Anda di halaman 1dari 172

PENDIRIAN RUMAH IBADAT

DI INDONESIA
(Pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No. 9 dam 8 Tahun 2006)

Editor:
M. Yusuf Asry

KEMENTERIAN AGAMA RI
BADAN LITBANG DAN DIKLAT
PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN
JAKARTA, 2011

Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)


pendirian rumah ibadat di indonesia (pelaksanaan peraturan bersama
menteri agama dan menteri dalam negeri nomor 9 dan 8 tahun 2006)/
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI
Ed. I. Cet. 1. ------Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011
xxviii + 144 hlm; 15 x 21 cm

ISBN : 978-979-797-327-8
Hak Cipta pada Penerbit
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara
apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy,
tanpa izin sah dari penerbit

Cetakan Pertama, Nopember 2011

PENDIRIAN RUMAH IBADAT DI INDONESIA (Pelaksanaan


Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 dan 8 Tahun 2006)

Editor:
M. Yusuf Asry
Desain cover dan Lay out oleh:
Suka

Penerbit:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta
Telp/Fax. (021) 3920425, 3920421

ii

Kata Pengantar
Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Puji syukur kepada Allah SWT., Tuhan Yang Maha
Esa, Penerbitan Naskah Buku Kehidupan Keagamaan ini
akhirnya dapat diwujudkan. Penerbitan buku ini, merupakan
hasil kegiatan penelitian dan pengembangan Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI pada tahun 2010. Kami menghaturkan
ucapan terimakasih kepada para pakar dalam menulis prolog,
juga kepada para editor buku ini yang secara tekun telah
menyelaraskan laporan hasil penelitian menjadi sebuah buku
yang telah diterbitkan, yang hasilnya dapat dibaca oleh
masyarakat secara luas.
Pada tahun 2011 ini ditetapkan 9 (sembilan) naskah
buku untuk diterbitkan, yang meliputi judul-judul buku
sebagai berikut:
1. Dimensi-Dimensi Kehidupan Beragama: Studi tentang
Paham/Aliran Keagamaan, Dakwah dan Kerukunan,
editor: Nuhrison M. Nuh.
2. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal di Indonesia,
editor: Achmad Rosidi.
3. Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di
Indonesia, editor: Ahmad Syafii Mufid.
4. Keluarga Harmoni dalam Perspektif Berbagai Komunitas
Agama, editor: Kustini.
5. Kepuasan Jamaah Haji terhadap Kualitas Penyelenggaraan Ibadat Haji Tahun 1430 H/2009 M, editor: Imam
Syaukani.
6. Bantuan Sosial Kementerian Agama RI bagi Rumah
Ibadat dan Ormas Keagamaan, editor: Muchit A Karim.

iii

7.

8.
9.

Pendirian Rumah Ibadat di Indonesia (Pelaksanaan


Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006), editor: M. Yusuf Asry.
Potret Kerukunan Umat Beragama di Provinsi Jawa
Timur, editor: Haidlor Ali Ahmad.
Islam In A Globalized World, penulis M. Atho Mudzhar.

Untuk itu, kami menyampaikan terimakasih setinggitingginya kepada para peneliti yang telah merelakan
karyanya untuk kami terbitkan, serta kepada semua pihak
yang telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya
program penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini.
Semoga penerbitan karya-karya hasil penelitian ini dapat
memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah sosial
keagamaan, serta ikut memberikan pencerahan kepada
masyarakat secara lebih luas tentang pelbagai perkembangan
dan dinamika sosial kegamaan yang terjadi di Indonesia.
Penerbitan buku ini dapat dilakukan secara simultan dan
berkelanjutan setiap tahun, untuk memberikan cakrawala dan
wawasan kita sebagai bangsa yang memiliki khasanah
keagamaan yang amat kaya dan beragam.
Tentu saja tidak ada gading yang tak retak, sebagai
usaha manusia, penerbitan ini pun masih menyimpan
berbagai kekurangan baik tampilan dan pilihan huruf, dimana
para pembaca mungkin menemukan kejanggalan dan
kekurangserasian. Dalam pengetikan, boleh jadi juga
ditemukan berbagai kesalahan dan kekeliruan yang
mengganggu, dan berbagai kekeliruan dan kejanggalan
lainnya.Untuk itu kami mohon maaf. Tetapi yakinlah,
berbagai kekurangan dan kekhilafan itu bukan sesuatu yang
disengaja. Itu sepenuhnya disebabkan kekurangtelitian para
editor maupun tim pengetikan. Semoga berbagai kekurangan

iv

dan kelemahan teknis itu dapat dikurangi pada penerbitan


berikutnya.
Akhirnya, ucapan terimakasih kami haturkan kepada
Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
yang telah memberikan arahan demi tercapainya tujuan dan
sasaran penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini.
Jakarta, November 2011
Kepala
Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Prof. H. Abd. Rahman Masud, Ph.D


NIP. 19600416 198903 1 005

vi

Sambutan
Kepala Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI
Assalamualaikum wr. Wb.
Salam sejahtera bagi kita semua
Suatu kebijakan dan instrumen pendoman penting
dalam memelihara kerukunan uamt beragama ialah
ditetapkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan
Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah
Ibadat. Selanjutnya disebut dengan PBM Tahun 2006.
PBM tahun 2006 merupakan kesepakatan majelismajelis agama tingkat pusat yang terdiri dari Majelis Ulama
Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia
(PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Parisadha
Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Perwakilan Umat
Budha Indonesia (WALUBI) bersama wakil dari Kementerian
Agama dan Kementerian Dalam Negeri. Hasil kesepakatan
tersebut disahkan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri pada tanggal 21 Maret 2006.
Sejak disahkan PBM tersebut dan diikuti langkah
sosialisasi kepada para pejabat terkait, pemuka agama dan
tokoh masyarakat tingkat pusat hingga daerah untuk
kemudian diimplementasikan.
Hasilnya telah terbentuk
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) provinsi dan
Kabupaten/Kota. Implementasi regulasi ini sebagaimana
dipaparkan dalam hasil penelitian, sangat memberikan

vii

pengaruh yang cukup signifikan bagi terpeliharanya


kerukunan umat beragama.
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
terus mengawal implementasi PBM tersebut dengan
melakukan penelitian dan mempublikasikannya kepada
masyarakat luas melalui buku-buku. Pada tahun 200 telah
diterbitkan hasil penelitian dengan judul: Efektivitas
Sosialisasi PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Menyusul tahun
2010 juga telah diterbitkan hasil penelitian berjudul: Peranan
Forum Kerukunan Umat Beragama dalam Pelaksanaan Pasal
8, 9 dan 10 PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006. Dan pada tahun
2011 ini, diterbitkan lagi hasil penelitian berjudul: Pendirian
Rumah Ibadat di Berbagai Daerah: Pelaksanaan PBM No 9&8
Tahun 2006.
Rumah ibadat bagi tiap agama merupakan pusat
kegiatan dan kebudayaan. Oleh karena itu, keberadaan rumah
ibadat merupakan kebutuhan bagi tiap agama. Untuk menjaga
ketertiban dan kenyamanan beribadat, perlu dibuat peraturan
yang menjadi landasan pokoknya. Masalah pemeliharaan
kerukunan, keberadaan FKUB dan pendirian rumah ibadat
merupakan substansi yang dimuat dalam PBM tahun 2006
tersebut.
Buku ini mengungkapkan beberapa kasus berikut
faktor-faktor penyebab atau adanya penolakan. Kasus ini
bukan hanya menimpa suatu agama tertentu, melainkan
dialami oleh semua penganut agama. Inilah tantangan bagi
kita sebagai bangsa yang cinta damai dan rukun dalam
kebersamaan. Kita yakin, dengan berdisiplin diri mematuhi
PBM tahun 2006 disertai dengan pengamalan kearifan lokal
yang mendukung kerukunan dan semangat toleransi sosial
yang positif, niscaya pendirian rumah ibadat akan dapat
dilaksanakan dengan damai. Kasus-kasus salah paham akan
dapat diminimalisasi dan mampu diatasi dengan baik.

viii

Buku ini diharapkan menjadi buku yang informatif,


menyajikan informasi seputar pendirian rumah ibadat yang
ada pada tiap-tiap agama dengan harapan umat beragama
makin memahami betapa pentingnya sosialisasi dan
implementasi PBM Tahun 2006.
Saya menyambut baik penerbitan hasil penelitian ini
sebagai bagian upaya sosialisasi PBM Tahun 2006, secara
khusus mengenai pendirian rumah ibadat. Ucapan terima
kasih khususnya disampaikan kepada Kepala Puslitbang
Kehidupan Keagamaan dan umumnya kepada para peneliti
yang telah melaksanakan tugas dengan baik.
Semoga buku ini dapat menjadi referensi dalam
rangka memelihara kerukunan umat beragama.
Jakarta, November 2011
Kepala
Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama

Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA


NIP. 19570414 198203 1 003

ix

PROLOG
Prof. Dr. H.M. Ridwan Lubis
Dosen Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Salah satu kebijakan penting dalam bidang politik


keagamaan di Indonesia adalah keberhasilan pemerintah
bersama para wakil-wakil majelis agama menapaki jalan terjal
di tengah badai kecurigaan antara sesame umat beragama
di Indonesia pasca kegagalan pertemuan wakil-wakil majelis
agama pada tahun 1967 di awal era orde baru. Keberhasilan
itu adalah melahirklan sebuah produk aturan yang menjadi
pedoman dalam penataan kehidupan umat beragama di
Indonesia yaitu Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 disingkat PBM.
Peraturan tersebut diputuskan secara final setelah melalui
perdebatan panjang sejak tanggal 28 Oktober 2005 sampai
akhirnya ditandatangani secara bersama pada tanggal 21
Maret 2006. Tentulah kritik masih banyak dialamatkan kepada
peraturan bersama ini antara lain dipandang bahwa PBM
belum menyelesaikan persoalan mengingat posisinya hanya
sekedar peraturan menteri yang tidak ada ikatan sanksi
hukum sementara kepatuhan hanya diharapkan berdasar
pada komitmen moral dari semua kelompok agama. Akan
tetapi dengan penetapan yang termuat di dalamnya seperti
pengertian kerukunan, peranana
Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah, pengertian rumah ibadat, prinsip pendirian
rumah ibadat, kedudukan pemuka agama, penggunaan
bangunan bukan rumah ibadat sebagai tempat ibadat
sementara, tata cara penyelesaian perselisihan adalah bagianbagian penting yang berhasil diselesaikan oleh para wakil

xi

majelis agama yang terdiri dari MUI, PGI, KWI, Walubi, dan
PHDI. Persoalan terberat di dalam mengelola manajemen
keagamaan di Indonesia tertumpu pada penyiaran agama dan
pendirian
rumah
ibadat.
Penyiaran
agama
akan
bersinggungan dengan peta budaya yang sudah tertanam di
dalam benak masyarakat yaitu korelasi signifikan antara
etnisitas dengan religiositas yang disebut dalam istilah ilmu
social religious affinity. Religious affinity mengasumsikan
bertemunya dua hal yang berbeda sifat dan karakternya yaitu
etnisitas yang diperoleh melalui garis keturunan (ascribed
status) dan religiositas yang diperoleh melalui usaha sendiri
(achieved status). Persoalan kedua yang menyangkut
hubungan antar umat beragama adalah pendirian rumah
ibadat yang dipahami masyarakat memiliki muatan
kepentingan politis yaitu berpeluang merubah peta
regionalisasi agama di Indonesia. Sekalipun rumah ibadat
adalah bangunan biasa sebagaimana bangunan lainnya akan
tetapi di dalamnya memuat aspek lain yaitu asumsi politis
yang menyatakan bahwa kehadiran sebuah rumah ibadat
menjadi petunjuk adanya kelompok umat beragama yang
menggunakan bangunan rumah ibadat tersebut.
Pertanyaannya adalah apakah dengan adanya PBM
tersebut maka semua persoalan di antara umat beragama telah
selesai secara substansial ? Jawabannya tentulah belum karena
memang harus diakui terdapat persoalan yang amat besar di
dalam format rumusan hubungan di antara umat beragama di
Indonesia. Untuk memahami dua hal itu terutama faktor
pendirian rumah ibadat maka dilakukan penelitian yang
sifatnya adalah research and development yang disingkat
dengan R & D
dan kemudian diterjemahkan dengan
penelitian dan pengembangan. Penelitian dan pengembangan
menurut Prof. Dr. Sugiyono, bertujuan sebagai metode

xii

penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji keefektifan produk itu.
Dalam pandangan umum, kelitbangan adalah hanya
berkenaan dengan aspek penelitian yang berkaitan dengan
bidang studi ilmu alam, farmasi, kedokteran, teknik dan lain
sebagainya. Akan tetapi tidak ada halangan untuk
menggunakan teknik penelitian R & D ini dalam penelitian
ilmu-ilmu sosial. Memang, R & D telah banyak dilakukan
dengan tujuan sebagai ujung tombak suatu industri untuk
menghasilkan produk-produk baru yang dibutuhkan oleh
pasar (Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi,
2009:333). Penelitian model R & D atau lebih jelasnya
penelitian yang bersifat kebijakan dimulai dengan
menetapkan potensi dan masalah. Dalam kaitan penelitian
terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, maka potensi yang
terdapat didalamnya adalah bahwa peraturan ini berangkat
dari filosofi dasar bangsa Indonesia yang secara formulatif
tertuang dalam Pancasila yang kesemua silanya mengarahkan
semua warga bangsa untuk hidup rukun di dalam keimanan
masing-masing sebagai suatu pengejawantahan sikap
kemanusiaan yang adil dan beradab di dalam kerangka
persatuan seluruh bangsa Indonesia. Aktualisasi dari filosofi
kerukunan menuju persatuan bangsa tidak saja sebagai
sebuah kebenaran normatif yang bersumber dari teks ajaran
agama akan tetapi telah berkembang menjadi kebenaran
praktis di dalam tata laku kehidupan social yang disebut
dengan kearifan lokal. Di beberapa daerah, sebagaimana
penulis melakukan pengamatan dan sekaligus memperoleh
laporan bahwa terdapat beberapa rumah ibadat dari
kelompok agama yang berbeda didirikan pada letak yang
sangat berdekatan bahkan tidak jarang bertemunya atap dari
dua rumah ibadah yang berbeda.

