Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

MEMAHAMI NU DAN PENERIMAAN PANCASILA


Tugas ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Aswaja

Dosen pengampu:
Heru Setiawan, M. Pd. I

Penulis:
1. Ahmad Nawari (20201700120000)
2. Asep Syahroni (20201700120008)
3. Ismawanti (20201700120000)

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT PESANTREN KH. ABDUL CHALIM
MOJOKERTO
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii


KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan Pembahasan ..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Posisi Pancasila Dalam Agama .................................................................... 3
B. Argumentasi Penerimaan Pancasila ............................................................. 8
C. Penerimaan Pancasila Sebagai Pilihan Strategis ........................................ 12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 17

ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya. Tanpa pertolongan-Nya tentunya penyusun tidak sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pembimbing ataupun dosen
dalam mata kuliah ASWAJA, karena dengan bimbingannya kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Memahami NU dan Penerimaan
Pancasila”.
Terlepas dari semua itu sebagai penyusun tentu menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta
kekurangan didalamnya. Untuk itu penyusun mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca, supaya nantinya makalah ini lebih baik lagi. Demikian apabila ada
kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf sebesar-besarnya.

Mojokerto, 16 Mei 2023

Penulis

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi Islam yang besar dan
berpengaruh di Indonesia. Organisasi ini didirikan pada tahun 1926 dan
memiliki sejarah panjang dalam mempromosikan Islam moderat dan toleran
di negara ini. NU memiliki jutaan anggota yang tersebar di seluruh Indonesia,
dan organisasi ini secara aktif terlibat dalam kegiatan sosial, pendidikan, dan
politik.
NU memiliki hubungan erat dengan Pancasila, yang merupakan dasar
negara Indonesia. Pancasila adalah ideologi negara yang terdiri dari lima
prinsip yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia. NU secara resmi mendukung Pancasila sebagai
ideologi negara dan telah menjadi salah satu kekuatan penting dalam menjaga
dan memperkuat persatuan dan kebhinekaan di Indonesia.
Penerimaan terhadap Pancasila oleh NU dapat ditelusuri kembali ke
masa kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, NU adalah salah satu organisasi
Islam yang mendukung kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. NU
juga ikut berperan dalam perumusan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia
dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945.
NU memandang Pancasila sebagai landasan yang kuat untuk mengatur
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Prinsip-prinsip Pancasila,
seperti persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial, sejalan dengan nilai-nilai
ajaran Islam yang dianut oleh NU. Organisasi ini aktif mempromosikan
toleransi antarumat beragama dan keberagaman budaya di Indonesia, dan
mereka berpendapat bahwa Pancasila adalah kerangka yang tepat untuk
mewujudkan hal tersebut.
Meskipun demikian, seperti halnya organisasi besar lainnya, terdapat
keragaman pandangan di dalam NU. Beberapa anggota NU mungkin

1
memiliki pandangan yang berbeda mengenai aspek-aspek tertentu dari
Pancasila, tetapi secara keseluruhan, NU tetap mendukung Pancasila sebagai
ideologi negara Indonesia.
Penerimaan NU terhadap Pancasila merupakan salah satu faktor yang
telah berkontribusi pada stabilitas dan keberagaman di Indonesia. Hubungan
yang kuat antara NU dan Pancasila telah membantu membangun negara yang
inklusif dan melindungi keragaman agama dan budaya di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana posisi pancasila dalam agama islam?
2. Bagaimana proses Penerimaan Pancasila dalam agama islam?
C. Tujuan Pembahasan
1. Menjelaskan posisi pancasila dalam agama islam
2. Menjelaskan pentingnya

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Posisi Pancasila Dalam Agama
Organisasi islam terbesar di Indonesia adalah NU dan Soekarno adalah
pseorang pria gagah yang pintar, tegas, ambisius, sekaligus punya kharisma
besar serta sebagai pemimpin besar revolusi. Hal ini merupakan dua kekuatan
besar pada masa revolusi dan awal kemerdekaan. NU dan Soekarno serta para
pendiri Negara Indonesia (founding fathers) lainnya sadar betul bahwa
pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang direbut melalui berbagai
perjuangan; pemberontakan, peperangan grilya, peperangan terbuka dan
diplomasi, tidak dimaksudkan untuk mendirikan Khilafah Islamiyah atau
Negara Islam, melainkan mereka berjuang hanya untuk satu tujuan, yaitu
Kemerdekaan Indonesia.1
Sebelum sampai pada kesepakatan memilih pancasila sebagai dasar
negara, pendiri negara Indonesia banyak melakukan perdebatan yang mana
perdebatan ini terjadi pada sidang-sidang BPUPKI dan sidang PPKI yang
diperankan oleh beberapa pendiri negara Indonesia. sidang BPUPKI paling
seru terjadi pada tanggal 15 dan 16 Juli, ketika golongan islam mengancam,
kalau “Klausal Islam” dihapuskan maka tidak akan menyetujui Piagam
Jakarta. Soekarno yang merasa sangat prihatin dengan ketegangan ini
menghimbau kepada kaum nasional, agar menerima Piagam Jakarta
seluruhnya, demi menjaga persatuan dan lekas tercapainya negara nasional
Indonesia yang merdeka. Maka tanggal 16 juli sidang BPUPKI menyetujui
Piagam Jakarta menjadi preambule. Tetapi setelah itu justru ada perdebatan
kembali dari rakyat Indonesia Timur dengan berargumen tidak ingin
bergabung dalam Republik Indonesia Merdeka. Mereka khawatir bila Piagam
Jakarta dijadikan dasar negara maka mereka yang non-muslim akan
termarjinalisasikan dan akan menjadi warga negara kelas dua.2

