Anda di halaman 1dari 17

ISU-ISU KEWARGANEGARAAN AKTUAL

Dosen Pengampu : Hayatun Nufus

Di susun Oleh :

Kelompok 6

1. Siti Nur Azizah (210101040814)


2. Muhammad Lutfhi Ariyadi (210101040530)

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Isu-isu kewarganegaraan
actual.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat serta membawa
wawasan tentang Pembaca dapat pelajaran dari makalah yang telah dibuat oleh penulis untuk
bisa memahami Isu-isu kewarganegaraan actual seperti pendirian rumah ibadah umat
minoritas dan nikah beda agama.

Dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari masih terdapat kekurangan. Oleh
karena itu, penulis memohon maaf jika ada kekurangan kata-kata. Penulis sangat menerima
jika ada kritik dan saran untuk perbaikan makalah ini. Semoga Makalah ini dapat dipahami
dan bermanfaat bagi penulis ataupun orang yang membacanya.

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................1
C. Tujuan.........................................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................................3
A. Asal-usul Peraturan Pendirian Rumah Ibadah........................................................................3
B. Ketentuan Umum Pendirian Rumah Ibadah............................................................................3
C. Potensi Terjadinya Konflik........................................................................................................4
D. Hukum Nikah Beda Agama.......................................................................................................5
E. Analisa Pelanggaran HAM dalam Pernikahan Beda Agama..................................................8
F. Faktor Penyebab Nikah Beda Agama........................................................................................9
G. Dampak Nikah Beda Agama...................................................................................................10
BAB III PENUTUP.............................................................................................................................3
A. Kesimpulan.................................................................................................................................3
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang menjamin hak dan kebebasan warga negaranya untuk
menjalankan keyakinannya masing-masing, aturan tersebut sudah diatur dalam undang-
undang dasar pasal 29 ayat 2. Sebagai negara yang mempunyai berbagai ragam agama, maka
diperlukan pengelolaan kerukunan umat beragama secara baik. Yang dilandasi toleransi,
saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan di atas, maka rumusan masalah pada makalah
ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pendirian rumah ibadah umat minoritas?

2. Bagaimana hukum nikah beda agama?

3. Apa dampak dari pernikahan beda agama?

C. Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana pendirian rumah ibadah umat minoritas

2. Untuk mengetahui bagaimana hukum nikah beda agama

3. Untuk memahami dampak dari pernikahan beda agama

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal-usul Peraturan Pendirian Rumah Ibadah
Sejak negara Indonesia dibentuk, negara ini selalu memberi perhatian besar terhadap
urusan keagamaan dan masalah kerukunan antar ummat beragama untuk menciptakan
stabilitas nasional. Hal tersebut terjadi dikarnakan Indonesia memiliki keberagaman agama,
etnies, seni, budaya, cara hidup dan tradisi yang disimbolkan dengan “Bhinneka Tunggal
Ika”. Dengan adanya keberagaman, maka muncullah istilah mayoritas dan minoritas yang
pada akhirnya membuat beberapa kelompok merasa sedikit ingin lebih dispesialkan. Oleh
karena itu pemerintah mencoba berbagai cara untuk menemukan kebijakan yang dapat
menyatukan segalanya. Salah satu cara yang dilakukan pemerintah ialah memberi kebebasan
penuh bahkan menjamin kemerdekaan ummat beragama serta mengembangkan sikap hormat
dan toleransi antar ummat beragama. Namun usaha tersebut tidak serta merta membuahkan
hasil yang diinginkan dalam waktu singkat. Butuh waktu lama bagi pemerintah untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan tersebut karna ketegangan antar ummat beragama
sebenarnya telah terjadi sejak pertentangan antar ummat islam dan ummat kritiani tentang
pengukuhan ideology pancasila yaitu sila pertama dan hal tersebut diperparah dengan
munculnya sejumlah gejolak sosial lokal yang menjadikan umat Kristen sebagai sasaran
kekerasan pada masa orde lama dikarnakan adanya propaganda dari pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab sehingga memicu konflik antar ummat beragama.1

Regulasi negara tentang pendirian rumah ibadah di Indonesia dapat ditemukan dalam
dua peraturan. Pertama, SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor
01/BER/mdnmag/1969 mengenai “Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam
Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadah Agama oleh
Pemeluk-pemeluknya”. Kedua, PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9/8
Tahun 2006 tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama” dan “Pemberdayaan Forum Kerukunan
Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah”. SKB 1969 ditetapkan 13 September 1969.
Saat itu,

1
Ihsan Ali-Fauzi, Samsu Rizal Panggabean, Nathanael Gratias Sumaktoyo &....... Kontroversi Gereja di Jakarta
dan Sekitarnya, (2011) hlm.13.

