Anda di halaman 1dari 17

BAB VI

IJTIHAD
BAB VI
IJTIHAD

Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK):


Menguasai konsep tentang Sumber Ajaran Islam
Sub Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (Sub CPMK):
Memahami ijtihad sebagai sumber ajaran Islam
Indikator Sub CPMK:
1. Menjelaskan makna, fungsi dan kedudukan ijtihad
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang melatarbelakangi keanekaragaman
ijtihad ulama
3. Menyikapi keragaman hasil ijtihad
4. Menjelaskan peran ijtihad dalam pengembangan budaya dan profesi
5. Menerapkan nilai- nilai Ijtihad sebagai Landasan berfikir serta berperilaku
dalam ilmu dan Profesi.

A. Pendahuluan
Dalam kehidupan beragama, seringkali manusia dihadapkan pada
permasalahan-permasalahan yang baru muncul dan tuntutan untuk mencari
pemecahannya, yang salah satunya adalah melalui jalur agama. Dalam mencari
pemecahan melalui jalur agama ini, seringkali umat Islam mengalami kesulitan,
karena kehidupan dan peradaban terus bergulir serta berkembang, sedangkan
agama apabila hanya didasarkan kepada Al-Qur’an dan Hadis, akan mengalami
kesulitan. Hal tersebut karena Al-Qur’an hanya memuat prinsip-prinsip utama
dalam memberikan petunjuk. Di sisi lain, Hadis yang bersumber dari Rasulullah
saw sudah tidak mungkin lagi muncul, karena Rasulullah saw sendiri sudah wafat.
Atas dasar itu, maka para ulama dimulai dari kalangan sahabat mencoba mencari
solusi dari permasalahan dalam kehidupan dengan jalan penggalian hukum Islam
melalui konsep yang dinamakan sebagai ijtihad.
Pada bagian ini, anda akan diajak untuk memahami makna, fungsi dan
kedudukan ijtihad, mengetahui metode ijtihad, menjelaskan faktor-faktor yang
melatarbelakangi keanekaragaman ijtihad ulama, menyikapi keragaman hasil
ijtihad, mengetahui peran ijtihad dalam pengembangan budaya dan profesi, serta
bagaimana menerapkan nilai-nilai ijtihad dalam lingkungan pendidikan, keluarga,
dan pekerjaan

