Anda di halaman 1dari 16

CARTESIAN ONTOLOGICAL ARGUMENT ON

THE EXISTENCE OF GOD


PAPER
Diajukan untuk memenuhi Nilai Tugas KAT pada mata kuliah Sejarah Pemikiran Periode
Semester Akselerasi 2015/2016

Disusun Oleh:
Bunga Rosi Yanti

1305000000

In Gesbie Marino

00000001074

Kevin Laurent

1305003607

Shelviana Kristalia

00000000953

Sanjaya

1305000506

Jurusan Teknik Industri dan Teknik Sipil


Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Pelita Harapan
Tangerang
2015

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan, yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan paper ini yang berjudul Cartesian Ontological Argument on The
Existence of God. Paper ini disusun untuk memenuhi nilai KAT pada mata kuliah
Sejarah Pemikiran periode semester akselerasi 2015/2016.
Dengan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya maka melalui kesempatan ini
kami menyampaikan rasa hormat kepada:
1. Stenly Djatah, Ph. D selaku dosen Sejarah Pemikiran yang telah memberikan
masukkan kepada penulis untuk menyusun paper ini.
2. Pihak-pihak yang turut membantu kelancaran penulisan paper ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari
bentuk penyusunan maupun materinya. Akhir kata semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat kepada kita sekalian.
Jakarta, 5 July 2015

Kelompok Penulis

iii

I. PENDAHULUAN
Lahirnya sebuah pemikiran filosofis dalam sejarah filsafat, tentunya tidaklah begitu
saja adanya. Ia merupakan serangkaian rentetan pemikiran yang saling berkait antara
filosof satu dengan yang lainnya. Begitu halnya dengan filsafat Cartesian, ia lahir sebagai
respon atas skeptisme yang digagas oleh Montaigne. Pada mulanya Montaigne
maragukan kemampuan indera dalam sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan, ia
menunjukkan betapa indera menyesatkan. Ia menyontohkan bagaimana indera
membohongi kita. Ketika kita berada di atas sebuah gedung bertingkat kemudian kita
melihat benda-benda dari kejahuan maka nampak kecil, padahal sejatinya benda-benda
yang dilihatnya besar. Dan ketika mata yang memiliki penyakit kuning akan melihat
segala yang ada disekitarnya nampak kuning. Melihat menjamurnya skeptisme pada kala
itu, dengan metode meragunya, Desacartes mencoba mencari sebuah epistemologi baru
untuk meruntuhkan bangunan skeptisme. Berbeda dengan para kaum skeptis, Descartes
menggunakan metode meragu untuk memperoleh sebuah kepastian. Metode meragu
descartes menghasilkan res-cogitan (thinking being) dan res-extansa (objek dalam bentuk
materi), yang nantinya melahirkan dualisme-cartesian. Namun usaha yang dilakukan
Descartes dalam merobohkan skeptisme masihlah meninggalkan celah kritik bagi filosof
selepasnya. Para filosof penerusnya melakukan tambal sulam atas filsafat Cartesianisme.
Di antaranya terdapat para pengkritik dualisme-cartesian ialah Hobbes, Locke dan
Leibniz, dll.
Dalam makalah ini, mencoba memaparkan dualisme-cartesian dari berbagai cara pandang
filosof (Hobbes, Locke, Leibniz) dan sudut pandang dari kelompok yang mempercayai
Tuhan itu tidak ada. Langkah pertama, memaparkan apa itu dualisme-cartesian.
Kemudian, bagaimana para filosof yang tadi disebut melihat dualisme-cartesian, meliputi
argumentasi-argumentasi kenapaa mereka melakukan penolakan ataupun penerimaan
kepada dualisme-cartesian.

II. ISI MAKALAH


A. Sejarah Asal Mula Cartesian
Kata Cartesian sendiri diadopsi dari nama Latin filsuf terkenal dari Perancis yaitu Rene
Descartes.
Rene Descartes atau yang dikenal dalam bahasa latin sebagai Renatus
Cartesius adalah seorang filsuf yang menganut paham rasionalis dan
disebut-sebut sebagai bapak filsafat modern yang lahir di kota La Haye
Totiraine, Perancis pada tanggal 31 Maret 1596 dan meninggal pada
tanggal

11

Februari 1650 di usianya ke 54 tahun di Swedia. yang merupakan

turunan kaum borjouis.


