Anda di halaman 1dari 13

BAB VI

IJTIHAD
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan beragama, seringkali manusia dihadapkan pada
permasalahan-permasalahan yang baru muncul dan mencari pemecahannya, yang
salah satunya adalah melalui jalur agama. Mencari pemecahan melalui jalur agama,
seringkali ummat islam mengalami kesulitan, dikarenakan kehidupan dan
peradaban terus bergulir serta berkembang, sedangkan agama apabila hanya
didasarkan kepada Al Quran dan Hadits, akan mengalami kesulitan. Hal tersebut
dikarenakan al Quran hanya memuat prinsip-prinsip utama dalam memberikan
petunjuk. Di sisi lain, hadits yang bersumber dari Rasulullah sudah tidak mungkin
lagi muncul, dikrenakan Rasulullah sendiri sudah wafat. Atas dasar itu, maka para
ulama dimulai dari kalangan sahabt mencoba mencari solusi dari permasalahan
dalam kehidupan dengan jalan penggalian hokum islam melalui konsep yang
dinamakan sebagai Ijtihad.
Pada bagian ini, anda akan diajak untuk memahami makna, fungsi dan
kedudukan ijtihad, mengetahui metode ijtihad, menjelaskan faktor-faktor yang
melatarbelakangi keanekaragaman ijtihad ulama, menyikapi keragaman hasil
ijtihad, mengetahui peran ijtihad dalam pengembangan budaya dan profesi, serta
bagaimana menerapkan nilai-nilai ijtihad dalam lingkungan pendidikan, keluarga,
dan pekerjaan

B. Makna, serta Fungsi dan Kedudukan Ijtihad


1. Makna Ijtihad
Syari’at Islam merupakan hukum yang berdasarkan fiman Allah, sabda
Rasulullah saw, atau pun yang diujikan dengan akal, yakni ijtihad. Seperti: Ijma’,
Qiyas, Istihsan. Dalam keberadaannya dalam syariat atau hukum Islam, keberadaan
Ijtihad menjadi jalan yang harus kita lalui untuk mengistinbatkan hukum dari dalil-
dalil Alquran dan Hadits, dan sebagai jalan yang harus kita lalui untuk menentukan
batasan yang dikehendaki oleh mu’amalah dan hajat-hajat pergaulan.
Mubarak (2003) menjelaskan bahwa agama Islam yang bersifat luwes dan
dinamis, secara konseptual terkandung dalam prinsip syari’ah itu sendiri. Diantara
prinsip-prinsip tersebut adalah syari’ah selalu berprinsip kepada menegakkan
maslahah, menegakkan keadilan, tidak menyulitkan, menyedikitkan beban dan
berangsur-angsur dalam proses penerapan hukum. Prinsip tersebut muncul dengan
konteks Ijtihad.
Secara etiomologi ijtihad yaitu berasal dari bahasa Arab, yaitu “Ijtihada
Yajtahidu Ijtihadan” yang artinya mengerahkan segala kemampuan dalam
menanggung beban. Dengan makna lain, Ijtihad dilakukan tatkala ada keadaan
yang sulit untuk dilakukan atau permasalahan yang sulit dipecahkan. Adapun secara
terminologi ijtihad yaitu mencurahkan dan mengeluarkan semua kemampuan akal
dan pikiran untuk mengetahui atau menetapkan hukum atau syari’at.
Perkembangan Ijtihad akan terus berlangsung seiring zaman.
Perkembangan itu berkaitan dengan perbuatan manusia yang selalu berubah-ubah,
baik bentuk maupun macamnya. Dalam hubungan inilah, asy-Syahrastani
mengatakan bahwa kejadian-kejadian, dan kasus-kasus dalam peribadatan dan
muamalah (tindakan manusia) termasuk yang tidak dapat dihitung. Secara pasti
dapat diketahui bahwa tidak setiap kasus ada nashnya. Apabila nashnya sudah
berakhir, sedangkan kejadian-kejadiannya berlangsung terus tanpa terbatas; dan
tatkala sesuatu yang terbatas tidak mungkin dapat mengikuti sesuatu yang tidak
terbatas, maka qiyas wajib dipakai sehingga setiap kasus ada ijtihad mengenainya.
Para ulama membagi hukum untuk melakukan ijtihad dengan lima bagian
(Syarifuddin, 1997), yaitu :
a. Wajib ain, yaitu bagi seorang yang faqih yang mereka yang dimintai
fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang terjadi, sedangkan hanya
dia seorang faqih yang dapat melakukan ijtihad dan ia khawatir
peristiwa itu lenyap tanpa ada kepastian hukumnya, maka hukum
berijtihad baginya adalah wajib ain
b. Wajib Kifayah, yaitu bagi mereka yang dimintai fatwa hukum
mengenai suatu peristiwa, sedangkan hanya dia seorang faqih yang
dapat melakukan ijtihad, yang tidak dikhawatirkan peristiwa tersebut
akan lenyap. atau selain dia masih terdapat faqih-faqih lainnya yang
mampu berijtihad. Maka apabila ada seorang faqih saja yang berijtihad
maka faqih yang lainnya bebas dari kewajiban berijtihad. Akan tetapi
jika tidak ada seorang faqihpun yang berijtihad maka faqih semuanya
yang ada disitu semuanya berdosa karena telah
meninggalkan kewajiban kifayah.
c. Sunnah, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah
yang belum atau tidak terjadi. Tetapi umat menghendaki ketetapan
hukumnya, untuk mengantisipasinya. Artinya tidak berdosa seorang
faqih tersebut meninggalkan ijtihad, akan tetapi bila dia berijtihad maka
dia mendapatkan pahala.
d. Mubah, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah
yang belum atau sudah terjadi dalam kenyataan. Tetapi kasus tersebut
belum diatur secara jelas dalam nas al-Qur’an dan hadits. Sedangkan
orang yang faqih tersebut ada bebrapa orang, maka ia dibolehkan dalam
berijtihad.
e. Haram, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah
yang telah ada hukumnya dan telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil
yang sharih, dan qath’i. atau bila seorang yang melakukan ijtihad
tersebut belum mencapai tingkat faqih. Karena ijtihad tidak boleh
dilakukan bila telah ada dalil yang sharih dan qath’i, sedangkan dia tidak
punya kemampuan dalam berijtihad.

