Anda di halaman 1dari 25

ONTOLOGI :

METAFISIKA, ASUMSI, DAN PELUANG

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
Filsafat Sains
yang dibina oleh
Prof. Subandi, M. Si dan Dr. Aman Santoso, M. Si

Oleh :
1. Sandy Danar Cintya Sari NIM. 130331811100
2. Ulya Lathifa NIM. 130331811070
3. Yunilia Nur Pratiwi NIM. 130331811094

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
Oktober 2013
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Filsafat merupakan bahan kajian yang bertujuan untuk menjawab berbagai
persoalan secara menyeluruh, mendasar, dan mendalam akan hakikat tentang se-
suatu. Kegiatan penelaahan dan penalaran dengan mengajukan beberapa argument
disertai penarikan kesimpulan tentang masalah-masalah tertentu dapat disebut
sebagai kegiatan berfilsafat. Dapat dikatakan bahwa filsafat merupakan ilmu yang
mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu
(Ihsan:2010).
Pokok permasalahan yang dikaji dalam filsafat mencakup tiga bagian,
yaitu apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika), mana yang
dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta mana yang termasuk
indah dan mana yang termasuk jelek (estetika). Sebagai suatu ilmu, filsafat
merupakan kajian yang ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat
keilmuan. Tiga bidang kajian dalam filsafat ilmu meliputi ontologi, epistemologi,
dan aksiologi. Ontologi mengkaji pengetahuan itu sendiri, apa hakikat sebenarnya
dari objek yang dipelajari. Epistemologi merupakan bidang kajian yang menyeli-
diki asal mula, proses, dan metode-metode pemerolehan suatu ilmu, sedangkan
aksiologi merupakan bidang yang mengkaji hakikat nilai kegunaan suatu ilmu
pengetahuan (Suriasumantri, 2010). Dengan demikian, diharapkan bidang kajian
ontologi akan dapat menjawab pertanyaan tentang “apa”, epistemologi diperlukan
untuk menjawab pertanyaan “bagaimana”, dan aksiologi mampu menjelaskan
pertanyaan “mengapa” (Susanto, 2011).
Dalam makalah ini, penulis memfokuskan ruang lingkup masalah pada
aspek ontologi. Berdasarkan objeknya, bidang kajian ontology dibagi menjadi
objek formal dan objek material. Objek material filsafat meliputi segala sesuatu,
sedangkan objek formalnya meliputi hakikat yang sebenarnya tentang sesuatu
tersebut. Berdasarkan bentuknya, objek material filsafat dapat berupa objek
konkret atau empiris, dapat pula berupa objek abstrak, yang akan dibahas lebih
jauh dalam kajian metafisika.
Dalam kegiatan penelaahan tentang objek-objek material filsafat, diperlu-
kan beberapa asumsi yang berperan dalam memberikan arah dan landasan bagi
kegiatan penelaran. Asumsi yang digunakan harus berdasarkan fakta dan teori-
teori yang sudah ada sehingga dapat dibuktikan kebenarannya secara logis dan
rasional. Keberagaman gejala yang muncul di alam memberikan kemungkinan
atau peluang munculnya fakta-fakta baru yang dapat mempengaruhi penelaahan
dan penalaran terhadap suatu objek.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah
ini meliputi :
1. Apakah yang dimaksud dengan metafisika dalam ilmu filsafat?
2. Apakah yang dimaksud dengan asumsi dan bagaimana perannya dalam ilmu
filsafat?
3. Apakah yang dimaksud dengan peluang dan bagaimana perannya dalam ilmu
filsafat?
4. Apa sajakah yang menjadi batas-batas penjelajahan ilmu?

C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan pembahasan maka-
lah ini mencakup :
1. Memahami pengertian metafisika dalam ilmu filsafat
2. Memahami pengertian asumsi dan perannya dalam ilmu filsafat
3. Memahami pengertian peluang dan perannya dalam ilmu filsafat
4. Menjelaskan tentang batas-batas penjelajahan ilmu
BAB II
PEMBAHASAN

Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata on/ontos
yang berarti ada dan logos yang berarti ilmu pengetahuan, sehingga dapat disim-
pulkan bahwa ontologi merupakan ilmu tentang sesuatu yang ada. Dalam kajian-
nya, ontologi membahas asas-asas rasional dari segala sesuatu yang ada dan
berusaha memahami secara mendalam esensi terdalam dari sesuatu yang ada
tersebut (Susanto, 2011). Dalam Zubaidah (2011) dikatakan bahwa ontologi
seringkali disebut pula sebagai ilmu hakikat yang mengkaji tentang hakikat
sebenarnya dari ilmu pengetahuan itu sendiri, tentang suatu kenyataan yang tidak
bersifat sementara atau berubah menurut keadaan. Jadi, dapat dikatakan bahwa
ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat segala sesuatu yang ada,
baik yang berbentuk konkret maupun yang abstrak.
Objek kajian ontologi terbagi menjadi dua bentuk, yaitu objek material dan
objek formal. Objek-objek material dapat digolongkan kembali menjadi objek
material konkret/empiris dan objek material abstrak. Bidang kajian metafisika
akan membahas lebih lanjut tentang objek abstrak tersebut. Dalam mempelajari
objek material ontologi diperlukan asumsi-asumsi yang bersifat rasional.
Munculnya beberapa kemungkinan dalam mempelajari fakta-fakta tentang objek
material akan memunculkan peluang ditemukannya pengetahuan. berikut
pembahasan untuk masing-masing bidang kajian ontologi tersebut.