1
Zainal Abidin Amir dan Imam Anshori Saleh, Soekarno dan NU: Titik Temu Nasionalisme (Lkis
Pelangi Aksara, 2013).
2
Sukirno Sukirno, “Posisi Agama Dalam Konstruksi Negara Republik Indonesia Berdasarkan
Pancasila Dan UUD 1945,” Jurnal Hukum Caraka Justitia 1, no. 2 (23 Desember 2021): 96–115,
https://doi.org/10.30588/jhcj.v1i2.920.

3
Mohammad Hatta lalu melakukan lobi dengan para pemimpin Islam,
menyampaikan pertimbangan akan gawatnya situasi ini. Kali ini, para
pemimpin menyadari baknya itu, dan sebelum sidang dimulai mereka telah
setuju untuk menghilangkan 7 kata itu, lalu diganti dengan kata yang lebih
sederhana, sehingga menjadi "berdasar kepada Ketuhartan Yang Maha Esa".
Pertimbangannya, situasi politik dan keamanan tidak mendukung untuk
bersitegang dalam soal ideologi. Persatuan perlu dijaga agar kemerdekaan In-
donesia dapat dipertahanikan oleh seluruh rakyat dan komponen bangsa.
Golongan Islam dan nasionalis adalah yang paling berkepentingan dengan
persatuan bangsa ini.3
Keberhasilan lobi Hatta menyebabkan sidang PPKI berjalan lancar.
Perubahan bukan saja pada preambule, tetapi juga pada batang tubuh, yaitu
pasal 6, yang mensyaratkan "Persiden Indonesia haruslah orang Indonesia
sejati yang beragama Islam" menjadi "orang Indonesia asli" saja, dan pasal 29
juga dihilangkan "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi
pemeluk- pemeluknya" dicoret dan frase yang ada menjadi "Ketuhanan Yang
Maha Esa"." Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama ditambah
dengan empat sila yang lain yang dikenal dengan sebutan Pancasila, yang
kemudian dijadikan sebagai dasar negara Indonesia.4
Perlu diketahui bahwa NU telah memberikan status hukum negara
Indonesia yang saat itu masih dikuasai oleh pemerintah Penjajah Belanda
dengan “Negara Islam”. Meskipun saat itu Indonesia masih dibawah
cengkraman kekuasan Belanda. Dengan logika ini , maka mempertahankan
kemerdekaan dan kedamaian, kerukunan, dan lebih-lebih keadilan
kemanusiaan menjadi sangat penting bagi NU, ketimbang bercita-cita
mendirikan Kholifah Islamiyah.5
Kompromi seperti itu menjadikan Indonesia tidak murni lagi menjadi
negara sekuler tapi juga tidak menjadi negara Islam, sebagaimana yang
ditegaskan dalam pidato awal Soekarno di depan BPUPKI. Sejak saat itu,

3
Saleh, Soekarno dan NU.
4
Sukirno, “Posisi Agama Dalam Konstruksi Negara Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila
Dan UUD 1945.”
5
Saleh, Soekarno dan NU.

4
Indonesia menggariskan (dalam kadar tertentu) pemisahan politik dari agama.
Indonesia baru kemudian memperkanalkan dirinya sebagai Negara Pancasila.
Dalam Negara Pancasila semua pemeluk agama ditempatkan dalam posisi
yang sama. Semua warga berhak menjalankan agamanya dan beribadah
sesuai dengan agama dan kepercayaannya.6
Para pendiri bangsa ini telah sangat cerdas meletakkan "Ketuhanan
Yang Maha Esa" sebagai sila pertama yang mendasari sila-sila yang lainnya.
Sila ketuhanan ini telah bisa, dan seharusnya, menjadi wadah interaksi damai
dan toleransi bagi semua aliran agama dan kepercayaan di Inde nesia. Kelima
sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis ideologis untuk mewujudkan
empat tujuan atau cita-cita ideal berne-gara, yaitu: (1) melindungi segenap
bangsa In- donesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) meningkatkan
kesejah-teraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang
abadi, dan keadilan sosial.7
Dalam kaitan ini, adalah menarik apa yang dilakukan NU sebagai
oraganisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia. Bagi NU Pancasila
sebagai dasar negara adalah final. Bagi organisasi NU sebanarnya diskusi
tentang relasi agama vis-a-vis negara, atau Islam vis-a-vis Pancasila, sudah
selesai. Keputusan Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada tahun 1984 telah
mengakhiri perdebatan ini. Muktamar yang berlangsung tanggal 8-12
Desember 1984 itu mengukuhkan keputusan Musyawarah Alim Ulama
Nasional NU 1983 yang memutuskan untuk menerima Pancasila sebagai satu-
satunya asas dan memulihkan kembali NU menjadi organisasi keagamaan
sesuai dengan Khitthah (Semangat) 1926. Melalui forum keagamaan kultural
Bahstul Musa'il, ulama NU mampu menemukan rumusan yang tepat untuk
mengurai dan memberikan kesimpulan tentang relasi Islam dan Pancasila dari
perspektif keagamaan, khsususnya pendekatan fiqh. Dekalarasi Tentang
Hubungan Pancasila dan Islam ini merupakan simpul dan titik akhir dari
pembahasan keagamaan (bahtsul masa il) ulama NU tentang Pancasila