2. Fungsi dan Kedudukan Ijtihad


Kedudukan Ijtihad adalah sumber hukum ketiga setelah yang pertama Al-
quran dan yang kedua hadits. Fungsi utama dari Ijtihad ini adalah untuk menetapkan
suatu hukum dimana kejadian atau hal tersebut tidak dibahas secara rinci jenis
permasalahannya dalam Al-quran dan hadits, atau tidak terjadi ketika zaman dahulu
tatkala Rasulullah saw masih ada. Ijtihad tidak sekedar dalam ruang lingkup fiqih
ibadah, namun juga berlaku pada bidang politik, akidah, tasawuf, dan falsafah
Untuk mencapai fungsi dan tujuannya di atas, maka tidak sembarang orang
dapat melakukan ijtihad, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang
berijtihad (Mujtahid). Pada umumnya, syarat-sayat ijtihad yang dikemukakan oleh
para ulama usul fikih berfokus pada empat hal (Mukhtar Yahya, 1986).
a. Pertama, memiliki pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya.
Hal itu harus ditunjang oleh pengkajian dan penelaahan seluk-beluk
kesusasteraan Arab baik yang berbentu prosa maupun puisi.
b. Kedua, mengetahui nas-nas Alquran perihal hukum-hukum syarak yang
dikandungnya, ayat-ayat hukumnya, dan cara meng-istinbāṭ-kan hukum
darinya. Mujtahid juga harus mengetahui asbāb al-nuzūl, nāsikh wa al-
mansūkh, serta tafsir dan takwil dari ayat-ayat yang di-istinbāṭ-kan.
c. Ketiga, mengetahui nas-nas hadis. Mujtahid harus mengetahui hukum
syariat yang didatangkan oleh hadis dan mampu mengeluarkan hukum
mukalaf darinya. Di samping itu, ia juga dituntut mengetahui derajat dan
nilai hadis.
d. Keempat, mengetahui maqāṣid al-syarī’ah, tingkah laku dan adat
kebiasaan manusia yang mengandung maslahat dan madarat,
serta ‘illat hukum dan dapat menganalogikan peristiwa dengan peristiwa
yang lain
Dalam kitab Uṣūl al-fiqh, Muḥammad Abū Zahrah mengajukan delapan
syarat, yaitu
a. Mengetahui bahasa Arab,
b. Mengetahui ilmu Alquran; nāsikh dan mansūkh-nya,
c. Mengetahui dengan baik sunnah,
d. Mengetahui posisi-posisi ijmak dan kontroversialitas,
e. Mengetahui analogi (al-qiyās),
f. Mengetahui maqāṣid al-aḥkām,
g. Memiliki pemahaman dan pandangan yang sehat, dan
h. Memiliki niat yang niat dan iktikad yang bersih dan lurus