A. METAFISIKA
Istilah metafisika berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata meta
yang berarti selain, sesudah, atau dibalik, dan kata phusika yang berarti hal-hal
yang berada di alam. Jadi, metafisika merupakan cabang filsafat yang membicara-
kan hal-hal yang berada dibalik atau selain hal-hal yang bersifat nyata di alam.
Dengan kata lain, metafisika mengkaji hakikat dari segala sesuatu yang ada di
alam tanpa dibatasi oleh gejala-gejala fisik yang bisa ditangkap oleh panca indera
(Sartika, 2011).
Kajian di bidang ontologi terkait dengan bidang metafisika. Sesuai dengan
pengertiannya, ontologi merupakan bidang kajian filsafat ilmu yang mempelajari
tentang hakikat sebenarnya dari segala sesuatu yang ada, sedangkan metafisika
menjelaskan apakah hakikat yang sebenarnya itu, tanpa terbatas dari segi fisiknya
saja. Oleh karena itu, Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer menyatakan bahwa bidang metafisika merupakan tempat
berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Dunia yang
nampaknya sangat nyata ternyata menimbulkan berbagai spekulasi filsafati
tentang hakikatnya, dan metafisika berusaha mehjawab pertanyaan tentang
kenyataan di alam ini.
Munculnya berbagai spekulasi tentang segala sesuatu di alam memuncul-
kan berbagai tafsiran tentang metafisika. Secara umum, ada dua tafsiran yang
saling bertolak belakang dalam mengkaji metafisika, yaitu supernaturalisme dan
naturalism.
1. Supernaturalisme
Tafsiran pertama yang diberikan oleh manusia terhadap keberadaan alam
ini adalah tentang adanya wujud gaib yang bersifat lebih tinggi dan lebih berkuasa
dibandingkan alam yang nyata. Tafsiran filsafat tersebut melahirkan kepercayaan
Animisme, yaitu kepercayaan manusia terhadap roh-roh yang mendiami suatu
benda, seperti pohon, batu, air terjun, dan lain-lain. Animisme merupakan keper-
cayaan tertua dalam sejarah perkembangan manusia, bahkan sampai saat ini masih
dipeluk oleh sebagian orang di dunia.
2. Naturalisme
Paham naturalisme muncul sebagai lawan dari supernaturalisme. Orang-
orang yang menganut paham naturalisme tidak percaya akan adanya wujud-wujud
supernatural yang bersifat gaib. Mereka meyakini bahwa segala kejadian di alam
disebabkan oleh pengaruh kekuatan alam itu sendiri, yang dapat dipelajari
sehingga dapat dipahami oleh manusia.
Paham naturalism dikembangkan lebih lanjut oleh Democritos, yang
kemudian mendasari munculnya teori atom. Menurut Democritos, seegala gejala
yang ada di alam dapat didekati dari proses kimia-fisika. Rangsangan yang
ditangkap oleh panca indera kita akan diteruskan melalui sinyal-sinyal syaraf ke
otak dan menghasilkan gejala-gejala yang dapat dirasakan atau diamati. Paham ini
disebut dengan aliran mekanistik. Hal tersebut tidak menimbulkan masalah jika
objek kajian pengetahuan hanya meliputi benda-benda mati. Namun, berbeda
halnya jika yang ditelaah adalah makhluk hidup, termasuk manusia. Pendapat
tersebut kemudian ditentang oleh kaum vitalistik, yang menganggap makhluk
hidup (sebagai objek kajian pengetahuan) merupakan sesuatu yang unik dan
berbeda secara substansif dengan proses-proses kimia-fisika seperti yang
dijelaskan di atas.
Sebagai sesuatu yang unik, manusia mampu melakukan kegiatan berpikir
yang menghasilkan pengetahuan tentang objek-objek yang ditelaahnya. Namun,
bagaimana hakikat sebenarnya dari pemikiran manusia tersebut ? Apakah pikiran
manusia tentang suatu objek/materi/zat tersebut sama dengan objek yang ada ?
Ataukah pemikiran tersebut berbeda dengan zat yang ditelaah ? Hal ini kemudian
melahirkan aliran-aliran dalam memahami metafisika, diantaranya :
1. Aliran Monoisme
Menurut paham monoisme, hakikat dari seluruh kenyataan hanya
bersumber pada satu hal, dapat berupa jasmani (materi) maupun rohani. Paham ini
kemudian terbagi lagi menjadi dua aliran,
a. Materialisme
Menurut aliran materialisme, segala sesuatu berasal dari materi dan itulah
kenyataan sebenarnya dari suatu objek. Paham ini disebut juga naturalisme.
b. Idealisme
Aliran ini menganggap bahwa hakikat dari segala sesuatu berasal dari roh,
yaitu sesuatu yang bersifat gaib, tidak berbentuk, namun menempati ruang.
Materi/objek yang dapat ditangkap oleh panca indera merupakan penjelmaan dari
roh tersebut.
2. Aliran Dualisme
Aliran ini mencoba memadukan paham materialisme dan idealisme yang
saling bertentangan. Menurut aliran dualism, segala sesuatu yang berada di alam
pada hakikatnya berasal dari dua sumber, yaitu materi dan bentuk. Keduanya tidak
dapat dipisahkan, materi tidak dapat terwujud tanpa bentuk dan sebaliknya bentuk
tidak dapat diamati tanpa adanya materi. Jadi, setiap objek yang ada di alam
tersusun dari bentuk dan materi.
3. Aliran Pluralisme
Aliran ini berpendapat bahwa segala macam bentuk yang ada di alam
merupakan kenyataan. Segala sesuatu yang ada di alam tersusun atas banyak
unsure, lebih dari satu identitas.
4. Aliran Nihilisme
Menurut aliran nihilisme, dunia bersifat terbuka untuk kebebasan dan
kreativitas manusia. Dalam pandangan nihilisme, Tuhan sudah mati, munusia
bebas berkehendak dan berkreativitas.
5. Aliran Agnotitisme
Menurut aliran ini, manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu
dibalik kenyataannya, sebab kemampuan manusia terbatas dan tidak mungkin
tahu keseluruhan hakikat yang ada, baik yang ditangkap oleh indera maupun oleh
pikiranya. Paham agnotitisme mengingkari kemampuan manusia untuk mengeta-
hui hakikat suatu objek, baik objek materi (jasmani) maupun objek rohani.
Dalam kajian metafisika, ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba
menafsirkan alam sebagaimana adanya. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari
permasalahan yang dihadapai. Makin dalam penjelajahan ilmu yang dilakukan,
akan semakin banyak pertanyaan yang muncul. Karena beragamnya tinjauan
filsafat yang diberikan oleh setiap ilmuwan, maka pada dasarnya setiap ilmuwan
berhak mengutarakan filsafat individual yang berbeda. Titik pertemuan semua
pendapat tersebut berada pada sisi pragmatis dari ilmu.

