Anda di halaman 1dari 8

IJTIHAD DALAM ISLAM

KELOMPOK 4

ANANTA AJI SOSA YUSTIDHA (18.05.51.0189)


NANANG HANDRIAN (18.05.51.0213)
MUHFIRUL (18.05.51.0236)
ARIEF HIMAWAN (18.05.52.0239)
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ijtihad merupakan suatu cara untuk mengetahui hukum islam


melalui dalil-dalil Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Tanpa
ijtihad, mungkin saja konstruksi hukum Islam tidak akan pernah berdiri
kokoh seperti sekarang ini serta ajaran Islam tidak akan bertahan dan
tidak akan mampu menjawab tantangan zaman saat ini.

Yang dapat melakukan ijtihad hanyalah seorang mujtahid. Adapun


mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan
seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap
sesuatu hukum agama. Dalam menentukan atau menetapkan hukum-
hukum ajaran Islam para mujtahid telah berpegang teguh kepada
sumber-sumber ajaran Islam.

Jadi, kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yang telah
mengorbankan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk menggali hukum
tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Baik masalah-
masalah yang sudah lama terjadi di zaman Rasullullah maupun masalah –
masalah yang baru terjadi di masa ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas,


penyusun mencoba mengemukakan beberapa permasalahan pokok
berkaitan dengan materi makalah ini, yaitu:
1. Apa pengertian Ijtihad?
2. Apa dasar hukum dari ijtihad?
3. Apa fungsi dari ijtihad?
4. Bagaimana kedudukan ijtihad?
5. Apa saja syarat-syarat ijtihad?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad.


2. Untuk mengetahui dasar huykum ijtihad.

1
3. Untuk memahami fungsi dari ijtihad.
4. Untuk mengetahui kedudukan ijtihad.
5. Untuk mengetahui syarat-syarat untuk melakukan ijtihad.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad

Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah


(daya, kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-
masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari itu, ijtihad menurut pengetian
kebahasaannya bermakna “badzl al-wus’ wa al-majhud” (pengerahan
daya dan kemampuan), atau “pengerahan segala daya dan kemampuan
dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar”.1
Ijtihad dalam terminologi usul fikih secara khusus dan spesifik
mengacu kepada upaya maksimal dalam mendapatkan ketentuan syarak.
Dalam hal ini, al-Syaukani memberikan defenisi ijtihad dengan rumusan :
“mengerahkan segenap kemampuan dalam mendapatkan hukum syarak
yang praktis dengan menggunakan metode istinbath”. Atau dengan
rumusan yang lebih sempit : “upaya seseorang ahli fikih (al-faqih)
mengerahkan kemampuannya secara optimal dalam mendapatkan suatu
hukum syariat yang bersifat zhanni”.2
Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam ialah
mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum
agama (Syara’) melalui salah satu dalil Syara’, dan dengan cara-cara
tertentu, sebab tanpa dalil Syara’ dan tanpa cara-cara tertentu tersebut,
maka usaha tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri
semata-mata dan sudah barang tentu cara ini tidak disebut ijtihad.
B. Fungsi Ijtihad
Imam syafi’I ra. (150-204 H) dalam kitabnya Ar-risalah ketika
menggambarkan kesempurnaan Al-Quran pernah menegaskan: “Maka
tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah,
kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”.
Pernyataan Syafi’I tersebut menginspirasikan bahwa hukum-hukum
yang terkandung oleh Al-Quran yang bisa menjawab berbagai
permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu,

2
Allah mewajibkan hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba
hukum-hukum dari sumbernya itu. Allah menguji ketaatan seseorang
untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan
hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainnya.
Selanjutnya ijtihad memiliki banyak fungsi, diantaranya:
1. Menguji kebenaran hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis
mutawattir seperti Hadis Ahad, atau sebagai upaya memahami
redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingg tidak
angsung dapat dipahami.
2. Berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang
terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan,
dan Maslahah mursalah. Hal ini penting, karena ayat-ayat dan hadis-
hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab
berbagai permasalahan yang terus berkembang dan bertambah
denga tidak terbatas jumlahnya.
C. Kedudukan Ijtihad

Tidak semua kedudukan hukum Islam bisa menjadi pokok ijthad,


melainkan hanya beberapa kedudukan tertentu. Kedudukan yang tidak
boleh menjadi objek ijtihad ialah:

1. Hukum yang dibawa oleh nas qat’I baik kedudukannya maupun


pengertiannya, atau dibawa oleh Hadits Mutawir, seperi kewajiban
shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, haramnya riba dan makan
harta orang.
2. Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh sesuatu nas, dan tidak pula
diketahui dengan pasti dari agama, melainkan telah disepakati
(diijma’kan) oleh para mujtahidin dari sesuatu masa, seperti
pemberian warisan untuk nenek perempuan, tidak sahnya
perkawinan yang dilakukan antara wanita Islam dengan orang lelaki
bukan muslim.