C. Metode dan Pola Ijtihad


1. Metode Ijtihad
Pada umumnya, ijtihad di bagi pada tiga metode ijtihad, yakni:
Ijtihad Al-Bayani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’
yang terkandung dalam nash namun sifatnya masih zhonni baik dari segi
penetapannya maupun dari segi penunjukannya. Ijtihad ini hanya memberikan
penjelasan hukum yang pasti dari dalil nas tersebut. Sebagai contoh yaitu
menetapkan keharusan ber’iddah tiga kali suci terhadap isteri yang dicerai dalam

ُ َ َ ۡ َ َ َ َ ُ َٰ َ َ َ ُ ۡ َ
keadaan tidak hamil dan pernah dicampuri.berdasarkan firman Allah:
ٖٓۚ ‫سه َن ثَ َل َٰ َث َة قُ ُروء‬
ِ ِ ‫وٱلمطلقت يتربصن بِأنف‬
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru' (QS al-Baqarah ayat 228)

Dalam ayat ini dijelaskan batas waktu iddah adalah tiga kali quru’ namun
tiga kali quru’ tersebut bisa berarti suci atau haid. Ijtihad menetapkan tiga kali quru’
dengan memahami petunjuk/Qarinah yang ada disebut ijtihad bayani

Ijtihad Ta’lili/Al-Qiyasi, yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan


hukum terdapat permasalahan yang tidak terdapat dalam Al Quran dan sunnah
dengan menggunakan metode qiyas. Dalam ijtihad qiyasi ini hukumnya memang
tidaktersurat tetapi tersirat dalam dalil yang ada. Untuk mencari hukum tersebut
diperlukan ijtihad qiyasi. Contoh hukum memukul kedua orang tua yang diqiaskan
dengan mengatakan ucapan “ah”

ٗ‫فَلَا َت ُقل ل َ ُه َما ٓ أُف َولَا َت ۡن َه ۡر ُه َما َوقُل ل َ ُه َما قَ ۡو ٗلا َكريما‬...
ِ
Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
Perkataan “akh” (Q.S al-Isra’: 23)
Permasalahannya ialah menyakiti hati kedua orang tua, diqiyaskan kepada
hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa itu nyatalah bahwa hati orang tua
lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan “ah” yang diucapkan
anaknya kepadanya.