B. Makna, serta Fungsi dan Kedudukan Ijtihad


1. Makna Ijtihad
Syari’at Islam merupakan hukum yang berdasarkan fiman Allah swt,
sabda Rasulullah saw saw, atau pun yang diujikan dengan akal, yakni ijtihad.
Seperti: Ijma’, Qiyas, Istihsan. Dalam keberadaannya dalam syariat atau hukum
Islam, keberadaan Ijtihad menjadi jalan yang harus kita lalui untuk
mengistinbatkan hukum dari dalil-dalil Alquran dan Hadis, dan sebagai jalan yang
harus kita lalui untuk menentukan batasan yang dikehendaki oleh mu’amalah dan
hajat-hajat pergaulan.
Mubarak (2003) menjelaskan bahwa agama Islam yang bersifat luwes dan
dinamis, secara konseptual terkandung dalam prinsip syari’ah itu sendiri. Di
antara prinsip-prinsip tersebut adalah syari’ah selalu berprinsip kepada
menegakkan maslahah, menegakkan keadilan, tidak menyulitkan, menyedikitkan
beban dan berangsur-angsur dalam proses penerapan hukum. Prinsip tersebut
muncul dengan konteks Ijtihad.
Secara etiomologi ijtihad yaitu berasal dari bahasa Arab, yaitu “ijtahada-
yajtahidu-ijtihadan” yang artinya mengerahkan segala kemampuan dalam
menanggung beban. Dengan makna lain, ijtihad dilakukan tatkala ada keadaan
yang sulit untuk dilakukan atau permasalahan yang sulit dipecahkan. Adapun
secara terminologi ijtihad yaitu mencurahkan dan mengeluarkan semua
kemampuan akal dan pikiran untuk mengetahui atau menetapkan hukum atau
syari’at.
Perkembangan ijtihad akan terus berlangsung seiring perubahan zaman.
Perkembangan itu berkaitan dengan perbuatan manusia yang selalu berubah-ubah,
baik bentuk maupun macamnya. Dalam hubungan inilah, asy-Syahrastani
mengatakan bahwa kejadian-kejadian dan kasus-kasus dalam peribadatan dan
muamalah (tindakan manusia) termasuk yang tidak dapat dihitung. Secara pasti
dapat diketahui bahwa tidak setiap kasus ada nashnya. Perkembangan nash sudah
berakhir dengan wafatnya Rasulullah saw, sedangkan kejadian-kejadiannya
berlangsung terus tanpa batas; dan tatkala sesuatu yang terbatas tidak mungkin
dapat mengikuti sesuatu yang tidak terbatas, maka qiyas wajib dipakai sehingga
setiap kasus ada solusi mengenainya.
Para ulama membagi hukum untuk melakukan ijtihad dengan lima  bagian
(Syarifuddin, 1997), yaitu :
a. Wajib ain, yaitu bagi seorang yang faqih yang dimintai fatwa hukum
mengenai suatu peristiwa yang terjadi, sedangkan hanya dia seorang
faqih yang dapat melakukan ijtihad  dan apabila dibiarkan tanpa
jawaban dikhawatirkan peristiwa itu lenyap tanpa ada kepastian
hukumnya, maka hukum berijtihad baginya adalah wajib ain
b. Wajib Kifayah, yaitu bagi mereka yang dimintai fatwa hukum
mengenai suatu peristiwa, sedangkan hanya dia seorang faqih yang
dapat melakukan ijtihad, yang tidak dikhawatirkan peristiwa tersebut
akan lenyap. atau  selain dia masih terdapat faqih-faqih lainnya yang
mampu berijtihad. Maka apabila ada seorang faqih saja yang berijtihad
maka faqih yang lainnya bebas dari kewajiban berijtihad. Akan tetapi
jika tidak ada seorang faqihpun yang berijtihad maka faqih semuanya
yang ada di situ berdosa karena telah meninggalkan  kewajiban
kifayah.
c. Sunnah, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah
yang belum atau tidak terjadi. Tetapi umat menghendaki ketetapan
hukumnya, untuk mengantisipasinya. Artinya tidak berdosa seorang
faqih tersebut meninggalkan ijtihad, akan tetapi bila dia berijtihad
maka dia mendapatkan pahala.
d. Mubah, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah
yang belum atau sudah  terjadi dalam kenyataan. Tetapi kasus tersebut
belum diatur secara jelas dalam nas al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan
orang yang  faqih tersebut ada beberapa orang, maka ia dibolehkan
dalam berijtihad.
e. Haram, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah
yang telah ada hukumnya dan telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil
yang sharih, dan qath’i. atau apabila seorang yang melakukan ijtihad
tersebut belum mencapai tingkat faqih. Hal itu karena ijtihad tidak
boleh dilakukan bila telah ada dalil yang sharih dan qath’i, sedangkan
dia tidak punya kemampuan dalam berijtihad.

2. Fungsi dan Kedudukan Ijtihad


Kedudukan ijtihad adalah sumber hukum ketiga setelah yang pertama Al-
Qur’an dan yang kedua Hadis. Fungsi utama dari ijtihad ini adalah untuk
menetapkan suatu hukum tentang kejadian atau hal yang tidak dibahas secara rinci
jenis permasalahannya dalam Al-Qur’an dan Hadis, atau tidak terjadi ketika
zaman dahulu tatkala Rasulullah saw masih ada. Ijtihad tidak sekedar dalam
ruang lingkup fiqih ibadah, namun juga berlaku pada bidang politik, ekonomi,
budaya, tasawuf, dan falsafah
Untuk mencapai fungsi dan tujuannya di atas, maka tidak sembarang
orang dapat melakukan ijtihad, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang
yang berijtihad (mujtahid). Pada umumnya, syarat-sayat ijtihad yang
dikemukakan oleh para ulama usul fikih berfokus pada empat hal (Yahya, 1986).
a. Pertama, memiliki pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya.
Hal itu harus ditunjang oleh pengkajian dan penelaahan seluk-beluk
kesusasteraan Arab baik yang berbentu prosa maupun puisi.
b. Kedua, mengetahui nas-nas Alquran perihal hukum-hukum syara’ yang
dikandungnya, ayat-ayat hukumnya, dan cara meng-istinbāṭ-kan hukum
darinya. Mujtahid juga harus mengetahui asbāb al-nuzūl, nāsikh wa al-
mansūkh, serta tafsir dan takwil dari ayat-ayat yang di-istinbāṭ-kan.
c. Ketiga, mengetahui nash-nash hadis. Mujtahid harus mengetahui
hukum syariat yang didatangkan oleh hadis dan mampu mengeluarkan
hukum taklif darinya. Di samping itu, ia juga dituntut mengetahui
derajat dan nilai hadis.
d. Keempat, mengetahui maqāṣid al-syarī’ah, tingkah laku dan adat
kebiasaan manusia yang mengandung maslahat dan madarat,
serta ‘illat hukum dan dapat menganalogikan peristiwa dengan
peristiwa yang lain
Dalam kitab Uṣūl al-fiqh, Muḥammad Abū Zahrah mengajukan delapan
syarat, yaitu
a. Mengetahui bahasa Arab,
b. Mengetahui ilmu Al-Qur’an; nāsikh dan mansūkh-nya,
c. Mengetahui dengan baik sunnah,
d. Mengetahui posisi-posisi ijmak dan kontroversialitas,
e. Mengetahui analogi (al-qiyās),
f. Mengetahui maqāṣid al-aḥkām,
g. Memiliki pemahaman dan pandangan yang sehat, dan
h. Memiliki niat yang niat dan iktikad yang bersih dan lurus

