Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

“Pancasila Dalam Arus Sejarah Bangsa Indonesia”


Dosen pengampu :
Irfandi M.Pd

Kelompok 2 :
Andi Arisal 221230045
Karlos Kamagi 221230048
Muh. Aditia Wandi 221230028

KELAS A1
BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALOPO
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “Pancasila Dalam Arus
Sejarah Bangsa Indonesia” dapat kami selesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Selain itu kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yangtelah membantu dalam penulisan ini. Kami juga berharap dengan adanya
makalahini dapat menjadi salah satu sumber informasi.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, baik
dari segi sistematika maupun isinya. Oleh karena itu, penulis berharap agar makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin

Palopo, 21 November 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................2
DAFTAR ISI ..................................................................................................................3
BAB I .............................................................................................................................4
PENDAHULUAN ..........................................................................................................4
1. Latar Belakang ....................................................................................................4
2. Rumusan Masalah ...................................................................................................4
3. Tujuan Makalah ......................................................................................................5
BAB II ............................................................................................................................6
PEMBAHASAN .............................................................................................................6
A. Pancasila Era Pra-Kemerdekaan...........................................................................6
i. Masa Kerajaan Sriwijaya .................................................................................7
ii. Masa Kerajaan Majapahit.................................................................................9
B. Pancasila Pada Era Merdeka .............................................................................. 11
C. Pancasila Pada Era Orde Lama .......................................................................... 12
D. Pancasila Pada Orde Baru .................................................................................. 14
E. Pancasila Pada Era Reformasi ............................................................................ 21
BAB III ......................................................................................................................... 24
Kesimpulan ................................................................................................................... 24
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pancasila merupakan lima nilai dasar luhur yang ada dan
berkembang bersama dengan bangsa Indonesia sejak dahulu. Sejarah
merupakan deretan peristiwa yang saling berhubungan. Peristiwa-peristiwa
masa lampau yang berhubungan dengan kejadian masa sekarang dan
semuanya bermuara pada masa yang akan datang
Nama Pancasila diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada
tanggal 1 Juni itu. “Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan,
internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima
bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini
dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa. Namanya ialah Pancasila.
Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan
negara Indonesia, kekal dan abadi.” Usulan Soekarno diterima dengan baik
oleh semua peserta sidang. Setelah itu, tanggal 1 Juni 1945 pun diketahui
sebagai hari lahirnya pancasila
Dasar Negara merupakan alas yang menjadi pijakan dan mampu
memberikan kekuatan kepada berdirinya sebuah Negara. Negara Indonesia
dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan yaitu pancasila.
Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar Negara, merupakan sumber
kaidah hukum yang mengatur Negara Republik Indonesia, termasuk di
dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah, dan rakyat.
Pancasila sebagai dasar Negara mempunyai arti yaitu mengatur
penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensinya adalah Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum. Hal ini menempatkan
pancasila sebagai dasar Negara yang berarti melaksanakan nilai-nilai
Pancasila dalam semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh
karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-undangan di
Negara Republik Indonesia bersumber pada Pancasila.

2. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis mengidentifikasikan rumusan masalah
sebagai berikut :
a. Pancasila Pada Era Pra-Merdeka
b. Pancasila Pada Era Merdeka
c. Pancasila Pada Era Orde Lama
d. Pancasila Pada Orde Baru
e. Pancasila Pada Era Reformasi
3. Tujuan Makalah
 Menjelaskan Pancasila Era Pra-Kemerdekaan
 Menjelaskan Pancasila Era Kemerdekaan
 Menjelaskan Pancasila Era Orde Baru
 Menjelaskan Pancasila Era Orde Lama
 Menjelaskan Pancasila Era Reformasi
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pancasila Era Pra-Kemerdekaan

Asal mula Pancasila secara budaya, Menurut Sunoto (1964) melalui kajian
filsafat Pancasila, menyatakan bahwa unsur-unsur Pancasila berasal dari bangsa
Indonesia sendiri, walaupun secara formal Pancasila baru menjadi dasar Negara
Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, namun jauh sebelum tanggal
tersebut bangsa Indonesia telah memiliki unsur-unsur Pancasila dan bahkan
melaksanakan di dalam kehidupan merdeka. Sejarah bangsa Indonesia memberikan
bukti yang dapat kita cari dalam berbagai adat istiadat, tulisan, bahasa, kesenian,
kepercayaan, agama dan kebudayaan pada umumnya. (Sunoto, 1984: 1). Dengan
rinci Sunoto menunjukkan fakta historis, diantaranya adalah :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa : bahwa di Indonesia tidak pernah ada putus-putusnya
orang percaya kepada Tuhan.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab : bahwa bangsa Indonesia terkenal ramah
tamah, sopan santun, lemah lembut dengan sesama manusia.
3. Persatuan Indonesia : bahwa bangsa Indonesia dengan ciri-cirinya guyub, rukun,
bersatu, dan kekeluargaan.
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan : bahwa unsur-unsur demokrasi sudah ada dalam
masyarakat kita.
5. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia : bahwa bangsa Indonesia dalam
menunaikan tugas hidupnya terkenal lebih bersifat social dan berlaku adil terhadap
sesama.
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, ditetapkan pada tanggal
18 Agustus 1945 sebagai dasar negara, maka nilai-nilai kehidupan berbangsa,
bernegara dan berpemerintahan sejak saat itu haruslah berdasarkan pada Pancasila,
namun pada kenyataannya, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila telah dipraktekkan
oleh nenek moyang bangsa Indonesia dan kita praktekkan hingga sekarang. Hal ini
berarti bahwa semua nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila telah ada dalam
kehidupan rakyat Indonesia sejak zaman nenek moyang.Pada tanggal 22 Juni 1945,
Panitia Sembilan berhasil merumuskan Rancangan pembukaan Hukum Dasar, yang
oleh Mr. M. Yamin dinamakan Jakarta Charter atau Piagam Jakarta. Di dalam
rancangan pembukaan alinea keempat terdapat rumusan Pancasila yang tata
urutannya tersusun secara sistematis:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemelukpemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Selain itu, dalam piagam Jakarta pada alenia ketiga juga memuat rumusan
teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang pertama berbunyi “Atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaannya”.Kalimat ini merupakan cetusan hati nurani bangsa
Indonesia yang diungkapkan sebelum Proklamasi kemerdekaan, sehingga dapat
disebut sebagai declaration of Indonesian Independence.

Pancasila pun merupakan khasanah budaya Indonesia, karena nilai-nilai tersebut


hidup dalam sejarah Indonesia yang terdapat dalam beberapa kerajaan yang ada di
Indonesia, Menurut Mr. Muhammad Yamin berdirinya negara kebangsaan
Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan
warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia terbentuk
melalui tiga tahap yaitu: Pertama, zaman Sriwijaya di bawah Wangsa Syailendra
(600-1400). Kedua, negara kebangsaan zaman Majapahit (1293-1525). Kedua tahap
negara kebangsaan tersebut adalah negara kebangsaan lama. Ketiga, negara
kebangsaan modern yaitu negara Indonesia merdeka 17 Agustus 1945.