Banyak warisan yang ditinggalkan dari pemikiran Descartes ini seperti ordinat-ordinat
cartesius dalam ilmu matematika yang juga memberikan dasar bagi Newton dan Leibniz
untuk dikembangkan sehingga yang kita kenal sebagai kalkulus. Pengertian akan Cartesian
pun dikutip dari namanya dan digunakan dalam banyak bidang sebagai berikut: Cartesian
anxiety, Cartesian circle, Cartesian dualism, Cartesian physics, dll.
Dimasa mudanya ia pergi melancong ke berbagai negara seperti Belanda, Jerman,
Hungaria, Swiss, Italia, hingga Swedia. Selama pelancongan nya ia menulis buku-bukunya
yang termashyur dan mempengaruhi gerak zaman modern seperti Discours de la Methode
(1637) dan Meditationes de Prima Philosophia (1641).
Descartes berpendapat bahwa satu-satunya sumber pengetahuan adalah dari dalam diri
manusia itu sendiri. Descartes mengatakan bahwa kemampuan berpikir manusia yang
sekarang tidak lagi semurni dan sekokoh sebagaimana jika manusia menggunakan nalarnya
sendiri sejak dilahirkan karena sejak kecil cara berpikir manusia sudah dipengaruhi oleh cara
berpikir orang lain yang ditanamkan melalui pendidikan. Sehingga muncullah sebuah
pemikiran yang revolusioner yaitu dari ungkapan yang menjadi pedoman Rene Descartes
yaitu Cogito Ergo sum atau dalam bahasa perancis nya Je pense donc je suis.
Ide cogito ergo sum, digagasnya untuk meruntuhkan tradisi filsafat Aristotelian,
Skolastik, dan skeptisme yang menjadi tradisi pada abad pertengahan. Dalam cogito ergo
sum, Descartes menawarkan sebuah metode baru untuk mendapatkan kepastian. Pada
mulanya tidak jauh berbeda dengan para pengikut skeptis, Descartes meragukan indera yang
dianggapnya kadang kala menipu, kemudian dia meragukan geometri dan juga segala

penalaran yang telah dibentuknya sebelumnya, kecuali diri yang melakukan berpikir dan
Tuhan. Dengan meragukan semuanya, maka sampailah ia pada thesis cogito ergo sum. Ia
beranggapan bahwasanya bangunan filsafatnya ini sangatlah kokoh, bahkan kaum skeptis
pun, menurutnya, tidak akan mampu merobohkan bangunan filsafatnya. Dari sini pula lah,
Descartes melakukan pembuktian keberadaan Tuhan sebagai yang maha sempurna dan yang
memberi daya bagi jiwa.

B. Konsep Tuhan menurut Rene Descartes


Fokus dalam topik Discussion of God ini adalah 2 pendapat dari Descartes mengenai
eksistensi Tuhan. Dua pendapat itu terbagi dalam dua kategori, yaitu cosmological dan
ontological. Berikut isi dari keduanya yang dikutip dari buku Fifty Major Philosophers
karangan Collinson & Plant : The first argument starts from his recognition of himself as
a being who, in virtue of his doubts, is imperfect, yet who is able to entertain the idea of
God as perfect being. This perfect idea, he maintains, can come only from the perfect
being, therefore God must exist as it source.
Pernyataan pertama Descartes tersebut, kami menyimpulkan bahwa Descartes memulai
pemikirannya dengan mengakui dirinya sebagai seseorang (dalam keragu-raguannya) bahwa
ia tidak sempurna. Namun, ia dapat mengungkapkan ide tentang Allah yang sempurna. Ide
tentang yang sempurna itu, ia anggap hanya dapat berasal dari yang empunya sempurna.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Allah pasti/harus ada sebagai sumber ide itu,
pendapat ini termasuk dalam pendapat cosmological.
Kesempurnaan itu merupakan sesuatu yang berasal dari yang lebih sempurna dari pada
dia. Pemikiran ini juga yang diletakkan oleh yang sempurna itu di dalam dirinya oleh yang
Maha Sempurna, yakni Allah. Dapat ditarik kesimpulan, eksistensi Allah adalah benar.
Alasan mengapa Descartes berani mengemukakan bahwa Allah adalah sempurna adalah
karena dia mengetahui beberapa kesempurnaan yang tidak dia miliki. Sebab ia mengetahui
dan merasa bahwa ia tidak memiliki ciri-ciri yang sempurna yang hanya ada pada Allah,
yakni maha tahu, abadi, tidak terbatas, tidak berubah, dan maha kuasa.