Ijtihad Isthislahi, Menurut Muhammad Salam Madkur Ijtihad Istishlahi


adalah pengorbanan kemampuan untuk sampai kepada hukum syara’ (Islam)
dengan menggunakan pendekatan kaidah-kaidah umum (kulliyah),
yaitu mengenai masalah yang mungkin digunakan pendekatan kaidah-kaidah
umum tersebut, dan tidak ada nash yang khusus atau dukungan ijma’ terhadap
masalah itu. Selain itu, tidak mungkin pula diterapkan metode qiyas atau metode
istihsan terhadap masalah itu.
Dalam metode ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna menciptakan
beberapa prinsip umum yang digunakan untuk melindungi atau mendatangkan
kemaslahatan. Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan yaitu:
daruriyat (kebutuhan esensial), hajiyat (kebutuhan primer),tahsiniyyah (kebutuhan
kemewahan). Prinsip umum ini ditujukan kepada persoalan yang ingin diselesaikan.
Misalnya tranplantasi organ tubuh, bayi tabung dan hal-hal lain yang tidak
dijelaskan oleh nash.
2. Jenis /Pola Ijtihad
Para ulama mendeskripsikan pola atau jenis ijtihad ke dalam berbagai istilah
sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapinya, diantaranya ialah:
a. Ijma’ ialah kesepakatan pengambilan hukum yang diambil dari fatwa
atau musyawarah para Ulama tentang suatu perkara yang tidak
ditemukan hukumnya didalam Al qur'an ataupun hadi.
Contohnya hukum mengkonsumsi ganja atau sabu-sabu adalah haram,
karena dapat memabukkan dan berbahaya bagi tubuh serta merusak
pikiran.
b. Qiyas adalah menyamakan atau mengibaratkan, dengan oengertian lain
yaitu menetapkan suatu hukum dalam suatu perkara baru yang belum
pernah ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan seperti
sebab, manfaat, bahaya atau berbagai aspek dalam perkara sebelumnya
sehingga dihukumi sama.
Contohnya seperti pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan
“ah” kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap
meremehkan dan menghina, sedangkan memukul orang tua tidak
disebutkan. Jadi diqiyaskan oleh para ulama bahwa hukum memukul
dan memarahi orang tua sama dengan hukum mengatakan Ah yaitu
sama-sama menyakiti hati orang tua dan sama-sama berdosa.
c. Maslahah mursalah ialah suatu cara menetapkan atau mengambil
hukum berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan manfaatnya.
Contohnya: di dalam Al Quran ataupun Hadist tidak terdapat dalil yang
memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi,
hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
d. Saddu dzari’ah adalah memutuskan suatu perkara yang mubah makruh
atau haram demi kepentingan umat.
e. istishab adalah tindakan dalam menetapkan hukum atau suatu
ketetapan sampai ada alasan yang mengubahnya.
Contohnya: seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu
ataupun belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang/yakin kepada
keadaan sebelum ia berwudhu’, sehingga ia harus berwudhu kembali
karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
f. Urf yaitu suatu tindakan dalam menentukan suatu perkara berdasarkan
adat istiadat yang berlaku dimasayarakat dan tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an dan hadis.
Contohnya : ijab qabul dalam jual beli dilakukan dengan ucapan
terimakasih. Hal ini berdasarkan adat istiadat masyarakat yang terbiasa
mengucapkan kata terimakasih ketika mengakhiri transaksi jual beli.
g. Istihsan yaitu suatu tindakan dengan meninggalkan satu hukum kepada
hukum lainnya, disebabkan adanya suatu dalil syara’ yang
mengharuskan untuk meninggalkannya.
Contohnya: didalam syara’, kita dilarang untuk mengadakan jual beli yang
barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syara’
memberikan rukhsah yaitu kemudahan atau keringanan, bahwa jual beli
diperbolehkan dengan sistem pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim
kemudian.

D. FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI


KEANEKARAGAMAN IJTIHAD ULAMA
Terdapat beberapa faktor yang menmpengaruhi terjadinya keanekaragaman
hasil ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid dalam menggali hukum-hukum
baru yang terjadi pada kehidupan ummat Islam dan tidak atau belum diatur
sebelumnya di dalam al Quran maupun hadits, yaitu

1. Perbedaan metode memahami ayat al-Qur’an


Seluruh ulama sepakat bahwa al Quran adalah dasar yang paling utama bagi
seoirang mujtahid dalam berijtihad. Semua perkara yang terjadi dalam kehidupan
harus dikembalikan kepada al Quran sebagai sumber hukum utama dan pertama.
Seiring perjalanan waktu, setelah kematian Rasulullah, para sahabat maupun tabi’in
kesulitan mencari mencari orang-orang yang benar-benar memahami masalah
asbab al Nuzul dari setiap ayat, sehingga terjadi perbedaan pemahaman dari para
sahabat dalam memahami hukum yang terdapat dalam al Quran. Terjadinya
perbedaan di kalangan mereka disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Adanya perbedaan wawasan dan pengetahuan para sahabat,
dikarenakan perbedaan lamanya mereka bergaul dengan Rasulullah
saw.
b. Adanya “Ta’arrudl al-Nushush” (pertentangan antar ayat-ayat),
misalnya masalah “Iddah Wafat” dan “Iddah Hamil” yang disebabkan
perbedaan di dalam memahami makna lafdliyyah ayat, seperti lafal
"‫قروء‬/Quru’".
c. Adanya susunan ayat yang mengandung dua presepsi atau wajah,
seperti ayat tentang “Ila’ (Suami bersumpah tidak akan mencampuri
istrinya atau menidurinya).

