Anda di halaman 1dari 80

HAK BERAGAMA MINORITAS

(Studi Pendirian Rumah Ibadah Di Kota Jambi)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat


Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu ( S.1 )
Dalam Ilmu Hukum Tata Negara
Pada Fakultas Syariah

Oleh:

AISAH
106170682
PEMBIMBING:

Dr. Ayub Mursalin, S.Ag., M.A.


Devrial Ali Putra, S.S.I., M.A.Hk.

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
1442 H/2021 M
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
PERSEMBAHAN

Alhamdulillah bisa sampai pada titik ini, kupanjatkan rasa syukur atas nikmat

yang telah engkau berikan Ya allah yang telah mempermudah dan melancarkan

segala urusan ku. Semoga langkahku selalu engkau ridhoi.

Skripsi ini kupersembahkan untuk orang-orang yang berjasa dan luar biasa

dalam hidup ku, terimakasih Bapak ku ( Nasib) dan ibu ku ( Rossolehati) telah

merawatku dari aku kecil hingga saat ini dan selalu mengajarkan ku dan

mengingatkan ku akan besarnya kuasa allah sekaligus menjadi pondasi penguat

ku dalam hidup yang selalu mendoakanku tanpa kenal lelah. serta untuk kedua

abang ku bang (Jonni April Mansyah ) dan bang ( Muhammad Jaka) dan kedua

adik ku adek pudan ( Riduwan ) dan adek mimin (Darmin) yang tidak pernah

kenal lelah memberiku semangat dan mendukung ku di setiap langkahku menjadi

motivasi untuk ku menyelesaikan pendidikan ini akhirnya membuat diriku

mampu menyelesaikan semua nya hingga ketahap ini.

Tak lupa pula skripsi ini kupersembahkan untuk kedua pembimbingku

bapak(Dr.Ayub Mursalin, S.Ag., M.A.)selaku pembimbing 1 dan bapak

(Devrian Ali,S.S.I.,M.A.Hk )selaku pembing 2 yang selalu membimbingku,


mengarahkanku dan membantuku dalam menyelesaikan tugas akhir perkuliahan.

ix
DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN

PERSETUJUAN PEMBIMBING

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

MOTTO

KATA PENGANTAR

ABSTRAK

PERSEMBAHAN

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 4

C. Batasan Masalah........................................................................................... 4

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................. 4

E. Kerangka Teori............................................................................................. 5

F. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 6

G. Metode Penelitian......................................................................................... 7

H. Sistematika Penulisan................................................................................. 12

x
BAB II KONDISI SOSIAL KEAGAMAAN DI KOTA JAMBI

A. Kondisi Demografis Di Kota Jambi .......................................................... 14

B. Peta Rumah Ibadah Di Kota Jambi ............................................................ 34

BAB III SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERATURAN BERSAMA

MENTERI DALAM PENDIRIAN RUMAH IBADAH

A. Asal – Usul Peraturan Pendirian Rumah Ibadah ........................................ 42

B. Ketentuan Umum Pendirian Rumah Ibadah .............................................. 46

BAB IV IMPLEMENTASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA

LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI NOMOR 9 DAN 8 TAHUN 2006

A. Prosedur Pendirian Rumah Ibadah Di Kota Jambi ................................... 58

B. Potensi Terjadinya Konflik ........................................................................ 63

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................ 67

B. Saran........................................................................................................... 68

DAFTAR PUSTAKA

DOKUMENTASI

CURRICULUM VITAE

xi
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum yang dalam penyelenggaraannya didasarkan
pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Prinsip ini secara tegas tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat 1. 1 Dengan prinsip ini, Indonesia
sering disebut sebagai negara berketuhanan, di mana kemajemukan agama atau
keyakinan menjadi salah satu ciri khasnya. Untuk menjamin keberlangsungan dari
kemajemukan tersebut, negara juga menjamin kebebasan bagi para pemeluknya
melalui konstitusinya untuk menjalankan agama dan kepercayaannya itu,
sebagaimana tercantum pada Pasal 29 Ayat 2: “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu”.2
Namun demikian, kemajemukan atau keragaman agama ini, pada praktekya
kemudian dibatasi hanya untuk enam agama saja yang secara formal
diperbolehkan berkembang secara terbuka di bumi Indonesia. Keenam agama
tersebut adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Khonghucu.3
Keanekaragaman agama tentunya bisa menjadi potensi yang positif ketika
berada dalam masyarakat yang saling hormat menghormati, menghargai dan
mentoleransi perbedaan yang ada. Sebaliknya, keberagaman tersebut bisa jugq
berpotensi negatif apabila tidak dikelola secara baik yang pada batas tertentu
bahkan dapat memunculkan perpecahan atau disharmoni.4 Untuk menghidari
terjadinya konflik agama, negara melalui lembaga-lembaga yang ada, telah
mengeluarkan peraturan perundang-undangan ataupun yang terkait guna untuk
menata, membina serta mengembangkan sendi-sendi kerukunan antar umat

1
Undang-Undang Dasar 1945 BAB XI (Agama) Pasal 29 Ayat 1. Undang-Undang Dasar
1945 sudah diamandemen sebanyak empat kali, tetapi rumusan Pasal Agama ini tetap
dipertahankan seperti aslinya.
2
Ibid.
3
Penyebutan enam agama ini terdapat dalam penjelasan pasal 1 Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
4
Balai Litbang Agama Jakarta, Konflik dan Penyelesaian Pendirian Rumah Ibadah,
(Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2015), hlm. 1.

1
2

beragama warganya.5 Di antara peraturan yang ada adalah Undang-Undang


Nomor 1/PNPS/1965, sebagaimana telah disebutkan dan Surat Keputusan
Bersama Menteri Tahun 1969 yang diubah menjadi Peraturan Bersama Tahun
2006.6 Dengan adanya dua peraturan ini secara umum Indonesia mencoba untuk
menanamkan kerukunan dan toleransi terhadap perbedaaan-perbedaan agama.
Untuk mendukung program ini kemudian dicetuskan program kerukunan umat
beragama yang sejak Orde Baru telah digalakkan, termasuk di antaranya
pembentukan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama). Meskipun demikian,
bukan berarti Indonesia bebas dari konflik bernuansa agama.
Salah satu konflik yang masih sering mewarnai kehidupan keagamaan di
Indonesia saat ini adalah soal pendirian rumah ibadah, khususnya yang berkaitan
dengan rumah ibadah bagi umat Kristen Protestan. Bagi sebagian pihak, pendirian
rumah ibadat memang merupakan hak bagi setiap penduduk atau umat pemeluk
agama tertentu, terlebih apabila jumlah umatnya semakin bertambah. Namun, bagi
sebagian pihak lainnya, pendirian atau keberadaan rumah ibadah umat tertentu
sangat terkait dengan umat agama lain dalam suatu wilayah. Artinya, rumah
ibadah tertentu akan mudah didirikan apabila di suatu wilayah tertentu umat yang
berkepentingan adalah kelompok mayoritas. Sebaliknya, rumah ibadah itu akan
sulit untuk didirikan apabila umat yang berkepentingan merupakan umat
minoritas.
Berdasarkan beberapa informasi yang dikumpulkan dari beberapa literatur,
pada masa Orde Baru setidaknya terdapat 456 gereja yang dirusak atau ditutup.
Sedangkan pada masa Reformasi, setidaknya hingga tahun 2005, terdapat 520
gereja yang dirusak atau ditutup.7 Angka ini diperkerikan masih terus bertambah
hingga saat ini. Nasib yang srupa juga sebenarnya terjadi pada rumah ibadah umat
Islam di wilayah-wilayah yang mayoritas warganya bukan beragama Islam. Pada
tahun 2018 di Papua misalnya, sebuah masjid di Jaya Pura di demo oleh anggota
Persekutuan Gereja-Gereja agar menara Masjid Al-Aqsha Sentani dibongkar

5
Faisal Ismail, Dinamika Kerukunan Umat Beragama, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya,
201), hlm.35.
3

karena dianggap terlalu tinggi sehingga membuat bangunan gereja di sekitarnya


tidak tampak.8
Di Kota Jambi sendiri, konflik antar agama juga pernah terjadi, khususnya
antara umat Islam dan Kristen. Konflik bermula dari sebuah musibah banjir yang
terjadi di Kecamatan Telanaipura Kota Jambi pada tahun 1980. Dalam keadaan itu
Umat Nasrani melakukan kegiatan bakti sosial dengan cara memabgi bantuan
musibah banjir. Masyarakat yang menerima bantuan semuanya memeluk agama
Islam. Pada saat menerima bantuan, mereka diminta untuk menandatangani tanda
terima penerimaan sembako. Lembaran tandatangan penerima bantuan tersebut
kemudian disalahgunakan oleh kelompok tokoh agama Kristen Batak di mana
mereka mengalih fungsikan tandatangan dari masyarakat penerima bantuan tadi
untuk digunakan sebagai lembar pesetujuan pendirian rumah ibadah bagi agama
Kristen Batak yang posisi nya tak jauh dari bangunan masjid. Kita tahu bahwa
persyaratan pendirian rumah ibadah itu sendiri harus membutuhkan persetujuan
dari masyarakat sekitar. Namun, karena cara yang digunakan tidak melalui cara
yang dibenarkan, maka umat Islam pun memprotesnya. 9
Tidak hanya itu saja, pada tahun 2018 konflik pendirian rumah ibadah bagi
umat Kristen di Kota Jambi pun kembali terjadi. Penyegelan tiga gereja di Kota
Jambi yang dilakukan oleh Satpol PP yang didukungan Kesbangpol dan aparat
kepolisian Kota Jambi. Penyegelan dialami pada Gereja Methodist Indonesia
(GMI), Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA), dan Gereja Huria Kristen Indonesia
(HKI). Gereja tersebut dianggap tela melanggar. Langkah penyegelan yang
dilakukan oleh Pemkot tersebut dengan mempertimbangkan sudut pandang
regulasi pendirian rumah ibadah dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Mendagri No. 8 dan 9 Tahun 2006. Lingkungan tersebut ditempati 200 KK dan
hanya 15 KK yang beragama Kristen. Warga telah mengingatkan bahwa mereka
tidak menyetujui diddirikanya tiga bagunan tersebut, kemudian warga melaporan

8
Tiara Sutari, “Menag: Selesaikan Konflik Masjid di Papua Lewat Musyawarah,” CNN
Indonesia, (Minggu, 18/03/2018).
9
Abdul Halim & Zaki Mubarak, “Pola Konflik Agama Di Wilayah Prular: Studi Kasus
Pendirian Rumah Ibadah Di Kota Jambi,” Tajdid,Vol. 19. No.1, (Januari-Juni 2020), hlm. 90.
4

keberadaan bangunan yang dijadikan tempat beribadah tersebut secara resmi


karna daianggap tidak memiliki izin dari warga.
Dari pemaparan tersebut, maka peneliti tertarik untuk mendalami lebih jauh
tentang bagaimana sesungguhnya hak beragama warga negara yang sering disebut
dengan umat minoritas, khususnya yang terkait dengan hak pendirian rumah
ibadah, dengan Kota Jambi sebagai lokasi penelitian.

B. Rumusan Masalah
Permasalahan pokok dari penelitian ini adalah konflik pendirian rumah
ibadah di Kota Jamabi. Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti
mengajukan tiga pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana ketentuan tentang pendirian rumah ibadah?
2. Bagaimana implementasi peraturan pendirian rumah ibadah di Kota
Jambi?
3. Apa penyebab terjadinya konflik pendirian rumah ibadah di Kota Jambi
dan bagaimana penyelesaiannya oleh pihak yang berwenang ?

C. Batasan Masalah
Agar pembahasan penelitian ini tidak meluas, maka peneliti membatasi pada
konflik pendirian rumah ibadah bagi umat Kristen Protestan di Kota Jambi yang
pernah terjadi pada masa reformasi.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan agar penelitian tersebut dapat
memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Mengetahui dan memahami ketentuan tentang pendirian rumah
ibadah.
b. Memahami implementasi peraturan pendirian rumah ibadah di Kota
Jambi.
c. Memahami penyebab terjadinya konflik pendirian rumah ibadah di
Kota Jambi dan penyelesaiannya yang ditawarkan oleh pihak yang
berwenang.
5

2. Kegunaan Penelitian.
Adapun kegunaan penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Sebagai salah satu persayaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana
Strata Satu (S1) di Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi.
b. Sebagai sumber referensi atau bahan masukkan bagi pemerintah
dalam mengambil kebijakan terkait penanganan pendirian rumah
ibadah.
E. Kerangka Teori
Menurut Dahrendorf seperti yang dikutip di dalam buku Parsudi Suparlan,
salah seorang tokoh yang mengembangkan model konflik, melihat bahwa
kehidupan manusia dalam bermasyarakat didasari oleh konflik kekuatan, yang
bukan semata-mata dikarenakan oleh sebab-sebab ekonomi sebagaimana
dikemukakan oleh karl Maex, melainkan karena berbagai aspek yang ada dalam
masyarakat yang dilihatnya sebagai organisasi social.10 Sebagai sebuah fenomena
sosial, kemunculan konflik tertentu merupakan dampak dari suatu yang menjadi
penyebabnya. Kalangan sosiolog menyebutkan bahwasannya faktor utama yang
menyebabkan konflik adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status
sosial dan kekuasaan yang jumlahnya sangat terbatas dan tidak merata di dalam
masyarakat.11
Berdasarkan Teori Hubungan Masyarakat, terjadinya konflik dalam
masyarakat merupakan akibat dari polarisasi yang terus berlangsung serta ketidak
percayaan (untrust) dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam
suatu masyarakat. Atas dasar demikian, sebagaimana upaya mencegah terjadinya
konflik, maka yang perlu dilakukan adalah meningkatkan komunikasi dan
pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik serta
meningkatkan toleransi agar masyarakat dapat saling menerima keragaman.