B. ASUMSI
Asumsi adalah dugaan yang diterima sebagai dasar landasan berpikir ka-
rena dianggap benar. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang
tersirat. Asumsi dapat diartikan pula sebagai gagasan primitif gagasan tanpa
penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul
kemudian.
Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk
mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek
telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak. Hal
yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah me-
nentukan asumsi pokok keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian.
Salah satu contoh yang paling dekat adalah hipotesis penelitian, hipotesis dapat
dikatakan sebuah asumsi jika diperiksa ke belakang (backward), jika diperiksa ke
depan (forward) maka hipotesis merupakan kesimpulan.
Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang penting dalam setiap
bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan berakibat kesa-
lahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan menjembatani
tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil.

Paham-paham dalam asumsi


1. Deterministik
Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856)
dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengeta-
huan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal.
Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa
segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu.
2. Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat
pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak
ditemukan pada bidang ilmu sosial. Misalnya, tidak ada tolak ukur yang tepat
dalam melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistik menunjukkan
semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan
suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya
animismenya. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung
ruang dan waktu.
3. Probabilistik
Pada sifat probabilistik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada
namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan
peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk
memiliki sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu
pengetahuan modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan.
Asumsi diperlukan dalam suatu analisis keilmuan. Semakin banyak asumsi
berarti semakin sempit ruang gerak penelaahan suatu obyek observasi. Dengan
demikian, untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat analistis, yang mampu
menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang ada, maka pembatasan dalam
bentuk asumsi yang kian sempit menjadi diperlukan.

C. BEBERAPA ASUMSI DALAM ILMU


1. Asumsi-asumsi dalam ilmu
Asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah. Asumsi
kedua adalah asumsi yang mendasari telaah moral. Seorang ilmuwan harus benar-
benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab
mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemiki-
ran yang digunakan.

2. Cara mengembangkan asumsi


Dalam mengembangkan asumsi perlu diperhatikan beberapa hal :
 Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian displin keil-
muan. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian
teoritis.
 Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya ‘bukan’
bagaimana keadaan yang seharusnya.” Asumsi harus bercirikan positif, bukan
normatif.
Sering kita jumpai bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian keilmuan
tidak bersifat tersurat melainkan tersirat.Asumsi yang tersirat ini kadang-kadang
menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran
tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian
ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas.Sesuatu yang belum
tersurat dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat.
Pernyataan semacam ini jelas tidak akan ada ruginya, sebab sekiranya kemudian
ternyata asumsinya adalah cocok maka kita tinggal memberikan informasi,
sedangkan jika ternyata mempunyai asumsi yang berbeda maka dapat diusahakan
pemecahannya.