C. Metode dan Pola Ijtihad


1. Metode Ijtihad
Pada umumnya, ijtihad di bagi pada tiga metode ijtihad, yakni:
 Ijtihad Al-Bayani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’
yang terkandung dalam nash namun sifatnya masih zhonni baik dari segi
penetapannya maupun dari segi penunjukannya. Ijtihad ini hanya memberikan
penjelasan hukum yang pasti dari dalil nash tersebut. Sebagai contoh yaitu
menetapkan keharusan ber’iddah tiga kali suci terhadap isteri yang dicerai dalam
keadaan tidak hamil dan pernah dicampuri.berdasarkan firman Allah swt:

‫َّصنَ بِأَنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلَثَةَ قُر ُٓو ٖۚء‬ ُ َ‫َو ۡٱل ُمطَلَّ ٰق‬
ۡ ‫ت يَتَ َرب‬
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru' (QS al-Baqarah ayat 228)

Dalam ayat ini dijelaskan batas waktu iddah adalah  tiga kali quru’ namun
tiga kali quru’ tersebut bisa berarti suci atau haid. Ijtihad menetapkan tiga kali
quru’ dengan memahami petunjuk/qarinah yang ada disebut  ijtihad bayani.

Ijtihad Ta’lili/Al-Qiyasi, yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan


hukum terdapat permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah
dengan menggunakan metode qiyas.  Dalam ijtihad qiyasi ini hukumnya memang
tidak tersurat tetapi tersirat dalam dalil yang ada. Untuk mencari hukum tersebut
diperlukan ijtihad qiyasi. Contoh hukum memukul kedua orang tua yang
diqiyaskan dengan mengatakan ucapan “ah”.

ّ ٖ ُ‫فَاَل تَقُل لَّهُ َمٓا أ‬...


‫ف َواَل ت َۡنهَ ۡرهُ َما َوقُل لَّهُ َما قَ ۡواٗل َك ِر ٗيما‬
Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya Perkataan “akh” (Q.S al-Isra’: 23)