10
Parsudi Suparlan, “Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya”, Antropologi Indonesia,
Vol.30, No.2, 2006, hlm,139.
11
Adon Nasrullah Jamaludin, Agama dan konflik Sosial: Studi Kerumunan Umat
Beragama, Radikalisme dan Konflik Antarumat Beragama, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm
2.
6

Menurut Teori Kebutuhan Manusia, konflik merupakan dampak dari tidak


terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Dengan demikian, pencegahan
yang dapat dilakukan adalah mengusahakan secara bersama pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan dasar dan menghasilkan pilihan-pilihan alternatif untuk
memenuhinya.12 Menurut Teori Kesalah Pahaman Antar Budaya, faktor penyebab
munculnya konflik adalah kerena ketidak cocokan dalam cara-cara kemunikasi di
antara budaya yang berbeda. Sebagai upaya mencegahnya, maka yang harus
dilakukan adalah memperkenalkan pengetahuan budaya pihak lain,
mengefektifkan komunikasi antar budaya. 13
F. Tinjauan Pustaka.
Tinjauan pustaka dimaksud untuk memberikan informasi tentang penelitian
atau karya-karya lain yang berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti agar
tidak terjadi penggandaan atau duplikasi dan juga menjawab kesiapan penulis
tentang bahan-bahan yang akan diteliti. Sehingga peneliti melakukan tinjauan
pustaka terhadap skripsi mahasiswa/mahasiswi terdahulu adapun yang ditemukan
dalam pustaka adalah sebagai berikut:14
Pertama artikel yang berjudul “Konflik dan Integrasi Pendirian Rumah Ibadah
di Kota Bekasi”, yang ditulis oleh Adon Nasrullah Jamaludin, penelitian tersebut
berfokus pada integrasi paradigma pendirian rumah ibadah dengan melihat
keberagaman agama yang ada dan melihat mayoritas dan minoritas agama serta
toleransi dalam beragama serta analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis deskriptif normatif yaitu data yang diperoleh dari penelitian yang
diuraikan sehingga memberikan gambaran secara jelas dan konkrit terhadap objek
yang dibahas.15 Kedua, artikel yang berjudul “Dinamika Pembangunan Rumah
Ibadah Bagi Warga Minoritas di Jawa Tengah”, yang ditulis oleh Rini Fidiyani, di
mana penelitian ini meneliti mengenai dinamika atau dapat dikatakan pergerakan
dalam pembangunan sebuah rumah ibadah yang dilakukan oleh agama minoritas

12
Abdul Halim dan Zaki Mubarak, “Pola Konflik Agama di Wilayah Plural: Studi Kasus
Pendirian Rumah Ibadah di Kota Jambi, Tajdid, Vol.19.No.1, (2020), hlm. 94 - 95.
13
Ibid.
14
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi Ilmu Syariah dan Hukum, (Jambi: NoerFikti
Offset, 2020), hlm. 37.
15
AdonNasrullah Jamaludin, Konflik Dan Integrasi Pendirian Rumah Ibadah di Kota
Bekasi, socio-politika, Vol.8, No.2, Juli 2018.
7

yang ada di daerah Jawa Tengah dengan menggunakan metode penelitian


kualitatif.16 Ketiga, artikel yang berjudul ”Pendirian Rumah Ibadat Menurut
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun
2006”, yang ditulis oleh Ismardi di mana fokus penelitiannya pada Peraturan yang
sudah dibentuk untuk mengurangi konflik dalam pendirian rumah ibadah.17
Adapun perbedaan penelitian-penelitian tersebut dengan penelitian yang saya
lakukan adalah pada setting wilayah dan solusi-solusi yang ditawarkan pada setiap
kasus yang terjadi. Kelima, sebuah artikel yang berjudul “Pola Konflik Agama Di
Wilayah Plural: Studi Kasus Pendirian Rumah Ibadah Di Kota Jambi” oleh Abdul
Halim & Zaki Mubarak. Penelitian tersebut menitik beratkan pada pola dan
penyebab terjadinya sebuah konflik terhadap pendirian rumah ibadah dikota
jambi. Sedangkan dalam penelitian saya mempelajari tentang ketentuan pendirian
rumah ibadah dan implementasi dari peraturan tersebut. Kemudian penelitian ini
mencari tahu penyebat terjadinya konflik dan cara penyelesaiannya oleh pihak
yang berwenang. Selain itu, penelitan ini menggunakan pendekatan deskriptif
kualitatif dengan jenis penelitian lapangan. Sedangkan penelitian yang dilakukan
oleh Abdul Halim & Zaki Mubarak menggunakan studi kasus sebagai pendekatan.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu proses penelitian atau pemahaman yang
berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan
masalah manusia.18
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu.
Sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak
adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.

16
Rini Fidiyani, “Dinamika Pembangunan Rumah Ibadah Bagi Warga Minoritas di Jawa
Tengah”, skripsi Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, (2016), hlm.501-510.
17
Ismardi, “Pendirian Rumah Ibadat Menurut Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No.8 dan 9 Tahun 2006,” Toleransi,Vol.3.No2.(Juli-Desember 2011)
hlm.218-228.
18
Iskandar, metode penelitian kualitati, Jakarta:Guang persada,2019, hal. 32.
8

Penulis menggunakan sifat penelitian yang deskriptif kualitatif, yaitu


dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia,
keadaan atau gejala-gejala lainnya.19 Pendekatan penelitian dalam penelitian
ini yaitu mengkaji dan mengalasis Peraturan Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan
Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadat.
Penelitian ini dapat memberikan penjelasan tentang hak minoritas
beragama berkaitan dengan pendirian rumah ibadah di Kota Jambi dan
bagaimana cara mengatasi konflik yang terjadi saat pendirian rumah ibadah.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian lapangan. Pendekatan dalam
penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menekankan
pada kualitas atau hal yang terpenting dari sifat suatu barang atau jasa berupa
kejadian atau fenomena atau gejala sosial adalah makna di balik kejadian
tersebut yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi pengembangan konsep
teori. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan metode
dekriptif kualitatif untuk menjelaskan serta menggambarkan hasil penelitian
yang dilakukan.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang mendeskripsikan, mencatat
dan menganalisis, serta menginpresentasikan kondisi-kondisi yang sekarang
ini terjadi atau ada.20
3. Jenis dan Sumber Data.
a. Sumber data primer
Data primer merupakan data yang diambil langsung dari sumbernya
tanpa adanya perantara.21 Data yang diperoleh atau langsung di lapangan oleh

19
Soekanto dan Soejono, “Pengantar Penelitian Hukum”, ( Jakarta: UI Press,2006),
hlm.10.
20
M. Hariwijaya, Metodologi dan Penulian Skripsi Tesis dan Disertasi, cet.Ke-3,
(Yogyakarta: Dua Satria Offset), hlm. 76.
21
Amirudin, Metode Penelitian Sosial, (Yogyakarta:Pratama Ilmu,2016), hlm. 96.
9

peneliti disebut juga sumber langsung diberikan ke pada pengumpul data.22


Data primer bersumber dari dokumen serta informan yang berasal dari
wawancara. Data primer dalam penelitian ini adalah Peraturan Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 mengenai
Pendirian Rumah Ibadat. Serta hasil wawancara yang dilakukan peneliti saat
melakukan penelitian.

b. Sumber data sekunder


Data sekunder adalah data yang tidak langsung memberikan data ke pada
pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau data dokumen lain. 23 Data
sekunder adalah sumber-sumber data yang terdapat berupa buku tentang
subjek matter yang ditulis orang lain, dokumen-dokumen yang merupakan
hasil penelitian dan hasil laporan.24 Data sekunder juga data yang diperoleh
atau dikumpulkan orang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang
biasanya diperoleh dari perpustakaan, atau penelitian laporan-laporan terlebih
dahulu, misalnya data yang tersedia di tempat tertentu misalnya kantor yang
berhubungan dengan permasalahan penelitian dan perpustakaan. Data
sekunder dalam penelitian ini diantaranya buku, dokumen, artikel, jurnal dan
internet.
4. Instrumen Pengumpulan Data
Instrument pengumpulan data adalah alat yang digunakan untuk
25
pengumpulan data dan fakta penelitian. Instrumen pengumpulan data merupakan
langkah yang paling utama dalam melakukan penelitian., karena tujuan utama dari
penelitian adalah mendapatkan data, adapun pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini sebagai berikut:

22
Amiril Hadi Haryono, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung:Pustaka Setia,1998), hlm.
125.
23
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kualitatif dan R&D,
(Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 225.
24
Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian, (Bandung,Pustaka Setia,2008), hlm. 93.
25
Lin Tri Rahayu dan Tristiadi Ardi Ardini, Observasi dan Wawacara,(Jawa Timur,Bayu
media Publising,2004), hlm.122.
10

a. Observasi
Observasi adalah rancangan yang sistematis tentang apa yang diamati,
kapan dan di mana tempatnya. Metode obsevasi disebut juga pengamatan
kegiatan pemuatan semua objek dengan menggunakan indera. Dalam
penelitian ini metode observasi digunakan untuk melihat situasi langsung ke
lapangan tentang Hak Beragama Minoritas Bearagama studi Pendirian
Rumah Ibadah di Kota Jambi.
b. Wawancara
Wawancara adalah merupakan percakapan dengan maksud tertentu,
percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang
mengajukan pertayaan dan tewawancara yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu Selain itu wawancara digunakan untuk mendapatkan data
mentah dari informan, sehingga ditemukan data baru yang tidak terdapat
dalam dokumen. Data mentah yang diperoleh dari seseorang informan ini
bermanfaat untuk menjawab rumusan masalah di dalam penelitian.
Wawancara dapat diartikan suatu proses interaksi dan komunikasi untuk
mendapatkan informasi yang hanya diperoleh dengan cara bertanya langsung
dengan responden.26 Salah satu metode pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara yaitu suatu kegiatan dilakukan untuk mendapatkan informasi
secara langsung dengan mengungkapkan pertanyan-pertantyan ke pada para
responden, wawancara bermakna berhadapan langsung antara interviewer
27
dengan responden, dan kegiatanya dilakukan secara lisan. Purposive
sampling merupakan teknik Nonprobability sampling yang digunakan peneliti
untuk memilih sampel subjek atau unit dari suatu populasi atau hanya
mewakili dari populasi.28 Dalam hal ini, peneliti melakukan wawancara
terhadap pihak Kementeri Agama Kota jambi mengenai pendirian rumah
Ibadat di Kota Jambi.

26
Lin Tri Rahayu dan Tridianti Ardi Ardiani, Observasi dan Wawancara, (Jawa Timurn,
Bayu Media Publising, 2004), hlm.1.
27
Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik, Cet Ke-6, (Jakarta: Rineka
Cipta), hlm.39.
28
Llker Etikan, Sulaiman Abdubakar Musa, & Ruayya Sunusi Alkassim. 2016. Jurnal
Amerika Statistik dan Terapan,5 1, 1-4, 21:04.
11

c. Dokumentasi
Dalam penelitian ini, penelitian menggunakan metode dokumentasi atau
kepustakaan untuk memperkuat kebenaran data yang akan dianalisis, metode
dokumentasi adalah metode atau teknik pengumpulan data dari beberapa
dokumen yang bersifat resmi dan diakui seperti memo, buku, surat kabar,
majalah dan sebagainya. Metode dokumen ini menggukan untuk memperoleh
data-data yang mampu melengkapi serta memperkuat penelitian.
5. Teknik Analisis
Data Berdasarkan hal di atas dapat dikemukakan di sini bahwa analisis data
yang dapat digunakan peneliti adalah proses mencari dan Menyusun secara
sistematis data yang di peroleh dari hasil catatan lapangan, wawancara dan bahan
lain sehingga dapat dipahami dengan mudah, serta membuat kesimpulan atau
analisis dengan tujuan agar dapat diinformasikan dan mudah untuk dipahami oleh
orang lain.29
Berdasarkan hal di atas dapat dikemukakan disini bahwa analisis data yang
digunakan peneliti adalah proses mencari dan Menyusun secara sistematis dan
yang diperoleh dari hasil catatan lapangan, wawancara dan bahan lain sehingga
dapat dipahami dengan mudah, serta membuat kesimpulan atau analisis dengan
tujuan agar diinformasikan dengan mudah untuk dipahami oleh orang lain. Analisi
data penelitian secara teknis dilaksanakan secara induktif yaitu dimulai dari
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data. Menganalisi
data kualitatif data, bogdan sugiono menyatakan bahwa analisis adalah proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain sehingga dapat dipahami dan
temuan nya dapat diinformasikan kepada orang lain. 30 Dalam menganalisis dapat
dilaksanakan menggunakan beberapa teknik yaitu:
1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan bentuk analisis data yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan hasil

29
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan R&D, (Bandung:Alfabeta,2008), hlm.244.
30
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, Cet Ke-3, (Bandung:Refika Aditama, 2012),
hlm.334.
12

penelitian dari lapangan sebagai bahan mentah dirangkumkan kemudian


disusun supaya lebih sistematis yang difokuskan pada pokok-pokok hasil
penelitian yang disusun secara sistematis untuk memudahkan penelitian di
dalam mencari kembali data yang diperoleh apabila diperlukan kembali
sehingga dapat menarik kesimpulan finalnya.
Mereduksi data bisa merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan kepada hal-hal yang penting dicari tema dan polanya. Setelah
data penelitian diperoleh dan dikumpulkan, proses data reduksi lalu dilakukan
dengan cara memisahkan cacatan antara data yang sesuai dengan data yang
tidak sesuai, berarti data itu dipilih-pilih.31
2. Penyajian data
Setelah data direduksi maka langkah yang harus diikuti selanjutnya
adalah mendisiplinkan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data biasa
dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagian hubungan antar kategori, dan
sejenisnya dengan menggunakan teks yang bersifat naratif.32
3. Verifikasi dan kesimpulan
Hasil wawancara dengan informasi kemudian ditarik kesimpulan dengan
masalah dan tujuan penelitian. Pada tahap ini penelitian mulai mencari arti
benda-benda, mencatat keterangan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-
konfigurasi yang mungkin alur sebab akibat dan proposal hasil verivikasi data
tersebut kemudian ditarik kesimpulan.
H. Sistematika Penulisan
Penyusunan sistematika penulisan ini terbagi kedalam lima bab, setiap
babnya terdiri dari beberapa sub bab, masing-masing bab membahas
permasalahan-permasalahan tersendiri, tetapi tetap saling berkaitan antara sub-bab
dengan bab berikutnya. Adapun sistematika pembahasannya seperti berikut.
Bab I : Pendahuluan. Dalam bab pendahuluan ini memuat tentang latar
belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah,tujuan dan manfaat
penelitian, krangka teori, tinjauan pustaka, sistemmatika penulisan, metode
penelitian.

31
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung:Alfabeta,2012) hlm.29.
32
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, hlm.95.
13

Bab II : Dalam bab ini membahasa mengenai kondisi sosial keagamaan di


Kota Jambi yang mencakup mengenai kondisi demografis di Kota Jambi
dan peta rumah ibadah di Kota Jambi.
Bab III : Dalam bab ini membahas mengenai sejarah perkembangan
Peraturan Bersama Menteri yang terkait dengan pendirian rumah ibadat.
Bab IV : Membahas tentang pembahasan dan hasil penelitian dimana di
dalamnya membahas mengenai implementasi Peraturan Bersama Menteri
Agama dan Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 yang mencakup
prosedur pendirian rumah ibadah dan implementasinya di Kota Jambi, serta
pola penyelesaian yang dilakukan oleh pihak yang berwenang dalam setiap
ada konflik pendirian gereja.
Bab V : Dalam bab ini membahas mengenai saran dan kesimpulan dari
hasil keseluruhan penelitian proposal ini.
14

BAB II

KONDISI SOSIAL KEAGAMAAN DI KOTA JAMBI

A. Kondisi Demografis Di Kota Jambi

Menurut kamus KBBI ( Kamus Besar Bahasa Indonesia ) Demografis adalah

ilmu tentang susunan, jumlah, dan perkembangan penduduk; ilmu yang

memberikan uraian atau gambaran statistik mengenai suatu bangsa dilihat dari

sudut sosial politik; ilmu kependudukan. penyelidikan tentang pembagai

kelompok pemakai bahasa dan variasi bahasa dalam suatu masyarakat bahasa

dengan mempergunakan statistik, dan penggolongannya berdasarkan faktor kelas

sosial, agama, tempat, pendidikan, dan sebagainya. 33 Jumlah penduduk

merupakan modal dasar dalam pembangunan namun jumlah penduduk yang besar

jika tidak diikuti dengan peningkatan kualitasnya justru dapat menjadi beban

pembangunan. Oleh karena itu masalah kependudukan harus mendapat perhatian

yang serius, sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai modal

pembangunan.Kondisi demografi suatu wilayah menentukan maju atau tidaknya

wilayah tersebut. Kota Jambi sebagai ibu kota provinsi terdiri dari 8 kecamatan 62

kelurahan dan 1.537 Rukun Tetangga (RT) dengan ditribusi wilayah sebagai

berikut :

33
https://kbbi.web.id/demografi.

14
15

Tabel 2.3

Nama Kecamatan, Luas Wilayah dan Jumlah Kelurahan

Dalam Kota Jambi Tahun 2012

No Kecamatan Luas Wilayah (Km2 ) Jumlah Kelurahan

1 Katabaru 66,13 10

2 Jambi Selatan 27,79 9

3 Jelutung 7,64 7

4 Pasar Jambi 1,68 4

5 Telanaipura 26,48 11

6 Danau Teluk 15,21 5

7 Pelayangan 12,78 6

8 Jambi Timur 17,82 10

Jumlah 175,53 62

Sumber : Kota Jambi dalam Angka 2012

Pada tahun 2012 penduduk Kota Jambi berjumlah 557.215 jiwa dengan

kepadatan 2.713 jiwa per km2. Dilihat sebaran penduduk menurut kecamatan,

ternyata penduduk lebih terkonsentrasi pada Kecamatan Kota Baru dengan jumlah

penduduk 150.720 jiwa atau sekitar 27 % jumlah penduduk Kota Jambi.

Ada kecenderungan bahwa konsentrasi penduduk di perkotaan tidak

berdasarkan aktivitas/pekerjaan, sebagian besar penduduk perkotaan memiliki

tempat tinggal berbeda dengan wilayah aktivitas/pekerjaan, dengan demikian

penyebaran penduduk (Tabel 2.3) lebih menggambarkan tempat tinggal.