i. Masa Kerajaan Sriwijaya


Pada abad ke VII berdirilah kerajaan Sriwijaya dibawah kekuasaan Wangsa
Syailendra di Sumatera. Kerajaan yang berbahasa Melayu Kuno dan
huruf pallawa adalah kerajaan maritim yang mengandalkan jalur perhubungan
laut. Kekuasaan Sriwijaya menguasai Selat Sunda (686), kemudian Selat Malaka
(775). Sistem perdagangan telah diatur dengan baik, di mana pemerintah melalui
pegawai raja membentuk suatu badan yang dapat mengumpulkan hasil kerajinan
rohaniawan yang menjadi pengawas teknis pembangunan gedung-gedung dan
patung-patung suci sehingga saat itu kerajaan dapat menjalankan sistem negaranya
dengan nilai-nilai Ketuhanan.
Pada jaman Sriwijaya telah didirikan Universitas Agama Budha yang
sudah dikenal di Asia. Pelajar dari universitas ini dapat melanjutkan ke India,
banyak guru-guru tamu yang mengajar di sini dari India, seperti Dharmakitri. Cita-
cita kesejahteraan bersama dalam suatu negara telah tercermin pada kerajaan
Sriwijaya sebagai tersebut dalam perkataan “marvuat vannua Criwijaya
Siddhayatra Subhiksa” (suatu cita-cita negara yang adil dan makmur).
Unsur-unsur yang terdapat di dalam Pancasila yaitu:KeTuhanan, Kemanusiaan,
Persatuan, Tata pemerintahan atas dasar musyawarah dan Keadilan sosial telah
terdapat sebagai asas-asas yang menjiwai bangsa Indonesia, yang dihayati serta
dilaksanakan pada waktu itu, hanya saja belum dirumuskan secara konkret.
Dokumen tertulis yang membuktikan terdapatnya unsur-unsur tersebut ialah
Prasasti-prasasti di Talaga Batu, Kedukan Bukit, Karang Brahi, Talang Tuo dan
Kota Kapur.
Pada hakekatnya nilai-nilai budaya bangsa semasa kejayaan Sriwijaya telah
menunjukkan nilai-nilai Pancasila, yaitu:
(1) Nilai Sila pertama, terwujud dengan adanya umat agama Budha dan Hindu
hidup berdampingan secara damai. Pada kerajaan Sriwijaya terdapat pusat kegiatan
pembinaan dan pengembangan agama Budha.
(2) Nilai Sila Kedua, terjalinnya hubungan antara Sriwijaya dengan India (Dinasti
Harsha). Pengiriman para pemuda untuk belajar di India. Telah tumbuh nilai-nilai
politik luar negeri yang bebas dan aktif.
(3) Nilai Sila Ketiga, sebagai negara maritim, Sriwijaya telah menerapkan konsep
negara kepulauan sesuai dengan konsepsi Wawasan Nusantara.
(4) Nilai Sila Keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas,
meliputi (Indonesia sekarang) Siam, semenanjung Melayu.
(5) Nilai Sila Kelima, Sriwijaya menjadi pusat pelayanan dan perdagangan,
sehingga kehidupan rakyatnya sangat makmur.

ii. Masa Kerajaan Majapahit

Sebelum kerajaan Majapahit berdiri telah muncul kerajaan-kerajaan di Jawa


Tengah dan Jawa Timur secara silih berganti, yaitu Kerajaan Kalingga (abad ke
VII), Sanjaya (abad ke VIII), sebagai refleksi puncak budaya dari kerajaan tersebut
adalah dibangunnya Candi Borobudur (candi agama Budha pada abad ke IX)
dan Candi Prambanan (candi agama Hindu pada abad ke X).
Di Jawa Timur muncul pula kerajaan-kerajaan, yaituIsana (abad ke
IX), Dharmawangsa (abad ke X),Airlangga (abad ke XI). Agama yang diakui
kerajaan adalah agama Budha, agama Wisnu dan agama Syiwa telah hidup
berdampingan secara damai. Nilai-nilai kemanusiaan telah tercermin dalam
kerajaan ini, terbukti menurut prasasti Kelagen bahwa Raja Airlangga telah
mengadakan hubungan dagang dan bekerja sama dengan Benggala, Chola dan
Champa. Sebagai nilai-nilai sila keempat telah terwujud yaitu dengan diangkatnya
Airlangga sebagai raja melalui musyawarah antara pengikut Airlangga dengan
rakyat dan kaum Brahmana. Sedangkan nilai-nilai keadilan sosial terwujud pada
saat Raja Airlangga memerintahkan untuk membuat tanggul dan waduk demi
kesejahteraan pertanian rakyat.
Pada abad ke XIII berdiri kerajaan Singasari di Kediri Jawa Timur yang ada
hubungannya dengan berdirinya kerajaan Majapahit (1293) Jaman Keemasan
Majapahit pada pemerintahan raja Hayam Wurukdengan Mahapatih Gajah Mada.
Wilayah kekuasaan Majapahit semasa jayanya membentang dari
Semenanjung Melayu sampai ke Irian Jaya.
Pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah terbukti pada waktu agama
Hindu dan Budha hidup berdampingan secara damai, Empu Prapanca menulis
Negarakertagama (1365) yang di dalamnya telah terdapat istilah “Pancasila”. Empu
Tantular mengarang buku Sutasoma di mana dalam buku itu tedapat seloka
persatuan nasional yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
Mangrua”,artinya walaupun berbeda-beda, namun satu jua dan tidak ada agama
yang memiliki tujuan yang berbeda. Hal ini menunjukkan realitas beragama
saat itu. Seloka toleransi ini juga diterima oleh Kerajaan Pasai di Sumatera sebagai
bagian Kerajaan Majapahit yang telah memeluk agama Islam.
Sila kemanusiaan telah terwujud, yaitu hubungan Raja Hayam
Wuruk dengan baik dengan Kerajaan Tiongkok, Ayoda, Champa dan Kamboja.
Juga mengadakan persahabatan dengan negara-negara tetangga atas dasar “ Mitreka
Satata”.
Sebagai perwujudan nilai-nilai Sila Persatuan Indonesia telah terwujud
dengan keutuhan kerajaan, khususnya Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah
Mada yang diucapkannya pada Sidang Ratu dan Menteri-menteri yang berisi cita-
cita mempersatukan seluruh Nusantara Raya yang berbunyi : “Saya baru akan
berhenti berpuasa makan palapa, jika seluruh nusantara bertakluk di bawah
kekuasaan negara, jika Gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang, Dempo, Bali,
Sunda, Palembang dan Tumasik telah dikalahkan”.
Sila Kerakyatan (keempat) sebagai nilai-nilai musyawarah dan mufakat
yang dilakukan oleh sistim pemerintahan Kerajaan Majapahit. Menurut Prasasti
Brumbung (1329) dalam tata pemerintahan Kerajaan Majapahit terdapat
semacam penasehat kerajaan seperti Rakryan I Hino, I Sirikan dan I Halu yang
berarti memberikan nasehat kepada raja. Kerukunan dan gotong royong dalam
kehidupan masyarakat telah menumbuhkan adat bermusyawarah untuk mufakat
dalam memutuskan masalah bersama.
Sedangkan perwujudan sila Keadilan Sosial adalah sebagai wujud dari
berdirinya kerajaan beberapa abad yang tentunya ditopang dengan kesejahteraan
dan kemakmuran rakyatnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat kita pahami bahwa zaman Sriwijaya dan
Majapahit adalah sebagai tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam
mencapai cita-citanya.
Kesuburan Indonesia dengan hasil buminya yang melimpah, terutama rempah-
rempah yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara di luar Indonesia,
menyebabkan bangsa Asing masuk ke Indonesia. Bangsa Barat yang membutuhkan
rempah-rempah itu mulai memasuki Indonesia, yaitu Portugis, Spanyol, Inggris dan
Belanda. Kemasukan bangsa Barat seiring dengan keruntuhan Majapahit sebagai
akibat perselisihan dan perang saudara, yang berarti nilai-nilai nasionalisme sudah
ditinggalkan, walaupun abad ke XVI agama Islam berkembang dengan pesat
dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, seperti Samudra Pasai dan Demak,
nampaknya tidak mampu membendung tekanan Barat memasuki Indonesia.
Bangsa-bangsa Barat berlomba-lomba memperebutkan kemakmuran bumi
Indonesia ini. Maka sejak itu mulailah lembaran hitam sejarah Indonesia
dengan penjajahan Barat, khususnya Belanda. Masa penjajahan Belanda itu
dijadikan tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-
citanya, sebab pada jaman penjajahan ini apa yang telah dicapai oleh bangsa
Indonesia pada jaman Sriwijaya dan Majapahit menjadi hilang. Kedaulatan negara
hilang, persatuan dihancurkan, kemakmuran lenyap, wilayah dinjak-injak oleh
penjajah.