Permasalahannya ialah menyakiti hati kedua orang tua, diqiyaskan kepada


hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa itu nyatalah bahwa hati orang
tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan “ah” yang
diucapkan anaknya kepadanya.
 Ijtihad Istishlahi, Menurut Muhammad Salam Madkur ijtihad istishlahi
adalah pengorbanan kemampuan untuk sampai kepada hukum syara’ (Islam)
dengan menggunakan pendekatan  kaidah-kaidah  umum (kulliyah), yaitu  
mengenai masalah yang mungkin digunakan pendekatan kaidah-kaidah umum
tersebut, dan tidak ada nash yang khusus atau dukungan ijma’ terhadap masalah
itu. Selain itu, tidak mungkin pula diterapkan metode qiyas atau metode istihsan
terhadap masalah itu.
Dalam metode ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna menciptakan
beberapa prinsip umum yang digunakan untuk melindungi atau mendatangkan
kemaslahatan. Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan yaitu:
daruriyat (kebutuhan esensial), hajiyat (kebutuhan primer), tahsiniyyah
(kebutuhan kemewahan). Prinsip umum ini ditujukan kepada persoalan yang ingin
diselesaikan. Misalnya tranplantasi organ tubuh, bayi tabung dan hal-hal lain yang
tidak dijelaskan oleh nash.
2. Jenis /Pola Ijtihad
Para ulama mendeskripsikan pola atau jenis ijtihad ke dalam berbagai
istilah sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapinya, diantaranya ialah:
a. Ijma’ ialah kesepakatan pengambilan hukum yang diambil dari fatwa
atau musyawarah para ulama tentang suatu perkara yang tidak
ditemukan hukumnya di dalam Al-Qur'an ataupun Hadis.
Contohnya hukum mengkonsumsi ganja atau sabu-sabu adalah haram,
karena dapat memabukkan dan berbahaya bagi tubuh serta merusak
pikiran.  
b. Qiyas adalah menyamakan atau mengibaratkan, dengan pengertian
lain yaitu menetapkan suatu hukum dalam suatu perkara baru yang
belum pernah ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan
seperti sebab, manfaat, bahaya atau  berbagai aspek dalam perkara
sebelumnya sehingga dihukumi sama.
Contohnya seperti pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa
perkataan “ah” kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap
meremehkan dan menghina, sedangkan memukul orang tua tidak
disebutkan. Jadi diqiyaskan oleh para ulama bahwa hukum memukul
dan memarahi orang tua sama dengan hukum mengatakan ”ah” yaitu
sama-sama menyakiti hati orang tua dan sama-sama berdosa.
c. Maslahah mursalah ialah suatu cara menetapkan atau mengambil
hukum  berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan manfaatnya. 
Contohnya: di dalam Al-Qur’an ataupun Hadist tidak terdapat dalil
yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al-Qur’an. Akan
tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
d. Saddu dzari’ah  adalah memutuskan suatu perkara yang mubah
menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
e. Istishab adalah  tindakan dalam menetapkan hukum atau suatu
ketetapan sampai ada alasan yang mengubahnya.
Contohnya:  seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu
ataupun belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang/yakin kepada
keadaan sebelum ia berwudhu’,  sehingga ia harus berwudhu kembali
karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
f. Urf  yaitu suatu tindakan dalam menentukan suatu perkara
berdasarkan adat istiadat yang berlaku di masyarakat dan tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis.
Contohnya : ijab qabul dalam jual beli dilakukan dengan ucapan
terimakasih. Hal ini berdasarkan adat istiadat masyarakat yang terbiasa
mengucapkan kata terimakasih ketika mengakhiri transaksi jual beli.
g. Istihsan yaitu suatu tindakan dengan meninggalkan satu hukum
kepada hukum lainnya, disebabkan adanya suatu dalil syara’ yang
mengharuskan untuk meninggalkannya.
Contohnya: didalam syara’, kita dilarang untuk mengadakan jual beli
yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut
istihsan, syara’ memberikan rukhsah yaitu kemudahan atau
keringanan, bahwa jual beli diperbolehkan dengan sistem pembayaran
di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
D. FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI
KEANEKARAGAMAN IJTIHAD ULAMA
Terdapat beberapa faktor yang menmpengaruhi terjadinya
keanekaragaman hasil ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid dalam
menggali hukum-hukum baru yang terjadi pada kehidupan ummat Islam dan tidak
atau belum diatur sebelumnya di dalam Al-Qur’an maupun Hadis, yaitu

1. Perbedaan metode memahami ayat al-Qur’an


Seluruh ulama sepakat bahwa Al-Qur’an adalah dasar yang paling utama
bagi seorang mujtahid dalam berijtihad. Semua perkara yang terjadi dalam
kehidupan harus dikembalikan kepada Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama
dan pertama. Seiring perjalanan waktu, setelah kematian Rasulullah saw, para
sahabat maupun tabi’in kesulitan mencari mencari orang-orang yang benar-benar
memahami masalah asbab al Nuzul dari setiap ayat, sehingga terjadi perbedaan
pemahaman dari para sahabat dalam memahami hukum yang terdapat dalam Al-
Qur’an. Terjadinya perbedaan di kalangan mereka disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut:
a. Adanya perbedaan wawasan dan pengetahuan para sahabat, karena
perbedaan lamanya mereka bergaul dengan Rasulullah saw.
b. Adanya “ta’arrudl al-nushush” (pertentangan antar ayat-ayat),
misalnya masalah “iddah wafat” dan “iddah hamil” yang disebabkan
perbedaan di dalam memahami makna lafdziyyah ayat, seperti lafal "

‫قروء‬/Quru’".
c. Adanya susunan ayat yang mengandung dua presepsi atau wajah,
seperti ayat tentang “Ila’ (Suami bersumpah tidak akan mencampuri
istrinya atau menidurinya).