2. Perbedaan dalam methode memahami al-sunnah


Al-hadits yang dikeluarkan oleh Rasulullah selama 22 tahun lebih itu
disebabkan adanya kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat pada waktu itu.
Diantara kasus-kasus tersebut ada yang disepakati dan ada pula yang dibatalkan.
Begitu juga keadaan para sahabat yang bermacam-macam, ada yang lebih dahulu
masuk islam dan ada yang baru saja masuk. Ada yang juga sebagian waktunya
dipergunakan untuk mencari ilmu. Begitu juga waktu untuk berijtihad, dimana para
sahabat itu ada yang hampir seluruh waktunya dipergunakan untuk mengikuti jejak
Rasulullah dan mereka ini jelas wacana keagamaannya lebih luas dari yang lain..
Oleh sebab itu, para sahabat yang masuk islam lebih dahulu, lalu waktunya
dihabiskan untuk menyertai Rasulullah, maka wawasan mereka dalam kemampuan
memahami nash, lebih sempurna dibandingkan dengan sahabat yang masuk
islamnya belakang dan waktu mereka gunakan untuk menyertai Rasulullah hanya
sedikit. Dengan keadaan inilah maka Hadits Rasulullah yang diterima para sahabat
tersebut tentu tidak sama.
Sekalipun dapat dikatakan bahwa hampir seluruh waktu para sahabat itu
dipergunakan untuk menyertai Rasulullah, tidak semuanya al-Hadits diterimanya.
Hal ini terjadi pada sahabat berikut:
a. Abu Bakr al-Shiddiq, yang tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan
sahabat tentang “Pusaka Nenek”, sebab dalam al-Qur’an dan al- Hadits
belum pernah ditemukannya. Lalu para sahabat dikumpulkan untuk
mencari jawabannya. Dari peristiwa itulah, maka sahabat Mughirah bin
Syu’bah dan Muhammad bin Maslamah menjawab dengan mengatakan
bahwa Rasulullah Muhammad saw. pernah memberikan bagian nenek
perempuan sebanyak seperenam (1/6) dari harta pusaka.

b. Khalifah Umar bin Khathab, yang berfikir lama sekali dalam


memahami maslah Abdurrahman bin Auf menjelaskan sabda Rasulullah
dengan mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Perlakukanlah mereka
itu (Kafir Majusi) sebagaimana perlakuan terhadap ahli kitab.”
c. Masalah “Mufawwidlah”, artinya Wanita yang langsung menyerahkan
dirinya kepada seorang laki-laki dengan tidak menetapkan besar kecilnya
mahar yang suaminya mati sebelum disetubuhi. Sedang yang
dipersoalkan disini adalah
1) Apakah wanita ini mendapatkan “Mahar” atau tidak ?
2) Apakah status thalaq karena kematian suami itu sama dengan status
thalaq karena ditalaq suami yang masih hidup ?
Dalam menanggapi masalah tersebut, sahabat satu dengan yang lain berbeda
pendapat, diantaranya ialah:
1) Ali dan Zaid bin ‘Umar berpendapat bahwa “Mati itu sama dengan
Talak” dan tidak berhak untuk mendapatkan “Mahar Mitsil”
2) Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa “Mati itu tidak sama dengan talak”.
Dan berhak mendapatkan “Mahar Mitsil”. Hal ini berdasarkan al-
Hadits tentang masalah “Mufawwidlah” yang terjadi pada diri
“Barwa’ binti Mas’ud yang isinya menjelaskan bahwa wanita
Mufawwidlah itu berhak menerima “Mahar Mitsil”.

d. Masalah Mandi-Wajib bagi wanita yang rambutnya tebal. Dalam hal


ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para sahabat, yaitu”
1) Umar berpendapat wanita tersebut harus menguraikan rambutnya
supaya airnya dapat merata diatas kepala.
2) ‘Aisyah berpendapat setelah mendengar fatwa ‘Umar sambil merasa
geli hatinya dengan mengatakan, “Benar-benar aku mandi bersama
Rasulullah dari satu bejana, sedangkan aku tidak melebihi
menuangkan air diatas kepalaku dari tiga kali siraman.”

e. Masalah Nasikh-Mansukh dalam al-Hadits. Dalam hal ini terjadi


perbedaan pandangan dikalangan para sahabat, yang disebabkan adanya
sahabat yang belum mengetahui bahwa al-hadits itu sudah di-nasakh,
seperti Ibnu Mas’ud. Sedang hadits yang me-nasakh sudah diketahui oleh
sahabat lain yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash.