B. Pancasila Pada Era Merdeka

Dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan, Pancasila


mengalami banyak perkembangan. Sesaat setelah kemerdekaan Indonesia pada
1945, Pancasila melewati periode-periode percobaan demokrasi. Pada kala itu,
Indonesia masuk ke dalam kurun percobaan demokrasi multi-partai dengan sistem
lembaga parlementer. Partai-partai politik zaman itu tumbuh sangat subur, dan
taktik politik yang ada cenderung selalu berhasil bagian dalam mengusung kelima
sila sebagai dasar negara (Somantri, 2006). Pancasila saat masa ini mengalami masa
kejayaannya. Selanjutnya, akhir tahun 1959, Pancasila melewati era kelamnya
dimana Presiden Soekarno menerapkan sistem demokrasi terpimpin. Pada zaman
itu, presiden dalam rangka tetap memegang kendali kebijakan terhadap berbagai
kekuatan mencoba untuk memerankan politik integrasi paternalistik (Somantri,
2006). Pada akhirnya, tata ini seakan menyimpang ideal-ideal yang ada dalam
Pancasila itu sendiri, salah satunya adalah sila permusyawaratan. Kemudian, pada
1965 terjadi sebuah kejadian bersejarah di Indonesia dimana partai komunis
berusaha melakukan pemberontakan. Pada 11 Maret 1965, Presiden Soekarno
memberikan kewenangan untuk Jenderal Suharto atas Indonesia. Ini menemukan
kurun awal orde baru dimana kelak Pancasila mengalami mistifikasi. Pancasila
pada zaman itu menjadi kaku dan mutlak pemaknaannya. Pancasila pada masa
negeri presiden Soeharto kemudia menjadicore-values (Somantri, 2006), akhirnya
kembali menodai ideal-ideal dasar yang sesungguhnya tertera dalam Pancasila itu
sendiri. Pada 1998, pemerintahan presiden Suharto berhenti dan Pancasila
kemudian masuk ke dalam era baru yaitu era demokrasi (Kasbal 2017
Pada tanggal 6 Agustus 1945 bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima oleh
Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang. Sehari
kemudian BPUPKI berganti nama menjadi PPKI menegaskan keinginan dan tujuan
mencapai kemerdekaan Indonesia. Bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki yang
membuat Jepang menyerah kepada Amerika dan sekutunya. Peristiwa ini pun
dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Untuk
merealisasikan tekad tersebut, maka pada tanggal 16 Agustus 1945 terjadi
perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks
proklamasi yang berlangsung singkat, mulai pukul 02.00-04.00 dini hari. Teks
proklamasi sendiri disusun oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad
Soebardjo di ruang makan Laksamana Tadashi Maeda tepatnya di jalan Imam
Bonjol No 1. Konsepnya sendiri ditulis oleh Ir. Soekarno. Sukarni (dari golongan
muda) mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Kemudian teks
proklamasi Indonesia tersebut diketik oleh Sayuti Melik.
Isi Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan semangat
yang tertuang dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagam ini berisi garis-
garis pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fasisme serta memuat
dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari
Piagam Perjanjian San Francisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus
1945) itu ialah sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia (Yamin, 1954: 16). Piagam Jakarta ini kemudian disahkan oleh
sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945menjadi pembentukan UUD 1945,
setelah terlebih dahuludihapus 7 (tujuh) kata dari kalimat “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya”, diubah menjadi
Ketuhanan Yang Maha Esa. Awal dekade 1950-an muncul inisiatif dari sejumlah
tokoh yang hendak melakukan interpretasi ulang terhadap Pancasila. Saat itu
muncul perbedaan perspektif yang dikelompokkan dalam dua kubu. Pertama,
beberapa tokoh berusaha menempatkan Pancasila lebih dari sekedar kompromi
politik atau kontrak sosial. Mereka memandang Pancasila tidak hanya kompromi
politik melainkan sebuah filsafat sosial atau weltanschauung bangsa. Kedua,
mereka yang menempatkan Pancasila sebagai sebuah kompromi politik. Dasar
argumentasinya adalah fakta yang muncul dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI.
Pancasila pada saat itu benar-benar merupakan kompromi politik di antara
golongan nasionalis netral agama (Sidik Djojosukarto dan Sutan takdir Alisyahbana
dkk) dan nasionalis Islam (Hamka, Syaifuddin Zuhri sampai Muhammad Natsir
dkk) mengenai dasar negara.