2
3

Menteri Dalam Negeri dijabat Amir Machmud dan Menteri Agama dijabat K.H. Muhammad
Dahlan.2

B. Ketentuan Umum Pendirian Rumah Ibadah


Indonesia adalah negara demokratis yang sekular. Mayoritas pemeluk agama di
indonesia adalah Islam. Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama. Setiap individu
dibebaskan memilih agama atau keyakinan sendiri. Konstitusi ini juga menetapkan bahwa
negara Indonesia harus didasarkan pada keyakinan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kondisi tersebut juga merupakan prinsip pertama Pancasila, yaitu filosofi negara Indonesia
yang dibeberkan presiden Soekarno pada tahun 1945. Ia memberi hipotesa bahwa setiap
agama (termasuk Hindu) pada dasarnya mempunyai satu ketuhanan tertinggi. yang
menandakan bahwasanya setiap penduduk di indonesia memiliki tuhan dan bebas memilih
cara dia menyembah tuhannya.

Negara juga memberikan kebebasan penuh terhadap masyarakatnya dalam memeluk


dan menjalankan kepercayaannya sesuai dengan agama masing-masing. Seperti yang tertera
di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat 2 yang berbunyi: “ yang menyatakan
bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”. Adapun beberapa agama tersebut ialah agama islam,
kristen protestan, kristen katolik, hindu, budha, konghucu. Masing-masing dari agama
tersebut memiliki tempat peribadatan untuk menjalankan ritual agamanya. Tempat
peribadatan di setiap keyakinan yang dianut difungsikan sebagai fasilitas dalam menjalankan
peribadatan. Pendirian rumah ibadah sendiri merupakan hak bagi setiap orang atau organisasi
pemeluk agamanya. Akan tetapi dalam proses pendirian rumah ibadah ada banyak sekali
pertimbangan yang dilakukan pemerintah. seperti lingkungan social, kondisi prsikologis umat
beragama lainnya dan lokasi rumah ibadat yang akan didirikan. Oleh karena itu untuk
memperkecil resiko perselisian, pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama
(SKB) mengenai peraturan pendirian sebuah bangunan rumah peribadatan yang diatur baik
secara administratif dan secara teknik.3 Hal tersebut dapat dibuktikan dengan dikeluarkannya
Surat Keputusan Bersama (SKB) dengan Nomor 1/BER/MDNMAG/1969 tentang Pendirian
Tempat Ibadah yang kemudian direvisi menjadi Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Usaha yang dilakukan pemerintah untuk
2
Ibid hal.14.
3
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, Pasal 13 – pasal
16.
4

mempertahankan kerukunan ummat bergama tidak hanya sampai disitu saja. Setelah
mengeluarkan SKB pada tahun 2006, pemerintah mengeluarkan peraturan berikutnya dengan
Nomor 1/BER/MDN/MAG/1969 supaya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang belum
puas tentang peraturan pendirian rumah ibadah. Kemudian peraturan tersebut akhirnya
direvisi kembali dengan di keluarkan SKB terbaru yang dianggap mampu memecahkan
perselisihan atau konflik yang terjadi di masyarakat setiap suatu individu atau kelompok yang
ingin mendirikan rumah ibadah dapat merasa lebih diperhatikan. Adapun peraturan tersebut
diputuskan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama, dan Pendiriran Rumah Ibadat.4