2. Perbedaan dalam methode memahami al-sunnah


Al-Hadis yang dikeluarkan oleh Rasulullah saw selama 22 tahun lebih itu
disebabkan adanya kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat pada waktu
itu. Di antara kasus-kasus tersebut ada yang disepakati dan ada pula yang
dibatalkan. Begitu juga keadaan para sahabat yang bermacam-macam, ada yang
lebih dahulu masuk Islam dan ada yang baru saja masuk. Ada yang juga sebagian
waktunya dipergunakan untuk mencari ilmu. Begitu juga waktu untuk berijtihad,
dimana para sahabat itu ada yang hampir seluruh waktunya dipergunakan untuk
mengikuti jejak Rasulullah saw dan mereka ini jelas wacana keagamaannya lebih
luas dari yang lain..
Oleh sebab itu, para sahabat yang masuk Islam lebih dahulu, lalu
waktunya dihabiskan untuk menyertai Rasulullah saw, maka wawasan mereka
dalam kemampuan memahami nash, lebih sempurna dibandingkan dengan
sahabat yang masuk Islamnya belakang dan waktu mereka gunakan untuk
menyertai Rasulullah saw hanya sedikit. Dengan keadaan inilah maka Hadis
Rasulullah saw yang diterima para sahabat tersebut tentu tidak sama.
Sekalipun dapat dikatakan bahwa hampir seluruh waktu para sahabat itu
dipergunakan untuk menyertai Rasulullah saw, tidak semuanya al-Hadis
diterimanya. Hal ini terjadi pada sahabat berikut:
a. Abu Bakr al-Shiddiq, yang tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan
sahabat tentang “Pusaka Nenek”, sebab dalam al-Qur’an dan al- Hadis
belum pernah ditemukannya. Lalu para sahabat dikumpulkan untuk
mencari jawabannya. Dari peristiwa itulah, maka sahabat Mughirah bin
Syu’bah dan Muhammad bin Maslamah menjawab dengan mengatakan
bahwa Rasulullah Muhammad saw. pernah memberikan bagian nenek
perempuan sebanyak seperenam (1/6) dari harta pusaka.
b. Khalifah Umar bin Khathab, yang berfikir lama sekali dalam
memahami masalah Abdurrahman bin Auf menjelaskan sabda
Rasulullah saw dengan mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Perlakukanlah mereka itu (Kafir Majusi) sebagaimana perlakuan
terhadap ahli kitab.”
c. Masalah “Mufawwidlah”, artinya wanita yang langsung menyerahkan
dirinya kepada seorang laki-laki dengan tidak menetapkan besar
kecilnya mahar yang suaminya mati sebelum disetubuhi. Sedang yang
dipersoalkan di sini adalah
1) Apakah wanita ini mendapatkan “mahar” atau tidak ?
2) Apakah status thalaq karena kematian suami itu sama dengan status
thalaq karena dithalaq suami yang masih hidup ?
Dalam menanggapi masalah tersebut, sahabat satu dengan yang lain
berbeda pendapat, di antaranya ialah:
1) Ali dan Zaid bin ‘Umar berpendapat bahwa “Mati itu sama dengan
Talak” dan tidak berhak untuk mendapatkan “Mahar Mitsil”
2) Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa “Mati itu tidak sama dengan
talak”. Dan berhak mendapatkan “Mahar Mitsil”. Hal ini
berdasarkan al-Hadis tentang masalah “Mufawwidlah” yang terjadi
pada diri “Barwa’ binti Mas’ud yang isinya menjelaskan bahwa
wanita Mufawwidlah itu berhak menerima “Mahar Mitsil”.