C. Pancasila Pada Era Orde Lama

Pancasila sebagai idiologi Negara dan falsafah bangsa yang pernah dikeramatkan
dengan sebutan azimat revolusi bangsa, pudar untuk pertama kalinya pada akhir
dua dasa warsa setelah proklamasi kemerdekaan.Meredupnya sinar api pancasila
sebagai tuntunan hidup berbangsa dan bernegara bagi jutaan orang diawali oleh
kahendak seorang kepala pemerintahan yang terlalu gandrung pada persatuan dan
kesatuan. Kegandrungan tersebut diwujudkan dalam bentuk membangun
kekuasaan yang terpusat, agar dapat menjadi pemimpin bangsa yang dapat
menyelesaikan sebuah revolusi perjuangan melawan penjajah (nekolim,
neokolonialisme) serta ikut menata dunia agar bebas dari penghisapan bangsa atas
bangsa dan penghisapan manusia dengan manusia. Orde lama berlangsung dari
tahun 1959-1966. Pada masa itu berlaku demokrasi terpimpin. Setelah menetapkan
berlakunya kembali UUD 1945, Presiden Soekarno meletakkan dasar
kepemimpinannya. Yang dinamakan demokrasi terimpin yaitudemokrasi khas
Indonesia yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Demokrasi terpimpin dalam prakteknya tidak sesuai dengan makna
yang terkandung didalamnya dan bahkan terkenal menyimpang. Dimana demokrasi
dipimpin oleh kepentingan-kepentingan tertetu. Masa pemerintahan Orde Lama,
kehidupan politik dan pemerintah sering terjadi penyimpangan yang dilakukan
Presiden dan juga MPRS yang bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945.
Artinya pelaksanaan UUD1945 pada masa itu belum dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada
kekuasaan seorang presiden dan lemahnya control yang seharusnya dilakukan DPR
terhadap kebijakan-kebijakan. Selain itu, muncul pertentangan politik dan konflik
lainnya yang berkepanjangan sehingga situasi politik, keamanaan dan kehidupan
ekonomi makin memburuk puncak dari situasi tersebut adalah munculnya
pemberontakan G30S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa dan
Negara. Mengingat keadaan makin membahayakan Ir. Soekarno selaku presiden RI
memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1969
(Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya
keamanaan, ketertiban dan ketenangan serta kesetabilan jalannya pemerintah.
Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde Baru.
Era ini disebut sebagai Demokrasi terpimpin, sebuah periode paling labil dalam
struktur politik yang justru diciptakan oleh Sukarno. Pada era ini juga Sukarno
membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi, karena dituduh terlibat dalam
pemberontakan regional berideologi Islam. Dalam periode Demokrasi Terpimpin
ini, Sukarno juga mencoba membatasi kekuasaan semua partai politik, bahkan
pertengahan 1950-an, Sukarno mengusulkan agar rakyat menolak partai-partai
politik karena mereka menentang konsep musyawarah dan mufakat yang
terkandung dalam Pancasila14. Dalam rangka menyeimbangkan secara ideologis
kekuatan-kekuatan Islam, nasionalisme dan komunisme, Sukarno bukan saja
menganjurkan Pancasila melainkan juga sebuah konsep yang dikenal sebagai
NASAKOM, yang berarti persatuan antara nasionalisme, agama dan komunisme.
Kepentingankepentingan politis dan ideologis yang saling berlawanan antara PKI,
militer dan Sukarno serta agama (Islam) menimbulkan struktur politik yang sangat
labil pada awal tahun 1960-an, sampai akhirnya melahirkan Gerakan 30 S/PKI yang
berakhir pada runtuhnya kekuasaan Orde Lama.
Dalam sistem kenegaraan, maka Orde Lama bagi Bangsa Indonesia adalah masa
pencarian bentuk implementasi Pancasila. Hal ini terlihat dari pengimplementasian
Pancasila dalam bentuk yang berbeda-beda. Sejarah mencatat, ada 3 periode
implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-
1959, dan periode 1959-1966 (Syarbaini, 2003). Hal ini sangat dimungkinkan
karena kondisi tajamnya konflik ideologi, kacaunya politik dan keamanan dalam
negeri serta kondisi sosial budaya yang berada dalam suasana transisional.
Transisional dari masyarakat terjajah menjadi masyarakat merdeka. Periode 1945 –
1950 ditandai oleh upaya-upaya mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Di satu
pihak, PKI melakukan pemberontakan di Madiun Tahun 1948 dan melakukan
upaya untuk mengganti Pancasila dengan faham komunis. Di pihak lain, DI/TII
juga melakukan upaya untuk mendirikan negara dengan dasar Islam. Hal yang
menguntungkan pada periode ini adalah masih tingginya nilai persatuan dan
kesatuan ketika menghadapi Belanda yang masih ingin mempertahankan
penjajahannya di bumi Indonesia (Maryani, 2014). Nilai persatuan mendapat
tantangan yang cukup hebat setelah penjajah dapat diusir. Demokrasi yang
diterapkan adalah Demokrasi Parlementer. Presiden berfungsi sebagai Kepala
Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan. Akibatnya secara
politik, sila keempat yang mengutamakan musyawarah dan mufakat tidak dapat
dilaksanakan, tidak adanya stabilitas pemerintahan. Dengan demikian, walaupun
dasar negara yang digunakan adalah Pancasila dan konstitusi yang digunakan
adalah UUD 1945, tetapi dalam prakteknya kenegaraan sistim presidensiil tak dapat
diwujudkan. Periode 1950 -1959 Pancasila diarahkan sebagai ideologi liberal
(Taufik, 2013) . Sistem pemerintahan yang liberal lebih menekankan hak-hak
individual ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan. Walaupun dasar negara
tetap Pancasila, tetapi rumusan sila keempat bukan berjiwakan musyawarah
mufakat, melainkan suara terbanyak (vooting). Munculnya pemberontakan RMS,
PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan diri dari NKRI, membuat persatuan
dan kesatuan mendapat tantangan yang berat. Terjadi krisis politik, ekonomi, dan
keamanan, karena anggota Konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun UUD
seperti yang diharapkan. Akhirnya, pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959
untuk membubarkan Konstituante, menyatakan UUD 1950 tidak berlaku, dan
kembali kepada UUD 1945. Periode 1956-1965, merupakan masa suramnya
perjalanan Pancasila dalam sejarah Bangsa Indonesia. Periode ini juga dikenal
dengan dikenal sebagai periode Demokrasi Terpimpin (Syarbaini, 2003).
Demokrasi berada pada kekuasaan pribadi Presiden Soekarno bukan berada pada
kekuasaan rakyat. Kondisi ini memungkinkan terjadinya berbagai penyimpangan
penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi. Beberapa wujud nyata yang dilihat
dari berbagai penyimpangan tersebut adalah otoriternya Soekarno, mengangkat
Soekarno menjadi presiden seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan
Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI dan lain-
lain. Akibat penyimpangan tersebut, terjadi kemerosotan moral di sebagian
masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila, dan berusaha
untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Presiden sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi, menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme
ala Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional.
Kondisi ini bermuara pada kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan.