16

Berdasarkan data tahun 2008 – 2012, keadaan penduduk Kota Jambi

cenderung mengalami peningkatan, terutama pada tahun 2012 pertumbuhannya

mencapai 3,14 persen. Hal ini sudah menjadi fenomena daerah perkotaan yang

merupakan tujuan para migran terdidik untuk mencari pekerjaan. Pertumbuhan

penduduk yang tinggi bukan karena kelahiran alamiah, melainkan penduduk

imigran yang semakin meningkat yang kemudian mempengaruhi skesejahteraan

masyarakat. Adapun aspek kesejahteraan masyarakat yang mempengaruhi ialah:

1) Pertumbuhan ekonomi

Kota Jambi selama periode 2008-2012 memperlihatkan kecenderungan

yang meningkat secara linier. Tabel 2.5 menunjukan bahwa pada tahun 2008

ekonomi tumbuh sebesar 6,14 % dan cenderung meningkat hingga tumbuh

sebesar 7,05 % pada tahun 2012. Suatu kinerja dalam bidang perekonomian

yang cukup baik selama lima tahun terakhir (2008-2012) dengan rata-rata

pertumbuhan sebesar 6,67 % pertahun.

Berdasarkan lapangan usaha terdapat lima sektor perekonomian di Kota

Jambi yang mengalami pertumbuhan positif selama perioide 2008-2012, yaitu

(1) sektor industri pengolahan (2) sektor bangunan (3) sektor perdagangan,

hotel dan restoran (4) sektor angkutan dan komunikasi dan (5) sektor listrik,

gas dan air. Sementara empat sektor lainnya mengalami pertumbuhan yang

cenderung fluktuatif seperti, sektor (1) pertanian (2) pertambangan dan

penggalian (3) Keuangan, Persewaan & Jasa perusahaan dan (4) sektor jasa-

jasa. Suatu halyang menarik bahwa Kota Jambi sebagai pusat perdagangan

dan jasa, tetapi sektor perdagangan pada akhir tahun 2012 mengalami
17

penurunan dari 9,62 persen pada tahun 2011 menjadi 8,74 persen pada akhir

tahun 2012. 34

2) Keadaan Sosial.

Negara Indonesia adalah negara yang multikultural yang masyarakatnya

berbeda etnis, agama, kebudayaan, adat istiadat, dan lain-lain.35 Akibat dari

banyaknya perbedaan tersebut pastinya akan menimbulkan sebuah keadaan sosial

yang berbeda. Keadaan sosial suatu wilayah bisa dilihat dari luas wilayah tempat

tersebut luas wilayah menentukan jumlah penduduknya. Seperti hal nya dengan

keadaan di Kota Jambi, Kota Jambi adalah kota yang memiliki luas wilayah yang

cukup luas seperti penjelasan tabel berikut:

Tabel 1

Luas Wilayah dan Pembagian Daerah Administrasi Menurut


Kecamatan di Kota Jambi Tahun 2015.

Luas Jml Jumlah


Kecamatan Persentase
Wilayah Kelurahan RT

1. Kota Baru 77,78 37,90 10 344

2. Jambi Selatan 34,07 16,60 9 322

3. Jelutung 7,92 3,90 7 233

4. Pasar Jambi 4,02 2,00 4 58

5. Telanaipura 30,39 14,80 11 274

6. Danau Teluk 15,70 7,60 5 44

7. Pelayangan 15,29 7,40 6 46

34
RPMJ Kota Jambi, 2013-2018 Hal. 12-14
35
Siti Heidi Karmela dan Satriyo Pamungkas, “Kehidupan Sosial Orang-orang Tionghoa di
Jambi”, Jurnal Ilmiah Dikdaya, hlm.55.
18

8. Jambi Timur 20,21 9,80 10 221

Jumlah / Total 205,38 100 62 1 542

: Badan Pemberdayaan Masyarakat Kota


Sumber
Jambi.36

Berdasarkan tabel luas wilayah di atas dapat dilihat bahwasannya Kota Jambi

adalah sebuah kota yang memiliki total luas wilayah 205,38 hektar yang mana

mampu memberikan ruang untuk masyarakatnya dalam melakukan Mobilitas

Sosial. Mobilitas sosial itu sendiri adalah suatu gerakan sosial yang

mendefinisikan orang lain atau klompok dari strata sosial yang satu ke strata

sosial yang lain.37 Dengan kata lain suatu gerakan tersebut pastinya menimbulkan

sebuah perubahan sosial di dalam masyarakatnya. Seperti kehidupan masyarakat

yang sudah bercampur antara kaum mayoritas dengan kaum minoritas di mana

masyarakat Jambi adalah masyarakat yang bermayoritaskan suku Melayu namun

sekarang yang hidup di Kota Jambi bukan hanya dari suku Melayu saja melainkan

sudah ada percampuran suku yaitu dari suku Batak, Jawa, Cina, Minang,

Sulawesi dan lain sebagainya.

36
Data Luas Wilayah dan Pembagian Daerah Administrasi Menurut Kecamatan di Kota
Jambi Tahun 2015, Badan Pemberdayaan Masyarakat Kota Jambi.
37
Gischa, "Pengertian Mobilitas Sosial dan Faktornya", artikel kompas .com , yang di akses
di https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/13/190000869/pengertian-mobilitas-sosial-dan-
faktornya?page=all. Pada tanggal 4 April 2021 .
19

Namun dengan keberagaman ini masyarakat Jambi mampu hidup rukun

dengan penuh toleransi dan mampu menciptakan keadaan sosial yang maju

sehingga membuat Kota Jambi menjadi kota yang maju di Provinsi Jambi.

3) Pendidikan

Kemajuan bangsa bisa dilihat dari kemajuan anak bangsanya. Pemenuhan

pendidikan yang memadai maka akan menghasilkan penerus bangsa yang

berkualitas pula. Pendidikan adalah sektor yang penting dalam pembangunan.

Dalam rangka menyelenggarakan urusan pendidikan yang merupakan urusan

wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, Pemerintah Kota Jambi ingin

mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang produktif dan berdaya saing

melalui program peningkatan akses dan mutu pendidikan di Kota Jambi.38

Demi upaya peningkatan pendidikan di Kota Jambi Pemerintah Kota

Jambi meningkatkan pembangunan sarana pendidikan. Sehingga kedepannya

akan meningkatkan kualitas pendidikan yang luar biasa. Tingkat pendidikan

di Kota Jambi sangatlah bagus dengan rata-rata yang sangat banyak pula

dengan fasilitas sekolahan yang sangat luas pula disetiap daerahnya. Berikut

adalah data jumlah sekolah di Kota Jambi:

Tabel 2

Data Jumlah sekolah dan Jumlah Murid Sekota Jambi Tahun 2014.

No Jenjang Tahun 2014


Grade Jumlah Jumlah Murid
Sekolah
1 TK NEGERI 2 138
2 TK SWASTA 228 7408

38
https://disdik.jambikota.go.id/
20

3 Jumlah 230 7546


4 KB/TPS/SPS 148/23/22 2210/310/705
5 SD NEGERI 187 51963
6 SD SWASTA 37 13496
7 Jumlah 224 65459
8 SMP NEGERI 25 18601
9 SMP SWASTA 38 7636
10 Jumlah 63 26237
11 SMA NEGERI 11 10241
12 SMA SWASTA 38 5470
13 Jumlah 41 15711
14 SMK NEGERI 5 5618
15 SMK SWASTA 30 7919
16 Jumlah 35 13537
17 SLB NEGERI 1 142
18 SLB SWASTA 1 313
19 Jumlah 2 455
Sumber : Dapodik Kemdikbud RI39

Tabel 3

Data Jumlah Sekolah dan Jumlah Murid di Kota Jambi Tahun 2015.

No Jenjang Tahun 2015


Grade Jumlah Jumlah Murid
Sekolah
1 TK NEGERI 2 142
2 TK SWASTA 224 8108
3 Jumlah 246 8250
4 KB/TPS/SPS 148/23/22 2220/350/738
5 SD NEGERI 187 50843
6 SD SWASTA 39 13771
7 Jumlah 226 64614
8 SMP NEGERI 25 19143

39
Dapodik Kemdikbud RI, Data Jumlah Sekolah dan Jumlah Murid di Kota Jambi.
21

9 SMP SWASTA 38 6680


10 Jumlah 63 25823
11 SMA NEGERI 11 11257
12 SMA SWASTA 30 5377
13 Jumlah 41 16552
14 SMK NEGERI 5 5277
15 SMK SWASTA 31 6059
16 Jumlah 36 11336
17 SLB NEGERI 1 151
18 SLB SWASTA 1 226
19 Jumlah 2 377

Sumber: Dapodik Kemdikbud RI40

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dapodik Kemendikbud RI yang

kemudian dibentuk menjadi sebuah tabel dapat dilihat bahwasanya jumlah

sekolah dan jumlah murid di Kota Jambi sangatlah banyak. Dari dua tabel di

atas dapat dilihat bahwasan nya peningkatan jumlah pendidikan di Kota

Jambi sangat meningkat tiap tahunnya baik dari Jumlah Sekolahnya maupun

Jumlah Murid nya tak hayal bahwasanya bisa dikatakan bahwasanya tingkat

pendidikan di Kota Jambi sangatlah Baik, baik dibagian sekolah swasta

maupun sekolah negeri.

4) Fokus Seni Budaya dan Olahraga

Secara konseptual budaya mempunyai banyak makna, ada yang melihat

budaya sebagai : (a), Produk masyarakat, menuju terwujudnya ketertiban,

kerukunan, kedamaian, kesetiakawanan sosial, dan kesejahteraan; (b), Wujud

tanggapan manusia terhadap tantangan kehidupan sebagai hasil adaptasi

40
Dapodik Kemdikbud RI, Data Jumlah sekolah dan Jumlah Murid di Kota Jambi.
22

dengan lingkungannya; (c), budaya berisikan unsur universal dan lokal; (d),

proses belajar (pewarisan) nilai, ide, gagasan, norma, tindakan dan hasil karya

manusia kepada generasi berikutnya; (e), budaya sebagai mekanisme tata

kelakuan manusia; dan (f), budaya sebagai bentuk yakni sistem nilai budaya

(adat-istiadat), sistem sosial, dan hasil fisik karya manusia; (g), budaya

berisikan kebiasaan-kebiasaan yang turun-temurun (dari anak turun ke bapak,

dst), diikuti banyak pendukung, dan ada sangsi bagi pelanggarannya; (h),

kebudayaan bukan agama dan agama juga bukan kebudayaan, tetapi

kebiasaan manusia dalam menjalankan tugas keagamaan menimbulkan

kebudayaan; (i), masyarakat pendukung kebudayaan yakni minoritas dan

mayoritas kreatif); dan (k), kebudayaan berubah karena minoritas/mayoritas

kreatif kehilangan daya kreativitasnya.

Dari pengamatan terlihat budaya masyarakat Kota Jambi belum banyak

berperan dalam mendorong perekonomian daerah. Hal ini erat kaitannya

dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1979 tentang pemerintah desa yang

telah menghilangkan jati diri sistem budaya pemerintahan yang ada di Kota

Jambi. Pola keseragaman, tidak mengatur desa dari aspek budayanya (adat)

dan tidak mengakui prinsip otonomi daerah, Masyarakat adat (pemangku

adat) kehilangan legitimasi.

Permasalahan budaya yang dihadapi diantaranya : (a), masih sulit

merubah budaya yang bersifat statis kepada dinamis yang mendorong

pembangunan ekonomi; (b), beragamnya nilai budaya sebagai akibat dari

heterogennya penduduk sering menyebabkan benturan budaya. Kondisi

historis kebudayaan dapat digambarkan dari aspek institusi, historis, etnis,


23

pemanfaatan simbol budaya, globalisasi, permukiman penduduk , mobilitas

penduduk, pelayanan pemerintahan, wisata, kegiatan kebudayaan, ekonomi,

pendidikan, informasi, dll. Untuk membangun kebudayaan maka diperlukan

perlindungan nilai budaya, pengembangan nilai budaya dan pemanfaatan nilai

budaya. 41

5) Kesehatan

Kesehatan merupakan salah faktor penting dalam menentukan kualitas

Sumberdaya Manusia. Masyarakat yang sehat sangat mempengaruhi aktivitas

yang berkaitan dengan produktivitas tenaga kerja. Tabel 2.16 menunjukkan

bahwa perkembangan pembangunan sarana kesehatan selama kurun waktu

2008 – 2012 mengalami pertumbuhan yang stagnan terutama pada jumlah

puskemas, dari 20 unit pada tahun 2008 dan tetap 20 unit pada tahun 2012.

Kecenderungan yang sama terlihat pada fasilitas kesehatan lainnya, yaitu

Pustu dan Pusling. Kedepan Posyandu sebagai ujung tombak pelayanan

kesehatan bagi Ibu dan Anak harus diperbanyak dan difasilitasi oleh

pemerintah.

Tabel 2.16.

Fasilitas Kesehatan di Kota Jambi Tahun 2008 – 2012

Tahun Rumah Sakit Puskesmas Pustu Pusling

2008 10 20 38 20

2009 12 20 38 20

2010 12 20 38 20

41
RPMJ Kota Jambi, 2013-2018 Hal. 24-25
24

2011 14 20 38 20

2012 16 20 38 20

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Jambi. 2013.

Kualitas pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi ketersediaan tenaga

medis yang mencukupi. Tabel 2.17 menunjukkan bahwa Jumlah pegawai

kesehatan di Kota Jambi memperlihatkan perkembangan yang fluktuatif dari

890 orang pada tahun 2008 menurun menjadi 817 orang pada tahun 2012 atau

terjadi penurunan rata-rata sebesar 1,64 % per tahun. Sementara tenaga Medis

(dokter) menunjukkan kecenderungan yang sama dari 112 orang pada tahun

2008 menurunan menjadi 77 orang pada tahun 2012 atau terjadi penurunan

rata-rata 6,25 persen pertahun. 42

6) Tata Ruang

Pemerintah harus melaksanakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Kota Jambi 2013-2033 secara konsisten, warisan kebijakan masa lalu yang

kurang mengoptimalkan pelaksanaan RTRW berdampak pada kurang

tertatanya pembangunan gedung-gedung, perumahan, Pembangunan rumah

toko dan pembangunan lainnya yang sering tidak mematuhi ketentuan RTRW

dan cenderung lebih berpihak pada permintaan masyarakat atau konsumen

sehingga bangunan tanpa IMB cenderung meningkat dan relatif tanpa sanksi

yang berarti dari pemerintah Kota Jambi.

Sejalan dengan keadaan di atas, Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

Jambi 2013-2033 yang telah direvisi dan mendapat persetujuan DPRD

melalui Perda Nomor 09 tahun 2013 wajib dilaksanakan secara konsisten,

42
RPMJ Kota Jambi, 2013-2018 Hal. 25-30
25

sehingga pemaknaan dan pengaktualisasian perencanaan dalam tatanan

pembangunan kota jambi dapat berjalan sesuai aturan yang berlaku.

Selama 10 tahun terakhir Kota Jambi berkembang cukup pesat, kondisi

ini menuntut penyediaan ruang untuk seluruh aktivittas penduduk. Untuk itu

RTRW Kota Jambi yang telah diperdakan dapat dioptimalkan

penggunaannya, terutama melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam

Peraturan Daerah Nomor 07 Tahun 2002 Tentang Bangunan, sehingga

sinkron dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Jambi 2013-2033.

Berdasarkan kondisi yang disampaikan di atas, pemerintah Kota Jambi

kedepan bertekat melaksanakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota

Jambi 2013-2033 secara konsisten sesuai aturan yang berlaku. Untuk itu pasal

15 ayat (1) Perda RTRW Kota Jambi 2013-2033 mengamanatkan Rencana

Pembagian Wilayah Kota (BWK) sebagai berikut :

1. BWK I terdiri atas Kelurahan Pasar, Orang Rangkayo Hitam, Beringin,

Solak Sipin, Murni, Lebak Bandung, Jelutung, Tambak Sari, Sungai

Asam, Sulanjana, Tanjung Pinang, Rajawali, dan Budiman dengan luas

kurang lebih 877,65 ha, dengan fungsi utama sebagai pusat kegiatan

perdagangan dan jasa skala regional dan nasional.