6
Saleh.
7
Saleh.

5
sebagai ideologi negara, tentang wawasan kebangsaan, dan posisi Islam
dalam negara-bangsa. Secara lengkap deklarasi itu berbunyi sebagai berikut:8
1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia
bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat
dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2) Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai dasar Negara Republik
Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang- undang Dasar 1945, yang
menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian
keimanan dalam Islam.
3) Bagi NU Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan
manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
4) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya
umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
5) Sebagai konsekuensinya dari sikap diatas , NU berkewajiban
mengamankan pengertian yang benar tentang pancasila dan
pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
NU adalah organisasi kemasyarakatan dan keagamaan pertama yang
menuntaskan penerimaaannya atas ideologi Pancasila. NU bukan hanya
pertama menerima, tetapi juga yang paling mudah menerima Pancasila. Hal
ini didasarkan pada kaidah-kaidah seperti "apa yang tidak bisa diraih
semuanya, jangan ditinggalkan semuanya" (ma la yudraku kulluh,la yuraku
kulluh).
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia memiliki posisi yang unik
dalam konteks agama. Secara konstitusional, Pancasila tidak mengadopsi
agama tertentu sebagai agama negara dan bersifat sekuler. Namun, Pancasila
mengakui keberadaan Tuhan dan memberikan kebebasan beragama kepada
seluruh warga negara. Posisi Pancasila dalam agama dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1) Kebebasan Beragama: Pancasila menjamin kebebasan beragama bagi
setiap individu. Hal ini berarti setiap warga negara memiliki hak untuk
memilih, menjalankan, dan mengamalkan agama sesuai dengan

8
Saleh.

6
keyakinan pribadi mereka. Pancasila mengakui dan melindungi hak asasi
setiap individu untuk mempraktikkan agama sesuai dengan kepercayaan
masing-masing. Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menunjukkan bahwa
Indonesia adalah negara yang beragama , bukan negara yang tidak
beragama (ateis). Sedang pada pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menunjukkan
bahwa negara Indonesia memberikan kebebasan dan jaminan kepada
setiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut
agamanya masing-masing.9
2) Toleransi Agama: Pancasila mendorong sikap toleransi antarumat
beragama. Prinsip persatuan Indonesia yang termuat dalam Pancasila
memperkuat keragaman agama dan budaya di Indonesia. Pancasila
menekankan pentingnya hidup berdampingan secara harmonis antara
umat beragama yang berbeda dan menghargai perbedaan dalam kerangka
persatuan.10
3) Keagamaan sebagai Bagian dari Identitas Nasional: Pancasila mengakui
peran agama dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sementara
Pancasila tidak secara eksplisit mengaitkan dirinya dengan agama
tertentu, nilai-nilai dan prinsip yang terkandung dalam Pancasila
memiliki kesesuaian dengan ajaran agama, termasuk agama Islam.
Pancasila memungkinkan umat beragama, termasuk umat Islam, untuk
menjalankan ajaran agama mereka dalam kerangka hukum dan
kehidupan masyarakat.11
4) Landasan Etika dan Moral: Pancasila menawarkan landasan etika dan
moral yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menjalani
kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai Pancasila, seperti kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan, dan keadilan sosial, sejalan dengan
prinsip-prinsip agama, termasuk agama Islam. Pancasila dapat menjadi

9
Drs Tijan M.Kom M. Si ; Drs F. A. Sugimin, Explore Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan Jilid 1 untuk SMA/MA/SMK/MAK Kelas X (Penerbit Duta, t.t.).
10
Dwi Ananta Devi, Toleransi Beragama (Alprin, 2020).
11
M.Kom, Explore Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jilid 1 untuk
SMA/MA/SMK/MAK Kelas X.