C. Potensi Terjadinya Konflik


Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun
2006 sudah mengatur dengan jelas bagaimana proses pendirian rumah ibadah sebaiknya
dilakukan. Namun hal tersebut tampaknya tidak terimplementasikan dengan baik dikarnakan
beberapa tempat peribadatan yang didirikan di Kota Jambi mengambil keputusan untuk
mendirikan tempatperibadatan terlebih dahulu sebelum pihak yang berwenang memberikan
izin atas pendirian rumah ibadah tersebut. Akibatnya pihak-pihak yang merasa dirugikan
melaporkan hal tersebut secara resmi kepada pihak yang berwenang sehingga pihak harus
mengambil sikap tegas dengan cara memberi peringatan atau bahkan menyegel tempat
peribadatan tersebut. Dan hal tersebutlah yang sering sekali membuat permasalahan atau
konflik antar ummat beragama. Seperti yang terjadi pada tahun 2018 yaitu konflik pendirian
rumah ibadah bagi umat Kristen di Kota Jambi. Penyegelan tiga gereja di Kota Jambi yang
dilakukan oleh Satpol PP yang didukungan Kesbangpol dan aparat kepolisian Kota Jambi.
Penyegelan dialami pada Gereja Methodist Indonesia (GMI), Gereja Sidang Jemaat Allah
(GSJA), dan Gereja Huria Kristen Indonesia (HKI). Gereja tersebut dianggap tela melanggar.
Langkah penyegelan yang dilakukan oleh Pemkot tersebut setelah mempertimbangkan sudut
pandang regulasi pendirian rumah ibadah dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Mendagri No. 8 dan 9 Tahun 2006. Lingkungan tersebut ditempati 200 KK dan hanya 15 KK
yang beragama Kristen. Warga telah mengingatkan bahwa mereka tidak menyetujui
didirikanya tiga bagunan tersebut, akan tetapi pihak terkait tetap mendirikan gerja tersbut

4
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
5

sehingga warga mengambil sikap tegas dengan cara melaporan keberadaan bangunan yang
dijadikan tempat beribadah tersebut secara resmi karna dianggap tidak memiliki izin dari
warga. Selain itu panjangnya proses perizinan pendirian rumah ibadah menjadi salah satu
penyebab kesulitan dalam pendirian rumah ibadah sehingga pada akhirnya membuat ketidak
rukunan antar umat beragama. Namun Pendirian rumah ibadah pun tak jarang juga
mendapatkan izin secara cepat asalkan saat pendirian rumah ibadah tersebut sesuai dengan
peraturan bersama yang telah ditetapkan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.5

D. Hukum Nikah Beda Agama


Perkembangan pemikiran dan kebutuhan manusia, kadang menghadirkan sesuatu
yang positif namun tidak jarang menimbulkan hal negative. Pada masa-masa orde lama,
sekitar tahun 1960 sampai 2000 pernikahan masih dianggap sesuatu yang sangat sakral
sehingga jarang terjadi perceraian. Orang tua dalam memilih menantu sangat selektif,
penilaian dalam hal agama adalah sesuatu yang pertama ditanyakan dan dilihat. Karena
dengan agama, seseorang mampu membimbing dan mendidik istri terlebih anak-anaknya
sehingga menjadi anak yang shalih lagi baik. Dewasa ini, hal tersebut di atas sudah tidak
perhatikan lagi. Mapan dalam hal duniawi adalah penilaian utama oleh para calon mertua
dalam menentukan pasangan anak-anaknya. Agama adalah sesuatu yang dianggap privasi dan
tidak boleh ada campur tangan orang tua, sehingga anak bebas memilih dengan siapa yang
diinginkannya. Maka tidak heran, anakanakpun berkembang sesuai dengan keinginan
masing-masing tampa pendidikan agama dari orang tua. Namun disisi lain, karena negara
Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas Islam maka hukum yang yang ada di
Indonesia selain menggunakan hukum-hukum perintah (negara) juga masih memiliki Majelis
Ulama Indonesia (MUI) yang selalu hadir memberikan fatwa terkait hukumhukum agama
Islam yang salah satunya nikah beda agama. Dan ternyata larangan terhadap nikah beda
agama ini tidak hanya terjadi pada agama Islam saja, dalam agama lain- pun ditemukan
larangan untuk menikah dengan seseorang yang berbeda kayakinan. Diantaranya:

1. Menurut Hukum Agama Islam

5
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006, Pasal 21.
6

Pembahasan pernikahan beda agama ini akan dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
Pernikahan dengan non muslim 1. Pernikahan dengan ahli kitab, 2. Dalam pembedaan dua
kategori antara non muslim dengan ahli kitab ini memang terdapat sebuah perbedaan yang
menimbulkan konsekuensi dalam hukumnya, non muslim adalah orang-orang yang
mengingkari Tuhan.6 sementara pengertian ahli kitab adalah orang yang menganut salah satu
agama Samawi yang mempunyai kitab suci seperti Taurat, Injil , dan Zabur.7