xiii

Hal itulah yang menjadi dasar argumentasi bahwa


potensi kehidupan yang rukun itu bukan saja sebagai
kebenaran normatif akan tetapi telah menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat sehari-hari yang disebut dengan
kebenaran praktis dalam tata laku kehidupan sosial. Akan
tetapi tentunya, potensi kehidupan yang rukun itu tidaklah
terwujud dengan begfitu saja. Hal itu dapat terjadi manakala
terdapat beberapa faktor. Pertama, masyarakat memiliki
kekuatan ikatan lain yang merelatifkan kekuatan emosi
keberagamaan. Biasanya kekuatan lain yang dapat merekat
keragaman menjadi persatuan adalah manakala terdapat
kesadaran saling memiliki (sense of belonging), rasa saling
mengawasi
(sense
of
control)
dan
rasa
saling
bertanggungjawab (sense of responslibity).
Semangat keterikatan di dalam keragaman itu adalah
situasi yang dialami oleh semua warga paling tidak di dalam
tiga peristiwa kehidupan yaitu kelahiran, perkawinan dan
kematian. Semua warga mengambil peran masing-masing di
dalam menyambut peristiwa kehidupan itu di dalam suatu
ikatan kekerabatan sebagai perwujudan semangat gotong
royong yang muaranya adalah kepercayaan berketuhanan
yang Maha Esa. Pola kehidupan yang demikian pada
umumnya terjadi pada masyarakat agraris-tradisional.
Akan tetapi begitu masyarakat mengalami proses
transformasi menjadi mnasyarakat urban-moderen maka
ikatan kekerabatan menjadi surut ke belakang karena yang
menjadi acuan kemudian adalah kepentingan kelompok
ataupun pribadi. Ketika itulah potensi yang demikian ideal itu
menjadi kurang berfungsi akibat dari semakin kuatnya
desakan kepentingan kelompok atau individu itu. Dalam
kaitan itulah, potensi kemudian berubah menjadi masalah
yaitu terdapat kesenjangan yang semakin lebar antara yang
dihgarapkan dengan kenyataan di lapangan. Kedua, potensi

xiv

yang mendorong terwujudnya kerukunan memerlukan suatu


model kepemimpinan yang lahir dari kearifan masyarakat
yang disebut dengan primus interpares yaitu pemuka
masyarakat yang memperoleh pengakuan dari masyarakat
akibat dari kemampuan mereka memberikan tafsiran
terhadap berbagai kasus yang sedang dihadapi oleh
masyarakat serta juga memberikan alas pikir terhadap
hubungan kejadian di alam makro dengan alam mikro yang
kesemuanya adalah sebagai bahan perbandingan dalam
perjalanan kehidupan umat manusia. Ketokohan yang seperti
itu lahir dari figur yang memiliki kearifan yang tinggi yang
mempunyai
kemampuan
untuk
tetap
memelihara
kesinambungan (continuity) nilai-nilai positif dari masa lalu
serta menggali atau berimprovisasi dengan melakukan
perubahan (change) untuk menemukan hal-hal yang lebih
baru dan lebih positif untuk kehidupan umat manusia.
Sesungguhnya dalam pandangan penulis, implementasi PBM
tentulah tidak sepenuhnya harus mengacu kepada ketentuan
tekstual yang terdapat dalam peraturan itu akan tetapi sangat
tergantung dari kearifan pemimpin umat tingkat lokal untuk
merumuskan
kebijakan
yang
sifatnya
memelihara
kesinambungan masa lalu dan menggagas sesuatu yang lebih
baru dan lebih positif mengingat kehidupan masyarakat yang
terus menerus mengamali perubahan dari fase pra agrais,
agraris, industri dan informasi. Dalam setiap masyarakat
dimungkinkan adanya perilaku atau tindakan yang
dipandang menyimpang dari norma-norma kesepakatan
sosial. Oleh karena pemuka masyarakat lebih banyak
berbicara dari sudut pergumulan dengan masa lalu yang
disebut dengan pengalaman, maka diperlukan langkah
antisipasi untuk mendorong masyarakat hidup dalam
semangat kompetisi yang positif yang tidak dalam bentuk
garis vertikal ke atas akan tetapi garis miring yang

xv

kesemuanya menuju kepada puncak piramida. Sekalipun


pada tahapan awal kelompok masyarakat berada pada bilikbilik pengelompokan yang terpisah akibat dari adanya
berbagai perbedaan simbol namun begitu semakin menanjak
menuju puncak piramida maka perbedaan itu menjadi
semakin relatif karena setiap orang berada pada proses
pencarian nilai-nilai kebenaran. Pada tahap itulah keragaman
agama ataupun aliran paham keagamaan tidak lagi dilihat
sebagai faktor yang mempertentangkan masyarakat akan
tetapi memperoleh pemaknaan baru yatitu keindahan dari
keragaman. Ketiga, diperlukan peraturan yang memilih posisi
netral yang berfungsi untuk meramu semua kepentingan
umat yang beragam menjadi suatu tema besar yaitu
kebersamaan melalui Peraturan Bersama Menteri Agama Dan
Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006. PBM ini
dimaksudkan sebagai wadah yang mempertemukan semua
umat beragama dalam kedudukan yang setara di dalam
rumah besar yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. PBM
menjadi peluang sebagai tempat umat beragama melakukan
proses dialog dengan meminta kesediaan masing-masing
untuk memberikan sesuatu guna kepentingan bersama guna
menuju kepada kemenangan bersama (win-win solution). Sifat
dari pemberian itu tentunya adalah yang tidak berkaitan
dengan substansi ajaran agama karena hal itu sesuatu yang
sudah selesai. Bahan negosiasi adalah semua hal yang sifatnya
lebih mengacu kepada kepentingan manusiawi yang disebut
dengan kesemarakan ajaran agama. Kesemarakan ajaran itu
tentulah sesuatu yang bersifat kemanusiaan dan tidak
bersinggungan dengan substansi ajaran agama itu sendiri.
Sebagai contoh, nilai esensial dalam ajaran setiap agama
adalah terletak pada hubungan manusia dengan Tuhannya
yang teraktualisasi dalam sejumlah ritus ataupun ibadah dan
sama sekali tidak terkait secara esensial dengan bangunan

xvi

yang bersifat fisik. Atas dasar itu, bangunan sebuah rumah


ibadat agaknya dapat dipahami sebagai bagian yang tidak
termasuk hal yang esensial akan tetapi adalah merupakan
aspek manusiawi yang menjadi bagian dari upaya
kesemarakan agama. Hal itu bukan berarti bahwa umat
beragama tidak perlu mendirikan bangunan rumah ibadat.
Intinya adalah gagasan mendirikan rumah ibadat dapat
dipandang sebagai bagian dari tahapan-tahapan akhir di
dalam proses pembakuan hubungan setelah melalui proses
dialogis yang saling bersahabat di kalangan umat beragama.
Dalam kaitan itu, penulis berpandangan, langkah
penelitian yang dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan
hendaknya dapat menjawab latar belakang yang menjadi alas
pikir dari semua kasus pendirian rumah ibadat dan
selanjutnya dirumuskan suatu langkah kebijakan sebagai
prinsip umum guna persiapan mendirikan rumah ibadat
dengan membangun komunikasi, informasi dan edukasi yang
berlangsung secara efektif di kalangan masyarakat aka
rumput yang cenderung bersikap emosional apabila melihat
adanya symbol social yang berbeda sehingga membuahkan
prestasi berdirinya rumah ibadat yang bukan hanya diberi
toleransi oleh umat agama yang berbeda tetapi justru
melakukan iktibar dari kehadiran kelompok umat lain. Akan
tetapi apabila memungkin lebih jauh lagi, setiap umat
beragama dapat berkaca kepada umat lainnya tentang
bagaimana memperoleh pemaknaan terhadap esensi
kehidupan beragama. Ketika itulah umat mengalami proses
pendewasaan dalam kehidupan beragama. Umat lain yang
berbeda agama tidak dilihat sebagai saingan yang harus
dimusuhi akan tetapi mereka itu adalah saudara-saudara
sendiri juga yang ditempatkan sebagai rekan seperjalanan
(fellow travel) masing-masing menuju kepada kebenaran
yang hakiki.

xvii

Buku yang berada di tangan pembaca ini adalah


beberapa laporan penelitian digabung menjadi satu sebagai
bentuk pertanggungjawaban Badan Litbang KEmenterian
Agama kepada masyarakat yang mengungkapkan berbagai
temuan di lapangan tentang berbagai persoalan yang
berkenaan dengan implementasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
Fungsi laporan penelitian dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Menunjukkan adanya pertanggungjawaban para peneliti
kepada lembaga yang bertindak sebagai sponsor. Oleh
karena kegiatan penelitian ini adalah merupakan bagian
dari program kerja Badan Litbang Kementerian Agama
maka tentunya pertanggungjawaban peneliti itu adalah
tertuju kepada Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agama.
2. Memberikan informasi kepada peneliti lainnya tentang
pendekatan proses dan metode yang dipergunakan
3. Memberikan kesempatan kepada peneliti lainnya apabila
ingin melakukan penelitian sejenis atau untuk melakukan
uji kesahihan dari temuan peneliti (Prof. Sukardi, Ph. D,
Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan
Praktiknya, Jakarta, PT Bumi Aksara, 2011: 117).
Sebuah pekerjaan penelitian sebagaimana yang telah
dilakukan para peneliti dalam buku ini diharapkan akan
diperoleh sebuah gambaran yang menyeluruh temntang
pranata sosial yang ada dan berlaku di masyarakat yang
bersumber dari peta budaya dari masyarakat yang menjadi
obyek penelitian. Data yang diperoleh melalui observasi serta
wawancara di lapangan diharapkan merupakan deskripsi
penuh tentang keadaan sosial dari masyarakat yang diteliti.
Demikian juga laporan sebuah penelitian diharapkan dapat
memberikan gambaran atau abstraksi dari keadaan sosial
yang sebenarnya sehingga dapat menjadi rujukan atau
dilakukan uji kesahihan kembali (Bambang Rudito dan Melia

xviii

Famiola, Social Mapping, Metode Pemetaan Sosial, Teknik


Memahami Suatu Masyarakat Atau Komuniti, Bandung,
Rekayasa Sains, 2008:166-167). Sebagai sebuah penelitian
kebijakan, maka laporan penelitian yang dimuat dalam buku
ini tentunya diharapkan akan menjadi semacam executive
summary kepada para pengambil kebijakan mulai dari
pemerintah pusat sampai ke pemerintahan di daerah yang
menjadi penunjuk arah langkah kebijakan yang akan diambil.
Berbagai persoalan yang mendesak untuk dilakukan langkah
kebijakan oleh pemerintah adalah mendorong masyarakat
agar semakin meningkatkan kesadaran mereka terhadap
pemahaman kerukunan. Peran ddukatif dan persuasive ini
diharapkan dilakukan oleh organisasi0organisasi keagamaan.
Bangsa Indonesia tidak mungkin diharapkan sebagai
bangsa yang homogen oleh karena kemajemukan adalah
suatu yang tidak bisa diabaikan dan sudah melekat di dalam
diri mereka. Oleh karena itu, selayaknya dapat dibangun
suatu wawasan baru tentang kehidupan masyarakat yang
rukun. Semua kelompok umat beragama baik mondial,
agama-agama timur maupun penganut agama lokal
hendaklah melihat saudaranya yang lain sebagai rekan dialog
bukan dilihat sebagai saingan apalagi dipandang sebagai
musuh yang harus dihilangkan hak keberadaannya. Apabila
cara pandang tersebut telah dapat dibangun dengan baik
maka tentunya hal tersebut saangat menolong bagi
implemenmtasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Betapapun
harapan yang tinggi ditumpukan kepada Forum Kerukunan
Umat Beragama akan tetapi hendaknya dipahami juga bahwa
mereka adalah produk dari masyarakatnya.
Persoalan besar di dalam PBM itu memuat tiga
komponen utama yaitu peran aktif Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah untuk menyadari bahwa tugas pemeliharaan
kerukunan di daerah adalah tugas yang dipikulkan kepada