D. Pancasila Pada Orde Baru
Awal dari Sebuah Legitimasi Kekuasaan Peristiwa percobaan kudeta 30
September 1965 yang melibatkan Partai Komunis Indonesia telah membawa
perubahan besar dalam sejarah politik Indonesia. Peristiwa penumpasan terhadap
G 30 S/PKI dibawah komando Letjen Soeharto memberikan legitimasi politik atas
‘kesaktian’ Pancasila tanggal 1 Oktober 1965, sebagai momentum betapa PKI tidak
berhasil dan tidak pernah didukung oleh TNI dan rakyat untuk menggantikan
ideologi negara (Pancasila) dengan ideologi komunis. Tampilnya Pangkostrad
Lentjen Soeharto dalam penumpasan pemberontakan G 30 S/PKI tersebut adalah
sejarah baru bagi terjadinya peralihan kekuasaan dari Sukarno (Orde Lama) ke
Suharto (Orde Baru).
Pada awal kekuasaannya, Soeharto berusaha meyakinkan bahwa rezim baru ini
adalah pewaris sah dan konstitusional dari presiden pertama. Dari khasanah
ideologis Sukarno, pemerintah baru ini mengambil Pancasila sebagai satu-satunya
dasar negara dan karena itu merupakan resep yang paling tepat untuk melegitimasi
kekuasaannya15. Penamaan Orde Baru dimaklumkan sebagai keinginan untuk
memberikan pemahaman kepada masyarakat atas munculnya keadaan baru yang
lebih baik daripada keadaan lama. Reorientasi ekonomi, politik dan hubungan
internasional ditambah stabilitas nasional adalah langkah awal yang ditegakkan
oleh Orde Baru.
Kekuasaan awal Orde Baru sanggup memberikan doktrin baru kepada
masyarakat bahwa setiap bentuk kudeta atas pemerintahan yang sah dengan
mencoba mengganti ideologi Pancasila adalah salah dan harus ditumpas sampai ke
akar-akarnya. Tampaknya ‘propaganda’ itu berhasil, sehingga tampak jelas ketika
rentang Oktober 1965 sampai awal 1966, terjadi peristiwa kekerasan massal yang
luar biasa dasyatnya, yaitu ‘pembantaian’ orangorang yang dicurigai berafiliasi
terhadap komunis.
Instabilitas nasional di bawah Demokrasi Terpimpin serta percobaan kudeta
tersebut meyakinkan banyak pihak, bukan saja pihak militer, akan pentingnya
men’depolitisasi’ masyarakat. Koalisi Orde Baru, yang terdiri dari militer (sebagai
kekuatan dominan), kelompok pemuda-pelajar, Muslim, intelektual, demokrat, dsb,
berhasil memberi dukungan yang diperlukan untuk menggulingkan Sukarno dalam
bulan Maret 196616. Mulai saat itulah, Orde Baru menancapkan pengaruhnya
dengan menfokuskan pada Pancasila dan meletakkannya sebagai pilar ideologi
rezim. Pancasila –kemudian- menjadi suatu pembenaran ideologis untuk kelompok
yang berkuasa, tidak lagi hanya merupakan suatu platform bersama di mana semua
ideologi bisa dipertemukan. Pancasila menjadi semakin diresmikan sebagai
ideologi negara, di luar realitas Pancasila tidak sah digunakan sebagai ideologi
negara. Tampaknya keinginan awal itu berhasil menguatkan kekuasaan Orde Baru
dan memberikan jaminan stabilitas nasional yang mantap daripada Orde Lama.
Bagi Orde Baru, berbagai bentuk perdebatan mengenai ideologi negara,
utamanya antara kelompok Islam versus nasionalis, ternyata tidak semakin
membuat stabilitas nasional berjalan dengan baik, tetapi justru struktur politik labil
yang lebih mengedepan. Belajar dari tragedi sejarah Orde Lama yang ‘agak’ serba
permisif dalam memberikan ‘ruang’ bagi tumbuhnya ideologi lain, justru berkakbat
fatal bagi berlangsungnya stabilitas kekuasaan tersebut. Itulah sebabnya, Suharto
beserta tokoh penting Orde Baru seperti Adam Malik, menggambarkan betapa
pentingnya Pancasila bagi Orde Baru. Pancasila kemudian menjadi kekuatan paling
efektif untuk meminimalisasi kemungkinan munculnya kekuatan di luar negara.
Tampaknya di awal kekuasaannya, Orde Baru berhasil menyelesaikan masalah
legitimasi ideologisnya. Akhirnya tahun 1966 dan 1967, dasar-dasar negara suatu
pemerintah yang dilegitimasi oleh ideologi Pancasila mulai diletakkan. Menjelang
pertengahan 1966, MPRS17 telah berhasil membersihkan dirinya dari semua
pendukung Sukarno. Sehingga, lembaga ini semakin memperoleh legalisasi untuk
mengesahkan pengambilalihan kekuasaan oleh Letjend Soeharto, tanggal 5 Juli
1966 serta berhasil menjelaskan ‘penyelewengan-penyelewengan’ dalam
pelaksanaan Pancasila dan Konstitusi yang telah terjadi selama Orde Lama di
bawah Sukarno.
Ditetapkannya Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa
Orde Baru yang dipimpin oleh Letjen Soeharto didasarkan pada UUD dan Pancasila
dan akan melaksanakan tujuan-tujuan Revolusi. Ketetapan ini dengan tegas
mengakui keabsahan, legalitas,dan semangat revolusioner UUD dan Pancasila. Dan
yang lebih penting lagi adalah MPRS mengatakan bahwa sumber tertinggi hukum
nasional adalah ‘semangat’ Pancasila yang diakui MPRS merupakan cerminan dari
karakter nasional serta Pembukaan UUD yang di dalamnya asas-asas Pancasila
ditegaskan, itu lebih tinggi daripada Batang Tubuh UUD 194518 .
Pada ulang tahun kedua puluh ‘Lahirnya Pancasila’ tahun 1967, Persiden
Soeharto dan Adam Malik mengucapkan pidato-pidato yang menegaskan
pendasaran legitimasi Orde Baru kepada Pancasila. Pancasila dianggap
melegitimasi Orde Baru, membenarkan penurunan Sukarno, mendelegitimasi Islam
(sebagai kekuatan politik) dan komunisme, serta menjanjikan masa depan yang
lebih baik bagi semua rakyat Indonesia melalui peningkatan kemakmuran nasional.
Kedua tokoh sentral Orde Baru tersebut menolak demokrasi liberal, yang pernah
dijalankan oleh Orde Lama dengan UUD 1950-nya, karena dianggap sebagai
‘penyelewengan’ dari tujuan asli Pancasila. Menurut Orde Baru, Sukarno benar,
ketika dia menolak sistem demokrasi parlementer dan membubarkan Konstituante
serta menerapkan Demokrasi Terpimpin. Dosa terbesar Sukarno terhadap Pancasila
adalah karena ia memberi dorongan kepada PKI, yang jelas antiPancasila, karena
komunisme tidak sesuai dengan asas pertama, kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Pernyataan tegas dan sering diulang-ulang oleh kekuasaan Suharto
adalah ‘perjuangan dan keyakinan Orde Baru hanyalah untuk melaksanakan
Pancasila secara murni dan konsekuen ?’19. Pernyataan ini jelas menunjukkan
bahwa tidak boleh ada penafsiran resmi tentang Pancasila kecuali dari pemerintah
yang berkuasa
Pada kekuasaan Orde Baru inilah Pancasila benar-benar menjadi kekuatan
ideologis paling efektif dalam usahanya menancapkan ‘kuku’ kekuasaannya. Orde
Baru menjadi kekuatan yang membela secara jelas Pancasila sebagai ideologi,
sehingga setiap ancaman besar terhadap bangsa (kekuasaan), merupakan ancaman
erhadap Pancasila, dan buktinya semua bentuk pemberontakan dapat dihancurkan.
Adam Malik menunjuk pada Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 sebagai bukti
bahwa Pancasila memang merupakan suatu sumber hukum legal dan ‘moral’,
otoritas, dan legitimasi yang tertinggi di Indonesia. Pancasila –dengan demikian-
tidak bisa dilaksanakan bila terdapat unsur-unsur dalam bangsa yang tidak sesuai
dengan ‘kepribadian nasional, misalnya ‘ideologi asing’ yang menganjurkan
diadakannya partai-partai politik oposisi, seperti di Barat.
Realitas ini menjadi suatu bukti betapa dalam perkembangan politik nasional
era Orde Baru sangat sulit diperoleh kekuatan di luar negara yang berani kritis atas