D. PELUANG
Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti
mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Ilmu memberikan
pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan yang didasarkan pada penaf-
siran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Peluang/ probabilitas merupakan
salah satu konsep yang sering digunakan untuk mendeskripsikan realitas di kehi-
dupan sehari-hari. Bahkan, aplikasinya tidaklah terbatas hanya pada percakapan
keseharian, namun juga mencakup wilayah yang lebih serius dan refleksif, yaitu
sains.
Peluang merupakan suatu nilai kebolehjadian suatu peristiwa. Peluang
dinyatakan dari angka 0 sampai 1. Angka 0 menyatakan bahwa suatu kejadian itu
tidak mungkin terjadi dan angka 1 menyatakan bahwa sesuatu itu pasti terjadi.
Misalnya bahwa peluang semua makhluk hidup itu akanmati dinyatakan dengan
angka 1 dan kemungkinan gunung berjalan adalah 0.
Carl Hempel dalam bukunya berjudul Philosophy of Natural Sciences
(1966) menjelaskan ada 2 jenis hukum yang berperan di dalam eksplanasi ilmiah,
yaitu hukum universal (laws of universal form) dan hukum probabilistik (laws of
probabilistic form).
1. Hukum Universal
Dalam hukum universal dijelaskan bahwa kapanpun dan dimanapun suatu
kondisi F terjadi maka akan selalu diikuti oleh kondisi G tanpa pengecualian.
Misalnya, kapanpun suhu gas dinaikkan dalam tekanan konstan maka volume
akan meningkat, kapanpun suatu benda dilarutkan dalam suatu pelarut maka titik
didih larutan akan meningkat, kapanpun suatu cahaya dipantulkan dalam suatu
permukaan bidang maka sudut sesudah pantulan akan sama dengan sudut sebelum
pantulan, kapanpun suatu magnet dibagi menjadi dua bagian maka bagian-
bagiannya akan menjadi magnet juga, dan lain-lain. Sebagian besar hukum
universal alam bersifat kuantitatif yang menyatakan hubungan matematis yang
spesifik antara karakteristik kuantitatif yang berbeda dari sistem fisika (seperti
hubungan antara tekanan, volume dan temperatur dalam gas) atau dari proses-
proses alam (misalnya hubungan antara periode revolusi dari suatu planet dan
rata-rata jarak dari matahari dalam hukum Kepler III). Hempel menyatakan bahwa
suatu pernyataan yang menyatakan suatu hubungan yang sama akan menjadi
hukum hanya jika ada alasan-alasan yang mengasumsikan bahwa suatu pernya-
taan itu benar. Kita tidak perlu membicarakan hukum alam yang salah. Namun
jika persyaratan-persyaratan itu diobservasi secara detail, maka hukum Galileo
dan hukum Kepler tidak akan lagi menjadi hukum. Berdasarkan pengetahuan
fisika yang ada mereka hanya mengira-ira dan kemudian kita lihat bahwa teori
fisika menjelaskan hal yang terjadi. Tidak semua penyataan keseharian menjadi
suatu hukum alam. Misalnya, seluruh batu dalam kotak ini mengandung besi
(iron). Seluruh batu dalam kotak sebagai penyataan F dan mengandung besi
sebagai pernyataan G. Namun tidak dapat dinyatakan sebagai hukum. Pernyataan
tersebut digolongkan dalam “accidental generalization”. Penyataan tersebut
hanya berlaku pada kasus-kasus yang spesifik. Kita tidak bisa menjadikan
pernyataan tersebut berlaku untuk semua kasus. Jika seluruh batu dalam kotak
mengandung besi kita tidak bisa mengatakan bahwa jika batu itu diganti kerikil
maka seluruh kerikil dalam kotak itu mengadung besi.

2. Hukum Probabilistik
Tidak semua penjelasan ilmiah didasarkan pada hukum universal yang
kaku. Dalam suatu kasus, misalnya Jim terkena penyakit cacar air karena melaku-
kan kontak dengan kakaknya yang terkena cacar beberapa hari sebelumnya.
Hubungan ini tidak dapat dijelaskan dengan hukum alam. Hal ini dikarenakan
tidak semua penyakit cacar bisa menular ke orang lain. Namun yang dapat
disimpulkan adalah orang-orang yang melakukan kontak dengan penderita cacar
air kemungkinan besar akan tertular cacar air.Inilah yang disebut dengan hukum
probabilistik.
Berikut skema menurut Hempel (1966) dalam contoh kasus Jim diatas :

Jim melakukan kontak dengan penderita cacar air


Kemungkinan tinggi
Jim tertular cacar air
Pernyataan di atas garis yaitu Jim melakukan kontak dengan penderita
cacar air merupakan sebuah premis. Sedangkan pernyataan Jim tertular cacar air
merupakan sebuah konklusi.
Teori-teori keilmuan cenderung mendapatkan hal yang probabilistik
mengenai suatu kejadian. Kita tahu bahwa untuk menjelaskan fakta dari suatu
pengamatan tidak pernah pasti secara mutlak karena masih ada kemungkinan
kesalahan pengamatan. Namun di luar itu jika hal ini ditinjau dari hakikat hukum
keilmuwan maka terdapat kepastian yang lebih besar lagi. Karena itu ilmu
menyimpulkan sesuatu dengan kesimpulan probabilistik. Ilmu tidak pernah ingin
dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat
mutlak.
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan
lewat penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Misalnya seorang
ilmuwan geofisika dan meteorologi hanya bisa memberikan bawa kepastian tidak
turun hujan 0,8 atau seorang psikologi atau psikiater hanya bisa memberikan
alternatif mengenai jalan-jalan yang bisa diambil. Keputusan apa yang akan
diambil seseorang sehubungan informasi cuaca di atas atau langkah apa yang akan
diambil seseorang sesuai saran psikolog tergantung masing-masing pribadi. Kepu-
tusan ada di tangan masing-masing pribadi bukan pada teori-teori keilmuwan.
Berbeda dengan paranormal/dukun yang selalu mengatakan hal yang pasti dalam
berbicara. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil
keputusan, di mana keputusan harus didasarkan kepada penafsiran kesimpulan
ilmiah yang bersifat relatif. Kata akhir dari suatu keputusan berada di tangan
manusia dan bukan pada teori-teori keilmuan.