The second of Descartes arguments for the existence of God points out that the idea
of a most perfect being is of a being containing every perfection and thus being entirely
real. The idea of the most perfect being therefore contain the idea existence (Collinson &
Plant, 2006).
Pendapat Descartes yang kedua mengenai eksistensi Allah mengacu pada eksistensi dan
esensi dari perfect being itu sendiri. Ia beranggapan bahwa ide dari yang paling sempurna
adalah makhluk yang mengandung kesempurnaan itu sendiri. Melalui gagasan itu, akhirnya
Descartes berpendapat bahwa oleh karena Tuhan itu sempurna, maka Ia tidak akan membawa
seseorang ke dalam kesalahan, dan melalui kemampuan manusia kemudian dinyatakan
menjadi pengetahuan. Di dalam bukunya The Last Meditation pada akhirnya ia berpendapat
bahwa apa yang ia percayai sekarang dari benda-benda fisik (metafisik) adalah sesuatu yang
benar yang bukan tipuan atau kesesatan, karena itu berasal dari Tuhan yang adalah perfect
being yang tidak mungkin menipu.
Terdapat dua versi argumen ontologis yang didebatkan, yaitu
1. Argumen Langsung
Pada arguman langsung kesimpulan langsung diberikan setelah premis tanpa ada
asumsi tambahan. Versi ini dikenal dengan versi Cartesian yang diperkenalkan oleh
Descartes. Ide dasar dari Cartesian ini sangat sederhana. Jika sesuatu itu Tuhan, Ianya
mesti sempurna. Kesempurnaan itu meliputi maha kuasa, maha tahu dan secara moral
sempurna. Jika keberadaan merupakan salah satu bukti dari kesempurnaan maka Tuhan
pasti memiliki unsur keberadaan. Karena itu Tuhan pasti ada.
2. Argumen Tidak Langsung
Argumen tak langsung, atau lebih pas disebut argumen reductio ad absurdum. Pada
versi ini kesimpulan diambil setelah menunjukkan bahwa argumen yang menolak
kesimpulan ini salah. Versi ini dikenal dengan versi Anselmian yang diperkenalkan oleh
St. Anselman.St. Anselman berpendapat bahwa sesuatu itu Tuhan jika dan hanya jika Ia
adalah sesuatu yang paling dapat dipercaya. Tuhan adalah sesuatu yang tidak ada yang
lebih besar darinya.
Kaum Ateis setuju dengan pernyataan bahwa Tuhan itu pastilah lebih besar dari apapun.
Namun, mereka berpendapat bahwa Tuhan itu hanya ada dalam pikiran, tidak dalam
kenyataan. Karena itu Tuhan itu tidak ada.