negara. Disamping hanya akan diberangus sampai ke akarakarnya, gerakan oposisi
justru hanya akan menambah kekacauan dalam masyarakat. Dalam keadaan
tertentu, realitas munculnya oposisi tidak sesuai dengan Pancasila. Itulah bukti
betapa Orde Baru seolah tidak bisa dilepaskan dari Pancasila, karena bagaimanapun
Pancasila adalah titik tolak dari rezim ini. Dengan sebuah argumentasi menarik,
Adam Malik mengatakan bahwa karena itu Orde Baru memiliki suatu ‘keyakinan
yang dalam untuk mengabdi kepada rakyat dan mengabdi kepada kepentingan
nasional didasarkan pada falsafah Pancasila’.
Demikianlah awal dimana kekuasaan Orde Baru telah berhasil meyakinkan
masyarakat tentang konsistensinya dalam mempertahankan Pancasila sebagai
ideologi negara. Bahkan sanggup pula menggunakan Pancasila sebagai alat untuk
memberikan legitimasi atas kekuasaan, untuk semakin kokoh, tanpa terusik oleh
kekuatan-kekuatan lain yang merongrongnya. Orde Baru menjadi identik dengan
Pancasila, sehingga setiap usaha mengkritisinya ‘dicurigai’ sebagai usaha untuk
mengubah ideologi negara, dan itu harus ditumpas habis, tidak saja oleh aparatur
negara represif –meminjam istilah Althuser20 - seperti presiden, menteri, ABRI dan
lembaga kehakiman, tetapi juga oleh aparatur negara ideologis, seperti lembaga
keagamaan, pendidikan, media massa, dan sebagainya.
Douglas E. Ramage21 mengatakan bahwa meskipun penggabungan partai-
partai yang ‘dipaksakan’ pada tahun 1973 merupakan contoh jelas dari
ketergantungan pemerintah kepada ideologi nasional untuk menciptakan demokrasi
Pancasila dan melegitimasi tindakan-tindakannya, tetapi baru pada tahun 1978
pemerintah Orde Baru melakukan ofensif ideologi yang dimaksudkan untuk
menetapkan lebih lanjut parameter-parameter dan kendali-kendali atas wacana
politik di Indonesia. Puncaknya pada tanggal 22 Maret 1978, MPR mengesahkan
sebuah ketetapan tentang ‘Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4)’.
Ketetapan ini menjadi sangat penting karena dikaitkan dengan pedoman MPR
untuk rencana pembangunan lima tahun. Dengan P4 ini dimulailah program
indoktrinasi Pancasila secara nasional melalui program-program pendidikan
ideologi yang dilaksanakan secara ketat22 .
Selama pembahasan-pembahasan di MPR tahun 1978 mengenai rancangan
ketetatapan P4, faksi NU dalam PPP melakukan protes dengan walk out dari
Majelis. Menurut Sidney Jones23, pada saat itu NU adalah organisasi massa (Islam)
terakhir di negara Indonesia yang masih memiliki aspirasi-aspirasi politik dan
karena ini ‘dicurigai’ oleh rezim karena pada tahun 1971 menolak untuk mematuhi
pedoman-pedoman Orde Baru tentang perilaku politik dan kemudian tahun 1981,
NU menolak mendukung Soeharto untuk masa jabatan ketiga atau memberinya
gelar ‘Bapak Pembangunan’ Dengan perkataan lain, NU masih bertindak seakan-
akan sebuah partai yang independen. Perilaku seperti ini membuat NU menjadi
sasaran tuduhan ‘antiPancasila’ oleh rezim, sebagaimana dalam sebuah pidato
Presiden Soeharto tahun 1980 ketika dia menyerang walk out-nya NU dengan
tuduhan seperti itu.
Semenjak itu, Presiden Orde Baru mulai secara tegas dan keras terhadap setiap
‘kekuatan’ yang tidak mau menerima Pancasila sebagai ideologi. Tanggal 27 Maret
dan 16 April 1980, Presiden Suharto mengeluarkan peringatan tersebut melalui
pidatonya pada Rapim ABRI di Pekanbaru. Dia mengatakan bahwa sebelum Orde
Baru, Pancasila telah diancam oleh ideologi-ideologi lain, seperti Marxisme,
Leninisme, komunisme, sosialisme, nasionalisme dan agama. Setiap organisasi di
negara ini harus menerima Pancasila sebagai ideologi, sehingga merupakan
keharusan bahwa angkatan bersenjata mendukung kelompok-kelompok yang
membela dan mengikuti Pancasila. Soeharto, bahkan mengisyaratkan agar ABRI
harus mendukung partai Golkar, sebagai konsekuensi dukungan atas pemerintahan
yang membela Pancasila. ABRI –dengan demikian- harus berdiri di atas politik.
Menurut David Jenkis, Soeharto dan kroninya di ABRI merasa bahwa jika militer
‘netral’ dalam pemilu, maka partai Islam (PPP) akan mengalahkan Golkar. Dari
pidato-pidato Soeharto, Islam jelas digambarkan sebagai ancaman terhadap
Pancasila, karena itu netralitas ABRI sama saja dengan membahayakan Pancasila24
.
Dengan demikian, perjalanan panjang Orde Baru pada dasarnya didasarkan
pada keinginan untuk ‘menguatkan’ dan ‘menancapkan’ ideologi Pancasila sebagai
satu-satunya ideologi sah negara. Dengan ‘berlindung’ dibalik ideologi Pancasila,
Orde Baru yang didukung kino-kinonya (ABRI, Golkar dan Birokrasi) menjadi
kekuatan ‘luar’ biasa di negara Indonesia, tanpa dapat disentuh oleh kekuatan
manapun. Sebab, setiap kekuatan di luar mainstream ‘negara’ saat itu akan
dianggap sebagai merongrong ideologi Pancasila. Setelah ideologi komunisme
mampu ditumpas, maka Soeharto masih menganggap ada kekuatan lain yang
‘berbahaya’, yaitu yang datang dari kekuatan Islam.
Apa yang dilakukan Soeharto tersebut memperoleh kecaman dan menimbulkan
cetusan perlawanan keras dan hidupnya kembali perdebatan mengenai Pancasila.
Kelompok lima puluh yang terdiri dari para purnawirawan ABRI yang terkemuka,
mantan para pemimpin partai dan akademisi (disebut ‘Petisi 50’) menyerang
Soeharto dalam suatu pernyataan keprihatinan’ terbuka yang dikirim ke DPR.
Pernyataan itu menuduh bahwa Soeharto telah memakai ‘alasan’ ancaman terhadap
Pancasila untuk tujuantujuan politiknya sendiri. Petisi 50 menganggap bahwa
Pancasila tidak pernah dimaksudkan untuk dipakai sebagai ancaman politik
terhadap mereka yang dianggap sebagai lawan-lawan politik. Pernyataan ini
mengecam Soeharto, karena mencoba mem-personifikasi-kan Pancasila sehingga
tiap desas-desus tentang dia akan dianggap sebagai sikap anti-Pancasila25 . Reaksi
tersebut berakibat pada di back-list-nya mereka oleh pemerintah, dan banyak dari
mereka ditangkapi, dipecat dan dilarang ke luar negeri. Tapi, ikhtiar ini telah
memicu bangkitnya perlawanan atas pemerintah Orde Baru, terutama faksi NU dari
PPP.
Ditetapkannya Pancasila sebagai asas tunggal pada perkembangan selanjutnya
adalah semakin memperjelas arah kepentingan politik negara dengan menggunakan
ideologi Pancasila26. Semua organisasi, apapun bentuk dan jenisnya, harus
mencantumkan Pancasila sebagai asas dalam anggaran dasarnya. Menurut William
Liddle27 menjelaskan mengapa asas tuinggal itu demikian penting bagi Orde Baru
Era ini ditandai dengan adanya kemesraan antara pemerintahan Orde Baru
dengan kekuatan Islam, bahkan dengan didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI), bulan Desember 1990. Kemesraan tersebut seolah menandai
berakhirnya konfrontasi ideologi antara kekuatan Islam dengan Pancasila. Stabilitas
politik pada era ini telah menjamin terselenggaranya pembangunan secara bertahap
dan membaiknya pertumbuhan ekonomi masyarakat pada umumnya. Meskipun Sri
Bintang Pamungkas, tokoh PPP (saat itu) dan pengurus ICMI justru mempersoalkan
adanya penyelewengan Pancasila utamanya tentang asas keadilan sosial yang tidak
terpenuhi dalam pertumbuhan ekonomi tersebut.