xix

mereka berdasar Undang-Undang No 32 Tahun 2004. Jadi


tegasnya, tugas pemeliharaan kerukunan di daerah bukanlah
tugas yang berkaitan dengan doktrin atau pelayanan urusan
keagamaan akan tetapi adalah tugas pemeliharaan keamanan
dan ketertiban masyarakat.
Jadi alangkah ironisnya manakala para Bupati/
Walikota berlepas tangan terhadap urusan pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat itu. Persoalan
berikutnya adalah penguatan kinerja FKUB baik dalam aspek
kelembagaan,
jaringan,
program,
pendanaan
dan
pemberdayaan masyarakat. Sementara dalam pengamatan
penulis di berbagai daerah masih begitu kurangnya perhatian
sebagian besar Kepala Daerah terhadap keberadaan FKUB.
Sementara itu kita juga tidak bisa menafikan adanya
perhatian yang optimal yang diberikan sebagian kecil kepala
daerah tertentu untuk mendukung kinerja FKUB. Persoalan
terakhir yang ingin dicakup oleh PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006
ini adalah berkenaan dengan pendirian rumah ibadat,
penggunaan bangunan sementara menjadi rumah ibadat, tata
cara penyelesaian perselisihan dan lain sebagainya.
Namun sekalipun disana sini masih terdapat
kekurangan dalam buku laporan penelitian ini akan tetapi
temuan data di lapangan yang tercakup dari laporan observasi
dan wawancara yang dilakukan oleh para peneliti
menyiratkan kepada pembaca betapa persoalan kerukunan
umat beragama ini bukan sebagai persoalan yang sederhana
akan tetapi berjalin berkelindan dengan berbagai persoalan
lain yang mengitarinya. Oleh karena itu, diperlukan
penanganan kebijakan yang komprehensif agar kesemarakan
kehidupan beragama di Indonesia tidak menciderai Indonesia
sebagai negara yang taat kepada nilai-nilai keberagamaan.
Semoga.
Jakarta, Nopember 2011

xx

PRAKATA EDITOR
Pada tahun 1960-an, muncul fenomena gangguan
kerukunan umat beragama yang disebabkan oleh penyiaran
agama yang berorientasi pada penambahan penganut untuk
menampung eks-pemberontak PKI tahun 1965, dan
pengrusakan rumah-rumah ibadat. Kondisi tersebut tidak
kondusif bagi terpeliharanya kerukunan antarumat beragama,
persatuan dan kesatuan bangsa. Pada tahun 1969 pemerintah
menerbitkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri No 01/BER/Mdn-Mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin
Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan
Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya. Selanjutnya disebut
SKB 1969. Pada waktu itu SKB tersebut menjadi acuan pokok
dalam memelihara kerukunan antarumat beragama.
Selanjutnya pada tahun 1980 diikuti pembentukan institusi
Wadah Musyawaran Antarumat Beragama (WMAUB) dengan
Keputusan Menteri Agama No 35 tanggal 30 Juni 1980. Wadah
ini merupakan forum konsultasi dan komunikasi
antarpemimpin/pemuka agama untuk membantu kerjasama
antarumat beragama dalam rangka pemeliharaan kerukunan
antarumat beragama.
Namun seiring dengan perkembangan ketatanegaraan
tentang pelaksanaan otonomi daerah dan peran WMAUB
yang terbatas, serta regulasi SKB dinilai memiliki kelemahan
dan multitafsir, maka diperlukan penyesuaian. Atas dasar
itulah pada era reformasi tepatnya tahun 2006- wakil-wakil
majelis agama yang difasilitasi oleh pemerintah berhssil
menyusun sebuah pedoman menggantikan SKB No
1/BER/Mdn-Mag/1969 pedoman dimaksud ialah Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan

xxi

8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala


Daerah/Wakil
Kepala
Daerah
dalam
Pemeliharaan
Kerukunan
Umat Beragama. Pemberdayaan
Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Pendirian Rumat
Ibadat, selanjutnya disebut PBM.
Dengan PBM ini, FKUB telah dibentuk di semua
provinsi dan hampir semua kabupaten/kota di seluruh
Indonesia. Salah satu tugas utamanya tentang pendirian
rumah ibadat. Kajian dan penelitian ini berkaitan dengan
pendirian rumah ibadat sebagai pelaksanaan PBM tahun 2006.
Pada dasarnya masalah pendirian rumah ibadat
bermuara pada dua hal. Pertama, pendirian rumah ibadat
yang diterima masyarakat dengan damai. Kedua, pendirian
rumah ibadat yang mendapat penolakan dari masyarakat.
Penolakan tersebut sering ditandai dengan aksi demonstrasi
hingga kekerasan, seperti pengrusakan dan pembakaran.
Bahkan ada yang bertahun-tahun masalahnya tidak dapat
diselesaikan, seperti rencana penggunaan tanah pemberian
pemerintah Sikka untuk Masjid Agung Maumere, Kabupaten
Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ada pula yang
penyelesaiannya dengan mencabut kembali IMB yang telah
diterbitkan seperti yang dialami Gereja Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP) di Kota Depok dan Gereja Kristen Indonesia
(GKI) Yasmin di Kota Bogor Propinsi Jawa Barat.
Kehadiran PBM diharapkan dapat menghindarkan
perselisihan seputar pendirian rumah ibadat, yang lain:
pembangunan rumah ibadat tanpa izin Mendirikan Bangunan
(IMB), penggunaan gedung atau rumah tinggal sebagai
tempat ibadat bersama secara rutin tanpa izin dan tanpa
rekomendasi dari FKUB, pembangunan rumah ibadat tanpa
izin sementara, kesulitan pendirian rumah ibadat bagi
pemeluk agama minoritas, arogansi pembangunan rumah
ibadat yang dipaksakan kalangan minoritas tanpa prosedur

xxii

sesuai PBM, manipulasi administrasi dan tanda tangan


pengguna rumah ibadat dan dukungan warga. Masalah lain
yaitu pembangunan rumah ibadat dipersoalkan oleh
masyarakat sekitar dan pencabutan IMB oleh pemerintah
daerah dan pertimbangan karena meresahkan, menimbulkan
gangguan keamanan dan ketertiban.
Kerukunan umat beragama di Indonesia merupakan
pilar kerukunan nasional. Demikian dimuat dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun
2010-2014 (Perpres No 5 Tahun 2010 Buku II, Bab II: 48).
Dalam rangka mewujudkan dan terpeliharanya
kerukunan umat beragama yang diinginkan tersebut sebagaimana dikemukakan- telah diterbitkan Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan
8 Tahun 2006, salah satu dari tiga isi pokoknya ialah pendirian
rumah ibadat.
Pengaturan rumah ibadat bukanlah intervensi negara
atau pemerintah terhadap agama, melainkan bersifat
pengadministrasian saja. Hal ini terlihat dalam PBM Bab IV
tentang Pendirian Rumah Ibadat Pasal 14, sebagai berikut:
1) Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan
administrasi dan persyaratan teknis bangunan gedung.
2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat 1, bahwa pendirian rumah ibadat harus memenuhi
persyaratan khusus meliputi:
a. Daftar nama dan Kartu Tanda Tangan Penduduk
pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan
puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat
sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 13 ayat (3).
b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60
(enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala
desa.

xxiii

c. Rekomendasi tertulis kepala Kantor Departemen


Agama (Kantor Kementerian Agama, Pen) Agama
Kabupaten/Kota dan;
d. Rekomendasi tertulis FKUB Kabupaten/Kota.
3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban
memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumahi
badatan. (Sosialisasi PBM, 2011: 49).
Pendirian rumah ibadat berarti membangun rumah
ibadat baru, termasuk yang diperbarui dalam arti lain
renovasi. Sebagaimana ketentuan yang berlaku renovasi
berarti perubahan sehingga diperlukan kembali IMB. Dengan
demikian pendirian rumah ibadat di sini dilihat pada faktor:
a) Penggunaan rumah ibadat, b) dukungan masyarakat
setempat, c) rekomendasi tertulis Kepala Kantor Kementerian
Agama Kabupaten/Kota, d) rekomendasi tertulis FKUB
Kabupaten/Kota, e) IMB rumah ibadat dari bupati/walikota
dan di luar yang lima tersebut; f) ialah masalah kepentingan.
Rumah ibadat yang dijadikan sasaran penelitian ini
meliputi kawasan Indonesia bagian barat dan Indonesia
bagian timur. Rumah ibadat di sini ialah yang didirikan atau
direnovasi menimbulkan persoalan setelah lahirnya PBM
tahun 2006 berjumlah 27 buah, yang meliputi: 4 di DKI
Jakarta, 4 di Jawa Barat, 2 di Banten, 3 di Bali, 3 di Papua
Barat, 8 di Nusa Tenggara Timur dan 2 di Sulawesi Utara.
Daeri segi agama, masing-masing 12 masjid/mushola, 10
gereja, 3 pura, dan 1 vihara.
Pendirian rumah ibadat atau renovasi sekalipun telah
dilakukan sosialisasi PBM pada kenyataannya belum
sepenuhnya menjadi acuan oleh panitia pembangunan rumah
ibadat, terkecuali di sekitar ibukota Jakarta, dan itupun pada

xxiv

gereja-gereja yang didirikan di tengah-tengah mayoritas umat


Islam.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa bukan hanya
umat Kristiani yang mengalami kesulitan mendirikan gereja di
tengah mayoritas umat Islam seperti di Sumatera dan Jawa.
Ternyata umat Islam minoritas juga mengalami kesulitan
mendirikan mushalla ataupun masjid di tengah umat
mayoritas seperti di Nusa Tenggara (Katolik), Sulawesi Utara
(Kristen), Papua Barat (Kristen) dan Bali (Hindu). Bahkan
umat Kristen minoritas pun seperti Gereja Bethel Indonesia
Rock di Kabupaten Sika juga mengalami kesulitan dalam
mendirikan rumah ibadat di tengah mayoritas Katolik. Hal ini
kiranya dapat melihat kasus di seputar pendirian rumah
ibadat yang selama ini dipublikasikan oleh media massa,
seakan hanya dialami oleh umat Kristen di tengah mayoritas
Umat Islam. Namun, ternyata berlaku juga pada umat lain
ketika pemeluknya minoritas. Inilah tantangan utama
perlunya PBM dan mendesak disosialisasikan dan
dilaksanakan dengan penuh ketulusan. Kata kuncinya
berpedoman pada PBM, menjamin kerukunan umat
beragama. PBM memberikan kepastian secara adil dan jelas
terhadap permohonan pendirian rumah ibadat.
Penolakan pendirian rumah ibadat dapat dikelompokkan dalam 3 faktor. Pertama, faktor aturan; kedua, faktor
sentimen agama; ketiga, faktor sosial politik. Dari segi aturan,
tidak mencukupi jumlah pengguna dan jumlah dukungan
warga setempat serta tidak memperoleh rekomendasi dari
Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota dan FKUB. Juga
disebabkan tidak memiliki IMB. Dari segi sentimen
keagamaan ialah ketidaksiapan atas perkembangan rumah
rumah ibadat lain, kekhawatiran atas pemurtadan (konversi
agama) dan takut persaingan antar aliran/paham keagamaan.

xxv

Sedangkan dari segi sosial ialah khawatir akan cepatnya


pertumbuhan penganut agama lain yang dapat merubah peta
komposisi pemeluk agama lain, persiangan peranan sosial dan
penguasaan ekonomi. Solusi yang ditawarkan adalah
pemerintah daerah menerbitkan Pergub/Perbub/Perwali,
sosialisasi PBM dan pendekatan antar warga beda agama
melalui komunikasi sosial-budaya.
Upaya penelitian hingga tersusunnya buku ini
melibatkan peranserta berbagai pihak. Pada kesempatan ini
kami mengucapkan terima kasih pada Kepala Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama (Prof. Dr. H. Abdul Djamil,
MA) dan Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Prof. H.
Abd. Rahman Masud, Ph.D. yang mengawali kegiatan ini
sejak dari proses penelitian hingga dapat diterbitkan tulisan
ini. Demikian pula pada seluruh anggota Tim Peneliti dan
Litkayasa.
Semoga dengan penerbitan hasil penelitian ini, para
pembaca dapat mengetahui realita permasalahan seputar
pendirian rumah ibadat. Selanjutnya diharapkan dapat
melaksanakan PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 secara
konsisten.
Jakarta, November 2011

Editor,
M. Yusuf Asry

xxvi

DAFTAR ISI
Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan
Keagamaan
___ iii
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI
___ vii
Prolog ___ xi
Prakata Editor ___ xxi
Daftar isi
___ xxvii
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang ___ 3
Permasalahan
___ 5
Tujuan dan Kegunaan ___ 5
Metode Penelitian
___ 5
Kerangka Pemikiran
___ 6
Sistematika Pembahasan ___ 8
II. PENDIRIAN RUMAH IBADAT DI BERBAGAI
DAERAH
1. Pendirian Rumah Ibadat di Jakarta Timur
Oleh: Reza Perwira
___ 11
2. Pendirian Rumah Ibadat di Kota Bekasi
Oleh: Ibnu Hasan Muchtar ___ 35
3. Pendirian Rumah Ibadat di Kabupaten Tangerang
Oleh: Titik Suwariyati ___ 67
4. Pendirian Rumah Ibadat di Kota Denpasar
Oleh: Bashori A Hakim
___ 83
5. Pendirian Rumah Ibadat di Kabupaten Minahasa Utara
Oleh: Mursyid Ali
___ 103

xxvii

6. Pendirian Rumah Ibadat di Kabupaten Sikka


Nusa Tenggara Timur
Oleh : Akmal Salim Ruhana & M.yusuf Asry ___ 111
7. Pendirian Rumah Ibadat di Kabupaten Sorong
Oleh: Haidlor Ali Ahmad
___ 119

III. PENUTUP
1. Kesimpulan ___ 137
2. Rekomendasi ____ 140

xxviii

BAB I
PENDAHULUAN

(1)