Argumentasi ontologis yang dikeluarkan oleh Descartes adalah argumen ontologis


langsung. Dalam argumentasinya, Descartes menunjukkan bahwa eksistensi Tuhan itu juga
merupakan sesuatu yang necessary sebab tidak mungkin untuk memikirkan tentang Tuhan
tanpa membuat eksistensi itu sebagai sebuah predikat dari Tuhan. Jika Tuhan itu adalah
sebuah kesempurnaan, maka Tuhan juga harus memiliki eksistensi sebagai predikatnya.
Dalam hal ini, Descartes memahami eksistensi sebagai sebuah predikat kualitas. Disini lah
yang menjadi bahan acuan dalam pembahasan kali ini.
Jadi bagi Descartes, memang ada perbedaan Tuhan sebagai ide (ada dalam pikiran)
dengan Tuhan yang ada secara riil (tidak kelihatan tetapi ada). Karena Tuhan Mahasempurna, tidak mungkin Tuhan yang ada dalam ide atau kesadaran tidak ada secara riil.
Karena itu bagi Descartes, jika Tuhan ada dalam ide saja berarti Tuhan itu tidak sempurna.
Tuhan yang sempurna adalah Tuhan yang bereksistensi pada ide dan pada kenyataan. Dengn
demikian, ide kesempurnaan yang ada dalam kesadaran manusia justru menjadi jaminan bagi
eksistensi Tuhan itu. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa Tuhan bereksistensi secara
nyata dan Dialah yang merupakan kebenaran yang Maha-Sempurna.
Decrates mendeskripsikan Tuhan sebagai makhluk sempurna yang tak terhingga. Gagasan
tersebut tidak mungkin muncul begitu saja dari hasil pikiran dan pengalaman manusia karena
kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak sempurna dan bisa diragukan dan tidak
memenuhi sebab lebih sempurna dari akibat. Gagasan tentang Tuhan itu muncul karena ada
yang menaruh pikiran itu ke dalam pikiran manusia, yaitu Tuhan tersebut.
Setelah membuktikan keberadaan Tuhan, Descartes mencoba membuktikan benda
material itu ada. Ia menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan ketidakmampuan
untuk membuktikan bahwa benda material itu sejatinya tidak ada, bahkan Tuhan menciptakan
manusia untuk memiliki kecenderungan bahwa benda material itu ada. Jika pemahaman
bahwa benda material itu ada hanya sebuah matrik kompleks yang menipu pikiran manusia,
hal itu menunjukkan bahwa Tuhan adalah penipu dan bagi Descrates penipu adalah
ketidaksempurnaan sedangkan Tuhan adalah makhluk sempurna sehingga Tuhan tidak
mungkin menipu dan benda material itu ada.

C. Rasionalisme

Jika kita ingin mengerti pemikiran Descartes mengenai Tuhan, maka kita harus mengerti
terlebih dahulu pola pemikiran yang dianutnya. Dan dalam melakukan pemikiran nya selama
ini, Descartes menggunakan paham rasionalis.
Kata rasionalisme secara berasal dari kata rasio yang memiliki arti masuk akal, akal budi.
Rasional memiliki beberapa pengertian, yaitu:
1. Secara umum, rasional menunjukkan modus atau cara pengetahuan diskursif,
konseptual yang khas manusiawi.
2. Secara khusus, raisonal memiliki makna konklusif, logis, metodik. Ilmu pengetahuan
rasional merupakan ilmuyang bersifat deduktif atau reduktif.
3. Rasional juga menunjukkan sesuatu yang mempunyai atau mengandung rasio atau
dicirikan oleh rasio, dapat dipahami, cocok dengan rasio, dapat dimengerti/ditangkap.
Bentukan kata lain dari kata rasio adalah rasionalisasi yg memiliki dua makna umum, yaitu:
1. Makna positif, yaitu membuat rasional (masuk akal) atau membuat sesuatu dengan
akal budi atau menjadi masuk akal.
2. Arti negatif, yaitu pembenaran berdasarkan motif-motif tersembunyi.
Adapun rasionalisme adalah prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam
menjelaskan sesuatu. Secara umum kata rasionalisme menunjuk pada pendekatan filosofis
yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan. Rasionalisme
menjadi aliran baru dalam filsafat sejak Descartes mengemukakan hasil filosofinya dengan
menggunakan pikiran dan rasionya untuk menguji kebenaran pengetahuan. Dasar-dasar dari
aliran ini dilandaskan pada pemikiran filsafat Descartes yang kemudian dikenal sebagai
Rasionalisme Kontinental.