E. BATAS-BATAS PENJELAJAHAN ILMU


Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di
batas pengalaman manusia. Ilmu tidak membahas dan mempelajari segala sesuatu
di luar pengalaman manusia seperti adanya surga dan neraka, sebab musabab
kejadian manusia, dan semua kejadian sebelum manusia ada dan sesudah
kematian manusia. Ilmu dibatasi pada segala sesuatu di luar batas pengalaman
manusia karena letak fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia adalah
sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari seperti memerangi penyakit, membangun
jembatan, mambangun irigasi, membangkitkan tenaga listrik, mendidik anak,
meratakan pendapatan nasional dan sebagainya. Persoalan mengenai hari sebelum
manusia dan hari kemudian tidak akan ditanyakan kepada ilmu karena agamalah
tempat pengetahuan untuk mengkaji hal tersebut.
Selain karena letak ilmu dalam kehidupan manusia, batas penjelajahan
ilmu dibatasi pada pengalaman manusia karena metode yang digunakan dalam
menyusun ilmu telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu mema-
sukkan hal di luar batas pengalaman empirisnya, bagaimana didapatkan
pembuktian secara metodologis. Hal ini merupakan kontradiski yang menghilang-
kan kesahihan metode ilmiah. Selain pada batas pengalaman manusia, ilmu juga
dibatasi pada benar dan salahnya suatu pernyataan. Hal yang berkaitan mengenai
baik dan buruk akan dikaitkan pada sumber ilmu. Sedangkan semua hal mengenai
indah dan jelek akan dikaitkan pada kajian estetika. Sebagaimana pernyataan
Einstein bahwa ilmu tanpa bimbingan moral agama adalah buta. Kebutaan ini
hanya akan membawa malapetaka. Seperti halnya bom atom yang digunakan oleh
beberapa negara untuk saling menyerang.
Ruang penjelajahan keilmuan dibagi menjadi kapling-kapling berbagai
disiplin keilmuan. Kapling ini makin lama makin sempit sesuai dengan perkem-
bangan kuantitatif disiplin keilmuan. Dewasa ini banyak sekali cabang keilmuan
yang tumbuh. Tiap ilmuan harus mengetahui batas-batas penjelajahan cabang
keilmuannya masing-masing. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang
tindih (overlap) antara satu bidang disiplin ilmu dengan yang lainnya.
Dengan mengenali batas-batas keilmuan, selain untuk menunjukkan kema-
tangan keilmuan dan profesionalitas, juga dimaksudkan agar dapat mengenal
disiplin ilmu lain (pendekatan multidisipliner). Dengan demikian akan menjadi
jelas batas-batas antar disiplin ilmu dan akan mengurangi sengketa bidang keilmu-
an antara satu dengan yang lain. Tanpa kejelasan batas-batas ini maka pendekatan
multidisipliner tidak akan bersifat konstruktif melainkan berubah menjadi
sengketa.
Cabang-cabang Ilmu
Pertumbuhan dan kemajuan ilmu modern sejak Revolusi Keilmuan dalam
abad XVII sampai sekarang yang begitu luas dan mendalam telah melahirkan
demikian banyak cabang ilmu khusus.Bert Hoselit dalam The Liang Gie (2012:
152) menyebut bahwa pembentukan suatu cabang ilmu khusus yang baru dalam
bidang ilmu berkaitan dengan 3 hal yaitu :
(1) eksistensi dan pengenalan seperangkat problem-problem baru yang menarik
perhatian beberapa penyelidik,
(2) pengumpulan sejumlah data yang cukup sehingga memungkinkan adanya
generalisasi-generalisasi yang luas lingkupnya untuk menunjukkan problem-
problem yang sedang diselidiki, dan
(3) pencapaian pengakuan resmi atau institusional terhadap disiplin baru tersebut.