(2)

alah satu instrumen hukum yang memuat pedoman


tentang pendirian rumah ibadat ialah Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pembedayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat
(selanjutnya disingkat PBM).
Tiap agama memiliki rumah ibadat. Agama yang dipeluk
oleh penduduk Indonesia sebagaimana disebutkan dalam
Penjelasan UU No. 1 PNPS Tahun 1965, ialah: Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Pemeluk agama
mendirikan rumah ibadat. Fakta yang terjadi dalam prosesnya
selain memunculkan resepsi (penerimaan) oleh masyarakat
dengan damai, juga terdapat penolakan yang dapat
menimbulkan konflik yang dapat mengganggu kerukunan umat
beragama, ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Dalam rangka proses mewujdukan ketentraman dan
ketertiban itu, proses pendirian rumah diatur dalam Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
dan 8 Tahun 2006. Indonesia adalah bangsa yang multibudaya
(multiculture) dan multiagama (multireligious). Oleh karena itu
diperlukan pengeloaan kerukunan umat beragama secara baik
agar terpelihara persatuan bangsa sehingga pembangunan
nasional dapat mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN), dinyatakan bahwa Kerukunan umat beragama
merupakan pilar bagi kerukunan nasional (Perpres No. 5 Tahun
2010 tentang RPJMN Tahun 2010-2014, Buku II, Bab II: 48).
Hasil yang ingin diwujudkan dengan diterbitkannya PBM
tersebut ialah terpeliharanya kerukunan umat beragama. Hasil
penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Tahun 2007
mengungkapkan bahwa sosialisasi PBM tentang rumah ibadat
berpengaruh terhadap pemeliharaan kerukunan umat beragama
(3)

sebesar 17,4% dari 11 faktor keagamaan yang dapat


menyebabkan
ketidakrukunan
(Puslitbang
Kehidupan
Keagamaan, 2009:71). Namun, bukan berarti tidak ada masalah
di seputar pendirian rumah ibadat.
Masalah yang muncul di seputar rumah ibadat, antara lain:
tidak ada izin dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota,
protes terhadap pemanfaatan rumah tinggal sebagai tempat
ibadat secara rutin, penolakan pendirian rumah ibadat, pendirian
rumah ibadat tanpa rekomendasi dari FKUB, keluhan kesulitan
perdirian rumah ibadat bagi pemeluk agama minoritas, arogansi
minoritas atas pendirian rumah ibadat, manipulasi data dan
tanda tangan persyaratan pengguna dan dukungan pendirian
rumah ibadat, administrasi pemerintah yang kurang akurat,
penolakan pendirian rumah ibadat oleh masyarakat dan
pencabutan IMB oleh pemerintah daerah tertentu dengan alasan
dan pertimbangan keresahan, gangguan keagamaan dan
ketertiban masyarakat.
Pada tahun 2009, The Wahid Institute mencatat 21 kasus
penyerangan, perusakan, penggerebekan rumah, bangunan, atau
tempat ibadat, dan penolakan pendirian rumah ibadat (2010: 5).
Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) melaporkan
hasil pemantauannya terjadi 18 kasus rumah ibadat (CRCS, 2009:
28-31). Hasil pemantauan Kepolisian dalam tiga tahun terakhir
ini kasus yang menonjol terkait dengan masalah agama dan
rumah ibadat dalam bentuk pengrusakan, penyerangan dan
protes dari umat beragama lainnya sebanyak 196 kasus, dengan
perincian: tempat ibadat Kristiani 142 kasus (Gereja 59 kasus,
rumah tinggal yang dijadikan tempat ibadat 60 kasus, ruko dan
gedung lainnya 23 kasus), tempat ibadat Islam 20 kasus, Hindu 6
kasus dan tempat ibadat lainnya 2 kasus (Saleh Saaf, 2010: 4).
Dari laporan kasus tersebut sebagian besar menimpa rumah
ibadat umat Kristiani di lingkungan mayoritas umat Islam dan
Hindu. Demikian pula yang dihadapi minoritas penganut agama
tertentu di tengah-tengah mayoritas penganut agama lain, seperti
umat Islam di Nusa Tenggara Timur (Katolik), di Sulawesi Utara
(4)

(Kristen), di Sorong (Kristen) di Papua Barat, serta umat Islam,


Katolik dan Kristen di Bali (Hindu).
Keberadaan PBM diharapkan dapat mendorong terwujud
dan terpeliharanya kerukunan umat beragama dalam masyarakat
multibudaya dan multiagama ini. Dengan penelitian ini
terungkapkan informasi tentang pendirian rumah ibadat di
berbagai daerah di Indonesia sejak diberlakukannya PBM tahun
2006.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: pertama, bagaimana
pendirian rumah ibadat yang diterima dengan damai; kedua,
bagaimana pendirian rumah ibadat yang mendapat respon
penolakan; dan ketiga, bagaimana penyelesaian masalah terkait
dengan pendirian rumah ibadat.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian ini ialah mendeskripsikan pendirian
rumah ibadat yang diterima dengan damai, yang mendapat
penolakan, dan upaya penyelesaian masalah terkait dengan
pendirian rumah ibadat.
Hasil penelitian ini sangat berguna sebagai masukan bagi
pimpinan Kementerian Agama dan instansi terkait dalam
menyusun kebijakan terkait pendirian rumah ibadat di berbagai
daerah. Demikian pula diharapkan berguna bagi FKUB dalam
menangani dan merumuskan rekomendasi seputar rumah ibadat
bagi Bupati/Walikota.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu
mendeskripsikan berbagai hal seputar pendirian rumah ibadat
pada tujuh lokasi. Pemilihan lokasi dengan mempertimbangkan
(5)

kewilayahan (Indonesia Bagian Barat, Tengah, dan Timur),


jumlah penganut agama yang relatif berimbang, mayoritas
dominan salah satu agama, dan rumah ibadat yang didirikan
atau setidak-tidaknya mengalami renovasi sejak tahun 2006.
Data penelitian ini bersumber dari data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan
pejabat terkait (Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota,
Kantor Kesbangpol dan Linmas, Pemerintah Daerah) yang
bertugas dalam urusan sertifikat dan Izin Mendirikan Bangunan
(IMB), pengurus FKUB, Majelis Agama, dan pengurus rumah
ibadat. Wawancara diikuti dengan pengamatan langsung pada
rumah ibadat yang menjadi sasaran penelitian. Data sekunder
bersumber dari dokumen dan buku, baik dari kantor
pemerintahan dan rumah ibadat maupun pemuka masingmasing agama.
Tulisan ini merupakan hasil penelitian para peneliti
Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang dilaksanakan pada
Tahun 2010. Hasil penelitian dengan mengambil rumah ibadat
sebagai contoh kasus, dengan maksud memperoleh data dan
informasi yang optimal. Pada bab pendahuluan dari buku ini,
terdiri dari pembahasan, kesimpulan dan rekomendasi
dikemukakan secara umum. Sedangkan hasil hasil penelitian tiap
daerah oleh Tim Peneliti disajikan dalam bab tersendiri. Dengan
demikian diperoleh pemahaman yang komprehensif dalam
penyelesaian permasalahan yang terkait dengan pendirian
rumah ibadat.
Analisis data dilakukan melalui proses seleksi, pengolahan
dan pengelompokan data. Selanjutnya dilakukan pembahasan
dan interpretasi data, serta diambil kesimpulan dan
rekomendasi.
Kerangka Pemikiran
Keragaman suku, budaya dan agama di Indonesia
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kondisi
kerukunan umat beragama. Idealnya, kehidupan beragama
(6)

tercermin dalam sikap, perilaku dan tindakan sesuai dengan


nilai-nilai agama yang menekankan hidup yang toleran,
penghargaan atas kemajemukan, dengan prinsip setuju dalam
perbedaan (agree in disagreement). Namun akhir-akhir ini
kerukunan antarumat beragama mengalami tantangan, dan
cenderung dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memenuhi
kepentingan sesaat, seperti social, ekonomi dan politik.
Kerukunan umat beragama merupakan pilar kerukunan
nasional yang dimuat dalam RPJMN 2010 2014, yang
sebelumnya dinyatakan kerukunan umat beragama merupakan
bagian dari kerukunan nasional. Dalam upaya mewujudkan dan
terpeliharanya kerukunan umat beragama yang diinginkan,
maka diterbitkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.
Kerukunan umat beragama tidak dapat dilepaskan dari
pendirian rumah ibadat yang menjadi pusat peribadatan dan
kebudayaan dari tiap agama. Namun, dalam pembangunan
rumah ibadat dapat berlangsung secara damai karena adanya
saling pengertian. Namun bisa menimbulkan kekisruhan akibat
penolakan atas dasar berbagai kepentingan. Untuk itulah perlu
pengaturan pendirian rumah ibadat.
Pengaturan pendirian rumah ibadat bukanlah intervensi
negara atau pemerintah terhadap agama, melainkan bersifat
penertiban administrasi belaka. Jadi tidak ada pembatasan dalam
pendirian rumah ibadat. Pendirian rumah ibadat meliputi
pembangunan yang sama sekali baru, maupun renovasi setelah
berlakunya PBM Tahun 2006. Karena renovasi berarti perubahan
bangunan yang juga memerlukan Izin Mendirikan Bangunan
(IMB).
Sosialisasi PBM terus berlangsung sesuai rekomendasi
pada evaluasi pelaksanaannya tahun pertama (2007) dan tahun
kedua (2008), terus berlangsung. Namun, apakah sudah
dipahami dan dilaksanakan dalam pendirian rumah ibadat
merupakan pertanyaan yang memerlukan jawaban dari hasil
penelitian ini. Secara sistematis kerangka pemikiran tersebut
disusun sebagaimana gambar berikut:
(7)

Kerukunan Umat Beragama Merupakan Pilar Kerukunan


Nasional (RPJMN 2010-2014)

PENDIRIAN RUMAH IBADAT


(PBM NO 9 & 8 TAHUN 2006)
PEMBANGUNAN DAN RENOVASI

Penerimaan
pengguna
dukungan warga
rekomendasi
IMB

Penolakan
kepentingan
IMB

solusi pemecahan
masalah

Sistematika Pembahasan
Tulisan ini terdiri atas empat bab. Bab I Pendahuluan yang
berisi latar belakang, permasalahan, tujuan, kegunaan, metode
penelitian, kerangka pemikiran, dan sistematika pembahasan.
Bab II Hasil Penelitian berisi hasil-hasil penelitian tentang
pendirian rumah ibadat di 7 kabupaten/kota yaitu Kota Jakarta
Timur, Kota Bekasi, Kabupaten Tangerang, Kota Denpasar, dan
Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Sikka, dan Kota Sorong.
Bab III Pembahasan berisi analisis terhadap hasil
penelitian tentang pendirian rumah ibadat di 7 kabupaten/kota.
Bab IV sebagai Penutup, meliputi kesimpulan dan rekomendasi.

(8)

BAB II
PENDIRIAN RUMAH IBADAT
DI BERBAGAI DAERAH

(9)

(10)

1
Pendirian Rumah Ibadat
di Jakarta Timur
Oleh: Reza Perwira
Kondisi Geografi dan Demografi
Sebagai sebuah wilayah metropolitan, Jakarta Timur
tidak berbeda dengan kota-kota besar lain. Karakteristik yang
dimiliki antara lain penduduk yang padat, tinggi angka
pengangguran, kontradiksi pemukiman elit dengan pemukiman
kumuh, dan tingginya angka kriminalitas. Luas wilayah Jakarta
Timur yakni 187,75 km2, jika dibandingkan dengan luas wilayah
Provinsi DKI Jakarta yaitu 661,62 km2, wilayah Jakarta Timur
hanya 28,37% dari seluruh luas wilayah Provinsi DKI Jakarta.
Jakarta Timur terdiri atas 10 kecamatan dan 65 kelurahan.
Kecamatan dimaksud adalah Kecamatan Pasar Rebo, Ciracas,
Cipayung, Makasar, Kramat Jati, Jatinegara, Cakung, Duren
Sawit, Pulogadung, dan Kecamatan Matraman.
Wilayah Jakarta Timur memiliki perbatasan dengan
Jakarta Utara dan Jakarta Pusat (sebelah utara), dengan Kota
Bekasi (sebelah timur), Kabupaten Bogor (sebelah selatan), dan
Kotamadya Jakarta Selatan (sebelah barat). Sebagian wilayah
Jakarta Timur berada di dataran rendah yang letaknya tidak jauh
dari pantai.
Sesuai registrasi penduduk tahun 2006, jumlah penduduk
Kotamadya Jakarta Timur sebanyak 2.141.228 jiwa dengan
585.984 rumah tangga. Jika dibandingkan dengan luas wilayah,
maka Jakarta Timur memiliki angka kepadatan penduduk yang
(11)

cukup tinggi, yaitu 11.405 per km2. Kepadatan penduduk paling


tinggi adalah Kecamatan Matraman (39.938 km2) dan yang paling
rendah adalah Kecamatan Cipayung (4.465 km2). Jumlah
kelurahan dan penduduk pada tahun 2005 2006 adalah sebagai
berikut:
TABEL1: JUMLAH KELURAHAN DAN PENDUDUK
MENURUT KECAMATAN DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR
TAHUN 2005 - 2006

Kecamatan

Keluraha
n

Pertengahan tahun

Pertengahan tahun

2005

2006

Jml

Jml

Pasar Rebo

153.536

7,24

158.147

7,38

Ciracas

199.482

9,41

200.806

9,38

Cipayung

119.342

5,63

122.151

5,70

Makasar

174.192

8,22

177.158

8,27

Kramat Jati

202.041

9,53

204.178

9,54

Jatinegara

263.246

12,42

263.706

12,32

Duren Sawit

315.463

14,89

317.862

14,84

Cakung

218.106

10,29

224.001

10,46

Pulogadung

279.704

13,20

279.519

13,06

Matraman

194.168

9,16

193.700

9,05

Jumlah
65
2.119.280
100
2.141.228
Sumber: Peta Wilayah Kotamadya Jakarta Timur 2006

100

Komposisi jumlah pemeluk agama dan rumah ibadat di


Kota Administrasi Jakarta Timur dapat dilihat pada tabel 2 dan 3.