Descartes mengemukakan empat prinsip rasionalisme yang dapat digunakan untuk


mendapatkan pengetahuan yang benar-benar benar dan tidak dapat diragukan atau
disangsikan lagi, yaitu :
a. Tidak pernah menerima apapun sebagai benar kecuali jika saya mengetahuinya
secara jelas bahwa hal itu memang benar, artinya menghindari secara hati-hati
penyimpulan yang terlalu cepat dan praduga, dan tidak memasukkan apapun dalam
pikiran saya kecuali apa yang tampil sedemikian jelas dan gamblang di dalam nalar
saya, sehingga tidak akan ada kesempatan untuk meragukannya.
b. Memilah satu per satu kesulitan yang akan saya telaah menjadi bagian-bagian kecil
sebanyak

mungkin

atau

sejumlah

yang

diperlukan,

untuk

memudahkan

penyelesaiannya.
c. Berpikir secara runtut dengan mulai dari objek-objek yang paling sederhana dan
paling mudah dikenali, lalu meningkat sedikit demi sedikit sampai ke masalah yang
paling rumit, dan bahkan dengan menata dalam urutan objek-objek yang secara alami
tidak beraturan.
d. Membuat perincian yang selengkap mungkin dan pemeriksaan yang demikian
menyeluruh sampai saya yakin bahwa tidak ada yang terlupakan.The ontological
argument is an argument in that it does not rely on experience to prove its point that
God exists.
D. Dualisme Cartesian
Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua
substansi yaitu jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan.
Sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap
substansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, sudah nyata bahwa
Descartes menganut suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya, Descartes
mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan
sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak antara tubuh
dan jiwa berlangsung dalam grandula pinealis (sebuah kelenjar kecil yang letaknya di
bawah otak kecil). Akan tetapi, akhirnya pemecahn ini tidak memadai bagi Descartes
sendiri.

Selanjutnya, Descartes menjelaskan bahwasannya manusia terdiri dari dua dimensi


yang berbeda yakni jiwa dan tubuh, dan sifatnya sebagai komposisi dan membentuk
sebagai sebuah kesatuan yang sangat erat (intimate union). Bagaimana yang immateri
dengan yang materi dapat bersatu dengan kata lain bagaimana dua subtansi dapat
menyatu dalam satu entitas? Dari berbagai buku yang pernah penulis baca, tidak penulis
temukan argumentasi Descartes bagaimana dua subtansi ini dapat menyatu selain itu
karena kekuasaan Tuhan yang maha sempurna. Mengenai letak jiwa, ia berargumentasi
dengan kinerja sebuah indera (ia mencontohkan dengan mata) yang melihat objek, dari
indera kemudian cairan-cairan kelenjar dari mata membawa informasi ke otak. Dari sini
ia berkesimpulan bahwasannya jiwa terletak di sela-sela kelenjar otak. Ia berfungsi untuk
memfungsikan organ tubuh, disinilah pandangan mekanisme Desacartes di dalam
dualismenya.
Kalau kita perhatikan, cara Descartes berargumentasi lebih mirip dengan kinerja otak
sebagai motorik bagi tubuh. Yang menarik bagi saya, Desacartes memosisikan bahwa
bayang yang ada di otak adalah bayangan yang ada di jiwa. Lantas, apa yang
membedakan antara tubuh dengan jiwa? Dia berargumentasi bahwasannya kita memiliki
sepasang mata lain yang berada di dalam otak yang terletak beberapa sentimeter di
belakang mata.

Bagaimana cara jiwa dalam menggerakkan tubuh? .Dengan cara yang sama, otak
menyebarkan jiwa yang sehat itu ke dalam otot-otot agar anggota badan melakukan
berbagai gerakan, sesuai dengan tampilannya berbagai obejek pada indera,
dan sejalan dengan cita-rasa yang berada di dalamnya, sehingga anggota badan kita
dapat bergerak tanpa dikendalikan kehendak. Manusia tak ubahnya seperti robot yang
digerakkan oleh jiwa sebagai motoriknya. Jika jiwanya tidak ada, maka ia akan mati.
Kesimpulannya, Rene Descartes mengemukakan ide tentang soul-body, melahirkan
Cartesian dualism yang sangat populer dan digunakan oleh para filsuf lainnya juga :
Soul (dinyatakan dalam mind): sebuah entitas yang berbeda dan terpisah dari body, lebih
mudah dipahami oleh manusia karena ada proses self-reflection/self-awareness yang
diasumsikan inherent pada manusia.
Body : entitas fisik pada manusia yang tunduk pada prinsip mekanisme fisiologis, sama
seperti yang terjadi pada hewan. Namun pada manusia, aktivitas fisik tunduk pada
perintah mind

