dan
hadis.

Syarat-Syarat Mujtahid Yaitu Harus menguasai ilmu Bahasa Arab,


hal ini dikarenakan alquran berbahasa arab dan as-sunnah atau hadis yang
diucapkan oleh Nabi juga dalam Bahasa Arab. Harus mengetahui seluk
beluk al quran beserta nasikh mansukh. Harus mengetahui tentang as-
sunnah baik itu sunnah qauliyah, fi’liyyah ataupun taqririyah terhadap objek
bahasanya. Harus mengetahui tentang masalah-masalah yang sudah
disepakati dan juga yang masih diperselisihkan atau diperdebatkan. Harus
mengetahui tentang qiyas. Harus mengetahui tujuan-tujuan ditetapkannya
sebuah hukum untuk umat manusia agar dapat membawa kemaslahatan.
Harus mengerti atau memahami dengan betul beserta perkiraannya. Harus
berniat dan i’tiqadnya dengan benar semata-mata hanya karena Allah SWT.
14

DAFTAR PUSTAKA

Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Al-Ushul min ‘Ilmil Ushuli, Alih


Bahasa Tim Media Hidayah, Ushul Fiqih, Jogjakarta, Media Hidayah, 2008,
Razak Nasaruddin, Dienul Islam, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1985
Saiban Kasui, Metode Ijtihad Ibnu Rusyd, Malang : Kutub Minar, 2005
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1996
Yahya, Muktar dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih
Islam Bandung: PT Al-Ma’arif, 1983

Anda mungkin juga menyukai