Dari kenyataan seperti itulah, maka para sahabat sangat berhati-hati dalam
menerima riwayat al-hadits, sebagaimana yang terjadi pada diri sahabat ‘Umar bin
Khathab yang menolak al-hadits tentang Fatimah binti Qaisy yang telah di talaq
bain, dimana orang yang tertalak bain tidak berhak menerima “Nafaqah dan
“tempat tinggal”.
Dengan demikian, maka dapat diketahui bahwa perselisihan antara sahabat
satu dengan yang lain dalam masalah keberadaan al-hadits itu, disebabkan adanya
hal-hal sebagai berikut, yaitu:
1. Tidak tersebarnya al-Hadits secara meluas.
2. Terlalu teliti dan hati-hatinya para sahabat Rasulullah dalam menerima
suatu periwayatan al-Hadits.

3. Menyikapi Keragaman Hasil Ijtihad


Menyikapi begitu banyaknya keragaman hasil Ijtihad, seringkali bagi
sebagian kalangan perbedaan hasil ijtihad ini melahirkan kebingungan dalam
beragama. Adapun bagi kalangan berpendidikan, minimal ada dua sikap yang dapat
dikembangkan dalam menyikapi keragaman hasil Ijtihad, yakni :
1. Memahami bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah hal yang
wajar dan sehat. Kemampuan akal setiap manusia mempunyai kadar yang
berbeda-beda, karenanya kemampuan dalam menangkap isyarat yang ada
dalam nash-nash syariat juga berpotensi memunculkan perbedaan
pemahaman. Pada jaman sahabat pun, perbedaan pendapat adalah hal yang
lumrah terjadi. Menurut Husain Abdullah (1995:373), perbedaan ijtihad di
kalangan sahabat telah terjadi sejak zaman Rasulullah, dan Rasulullah pun
membenarkan hal tersebut dengan taqrir-nya.
2. Menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk tidak terlalu fanatik mazhab
atau pemikiran seorang ulama. Apabila hasil ijtihad seorang ulama ternyata
tidak tepat dalam suatu perkara, pada saat bersamaan terdapat pendapat
ulama lain yang lebih mendekati kebenaran, maka menjadi wajib bagi kita
untuk mengikuti pendapat yang ada di ulama lain, sekalipun tidak satu
mazhab dengan kita. Para imam mazhab (Mujtahid) sendiri mengajarkan
agar kita tidak bersikap fanatik. Al Banayuni (1994:90) menyebutkan bahwa
Ibn Abdil Barr meriwayatkan, bahwa Imam Abu Hanifah pernah berkata,
“Idza shaha al-hadith fahuwa madzhabi (Jika suatu hadith/pendapat telah
dipandang sahih maka itulah mazhabku).” Selain itu, Al Dahlawi (1989: 112)
menyebutkan, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Al-Baihaqi,
bahwa Imam Syafi’i pernah berkata, “Jika kamu melihat ucapanku
menyalahi hadith, amalkanlah hadith tersebut dan lemparkanlah
pendapatku ke tembok.”