Dalam surat Al-Mumtahanah menjelaskan bahwa adanya pelarangan untuk tetap


meneruskan hubungan pernikahan dengan wanita nonmuslim, sampai mereka beriman
kepada Allah. Larangan pernikahan beda agama dengan non muslim secara global telah
disepakati oleh para ulama8, Lebih lanjut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa larangan
pernikahan dengan non muslim juga didasarkan pada surat Al-Baqoroh: 221. Beliau
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan musyrik dalam ayat tersebut adalah penyembah
berhala. Larangan pernikahan beda agama ini kemudian di rumuskan dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) di Indonesia. KHI yang diberlakukan dengan Instruksi Persiden (Inpres)
Nomor 1 tahun 1991, melarang seorang muslim melakukan perkawinan beda agama.
Larangan ini diatur dalam pasal 40 huruf c KHI.26 Sementara larangan pernikahan beda
agama bagi wanita diatur dalam pasal 44 KHI.9

2. Menurut Hukum Agama Kristen

a) Katolik

Agama Kristen di Indonesia terbagi menjadi dua aliran yaitu: a) Katolik Dalam
hukum Katolik suatu perkawinan dianggap kudus, ikatan erat dan tidak terceraikan. Menurut
Koningsmann dalam kitab Kanonik menyatakan bahwa terdapat 12 larangan dan halangan
dalam perkawinan yang terangkum dalam 4 pokok yaitu:

1) Tiga perjanjian yang berasal dari perjanjian perkawinan. 2) Rintangan karena agama. 3)
Tiga halangan karena dosa berat. 4) Tiga hubungan karena persaudaraan. Dari sini dapat
diambil kesimpulan bahwa Kristen Katolik mengharamkan Perkawinan Beda Agama.10

b) Protestan

6
arsayuda, Op. Cit, hlm:87.
7
Masri Elmahsyar Bidin, Prinsip Hubungan Muslim dan Non Muslim dalam Pandangan Islam
8
mam al-Qodhi, Op.Cit, hlm. 36
9
Karsayuda, Op.Cit, hlm. 69
10
Ihtiyanto. 2003. Perkawinan Campuran dalam Negara RI. Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan RI Depag. Hal. 128.
7

Agama Kristen mendefinisikan bahwa perkawinan adalah persekutuan hidup yang


meliputi keseluruhan hidup yang menghendaki laki-laki dan perempuan menjadi satu. Satu
dalam kasih Tuhan satu dalam mengasihi, satu dalam kepatuhan satu dalam menghayati
kemanusiaan dan satu dalam memikul beban pernikahan.11 Persekutuan Gereja Indonesia
(PGI) dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) telah mensepakati bahwa orang Kristen boleh
menikah dengan orang non kristen tapi dengan syarat mereka harus menikah di gereja dan
anak-anaknya nanti harus dididik menurut ajaran agama kristen.12 Gagasan di atas pada
dasarnya hukum agama Kristen juga tidak menghendaki umatnya untuk menikah dengan
agama non Kristen.

3. Menurut Hukum Agama Budha

Menurut ajaran Budha, agama Budha tidak menuntut kesempurnaan pada diri
manusia. Agama Budha hanya melihat ajaran moral dan amalan. Dalam tradisi Budha
mengenai pemberlakuan hukum lebih menekankan untuk menuruti ajaran hukum negara yang
berlaku (Sruti) dan hukum tradisi (Smriti) setempat.13

Perkawinan Beda Agama adalah tindakan hukum yang tidak konstitusional menurut
hukum Negara dan juga tidak selaras dengan ajaran moral atau tradisi masyarakat Indonesia
secara kolektif. Karena hal itu masih dipandang tabu oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia (nulayani adat) sehingga disini agama Budha juga tidak memberikan peluang bagi
umatnya untuk menikah dengan umat agama lain.