7
panduan dalam membangun masyarakat yang adil, berkeadilan, dan
menghormati hak asasi manusia.12
Pancasila, meskipun tidak berperan sebagai agama dalam arti formal,
menawarkan kerangka kerja yang inklusif dan memungkinkan keragaman
agama di Indonesia. Dalam praktiknya, Pancasila memberikan landasan yang
memungkinkan warga negara Indonesia untuk menjalankan keyakinan agama
mereka sambil tetap menjunjung tinggi persatuan, toleransi, dan keadilan
sosial.
B. Argumentasi Penerimaan Pancasila
NU berhasil diyakinkan untuk pertama kalinya menerima Pancasila
secara tegas sebagai azas dalam berorganisasi, yang kemudian diikuti oleh
organisasi keagamaan lainnya yang awalnya secara tidak tegas atau ragu
bahkan curiga dalam menentukan sikap atas penerimaan Pancasila sebagai
azas tunggal. Kiai Shiddiq memiliki argumen bahwa "penerimaan Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia didasarkan atas prinsip pertama, kaum
Muslimin Indonesia, melalui para pemimpinnya ikut aktif dalam merumuskan
dan kesepakatan menetapkan Undang Undang Dasar Negara ini; dan kedua,
nilai- nilai luhur Pancasila yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945
menjadi Dasar Negara dapat disepakati dan dibenarkan menurut pandangan
Islam. Oleh karena itu, kaum Muslimin Indonesia, secara bersama-sama
dengan seluruh bangsa Indonesia memikul tanggung jawab untuk memenuhi
dan melaksanakan kesepakatan bersama itu".13
Menurut Kiai Shiddiq, dalam hubungan agama dan Pancasila, keduanya
dapat sejalan, saling menunjang dan saling mengokohkan. Keduanya tidak
bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan, keduanya harus bersama-sama
dilaksanakan dan diamalkan, tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus
membuang dan menanggalkan yang lainnya. Bagi Kiai Shiddiq, sungguh
tepat kebijaksanaan pemerintah bahwa Pancasila tidak akan diagamakan dan
agama tidak akan dipancasilakan. Walaupun dalam praktisnya memang tidak
mudah untuk menerapkannya.

12
Sri Rahayu Amri, “PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA,” Voice of Midwifery 8, no. 01 (8
Mei 2018): 760–68.
13
Sunanto, Pemikiran Modern Islam Indonesia (Penerbit NEM, 2022).

8
Penerimaan para kiai/ ulama NU tersebut paling tidak di dasarkan
kepada dua hal. Pertama, tidak ditemukan satu sila pun dalam Pancasila yang
bertentangan dengan Alquran dan al-Hadis. Bahkan sila-silanya selaras
dengan pokok-pokok ajaran Islam. Kedua, dari sudut realitas politik,
Pancasila ini dapat menjadi payung politik yang menyatukan seluruh warga
bangsa yang sangat plural, baik etnis, suku, dan agama. Para kiai/ulama
menyadari bahwa jika Alquran dan al-Hadis dipaksakan sebagai asas dan
konstitusi Negara Indonesia, maka Indonesia akan terancam disintegrasi yang
mengarah pada konflik yang tiada henti.14
Umat Islam menerima Pancasila, menurut Kiai Achmad, bukan sekedar
taktik melainkan ada tiga pertimbangan:15
1) Umat Islam Indonesia melalui para pemimpinnya ikut aktif dalam
perumusan dan kesepakatan tentang dasar negara itu. Sembilan tokoh
utama bangsa yang terkenal dengan Panitia Sembilan, berhasil menyusun
rancangan rumusan yang ketika itu disetujui oleh semua pihak dan akan
dijadikan sebagai pembukaan Undang- Undang Dasar Negara (Piagam
Jakarta), yang kemudian diterima dan disahkan dalam sidang pleno
BPUPKI pada tanggal 14 Juli 1945.
2) Secara substansial, nilai-nilai luhur yang dirumuskan menjadi dasar
negara itu dapat disepakati dan dapat dibenarkan menurut pandangan
Islam. Misalnya, sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" mencerminkan
pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islam (lihat QS
al-Ikhlash). Demikian pula mengenai empat sila berikutnya. Kalau
ditampilkan satu per satu maka tidak ada satu pun yang bertentangan
dengan agama khususnya Islam. Bahkan urutan-urutan Pancasila itu
dapat dibaca dalam kerangka "amanu wa 'amilu al-shalihat". Kalau soal
pertama dianggap sebagai pencerminan amanu, maka kiranya tidak keliru
kalau empat sila berikutnya dapat dianggap mencerminkan 'amilu al-
shalihat.
3) Umat Islam berkepentingan dengan memantapkan peranan agama dalam
penghayatan dan pengamalan ideologi nasional dan sebaliknya, negara
14
Sunanto.
15
Sunanto.