(12)

TABEL 2: JUMLAH PEMELUK AGAMA DI KOTA


ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR
TAHUN 2008
No

Agama

Jumlah Pemeluk

Prosentase

Islam

Kristen

1907378
125973

88,48
5,84

Katolik

93266

4,33

Hindu

12884

0,60

Buddha

16189

0,75

Khonghucu

7
Lainnya
Sumber: Data Kantor Kemenag Jakarta Timur, 2008.

Sarana tempat peribadatan untuk masing-masing agama,


sebagaimana tabel berikut :
TABEL 3: JUMLAH RUMAH IBADAT DI KOTA ADMINISTRASI
JAKARTA TIMUR PADA TAHUN 2008
No

Rumah Ibadat Agama

Jumlah Rumah Ibadat


Pasca PBM

Islam

1.068

Kristen

269

Katolik

10

Hindu

10

Buddha

Khonghucu

7
Lainnya
Sumber: Data Kantor Kemenag Jakarta Timur, 2008.

(13)

Potensi Konflik
Heterogenitas penduduk dalam memeluk agama menjadi
salah satu faktor yang mengkondisikan potensi konflik di
wilayah Jakarta Timur. Menurut hasil kajian yang dilakukan
FKUB Provinsi DKI Jakarta (2008), ada beberapa faktor yang
menyebabkan timbulnya konflik sosial keagamaan.
a. Persoalan pemahaman dan implementasi ajaran agama.
Dalam perspektif iman, pemeluk agama yang baik adalah
sosok yang senantiasa berupaya meningkatkan kualitas
keimanan dan ketaatannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bentuk ketaatan umat antara lain dapat dilakukan melalui
penyampaian kabar gembira dan ajakan kepada umat lain
untuk menerima iman dan kebenaran ajaran agamanya.
Penyampaian kabar gembira ini dalam konsep Islam disebut
dakwah dan dalam konsep Kristen disebut dengan istilah
pekabaran Injil. Dalam konteks penyampaian kabar
gembira itu, keberadaan tempat ibadat dan aktivitas umatnya
menjadi hal yang sangat urgen.
Fakta di lapangan, pemenuhan kebutuhan tempat ibadat
seringkali harus berhadapan dengan realitas umat lain yang
cenderung merasa terancam oleh kehadiran misi atau
peribadatan. Persoalan ini hampir selalu menjadi sebab
substantif dari seluruh konflik antar umat beragama di
Indonesia khususnya, antara umat Kristen dan Katolik dengan
Islam.
b. Persoalan sosio kultural yang jika ditelusuri lebih lanjut ada
tiga penyebab utama. Pertama, munculnya budaya
pragmatisme dalam memecahkan masalah menggantikan
pendekatan dialogis dan musyawarah. Pada akhir konflik
dapat menimbulkan kekerasan fisik yang melibatkan
kelompok umat beragama yang berbeda. Kedua, lemahnya
peran elit agama dalam membina dan mendialogkan
persoalan kerukunan. Akibat yang muncul kemudian adalah
kerukunan umat beragama seringkali lahir karena tuntutan
yang berasal dari pihak luar dan bukan berasal dari
(14)

penghayatan dan pemahaman ajaran agamanya. Ketiga,


semakin menjamurnya budaya verbalisme dalam dialog
antarumat beragama. Dialog yang biasanya dilakukan oleh
kelompok elit dan dimediasi oleh pemerintah tampaknya
sudah kehilangan wibawa. Dialog tidak lagi menjadi
kebutuhan dalam memahami perbedaan dan menyelesaikan
konflik, melainkan lebih berfungsi sebagai pelipur lara yang
terbungkus dalam formalistik dan terkesan birokratis.
Akibatnya, kesepakatan yang diperoleh dalam dialog itu tidak
berimbas pada kesepakatan masyarakat akar rumput.
c. Dalam hal regulasi, sebagian kelompok umat beragama
memandang bahwa segala bentuk kebijakan pemerintah
tentang kehidupan beragama dirasa hanya akan mengekang
kebebasan beragama. Padahal regulasi itu muncul karena
adanya konflik sosial yang diakibatkan oleh persepsi sepihak
kalangan umat beragama terhadap makna kebebasan
beragama. Regulasi menjadi kurang berwibawa manakala
kelompok elit dan umat beragama menganggap hal itu
sebagai bentuk pelanggaran dalam beragama. Regulasi juga
kehilangan momentum jika pemerintah tidak serius
memberikan pemahaman kepada seluruh umat beragama
perihal substansi regulasi itu sendiri.
d. Lemahnya peran pemerintah dalam memetakan potensi
konflik. Pemerintah baru bersikap dan bertindak setelah ada
gejolak, dan tidak memiliki peta konflik. Tindakan yang
diambilpun seringkali hanya bersifat reaksioner dan
pragmatis, tidak substansial. Pemerintah, dengan dukungan
birokrasi semestinya mampu memetakan kondisi masyarakat
dari aspek politik, ekonomi, etnis, dan juga agama.
Dari lapangan diperoleh beberapa hambatan yang
menjadi permasalahan dalam memberikan pelayanan kepada
umat beragama di wilayah Provinsi DKI Jakarta, antara lain:
a. Belum diterbitkannya Peraturan Gubernur sebagai tindak
lanjut PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 berkaitan dengan izin
pendirian rumah ibadat.
(15)

b. Adanya keterkejutan budaya pada masyarakat lokal terhadap


kehadiran budaya yang berbeda, termasuk kepemelukan
agama dan pendirian rumah ibadat.
c. Adanya prasangka negatif di kalangan kelompok umat yang
berbeda agama.
d. Adanya rumah ibadat baru dalam suatu wilayah pemukiman
yang sebelumnya tidak ada, merupakan suatu akibat dari
pesatnya suatu pembangunan yang menyebabkan mobilitas
penduduk ke lokasi sekitar rumah ibadat yang baru.1
Penolakan dan Dukungan
a. Masjid Nurul Jannah
Kebutuhan rumah ibadat berupa masjid diprakarsai oleh
warga di komplek Perumahan Jatinegara Indah, Blok B-3
Jatinegara Cakung Jakarta Timur. Banyak kegiatan keagamaan
warga setempat akan adanya kehadiran suatu rumah ibadat.
Maka ia dipandang perlu sebagai kebutuhan peribadatan dan
kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Rencana jamaah komplek
untuk membuat masjid dimulai dengan membuat badan hukum
(yayasan). Nama yayasan itu adalah Nurul Jannah dengan Akta
Nomor 06 Tanggal 27 April 2007 Notaris Zulafrinal Zen, SH, serta
sudah mendapat Pengesahan Akta Pendirian Yayasan dari
Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia dengan nomor:
C-2920.HT.01.02.TH 2007 tanggal 11 September 2007 dan Nomor
Pokok Wajib Pajak 02.312.981.0-004.000.2
Sebelum
dibentuk
yayasan,
beberapa
pengurus
mengusulkan agar mendatangi pihak pengembang (developer)
1FKUB

DKI Jakarta. Makalah Prosedur Perizinan Pendirian Rumah


Ibadat: Masalah dan Solusinya yang disampaikan pada Lokakarya Nasional
Penyusunan Pola Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama melalui Peran
Kelembagaan FKUB, diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI di Hotel Mirah Bogor, pada
tanggal 20 sampai dengan 22 Maret 2009.
2www.hidayatullah.com, Jelang Ramadhan, Masjid di Jatinegara Justru
Digusur,
http://www.wartaislam.com/2009/08/jelang-ramadhan-masjid-dijatinegara.html, diunduh pada tanggal 25 Maret 2010.

(16)

untuk meminta keterangan kapan dapat merealisasikan masjid


sebagai fasilitas umum di wilayah komplek tersebut.3 Namun
pihak panitia pembangunan Masjid Nurul Jannah merasa tidak
puas akan jawaban pihak pengembang. Akhirnya masyarakat
mengambil tindakan dengan membuat patok di atas tanah
kosong dengan harapan agar pihak pengembang dapat segera
merealisasikan pendirian masjid. Namun pihak pengembang
hanya menjanjikan kepada warga setempat akan segera
dibangun masjid jika beberapa kavling di komplek tersebut
sudah terjual.
Masyarakat kurang sabar menunggu janji pihak
pengembang. Seiring dengan meningkatnya aktifitas keagamaan
jamaah serta dorongan akan kebutuhan rumah ibadat, warga
mendirikan masjid darurat. Panitia pembangunan masjid Nurul
Jannah terbentuk dan dana terkumpul hingga mencapai kurang
lebih 145 juta rupiah, masjid pun mulai dibangun 2 lantai.
Bersamaan dengan itu, pihak pengembang beberapa kali
memperingatkan kepada panitia agar tidak meneruskan
pembangunannya. 4
Sejak bulan Juni 2009 masjid sudah dapat digunakan untuk
shalat berjamaah. Namun baru beberapa bulan difungsikan
dengan segala kekurangannya, pada tanggal 10 Agustus 2009
datang surat dari Walikota Jakarta Timur kepada Yayasan Nurul
Jannah yang menyebutkan, bahwa berdasarkan PERDA 7/1991
diminta agar warga membongkar masjid sendiri atau dibongkar
3Dalam catatan pengurusan tanah Masjid Nurul Jannah, PT.Cakra
Sarana Larasasri selaku developer telah mengeluarkan surat No. SP-019/Proyek
JI/Tek&Opr/VIII/2006 tertanggal 10 Agustus 2006 tentang Persetujuan Desain
Tempat Ibadah Proyek Perumahan Jatinegara Indah Pulo Jahe Jakarta Timur.
Dalam surat tersebut developer menyetujui desain dan lahan untuk
pembangunan tempat ibadah (sumber: www.hidayatullah.com, Jelang
Ramadhan,
Masjid
di
Jatinegara
Justru
Digusur,
http://www.wartaislam.com/2009/08/jelang-ramadhan-masjid-dijatinegara.html, diunduh pada tanggal 25 Maret 2010.
4Di olah dari hasil wawancara peneliti dengan salah satu mantan
pengurus yayasan Nurul Jannah yaitu Abu Fadillah pada tanggal 22 Maret 2010
Musholla komplek Jatinegara Indah.

(17)

oleh tim penertiban terpadu dari Musyawarah Pimpinan Kota


(MUSPIKO).
Peninjauan dan tatap muka terjadi antara pihak Yayasan
Nurul Jannah dan panitia pembangunan mesjid. Setelah itu
dilanjutkan peninjauan lapangan tanggal 14 Mei oleh Asisten
Kesejahteraan Masyarakat didampingi Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) Jakarta Timur, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
DKI Jakarta, Dewan Masjid Indonesia Jakarta Timur, dan instansi
terkait lainnya.5
Akhirnya pembangunan di lahan fasom/fasum tersebut
dihentikan dan sebagai konsekuensinya PD Pembangunan
Sarana Jaya membangun masjid warga Perumahan di lahan
fasos/fasum di blok tahap 4 yang memang peruntukannya
sebagai suka sarana ibadah (SSI). Bangunan tersebut
direncanakan dua lantai seluas 726 m2 yang diperkirakan selesai
April 2010. Pada tanggal 12 Agustus 2009 pembongkaran masjid
dilakukan oleh tim penertiban terpadu dari MUSPIKO.
Sesuai hasil wawancara dengan salah seorang pengurus
Yayasan Nurul Jannah (Fadillah) menyatakan bahwa sebelum
terjadinya kasus pembongkaran Masjid Nurul Jannah, disinyalir
adanya perpecahan di dalam pengurus Yayasan dan panitia
pembangunan masjid. Salah satu panitia pembangunan masjid
bersikeras untuk tetap mendirikan masjid tanpa melihat
kelengkapan administrasi pendirian masjid dan lahan yang
sudah ditentukan oleh pihak pengembang tersebut, dengan
memperhatikan di komplek tersebut mayoritas muslim. Di sisi
lain keinginan memimpin Masjid Nurul Jannah dengan
mengusung aliran/paham yang berbeda dari mainstream pada
pelaksanaan ibadah. Sedangkan jamaah yang lain berusaha
untuk membangun masjid sesuai prosedur yang ditetapkan oleh
pemerintah kota dan ketentuan pengembang.