4. Menurut Hukum Agama Hindu

Menurut Pudja dalam hukum Hindu memberikan pengaturan secara khusus mengenai
upacara perkawinanyaitu dengan upacara suci pernikahan Pedande. Sedangkan Pedande
hanya mau melaksanakan pernikahan apabila para calon pengantian sama-sama beragama
Hindu. Di sini memberikan kesimpulan bahwa Pedande tidak mungkin memberkati atau
menyelenggarakan upacara perkawinan antara mereka yang masih berbeda agama atau dalam
istilah lainnya di dalam hukum Hindu tidak membuka peluang sama sekali memberikan
kesempatan kepada umatnya untuk menikah dengan orang yang beragama di luar Hindu.14

11
Abineno. 1982. Manusia; Suami dan Istri. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 19.
12
Ihtiyanto. 2003. Perkawinan Campuran dalam Negara RI. Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan RI Depag. Hal. 133.
13
Munir Fuady. 2009. Sejarah Hukum. Cetakan I. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 57.
14
Ihtiyanto. 2003. Perkawinan Campuran dalam Negara RI. Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan RI Depag. Hal. 134.
8

E. Analisa Pelanggaran HAM dalam Pernikahan Beda Agama


Indonesia adalah masyarakat yang plural. Artinya, terdiri dari berbagai macam suku,
ras, dan kepercayaan. Hal ini menimbulkan berbagai dampak sosial salah satunya tentang
perkawinan. Dalam hal ini, dampak sosial berusaha ditekan dengan munculnya UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan unifkasi dari seluruh hukum pernikahan
yang ada di Indonesia. Permasalahan kemudian muncul, ketika pembatasan pernikahan atas
dasar UU ini pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Dalam konsep HAM barat
yang dewasa ini sangat digencarkan, pernikahan dirumuskan dalam instrumen hukum
internasional yaitu Universal Declaration of Human Rights 1948 (DUHAM), tepatnya pada
pasal 16 dalam ayat 3, yaitu : laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak
dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk
membentuk keluarga.

Dalam tataran yuridis, sebuah Negara yang telah meratifikasi suatu instrument HAM
memiliki suatu kewajiban untuk melaksanakan aturan tersebut. Namun demikian, terdapat
kebebasan dalam ratifikasi yang memberikan peluang dalam hukum untuk dapat
diaplikasikan dalam sistem hukum suatu Negara. Dengan adanya pengertian tersebut, maka
secara yuridis, tidak menjadi suatu masalah ketika UU No. 39 Tahun 1999 serta UU No. 1
Tahun 1974 yang berbeda dari DUHAM sebagai instrumen dasar HAM. Namun, tataran
yuridis tersebut harus mampu dijelaskan dalam tataran flosofs tentang HAM, mengingat
DUHAM sendiri hanya merupakan kodifkasi rasional umat manusia atas HAM. Begitu pula
UU No. 39 Tahun 1999, UU No 1 Tahun 1974 bahkan UUD 1945. Dalam tataran flosofs,
pengertian atas hak serta pernikahan itu sangat penting artinya. Dalam pengertian HAM
dalam kajian ini terdapat dua kubu penting, pertama menurut konsepsi internasional yang
kedua menurut konsepsi Islam. DalamkonsepInternasional,doktrin sepakat menyatakan
bahwa HAM merupakan hak kodrati yang dimiliki oleh umat manusia karena derajatnya yang
tinggi sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sedangkan dalam konsep Islam, HAM ditempatkan
berdasar ketuhanan, umumnya diwujudkan dengan penghormatan terhadap orang lain dalam
bentuk kewajiban untuk tidak melakukan penghilangan daripadanya. Dalam pengertian kedua
konsep tersebut terdapat beberapa persamaan, yang pertama HAM ada untuk manusia karena
Tuhan. Dengan demikian, fungsi kodrati bahwa HAM melekat pada seluruh umat manusia
menjadi jelas, karena setiap manusia adalah ciptaan Tuhan. Lebih lanjut, secara eksplisit
pengertian HAM dalam dunia internasional atas dasar pengertian tersebut, akhirnya juga.
9

menyepakati bahwa HAM merupakan pemberian Tuhan serupa dengan konsepsi HAM dalam
Islam. Pernikahan sendiri dalam DUHAM berdasar rasionalisme dan liberal menghasilkan
paham sekuler yang berusaha memisahkan dunia dengan agama yang menghasilkan bebasnya
perkawinan beda agama. Berbeda dengan konsep Islam, yang menyatakan bahwa perkawinan
dilaksanakan karena hak untuk nikah sendiri diberikan oleh Tuhan. Maka menurut Islam,
kapan, siapa, dimana, bagaimana, kenapa seseorang itu melakukan pernikahan adalah hak
Tuhan untuk menetapkan mana yang akan diserahkan pada manusia dalam kepengurusannya.
Penjabaran makna pernikahan dalam DUHAM sendiri kemudian menjadi tidak relevan ketika
mengingat dasar flosofs pengadaannya. Bahwa DUHAM mengakui adanya Tuhan pemberi
hak tersebut, namun kemudian mengapa agama sebagai ajaran Tuhan tidak dijadikan
landasan.15