Adapun kedudukan yang bisa menjadi obyek ijtihad adalah:

1. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang dhanni, baik dari segi
pengertiannya, dan nas seperti ini adalah hadits. Ijtihad dalam hal ini
ditujukan kepada segi sanad dan pen-sahinannya, juga dari pertalian
pengertiannya dengan hukum yang sedang dicari.
2. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang qat’I kedudukannya, tetapi
dhanni pengertiannya, dan nas seperti ini terdapat dalam Qur’an dan
Hadits juga: Obyek ijtihad disini ialah segi pengertiannya saja.

3
3.Kedudukan yang dibawa oleh nas yang dhannu kedudukannya, tetapi
qat’I pengertiannya, dan hal ini hanya terdapat dalam Hadits. Obyek
Ijtihad dalam hal ini ialah segi sanad, sahihnya hadits, dan
pertaliannya dengan Rasul. Dalam ketiga-tiga kedudukan hukum
tersebut di atas semua, daerah ijtihad terbatas sekitar nas, di mana
seseorang mujtahid tidak bisa melampaui kemungkinan-
kemungkinan pengertian nas.
4. Kedudukan yang tidak ada nas-nya atau tidak iijma’kan dan tidak
pula diketahui dari agama dengan pasti. Di sini seseorang yang
berijtihad memakai qiyas, atau istihsan atau ‘urf atau jalan-jalan lain.
Di sini daerha ijtihad lebih luas daripada kedudukan-kedudukan lain.
D. Syarat- Syarat Ijtihad

syarat-syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad.


Menurut Al-Syaukani, untuk dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan
lima syarat. Masing-masing dalam lima persyafatan itu akan dilihat di
bawah ini:

1. Mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah.


Persyaratan pertama ini disepakati oleh segenap ulama usul
Fikih. Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah Fikih Hanafiah,
menyebutkan bahwa mengetahui al-Qur’an dana sunnah merupakan
syarat mutlakyang harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi, menurut
al-Syaukani, cukup bagi seorang mujtahid hanya mengetahui ayat-
ayat hukum saja. Bagi al-Syaukani, ayat-ayat hukum itu tidak perlu
dihafal oleh mujtahid, tetapi cukup jika ia mengetahui letak ayat itu,
sehingga dengan mudah ditemukannya ketika diperlukan.

Adapun berkenaan dengan pengetahuan tetang sunnah,


menurut al-Syaukini, seseorang mujtahid harus mengetahui sunnah
sebanyak-banyaknya. Ia mengetip beberapa pendapat tentang jumlah
hadits yang harus diketahui oleh mujtahid. Salah satu pendapat
menyebutkan bahwa seseorang mujtahid harus mengetahui lima
ratus hadits. Pendapat lain, yang diterima oleh Ibn al-Dharir dari
Ahmad ibn Hanbal, menyebutkan bahwa seorang mujtahid harus
mengetahui lima ratus ribu hadits.

2. Mengetahui ijmak,
Persaratan yang kedua harus mengetahui ijmak sehingga ia
tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan ijmak. Akan tetapi,
seandainya dia tidak memandang ijmak sebagai dasar hukum, maka

4
mengetahui ijmak ini tidak menjadi syarat baginya untuk dapat
melakukan ijtihad.

Di sini, al-Syaukini terlihat tidak secara ketat menempatkan


pengetahuan tentang ijmak sebagai syarat mutlak untuk dapat
melakukan ijtihad. Menurutnya, bagi orang yang berkeyakinan bahwa
ijmak sebagai dalil hukum, maka ia wajib mengetahui ijmak tersebut,
karena melanggar suatu konsensus para mujtahid merupakan suatu
kekeliruan dan dosa. Kendati demikian, tidak mungkin dipaksakan
persyaratan ini pada mujtihad yang berpendapat bahwa ijmak bukan
dalil hukum.