E. Kritik mengenai Argumen Ontologis Cartesian


Argumen ontologis menjelaskan bahwa Jika sesuatu itu Tuhan, Ianya mesti sempurna.
Kesempurnaan itu meliputi maha kuasa, maha tahu dan secara moral sempurna. Jika
keberadaan merupakan salah satu bukti dari kesempurnaan maka Tuhan pasti memiliki
unsur keberadaan. Karena itu Tuhan pasti ada.Bagi kaum Ateis argumen ini sangat lemah.
Bagaimana mungkin atribut kesempurnaan merupakan bukti bahwa Tuhan itu ada?
Bukankan argumen yang dikemukakan tersebut semua hanya ada dalam konsep, dalam
pengertian? Memang tidak dapat dimungkiri bahwa sesuatu disebut Tuhan jika ia lebih
segala-galanya dari makhluk apapun. Namun, tidak ada hal seperti ini yang dapat kita
temukan dalam kenyataan. Kita hanya menemukan hal seperti ini dalam pengertian.
Adapula kritik-kritik lainnya dari berbagai pandangan, seperti:
1. Kritik dari Kant
Argumentasi ontologis semacam ini dikritisi oleh Immanuel Kant. Ia terutama
mengkritisi pemahaman yang dilontarkan oleh Descartes. Menurut Kant, terdapat

ketidaktepatan dalam meletakkan eksistensi sebagai sebuah predikat. Ia menilai


bahwa eksistensi bukan merupakan sebuah predikat. Jika kata eksis ditambahkan
kepada suatu substansi, ia tidak menambahkan predikat apapun kepada nature dari
benda tersebut.
Menurut Kant, eksistensi adalah sebuah pernyataan sintetik yang kebenarannya
harus dapat dibuktikan terlebih dahulu baik melalui sebuah observasi ataupun
pengalaman. Jadi, dalam analogi segitiga yang terkenal, Kant menilai bahwa memang
benar segitiga harus memiliki tiga sisi. Namun harus dipastikan terlebih dahulu bahwa
segitiga itu ada disana.
Oleh karena itu, bagi Kant, tidak bisa kata eksistensi mengikuti kata
Tuhan sebab eksis bukanlah sebuah pernyataan analisis yang sudah
mengandung kebenaran di dalamnya. Lebih jauh, harus dipastikan bahwa
Tuhan memang ada di sana dan manusia baru bisa memberikan predikat
tentang Tuhan tanpa harus membubuhi kata eksis di dalamnya

2. Kritik dari kaum penolak keberadaan Tuhan


Kritik terhadap argumen logika keberadaan kejahatan Salah satu argumen yang
digunakan oleh kaum Ateis untuk menolak keberadaan Tuhan adalah dengan
menyatakan bahwa: "Jika Tuhan itu ada dan secara moral sempurna, maka Ia tidak
akan mengijinkan adanya kejahatan yang Ia ketahui dan dapat mencegahnya".
Argumen ini bukanlah kebenaran yang sesungguhnya, dan kemungkinan
salah. Sebagai sesuatu yang secara moral sempurna, Tuhan pastilah membiarkankan
terjadinya kejahatan diatas bumi. Tujuannya adalah untuk menciptakan dunia yang
memiliki kebebasan bagi manusia untuk memilih dan menentukan sendiri apa yang
akan dilakukannya.Dunia yang memiliki penduduknya yang mempunya tanggung
jawab moral adalah dunia yang lebih baik secara moral daripada dunia yang tidak
memiliki tanggung jawab moral. Keadaan ini memerlukan penduduk yang memiliki
kebebasan memilih. Jika seseorang tidak memiliki kebebasan maka ia tidak dapat
disalahkan atau dipuji atas apa yang dilakukan. Karena itu sesuatu yang secara moral
sempurna, yaitu Tuhan, tentunya mempunyai maksud untuk menciptakan dunia yang
memiliki tanggung jawab moral, dan memberikan kebebasan kepada ciptaannya. Jika
ciptaannya memiliki kebebasan yang sesungguhnya, maka kepada mereka mesti
diberi kebebesan untuk memilih kejahatan atau kebaikan.