a. Masa Transisi
Menurut Daulay (2007), Masa Transisi adalah rentang waktu antara Tahun 1966
– 1967. Periode ini dinamakan sebagai masa transisi karena terdapat dualisme
kepemimpinan anatar Presiden Soekarno dan Jenderal Soeharto. Soekarno masih
aktif sebagai Presiden, sedangkan Jenderal Soeharto berhasil menumpas
pemberontakan PKI dalam waktu singkat dan melaksanakan Surat Perintah 11
Maret 1966 dalam usaha-usaha stabilisasi politik dan ekonomi. Dualisme berakhir
pada saat MPRS mengeluarkan Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 di Jakarta,
20 Februari 1966 (Thohir, 2009). Sejak saat itu terjadi penyerahan kekuasaan dari
Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Tahun 1968 adalah masa konsolidasi.
Pemerintah dan DPR-GR berupaya menyelesaikan perselisihan antara kaum
pribumi dan non-pribumi, menyelesaikan masalah korupsi serta menyelesaikan
berbagai macam undang-undang yang sangat mendesak dan diperlukan. Tahun
1971, aktivitas lebih banyak dicurahkan kepada kegiatan kampanye menghadapi
pemilihan umum yang pertama pada jaman Orde Baru serta pemilihan umum yang
kedua dalam sejarah Republik Indonesia.
b. Era Orde Baru
Era Orde Baru dalam sejarah republik ini merupakan masa pemerintahan yang
terlama, dan bisa juga dikatakan sebagai masa pemerintahan yang paling stabil.
Stabil dalam artian tidak banyak gejolak yang mengemuka, layaknya keadaan
dewasa ini. Stabilitas yang diiringi dengan maraknya pembangunan di segala
bidang. Era pembangunan, era penuh kestabilan, menimbulkan romantisme dari
banyak kalangan. Diera Orde Baru, yakni stabilitas dan pembangunan, serta merta
tidak lepas dari keberadaan Pancasila. Pancasila menjadi alat bagi pemerintah untuk
semakin menancapkan kekuasaan di Indonesia. Pancasila begitu diagung-
agungkan; Pancasila begitu gencar ditanamkan nilai dan hakikatnya kepada rakyat;
dan rakyat tidak memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang mengganjal.
Menurut Hendro Muhaimin bahwa Pemerintah di era Orde Baru sendiri terkesan
“menunggangi” Pancasila, karena dianggap menggunakan dasar negara sebagai alat
politik untuk memperoleh kekuasaan. Disamping hal tersebut, penanaman nilai-
nilai Pancasila di era Orde Baru juga dibarengi dengan praktik dalam kehidupan
sosial rakyat Indonesia. Kepedulian antarwarga sangat kental, toleransi di kalangan
masyarakat cukup baik, dan budaya gotong-royong sangat dijunjung tinggi. Selain
penanaman nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari penggunaan Pancasila sebagai asas
tunggal dalam kehidupan berorganisasi, yang menyatakan bahwa semua organisasi,
apapun bentuknya, baik itu organisasi masyarakat, komunitas, perkumpulan, dan
sebagainya haruslah mengunakan Pancasila sebagai asas utamanya. Pada era Orde
Baru sebagai era “dimanis-maniskannya” Pancasila. Secara pribadi, Soeharto
sendiri seringkali menyatakan pendapatnya mengenai keberadaan Pancasila, yang
kesemuanya memberikan penilaian setinggi-tingginya terhadap Pancasila. Ketika
Soeharto memberikan pidato dalam Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, 1 Juni
1967. Soeharto mendeklarasikan Pancasila sebagai suatu force yang dikemas dalam
berbagai frase bernada angkuh, elegan, begitu superior. Dalam pidato tersebut,
Soeharto menyatakan Pancasila sebagai “tuntunan hidup”, menjadi “sumber tertib
sosial” dan “sumber tertib seluruh perikehidupan”, serta merupakan “sumber tertib
negara” dan “sumber tertib hukum”. Kepada pemuda Indonesia dalam Kongres
Pemuda tanggal 28 Oktober 1974, Soeharto menyatakan, “Pancasila janganlah
hendaknya hanya dimiliki, akan tetapi harus dipahami dan dihayati!” Dapat
dikatakan tidak ada yang lebih kuat maknanya selain Pancasila di Indonesia, pada
saat itu, dan dalam era Orde Baru
Pancasila dan UUD 1945 dipandang sebagai sesuatu yang keramat sehingga tidak boleh
diganggu gugat menurut Pemerintah Orde Baru. Pemerintah Orde Baru bertekad
untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Namun
kenyataannya, Pancasila tetap pada posisinya sebagai alat pembenar rezim
otoritarian di bawah Soeharto. Pancasila sebagai ideologi terbuka, serta UUD 1945
sebagai landasan konstitusi, penafsiran dan implementasinya berada di tangan
negara. Menurut Sulistyo (2020), Pemerintah Orde Baru tidak hanya monopoli
kekuasaan, tetapi juga memonopoli kebenaran. Bila terdapat sikap politik
masyarakat yang kritis dan berbeda dengan negara dalam prakteknya, diperlakukan
sebagai pelaku tindak kriminal atau subversif. Hal ini dapat dirasakan dari
penyeragaman pemikiran Bangsa Indonesia yang sangat plural, sehingga gagasan
mengenai pluralisme tidak mendapat tempat untuk didiskusikan secara intensif.
Puncaknya, seluruh organisasi sosial politik pada tahun 1985, digiring oleh hukum
untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Setiap warga negara yang
mengabaikan Pancasila atau setiap organisasi sosial yang menolak Pancasila
sebagai asas tunggal akan memperoleh cap sebagai pengkhianat atau penghasut.
Periode ini disebut juga demokrasi Pancasila. Pemerintah Orde Baru melakukan
pengkultusan terhadap Pancasila dengan menetapkan Hari Kesaktian Pancasila
Tanggal setiap 1 Oktober, sebagai bukti kemampuan menumpas G30S/PKI.
Pemerintah Orde Baru juga mensosialisasikan nilainilai Pancasila melalui TAP
MPR NO II/MPR/1978 tentang pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila
(p4) di sekolah dan masyarakat. Menurut Pemerintah Orde Baru diperlukan
pemahaman yang sama tentang Demokrasi Pancasila (Sulistyo, 2020). Dengan
pemahaman yang sama, diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk
dan terpelihara. Akibatnya diwajibkan melakukan penataran terhadap Siswa,
mahasiswa, organisasi sosial, dan lembaga-lembaga negara. Dengan kegiatan
tersebut, diharapkan opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap
pemerintah Orde Baru. Pancasila dipandang oleh Pemerintah Orde Baru sebagai
doktrin yang komperehensif. Pandangan ini dapat terlihat dari anggapan bahwa
ideologi sebagai sumber nilai dan norma, akibatnya harus ditangani melalui upaya
indoktrinasi secara terpusat. Menurut Sulistyo (2020), pandangan ini akan berujung
pada perfeksionisme negara. Bila ini terjadi, maka akan muncul negara
perfeksonis.. Negara perfeksionis adalah negara yang merasa tahu apa yang benar
dan apa yang salah bagi masyarakatnya. Sesuatu yang dianggap benar kalau hal
tersebut sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya sesuatu dianggap salah
kalau bertentangan dengan kehendak penguasa.