9
Pancasila, agama terhayati dan teramalkan secara lebih baik. Bukan
hanya karena mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam, tetapi karena
pada diri Islam sendiri memuat dan membawa nilai-nilai luhur yang
bersumber pada wahyu yang dapat memberi kontribusi bagi
pembangunan nasional dan dalam pembinaan hukum nasional.
Dengan demikian, menurut Kiai Shiddiq, Pancasila merupakan satu
rangkaian kesatuan, tidak boleh mengambil satu sila dan meninggalkan sila
yang lain. Hal demikian juga mengandung pengertian, bahwa pemahaman
utuh terhadap Pancasila merupakan sebuah keniscayaan. Kiai Shiddiq
mengibaratkan: "Sebuah ramuan, bisa saja terjadi perbedaan peran dari tiap-
tiap bumbu, tetapi kelima bumbu harus ada, tidak boleh ada yang ditinggal
apalagi dibuang". Butir-butir elaboratif Pancasila dari Kiai Shiddiq dapat
dijelaskan sebagai berikut:16
Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Kiai Shiddiq memberikan
perspektif dalam Islam, bahwa sila pertama adalah pemadu (semen) dan
pemangku (pondamen) bagi sila- sila yang lain. Oleh karena itu, sila pertama
ini menjadi landasan bagi sila-sila berikutnya. Kiai Shiddiqq melanjutkan
elaborasinya bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu adalah:
"Dia, hanyalah Allah, Maha Tunggal (tiada sekutu, tiada pendamping, tiada
pembanding, tiada penanding. Dia, Maha Sempurna (Maha Kuasa, Maha
Mencipta Maha Bijaksana, Maha Tahu, Maha Pengatur, Maha Menentukan,
dan Maha Abadi)". Demikian apiknya Kiai Shiddiq dalam mengelobarasi sila
pertama ini, yang dianggapnya sebagai landasan berpikir dan bersikap
selanjutnya. Sila pertama bagi Kiai Shiddiq, merupakan landasan bagi sila-
sila berikutnya. Karena di dalamnya mengandung nilai-nilai religiusitas yang
tinggi tidak hanya bagi ummat Islam tapi bagi semua agama yang hidup di
bumi Indonesia.17
Sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Menurut Kiai Shiddiq,
sila kedua ini mengandung pengertian kemanusiaan yang hakiki yang

16
Sunanto.
17
Syamsun Ni’am dan Anin Nurhayati, “PEMIKIRAN KEBANGSAAN K.H. ACHMAD
SIDDIQ DAN IMPLIKASINYA DALAM MEMANTAPKAN IDIOLOGI PANCASILA SEBAGAI
DASAR NEGARA DI INDONESIA,” Akademika : Jurnal Pemikiran Islam 23, no. 2 (19 September
2018): 239–64.

10
berkeadilan dan berkeadaban yang berakar pada prinsip persamaan martabat,
sama-sama makhluk Allah Swt. Oleh karena itu, bagi Kiai Shiddiq, sila kedua
ini merupakan pasangan yang logis dan serasi dengan sila pertama. Jika
manusia sudah menempatkan kedudukannya pada tempat yang tepat, yaitu
sebagai makhluk Allah, maka berarti telah menyadari adanya prinsip
persamaan martabat dan derajat. Tidak boleh ada perlakuan yang berada di
luar batas-batas kemanusiaan. Dengan demikian sila kedua ini sangat
kompetibel dengan ajaran dan nilai- nilai religius Islam itu sendiri, dan tidak
bertentangan dengan ajaran dan prinsip agama lainnya.18
Sila ketiga: Persatuan Indonesia. Allah Swt. Memang sengaja
menciptakan manusia dengan berbagai macam suku, bangsa dan kelompok,
dengan maksud agar saling mengenal, selanjutnya dapat saling membina,
saling pengertian, saling hormat dan menghormati satu sama lainnya. Oleh
karena itu, menurut Kiai Shiddiq, semua itu harus disyukuri dengan
mengembangkan rasa cinta kepada bangsa dan tanah air, juga kesediaan
berkorban untuk kepentingan bangsa dan tanah air. Cinta dalam pengertian
yang sesungguhnya, bukan cinta ashabiyyah (cinta buta) yang tidak
mempertimbangkan kebenaran dan kebatilan. Inilah esensi dari sila
"Persatuan Indonesia". Menurut Kiai Shiddiq, bangsa yang kuat dan bahagia
adalah bangsa yang bersatu dan saling menghargai, sehingga dapat membantu
dan bahkan memelihara perdamaian dunia. Hanya bangsa yang kuat yang
dapat berbuat untuk kepentingan bangsa-bangsa lain di dunia.19
Sila Keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan atau perwakilan. Kiai Shiddiq memberikan elaborasi
cukup fundamental dengan mengatakan, bahwa kerakyatan berarti orientasi
kepada keinginan dan kepentingan rakyat, lazim disebut dengan demokrasi
atau kedaulatan rakyat. Pengakuan dan kesadaran bahwa pada hakikatnya
yang memiliki kedaulatan (kekuasaan memerintah) adalah rakyat itu sendiri

18
Ridwan Arifin dan Lilis Eka Lestari, “PENEGAKAN DAN PERLINDUNGAN HAK ASASI
MANUSIA DI INDONESIA DALAM KONTEKS IMPLEMENTASI SILA KEMANUSIAAN
YANG ADIL DAN BERADAB,” Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) 5, no. 2 (17 November 2019):
12–25, https://doi.org/10.23887/jkh.v5i2.16497.
19
Hanafi Hanafi, “HAKEKAT NILAI PERSATUAN DALAM KONTEKS INDONESIA (Sebuah
Tinjauan Kontekstual Positif Sila Ketiga Pancasila),” Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan 3, no. 1 (16 Desember 2018): 56–63.