Karena itu adanya kejahatan diatas dunia bukanlah karena Tuhan tidak ada.
Argumen yang menyatakan bahwa kejahatan terjadi karena tidak ada Tuhan adalah
argumen yang benar, karena itu harus ditolak.Kritik terhadap argumen kejahatan
sebagai bukti ketiadaan Tuhan Argumen lain dalam menolak keberadaan Tuhan
adalah dengan menunjukkan bahwa adanya kejahatan di alam semesta adalah bukti
dari tidak adanya Tuhan. Bagaimana mungkin Tuhan yang katanya maha esa, maha
kuasa, maha tahu dan secara moral sempurna mau berdampingan dengan kejahatan.
3. Kritik dari Hobbes
Hobbes mengembangkan suatu model dunia yang murni materialis dan
mekanistisdunia yang semata-mata merupakan materi yang sedang bergerak.
Yang menarik dari materialisme Hobbes, bahwa gerak hanya dapat kita temukan
dalam bentuk materi. Dan pengertian materi menurut Hobbes ialah segala sesuatu
yang dapat diukur, dan yang dapat diukur adalah segala sesuatu yang dapat kita lihat.
Lebih ekstrimnya, menurut Hobbes, jika pun Tuhan ada maka Ia dalam bentuk materi.
Dari serangkaian pandangan Hobbes mengenai materi, yang penulis dapati
mengenai materialisme hobbes; bahwa materi ialah segala sesuatu yang dapat kita
inderai dan melakukan gerak. Bagaimana dengan jiwa yang ada dalam pembahasan
dualisme-cartesian? Menurut Hobbes, jiwa adalah materi karena ia berada di dalam
badan.
Selain persamaan di antara kedua tokoh yang penulis sampaikan di atas, terdapat pula
titik seteru yang sangat menonjol di antara keduanya. Descartes berpendapat bahwa
manusia terdiri atas jiwa dan tubuh yang saling terpisah, sedangkan Hobbes
berpendapat bahwa tidak ada dualitas antara jiwa dengan tubuh, menurutnya, jiwa dan
tubuh adalah sebuah satu-kesatuan.
Tidak jauh berbeda dengan Descartes, dalam mengafirmasi filsafat Aristotelian
tentang pembedaan antara manusia dengan hewan. Hobbes dan Descartes
mempercayai adanya sebuah kinerja mekanistik pada manusia. Dalam hal ini
keduanya sepakat bahwa; manusia tidak ubahnya sebuah robot. Namun menurut
Descartes jiwa sebagai penggerak bagi gerakan tubuhdengan kata lain jiwa sebagai
motorik. Sedangkan Hobbes yang memiliki padangan materialistik, ia berargumentasi
dengan berangkat dari gerak. Di atas tadi sudah penulis sebutkan bahwa dalam
pandangan Hobbes, segala yang melakukan gerak adalah materi, dan yang dapat