2. BWK II terdiri atas seluruh Kelurahan di Kecamatan Danau Teluk dan

Kecamatan Pelayangan dengan luas kurang lebih 2.807,13 ha, dengan

fungsi utama sebagai kawasan cagar budaya/wisata, industri/pergudangan

dan lindung;

3. BWK III terdiri atas seluruh Kelurahan di Kecamatan Jambi Timur dan

Kecamatan Jambi Selatan dengan luas kurang lebih 3.425,01 ha, dengan
26

fungsi utama sebagai kegiatan industri/pergudangan, permukiman dan

bandar udara.

4. BWK IV terdiri atas Kelurahan Kebun Handil, Handil Jaya, Thehok,

Lingkar Selatan, Kenali Asam Atas, Kenali Asam Bawah, serta Kelurahan

Paal V dengan luas kurang lebih 2.680,48 ha, dengan fungsi utama

sebagai pusat pemerintahan Kota Jambi, pertambangan, perdagangan dan

jasa serta permukiman.

5. BWK V terdiri atas Kelurahan Suka Karya, Kelurahan Rawasari,

Kelurahan Mayang Mengurai, Sebagian Kelurahan Kenali Asam Bawah,

Kelurahan Bagan Pete, dan Kelurahan Kenali Besar dengan luas kurang

lebih 4.837,41 ha, dengan fungsi utama sebagai kegiatan simpul

transportasi regional, pertambangan, permukiman, pusat pelayanan

kesehatan skala kota dan perdagangan dan jasa.

6. BWK VI terdiri atas Kelurahan Telanaipura, Pematang Sulur,

Simpang IV Sipin, Buluran Kenali, Penyengat Rendah, Sungai Putri, Selamat,

dan Payo Lebar dengan luas kurang lebih 2.924,35 ha, dengan fungsi utama

sebagai pusat pemerintahan Provinsi Jambi serta perdagangan, jasa dan

pendidikan.

Dalam Skala Regional Kota Jambi mengemban fungsi sebagai (a). Pusat

Pelayanan Wilayah, (b). Pusat Komunikasi dan Transportasi antar wilayah,

(c). Pusat Kegiatan Industri/Perekonomian, (d). Pusat Permukiman dan (e).

Pelabuhan Sungai/Laut.

Sejalan dengan pelayanan skala regional di atas dan dikaitkan dengan

skala pelayanan lokal (internal), Kota Jambi dipersiapkan untuk dapat


27

mengemban fungsi yaitu: (a). Pusat perdagangan dan Jasa, (b). Pusat

Pemerintahan, (c). Pusat Industri, (d). Pusat Pelayanan Sosial, (e). Pusat

Budaya, (f). Simpul Jasa Transportasi Wilayah dan Antar wilayah dan (g).

Pusat permukiman.

Rencana Sistem Pelayanan Transportasi akan dikembangkan adalah

jaringan jalan raya (dengan fungsi dan peranannya sebagai jalan arteri primer,

arteri sekunder, kolektor primer, kolektor sekunder, jalan lokal primer, jalan

lokal sekunder, jalan lingkungan, jalan utama dalam kota), sistem terminal

(dalam kota, AKDP, AKAP, barang/truk), sistem angkutan umum,

transportasi sungai/penyebarangan dan trasportasi udara.

Prinsip dasar pengembangan Tata Ruang Kota Jambi yang dituangkan

dalam RUTRW sebagai berikut:

a. Pada kawasan tepian Sungai Batanghari (sempadan atau bantaran sungai)

dilakukan pembatasan terhadap pengembangan fisik terbangun, dan

dengan demikian juga pada kawasan-kawasan sekitar danau dan rawa

(retarder).

b. Pengembangan fisik antar bangunan (built up areas) diarahkan pada

lahan- lahan yang masih kosong dan layak (kesesuaian dan kemampuan

lahan), terutama ke bagian selatan Kota Jambi (Kotabaru dan Jambi

Selatan).

c. Intensifikasi pemanfaatan lahan diarahkan pada Kawasan Pusat Kota

dengan fungsi utama sebagai kegiatan bisnis untuk mencirikan Central

Business Distric (CBD).


28

d. Untuk mendukung dan mengarahkan ekspansi aktivtas ekonomi agar

lebih menyebar, direncanakan pengembangan prasarana dan sarana pada

kawasan-kawasan ekonomi tumbuh cepat.

Permasalahan pembangunan dalam hal tata ruang banyak berhubungan

dengan pemanfaatan ruang yang ada atau tata guna lahan. Kota Jambi yang

termasuk dalam kategori kota sedang dengan 557.215 jiwa pada tahun 2012,

menunjukkan perkembangan yang relatif tinggi dan lebih dominan didorong

oleh kegiatan Hinterland dan sangat sedikit didorong oleh kegiatan foward ke

kota-kota besar lainnya.

Kondisi demikian seharusnya fungsi-fungsi yang menjadi perhatian besar

adalah fungsi pelayanan ke daerah belakangnya. Situasi perkembangan

terakhir dalam pelaksanaan pembangunan selama ini, fungsi pelayanan

hinterland ini seolah-olah terabaikan, sehingga pemerintah lebih

menfokuskan kepada pelayanan jasa skala besar seperti kepariwisataan,

perdagangan skala besar (plaza-mall) dengan mengabaikan pasar induk dan

pusat perdagangan hasil-hasil pertanian bebasis potensi lokal. 43

7) Transportasi

Pembangunan prasarana transportasi mempunyai peranan penting dalam

pembangunan ekonomi karena berkaitan dengan mobilitas barang, jasa dan

penduduk. Untuk itu perlu dibangun prasarana dan sarana transportasi untuk

memberikan pelayanan transportasi prima.

Secara umum permasalahan yang selalu dihadapi oleh subsektor

transportasi pada umumnya meliputi aspek kapasitas, kondisi jalan, kuantitas

43
RPMJ Kota Jambi, 2013-2018 Hal. 31-34
29

dan kualitas prasarana dan sarana fisik; kelembagaan dan peraturan;

sumberdaya manusia, teknologi, pendanaan serta manajemen operasi dan

pemeliharaan sarana dan prasarana transportasi.

Salah satu yang terpenting adalah menurunnya kualitas infrastruktur

terutama sarana dan prasarana jalan serta jembatan yang saat ini kondisinya

sangat memprihatinkan. Untuk Kota Jambi sampai tahun 2012 masih didapati

jalan yang rusak dan rusak berat. Hal ini tidak terlepas dari akibat

pembebanan muatan lebih (excessive over loading) terutama yang disebabkan

oleh masih banyak pergudangan yang berlokasi di dalam kota, sehingga truk

dengan tonase tinggi beralasan masuk ke kota yang berakibat hancurnya jalan

sebelum umur teknis jalan tersebut tercapai. Deskripsi lebih rinci tentang

kondisi jalan dapat dilihat pada Tabel 2.20 berikut ini. 44

Tabel 2.20.

Panjang Jalan Kota Jambi Berdasarkan Kondisi Jalan (Km) Tahun 2013

Kondisi Jalan Total

Rusak Panjang
Baik Belum Diaspal
Berat Sedang Ringan Jalan

331,54 96,86 11,67 18,44 48,17 506,67

Sumber: Dinas PU Kota Jambi. 2013.

Kondisi jalan di Kota Jambi sampai dengan tahun 2013 relatif kurang

baik, dari total panjang jalan kota 506,67 Km, hanya 65,44% jalan dalam

kondisi yang baik, sisanya sepanjang 34,56% atau 175,14 Km berada pada

kondisi yang rusak dan belum diaspal.

44
Ibid Hal. 31-34
30

Di lihat dari persentase jalan yang rusak dan rusak berat yang cukup

tinggi dan panjang jalan dengan permukaan tanah yang masih tinggi maka

kedepan pemerintah Kota Jambi harus memperioritaskan perbaikan dan

peningkatan prasarana jalan dan sebaran kondisi jalan baik pada masing-

masing kecamatan harus lebih merata.

Melihat dinamika perkembangan Kota Jambi dan peningkatan aktifitas

perkotaan maka pemerintah Kota Jambi ke depan perlu melakukan

peningkatan kualitas dan penambahan jalan sebagai antsispasi mengurai

kemacetan lalu lintas.45

8) Air Bersih dan Penerangan Lampu Jalan

Air bersih dan Lampu Penerangan Jalan Umum merupakan


komponen kebutuhan dasar perkotaan yang harus disediakan oleh
pemerintah. Penyediaan Air bersih oleh pemerintah Kota Jambi
dilaksanakan melalui PDAM Tirta Mayang.
Dari 6 instalasi pengolahan air yang di miliki PDAM Tirta Mayang
Kota Jambi telah mampu memproduksi air sebesar 871 liter/detik, dari
kapasitas terpasang sebesar 1.080 liter/detik. Tabel 2.22. menunjukkan
bahwa pada tahun 2013 jangkauan pelayanan Air Bersih melalui PDAM
Tirta Mayang baru mencapai 65,67% dengan jumlah pelanggan sebanyak
60.905 sambungan.
Tabel 2.22.
Cakupan Pelayanan PDAM Tirta Mayang Tahun
2008-2013

Penduduk Cakupan
Jumlah Jumlah yang Pelayanan
Tahun Penduduk Pelanggan terlayani (%)
2008 470.902 53.408 284.245 60,36

45
Ibid Hal. 39
31

2009 504.050 55.270 343.502 68,15


2010 532.743 56.578 300.540 56,41
2011 532.743 58.265 349.590 65,62
2012 540.258 59.951 359.293 66,50
2013 557.321 60.905 365.430 65,57
Sumber : PDAM Tirta Mayang. 2013
Pembangunan sarana dan jaringan air bersih tentu harus menjadi

prioritas pembangunan Kota Jambi lima tahun kedepan. Apalagi jika dilihat

bahwa terjadi pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup signifikan.

Dengan pertambahan penduduk dalam kurun waktu 2008 – 2012 rata-rata

2,3% pertahun, maka kebutuhan air bersih tentu semakin bertambah.

Penyediaan air bersih tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah

tangga, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan industri dan dunia usaha.

Dengan semakin berkembangnya Kota Jambi yang dipicu oleh

perkembangan dunia usaha dan industri tentu harus diimbangi dengan

penyediaan air bersih yang mencukupi baik secara kualitatif maupun

kuantitatif.46

9) Tenaga Kerja

Angkatan kerja adalah penduduk yang sudah memasuki usia kerja, baik

yang sudah bekerja maupun belum bekerja atau sedang mencari pekerjaan

menurut ketentuan pemerintah penduduk yang sudah memasuki usia kerja

dalah berusia minimal 15 tahun sampai 65 tahun.

Akan tetapi tidak semua penduduk yang memasuki usia kerja termasuk

angkatan kerja, sebab penduduk yang tidak aktif dalam kegiatan ekonomi

46
Ibid Hal. 41
32

tidak termasuk dalam kelompok angkatan kerja, misalnya ibu rumah tangga,

pelajar, mahasiswa serta para purnatugas (pensiunan).

Angkatan kerja sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk.

Pertumbuhan angkatan kerja dipengaruhi oleh jumlah penduduk. Struktur

penduduk berdasarkan jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan. Makin

banyak komposisi jumlah penduduk laki-laki daripada perempuan, maka

makin tinggi angkatan kerjanya. 47

Upaya Menanggulangi Permasalahan Tenaga Kerja, pemerintah wajib

menyediakan lapangan kerja dan melindungi hak-hak tenaga kerja. Untuk

melaksanakan kewajiban tersebut, maka pemerintah lewat intansi terkait telah

melakukan upaya-upaya untuk mengatasi masalah tersebut, baik yang

berhubungan dengan angkatan kerja maupun dengan tenaga kerja. Upaya-

upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah antara lain sebagai berikut:

1. Membuka kesempatan kerja, usaha perluasan kesempatan kerja dapat

dilakukan dengan dua cara yaitu dengan pengembangan industry

terutama industri padat karya dan galeri pengetahuan social.

2. Penyelengaraan proyek pekerjaan umum. Pengembangan industry dapat

dilakukan dengan meningkatkan penanaman modal asing dan penanaman

modal dalam negeri. Penyelengaraan proyek pekerjaan umum dapat

dilakukan dengan pembuatan jalan, jembatan, saluran air, bendungan,

dan lain-lain. Perluasan tenaga kerja juga dapat dilakukan oleh

pemerintah dengan cara mengirimkan tenaga-tenaga kerja Indonesia ke

47
Ibid Hal. 41
33

luar negeri baik melalui departemen tenaga kerja maupun melewati

perusahan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI).

3. Mengurangi Tingkat Pengangguran, Pengangguran merupakan salah satu

permasalahan ketenagakerjaan. pengangguran tidak dapat dihapuskan,

namun hanya dapat dikurangi. Pengurangan angka pengangguran hanya

dapat terjadi dengan meningkatkan atau memperluas kesempatan kerja

dan menurunkan jumlah angkatan kerja.48

48
Ibid Hal. 49-50
34

B. Peta Rumah Ibadah di Kota Jambi.

Kehidupan beragama merupakan sebuah kepercayaan seseorang terhadap

sebuah zat Maha Adil, serta kekuatan gaib. Kemudian menimbulkan perilaku

tertentu seperti rasa takut, rasa optimis serta rasa pasrah yang kemudian membuat

seseorang melakukan doa meminta pentunjuk, meminta keinginan, terhadap hal

gaib yang dipercaya jika dijalankan makan kehidupan akan berjalan dengan lancar

dan damai.

Perkembangan agama dapat dilihat dari luas wilayah dan sarana yang

memadai dalam melakukan ibadah. Seperti halnya perkembangan agama di

wilayah Kota Jambi yang merupakan sebuah kota yang memiliki keragaman

agama yang ada. Sehingga membuat berbeda dengan kota lainya dengan

peningkatan kualitas sosial agama yang luar biasa dibantu pula dengan

diadakannya penyuluhan oleh kementrian agama. Kondisi keagamaan di Kota

Jambi Menurut catatan data sosial keagamaan Pemda Provinsi Jambi bahwa tahun

2010 perkembangan aktivitas sosial keagamaan masyarakat semakin meningkat

yaitu sekitar 47 kegiatan yang melibatkan semua unsur masyarakat. 49 setiap umat

agama dengan kepercayaan dan ritual berbagai agama serta kepercayaannya. Baik

kaum mayoritas maupun minoritas memiliki ritual agamanya masing-masing.

Seperti umat Kristen yang memperingati hari natal untuk memperingati hati

kebangkitan yang dijalankan di gereja yang mana merupakan rumah ibadat umat

Kristen. Kemudian pula didukung dengan pemenuhan fasilitas sarana rumah

ibadah yang memadai pula disetiap perkecamatannya. Setiap agama yang ada di

49
Hadri Hasan, Fuad Rahman, Kualitas Keagamaan Masyarakat Jambi, Jurnal Kontekstualita,
Vol.28. No.1, (2013), Hlm.120-121.
35

Kota Jambi memiliki bangunan rumah ibadahnya masing-masing berdasarkan

penganut agamanya masing-masing.

Rumah ibadat didirikan berdasarkan kebutuhan umat nya masing-masing dan

dibuat demi memenuhi kerukunan umat beragama seperti yang dijelaskan di

dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8

dan 9 Tahun 2006 dalam Pasal 13.50 Berdasarkan data yang didapat peneliti dari

hasil penelitian di Kementrian Agama Kota Jambi jumlah rumah ibadat di Kota

Jambi Pada Tahun 2018 berdasarkan pemetaan Perkecamatan maka dapat dilihat

sebagai berikut:

Grafik 1

Jumlah Rumah Ibadat Berdasarkan Kecamatan Tahun 2018.

140 masjid
120
100 langgar
80
Gereja
60 Kristen
40
20
0

Sumber: Kementrian Agama Kota Jambi.