d. Masalah Mandi-Wajib bagi wanita yang rambutnya tebal. Dalam


hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat, yaitu”
1) Umar berpendapat wanita tersebut harus menguraikan rambutnya
supaya airnya dapat merata di atas kepala.
2) ‘Aisyah berpendapat setelah mendengar fatwa ‘Umar sambil merasa
geli hatinya dengan mengatakan, “Benar-benar aku mandi bersama
Rasulullah saw dari satu bejana, sedangkan aku tidak melebihi
menuangkan air di atas kepalaku dari tiga kali siraman.”

e. Masalah Nasikh-Mansukh dalam al-Hadis. Dalam hal ini terjadi


perbedaan pandangan di kalangan para sahabat, yang disebabkan
adanya sahabat yang belum mengetahui bahwa al-Hadis itu sudah di-
nasakh, seperti Ibnu Mas’ud. Sedang Hadis yang me-nasakh sudah
diketahui oleh sahabat lain yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi
Waqqash.
Dari kenyataan seperti itulah, maka para sahabat sangat berhati-hati dalam
menerima riwayat al-Hadis, sebagaimana yang terjadi pada diri sahabat ‘Umar bin
Khathab yang menolak al-Hadis tentang Fatimah binti Qaisy yang telah di talaq
bain, dimana orang yang tertalak bain tidak berhak menerima “Nafaqah dan
“tempat tinggal”.
Dengan demikian, maka dapat diketahui bahwa perselisihan antara sahabat
satu dengan yang lain dalam masalah keberadaan al-Hadis itu, disebabkan adanya
hal-hal sebagai berikut, yaitu:
1) Tidak tersebarnya al-Hadis secara meluas.
2) Terlalu teliti dan hati-hatinya para sahabat Rasulullah saw dalam
menerima suatu periwayatan al-Hadis.

3. Menyikapi Keragaman Hasil Ijtihad


Menyikapi begitu banyaknya keragaman hasil ijtihad, seringkali bagi
sebagian kalangan perbedaan hasil ijtihad ini melahirkan kebingungan dalam
beragama. Adapun bagi kalangan berpendidikan, minimal ada dua sikap yang
dapat dikembangkan dalam menyikapi keragaman hasil ijtihad, yakni :
a. Memahami bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah hal yang
wajar dan sehat. Kemampuan akal setiap manusia mempunyai kadar yang
berbeda-beda, karenanya kemampuan dalam menangkap isyarat yang ada
dalam nash-nash syariat juga berpotensi memunculkan perbedaan
pemahaman. Pada jaman sahabat pun, perbedaan pendapat adalah hal yang
lumrah terjadi. Menurut Husain Abdullah (1995:373), perbedaan ijtihad di
kalangan sahabat telah terjadi sejak zaman Rasulullah saw, dan Rasulullah
saw pun membenarkan hal tersebut dengan taqrir-nya.
b. Menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk tidak terlalu fanatik mazhab
atau pemikiran seorang ulama. Apabila hasil ijtihad seorang ulama
ternyata tidak tepat dalam suatu perkara, pada saat bersamaan terdapat
pendapat ulama lain yang lebih mendekati kebenaran, maka menjadi wajib
bagi kita untuk mengikuti pendapat yang ada di ulama lain, sekalipun tidak
satu mazhab dengan kita. Para imam mazhab (mujtahid) sendiri
mengajarkan agar kita tidak bersikap fanatik. Al Banayuni (1994:90)
menyebutkan bahwa Ibn Abdil Barr meriwayatkan, bahwa Imam Abu
Hanifah pernah berkata, “Idza shahha al-hadith fahuwa madzhabi (Jika
suatu hadith/pendapat telah dipandang sahih maka itulah mazhabku).”
Selain itu, Al Dahlawi (1989: 112) menyebutkan, sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Al-Baihaqi, bahwa Imam Syafi’i pernah
berkata, “Jika kamu melihat ucapanku menyalahi hadith, amalkanlah
hadith tersebut dan lemparkanlah pendapatku ke tembok.”