4. Mengetahui Peran Ijtihad dalam Pengembangan Budaya dan Profesi


Dinamika hukum Islam dan perubahan masyarakat adalah laksana dua sisi
mata uang pada satu koin yang sama. Jika perubahan sosial tidak diikuti oleh
dinamika hukum, akibatnya pada saat tertentu, hukum tidak lagi memenuhi
kebutuhan masyarakat. Kondisi demikian mengakibatkan social lagi (kesenjangan
sosial) yaitu ketidakseimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga sosial
yang mengakibatkan terjadinya kepincangan dan kesenjangan dalam masyarakat.
Oleh karena itu ijtihad dalam bidang hukum Islam dalam mengantisipasi dinamika
masyarakat dan perubahan sosial merupakan suatu hal yang mesti dilakukan.
Dalam kajian hukum Islam, dinamika masyarakat dan perubahan sosial
yang menyangkut nilai, pola tingkah laku, dan sistem sosial suatu masyarakat
sangat menjadi perhatian dalam menetapkan hukum Islam. Para ahli hukum Islam
telah melakukan kodifikasi kaidah fiqhiyyah yang berkaitan dengan perubahan
sosial dan dinamika masyarakat yang diinduksi dari nas. Kaidah-kaidah itu antara
lain :
1. Ahmad al Hajji menyebutkan sebuah kaidah, “Tidak dapat diingkari,
perubahan hukum disebabkan oleh perubahan zaman.”
2. Jalaluddin as Suyuti berpendapat bahwa, Adat kebiasaan (yang berlaku di
kehidupan masyarakat) dapat menjadi hukum.
3. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah mengemukakan suatu prinsip dalam berijtihad,
yaitu berubahnya dan berbedanya fatwa itu sejalan dengan perubahan
zaman, tempat, kondisi sosial, niat, dan adat kebiasaan.
Kaidah-kaidah yang dikemukakan terdahulu itu memberikan gambaran dan
mencitrakan bahwa hukum Islam itu dinamis tidak statis.

5. Menerapkan Nilai-nilai Ijtihad dalam Lingkungan Pendidikan,


Keluarga, dan Pekerjaan
Secara garis besar, Ijtihad dilakukan dengan beberapa manfaat yang
diperolehnya, diantaranya yakni:
b. Umat Islam memperoleh hukum baru atas permasalahan baru yang
muncul seiring berkembang dan modernisasi zaman
c. Memperoleh relevansi antara hukum Islam yang berlaku dalam syariat
sesuai dengan kondisi zaman, keadaan, waktu juga perkembangan
zaman.
d. Menetapkan hukum halal-haram atas permasalahan yang muncul dan
tidak membuat kesimpangsiuran hukum dalam masyarakat.
e. Mempermudah dan menolong umat Islam dalam menyikapi masalah
yang belum dijelaskan hukumnya.
Atas dasar itu, nilai-nilai yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan
baik di lingkungan Pendidikan, Keluarga, dan Pekerjaan, setelah memahami
urgensi ijtihad dalam ajaran Islam adalah sebagai berikut :
a. Menanamkan nilai ketauhidan, bahwa segala kehidupan kita tidak akan
pernah lepas dari aspek ketuhanan dan spiritualitas. Sehingga
hendaknya kita mengembalikan segala urusan dalam kehidupan kita
kepada aspek ketuhanan, sebagaimana telah dibahas sebelumnya;
b. Menanamkan nilai optimisme, bahwa segala masalah pasti ada jalan
keluarnya. Allah swt telah mengaruniakan al Quran dan Alam semesta,
serta hati dan akal sebagai sarana untukmenggali isyarat solusi dari
setiap permasalahan yang ditemui
c. Menanamkan nilai toleransi, bahwa setiap orang mempunyai
pandangan dan pendapatnya sendiri sesuai dengan dasar pemahaman
akan ilmu yang dimilikinya. Karenanya perlu ditanamkan toleran dan
kemauan untuk menerima perbedaan dalam kehidupan
d. Menanamkan pemahaman kehidupan yang dinamis dan kreatif. Semua
aspek dalam kehidupan ini berubah, yang tetap hanyalah perubahan itu
sendiri. Memahami akan fenomena perubahan yang terjadi dalam
kehidupan, maka kita akan melihat bahwa ajaran islam akan selalu
relevan, dan penggalian hukum akan mampu menyesuaikan diri sesuai
dengan perubahan yang ada di masyarakat.
e. Ijtihad ini maknanya bersungguh-sungguh dalam mencari jawaban dan
solusi dari permasalahan yang ada dalam kehidupan beragama.
Sehingga dari Ijtihad kita mengimplementasikan nilai kesungguhan ini,
tidak mudah menyerah, dan gigih dalam menjalani kehidupan dalam
berbagai posisi kehidupan kita.

Anda mungkin juga menyukai