Berdasarkan dari grafik di atas terlihat bahwasanyadisetiap kecamatannya

memiliki bangunan rumah ibadat untuk masing-masing agamanya sehingga

mempermudah masyarakatnya untuk melakukan dan menjalankan agamanya

masing-masing. Dengan terpenuhinya tempat ibadah setiap agamanya maka

50
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan
Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian
Rumah Ibadat, Pasal 13.
36

perkembangan keadaan sosial keagamaan di Kota Jambi semakin meningkat

dengan sikap toleransi yang sangat besar pula. Hal ini sesuai dengan dengan apa

yang di amanatkan didalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 E yang

memberikan kebebasan masyarakatnya dalam memeluk agamanya masing-masing

sesuai kepercayaannya. 51

Kemudian selain itu grafit di atas juga menjelaskan mengenai jumlah rumah

ibadat dipetakan berdasarkan Kecamatannya dimana jumlah kecamatan di Kota

Jambi sebanyak 8 kecamatan, yaitu Kecamatan Telanaipura/Danau Sipin,

Kecamatan Jambi Selatan/ Paal Merah, Kecamatan Jelutung, Kecamatan Danau

Teluk, Kecamatan Pelayangan, Kecamatan Pasar Jambi, Kecamatan Jambi Timur,

Kecamatan Kota Baru/ Alam Barajo. Berdasarkan 8 kecamatan di atas kemudian

di petakan lah jumlah banguan rumah ibadat berdasarkan 8 Kecamatan tersebut

seperti Kecamatan Telanaipura / Danau Sipin yang memiliki 84 bangunan masjid,

65 bangunan langgar atau mushola, 2 bangunan gereja Katolik. Kemudian di

Kecamatan Jambi Selatan terdapat 95 bangunan Masjid, 89 bangunan

Langgar/Musholla, 6 bangunan Gereja Protestan, 7 bangunan Gereja Katolik, 1

bangunan Vihara, dan 1 bangunan Kelenteng. 52

Kemudian di kecamatan Jelutung terdapat 47 bangunan Masjid, 36 bangunan

Langgar/Musholla, 1 bangunan Gereja Protestan, 8 bangunan Gereja Katolik, 1

bangunan Vihara, dan 4 bangunan Kelenteng. Kemudian kecamatan Danau Teluk

terdapat 18 bangunan Masjid, dan memiliki 7 Bangunan Langgar/Musholla.

Kemudian kecamatan Pelayangan terdapat 4 bangunan Masjid, dan memiliki 21

bangunan Langgatr/Musholla. Kemudian Kecamatan Pasar Jambi terdapat 12

51
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E.
52
Kementrian Agama Kota Jambi, Data Rumah Ibadat Sekota Jambi.
37

bangunan Masjid, 7 bangunan Langgar/Musholla, 1 bangunan Gereja Protestan, 9

bangunan Gereja Katolik, dan memiliki 1 bangunan Kelenteng. Lalu kecamatan

Jambi Timur terdapat 38 bangunan Masjid, 67 bangunan Langgar/Mushollah, 4

bangunan Gereja protestan, 3 bangunan Gereja Katolik, 3 bangunan Vihara, serta

memiliki 5 bangunan Kelenteng. Kemudian kecamatan Kota Baru/Paal Merah

terdapat 120 bangunan Masjid, 78 bangunan Langgar/Musholla, 13 bangunan

Gereja Protestan, 25 bangunan Gereja Katolik 5 bangunan Pura dan 3 bangunan

Kelenteng.53

Berdasarkan penjelasan di atas jika di totalkan secara keseluruhan maka

jumlah rumah ibadat di Kota Jambi sebagai berikut:

Tabel 3

Jumlah keseluruhan Rumah Ibadat di Kota Jambi.

No Rumah Ibadat Jumlah

1 Masjid/Islam 418
2 Langgar/Mushollah 370
3 Gereja/ Protestan 25
4 Gereja/Katolik 54
5 Pura /Hinddu 5
6 Vihara /Budha 5
7 Kelenteng/konghucu 14

Sumber: Data Kementrian Agama Kota Jambi.54

Tabel di atas menjelaskan mengenai jumlah keseluruan setiap rumah Ibadat di

Kota Jambi. Dapat dilihat dari table diatas bahwasanya jumlah Masjid di Kota

Jambi jika ditotal secara keseluruhan berjumlah 418 bangunan Sekota Jambi

53
Kementrian Agama Kota Jambi, Data Rumah Ibadat 2018.
54
Kementrian Agama Kota Jambi, Data Keseluruhan Rumah Adat di Kota Jambi.
38

kemudian Langgar yang merupakan juga tempat peribadatan umat Muslim

berjumlah 370 bangunan sekota Jambi kemudian rumah ibadah Gereja Protestan

yang merupakan tempat pribadatan dari umat Kristen berjumlah 25 bangunan

sekota Jambi dan serupa pula rumah ibadat Gereja katolik bagi umat Katolik

berjumlah 54 bangunan di Kota Jambi kemudian rumah ibadat Pura bagi umat

Hindu berjumlah 5 bangunan Sekota Jambi kemudian rumah ibadat Vihara bagi

umat Budha berjumlah 5 banguna sekota Jambi dan yang terakhir rumah ibadat

Kelenteng bagi umat Konghucu berjumlah 14 bangunan sekota Jambi. Data yang

dijelaskan di atas merupakan data bangunan yang legal secara hukum atau tercatat

di Kementrian Agama Kota Jambi.55

Selain fasilitas rumah ibadah yang memadai ada juga sebuah lembaga

keagamaan yang ada di Kota Jambi. Seprti yang tercatata di kementrian agama

Kota Jambi. Sebagai berikut:

Tabel 4

Daftar Lembaga Non Profil Tahun 2018

Daftar Lembaga Non Profil Tahun 2018


No Nama Lembaga Alamat Lembaga
1 Majlis Ulama Indonesia Kota Jambi Jln.Dr.Sri Sudewi Maschun
Sopwan.

2 IPQOH kota Jambi Kel.Pasir Putih Kec.Jambi


Selatan.

3 IPHI Kota Jambi Kel.Wijaya Pura.

4 LPTQ Kota Jambi Jln. Basuki Rahmat Kec. Kota


Baru.
5 ICMI Kota Jambi Balai Adat Kota Jambi Kec.
Kota Baru.

6 Dewa Masjid Indonesia Jln. Fatah Laside Gedung


Kec. Jeltung Kota Jambi.

55
Kementrian Agama Kota Jambi, Data Rumah Ibadah 2018.
39

7 FPI Kota Jambi

8 BKPRMI Kota Jambi Lorong Perikaan.

9 Nahdatul Ulama Kota Jambi Kel. Talang Bakung Kec.


Jambi Selatan.

10 Muhammadiyah Kota Jambi Jl. Dahlan Komplek Kauman


Kec. Pasar Jambi.
11 Pengajian Al-Hidayah Kota Jambi Rumah Dinas Kota Jambi.

12 BKMT Kota Jambi Jln.RT.09 Kel. Kebun Andil


Kec. Jelatang.

13 Muslimat NU Kota Jambi Jln. KH.Hasyim As’yari


No.33 Kel. Rajawali Kec.
Jambi Timur.
14 Fatayah NU Kota Jambi Jln.Patimura Komplek Gria
Kenali Asri.E.40 T.33 Kenali
Besar.
15 Forum Komunikasi Nazir Wakaf Jl. Prof.Hamka No.05 Kec
Indonesia Pasar Jambi.
Sumber: Kementrian Agama Kota Jambi.56

Berdasarkan table di atas dapat dilihat bahwasanya di Kota Jambi terdapat

sebuah Ormas Islam, yang melambangkan perkembangan yang sangat besar

terhadap penyebaran agama islam di Kota Jambi. Selain dapat kita lihat dari

pembentukan Ormasnya perkembangan agama islam di Kota Jambi bisa kita

dilihat dari data aliran keagamaan yang ada di dalam Kota Jambi.

Tabel 5

Data Aliran Keagamaan Dalam Kota Jambi Tahun 2018.

Data Aliran Keagamaan Dalam Kota Jambi Tahun 2018


No Nama Aliran Keagamaan Alamat Lengkap Jumlah Jamaah
1 LDII RT.16 Kel. Pematang 150 KK
Sulur Kec.
Telanaipura.
2 LDII RT.16. Kel. Pematang 75 KK
Sulur Kec. Telanai

56
Kementrian Agama Kota Jambi, Data Ormas Islam Non Profil Tahun 2018.
40

Pura.
3 LDII RT.17 Kel. Simp.IV 45 KK
Sipin Kec.
Telanaipura.
4 Ahmadiyah RT. 05 Kel. Kenali 40 Orang
Asam Bawah Kec.
Kota Baru.
5 Tariqat Syatari RT. 36 Kel. Kenali 100 Orang
Asam Bawah Kec.
Kota Baru.
6 Thoriqot Jln. Masda Surya 30 Orang
Naqsyabandiyah Darma RT. 08 Kel.
Kenali Asam Bawah
Kec. Kota Baru.
7 Karim Jama’ RT.06 Kel.Suka Karya 70 Orang
Kec.Kota Baru.
8 LDII RT.02 Kel. Suka 40 KK
Karya Kec. Kota Baru
9 Thoriqot Jln. Lingkar Barat 100 Orang
Naqsyabandiyah Lr.Kitek RT.25
Mayang Mangurai
Kec. Kota Baru.
10 Kebathinan RT.34 Kel. Kenali 20 Orang
Besar Kec. Kota Baru.
11 Thoriqot 20 Orang
Naqsyabandiyah
12 Jama’ah Tabliqh Mesjid Al-Azhar RT.
12 Kel. Jelutung Kec.
Jelutung.
13 LDII RT.22 Kel.Tanjung 29 KK
Saru Kec.Jambi Timr.
14 Jama’ah Tabliqh RT.23 Kel. Tanjung 45 Orang
Pinang Kec. Jambi
Timur.
15 LDII (Mesjid Al- Jl.Iswahyudi Lr. 35 Orang
Barokah) Sumber Rejo RT. 08
Kel. Pasir Putih Kec.
Jambi Selatan.
16 LDII ( Mesjid At- Gg.45 Kel.Wijayapura 40 Orang
Tawakkal) Kec. Jambi Selatan.
Sumber : Kementrian Agama Kota Jambi Tahun 2018.

Table di atas merupakan table yang didapatkan dari kementrian agama Kota

Jambi pada tahun 2018, berdasarkan table tersebut dapat dilihat bahwasanya
41

jumlah aliran di Kota Jambi yaitu sebanyak 16 aliran. Berdasarkan table di atas

dapat disimpulkan bahwasan nya perkembangan agama di Kota Jambi sangatlah

bagus berkembang dengan baik, dapat dilihat dari seberapa banyak lembaga

keagamaannya, alirannya, serta jumlah rumah ibadatnya. 57

57
Kementrian Agama Kota Jambi Tahun 2018.
42

BAB III
Sejarah Dan Perkembangan Peranturan Bersama Menteri Dalam
Pendirian Rumah Ibadah.
A. Asal-Usul Peraturan Pendirian Rumah Ibadah.
Sejak negara Indonesia dibentuk, negara ini selalu memberi perhatian besar
terhadap urusan keagamaan dan masalah kerukunan antar ummat beragama untuk
menciptakan stabilitas nasional. Hal tersebut terjadi dikarnakan Indonesia
memiliki keberagaman agama, etnies, seni, budaya, cara hidup dan tradisi yang
disimbolkan dengan “Bhinneka Tunggal Ika”. Dengan adanya keberagaman,
maka muncullah istilah mayoritas dan minoritas yang pada akhirnya membuat
beberapa kelompok merasa sedikit ingin lebih dispesialkan. Oleh karena itu
pemerintah mencoba berbagai cara untuk menemukan kebijakan yang dapat
menyatukan segalanya. Salah satu cara yang dilakukan pemerintah ialah memberi
kebebasan penuh bahkan menjamin kemerdekaan ummat beragama serta
mengembangkan sikap hormat dan toleransi antar ummat beragama.
Namun usaha tersebut tidak serta merta membuahkan hasil yang diinginkan
dalam waktu singkat. Butuh waktu lama bagi pemerintah untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan tersebut karna ketegangan antar ummat
beragama sebenarnya telah terjadi sejak pertentangan antar ummat islam dan
ummat kritiani tentang pengukuhan ideology pancasila yaitu sila pertama dan hal
tersebut diperparah dengan munculnya sejumlah gejolak sosial lokal yang
menjadikan umat Kristen sebagai sasaran kekerasan pada masa orde lama
dikarnakan adanya propaganda dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab
sehingga memicu konflik antar ummat beragama. Hal tersebut berawal dari
penyebaran fitnah dan kebohongan oleh kelompok kristem advent terhadap
ummat muslim yang mencoba membolak-balikkan ayat suci al quran,
menyebutkan bahwa upacara ibadah haji adalah upacara penyembahan berhala
yang dilakukan secara tertutup dan memfitnah nabi Muhammad saw untuk tujuan
propaganda mereka sehingga hal tersebut memicu kemarahan ummat islam yang
kemudian menimbulkan beberapa konflik misalnya yang terjadi di Tapanuli
(Sumatera Utara), sekitar 300 orang tewas dalam pertempuran yang diperburuk

42
43

oleh utilisasi agama antara Batak Toba yang Kristen dan Batak Karo yang Islam.58
Permasalahan-permasalahan tersebut pada akhirnya memicu banyak sekali
argumen-argumen dan sudut pandangan yang berbeda mengenai penyelesaian
permasalahan yang dapat mengganggu kerukunan ummat beragama.
Menjelang akhir kekuasaan orde lama, terbit sejumlah buku yang berisi
serangan terhadap ajaran kristen. Buku-buku tersebut berisi tentang keberatan
ummat islam terhadap perlakuan beberapa oknum di dalam ummat kristiani.
Dengan adanya keberatan tersebut, sekelompok orang dalam ummat islam
mencatat sejarah kelam tersebut dan menerbitkan sejumlah buku tentang
perlakuan ummat kristiani terhadap islam ketika terjadinya isu dan propaganda
akan adanya kristenisasi secara besar-besaran.
Masalah yang kian menumpuk dan belum menemukan titik terang untuk
menyatukan kelompok mayoritas islam dan mayoritas Kristen tersebut pada
akhirnya menjadi pemicu ketegangan antara islam dan kristen di awal orde baru.
Misalnya pada tahun 1967 di daerah Meulaboh (Aceh) dan juga di Makassar telah
terjadi permasalahan antar ummat islam dan ummat kristiani. Permasalahan
tersebut hadir dikarnakan kalangan muslim bersikap keras terhadap kalangan
kristiani. Sekelompok masa dari kalangan islam terbakar emosi mengenai isu
propaganda tentang terjadinya kristianisasi secara besar-besaran di Indonesia.
Ummat islam merasa keberatan atas perlakuan ummat kristiani yang menlecehkan
kepercayaan mereka dengan cara memutar balikkan al-quran dan memfitna nabi
Muhammad SAW. Dalam keadaan dan suasana tegang itu, sebuah gereja di
Meulaboh (aceh) dan di Makasar dirusak oleh sekelompok masyarakat muslim.
Selain itu pada 1969, insiden serupa terjadi di wilayah pinggiran Jakarta, dan
sebuah gereja Protestan dirusak oleh umat Islam. Peristiwa tersebut menyebar ke
Jakarta Barat, bahkan ke beberapa kota di Jawa Tengah.59 Tidak hanya sampai
disitu saja, kalangan masyarakat muslim juga menolak keras rencana
penyelenggaraan Sidang Raya Dewa Gereja Sedunia (World Council Of
Churches) yang akan dilaksanakan di Indonesia. Menurut kalangan muslim,