Pemkot Jaktim Bongkar Masjid, http://www.suarapembaruan.com,


di unduh pada tanggal 23 Maret 2010.
5

(18)

b. Gereja Katolik Paroki Kalvari


Gereja Katolik Paroki Kalvari yang terletak di kelurahan
Lubang Buaya sebenarnya belum berbentuk sebuah bangunan
gereja, tetapi masih merupakan tempat ibadat sementara berupa
aula/bedeng. Hal ini dikarenakan pihak gereja belum selesai
mengurus perizinannya sejak Paroki itu diresmikan tahun 19956.
Kegiatan ibadah di wilayah Lubang Buaya dimulai pada tahun
1989 sejak didirikan sekolah Santo Markus di wilayah Lubang
Buaya yang sedianya akan dijadikan Paroki Kalvari. Kegiatan
peribadatan dilakukan di aula sekolah Santo Markus. Dalam
radius sekitar 5 km dari lokasi, terdapat 3 (tiga) buah gereja
Kristen.
Pendirian Gereja Paroki Kalvari ini dilakukan seiring
dengan makin meningkatnya jumlah umat Katolik yang berada
di daerah Pondok Gede, karena munculnya pemukiman baru
dan banyaknya umat Katolik yang bermigrasi ke daerah Pondok
Gede. Di sisi lain, umat Katolik di sekitar Pondok Gede merasa
kesulitan jika harus menuju Paroki Pusat di Cililitan karena
jaraknya yang cukup jauh. Menurut pihak gereja, jumlah umat
yang tercatat di Paroki Kalvari Lubang Buaya tahun 2009
sebanyak kurang lebih 6000 orang.
Pengajuan perizinan Gereja Paroki Kalvari ini sudah
dilakukan beberapa kali, dan telah melalui beberapa kali
pergantian kepanitiaan pembangunan gereja. Yang terakhir,
pengajuan IMB gereja Kalvari dilakukan panitia pembangunan
gereja sejak bulan Februari 2009 kepada Kelurahan Lubang
Buaya, dengan meminta pengesahan daftar pengguna dan surat
dukungan warga. Warga sekitar gereja Paroki Kalvari menolak
kehadiran gereja tersebut7, karena diindikasikan ada pemberian

6Sumber: www.kalvari.net, Persiapan Akhir di Tengah Badai,


http://www.kalvari.net/Sejarah%20Paroki%20
Kalvari/persiapan.htm,
diunduh pada tanggal 13 April 2010.
7Diolah dari wawancara dengan Lurah Lubang Buaya, Drs. Maman
Suryaman pada tanggal 8 April 2010

(19)

uang kepada warga agar bersedia memberikan tanda tangan


dukungan untuk pengajuan IMB.
Panitia Pembangunan Gereja telah menyiapkan syaratsyarat administratif berupa surat permohonan, susunan
kepanitaan pembangunan dalam bentuk proposal. Sedangkan
untuk memenuhi persyaratan teknis, pihak gereja menyewa jasa
konsultan, dengan alasan kurang memahami seluk beluk
perizinan8. Sampai laporan ini ditulis, perizinan masih dalam
proses menunggu keluarnya SIPPT (Surat Izin Penunjukan dan
Penggunaan Tanah), yang diubah dari awalnya diperuntukkan
untuk sarana Pendidikan menjadi Sarana Ibadah.
Untuk memenuhi persyaratan khusus yang disebutkan
dalam PBM No.9 & 8 Tahun 2006, Panitia Pembangunan Gereja
telah mengajukan daftar nama dan fotokopi KTP pengguna
sebanyak 160 (seratus enam puluh) orang, yang telah disahkan
oleh Lurah Lubang Buaya dan Camat Cipayung, setelah
sebelumnya dilakukan verifikasi oleh tim dari Kelurahan.
Sedangkan surat dukungan sebanyak 118 (seratus delapan belas)
orang dari warga juga telah disahkan oleh Lurah Lubang Buaya
dan Camat Cipayung, walaupun tanpa tanda tangan Ketua RT
dan Ketua RW setempat, karena warga RW12 sendiri sebagian
besar tidak setuju. Pihak kelurahan mengklaim bahwa mereka
telah melakukan verifikasi atas dukungan sebanyak 118 (seratus
delapan belas) warga, di antaranya sebanyak 60 (enam puluh)
orang adalah warga RW12. Juga dinyatakan bahwa surat
dukungan tersebut adalah benar walaupun pada saat dilakukan
verifikasi dari 60 (enam puluh) orang warga RW 12 yang
memberikan dukungan berkurang jumlahnya menjadi 57 (lima
puluh tujuh) orang dikarenakan seorang (satu) orang dan 2 (dua)
orang pindah alamat.
Menurut tokoh masyarakat RW 12, pihak gereja mencari
dukungan warga secara bergerilya ke rumah warga yang setuju

Diolah dari wawancara dengan Ketua Panitia Pembangunan Gereja,


Agung Nugroho pada tanggal 9 April 2010
8

(20)

(dan relatif miskin) dengan membagi-bagikan uang,9 sehingga


memunculkan konflik antara warga yang setuju dengan yang
tidak. Warga setempat yang tidak setuju mengajukan surat
keberatan/protes sebagai reaksi penolakan atas pengajuan
dukungan tersebut berupa surat yang ditandatangani oleh tokoh
masyarakat dan warga. Di antara isi surat itu adalah tandatangan
warga berjumlah kurang lebih 600 (enam ratus) orang. Surat itu
ditujukan kepada P2B Suku Dinas Tata Kota Jakarta Timur dan
Walikota Jakarta Timur. Tembusan surat tersebut juga
disampaikan kepada FKUB Jakarta Timur, Kanwil Kemenag
Jakarta Timur dan pihak gereja Paroki Kalvari.
Pihak FKUB Kota Jakarta Timur telah melakukan
peninjauan lokasi gereja sebanyak 2 (dua) kali, dan belum
mengadakan diskusi dengan warga untuk menyelasai
perselisihan, karena memang pihak gereja belum selesai
mengurus perizinan SIPPT. Forum diskusi akan diselenggarakan
oleh FKUB jika SIPPT gereja sudah dikeluarkan oleh Dinas P2B.
Sebelumnya, pihak kelurahan telah mengadakan
pertemuan antara warga dengan pihak gereja, tetapi belum
memperoleh titik temu. Alasan penolakan yang diajukan warga
antara lain: 1) Warga setempat (dalam satu RW) mayoritas
Muslim jadi tidak diperlukan gereja, 2) Sudah ada 3 (tiga) buah
gereja lain di RW 12, dan 3) Pihak gereja menggunakan dana
untuk mencari dukungan. Gereja mengklaim bahwa pemberian
dana bukan dalam rangka mencari dukungan, tetapi hanya
sebagai upaya toleransi kepada warga sekitar dalam
penyelenggaraan event (peristiwa) tertentu.
c. Masjid Nurul Hidayah
Masjid Nurul Hidayah pada awalnya merupakan mushola
yang kemudian diubah fungsinya menjadi masjid pada tahun
1996. Mengingat kapasitas masjid yang sudah tidak memadai
untuk menampung seluruh jemaah, pengurus masjid
Diolah dari wawancara dengan tokoh masyarakat RW 12 pada
tanggal 8 April 2010.
9

(21)

mengajukan permohonan renovasi total masjid tersebut pada


bulan November 2008. Rw. 04 Kelurahan Munjul terdiri dari 12
(dua belas) RT, dan mempunyai 2 (dua) buah masjid. Masjid
Nurul Hidayah diperuntukkan untuk masyarakat Rt.06 s.d.12.
Rencana pembangunan masjid Nurul Hidayah telah
dimusyawarahkan dengan masyarakat setempat, dan masyarakat
setempat dapat menerima rencana tersebut, karena masjid yang
ada dinilai kurang mampu menampung jemaah. Hal ini dapat
dilihat jika shalat Jumat, jemaah memenuhi jalan di sekeliling
masjid. Dukungan pendirian masjid tersebut juga datang dari
warga non-Muslim di lingkungan masjid. Ini terlihat dari surat
persetujuan/dukungan masyarakat setempat yang juga memuat
dukungan dari warga non Muslim, sebanyak 7 (tujuh) orang.
Panitia pembangunan Masjid Nurul Hidayah menyiapkan
syarat-syarat administratif untuk mengajukan permohonan IMB
renovasi total pengembangan Masjid, yaitu: surat permohonan
kepada Walikota, susunan kepanitiaan pembangunan dan
rencana anggaran. Sedangkan syarat-syarat teknis yang
disiapkan adalah sertifikat tanah, gambar bangunan dan denah
masjid. Selain itu, panitia juga menyiapkan izin persetujuan
prinsip penyesuaian rencana peruntukan tanah dari wisma
taman menjadi Sarana Ibadah untuk tanah seluas 725 m2 yang
dijadikan lokasi pembangunan masjid. Tanah wakaf yang
dijadikan lokasi masjid awalnya diperuntukkan sebagai wisma
taman. Untuk persyaratan ini, dibutuhkan waktu agak lama
karena keluarnya izin menunggu persetujuan Gubernur DKI
Jakarta. Secara umum, panitia pembangunan masjid tidak
mengalami kesulitan dalam memenuhi persyaratan, baik secara
administratif maupun teknis.
Dalam memenuhi persyaratan khusus seperti yang
disebutkan dalam Pasal 14 ayat (2) PBM No.9 & 8 Tahun 2006,
panitia pembangunan masjid juga tidak mengalami kesulitan.
Dokumen berisi daftar nama beserta fotokopi KTP jamaah
pengguna masjid berjumlah 96 (sembilan puluh enam) orang,
telah disahkan oleh Lurah Munjul dan Camat Cipayung.
(22)

Sedangkan surat dukungan warga setempat berjumlah 70 (tujuh


puluh) orang juga telah disahkan oleh Lurah Munjul dan Camat
Cipayung. Dalam surat dukungan tersebut juga memuat
persetujuan dari warga non-Muslim setempat sebanyak 7 (tujuh)
orang. Panitia Pembangunan mencari dukungan sebanyak 63
(enam puluh tiga) orang tersebut dengan cara mengumpulkan
warga setempat dalam suatu forum musyawarah dalam lingkup
RW. Masyarakat menyambut baik upaya pembangunan masjid
tersebut dan tidak ada reaksi negatif (penolakan).
Pembangunan Masjid Nurul Hidayah juga telah
mendapatkan rekomendasi dari Kepala Kantor Wilayah
Kementerian
Agama
DKI
Jakarta
yaitu
Nomor
Kw.09.06/5/KU.005/6293/2009 tanggal 24 Juni 2009 dan Ketua
FKUB DKI Jakarta Nomor 25/FKUB-DKI/VI/2009 tanggal 16 Juli
2009. Sebelum mengeluarkan rekomendasi, baik Kemenag
Jakarta Timur maupun FKUB Kota Jakarta Timur telah
melakukan peninjauan lapangan ke lokasi pembangunan Masjid
Nurul Hidayah.
Alur proses pendirian Masjid Nurul Hidayah adalah
sebagai berikut:
a. Pengajuan perubahan peruntukan tanah dari status WTM
(wisma taman) menjadi SSI (suka sarana ibadah) ke Gubernur
DKI Jakarta.
b. Pengajuan izin prinsip pembangunan ke Gubernur DKI
Jakarta.
c. Pengajuan IMB (IMB) renovasi total pengembangan dan
Pembangunan Masjid ke P2B Suku Dinas Tata Kota Jakarta
Timur
d. Pengajuan rekomendasi kepada Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Agama DKI Jakarta
e. Pengajuan rekomendasi kepada Kepala FKUB DKI Jakarta
Waktu keseluruhan yang dibutuhkan untuk mengurus IMB
hampir 1 (satu) tahun. Proses yang paling lama adalah pengajuan
perubahan peruntukan tanah dari status WTM (wisma taman)
menjadi SSI (suka sarana ibadah). Setelah izin tersebut keluar,
(23)

proses berlangsung lebih cepat yaitu sejak berkas IMB diterima di


P2B Suku Dinas Tata Kota Jakarta Timur pada tanggal 30 Juli
2009 sampai keluarnya IMB dengan Nomor 7617/IMB/2009 pada
tanggal 3 Agustus 2009.
Disebutkan di dalam IMB, bahwa IMB dikeluarkan setelah
dilakukan penilaian terhadap Surat Permohonan Izin Mendirikan
Bangunan (PIMB) Penggunaan Bangunan atas nama Masjid
Nurul Hidayah Nomor 01401/PIMB-PB/T/2009 tanggal 30 Juli
2009 dan dengan memperhatikan antara lain:
a. Rekomendasi Walikota Jakarta Timur Nomor 1953/1.856.11
tanggal 15 September 2008;
b. Surat Pernyataan Tidak Sengketa Nomor tanggal 2 April
2008;
c. Surat Persetujuan Prinsip Gubernur KDKI Jakarta Nomor
1079/1.856.11 tanggal 17 Juni 2009;
d. Surat Persetujuan Prinsip Gubernur DKI Jakarta Nomor
2827/1.711.531 tanggal 25 November 2008;
e. Sertifikat
Hak
Milik