E. Pancasila Pada Era Reformasi

Kata ‘reformasi’ secara etimologis berasal dari kata reform, sedangkan secara
harfiah reformasi mempunyai pengertian suatu gerakan yang memformat ulang,
menata ulang, menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada
format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat.
Reformasi juga diartikan pembaruan dari paradigma pola lama ke paradigma pola
baru untuk menuju ke kondisi yang lebih baik sesuai dengan harapan.
Pancasila yang seharusnya sebagai nilai, dasar moral etik bagi negara dan aparat
pelaksana Negara, dalam kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi politik.
Puncak dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka
timbullah berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa,
cendekiawan dan masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya
“reformasi” di segala bidang politik, ekonomi dan hukum (Kaelan, 2000: 245).Saat
Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar Negara itu untuk
sementara waktu seolah dilupakan karena hampir selalu identik dengan rezim Orde
Baru. Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber
nilai serta kebenaran. Negara menjadi maha tahu mana yang benar dan mana yang
salah. Nilai-nilai itu selalu ditanam ke benak masyarakat melalui indoktrinasi (Ali,
2009: 50). Dengan seolah-olah “dikesampingkannya” Pancasila pada Era
Reformasi ini, pada awalnya memang tidak nampak suatu dampak negatif yang
berarti, namun semakin hari dampaknya makin terasa dan berdampak sangat fatal
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dalam kehidupan sosial,
masyarakat kehilangan kendali atas dirinya, akibatnya terjadi konflik-konflik
horisontal dan vertikal secara masif dan pada akhirnya melemahkan sendi-sendi
persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Dalam bidang budaya,
kesadaran masyarakat atas keluhuran budaya bangsa Indonesia mulai luntur, yang
pada akhirnya terjadi disorientasi kepribadian bangsa yang diikuti dengan rusaknya
moral generasi muda. Dalam bidang ekonomi, terjadi ketimpangan-ketimpangan di
berbagai sektor diperparah lagi dengan cengkeraman modal asing dalam
perekonomian Indonesia. Dalam bidang politik, terjadi disorientasi politik
kebangsaan, seluruh aktivitas politik seolah-olah hanya tertuju pada kepentingan
kelompok dan golongan. Lebih dari itu, aktivitas politik hanya sekedar merupakan
libido dominandi atas hasrat untuk berkuasa, bukannya sebagai suatu aktivitas
memperjuangkan kepentingan nasional yang pada akhirnya menimbulkan carut
marut kehidupan bernegara seperti dewasa ini (Hidayat, 2012).
Namun demikian, kesepakatan Pancasila menjadi dasar Negara Republik Indonesia
secara normatif, tercantum dalam ketetapan MPR. Ketetapan MPR Nomor
XVIII/MPR/1998 Pasal 1 menyebutkan bahwa “Pancasila sebagaimana dimaksud
dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (MD,
2011). Ketetapan ini terus dipertahankan, meskipun ketika itu Indonesia akan
menghadapi Amandeman Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia tahun 1945. Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila
pun menjadi sumber hukum yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor
III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat (3) yang menyebutkan, “Sumber hukum dasar nasional
adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang- Undang Dasar
1945”.Semakin memudarnya Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara membuat khawatir berbagai lapisan elemen masyarakat.
Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai dasar
negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara
Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap yang
sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila
menjadi kerangka berpikir atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar
negara ia sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negara hukum,
setiap perbuatan baik dari warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat harus
berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam kaitannya dalam
pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya. Artinya hukum yang akan
dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila Pancasila. Substansi
produk hukumnya tidak bertentangan dengan sila-sila pancasila.
Gerakan reformasi yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia ditandai dengan diangkatnya
Prof. Dr. B.J Habibie sebagai Presiden menggantikan Soeharto pada Tanggal 21 Mei 1998
(Amir, 2003). Gerakan reformasi merupakan gerakan moral politik yang menuntut adanya
reformasi di segala bidang terutama bidang hukum, politik, ekonomi, dan pembangunan
yang dilakukan oleh masyarakat dan dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan
masyarakat dari berbagai lapisan. Munculnya gerakan reformasi ini untuk membenahi
klimaks dari penyimpangan terhadap Pancasila yang berwujud hancurnya perekonomian
nasional (Syarbaini, 2003). Semua tindakan dan kebijakan mengatasnamakan Pancasila,
walaupun ada kenyataannya tindakan dan kebijakan tersebut sangat bertentangan dengan
Pancasila. Hal ini dilakukan mengingat Pancasila diyakini sebagai sumber nilai, dasar
moral etik bagi negara dan aparat pelaksana negara sehingga digunakan sebagai alat
legitimasi politik.
Kenyataan yang dihadapi, menunjukkan bahwa sebagian masyarakat salah dalam
memahami arti kata reformasi. Hal ini terlihat dari perusakan beberapa fasilitas umum yang
diawali oleh aksi anarkhis akibat pengajuan tuntutan yang kadang-kadang miskin dari
tela’ah potensi apalagi kajian dan solusi yang memadai (Daulay, 2007). Dengan demikian,
agar proses menjalankan reformasi sesuai dengan tujuan yang diharakan, maka masyarakat
harus tahu dan paham akan pengertian reformasi sebagai bekal yang kondusif dalam
melakukan gerakan reformasi
Reformasi dapat difahami sebagai upaya untuk mengembalikan hal-hal yang
menyimpang kepada bentuk yang sesuai dengan konstitusi dan nilai-nilai ideal yang dicita-
citakan rakyat. Dengan demikian menurut Syarbaini (2006), gerakan reformasi harus
menyatu dengan kerangka Pancasila, sehingga paradigma reformasi berwujud suatu
gerakan yang:
1) berdasarkan pada moralitas ketuhanan dan harus mengarah pada kehidupan yang baik
sebgai manusia makhluk Tuhan,
2) berlandaskan pada moral kemanusiaan sebagai upaya penataan kehidupan yang penuh
penghargaan atas harkat dan martabat manusia
3) menjamin tetap tegaknya negara dan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan,
4) seluruh penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara harus dapat menempatkan
rakyat sebagai subjek dan pemegang kedaulatan dan
5) bertujuan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, gerakan reformasi
harus memiliki visi yang jelas, yaitu demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Gerakan reformasi harus dilanjutkan karena ranah pembentukan jiwa dan
kepribadian yang diamanatkan oleh Pancasila belum menyentuh sasaran. Kondisi ini
terlihat dari semakin maraknya koruptor melakukan aktivitas dengan frekwensi yang
semakin meningkat, modus yang semakin beragam dan sasaran yang semakin bervariasi.
Kondisi lain yang terlihat bahwa pemahaman terhadap Pancasila belum utuh dan
menyeluruh sehingga ada kelompok yang ingin menafsirkan menurut pemahamannya
masing-masing dan ada pula yang mencoba membuat dikotomi Pancasila dengan Agama.
Kondisi ini tersebar pada semua lapisan masyarakat dengan variasi yang sangat beragam
termasuk segelintir enyelenggara negara. Gerakan reformasi ditandai awalnya dengan
trauma akibat penerapan Pancasila di masa Orde Baru, sehingga semua yang berbau Orde
Baru diupayakan agar tidak digunakan misalnya GBHN, sebagai Landasan Operasional
Pembangunan Nasional, penamaan Mata Kuliah Pembentuk Kepribadian di Perguruan
Tinggi yang awalnya Pendidikan Kewiraan menjadi Pendidikan Kewarganegaraan dan
sebagainya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang bersama dengan
bangsa Indonesia sejak dulu. Sejarah merupakan deretan peristiwa yang saling
berhubungan. Yang disusun berdasarkan peninggalan-peninggalan berbagai peristiwa.
Peninggalan peninggalan itu disebut sumber sejarah. Dan dengan adanya sumber historis
pancasila ini kita dapat mengetahui bagaimana asal muasal pancasila dari zaman ke
zaman. Dalam mempelajari tentang sumber historis pancasila sebagai kajian sejarah
bangsa ini kita juga dapat memperkokoh jiwa kebangsaan mahasiswa sehingga menjadi
dorongan pokok dan penunjuk jalan bagi calon pemegang estafet kepemimpinan bangsa
di berbagai bidang dan tingkatan. Pancasila sebagai dasar Negara mempunyai arti yaitu
mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensinya adalah Pancasila merupakan
sumber dari segala sumber hukum. Hal ini menempatkan pancasila sebagai dasar Negara
yang berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-
undangan di Negara Republik Indonesia bersumber pada Pancasila. Pancasila dalam
sumber historis sebagai kajian sejarah bangsa Indonesia terbagi menjadi beberapa tahap,
yaitu Pancasila era pra kemerdekaan, Pancasila era kemerdekaan, Pancasila era orde
lama, Pancasila era orde baru, dan Pancasila era reformasi. Jadi Sumber historis pancasila
sebagai kajian sejarah bangsa indonesia merupakan kejedian yang terjadi pada masa
lampau.
DAFTAR PUSTAKA

Putra Wico Mardiono,2015. Sumber historis pancasila sebagai kajian sejarah


bangsa Indonesia

Nurhaliza,2021. Konsep dan urgensi pancasila dalam arus sejarah bangsa


Indonesia

Susilawati,2021. Napak Tilas Pancasila dalam Sejarah Perjuangan Bangsa


Indonesia: Kajian Pustaka

Maharani Sartika Dewi, Dinie Anggraeni Dewi,2021. Penerapan Nilai Pancasila


Dari Arus Sejarah Perjuangan Dan Dampak Globalisasi

Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia materi,2019. Pengantar


Soal Pancasila

Anda mungkin juga menyukai