58
Ihsan Ali-Fauzi, Samsu Rizal Panggabean, Nathanael Gratias Sumaktoyo &....... Kontroversi
Gereja di Jakarta dan Sekitarnya, (2011) hlm.13.
59
Ibid hal.13.
44

sidang raya itu tidak tepat diselenggarakan di Indonesia yang mayoritas


penduduknya beragama Islam.60
Sejak naiknya orde baru, hubungan umat Islam dan Kristen di Indonesia
memperlihatkan perkembangan baru. Jumlah konflik Islam-Kristen menanjak
tajam, terutama dalam bentuk penutupan, perusakan, dan pembakaran gereja. Pada
masa orde baru (1966-1998) tercatat setidaknya 456 gereja dirusak, ditutup, dan
61
diresolusi dari jumlah tersebut, sekitar 21 kasus terjadi di jakarta. Pada awal
rezim ini jumlah konflik Islam dengan Kristen cukup tinggi sehingga membuat
tantangan baru bagi pemerintah untuk melahirkan peraturan yang mampu
menjawab permasalahan tentang hubungan antaragama pada masa orde baru.
Regulasi negara tentang pendirian rumah ibadah di Indonesia dapat
ditemukan dalam dua peraturan. Pertama, SKB Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri nomor 01/BER/mdnmag/1969 mengenai “Pelaksanaan Tugas
Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan
Pengembangan dan Ibadah Agama oleh Pemeluk-pemeluknya”. Kedua, PBM
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9/8 Tahun 2006 tentang
“Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama” dan “Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah”. SKB 1969 ditetapkan
13 September 1969. Saat itu, Menteri Dalam Negeri dijabat Amir Machmud dan
Menteri Agama dijabat K.H. Muhammad Dahlan. 62
Namun peraturan yang sudah ditetapkan perintah pemerintah pun tak jarang
menimbulkan banyak sekali permasalahan atau konflik. Peraturan yang awalnya
dianggap mampu mengatasi semua permasalahan yang ada ternyata belum cukup
mampu untuk mengatasi konflik yang terjadi antar ummat beragama. Terbukti
dengan adanya permasalahan pendirian rumah ibadah di Aceh Singkil pad atahun
1979. Telah terjadi kembali konflik tentang adanya rencana pembangunan Gereja
Tuhan Indonesia (GTI) dan kembali mencuatnya isu kristenisasi di Aceh Singkil.
Pada tahun 1979 seorang penginjil dari Gereja Tuhan Indonesia (GTI) Sumatera
Utara datang untuk mendirikan gereja di Gunung Meriah. Kejadian ini memicu

60
Prof. Dr. Faisal Ismail,M.A., Dinamika Kerukunan Antarumat Beragama, Cetakan Pertama
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2014) hlm.48.
61
Ibid hal.13.
62
Ibid hal.14.
45

protes dari umat muslim di Aceh Singkil sehingga terjadi pertikaian antar umat
muslim dan umat kristiani. Konflik tersebut diselesaikan secara musyawarah yang
melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat kemudian dilanjutkan dengan
penandatatangan perundingan oleh delapan ulama dan delapan pengurus gereja
dan diakhiri dengan diadakannya Ikrar Kerukunan Bersama pada tanggal 13
Oktober 1979. 63
Setelah kejadian tersebut, pada tahun 1980 kembali terjadi konflik yang
memicu ketegangan antara ummat Kristen dan Islam di kecamatan Telanai Pura
Kota Jambi. Pada masa tersebut telah terjadi sebuah banjir yang merupakan
musibah besar bagi masyarakat. Banyak masyarakat yang kehilangan lahan
pertanian dan sumber penghasilan sehingga mereka dominan merasa kesulitan.
Sayangnya musibah tersebut dimanfaatkan beberapa oknum yang tidak
bertanggung jawab sebagai salah saju jalan untuk mendirikan rumah ibadah.
Masyarakat yang harusnya menerima bantuan sembako yang kebetulan
mayoritasnya beragama islam dimanfaatkan dengan cara setiap masyarakat yang
mendapatkan sembako wajib menandatangani lembaran berkas penerima sembako
yang berisi tanda tangan persetujuan.64 Ironisnya tandatangan tersebut
disalahgunakan oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab demi
keuntungan pribadi. Lembar berkas yang telah ditanda tangani oleh maysarakat
yang dianggap sebagai lembar berkas penerima sembako malah digunakan untuk
membangun sebuah rumah ibadah di daerah lingkungan tersebut. Pembangunan
rumah peribadatan tersebut dilakukan dengan cara mengubah sebuah balai
pertemuan menjadi sebuah tempat peribadatan atau sebuah gereja yang lokasinya
tidak jauh dari sebuah banguan masjid atau diperkirakan kurang lebih sekitar 300
meter. Permasalahan yang ditimbulkan oleh beberapa oknum yang tidak
bertanggung jawab itulah yang pada akhirnya menimbulkan penolakan dari
masyarakat setempat yang kebetulan mayoritasnya beragama Islam. Masyarakat
yang mayoritas muslim itu merasa telah ditipu dan dimanfaatkan. Mereka merasa
tidak pernah merasa pernah menandatangani surat dan menyetujui adanya

63
Mallia Hartani,& Nulhakim. Analisis Konflik Antar Umat Beragama Di Aceh Singkil ,
Volume 2 Nomor 2 Halaman 93-99 Issn 2655-8823 (P) ISSN 2656-1786 (E) hal 95
64
Abdul Halim & Zaki Mubarak, “Pola Konflik Agama Di Wilayah Prular: Studi Kasus
Pendirian Rumah Ibadah Di Kota Jambi,” Tajdid,Vol. 19.No.1, (Januari-Juni 2020), hlm. 90.
46

pembangunan rumah peribadatan apapun. Permasalahan tersebutlah yang pada


akhirnya menimbulkan terjadinya konflik antar ummat beragama.65
Pada masa akhir orde baru, relasi Islam dan Kristen semakin lama semakin
membaik, walaupun masih terdapat beberapa konflik yang tersisa diantara mereka
tetapi hal tersebut masih bisa diatasi pemerintah dengan baik. Tak lama kemudian
tumbanglah zaman orde baru dan mulailah zaman reformasi. Pada masa tersebut
kerukunan antar ummat beragamapun semakin membaik. Namun pada tahun
1996, kembali terjadi konflik antar umat islam dan kristiani yang disebabkan oleh
putusan pengadilan. Ummat islam tidak menerima keputusan pengadilan yang
hanya menjatuhkan hukuman pada Saleh lima tahun penjara padahal Saleh sudah
menyinggung ummat islam dengan mengatakan bahwa allah adalah makhluk
biasa dan beberapa ulama senior yang di hormati di agama islam dan sudah
meninggal dianggap meninggal dengan tidak sempurna. Hasil putusan yang tidak
memberi kepuasan pada ummat islam membuat beberapa oknum tersulut emosi
ditambah lagi adanya isu bahwa Saleh disembunyiakn di gereja. Karna tersulut
emosi, beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab melakukan kerusakan
terhadap gereja-gereja dikabupaten situbondo. Terdapat 24 fasilitas yang dirusak
yaitu gereja, sekolah, panti asuhan dan took-toko kecil milik orang Kristen dan
tionghoa oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab dan mengaku
beragama Islam.
Dari beberapa kejadian tersebut, pemerintah akhirnya melakukan banyak
sekali revisi untuk lebih memantapkan kembali peraturan yang sudah ada guna
keharmonisan social bagi setiap masyarakat yang berbeda ras dan agama agar
dapat hidup rukun dan damai seperti tujuan bangsa. Karena ketertipan umum dan
ketentraman masyarakat merupkan Kewenangan dari pemerintah seperti yang
telah diterangkan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2004
Tentang Peerintahan Daerah dalam Pasal 13. 66
B. Ketentuan Umum Pendirian Rumah Ibadah
Indonesia adalah negara demokratis yang sekular. Mayoritas pemeluk agama
di indonesia adalah Islam. Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama.

65
Abdul Halim, Zaki Mubarak, “Pola Konflik Agama Di Wilayah Prular: studi kasus
pendirian rumah ibadat di kota jambi”, Tajdid,Vol.19, No.1( januari 2020) , Hlm.90.
66
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004.
47

Setiap individu dibebaskan memilih agama atau keyakinan sendiri. Konstitusi ini
juga menetapkan bahwa negara Indonesia harus didasarkan pada keyakinan
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Kondisi tersebut juga merupakan prinsip
pertama Pancasila, yaitu filosofi negara Indonesia yang dibeberkan presiden
Soekarno pada tahun 1945. Ia memberi hipotesa bahwa setiap agama (termasuk
Hindu) pada dasarnya mempunyai satu ketuhanan tertinggi. yang menandakan
bahwasanya setiap penduduk di indonesia memiliki tuhan dan bebas memilih cara
dia menyembah tuhannya. Negara juga memberikan kebebasan penuh terhadap
masyarakatnya dalam memeluk dan menjalankan kepercayaannya sesuai dengan
agama masing-masing. Seperti yang tertera di dalam Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 29 Ayat 2 yang berbunyi: “ yang menyatakan bahwa negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”.
Adapun beberapa agama tersebut ialah agama islam, kristen protestan, kristen
katolik, hindu, budha, konghucu. Masing-masing dari agama tersebut memiliki
tempat peribadatan untuk menjalankan ritual agamanya. Tempat peribadatan di
setiap keyakinan yang dianut difungsikan sebagai fasilitas dalam menjalankan
peribadatan. Pendirian rumah ibadah sendiri merupakan hak bagi setiap orang
atau organisasi pemeluk agamanya. Akan tetapi dalam proses pendirian rumah
ibadah ada banyak sekali pertimbangan yang dilakukan pemerintah. seperti
lingkungan social, kondisi prsikologis umat beragama lainnya dan lokasi rumah
ibadat yang akan didirikan. Oleh karena itu untuk memperkecil resiko perselisian,
pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai
peraturan pendirian sebuah bangunan rumah peribadatan yang diatur baik secara
administratif dan secara teknik.67 Hal tersebut dapat dibuktikan dengan
dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) dengan Nomor 1/BER/MDN-
MAG/1969 tentang Pendirian Tempat Ibadah yang kemudian direvisi menjadi
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8
Tahun 2006 yang dianggap bisa memenuhi kebutuhan masyarakat serta tidak

67
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun
2006, Pasal 13 – pasal 16.
48

menimbulkan perselisihan atau konflik saat beberapa individu atau kelompok


ingin mendirikan rumah ibadah.
Usaha yang dilakukan pemerintah untuk mempertahankan kerukunan ummat
bergama tidak hanya sampai disitu saja. Setelah mengeluarkan SKB pada tahun
2006, pemerintah mengeluarkan peraturan berikutnya dengan Nomor
1/BER/MDN/MAG/1969 supaya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang
belum puas tentang peraturan pendirian rumah ibadah. Kemudian peraturan
tersebut akhirnya direvisi kembali dengan di keluarkan SKB terbaru yang
dianggap mampu memecahkan perselisihan atau konflik yang terjadi di
masyarakat setiap suatu individu atau kelompok yang ingin mendirikan rumah
ibadah dapat merasa lebih diperhatikan. Adapun peraturan tersebut diputuskan
bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan
Umat Beragama, dan Pendiriran Rumah Ibadat.68
Adapun peraturan yang telah ditandatangani Peraturan Bersama Menteri
Agama dan Mendagri No. 8 dan 9 Tahun 2006 yang menyatakan bahwasanya
pendirian rumah ibadat wajib memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan
teknis bangunan gedung. Selain itu, Bersama Menteri Agama dan Mendagri
(PBM) mengatur bagaimana mekanisme pendirian rumah ibadah seperti yang
tertera di dalam pasal 14 Ayat (2) yang berbunyi “Selain memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi
persyaratan khusus meliputi :
1. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling
sedikit 90 orang yang disahkan pejabat setempat sesuai dengan tingkat
batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
2. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan
oleh lurah/kepala desa;
3. Rekomendasi tertulis dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota;
dan

68
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan
Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian
Rumah Ibadat.
49

4. Rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat


Beragama Kabupaten/Kota.69
Jika kita lihat dari Peraturan Bersama Menteri (PBM) gamblang bahwasanya
persyaratan pendirian rumah ibadah secara administratif dan secara teknis harus
mengantongi persetujuan atau dukunagn dari masyarakat setempat yang memiliki
kartu penduduk yang sah yang di akui oleh pihak Rt, lurah dan Kecamatan
setempat berjumlah 60 orang. Jika tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut,
maka pendirian rumah ibadah belum bisa dilaksanakan. Selain itu, pendirian
rumah ibadah juga harus memiliki 90 orang yang secara sah diakui oleh pejabat
setempat terdata di wilayah tersebut. Apabila suatu indvidu atau kelompok sudah
mengantongi 2 syarat tersebut belum bisa menentukan apakah pendirian rumah
ibadah bisa didirikan atau tidak dikarnakan harus memminta izin pemerintah kota
atau kabupaten.70
Ketika suatu kelompok atau individu sudah memenuhi persayaratan di atas,
selanjutnya dilakukannya tahapan administratif yaitu panitia pembangunan rumah
ibadat mengajukan permohonan izin pendirian rumah ibadah kepada pihak
pemerintah yaitu bupati atau walikota untuk mendapatkan (IMB) atau Izin
Mendirikan Bangunan seperti yang diterangkan didalam ( Pasal 16 ). Yang
berisikan.71:
(1) Permohonan pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada
bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadat.
(2) Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan
puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Stelah mendapat surat izin bangunan barulah suatu individu atau kelompok
dapat mendirikan ruma peribadata. Oleh karnanya Izin pendirian bangunan ini
sangat lah penting. Dengan adanya surat izin, bangunan tersebut sudah dianggap

69
Turun Kejambi Fakta Menjelaskan Penyegelan Tiga Gereja Tepat Menghindari Konflik,
(2018, Oktober 19).Diakses Pada Maret 25,2021 diakses dari
https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/berita/turun-ke-jambi-fakta-menjelaskan-penyegelan-tiga-
gereja-tepat-menghindari-konflik.
70
Pasal 14.
71
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun
2006, Pasal 16.
50

legal atau sah dimata hukum sehingga bangunan rumah ibadat tersebut bisa
digunakan tanpa ada gangguan dari pihak manapun.
Pendirian rumah ibadat tidak harus menggunakan banguna baru namun juga
bisa mendirikan gedung rumah ibadat dengan cara memanfaatan gedung-gedung
yang bukan rumah ibadat. Meskipun begitu, gedung-gedung yang bukan rumah
ibadat harus tetap membuat surat izin jika ingin dialih fungsikan sebagai tempat
peribadatan seperti yang dijelaskan di dalam pasal 19 yang berbunyi:
1) Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat
sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari
bupati/walikota dengan memenuhi persyaratan :
a. laik fungsi; dan
b. pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan
ketertiban masyarakat.
2) Persyaratan laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung.
3) Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman
dan ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. izin tertulis pemilik bangunan;
b. rekomendasi tertulis lurah/kepala desa;
c. pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota; dan
d. pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama
kabupaten/kota. 72
Selain itu, jika ingin memanfaatan gedung-gedung untuk di digunakan
sebagai rumah ibadat juga harus memiliki surat izin dari pihak kecamatan serta
lurah setempat guna tetap menjaga keharmonisan dan kerukunan umat beragama.
Serta untuk tetap memegang teguh sikap toleransi dalam hidup bermasyarakat.
Peraturan-peraturan tersebut tersebut telah menjadi sebuah produk hukum
yang diharapkan mampu memfasilitasi kebutuhan masyarakat dalam menjalankan
ibadahnya dan mampu melindungi bagian terkecil hingga bagian yang tebesar.
Seperti yang dapat kita lihat di dalam Undang-undang PNPS No 1 Tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
72
Pasal 19.
51