disebut materi baginya ialah segala hal yang dapat diukur, dan jiwa berintegrasi
dengan tubuh manusia dan menjadi materi (sehingga, jiwa=tubuh), menurut Hobbes
bukanlah seperti yang dikatakan Descartes, tubuh lah yang melakukan gerak bukan
jiwa. Robot itu (manusia) akan mati jika jiwa telah meninggalkannya. Sedangkan
menurut Hobbes, manusia dikatakan telah mati jika ia sudah tidak melakukan gerak.
4. Kritik dari John Locke
Locke berbicara tentang bagaimana manusia memperoleh ilmu pengetahuan.
Ia setuju dengan pandangan dualisme-cartesian, bahwasannya manusia terdiri dari
jiwa dan tubuh (mind and body). Namun, di dalam ide yang sama dengan Descartes
itu, dia juga agak memiliki pandangan yang lain. Dia menolak ide Descartes bahwa
manusia memperoleh ilmu pengetahuan dari pikirannya (innate ideas) bersifat a
priori.
Menurutnya, pikiran (jiwa) manusia ketika baru lahir tak ubahnya seperti
lembaran kertas (tabula rasa), lalu pengalaman akan menulis di dalamnya, dan apa
yang ditulis oleh pengalaman inilah yang bisa diketahui oleh akaldengan kata lain
manusia memperoleh pengetahuan paling awal berdasarkan pengalaman empiris.
Pendapat ini juga meruntuhkan paradigma cartesian-circleTuhan menjamin
kejernihan ide rasional manusia, dan keberadaan Tuhan dijamin oleh kejernihan
rasional manusia.
Locke juga mengambil ide subjektivisme Descartes, pandangan bahwa apa yang
paling aku ketahui adalah akalku sendiri dan ide yang ada di dalamnya. Jurang
pemisah antara akal pikiran bersama ide yang ada di dalamnya dengan objek
jasmaniah dan manusia dimana ide pikiranku merujuk diluar diriku. Locke setuju
adanya dualisme-cartesian, namun dia melakukan modifikasi bahwasannya manusia
memperoleh pengetahuan berdasarkan pengalaman yang didapat, dan inilah yang
menjadi cikal bakal dari berdirinya mendapat pengetahuan berdasarkan empirisme.
5. Kritik dari Gottfried Wilheim von Leibniz
Mengenai bagaimana manusia mendapatkan ilmu pengetahuan, Leibniz
menawarkan empat tahap bagaimana manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan.
Pertama; pertama kita lahir kita tahu kita ada dan ada orang tua kita. Kedua, ia
menolak metode deduksi Descartes dan setuju dengan metode induksi Locke. Ketiga;
dengan melakukan pembandingan antara esensi suatu benda dengan benda lainnya,

maka kita mendapatkan sebuah pengetahuan. Matahari yang kita lihat tidaklah sebesar
matahari yang sebenarnya. Dan terakhir adalah pengetahuan yang didapat dari
keapaan suatu benda, seperti pengetahuan lingkaran geometri.

Dalam hubungan jiwa dengan tubuh, Leibniz berpendapat bahwa tubuh


berhubungan erat dengan jiwa. Tidak seperti pandangan Descartes yang menganggap
tubuh hanya merupakan teman tidur (bersifat pasif), Leibniz memandang bahwa
tubuh tidak terus-terusan terdiri dari ukuran, bentuk, dan gerakan, melainkan kita
harus mengenali sesuatu yang terdapat dalam tubuh yang menghubungkan dengan
jiwa, Leibniz menyebutnya dengan subtansiLeibniz menyebut subtansi dengan
monad. Ia menyebutkan bahwa di dalam manusia terdapat sesuatu yang menyerupai
jiwa, Leibniz menyebutnya dengan subtansi (monad), yang memberi daya kepada
tubuh untuk melakukan aktivitas.
III.PENUTUP
Kesimpulan
Lewat argumen-argumen pembuktian yang dikemukakan Descartes, kita dapat
memahami bahwa pembuktian eksistensi Tuhan yang ditelusurinya ini amat bersifat
rasional. Sikap rasional yang diterapkan dalam usaha penelusurannya untuk membuktikan
eksistensi Tuhan ini hanya didasarkan pada analisis-analisis cogito yang dimiliki manusia.
Dengan cogito ergo sum yang dijadikannya sebagai landasan yang kokoh, Descartes
berani berusaha mengungkapkan keberadaan Tuhan entah di dalam pikiran atau pun di
dalam kenyataan sebagai Yang Maha-Sempurna. Derngan demikian, Tuhan adalah Dia
yang bereksistensi secara Sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.kompasiana.com/nicholausprasetya/eksistensi-tuhan-dan-argumentasiontologis_550b4507a33311226a2e4181
http://achillesmuda.blogspot.com/2010/05/filsafat-ilmu.html
Scruton, Roger, A Short History of Modern Philosophy: From Descartes to Wittgenstein
(Canada: Routledge, 1996)
Hardiman, F. Budi, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern, Erlangga, 2011.
Descartes, Rene. Risalah tentang Metode. Terj. I. Husein dan R.S Hidayat. Jakarata:
Gramedia Pustaka utama, 1995.
Smith, Linda dan Wiliam Raeper, Ide-Ide: Filsafat dan Agama.Dulu dan Sekarang.
Yokyakarta: Kanisius, 2000.

Anda mungkin juga menyukai