11
secara bersama-sama. Kedaulatan, keinginan dan kepentingan rakyat tersebut
disalurkan dengan hikmat kebijaksanaan, cara yang sebaik mungkin, yang
paling mendekati tujuan, paling bermanfaat, paling kecil resikonya, paling
memberikan kepuasan bagi rakyat sebanyak-banyaknya. Kiai Shiddiq
melanjutkan bahwa sila kerakyatan ini sesuai dengan pesan Islam, yaitu
sebagai pengejawantahan dari prinsip persamaan martabat antara sesama
manusia. Hal ini berarti tidak ada monopoli bagi satu kepada yang lainnya.20
Sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila kelima
ini merupakan muara dari sila-sila berikutnya. Inilah yang dicitacitakan
seluruh bangsa Indonesia. Keadilan sosial menurut Kiai Shiddiq, adalah
keadilan yang mengejawantah pada segala bidang kehidupan masyarakat,
berwujud kesejahteraan hidup. rohaniah dan jasmaniah. Hal ini sesuai dengan
prinsip dasar Islam, yaitu pencapaian “fi al-dunya hasanah wa fi al-akhirati
hasanah” (kebahagiaan di dunia dan di akhirat sekaligus) Kedua kebahagiaan
saling memengaruhi satu sama lain Oleh karena itu, cita-cita ideal tersebut
merupakan dambaan bagi seluruh masyarakat Indonesia.21
C. Penerimaan Pancasila Sebagai Pilihan Strategis
Termaktub dalam Anggaran Dasar Nahdlatu Ulama (ADNU) Pasal 8
ayat 2 yang berisi Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam
yang menganut faham Ahlusunnah waljamaah untuk terwujudnya tatanan
masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan, kesejahteraan umat, dan
demi terciptanya rahmat bagi semesta.22
Dikatakan, Sayidina Ali menulis surat perjanjian antara Nabi
Muhammad Rasulullah dengan Bani Quraish, namun diprotes oleh kaum
Quraish agar tidak menggunakan kata Rasulullah dan harus diganti dengan
Muhammad bin Abdullah. Nabi pun menerima karena melihat kemaslahatan
bagi umat. "Karena dengan dihapuskannya kata Rasulullah dalam surat
20
Osbin Samosir, Laurentius Tinambunan, dan Robertus Septiandry, “KERAKYATAN YANG
DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN
PERWAKILAN: Tinjauan Filosofis Atas Demokrasi Dari Sila IV Pancasila,” Seminar Nasional
Filsafat Teologi, 3 Mei 2023, 53–63.
21
Siprianus LEMBU, “Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dan Upaya
Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia” (undergraduate, IFTK Ledalero, 2021),
http://repository.iftkledalero.ac.id/842/.
22
“Alasan NU Menerima Pancasila sebagai Asas,” nu.or.id, diakses 16 Mei 2023,
https://www.nu.or.id/daerah/alasan-nu-menerima-pancasila-sebagai-asas-bppp0.

12
perjanjian itu, lantas tidak akan merubah status nabi itu sendiri sebagai rasul
di hadapan umat maupun di hadapan Allah SWT," tegasnya.
Dari sejarah itu, ulama NU dengan keilmuan dan tujuan yang lebih
besar (kemaslahatan), akhirnya rela merubah redaksi piagam Jakarta pertama
yang berisi "Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi
pemeloek-pemeloeknja", menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Karena dengan merubah redaksi tersebut lantas tidak akan membuat
kaum muslim Indonesia untuk tidak bisa menjalankan syariat islam.
Bandingkan dengan yang sekarang terjadi di Timur Tengah yang mayoritas
menerapkan hukum syariat. "Wajar jika NU menjadi garda terdepan dalam
menjaga Pancasila dan NKRI, karena kecintaan kita terhadap tanah air sudah
dicontohkan sejak zaman nabi Ibrahim AS dan banyak dalil dalam Al-Quran
seperti Surat Al-Baqarah ayat 126 yang artinya Dan (ingatlah), ketika Ibrahim
berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan
berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di
antara mereka kepada Allah dan hari kemudian,"
NU (Nahdlatul Ulama) merupakan organisasi Islam terbesar di
Indonesia yang memiliki sejarah panjang dan peran penting dalam
perkembangan negara. Berikut adalah beberapa alasan mengapa NU
menerima Pancasila dan menganggapnya sebagai pilihan strategis:
1) Keterlibatan dalam Pembentukan Negara: NU dan tokoh-tokoh NU,
termasuk ulama-ulama NU, terlibat secara aktif dalam proses
pembentukan negara Indonesia. Pada saat sidang Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945, tokoh
NU seperti Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah dan Kiai Haji Ma'ruf
Amin turut berpartisipasi dalam menyusun dasar negara, termasuk
Pancasila. Keterlibatan aktif NU dalam proses tersebut menunjukkan
penerimaan dan pengakuan terhadap Pancasila sebagai landasan negara.23
2) Kesesuaian dengan Ajaran Agama Islam: NU menerima Pancasila karena
melihat kesesuaian antara nilai-nilai Pancasila dengan ajaran agama
Islam. NU melihat bahwa prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam
23
“Profil 9 Tokoh Nahdlatul Ulama yang Pahlawan Nasional,” diakses 16 Mei 2023,
https://news.detik.com/berita/d-4880571/profil-9-tokoh-nahdlatul-ulama-yang-pahlawan-nasional.