F. Faktor Penyebab Nikah Beda Agama


Sebenarnya banyak sekali faktor-faktor penyebab terjadinya nikah beda agama,
khususnya pada masyarakat indonesia. Beberapa diantaranya:

1. Pergaulan Hidup Sehari-hari

dalam kehidupan bermasyarakat. Indonesia memang merupakan masyarakat yang


heterogen atau terdiri atas beraneka ragam suku, dan agama. Dalam pergaulan hidup sehari-
hari, tidak pernah dibatasi dalam masalah pergaulan. Hal ini sangat berpengaruh pada
kehidupan bermasyarakat yang ada di Indonesia yang sudah terlalu erat dalam bergaul

2. Pendidikan tentang Agama yang minim

Banyak orang tua yang jarang maupun tidak pernah mengajarkan anakanaknya sedini
mungkin tentang agama. Sehingga dalam pertumbuhannya menjadi dewasa, Ia tidak
mempersoalkan agama yang diyakininya. Sehingga dalam kehidupannya sehari-hari, tidak
mempermasalahkan apabila memiliki pasangan yang berbeda agama

3. Latar Belakang Orang tua

Faktor ini juga sangat penting. Karena pasangan yang menikah beda agama tentu
tidak lepas dari adanya latar belakang orang tua. Banyak pasangan yang menikah dengan
pasangan yang berbeda agama karena melihat orang tuanya juga adalah pasangan yang
berbeda agama.

4. Kebebasan dalam Berpasangan


15
(Dardiri et al., 2013)
10

Tentu sekarang adalah zaman yang modern, tidak seperti dulu yang dinamakan zaman
Siti Nurbaya, yang pada zaman tersebut orang tua masih saja mencarikan jodoh untuk anak-
anaknya. Sekarang adalah zaman modern yang dimana para laki-laki dan perempuan dengan
bebasnya memilih pasangan sesuai dengan keinginannya. Dengan adanya kebebasan memilih
pasangan ini, tidak bisa dipungkiri jika banyak yang memilih pasangan beda agama karena
didasari dengan cinta.

5. Efek Globalisasi

Dengan meningkatnya hubungan sosial anak-anak muda Indonesia dengan anak-anak


muda dari Manca Negara. Akibat globalisasi dengan berbagai macam bangsa, kebudayaan,
agama serta latar belakang yang berbeda hal tersebut sedikit atau banyak ikut menjadi
pendorong atau melatar belakangi terjadinya perkawinan beda agama. Dan gengsi untuk
mencari pasangan orang asing.16

G. Dampak Nikah Beda Agama


1. Terhadap Kehidupan Keluarga (suami istri)

Dalam beberapa ayat dan hadits yang telah disebutkan, sebenarnya Allah dan Rasul-
Nya telah menyebutkan tentang akibat atau dampak dari melanggar perintah (nikah beda
agama). Misalanya dalam surat al Baqarah ayat 221, yang mempunyai arti “Mereka
(pasangan musyrik) mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.‛ Secara pasti Allah menyebutkan dampak yang
terjadi terhadap seorang muslim/muslimah ketika menikah dengan pasangan musyrik, yaitu
pasangan tersebut akan menariknya kedalam neraka. Dampak lain terhadap suami istri yang
biasa ditemukan terhadap nikah beda agama adalah:

a) Perasaan dan suasana yang tidak nyaman hidup bersama dengan orang yang menurut
agama/pasangan ‚salah‛. Permasalahan tidak nyaman itu diakui atau tidak, lantaran pasangan
yang akhirnya menikah itu tetap mempertahankan agama sebagai kepercayaan masing-
masing.

b) Pasangan nikah beda agama berpotensi memunculkan perasaan khawatir jika anak suatu
saat akan mengikuti atau tertarik dengan agama yang dianut pasangan.