Syarat pertama dan kedua berkaitan dengan kerja intelektual yang dijalan-
kan dalam pengerjaan dan pembentukan disiplin ilmu secara bebas. Sedangkan
syarat ketiga berkaitan dengan penjaminan kelangsungan tetapnya suatu ilmu
sebagai suatu cabang studi dan penelitian yang bebas.
Klasifikasi menurut The Liang Gie (2012: 153) merupakan pengaturan
yang sistematik untuk menegaskan definisi suatu cabang ilmu, menentukan batas-
batas ilmu, dan menjelaskan hubungan suatu ilmu dengan cabang-cabang ilmu
lain. Carroll Pratt dalam The Liang Gie (2012: 154) menjelaskan bahwa semua
ilmu berangkat dari suatu himpunan bahan yang secara ontologis belum dibeda-
bedakan, yaitu data-data pengalaman. Ilmu-ilmu yang berbeda adalah pembagian-
pembagian kerja, bukan disiplin-disiplin yang membicarakan jenis-jenis bahan
awal yang berbeda-beda.
Hasrat untuk menspesialisasi diri pada satu bidang telaahan yang me-
mungkinkan analisis yang makin cermat dan saksama menyebabkan obyek forma
(obyek ontologis) dari disiplin keilmuan menjadi kian terbatas. Diperkirakan
sekarang ini terdapat sekitar 650 cabang keilmuan yang kebanyakan belum
dikenal oleh orang-orang awam.
Dalam The Liang Gie (2012: 156) disebutkan penggolongan ilmu menurut
beberapa ahli sebagai berikut.
a. Dikotomi Ilmu Menurut Para Ahli
Penggolongan ilmuyang banyak dikemukakan para ahli ialah pembedaan
segenap pengetahuan ilmiah dalam dua kelas yang istilahnya saling berlawanan.
Penggolongan ini tampak sederhana sehingga mudah dipahami. Tetapi pada
umumnya tidak memerinci berbagai cabang ilmu.

Tabel 1. Dikotomi Ilmu


Ahli Dikotomi Ilmu
Abstract science Concrete science
Karl Pearson
(ilmu abstrak) (ilmu konkret)
Apriori science Empirical science
William Kneale
(ilmu apriori) (ilmu empiris)
Basic science Applied science
Hal Kibbey
(ilmu dasar) (ilmu terapan)
Descriptive science Normative science
Herbert Searles
(ilmu deskriptif) (ilmu normative)
Empirical science Nonempirical science
Carl Hempel
(ilmu empiris) (ilmu nonempiris)
Exact science Inexcact science
Wilson Gee
(ilmu eksakta) (ilmu noneksakta)
Formal science Factual science
Rudolf Carnap
(ilmu formal) (ilmu factual)
Nomothetic science Idiographic science
Wilhelm Windelband
(ilmu nomotetik) (ilmu idiografik)
Positive science Empirical science
Latta dan Macbeath
(ilmu rasional) (ilmu empiris)
Rational science Empirical science
Even Beth
(ilmu rasional) (ilmu empiris)

b. Penggolongan Auguste Comte


Penggolongan ini didasarkan pada urutan tata jenjang, asas ketergan-
tungan, dan ukuran kesederhanaan. Comte memerinci ilmu-ilmu fundamental
sebagai berikut :
(1) matematika,
(2) astronomi,
(3) fisika,
(4) kimia,
(5) biologi,
(6) sosiologi, dan
(7) etika.
Dalam urutan tersebut, setiap ilmu yang terdahulu mempunyai sejarah
yang lebih tua, lebih sederhana secara logis dan lebih luas penerapannya daripada
setiap ilmu yang ada di bawahnya. Sebaliknya, masing-masing ilmu menurut hie-
rarki tersebutsemakin tergantung pada ilmu-ilmu yang mendahuluinya serta lebih
konkret dalam permasalahannya. Obyek material ilmu-ilmu tersebut tidak saling
terpisah secara eksklusif dan hanya berbeda satu sama lain secara abstrak.

c. Penggolongan Ilmu Peter Calder


Penggolongan ini dibuat berdasarkan tujuan-tujuan penelitian dari yang
murni bercorak kognitif hingga penelitian yang praktis.
(1) Ilmu akademik/ ilmu murni yaitu mencari pengetahuan demi pengetahuan
sendiri.
(2) Ilmu dasar yang terarah yaitu penelitian dalam suatu kerangka acuan
(3) Ilmu terprogram/ ilmu terapan yaitu penelitian dengan tujuan praktis atau
manipulatif
(4) Teknologi yaitu pemindahan pengetahuan ilmiah kepada pelaksanaan teknis

d. Penggolongan Ilmu dalam sebuah Ensiklopedi Ilmu dan Teknologi

Tabel 2. Penggolongan Ilmu dalam Sebuah Ensiklopedi Ilmu dan Teknologi

No. Ilmu Cabang Ilmu

Kimia Anorganik
Kimia organik
1. Kimia
Kimia analitik
Kimia fisik
No. Ilmu Cabang Ilmu

Kimia nuklir
Geologi
2. Ilmu Bumi Oseanografi
Meteorologi
Mikrobiologi
Genetika
Zoologi
Botani
3. Ilmu Hayat Fisiologi
Anatomi manusia
Kesehatan umum
Antropologi
Psikologi dan psikiatri
Ilmu hitung
Aljabar
Geometri
4. Matematika Trigonometri
Geometri analitik
Kalkulus
Matematika lanjut
Mekanika
Listrik dan magnet
5. Fisika Termodinamika
Cahaya
Fisika nuklir
Astronomi
6. Ilmu ruang angkasa Astronautika
Biologi ruang angkasa
e. Penggolongan Cabang-cabang Ilmu menurut The New Encyclopaedia
Britannica
Tabel 3. Penggolongan cabang ilmu menurut The New Encyclopaedia Britannica

Cabang-cabang
No. Rincian
Intelektual

Sejarah dan Filsafat Sejarah logika


Logika Filsafat logika
1. Logika Formal logika, Formal logika
metalogika dan logika Metalogika
terapan Logika terapan