13
Pancasila sesuai dengan keyakinan Islam tentang keesaan Allah. Selain
itu, prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, persatuan, dan kerakyatan
yang terkandung dalam Pancasila juga sejalan dengan nilai-nilai agama
Islam. NU menganggap Pancasila sebagai landasan yang dapat
mendorong penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bermasyarakat.24
3) Pragmatisme dan Kepentingan Nasional: NU juga menerima Pancasila
sebagai pilihan strategis karena pertimbangan pragmatis dan kepentingan
nasional. Pancasila sebagai dasar negara telah diterima secara luas di
Indonesia dan menjadi pijakan penting dalam stabilitas politik dan
persatuan bangsa. Dalam menjaga keutuhan dan kestabilan negara, NU
mengambil sikap pragmatis dengan menerima Pancasila sebagai landasan
negara dan memainkan peran aktif dalam membangun masyarakat yang
berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
4) Kontribusi dalam Mewujudkan Kebebasan Beragama: NU melihat bahwa
Pancasila memberikan jaminan kebebasan beragama bagi umat Islam dan
warga negara Indonesia secara umum. Dengan menerima Pancasila, NU
dapat memperjuangkan dan melindungi hak-hak umat Islam dalam
menjalankan ibadah dan mempraktikkan ajaran agama Islam sesuai
dengan keyakinan masing-masing. Penerimaan Pancasila sebagai pilihan
strategis oleh NU memungkinkan kontribusi aktif dalam memastikan
kebebasan beragama di Indonesia.25
5) Kontribusi dalam Membangun Persatuan dan Toleransi: NU memiliki
tradisi keislaman yang inklusif dan memiliki sejarah kuat dalam
membangun persatuan dan toleransi antarumat beragama di Indonesia.
Dengan menerima Pancasila, NU dapat terus memainkan peran penting
dalam mempromosikan persatuan, menghindari konflik antaragama, serta
membangun kerukunan dan toleransi di antara umat beragama yang
berbeda.26

24
“NU Menegaskan Hubungan Pancasila dengan Islam,” nu.or.id, diakses 16 Mei 2023,
https://www.nu.or.id/fragmen/nu-menegaskan-hubungan-pancasila-dengan-islam-xxYAA.
25
Nurul Nisa dan Dinie Anggraeni Dewi, “Pancasila Sebagai Dasar Dalam Kebebasan Beragama,”
Jurnal Pendidikan Tambusai 5, no. 1 (14 April 2021): 890–96.
26
Idrus Ruslan, Kontribusi Lembaga-Lembaga Keagamaan dalam Pengembangan Toleransi
Antar Umat Beragama di Indonesia (Arjasa Pratama, 2020).

14
Dengan menerima Pancasila sebagai pilihan strategis, NU berkontribusi
dalam membangun negara yang berdasarkan nilai-nilai persatuan, keadilan,
dan kebebasan beragama, serta memainkan peran penting dalam memelihara
stabilitas politik dan persatuan bangsa.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
NU merupakan Organisasi islam yang terbesar di Indonesia. NU sangat
berperan dalam penerimaan pancasila dan membantu memberikan
pemahaman kepada seluruh warga negara agar tidak terjadi perdebatan yang
sangat panjang tidak kenal henti. Oleh karena itu pancasila memiliki posisi
penting sebagai ideologi Indonesia merdeka yakni sebagai pertama, pancasila
menjamin kebebasan beragama bagi setiap individu. Kedua, pancasila
mendorong sikap toleransi antarumat beragama. Ketiga, pancasila mengakui
peran agama dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Argument tentang penerimaan pancasila sangatlah banyak namun
dengn adanya pelajaran aswaja ini kami mengambil satu argument yang di
sampaikan kiyai siddiq yang sangat berjasa dalam memberikan pemahaman
sehingga salah satu organisasi yang pertama kali yang menerima adanya
pancasila yakni NU. Selain itu ada argument beliau yang sangat menakjubkan
yakni “sungguh tepat kebijaksanaan pemerintah bahwa Pancasila tidak akan
diagamakan dan agama tidak akan dipancasilakan”. Selain itu beliau juga
memaparkan sila-sila pancasila dengan jelas dan logis.
NU memilih pancasila sebagai pilihan yang strategis adalah dengan
alasan sebagai berikut. Pertama, NU dan tokoh-tokoh NU, termasuk ulama-
ulama NU, terlibat secara aktif dalam proses pembentukan negara Indonesia.
kedua, NU menerima Pancasila karena melihat kesesuaian antara nilai-nilai
Pancasila dengan ajaran agama Islam. Ketiga, NU juga menerima Pancasila
sebagai pilihan strategis karena pertimbangan pragmatis dan kepentingan
nasional. Keempat, NU melihat bahwa Pancasila memberikan jaminan
kebebasan beragama bagi umat Islam dan warga negara Indonesia secara
umum. Kelima, NU memiliki tradisi keislaman yang inklusif dan memiliki
sejarah kuat dalam membangun persatuan dan toleransi antarumat beragama
di Indonesia