16
Jane Marlen Makalew. 2013. Akibat Hukum Dari Perkawinan Beda Agama Di Indonesia. Lex Privatum,
Volume I, Nomor 2 April - Juni 2013. Hlm. 138-139.
11

c) Rasa tidak nyaman secara sosial karena selalu menjadi sasaran pandang masyarakat.

d) Memunculkan perasaan saling curiga. Misalnya, ketika salah satu pasangan melakukan
hal-hal yang baik dengan alasan karena dianjurkan oleh ajaran agamanya.17

2. Terhadap Pendidikan Agama Anak

Selain berdampak negative terhadap kehidupan keluarga (suami istri), dampak yang
paling mengerikan adalah terhadap anak keturunan. Jelasnya anak dari orang tua yang beda
agama akan memiliki dua kepribadian atau berkepribadian ganda. Di satu sisi harus pandai
menghadapai sang ayah yang beragama Islam misalnya dan disisi lain harus bisa
menyesuaikan dengan agama kepercayaan ibunya, kristen misalnya. Secara umum, pasangan
beda agama dibagi menjadi 3 kategori; yaitu pasangan yang sama-sama lemah dalam
agamanya, pasangan yang salah satunya kuat dalam beragama sedangkan yang lain lemah
dalam agama dan pasangan yang sama-sama kuat dalam beragama. 18

17
Hukum Online. 2015. Empat Kelemahan Nikah Beda Agama Dilihat dari perspektif psikologis dan sosiologis.
18
Erwin Yudi Prahara. 2016. Pengaruh Pendidikan Agama Pada Anak Dalam Keluarga Beda Agama Di Desa
Klepu Sooko Ponorogo. Cendekia Volume 14 Nomor 1, Januari - Juni 2016. Hlm. 31.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembuatan makalah diatas dapat kita simpulkan bahwa setiap umat beragarama
mempunyai hak yang sama dalam menganut kepercayaannya masing-masing baik dalam
melaksanakan ibadah maupun pendirian rumah ibadah, hal tersebut telah ditetapkan dalam
peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Tidak sampai disitu, pernikahan beda agama
sebenarnya juga dilarang oleh agama manapun mengingat akibat yang ditimbulkan sangatlah
berdampak pada keluarga ataupun keturunan nanti.

12
DAFTAR PUSTAKA
Ihsan Ali-Fauzi, Samsu Rizal Panggabean, Nathanael Gratias Sumaktoyo &....... Kontroversi
Gereja di Jakarta dan Sekitarnya, (2011) hlm.13.

Ibid hal.14.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006,
Pasal 13 – pasal 16.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006,
Pasal 21.
arsayuda, Op. Cit, hlm:87.
Masri Elmahsyar Bidin, Prinsip Hubungan Muslim dan Non Muslim dalam Pandangan Islam,
Imam al-Qodhi, Op.Cit, hlm. 36
Karsayuda, Op.Cit, hlm. 69
Ihtiyanto. 2003. Perkawinan Campuran dalam Negara RI. Jakarta: Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan RI Depag. Hal. 128.
Abineno. 1982. Manusia; Suami dan Istri. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 19.
Ihtiyanto. 2003. Perkawinan Campuran dalam Negara RI. Jakarta: Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan RI Depag. Hal. 133.
Munir Fuady. 2009. Sejarah Hukum. Cetakan I. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 57.

Ihtiyanto. 2003. Perkawinan Campuran dalam Negara RI. Jakarta: Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan RI Depag. Hal. 134.

(Dardiri et al., 2013)

Jane Marlen Makalew. 2013. Akibat Hukum Dari Perkawinan Beda Agama Di Indonesia.
Lex Privatum, Volume I, Nomor 2 April - Juni 2013. Hlm. 138-139.

Hukum Online. 2015. Empat Kelemahan Nikah Beda Agama Dilihat dari perspektif
psikologis dan sosiologis.
Erwin Yudi Prahara. 2016. Pengaruh Pendidikan Agama Pada Anak Dalam Keluarga Beda
Agama Di Desa Klepu Sooko Ponorogo. Cendekia Volume 14 Nomor 1, Januari - Juni 2016.
Hlm. 31.

Anda mungkin juga menyukai