Sejarah dan landasan Sejarah matematika


matematika Landasan matematika
Teori matematika
Aljabar
Geometri
Cabang-cabang
matematika Analisis
Kombinatorika dan teori
bilangan
2. Matematika Topologi
Matematika sebagai suatu
ilmu berhitung
Statistika
Analisis numerik
Penerapan-penerapan
matematika Teori automata
Teori matematis optimisasi
Teori informasi
Aspek matematis teori fisis
Sejarah ilmu
Sejarah dan filsafat ilmu
Filsafat ilmu
Sejarah ilmu fisika
3. Ilmu Sifat dasar dan lingkup
Ilmu-ilmu fisika astronomi dan astrofisika
Sifat dasar dan lingkup fisika
Sifat dasar dan lingkup kimia
Cabang-cabang
No. Rincian
Intelektual

Sifat dasar dan sejarah ilmu


bumi
Ilmu bumi
Sifat dasar, lingkup, dan
metode-metode ilmu bumi
khusus
Perkembangan ilmu biologi
Sifat dasar, lingkup dan
Ilmu biologi
metodologi ilmu biologi
Filsafat biologi
Sejarah ilmu kedokteran
Ilmu kedokteran dan Bidang praktek atau
disiplin ilmu yang penelitian medis khusus
tergabung Disiplin-disiplin yang
tergabung dalam ilmu
kedokteran
Perkembangan ilmu-ilmu
sosial
Sifat dasar antropologi

Ilmu-ilmu sosial dan Sidat dasar sosiologi


psikologi Sifat dasar ilmu ekonomi
Ilmu politik
Sejarah dan metode-metode
psikologi
Sejarah ilmu teknologi
Aspek akademik dan
professional dari teknik
Ilmu-ilmu teknologi Sifat dasar dan lingkup ilmu
pertanian
Sifat dasar dan lingkup
disiplin antar ilmu yang baru
dikembangkan
Historiografi
Sejarah dan Gistoriografi dan studi Penyelidikan dan penelitian
4.
humaniora sejarah sejarah modern
Filsafat sejarah
Cabang-cabang
No. Rincian
Intelektual

Sejarah kesarjanaan
Humaniora dan humanistic
kesarjanaan humanistik
Humaniora
Sifat dasar, lingkup dan
Sifat dasar dan metode-metode filsafat
pembagian filsafat Pembagian-pembagian
filsafat
Penulisan sejarah filsafat
Sejarah filsafat barat
Sejarah filsafat Filsafat non-barat
5. Filsafat
Filsafat yang berhubungan
dengan agama
Aliran filsafat utama di barat
Teori asal mula dan eksistensi
Aliran-aliran dan ajaran-
ajaran filsafat Teori pikiran, pengetahuan
dan daya budi
Teori-teori perilaku

f. Pembagian Ilmu menurut The Liang Gie

Tabel 4. Penggolongan Ilmu Menurut The Liang Gie


Ragam Ilmu Teoretis Ilmu Praktis
Jenis
Aljabar, geometri, dan lain- Akuntansi, statistika, dan
I. Ilmu-ilmu Matematis
lain lain-lain

Ilmu keinsinyuran,
II. Ilmu-ilmu Fisis Kimia, fisika, dan lain-lain
metalurgi, dan lain-lain

Biologi molekuler, biologi Ilmu pertanian, ilmu


III. Ilmu-ilmu Biologis
sel, dan lain-lain peternakan, dan lain-lain

Psikologi eksperimental, Psikologi pendidikan,


IV. Ilmu-ilmu Psikologis psikologi perkembangan, psikologi perindustrian, dan
dan lain-lain lain-lain
Ragam Ilmu Teoretis Ilmu Praktis
Jenis

Antropologi, ilmu ekonomi, Ilmu administrasi, ilmu


V. Ilmu-ilmu Sosial
dan lain-lain marketing, dan lain-lain

Linguistic teoretis, linguistic Linguistik terapan, seni


VI. Ilmu-ilmu Linguistik
perbandingan, dan lain-lain terjemahan, dan lain-lain
Biokimia, ilmu lingkungan, Farmasi, ilmu perencanaan
VII. Ilmu-ilmu Interdisipliner
dan lain-lain kota, dan lain-lain

Tata jenjang hirarki ilmu menurut The Liang Gie (2012: 170) adalah
sebagai berikut.

Jenis ilmu (dengan ragamnya)

Rumpun ilmu

Cabang ilmu

Ranting ilmu

Tangkai ilmu

Bagan 1. Hirarki Ilmu

Cabang-cabang ilmu yang ada bukanlah suatu skema tertutup melainkan


suatu skema terbuka dan terus mengembang ke samping dan ke bawah. Ke
samping berarti akan terbentuk cabang ilmu baru dan berkembang ke bawah
berarti ilmu akan terus melahirkan bidang-bidang baru yang menjadi ranting dan
tangkai ilmu
g. Pembagian Ilmu menurut Suriasumantri
Pada dasarnya cabang-cabang keilmuan tersebut berkembang dari dua
cabang utama, yaitu :
(1) Filsafat Alam
Filsafat ini menjadi rumpun dalam ilmu alam (the natural sciences). Ilmu
alam dibagi lagi menjadi dua kelompok, yaitu ilmu alam (the physical
sciences) dan ilmu hayat (the biological sciences). Ilmu alam bertujuan
mempelajari zat yang membentuk alam semesta. Ilmu alam berkembang
menjadi cabang-cabang ilmu lagi seperti fisika (mempelajari massa dan
energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-
benda langit) dan ilmu bumi (mempelajari bumi dan isinya).
(2) Filsafat Moral
Filsafat ini berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial (the social
sciences).