16
DAFTAR PUSTAKA
Amri, Sri Rahayu. “PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA.” Voice of Midwifery 8,
no. 01 (8 Mei 2018): 760–68.
Arifin, Ridwan, dan Lilis Eka Lestari. “PENEGAKAN DAN PERLINDUNGAN HAK
ASASI MANUSIA DI INDONESIA DALAM KONTEKS IMPLEMENTASI
SILA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB.” Jurnal Komunikasi
Hukum (JKH) 5, no. 2 (17 November 2019): 12–25.
https://doi.org/10.23887/jkh.v5i2.16497.
Devi, Dwi Ananta. Toleransi Beragama. Alprin, 2020.
Hanafi, Hanafi. “HAKEKAT NILAI PERSATUAN DALAM KONTEKS INDONESIA
(Sebuah Tinjauan Kontekstual Positif Sila Ketiga Pancasila).” Jurnal Ilmiah
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 3, no. 1 (16 Desember 2018): 56–
63.
LEMBU, Siprianus. “Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dan Upaya
Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia.” Undergraduate, IFTK Ledalero, 2021.
http://repository.iftkledalero.ac.id/842/.
M.Kom, Drs Tijan, M. Si ; Drs F. A. Sugimin. Explore Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan Jilid 1 untuk SMA/MA/SMK/MAK Kelas X. Penerbit Duta, t.t.
Ni’am, Syamsun, dan Anin Nurhayati. “PEMIKIRAN KEBANGSAAN K.H. ACHMAD
SIDDIQ DAN IMPLIKASINYA DALAM MEMANTAPKAN IDIOLOGI
PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DI INDONESIA.” Akademika :
Jurnal Pemikiran Islam 23, no. 2 (19 September 2018): 239–64.
Nisa, Nurul, dan Dinie Anggraeni Dewi. “Pancasila Sebagai Dasar Dalam Kebebasan
Beragama.” Jurnal Pendidikan Tambusai 5, no. 1 (14 April 2021): 890–96.
nu.or.id. “Alasan NU Menerima Pancasila sebagai Asas.” Diakses 16 Mei 2023.
https://www.nu.or.id/daerah/alasan-nu-menerima-pancasila-sebagai-asas-bppp0.
nu.or.id. “NU Menegaskan Hubungan Pancasila dengan Islam.” Diakses 16 Mei 2023.
https://www.nu.or.id/fragmen/nu-menegaskan-hubungan-pancasila-dengan-islam-
xxYAA.
“Profil 9 Tokoh Nahdlatul Ulama yang Pahlawan Nasional.” Diakses 16 Mei 2023.
https://news.detik.com/berita/d-4880571/profil-9-tokoh-nahdlatul-ulama-yang-
pahlawan-nasional.

17
Ruslan, Idrus. Kontribusi Lembaga-Lembaga Keagamaan dalam Pengembangan
Toleransi Antar Umat Beragama di Indonesia. Arjasa Pratama, 2020.
Saleh, Zainal Abidin Amir dan Imam Anshori. Soekarno dan NU: Titik Temu
Nasionalisme. Lkis Pelangi Aksara, 2013.
Samosir, Osbin, Laurentius Tinambunan, dan Robertus Septiandry. “KERAKYATAN
YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM
PERMUSYAWARATAN PERWAKILAN: Tinjauan Filosofis Atas Demokrasi
Dari Sila IV Pancasila.” Seminar Nasional Filsafat Teologi, 3 Mei 2023, 53–63.
Sukirno, Sukirno. “Posisi Agama Dalam Konstruksi Negara Republik Indonesia
Berdasarkan Pancasila Dan UUD 1945.” Jurnal Hukum Caraka Justitia 1, no. 2
(23 Desember 2021): 96–115. https://doi.org/10.30588/jhcj.v1i2.920.
Sunanto. Pemikiran Modern Islam Indonesia. Penerbit NEM, 2022.

18

Anda mungkin juga menyukai