Makalah ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah metodelogi hukum islam Dosen pengampu : Mohamad adib Ms
Disusun oleh : Ipan Nasirudin
Semester vi
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
STAIMA CIREBON (SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’HAD ALY) 2023 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang kita tahu bahwa hukum Islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu agama, sehingga istilah hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim diartikan agama adalah suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih tinggi dan tidak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya menyangkut soal keduniaan semata. Sedangkan Joseph Schacht mengartikan hukum Islam sebagai totalitas perintah Allah yang mengatur kehidupan umat Islam dalam keseluruhan aspek menyangkut penyembahan dan ritual, politik dan hukum. Pada umumnya sumber hukum islam ada dua, yaitu: Al-Qur’an dan Hadist, namun ada juga yang disebut Ijtihad sebagai sumber hukum yang ketiga berfungsi untuk menetapkan suatu hukum yang tidak secara jelas ditetapkan dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Namun demikian, tidak boleh bertentangan dengan isi kandungan Al-Quran dan Hadist. B. Rumusan masalah 1. Apa itu ijtihad? 2. Bagaimana kedudukan ijtihad dalam islam? 3. Apa saja macam ijtihad? 4. Apa saja syarat menjadi mujtahid? C. Tujuan Masalah 1. Untuk mengetahui pengertian tentang Ijtihad 2. Untuk mengetahui kedudukan ijtihad dalam hukum Islam 3. Untuk mengetahui bentuk atau macam Ijtihad 4. Untuk mengetahui syarat-syarat Mujtahid BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ijtihad Ijtihad berasal dari kata Ja-ha-da, yang bermakna mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Dari pemahaman ilmu sharaf, kata ijtihad mengikuti wazan (timbangan) ifti'al yang menunjukkan arti berlebih (mubalaghah) dalam melaksanakan sebuah persoalan. Secara etimologis, dapat diketahui ijtihad bukanlah sebuah usaha yang gampang dan ringan. Untuk memperoleh hasil yang optimal, segenap kemampuan dan daya pikir harus dikerahkan secara padu dan simultan. Itulah sebabnya, sebagian ulama lebih cenderung memakai kata istifragh atau istifragh al-juhd, sebagai penekanan yang mendalam tentang kesungguhan maksimal yang harus dikerahkan dalam aktifitas ijtihad. Sedangkan, secara terminologis, para ulama berbeda pendapat dalam memahami ijtihad. Ada beberapa pandangan yang dapat menjadi acuan: 1. Muhammad Musa Thawana: Ijtihad merupakan segala daya upaya dari seorang ahli hukum Islam untuk menggali hukum-hukum syara' yang berstatus cabang (furu'iyyah) dari dalil-dalilnya. 2. Syaikh Muhammad al-Khudari Beik: Ijtihad yaitu mencurahkan kesungguhan dalam menggali hukum syara' dari dalil al-Syar'i sebagai dalil, yakni Al-Qur'an dan Sunah; 3. Al-Allamah Abdullah Darraj: Ijtihad merupakan usaha yang dilakukan seseorang dengan segala kesungguhan dan mengerahkan segala kemampuan yang dapat menghasilkan kaidah hukum. Ijtihad di bidang hukum ada dua tingkatan: 1. Ijtihad yang dikhususkan pada seseorang yang memiliki kemampuan atau keahlian yang sempurna dalam berijtihad, 2. ijtihad untuk menerapkan hukum-hukum syara'. Di sini, ada pengkhususan bahwa suatu golongan boleh melakukan ijtihad, sedangkan yang lain tidak (hal. 120-1). D. Kedudukan ijtihad dalam islam Ijtihad sendiri adalah proses yang harus terus-menerus dilakukan oleh seorang mujtahid. Hal ini karena seorang mujtahid harus melakukan Ijtihad dalam rangka untuk menjawab persoalan yang terus berkembang. Lebih jauh, menurut Ulama Hanabilah, tidak boleh ada kekosongan mujtahid dalam setiap zaman. Didalam Ushul Fiqih, Ijtihad memiliki kedudukan yang penting sebagai sumber hukum ketiga, yaitu setelah Quran dan Sunah. Para Mujtahid dengan tegar terus berusaha mengerahkan kemampuan intelektual mereka untuk memahami nash syariat. [signinlocker]“Jika seorang hakim mengadili dan berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika seorang hakim berijtihad, lalu ijtihadnya salah, baginya dua pahala.” HR. Hadits ini menjelaskan Ijtihad adalah proses yang dinilai baik dan berpahala dalam segala kondisi. Menurut ulama Ushul Fiqih hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu: Untuk memecahkan berbagai masalah yang ada disetiap zaman, dengan demikian Ijtihad menjadi tugas besar dan berat bagi seorang mujthid. B. Macam macam ijtihad 1. Ijma Ijtihad dalam bentuk ijma, memiliki arti yaitu kesepakatan para ulama untuk menetapkan hukum agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dalam perkara yang terjadi. Hasil dari ijma yaitu berupa fatwa atau keputusan yang diambil secara bersama oleh para ulama dan ahli agama yang memiliki wewenang untuk diikuti oleh seluruh umat 2. Qiyas Selain bentuk ijma, ada juga bentuk dari ijtihad yaitu qiyas. Qiyas itu adalah menggabungkan atau menyamakan yang artinya yaitu menetapkan hukum dalam suatu perkara yang baru yang belum pernah masa sebelumnya, akan tetapi memiliki kesamaan seperti sebab, manfaat, bahaya, serta berbagai aspek dalam perkara sebelumnya, sehingga hal itu dihukumi sama. 3. Maslahah Mursalah Maslahah Mursalah merupakan salah satu bentuk dari ijtihad. Maslahah Mursalah memiliki pengertian yaitu cara untuk menetapkan hukum yang berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan maslahatnya atau manfaatnya. 