Tiap-tiap cabang kemudian membentuk ranting-ranting baru menjadi ilmu-


ilmu murni dan ilmu-ilmu terapan. Ilmu murni merupakan kumpulan teori-teori
ilmiah yang bersifat yang memberikan sifat dasar dan teoretis yang belum
dikaitkan dengan masalah-masalah kehidupan yang bersifat praktis. Sedangkan
ilmu terapan merupakan aplikasi ilmu murni kepada masalah-masalah kehidupan
yang mempunyai manfaat praktis.
Ilmu sosial menurut Suriasumantri (2009: 94) mempunyai cabang-cabang
utama yaitu antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan
tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia, ekonomi
(mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat proses
pertukaran), sosiologi (mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu
politik (mempelajari system dan proses dalam kehidupan manusia berpeme-
rintahan dan bernegara).
Berikut bagan cabang-cabang ilmu alam menurut Suriasumantri (2009) :
ILMU-ILMU ALAM
(NATURAL SCIENCES)

ILMU ALAM ILMU HAYAT


(PHYSICAL SCIENCES) (BIOLOGICAL SCIENCES)

ASTRONOMI BIOFISIKA

Astro Fisika BIOKIMIA

FISIKA MIKROBIOLOGI
- Industri peragian
Mekanika – Mekanika Teknik
Virologi
Hidrodinamika – Teknik Aeronautikal
Bakteriologi
Teknik Dan Desain Kapal
Mycologi
Bunyi – Teknik Akustik
Protozoologi
Cahaya Dan Optik – Teknik Iluminasi
Kelistrikan Dan Magnetisme – Teknik Elektronik
Dan Teknikkelistrikan
Fisika Nuklir – Teknik Nuklir
Kimia Fisik
BOTANI
- Ilmu bercocok tanam
KIMIA
Fisiologi Tanaman
Kimia Anorganik – kimia teknik
Genetika Tanaman
Kimia Organik
Pemuliaan Tanaman
Metalurgi – teknik metalurgi
Paleontologi ZOOLOGI - Peternakan
ILMU BUMI
Ekologi

Embriologi

Obat-obatan
Anatomi

Histologi
Geofisika
Geokimia Teknik Pertambangan
Mineralogi Fisiologi
Geografi Neurofisiologi
Oceanografi Endrokinologi dsb
Genetika Hewan
- Pemuliaan Hewan
BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
Dari hasil pembahasan makalah ontologi diatas, maka dapat ditarik bebe-
rapa kesimpulan, yaitu :
1. Ontologi merupakan bahan kajian filsafat ilmu yang membahas tentang haki-
kat segala sesuatu yang ada, baik yang berbentuk konkret maupun yang
abstrak. Pembahasan tentang objek-objek abstrak dijelaskan dalam bidang
kajian metafisika, yaitu bidang kajian ontologi yang menjelaskan hakikat
sebenarnya dari segala sesuatu, tanpa terbatas dari segi fisikyang dapat ditang-
kap panca indera.
2. Asumsi adalah dugaan yang diterima sebagai dasar landasan berpikir karena
dianggap benar. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang
tersirat.
3. Peluang merupakan suatu nilai kebolehjadian suatu peristiwa. Ilmu
memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, di mana
keputusan harus didasarkan kepada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat
relatif. Kata akhir dari suat keputusan berada di tangan manusia dan bukan
pada teori-teori keilmuan.
4. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas
pengalaman manusia. Ilmu tidak membahas dan mempelajari segala sesuatu di
luar pengalaman manusia.
DAFTAR RUJUKAN

Gie, The Liang. 2012. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Hempel, Carl G. 1966. Phylosophy of Natural Science. New Jersey: Prentice Hall.
Ihsan, A. Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rineka Cipta.
Sartika, Endang. 2011. Landasan Keberadaan Ilmu, Ontologi dan Metafisika,
(online), (http://arlindsweetheartartika.blogspot.com/), diakses 23
September 2013.
Suriasumantri, Jujun S. 2009. Ilmu dalam perspektif : Sebuah kumpulan karangan
tentang hakekat ilmu. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Suriasumantri, Jujun S. 2010. Filsafat ilmu: Sebuah pengantar populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Susanto, A. 2011. Filsafat Imu : Suatu kajian dalam dimensi ontologis,
epistimologis dan aksiologis. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Zubaidah, Degi Sartika. 2011. Ontologi : Metafisika, Asumsi, dan Peluang,
(online), (http://gieekazone.blogspot.com/2012/10/ontologi-metafisika-
asumsi-dan-peluang.html), diakses 23 September 2013.

Anda mungkin juga menyukai