Di dalam pasal 1 yang berbunyi: “ setiap orang dilarang dengan sengaja


dimuka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum,
untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama itu”.73
Namun, penentuan peraturan dan undang-undang yang telah ditetapkan
tersebut tak jarang menjadi pemicu yang melatar belakangi konflik atau
perselisihan. Hal tersebut terjadi dikarnakan proses administrasi yang panjang dan
rumit serta kurangnya toleransi atau perhatian kepada kondisi lingkungan social
dan pisikologis umat beragama lainnya yang pada akhirnya menjadi pemicu
hubungan yang tidak harmonis antar umat beragama lainnya oleh sebab itu, tidak
diherankan jika hal tersebut pada akhirnya menimbulkan konflik.
Dinamika menarik yang telah terjadi antara umat Kristen dengan umat Islam
sebagai mayoritas di negeri ini dapat menghasilkan sebuah kooperasi, namun
tidak jarang juga berbentuk kompetisi dan konflik. Ada banyak pendirian rumah
ibadah terutama gereja yang mengalami seluruh dinamika ini. Sebagai contoh,
menurut Tim Yayasan Paramadina dan MPRK UGM pada tahun 2008 terdapat 15
kasus pelanggaran yang terkait dengan rumah ibadah. Moderate Muslim Society
[MMS] mencatat 12 kasus pelanggaran terkait rumah ibadah pada tahun 2009,
mulai dari pemerasan agar dapat menggunakan gereja, intimidasi, hingga
perusakan. Di ibu kota Jakarta ada sekitar 22 Kontroversi Gereja. Selain itu
tercatat pula disfungsi aparat pemerintah yang ditandai dengan pembatalan
pemberian izin karena tekanan masyarakat. Kasus-kasus serupa tercatat pula
dalam laporan CRCS (2009) dan the Wahid Institute (2009). Kasus-kasus tersebut
semakin diperburuk dengan rekam jejak tahun 2005 yang mencapai 50 kasus, dan
lebih dari 1000 kasus antara medio 1969- 2006.74
Salah satu konflik antar ummatislam dan kritiani ialah terjadi penyegelan tiga
gereja yang dikota jambi Jambi tepat nya terletak di RT. 07 Kelurahan Kenali
Besar, Kecamatan Alam Barajo, Kota Jambi. Adapun yang melatar belakangi

73
Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama, Pasal 1.
74
Ibid hal.14.
52

penyegelan tersebut yaitu IMB yang belum dimiliki gereja tapi tetap memaksakan
pendirian rumah ibadah dan tuntutan warga RT 07 Kenali Besar, Alam Barajo.
Selain itu terjadi pula tragedi pembongkaran Gereja di HKBP di Desa Taman
Sari, Kec. Setu, Kab. Bekasi, Jawa Barat tepatnya pada hari kamis tanggal 21
Maret 2013. Pembongkaran yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten (pemkab).
Konflik ini terjadi disebabkan oleh pembangunan gereja HKBP di Setu yang
dibangun tanpa memiliki Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sehingga
membuat pemerintah kabupeten yang kemudian dibantu oleh pihak satuan polisi
pamongpraja (Satpol PP) sebagai eksekutor melakukan pembongkaran pada
rumah ibadah tersebut.75
Sejak adanya surat keputusan bersama yang jatuh pada tahun 1969 hingga
adanya surat keputusan bersama di zaman reformasi tepatnya pada tahun 2006,
penolakan pendirian rumah ibadah memang sudah bukan cerita baru. Konflik
berlatar belakang agama tersebut merupakan salah satu masalah serius di dunia,
terutama di Indonesia. Salah satu penyebab ketidaknyamanan sosial dipicu oleh
persepsi dan pemahaman umat terhadap ajaran agamanya yang sempit, merasa
paling benar dan yang lain salah.
Pada tahun 2011, ratusan warga Kelurahan Batu plat mendatangi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota Kupang. Mereka menuntut agar pembangunan
masjid didaerah tersebut dihentikan. Warga mengatakan prosedur perizinan
pembangunan masjid tersebut tidak sah karena terjadi rekayasa surat pernyataan
dukungan warga di sekitar lokasi pembangunan. Surat pernyataan yang
ditandatangani 60 orang dinilai palsu karena sebenarnya hanya tiga kepala
keluarga (KK) yang mendukung dan surat berisi tanda tangan 60 orang itu pun
digunakan untuk kepentingan pembangunan musala tahun 2007 lalu bukan
pembangunan masjid di tahun 2011.
Sesuai dengan arahan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama,
Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung, pembangunan sebuah rumah ibadah
minimal harus mendapatkan persetujuan sekurang-kurangnya 60 kepala keluarga
(KK) di sekitar lokasi ditambah dengan pemangu adat dan pejabat pemerintah
sehingga sekurang-kurangnya menjadi 90 kepala keluarga. Namun ketua MUI

75
Prof. Dr. Faisal Ismail,M.A., Dinamika Kerukunan Antarumat Beragama, Cetakan
Pertama ( Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014) hlm.49.
53

NTT menyesalkan aksi penolakan tersebut karena seluruh persyaratan


pembangunan masjid sudah dipenuhi sesuai dengan prosedur yang ada, tidak ada
manipulasi dokumen persetujuan warga. Selain itu peletakan batu pertama
dilakukan oleh Wali Kota Kupang yang menjabat serta dihadiri tokoh masyarakat
di daerah itu dan lahan pembangunan masjid itu juga dihibahkan dari Pemerintah
Kota.
Untuk menghindari kerusuhan yang menimbulkan konflik berbau Suku
Agama Ras dan Antargolongan (SARA), Penolakan ini direspons oleh DPRD
Kota Kupang yang kemudian meminta Walikota Kupang dan
menghentikannya sementara. Pemerintah Kota Kupang juga telah membentuk tim
investigasi yang disebut Tim Sembilan. Mereka menyelidiki kemungkinan
terjadinya pemalsuan dokumen pembangunan masjid tersebut. Tim melibatkan
berbagai unsur seperti aparat penegak hukum hingga Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB). Pemerintah berharap upaya yang dilakukan berbagai pihak,
termasuk Tim Wantimpres, dapat memberikan dampak positif terhadap kerukunan
umat beragama di Kota Kupang. Demi menjaga keamanan dan kerukunan
antarumat beragama.76
Kemudian komnas HAM 2012 melaporkan terdapat tujuh gereja di Banda
Aceh yang dihentikan kegiatan ibadahnya oleh pemerintah Kota Banda Aceh
dengan alasan tidak memiliki ijin rumah ibadah dan alasan karena
menggunakan Ruko sebagai tempat ibadah. Menurut Pemkot Banda Aceh,
ketujuh gereja tersebut adalah gereja yang berdiri pasca tsunami. Para
Jemaatnya telah diminta bergabung dengan gereja yang sudah ada, namun
permintaan itu tidak terlaksana. Komnas HAM telah melakukan upaya
pra-mediasi dengan bertemu para pengurus gereja dan Pemkot Banda Aceh.
Pemkot Banda Aceh telah menyatakan tidak menghalangi setiap warga negara
untuk memiliki tempat ibadah selama mengikuti ketentuan peraturan yang ada.
Saat itu Komnas HAM tengah mengkaji beberapa alternatif penyelesaian untuk
ketujuh gereja tersebut dan Pemkot Banda Aceh membuka ruang dialog
kepada Komnas HAM untuk dapat membantu penyelesaian masalah tersebut.

76
Laporan Akhir Tahun Pelapor Khusus Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 2015 hlm.10
54

Komnas HAM juga mendorong agar diadakan pertemuan antara


Pemerintah Provinsi Aceh, Pemerintah Kota Banda Aceh dengan gereja-gereja
yang telah memenuhi persyaratan guna memverifikasi persyaratan secara
langsung.
Selain kasus-kasus tersebut diatas Komnas HAM telah menerima
pengaduan secara lisan dari GBKP Bandung Timur di Kota Bandung.
Mereka menyampaikan bahwa mereka tidak dapat melaksanakan ibadah
digereja mereka, karena adanya pelarangan dari warga dan salah satu
Ormas. Selain itu, pengurus gereja juga mengakui telah melakukan proses
perijinan sejak tahun 2007, namun sampai permasalahan ini terjadi, perijinan
gereja tersebut belum selesai karena persyaratan dukungan warga yang sudah
diperoleh masih terus dipermasalahkan. Pada waktu itu, Komnas HAM telah
meminta pengurus GBKP untuk melengkapi dokumen pengaduan. Komnas
HAM juga telah bertemu dengan Walikota Bandung untuk meminta klarifikasi
tentang masalah tersebut. Menurut Walikota, pihaknya tidak akan mempersulit
proses perijinan tersebut selama persyaratan terpenuhi. Sebagai tindaklanjut,
dalam waktu dekat Komnas HAM akan memanggil Luran dan Camat setempat
guna menjelaskan progres verifikasi pernyataan tidak keberatan dari warga yang
telah diajukan kembali oleh pengurus GBKP Bandung Timur. 77
Terbukti dengan catatan di data statistik The Wahid Institute pada tahun 2014
tentang adanya kegagalan negara dalam mengatasi kerukunan ummat beragama
kembali tampak. Data statistic tersebut mencatat peristiwa pelanggaran kebebasan
beragama/berkeyakinan (KBB) sepanjang 2014 berjumlah 158 peristiwa dengan
187 tindakan. Jika dibanding dengan tahun 2013, peristiwa pelanggaran KBB
2014 menurun sebanyak 42%. Tahun 2013, jumlah pelanggaran sebanyak 245
peristiwa. Jumlah ini juga turun 12% dibanding 2012.
Namun pada tahun 2015 SETARA Institute mencatat ada 196 peristiwa
pelanggaran KBB dengan 236 bentuk tindakan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Tindakan negara yang melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktor, dan
terdapat 138 tindakan yang dilakukan oleh aktor non-negara. Angka ini
menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan karna ada tahun 2014 jumlah
peristiwa pelanggaran yang terjadi hanya 134 peristiwa, sedangkan tindakan
77
Ibid hlm.13
55

pelanggaraan cuma di angka 177 tindakan jika dibandingkan pada kejadian pada
tahun setelahnya Dibandingkan dengan data tahun lalu, namun pada tahun 2015,
tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh aktor negara mengalami peningkatan
tajam, dari sebelumnya hanya 39 tindakan menjadi 98 tindakan. Secara kumulatif
persentase klasifikasi tindakan berdasarkan aktor ini tidak banyak mengalami
pergeseran dari tahun ke tahun.
Setara Institute juga mencatat yang menjadi korban yang terbesar ialah
kelompok siyah atau beberapa orang yang beragama islam yang mengidolahkan
sahabat nabi ali bin abi tolib. Mereka menjadi korban dari 31 peristiwa. Lima
kelompok lain yang menjadi korban adalah kelompok warga dan umat Kristen
menjadi korban dari 29 peristiwa, umat Islam menjadi korban dari 24 peristiwa.
Selanjutnya penganut aliran Kepercayaan terdapat 14 peristiwa, sedangkan JAI
terdapat 13 peristiwa. Tentu saja kasus yang terjadi di tahun 2015 ini melonjak
sangat tajam dibandingkan dengan kasus yang terjadi padatahun 2013 dan 2014. 78
Setelah kejadian tersebut, pada 2018 muncul pula konflik tentang pendirian
rumah peribadatan di Jayapura. Persekutuan Gereja-gereja di Kabupaten Jayapura
(PGGJ) menolak renovasi Masjid Agung Al-Aqsha di Sentani, Papua. Alasan dari
peristiwatersebut ialah dikarena menara masjid itu lebih tinggi dari gereja di
sekitar lokasi, di Jalan Raya Abepura. Selain permasalahan itu, PGGJ juga
menyuarakan sejumlah poin penolakan lain, yakni: Pengeras suara masjid harus
diarahkan ke arah masjid, Pembatasan dakwah Islam di Jayapura, Pelarangan anak
sekolah memakai seragam bernuansa agama tertentu, Pelarangan ruang khusus
seperti musala pada fasilitas umum kemudian pelarangan pembangunan masjid
dan musala di area perumahan KPR BTN.
Mengacu pada peraturan pemerintah, pembangunan rumah ibadah wajib pula
mendapatkan rekomendasi bersama antara PGGJ, pemerintah daerah, dan pemilik
hak ulayat. PGGJ juga mendesak pemerintah provinsi dan DPR Jayapura
menyusun Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) tentang "kerukunan umat
beragama" di Jayapura. Data BPS Kabupaten Jayapura mencatat, terdapat 37

78
Rini Fidiyani, Dinamika Pembangunan Rumah Ibadah Bagi Warga Minoritas Di Jawa
Tengah. (Prosiding Seminar Nasional Multi Disiplin Ilmu & Call For Papers Unisbank (Sendi_U)
Ke-2 Kajian Multi Disiplin Ilmu dalam Pengembangan IPTEKS untuk Mewujudkan
Pembangunan Nasional Semesta Berencan (PNSB) sebagai Upaya Meningkatkan Daya Saing
Global, 2016). Hal. 501
56

masjid di Sentani pada 2017 dengan total penduduk Kota Jayapura pada 2017
menurut BPS Kota Jayapura sebanyak 644.652 jiwa dengan komposisi 65,09%
penduduk non Papua dan 34,01% penduduk asli Papua. Penduduk asli Kota
Jayapura tersebar di 14 kampung dengan suku dominan adalah suku Numbai dan
Anafri. Penduduk Kabupaten Kota Jayapura menurut BPS Kabupaten Kota
Jayapura berjumlah 122.848 jiwa dengan komposisi 38,52% pendatang dan
61,48% penduduk asli Papua. Lebih 30% penduduk Kabupaten Kota Jayapura
bermukim di Distrik Sentani dan menjadi distrik paling heterogen dan merupakan
”miniatur” Indonesia dengan proporsi pemeluk agama Islam terhadap jumlah
penduduk di wilayah itu hanya 38,09 persen atau setara dengan 20.785 penduduk.
Di sisi lain, proporsi pemeluk agama Kristen dan Katolik di daerah tersebut
sebesar 52,27 persen. 79
Penolakan lain juga pernah terjadi di Kota Bogor, Jawa Barat. Jemaat dari
Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin yang kesulitan untuk membangun tempat
peribadatan. Pada 10 April 2012, Wali Kota Bogor saat itu, Diani Budiarto
menyegel sepenuhnya GKI Yasmin dengan mengerahkan Satpol-PP. Pemerintah
Kota Bogor melakukan penyegelan karena pihak GKI Yasmin tidak
menghiraukan teguran mereka terkait pembangunan gereja. Sebagai catatan,
proporsi pemeluk agama Kristen di Kota Bogor pada tahun 2016 tercatat sebesar
3,64 persen. Dari beberapa kejadian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan
regulasi pendirian rumah ibadah masih belum bisa berjalan dengan baik, salah
satunya karena Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
No.9 dan No.8 tahun 2006. Masih banyak umat beragama dari kalangan minoritas
yang kesulitan mendapatkan akses beribadah dengan aman dan nyaman. Padahal,
kebebasan memeluk agama dan beribadah menurut agama dijamin dalam UUD
1945.
Selain permasalahan-permasalahan yangterjadi di atas, ada banyak sekali
kasus serupa mengenai pendirian rumah ibadah dibeberapa daerah yang memiliki
konflik yang sama seperti tindakan pelanggaran KBB yang menjadi peristiwa

79
Sabara & Elce Yohana Kodina, Kerukunan Umat Beragama Dalam Pikiran Dan Praktik
Kelompok Keagamaan Islam Di Jayapura, (Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 19 No. 2
Artikel diterima 10 November 2020, diseleksi 22 November 2020, dan disetujui 12 Desember
2020) hal. 300-301
57

nasional. Adapun beberapa kasus yang berkaitan dengan pendirian atau


pembangunan rumah ibadah adalah:
a) Pelarangan Pembangunan Mushalla As Syafiiyah Kota Denpasar
b) Penghentian Aktivitas 19 Gereja di Aceh Singkil
c) Penghentian Pembangunan Gereja di Kota Bandung
d) Penyegelan 7 Gereja di Cianjur Berbeda dengan Komnas HAM. 80
Selain itu, dari data statistik The Wahid Institute (2014) yang mencatat
peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) menyatakan ada
banyak sekali kasus pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang terjadi
sepanjang 2014. Kasus tersebut berjumlah 158 peristiwa dengan 187 tindakan.
Namun kasus tersebut jika disbanding dengan tahun sebelumnya maka peristiwa
pelanggaran KBB 2014 sudah menurun sebanyak 42%. Karna pada tahun 2013,
jumlah pelanggaran sebanyak 245 peristiwa. Jumlah pada tahun itupun sudah
lebih turun 12% disbanding dengan 2012. Selain itu, Setara Institute pada 2015
mencatat 196 peristiwa pelanggaran KBB dengan 236 bentuk tindakan
pelanggaran KBB yang tersebar diseluruh Indonesia. Dibandingkan dengan tahun
sebelumnya atau pada tahun 2014, angka ini menunjukkan lonjakan yang cukup
signifikan. Pada tahun 2014, jumlah peristiwa pelanggaran KBB yang terjadi
“hanya” 134 peristiwa, sedangkan tindakan pelanggaraan “cuma” diangka 177
tindakan. Sedangkan pada tahun 2015 telah melonjak tinggi dengan jumlah 196
peristiwa pelanggaran KBB dengan 236 bentuk tindakan pelanggaran KBB.
Peningkatan pelanggaran KBB tersebut harus dicermati secara serius oleh para
stakeholder.81

80
Rini Fidiyani, Dinamika Pembangunan Rumah Ibadat Bagi Warga Minoritas Di Jawa
Tengah, Hlm 503-504.
81
The Wahid Institute, Data Statistik Pendirian Rumah Ibadah (2014,2015).
58

BAB IV

IMPLEMENTASI PERATURAN BERSAMA MENTERI

AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 8 DAN 9

TAHUN 2006 DI KOTA JAMBI.