4. Istishab Istihab artinya yaitu suatu tindakan dalam menetapkan suatu ketetapan sampai ada alasan yang mengubahnya. 5. Sududz Dzariah Sududz dzariah yaitu bagian dari ijtihad. Yang artinya yakni memutuskan suatu hal yang hukumnya mubah, makruh atau haram demi kepentingan umat. 6. Urf Urf memiliki makna yakni tindakan dalam menentukan apakah masih boleh adat istiadat atau tradisi dan kebebasan masyarakat setempat dapat berjalan selama tidak bertentangan dengan aturan prinsip dengan Al-Qur’an dan Hadist. 7. Istihsan Istihsan yaitu tindakan dengan meninggalkan satu hukum yang lain disebabkan adanya suatu dalil syarat yang mengharuskan untuk meninggalkannya. C. Syarat-syarat ijtihad Orang-orang yang melakukan ijtihad, dinamakan mujtahid, dan harus memenuhi beberapa syarat. 1. Mengarti bahasa Arab Sebagaimana kita ketahui kedua dasar hukum islam menggunakan bahasa Arab. Maka dari itu, seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam. 2. Memahami tentang Al-Qur’an Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam primer di mana sebagai fondasi dasar hukum Islam. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui Al- Qur’an secara mendalam. Barangsiapa yang tidak mengerti Al-Qur’an sudah tentu ia tidak mengerti syariat Islam secara utuh. Mengerti Al-Qur’an tidak cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa melihat bagaimana Al-Qur’an memberi cakupan terhadap ayat-ayat hukum. 3. Mengetahui Asbab al-nuzul Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat mengatahui Al-Qur’an secara komprehensif, bukan hanya pada tataran teks tetapi juga akan mengetahui secara sosial-psikologis. 4. Mengetahui nasikh dan mansukh Pada dasarnya hal ini bertujuan untuk menghindari agar jangan sampai berdalih menguatkan suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya telah dinasikhkan dan tidak bisa dipergunakan untuk dalil. 5. Mengerti tentang sunah As-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi SAW. 6. Mengetahui ilmu Diroyah Hadist Ilmu Diroyah menurut Al-Ghazali adalah mengetahui riwayat dan memisahkan Hadist yang shahih dari yang rusak dan Hadist yang bisa diterima dari Hadist yang ditolak. 7. Mengetahui Hadist yang nasikh dan mansukh Mengetahui Hadist yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu Hadist yang sudah jelas dihapus hukumnya dan tidak boleh dipergunakan. Seperti Hadist yang membolehkan nikah mut’ah di mana Hadist tersebut sudah dinasakh secara pasti oleh Hadist-Hadist lain. 8. Mengetahui Asbab Al-Wurud Hadist Syarat ini sama dengan seorang Mujtahid yang seharusnya menguasai Asbab Al-Nuzul, yakni mengetahui setiap kondisi, situasi, lokus, serta tempus Hadist tersebut ada. 9. Mengetahui hal-hal yang di Ijma’-kan dan yang di-Ikhtilaf-kan Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah disepakati oleh para ulama, sehingga tidak terjerumus memberi fatwa yang bertentangan dengan hasil ijma’. Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash dalil guna menghindari fatwa yang berseberangan dengan nash tersebut. 10. Mengetahui Ushul Fiqh Di antara ilmu yang harus dikuasai oleh Mujtahid adalah ilmu ushul fiqh, yaitu suatu ilmu yang telah diciptakan oleh para fuqaha utuk meletakkan kaidah- kaidah dan cara untuk mengambil istimbat hukum dari nash dan mencocokkan cara pengambilan hukum yang tidak ada nash hukumnya. Dalam ushul fiqh, mujtahid juga dituntut untuk memahami qiyas sebagai modal pengambilan ketetapan hukum. 11. Mengetahui maksud-maksud hukum Seorang mujtahid harus mengerti tentang maksud dan tujuan syariat, yang mana harus bersendikan pada kemaslahatan umat. Dalam arti lain, melindungi dan memelihara kepentingan manusia. 12. Bersifat adil dan taqwa Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh Mujtahid benar-benar proporsional karena memiliki sifat adil, jauh dari kepentingan politik dalam istimbat hukumnya. 13. Mengenal manusia dan kehidupan sekitarnya Seorang Mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zamannya, masyarakat, problemnya, aliran ideologinya, politiknya, agamanya dan mengenal hubungan masyarakatnya dengan masyarakat lain serta sejauh mana interaksi saling mempengaruhi antara masyarakat tersebut. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran dan keritik DAFTAR PUSTAKA https://dalamislam.com/landasan-agama/fiqih/jenis-ijtihad#:~:text=7%20Jenis%20Ijtihad %20dalam%20Islam%201%201.%20Ijma,6%206.%20Urf%20...%207%207.%20Istihsan %20 https://benysetioputro.blogspot.com/2014/10/makalah-tentang-ijtihad-mata-kuliah.html https://www.panduanislami.com/39902/kedudukan-ijtihad-dalam-hukum-islam/