Wakaf
Nomor
1/HMWAKAF/MUNJUL tanggal 11 November 1998;
f. KRK/RTLB Nomor 0047/GSB/JT/1/2009 tanggal 6 Februari
2009;
g. Persetujuan Teknis Nomor 82/PT/CP/IV/2009 tanggal 7
April 2009;
h. Surat Perintah Gubernur KDKI Jakarta Nomor 2828/1.711.5
tanggal 26 November 2008
Tidak ada biaya yang diperlukan bagi panitia
pembangunan masjid untuk menerbitkan IMB. Hanya inisiatif
dari Panitia untuk memberi honor bagi pihak-pihak yang
membantu perizinan.
Panitia Pembangunan Masjid masih merasakan kurang
informasi mengenai alur permohonan IMB rumah ibadah kepada
Pemerintah Daerah. Di instansi Kelurahan Munjul belum ada
informasi yang lengkap tentang hal tersebut. Panitia
diuntungkan dengan adanya anggota panitia pembangunan
masjid yang cukup memiliki pengalaman tentang seluk beluk
(24)

pengurusan IMB. Panitia juga sempat melakukan kesalahan


dalam pengajuan rekomendasi FKUB, yaitu mengajukan
langsung ke FKUB DKI Jakarta tanpa melalui FKUB Kota Jakarta
Timur.
Pendirian Masjid Nurul Hidayah berlangsung damai lebih
banyak ditunjang karena faktor toleransi dan kerukunan yang
baik di antara warga berbeda agama. Dilihat dari jumlah warga
setempat, warga muslim sangat dominan di RW 04 Kelurahan
Munjul. Penduduk pendatang kebanyakan muslim, karena ada
tradisi di warga asli setempat supaya sedapat mungkin tidak
menjual tanah kepada pendatang non-Muslim. Namun di luar
faktor itu, memang semua warga (dalam satu RW) diajak
bermusyawarah jika ada rencana yang akan menimbulkan efek
pada semua pihak, termasuk dalam hal pendirian rumah ibadat.
Faktanya, warga non-Muslim cukup antusias dalam
pembangunan masjid ini. Ini terlihat dari partisipasi mereka
memberikan bantuan, walapun hanya sebatas dana dalam jumlah
yang kecil.
Selain itu, faktor tokoh masyarakat juga berpengaruh pada
proses pembangunan yang berlangsung damai. Ketua Dewan
Masjid sendiri, Drs. Bobon Somawinata, MM, adalah tokoh yang
dihormati karena wibawa dan kemampuannya dalam
mengorganisir pembangunan masjid.
Dari wawancara dengan masyarakat setempat, diketahui
bahwa warga juga menganggap bahwa proses pendirian Masjid
ini telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Warga mengaku bahwa panitia pembangunan sedapat
mungkin memberikan informasi tentang status perizinan selama
mereka mengurus permohonan IMB.
d. Gereja Paroki Santo Gabriel
Umat Katolik di Komplek Pulo Gebang Permai pada
awalnya beribadah di gedung serba guna milik pengembang.
Mengingat semakin banyak jemaat yang beribadat dan belum
(25)

ada gereja yang layak, maka Pengurus Dewan Paroki Santo


Gabriel dan Pengurus Gereja dan Dana Papa (pihak yayasan) di
Pulo Gebang Permai Blok J6 Kota Administrasi Jakarta Timur
pada tahun 2006 berinisiatif untuk membeli gedung serba guna
untuk dimanfaatkan sebagai rumah ibadat (Gereja) permanen
bagi umat Katolik di bawah Paroki Santo Gabriel.
Sebagian umat Katolik di komplek tersebut merupakan
penduduk yang sudah lama tinggal di wilayah tersebut dan
sudah sangat membaur dengan masyarakat asli (Betawi) sekitar.
Umat Katolik di wilayah itu berasal dari berbagai etnis,
diperkirakan etnis Jawa 50%, etnis Tionghoa (Cina) 20%, etnis
Batak 15%, dan lain-lain sebanyak 15%. Mereka hidup saling
berdampingan satu sama lain, saling bergotong royong,
melaksanakan kegiatan bersama. Pada saat pihak Gereja St.
Gabriel meminta tandatangan persetujuan lingkungan,
masyarakat sekitar sepakat dan tidak terlalu banyak mendapat
kendala walaupun ada beberapa orang dari agama tertentu
menolak atau keberatan.10
Pada tahun 2006, pihak Paroki telah mendapatkan bukti
kepemilikan tanah berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan dengan
Nomor 04085 tanggal 25 Maret 2006 luas 4067m dan HGB nomor
04086 tertanggal 23 Maret 2006 luas 1440m atas nama Badan
Pengurus Gereja dan Dana Papa Roma Katolik/PGDP Gereja
Santo Gabriel yang disahkan oleh Kepala Kantor Pertanahan
Kotamadya Jakarta Timur. Pada tanggal 2 Juli 2007 pengurus
Gereja dan Dana Papa Paroki St. Gabriel melayangkan surat
kepada Gubernur Provinsi DKI Jakarta dengan Nomor
020/SG/VII/2007 tentang permohonan penyesuaian rencana
peruntukan tanah dari Suka Pendidikan (Spd) menjadi Suka
Sosial Ibadah (Ssi) atas tanah seluas 6.171m. Surat tersebut
mendapat jawaban, disetujui dan ditandatangani oleh Gubernur

10 Diolah dari hasil wawancara peneliti dengan pengurus dan panitia


pembangunan Gereja Paroki St. Gabriel pada tanggal 23 Maret 2010 di Gereja St.
Gabriel Komplek Pulo Gebang Permai.

(26)

Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 14 Desember 2007 dengan


Nomor surat 3641/-1.711.531.
Persyaratan pendrian rumah ibadat berdasarkan Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8
dan 9 Tahun 2006 mulai disusun dan kemudian diajukan kepada
pihak terkait. Pendataan nama dan KTP umat Katolik yang
beribadat di ruang serba guna diikuti dan mengajukan
permohonan persetujuan atau dukungan dari masyarakat sekitar
baik yang beragama Katolik maupun di luar agama Katolik.
Hasilnya disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan jumlah
minimal yang sudah ditetapkan. Data nama dan KTP umat
Katolik yang beribadat di Santo Gabriel mencapai 266 jemaat,
sedangkan persetujuan atau pihak yang tidak berkeberatan
berdirinya gereja dari agama lain sebanyak 88 orang. Dokumen
yang berisi data nama umat Katolik dan pihak yang tidak
berkeberatan dilampiri foto copy KTP dan disahkan oleh Lurah
Pulo Gebang dan Camat Cakung. Daftar nama warga yang setuju
atas pembangunan Gereja Santo Gabriel juga disahkan oleh
Ketua FKUB Kota Jakarta Timur.
Pengurus Gereja dan Dana Papa sebagai Yayasan bersama
Pengurus Dewan Paroki Santo Gabriel mengajukan Surat
Permohonan Rekomendasi Izin Gedung Serba Guna menjadi
tempat ibadah permanen/tetap. Izin diberikan nomor
021/SG/IX/2007 yang ditujukan kepada Gubernur DKI,
Walikota Jakarta Timur, Kantor Kementerian Agama Jakarta
Timur, dan FKUB Kotamadya Jakarta Timur. Berdasarkan SK
Walikota Jakarta Timur Nomor 550/1.857.2 tanggal 24 Pebruari
1999 dan Nomor 1031/1.857.2 tanggal 17 Maret 1999 tentang
pemanfaatan gedung serba guna sebagai tempat ibadah
sementara umat Katolik di wilayah kompleks Pulo Gebang
Permai. Panitia mengirimkan surat dengan melampirkan antara
lain:
a. Bukti kepemilikan tanah berupa Sertifikat Hak Guna
Bangunan dengan Nomor 04085 tanggal 25 Maret 2006 luas
4067m2 dan HGB Nomor 04086 tertanggal 23 Maret 2006 luas
(27)

1440 m2 atas nama Badan Pengurus Gereja dan Dana Papa


Roma Katolik/PGDP Gereja Santo Gabriel yang disahkan oleh
Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Timur.
b. Izin Mendirikan Bangunan No. 03929/IMB/1997 dan IMB No.
08557/IMB/2003 atas nama PT. Asmawi Agung Corporation
dengan lampiran rencana kota No. 2717/XI/GSB/JI/96
peruntukan SUK dan No. 0442/GSB/JT/V/2003 peruntukan
SPD.
c. Susunan pengurus Gereja Santo Gabriel.
d. Daftar jumlah umat Katolik Pulo Gebang sebanyak 500 umat
yang diketahui oleh Pastor Kepala Paroki Santo Gabriel,
RT/RW, Lurah, dan Camat, mencapai lebih dari 500 tanda
tangan dan foto copy KTP.
e.

Gambar dan foto bangunan gedung serba guna yang


diperuntukkan Gereja.

f.

Keterangan tidak keberatan warga Muslim yang diketahui


oleh RT/RW, Lurah, Camat yang mencapai 200 tanda tangan
dan 150 buah foto copy KTP. Surat Keterangan tidak
berkeberatan dari Ketua Gardu FBR 029 Pulo Gebang.

g. Surat Keterangan tidak berkeberatan dari Paseban FSMB Pulo


Gebang.
h. Surat Keterangan tidak berkeberatan dari SISKOMAS Pulo
Gebang Polsek Metro Cakung.
i.

Keterangan/sosialisasi Gereja St. Gabriel di wilayah sekitar.

Pada tanggal 20 Maret 2009 Gubernur Provinsi DKI Jakarta


mengeluarkan Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT)
kepada Paroki St. Gabriel dengan Nomor : 448/-1.711.534. SIPPT
tersebut kemudian menjadi dasar untuk mengajukan surat
permohonan mendapatkan rekomendasi kepada Kanwil
Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta dan Kantor
Departemen Agama Kota Jakarta Timur serta FKUB Provinsi DKI

(28)

Jakarta dan FKUB Kota Jakarta Timur yang dilayangkan pada


bulan 9 Juni 2009.
Pada tanggal 20 Mei 2009 Pengurus Gereja St. Gabriel
melayangkan surat tentang Penyusunan Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan
(UPL) pembangunan Gereja St. Gabriel dan fasilitasnya kepada
Kantor Lingkungan Hidup Kota Administrasi Jakarta Timur.
Pada tanggal 10 Juni 2009, Kantor Lingkungan Hidup Kota
Administrasi Jakarta Timur mengeluarkan surat persetujuan dari
hasil penilaian UKL-UPL Pembangunan Gereja St. Gabriel dan
fasilitasnya dengan nomor surat 02/01.1/1.774.151 yang
ditandatangani oleh Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kota
Administrasi Jakarta Timur.
Secara internal, Paroki St. Gabriel, sudah mendapat
rekomendasi dari Keuskupan Agung Jakarta tentang
pembangunan gedung Gereja. Selain itu, Dewan Paroki
mengangkat Panitia Pembangunan Pengembangan gedung
Gereja Katolik St. Gabriel Pulo Gebang untuk memperlancar
pelaksanaan pembangunannya.
Dari proses yang sudah dilaksanakan oleh Panitia, FKUB
Kota Jakarta Timur kemudian mengeluarkan Surat Pertimbangan
Pendirian Rumah Ibadat dengan Nomor: 03/FKUB-JT/VIII/2009
tanggal 19 Oktober 2009 yang ditandatangani oleh Ketua dan
Sekretaris FKUB. FKUB Kota menyerahkan kepada FKUB
Provinsi untuk menindaklanjuti surat pertimbangan tersebut.
Panitia saat ini masih menunggu rekomendasi yang dikeluarkan
oleh FKUB Provinsi DKI Jakarta dan pihak Kanwil Kementerian
Agama Provinsi DKI Jakarta dan Kemenag Kota Jakarta Timur.
Penyelesaian Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat
Pendirian rumah ibadat di Jakarta Timur masih banyak
kendala dan hambatan, diantaranya kurangnya pemahaman dan
toleransi dari masyarakat akan kehadiran rumah ibadat baru
dalam suatu wilayah pemukiman. Sementara pesatnya
(29)

pembangunan dan mobilitas penduduk menuntut rumah ibadat


yang baru yang dekat dengan domisili masyarakat tersebut.
Pihak terkait yang melayani proses pendirian rumah
ibadat dirasakan kurang memahami syarat-syarat pendirian
rumah ibadat, sehingga pelayanan menjadi lambat dan kurang
responsif. FKUB Jakarta Timur mempunyai ketentuan tertulis
yang mengacu kepada ketentuan FKUB Provinsi DKI Jakarta
berdasarkan PBM dan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta
Nomor 64 Tahun 2007. Secara rinci ketentuan-ketentuan yang
selanjutnya disebut sebagai kelengkapan persyaratan pendirian
rumah ibadat itu dijabarkan sebagai berikut:
a. Kelengkapan Persyaratan Adminstratif
1). Surat Permohonan dari Panitia Pembangunan Rumah
Ibadat
2). Susunan Pengurus/Panitia Pembangunan Rumah Ibadat
3). Surat Kepemilikan Tanah yang dikeluarkan oleh Badan
Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan Setempat:
diproses sesuai ketentuan dalam Undang-undang Pokok
Agraria No. 5 Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
b. Kelengkapan Persyaratan Tekhnis Bangunan
1). Rencana gambar bangunan; dibuat oleh Panitia
Pembangunan Rumah Ibadat sesuai dengan Peraturan
Daerah Nomor 7 Tahun 1991 tentang bangunan dalam
wilayah DKI Jakarta.
2). Rencana anggaran biaya pembangunan: dibuat oleh
Panitia Pembangunan Rumah Ibadat.
3). Keterangan rencana kota: diproses sesuai dengan
Undang-Undang Nomor : 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung, Undang-Undang Nomor : 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Daerah

(30)

Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang


Wilayah Daerah DKI Jakarta.
c.

Kelengkapan Persyaratan Khusus


1). Daftar 90 umat yang memerlukan tempat ibadat dan KTP
yang telah disahkan Lurah sesuai batas wilayahnya.
2). Daftar 60 orang penduduk sekitar yang mendukung
pendirian rumah ibadat yang disahkan oleh Lurah.
3). Surat Pertimbangan Tertulis dari FKUB wilayah Kota
tentang permohonan pembangunan rumah ibadat.
4). Surat Rekomendasi dari Kanwil Kemenag DKI Jakarta.

Dari beberapa kasus pendirian rumah ibadat yang


ditolak, masalah yang muncul yaitu kelengkapan persyaratan
khusus. Atas masalah yang muncul itu, penyelesaian dilakukan
dengan cara berdialog antara panitia pembangunan rumah
ibadat dengan tokoh masyarakat yang dijembatani oleh pihak
FKUB, perwakilan dari Kanwil Kementerian Agama dan
Pemerintah Daerah.
Masalah pendirian rumah ibadat seringkali terjadi karena
faktor kurang terbukanya pihak panitia rumah ibadat kepada
masyarakat setempat. Masyarakat - sebagai salah satu point yang
termasuk di dalam kelengkapan persyaratan khusus terkadang
balik haluan dan berubah menolak pendirian rumah ibadat,
bahkan menggugat dengan melayangkan surat keberatan kepada
FKUB maupun pihak-pihak terkait.
Kasus Masjid Nurul Jannah di Perumahan Jatinegara
Indah, penolakan pendirian masjid bukan datang dari
masyarakat, tapi dari pihak pengembang dengan alasan bahwa
letak masjid tidak sesuai dengan rencana pembangunan.
Keterlambatan pihak pengembang untuk membangun masjid di
tempat yang sudah ditentukan tidak tanggap bahwa masyarakat
sudah sangat membutuhkan rumah ibadat. Hal inilah yang
mendorong masyarakat mendirikan masjid tanpa persetujuan
pihak pengembang.