4. Mengetahui Peran Ijtihad dalam Pengembangan Budaya dan Profesi


Dinamika hukum Islam dan perubahan masyarakat adalah laksana dua sisi
mata uang pada satu koin yang sama. Jika perubahan sosial tidak diikuti oleh
dinamika hukum, akibatnya pada saat tertentu, hukum tidak lagi memenuhi
kebutuhan masyarakat. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan sosial yaitu
ketidakseimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga sosial yang
mengakibatkan terjadinya kepincangan dan kesenjangan dalam masyarakat. Oleh
karena itu ijtihad dalam bidang hukum Islam dalam mengantisipasi dinamika
masyarakat dan perubahan sosial merupakan suatu hal yang mesti dilakukan.
Dalam kajian hukum Islam, dinamika masyarakat dan perubahan sosial
yang menyangkut nilai, pola tingkah laku, dan sistem sosial suatu masyarakat
sangat menjadi perhatian dalam menetapkan hukum Islam. Para ahli hukum Islam
telah melakukan kodifikasi kaidah fiqhiyyah yang berkaitan dengan perubahan
sosial dan dinamika masyarakat yang diinduksi dari nas. Kaidah-kaidah itu antara
lain :
a. Ahmad al Hajji menyebutkan sebuah kaidah, “Tidak dapat
diingkari, perubahan hukum disebabkan oleh perubahan zaman.”
b. Jalaluddin as Suyuti berpendapat bahwa, Adat kebiasaan
(yang berlaku di kehidupan masyarakat) dapat menjadi hukum.
c. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah mengemukakan suatu prinsip
dalam berijtihad, yaitu berubahnya dan berbedanya fatwa itu sejalan
dengan perubahan zaman, tempat, kondisi sosial, niat, dan adat
kebiasaan.
Kaidah-kaidah yang dikemukakan terdahulu itu memberikan gambaran
dan mencitrakan bahwa hukum Islam itu dinamis tidak statis.

5. Menerapkan Nilai-nilai Ijtihad dalam Lingkungan Pendidikan,


Keluarga, dan Pekerjaan
Secara garis besar, ijtihad dilakukan dengan beberapa manfaat yang
diperolehnya, di antaranya yakni:
a. Umat Islam memperoleh hukum baru atas permasalahan baru yang
muncul seiring berkembang dan modernisasi zaman
b. Memperoleh relevansi antara hukum Islam yang berlaku dalam syariat
sesuai dengan kondisi zaman, keadaan, waktu juga perkembangan
zaman.
c. Menetapkan hukum halal-haram atas permasalahan yang muncul dan
tidak membuat kesimpangsiuran hukum dalam masyarakat.
d. Mempermudah dan menolong umat Islam dalam menyikapi masalah
yang belum dijelaskan hukumnya.
Atas dasar itu, nilai-nilai yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan
baik di lingkungan pendidikan, keluarga dan pekerjaan, setelah memahami
urgensi ijtihad dalam ajaran Islam adalah sebagai berikut :
a. Menanamkan nilai ketauhidan, bahwa segala kehidupan kita tidak
akan pernah lepas dari aspek ketuhanan dan spiritualitas. Sehingga
hendaknya kita mengembalikan segala urusan dalam kehidupan kita
kepada aspek ketuhanan, sebagaimana telah dibahas sebelumnya;
b. Menanamkan nilai optimisme, bahwa segala masalah pasti ada jalan
keluarnya. Allah swt swt telah mengaruniakan Al-Qur’an dan Alam
semesta, serta hati dan akal sebagai sarana untuk menggali isyarat
solusi dari setiap permasalahan yang ditemui
c. Menanamkan nilai toleransi, bahwa setiap orang mempunyai
pandangan dan pendapatnya sendiri sesuai dengan dasar pemahaman
akan ilmu yang dimilikinya. Karenanya perlu ditanamkan toleran dan
kemauan untuk menerima perbedaan dalam kehidupan
d. Menanamkan pemahaman kehidupan yang dinamis dan kreatif. Semua
aspek dalam kehidupan ini berubah, yang tetap hanyalah perubahan
itu sendiri. Memahami akan fenomena perubahan yang terjadi dalam
kehidupan, maka kita akan melihat bahwa ajaran Islam akan selalu
relevan, dan penggalian hukum akan mampu menyesuaikan diri sesuai
dengan perubahan yang ada di masyarakat.
e. Ijtihad ini maknanya bersungguh-sungguh dalam mencari jawaban
dan solusi dari permasalahan yang ada dalam kehidupan beragama.
Sehingga dari ijtihad kita mengimplementasikan nilai kesungguhan
ini, tidak mudah menyerah, dan gigih dalam menjalani kehidupan
dalam berbagai posisi kehidupan kita.

Anda mungkin juga menyukai