3. Mengetahui bahasa Arab,


Yang ketiga mengetahui bahasa Arab yang memungkinkannya
menggali hukum dari al-Qur’an dan sunnah secara baik dan
benar.Dalam hal ini menurut al-Syaukani- seorang mujtahid harus
mengetahui seluk-beluk bahasa Arab secara sempurna, sehingga ia
mampu mengetahui makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat
al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Secara rinci dan mendalam:
mengetahui makna lafal-lafal gharib (yang jarang dipakai);
mengetahui susunan-susunan kata yang khas (khusus), yang memilki
keistimewaan-keistimewaan unik. Untuk mengetahui seluk-beluk
kebahasan itu diperlukan beberapa cabang ilmu, yaitu: nahwu, saraf,
ma’ani dan bayan. Akan tetapi, menurutnya, pengetahuan (kaidah-
kaidah) kebahasaan itu tidak harus dihafal luar kepala, cukup bagi
seorang mujtahid mengetahui ilmu-ilmu tersebut melalui buku-buku
yang ditulis oleh para pakar di bidang itu, sehinggah ketika ilmu-ilmu
tersebut diperlukan, maka dengan mudah diketahui tempat
pengambilannya.
4. Mengetahui ilmu usul fikih.
Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih penting diketahui oleh
seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui tentang
dasar-dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang akan dapat
memperoleh jawaban suatu masalah secara benar apabila ia mampu
menggalinya dari al-Qur’an dan sunnahndengan menggunakan
metode dan cara yang benar pula. Dasar dan cara itu dijelaskan
secara luas di dalam ilmu usul fikih. Bila dilihat secara cermat,
terdapat tiga versi menyangkut penempatan pengetahuan tenteng
usul fikih sebagai syarat ijtihad:

5
 Pertama, yang menempatkan pengetahuan tentang usul fikih
sebagai salah satu bagian dari pengetahuan tentang al-Qur’an
dan sunnah.
 Kedua, yang tidak menempatkan usul fikih secara umum
sebagai syarat ijtihad, tetapi menempatkan pengetahuan
tentang qiyas sebagai gantinya.
 Ketiga, yang menempatkan usul fikih sebagai syarat tersendiri
dalam ijtihad.
5. Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang
dihapuskan). Menurut al-Syaukani, pengetahuab tenteng nasikh dan
mansukh penting agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum yang
telah mansukh, baik yang terdapat dalam ayat-ayat atau hadits-
hadits.

BAB III

PENUTUP

Setelah memahami, membuat dan mempelajari makalah ini maka


penyusun dapat menyimpulkan:

1. Ijtihad menurut pengetian kebahasaannya bermakna “badzl al-wus’ wa


al-majhud” (pengerahan daya dan kemampuan), atau “pengerahan segala
daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang
berat dan sukar”.
2. Ijtihad dalam terminologi usul fikih secara khusus dan spesifik mengacu
kepada upaya maksimal dalam mendapatkan ketentuan syarak. Dalam
hal ini, al-Syaukani memberikan defenisi ijtihad dengan rumusan :
“upaya seseorang ahli fikih (al-faqih) mengerahkan kemampuannya
secara optimal dalam mendapatkan suatu hukum syariat yang bersifat
zhanni. Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam ialah
mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum
agama (Syara’) melalui salah satu dalil Syara’, dan dengan cara-cara
tertentu.
3. Dasar hukum ijtihad:
 Firman Allah surat An-nisa' :59 dan 105, Al-Hasyr: 2, Al-
‘Ankabut:69.
 Banyak juga hadits-hadits Rosulullah SAW yang menyebutkan
tentang dasar-dasar ijtihad
 Ijmak
4. Fungsi ijtihad :

6
 Mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-
Quran dan Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan Maslahah
mursalah
 Menguji kebenaran hadits yang tidak sampai ke tingkat hadits
mutawattir.
5. Syarat-syarat seseorang dapat berijtihad menurut Al-Syaukani antara
lain :
 Mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah
 Mengetahui ijmak
 Mengetahui bahasa Arab
 Mengetahui ilmu usul fikih
 Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang
dihapuskan)

DAFTAR PUSTAKA

Rusli, Nasrun. 1999.Konsep Ijtihad Al-Syaukani. PT. Logos Wacana Ilmu :


Jakarta

Al Qardlawy, Yusuf. 1987. Ijtihad Dalam Syariat Islam – Beberapa Pandangan


Analitis tentang Ijtihad Kontemporer. PT.Bulan Bintang : Jakarta

Ash Siddieqy, Hasbi. 1993. Pengantar Ilmu Fiqih. PT Bulan Bintang : Jakarta

Jalaluddin Rahmat.Sumber Hukum Islam

http://alhumaydy.wordpress.com/2011/07/20/dasar-hukum-ijtihad

Anda mungkin juga menyukai