A. Prosedur Pendirian Rumah Ibadah di Kota Jambi


Kota Jambi merupakan kota yang memiliki luas wilayah yang sangat luas

sehingga membuat penyebaran agama yang sangat signifikan pula. Kota jambi

merupakan salah satu kota yang mayoritas masyarakatnya memeluk bergabai

macam agama. Dimulai dari Agama islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik,

Hindu, Budha, konghucu. Setiap agamanya memiliki rumah ibadat nya masing–

masing untuk menjalankan ibadahnya seperti umat Islam dengan bangunan

Masjid dan Musholanya, Umat Kristen dengan Bangunan Gereja nya, Umat

Budha dengan bangunan Pura nya , Umat hinddu dengan bangunan Viharanya,

Umat konghucu dengan bangunan kelentengnya. 82

Disetiap wilayah yang ada di Kota Jambi memiliki semua rumah ibadah

untuk seluruh agama yang ada di kota jambi. Seperti yang tertera di dalam

Undang-Undang Republik Indoneisia Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Pemenerintahan Daerah di dalam pasal 13 nya menyebutkan bahwasanya

pemerintah bertugas menjaga kerukunan masyarakat serta memenuhi segala

sarana dan prasarana untuk masyarakat.83 Rumah ibadat termasuk kedalam sarana

dan prasara umum yang dibutuh kan masyarakat untuk menjalankan kegiatan

keagamaan sesuai kepercayaan yang dianutnya.


82
UU.1/PNPS/1965.
83
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, Pasal 13.
58
59

Berdasarkan prosedur nya pendirian rumah ibadah dilakukan berpedoman

atau berpatokan langsung dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan

Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 dimana peraturan ini

merupakan peraturan yang sudah direvisi yang mana sebelumnya menggunakan

Surat Keputusan Bersama (SKB) yaitu Keputusan Bersama Menteri Agama dan

Menteri Dalam Negeri Nomor 1/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan

Tugas Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran

Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya.

Berdasarkan prosedur nya pendirian rumah ibadah dilakukan berpedoman

langsung dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri

Nomor 8 dan 9 Tahun 2006. Dimana peraturan ini merupakan peraturan yang

sudah direvisi

Pendirian rumah ibadat itu sendiri memiliki banyak sekali tahapan baik secara

teknis maupun Secara Administratif semuanya sudah diterangkan secara jelas di

dalam pasal perpasalnya di dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri

Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 seperti yang di terangkan di dalam Bab

lV Pendirian Rumah Ibadat Pasal 13 yang berbunyi:

1. Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-

sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat

beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.

2. Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu

ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-

undangan.
60

3. Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah

kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi,

pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah

kecamatan atau kabupaten/ kota atau provinsi.

Dari pasal di atas sudah jelas secara terang bahwasannya pendirian rumah

ibadat harus didasari oleh kebutuhan yang berpatokan kepada berapa banyak yang

akan memakai rumah ibadat tersebut nantinya saat sudah di bangun sesuai atau

tidak kah dengan kebutuhan. Namun tetap didasari dan dilandasi dengan

kerukunan dan sikap toleransi yang tinggi. kemudian ada pula diterangkan

mengenai jumlah kebutuhan pemakai rumah ibadat tersebut yang diterangkan di

dalam pasal berikutnya yaitu pasal 14 yang berbunyi :

1. Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan

persyaratan teknis bangunan gedung.

2. Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi : a.

daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling

sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat

sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal

13 ayat (3); b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam

puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; c. rekomendasi

tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan d.

rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.


61

3. Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a

terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi.84

Selain itu pendirian tempat ibadah harus mengikuti Peraturan Gubernur Jambi

Nomor 19 Tahun 2007 mengenai Pedoman Pelaksanaan Dalam Pemeliharaan

Kerukunan Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat di Kabupaten / Kota. 85

Setelah melengkapi persyaratan di atas kemudian ada pula persyaratan

selanjutnya yaitu pembuatan surat permohonan pendirian rumah ibadat sesuai

yang diterangkan di dalam pasal 16 yang berbunyi:

1. Permohonan pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud dalam Pasal

14 diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada

bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadat.

2. Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan

puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Setelah pembuatan surat permohonan pendirian rumah ibadah selesai,

pendirian rumah ibadah juga harus memilki surat perizinan

penggunaan/pemanfaatan rumah ibadah sementara seperti yang di terangkan di

dalam pasal 18 dan pasal 19 yang berbunyi:

1. Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat

sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari

bupati/walikota dengan memenuhi persyaratan : a. laik fungsi; dan b.

pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan

ketertiban masyarakat.

84
Pasal 14.
85
Peraturan Gubernur Nomor 19 Tahun 2007.
62

2. Persyaratan lain fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung.

3. Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman

dan ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,

meliputi: a. izin tertulis pemilik bangunan; b. rekomendasi tertulis

lurah/kepala desa; c. pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota; dan

d. pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama

kabupaten/kota.

Pemanfaatan bangunan gedung-gedung dapat dilakukan untuk melakukan

peribadatan namun harus tetap mendapatkan izin dari pihak kecamatan, dan

kelurahan setempat sehingga bisa berjalan dengan baik dan tidak membuat

kerusuhan dan mengganggu warga sekitar, serta memiliki kekuatan hukum.

Seperti yang di sebutkan dalam pasal 19 :

1. Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan -

gedung bukan rumah ibadat oleh bupati/walikota sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 18 ayat (1) diterbitkan setelah mempertimbangkan pendapat

tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB

kabupaten/kota.

2. Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan

gedung bukan rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berlaku paling lama 2 (dua) tahun.86

86
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006,
Pasal 19.
63

Dengan terpenuhinya segala persyaratan tersebut, maka pendirian rumah

ibadah bisa dilangsungkan dan rumah ibadah tersebut dapat dikatakan legal atau

memegang kekuatan hukum tetap, serta tercatat di Kementrian Agama setempat.

Di Indonesia, pendirian rumah ibadah itu sendiri harus berpedoman kepada

Peraturan Bersama dan tidak ada peraturan tambahan sama hal nya dengan di kota

jambi. Tidak ada peraturan tambahan ketika ingin mendirikan tempat peribadan.

Semua dilakukan sesuai dengan PMB (Peraturan Bersama Mentri). Pendirian

rumah ibadat di Kota Jambi tidak memiliki peraturan khusu atau tahapan khusus

tetap berpedoman dan berpatokan kepada PBM ( Peraturan Bersama Menteri),

jadi tidak ada kriteria khusus dari daerah Jambi. Sejalan dengan itu, Bapak Nazmi

selaku Anggota dari Kementerian agama yang mengemukakan “ pendirian rumah

ibadah harus lah berpedoman kepada Peraturan Bersama Menteri tidak ada

peraturan tambahan di dalam pendirian rumah ibadah dari masing-masing daerah

nya “87

Jadi setiap akan medirikan rumah ibadah baik itu pendirian gereja, masjid,

kelenteng, vihara di daerah manapun di indonesia haruslah memenuhi persyaratan

di atas dan harus berpedoman langsung dengan Peraturan Bersama Menteri

Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006.

B. Potensi Terjadinya Konflik

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan

9 Tahun 2006 sudah mengatur dengan jelas bagaimana proses pendirian rumah

ibadah sebaiknya dilakukan. Namun hal tersebut tampaknya tidak

terimplementasikan dengan baik dikarnakan beberapa tempat peribadatan yang

didirikan di Kota Jambi mengambil keputusan untuk mendirikan tempat


87
Hasil Lapangan , Kementerian Agama Kota Jambi, 23 Maret 2021.
64

peribadatan terlebih dahulu sebelum pihak yang berwenang memberikan izin atas

pendirian rumah ibadah tersebut. Akibatnya pihak-pihak yang merasa dirugikan

melaporkan hal tersebut secara resmi kepada pihak yang berwenang sehingga

pihak harus mengambil sikap tegas dengan cara memberi peringatan atau bahkan

menyegel tempat peribadatan tersebut. Dan hal tersebutlah yang sering sekali

membuat permasalahan atau konflik antar ummat beragama.

Seperti yang terjadi pada tahun 2018 yaitu konflik pendirian rumah ibadah

bagi umat Kristen di Kota Jambi. Penyegelan tiga gereja di Kota Jambi yang

dilakukan oleh Satpol PP yang didukungan Kesbangpol dan aparat kepolisian

Kota Jambi. Penyegelan dialami pada Gereja Methodist Indonesia (GMI), Gereja

Sidang Jemaat Allah (GSJA), dan Gereja Huria Kristen Indonesia (HKI). Gereja

tersebut dianggap tela melanggar. Langkah penyegelan yang dilakukan oleh

Pemkot tersebut setelah mempertimbangkan sudut pandang regulasi pendirian

rumah ibadah dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri No. 8 dan

9 Tahun 2006. Lingkungan tersebut ditempati 200 KK dan hanya 15 KK yang

beragama Kristen. Warga telah mengingatkan bahwa mereka tidak menyetujui

didirikanya tiga bagunan tersebut, akan tetapi pihak terkait tetap mendirikan gerja

tersbut sehingga warga mengambil sikap tegas dengan cara melaporan keberadaan

bangunan yang dijadikan tempat beribadah tersebut secara resmi karna dianggap

tidak memiliki izin dari warga.

Selain itu panjangnya proses perizinan pendirian rumah ibadah menjadi salah

satu penyebab kesulitan dalam pendirian rumah ibadah sehingga pada akhirnya

membuat ketidak rukunan antar umat beragama. Namun Pendirian rumah ibadah

pun tak jarang juga mendapatkan izin secara cepat asalkan saat pendirian rumah

ibadah tersebut sesuai dengan peraturan bersama yang telah ditetapkan oleh
65

Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang

Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam

Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan

Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.

Selain kasus tersebut diatas, di tahun 2012 terdapat kasus pemindahan lokasi

rumah ibadah gereja di Kota Jambi yang ditempatkan di daerah Bagan Pete

dikarnaknan tidak mendapatkan izin pendirian rumah ibadah di lorong Banyumas,

Aur Duri, Kota Jambi. Para jemaat memindahkan lokasi gereja kedaerah yang

masih minim penduduk dan memiliki lahan yang luas untuk mendirikan sebuah

rumah ibadah sehingga kemungkinan untuk terjadinya konflik saat pendirian

rumah ibadah sangat kecil. Pemindahan lokasi tersebut dilakukan guna

meminimalisis terjadinya konflik antar masyarakat dan antar umat beragama oleh

pemerintah setempat setelah memenuhi PMB.

Namun apabila dikemudian hari terjadi konflik, maka penyelesaian konflik

yang terjadi anatar kaum minoritas kan kaum mayoritas tersebut akan di

selesaikan melalui jalur musyawarah. Musyawarah tersebut akan dilakukan oleh

bupati/walikota dibantu kepala kantor departemen agama kabupaten/kota melalui

musyawarah yang dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan

mempertimbangkan pendapat atau saran FKUB kabupaten/kota. Sesuai yang

disebutkan di dalam pasal 21 yang berbunyi:

1. Perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara

musyawarah oleh '- I masyarakat setempat.

2. Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan oleh bupati/walikota dibantu

kepala kantor departemen agama kabupaten/kota melalui musyawarah


66

yang dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan

mempertimbangkan pendapat atau saran FKUB kabupaten/kota.

3. Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

tidak, dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan

setempat.88

Dalam peyeselesaian permasalah pendirian rumah ibadah itu sendiri

bupati/walikota haru mendapatkan pembinaan terlebih dahulu dari gubernur

seperti yang dijelaskan di dalam pasal 22.89

Setiap pendirian rumah ibadat tak jarang tmenimbulkan banyak sekali

polemik baik pro maupun kontra, namun apbila saat pendirian rumah ibadah

berpatokan dengan peraturan yang sudah di tetapkan oleh pemerintah mak kecil

kemungkinan akan menimbulkan konflik dan kerusuhan yang pada akkhirnya

membuat ketidak rukunan antar umat beragama. Ada baiknya sesama ummat

beragama memberi toleransi yang tinggi terhadap satu sama lainnya sehingga

dapat memperkecil konflik yang akan mengganggu kerukanan antar ummat

beragama. Kemudian apabila suatu kelompok melanggar PMB yang telah di

sepakati sebagai peraturan bersama maka konsekuensinya pihak terkain harus siap

menerima konsekuensi seperti terjadinya penyegelan atau permbokaran pada

tempat peribadatan yang akan dilakukan oleh pihak yang berwenang.

88
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun
2006, Pasal 21.
89
Pasal 22.
67

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Keberagaman agama yang ada yang membuat Kota Jambi menjadi

kota yang indah. Serta kerukunan umat beragamanya. Setiap umat

beragama memiliki hak untuk memeluk agamanya dan menjalankan

agamanya seperti yang diterangkan di dalam UUD 1945 Pasal 28E,

yang menyebutkan bahwasanya setiap warga Negara berhak memeluk

dan menjalankan agamanya masing-masing.

2. Setiap umat beragama memiliki hak yang sama dan dilindungi secara

konstitusi oleh Negara, baik saat menjalankan ibadah maupun

pendirian rumah ibadah, pendirian rumah ibadat sendiri haruslah

berpedoman kepada peraturan yang sudah ada yang sudah ditetapkan

oleh pemerintah yaitu; Peraturan Bersama Menteri Agama dan

Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam

Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum

Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

3. peraturan tersebut menjelaskan mengenai mekanisme pendirian rumah

ibadah baik secara administratif maupun secara teknis sehingga

nantinya tidak akan menimbulkan perselisihan atau konflik di atara

masyarakatnya maupun umat beragamanya. Pentingnya menjalankan

prinsip tentang musyawarah dan toleransi agar mampu membangun

keharmonisan dalam bersamasarakat dan beragama antar umat.

Sehingga tidak akan membuat perpecahan atar umat agamanya

67
68

B. Saran

Tetap mematuhi aturan yang ada sehingga tidak akan membuat perselisihan

atau ketidak harmonisan atar umat beragama,serta tetap mengikuti dan

menjalankan aturan yang telah di buat oleh pemerintah sehingga menciptakan

kehidupan yang rukun baik dalam bermasyarakat dan antar umat beragam serta

menimbulkan sikap toleransi yang yang tinggi.


69

Curriculum vitae

Data diri

Nama : AISAH

Tempat,tanggal lahir : Bangko 29 April 1999

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Tinggi badan : 165cm

Alamat : Jl. Abdul Manaf, Desa Sinar Gading , Kecamatan Tabir


Selatan,

Kabupaten Merangin , Provinsi Jambi.

Status : blum menikah

E-Mail : aisah7497@gmail.com

DATA PENDIDIKAN

Sekolah Tinggi : S1- Universitas Islam Negeri Sultah Thaha


Saifudin Jambi

Sekolah Menengah Atas : SMA N 3 MERANGIN

Sekolah Menengah Pertama : SMP N 14 MERANGIN

Sekolah Dasar :SDN 241 MUARA DELANG 1

Anda mungkin juga menyukai