(31)

Sementara itu, kasus pendirian Gereja Katolik Paroki


Kalvari, masyarakat setempat memberikan alasan penolakan
antara lain: (1) Warga setempat (dalam satu RW) mayoritas
Muslim tidak memerlukan gereja, (2) Sudah ada 3 (tiga) buah
gereja lain di RW 12, dan (3) Pihak gereja menggunakan dana
untuk mencari dukungan. Namun proses penolakan yang
dilakukan warga sekitar dengan cara-cara yang bijak, yaitu
melakukan verifikasi pendukung pendirian gereja. Aparat dan
tokoh agama setempat juga berupaya menjembatani kedua belah
pihak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
Ringkasan
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa catatan
penutup sebagai simpulan:
a. Masjid Nurul Jannah di Perumahan Jatinegara Indah ditolak
Walikota Jakarta Timur dan dibongkar karena status tanah
tidak sesuai dengan PERDA 7/1991. Pemerintah Daerah
meminta warga membongkar masjid sendiri atau dibongkar
tim penertiban terpadu dari Musyawarah Pimpinan Kota
(MUSPIKO). Surat tersebut tidak diindahkan sehingga masjid
Nurul Jannah dibongkar.
b. Gereja Kalvari di Lubang Buaya mendapat penolakan dari
warga, karena panitia belum selesai mengurus SIPPT.
Tembusan surat disampaikan kepada FKUB Jakarta Timur,
Kemenag Jakarta Timur dan pihak Gereja Paroki Kalvari.
FKUB melakukan peninjauan ke lokasi gereja sebanyak 2
(dua) kali, dan belum mengadakan diskusi dengan warga
untuk menangani perselisihan, karena memang pihak gereja
belum selesai mengurus perizinan SIPPT.
c. Hambatan proses pendirian rumah ibadat di Jakarta Timur
antara lain; sebagian masyarakat belum mempunyai
pengetahuan tentang proses pendirian rumah ibadat. Di sisi
lain pihak berwenang masih belum menguasai proses

(32)

administrasi terkait proses pendirian rumah ibadat yang


sesuai dengan PBM Tahun 2006.
d. Keterbukaan panitia pembangunan rumah ibadat kepada
masyarakat sekitar tentang pendirian rumah ibadat menjadi
faktor penting untuk membangun kepercayaan masyarakat
agar tidak menilai negatif. Di samping itu izin, secara verbal
(dialog) dengan warga setempat merupakan hal penting agar
dapat membangun citra positif dan saling menghargai.

Sesuai hasil penelitian, direkomendasikan:


a. Kepada masyarakat hendaknya terus dilakukan sosialisasi
PBM, sehingga keberatan yang berujung pada penolakan
tidak terjadi lagi;
b. Dalam mengatasi manipulasi data pemeluk di wilayah
tertentu pada proses pendirian rumah ibadat, perlu dibuat
tim pengawas pendataan umat beragama yang bentuk oleh
FKUB, tokoh agama dan masyarakat setempat bekerjasama
dengan Pemerintah Daerah.
c. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama perlu
melaksanakan semiloka atau lokakarya yang membahas
materi-materi khusus penunjang pengetahuan tentang
pendirian rumah ibadat dalam sosialisasi Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8
Tahun 2006.

(33)

(34)

2
Pendirian Rumah Ibadat
di Kota Bekasi
Oleh: Ibnu Hasan Muchtar
Kondisi Geografi dan Demografi
Kota Bekasi merupakan daerah penyangga Ibukota Negara
Republik Indonesia terletak di pinggir Timur DKI Jakarta. Kota
Bekasi dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
48 Tahun 1981, memekarkan Kecamatan Bekasi menjadi Kota
Administratif (Kotif), terdiri atas 12 kecamatan, 56 kelurahan, 945
RW dan 6.463 RT. Kedua-belas kecamatan dimaksud adalah: (1).
Bekasi Timur, (2). Bekasi Selatan, (3). Bekasi Barat, (4). Bekasi
Utara, (5). Bantar Gebang, (6). Pondok Gede, (7). Jati Asih, (8). Jati
Sampurna, (9). Rawa Lumbu, (10). Medan Satria, (11). Pondok
Melati, dan (12). Mustika Jaya. Selain menjadi wilayah
pemukiman, Kota Bekasi juga berkembang sebagai kota
perdagangan, jasa, dan industri. Berkembangnya berbagai
potensi daerah di Kota Bekasi tidak lepas dari adanya fasilitas
akomodasi seperti perhotelan, perbankan, dan perumahan.
Pada bulan Juli 2009, tidak kurang dari 2.457.585 jiwa
penduduk di Kota Bekasi. Dari jumlah tersebut sebagian besar
(87.30%) beragama Islam. Selebihnya beragama Kristen (8.05%),
Katolik (2.98%), Hindu (1,12%), Budha (0.23%), dan Khonghucu

(35)

(0,008%). Kemudian sebanyak 8.816 jiwa (0.35%) berda di luar


agama-agama yang sudah disebut di muka.
Adapun jumlah penduduk berdasarkan agama di setiap
kecamatan adalah sebagai berikut:
TABEL 1: JUMLAH PENDUDUK PER KECAMATAN
DI KOTA BEKASI BERDASARKAN AGAMA JULI 2009
Islam

Kristen

Katolik

Hindu

Budha

Khong
hucu

Lain

Jumlah

Bekasi Timur

233.295

21.701

7.945

7.109

498

14

231

270.793

Beksi Selatan

181.078

20.001

7.644

1.724

534

10

168

211.159

Bekasi Barat

279.497

23.222

8.730

2.515

603

34

1.226

315.827

Bekasi Utara

274.512

24.876

7.958

4.019

687

14

314

312.380

Kecamatan

Bantr Gebang

93.596

2.437

791

426

70

11

695

98.026

Pondok Gede

246.087

20.979

7.652

1.574

783

25

2.770

279.870

Jati Asih

186.994

15.234

4.614

1.452

449

24

900

209.667

Jati Sampurna

93.498

7.522

2.926

533

286

11

624

105.400

Rawa Lumbu

158.890

19.365

5.661

2.512

466

13

513

187.420

Medan Satria

141.349

16.716

7.470

3.867

433

15

309

170.159

Pondok Melati

130,675

15.622

9.032

1.122

572

19

842

157.884

Mustika Jaya

125.976

9.125

2.801

629

234

11

224

139.000

2.145.447

196.800

73.223

27.482

5.615

201

8.816

2.457.585

87,30%

8.05%

2.98%

1,12%

0.23%

0,008%

0,35%

100%

JUMLAH
Persentase

Sumber: Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Bekasi, 2009

Salah satu sarana untuk pelaksanaan ibadat adalah


tersedianya rumah ibadat bagi masing-masing agama.
Berdasarkan data pada Buku Rumah Ibadat Kota Bekasi yang
dikeluarkan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Kota Bekasi, sampai dengan akhir tahun 2009, sebagai berikut:

(36)

TABEL 2: BANYAKNYA RUMAH IBADAT MENURUT


KECAMATAN DAN JENIS TEMPAT IBADAT TAHUN 2009
Kecamatan
Pondok Gede
Jati Sampurna
Pondok Melati
Jati Asih
Bantar Gebang
Mustika Jaya
Bekasi Timur
Rawa Lumbu
Bekasi Selatan
Bekasi Barat
Medan Satria
Bekasi Utara
Jumlah

Mjd
89
50
65
85
25
64
114
101
76
78
41
93
881

Grj
1
7
23
3
0
0
16
3
13
11
0
4
81

TI Kristen
Ruko
3
5
17
12
0
11
13
2
1
0
0
5
69

Rmh
3
3
5
5
6
1
2
2
3
3
0
16
49

G.Kat

Viha

Pura

Klen

0
0
1
0
0
0
1
0
1
1
2
2
8

0
0
1
1
0
0
4
3
0
0
0
0
11

0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1

0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1

Sumber: Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Bekasi tahun 2009.

Dari dokumen lain yang didapat pada Kantor Kementerian


Agama Kota Bekasi khususnya jumlah gereja Kristen diperoleh
dari Penyelenggara Bimas Kristen menunjukkan ada perbedaan
jumlah yang cukup signifikan. Hasil data yang diperoleh oleh
FKUB, gereja berjumlah 200 (dua ratus) buah, sedangkan data
dari penyelenggara Bimas Kristen berjumlah 83 (delapan puluh
tiga) buah yang terbagi menjadi 3 katagori: permanen 44 buah,
semi permanen 17 buah dan darurat 22 buah. Tempat ibadat
umat Kristen oleh FKUB dibagi menjadi tiga katagori yaitu yang
sudah berbentuk bangunan gereja berjumlah 81 buah, beribadat
di ruko-ruko berjumlah 69 buah dan di rumah-rumah sebanyak
49 buah. Sedangkan jumlah rumah ibadat agama lain tidak
berbeda, misalnya gereja Katolik sama dengan yang dikeluarkan
oleh Penyelenggara Bimas Katolik yaitu 8 buah.
Data lain tentang rumah ibadat juga menunjukkan bahwa
selain rumah ibadat umum seperti tertera di tabel atas, ada juga
rumah-rumah ibadat keluarga. Mengacu kepada Buku Tanya
(37)

Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam


Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006, maka
pengertian rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri
tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi
pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk
rumah ibadat keluarga. Sebutan untuk rumah ibadat umat Islam,
Kristen dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu secara
berturut-turut adalah masjid, gereja, pura, vihara, dan
kelenteng.11
Potensi Konflik Antarumat Beragama
Heterogenitas umat beragama sebagaimana tergambar
pada data di atas, di satu sisi dapat menjadi salah satu pemicu
terjadinya konflik antarumat beragama. Selama beberapa tahun
terakhir, konflik yang diakibatkan oleh masalah rumah ibadat
telah mengemuka. Menurut penuturan salah seorang pengurus
FKUB dan Penyelenggara Bimas Kristen Kota Bekasi
mengemukanya persoalan pendirian rumah ibadat beberapa
tahun terakhir ini, di antara penyebabnya adalah:
a. Makin terbuka wawasan dan pengetahuan sebagian
masyarakat tentang aturan/tatacara mendirikan rumah ibadat
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor: 9 dan 8 Tahun 200612;
b. Ada kecenderungan sebagian Panitia Pembangunan Gereja
(PPG) menggunakan cara-cara pintas memperalat pihak
ketiga/penguasa, arogan dalam bertindak, tidak mau
bekerjasama dengan Penyelenggara Bimas yang ada di Kantor
Kementerian Agama Kota Bekasi, memaksakan kehendak, dan
11 Kustini, Makalah Pra seminar Potret Kerukunan Umat Beragama
Kota Bekasi, 2009
12 Wawancara dengan Sekretaris FKUB Kota Bekasi tanggal, 9 April
2010

(38)

tidak sabar khususnya PPG yang dipimpin oleh oknum


aparat/mantan aparat.13
Di antara pendirian rumah-rumah ibadat di Kota Bekasi
yang bermasalah, mengutip berbagai sumber serta pengamatan
lapangan adalah:
a. Desakan peninjauan ulang izin pendirian gereja di Komplek
Perumahan Villa Indah Permai Bekasi;
b. Pengrusakan pembangunan gereja Katolik Santo Albertus di
Jl. Boulevard, Kawasan Perumahan Harapan Indah Kota
Bekasi.14
c. Pembangunan Gedung Gereja GPIB Galilea Taman Galaxy I
/ Villa Galaxy Blok BA-2 Kaveling No. 45-46 RT 005, RW 017
Kelurahan Jakasetia Kecamatan Bekasi Selatan.
d. Rumah tempat tinggal di Jl. Batam B-135, RT 06/ RW 10,
Kompleks TNI- AL Jatibening Indah Bekasi yang dialihkan
fungsinya menjadi tempat kebaktian Gereja Kristen Indonesia
(GKI) sejak tahun 1991. Sejak tahun 2004 sampai sekarang
kasus ini mencuat kembali.
e. Rencana pembangunan Gereja Bethel Indonesia di
lingkungan RW 01, Kelurahan Bojong Rawa Lumbu
Kecamatan Rawa Lumbu Bekasi.
f.

Rencana pembangunan Gereja St. Clara di RW 06, Kelurahan


Harapan Baru, Kecamatan Bekasi Utara yang tidak
direkomendasikan dalam rapat koordinasi Walikota, tetapi
tetap gigih untuk mewujudkannya.

g. Keberadaan ruko-ruko yang dialihfungsikan menjadi tempat


kebaktian.15
13

Wawancara dengan Penyelenggara Bimas Kristen Kota Bekasi, 9

April 2010.
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia, CRCS UGM,
tahun 2009 hal. 29.
14

(39)

Proses Pembangunan Rumah Ibadat


Gereja Katolik Santo Al Bertus Harapan Indah Bekasi
Jemaat Gereja Santo Albertus di Harapan Indah tak bisa
dipandang sebagai jemaat yang kecil. Sekitar 5.000 jiwa telah
menjadi anggotanya, dan sekarang para anggota Gereja Stasi ini
sedang berjuang untuk membangun sebuah rumah ibadat.
Panitia Pembangunan Gereja (PPG) St. Al-bertus secara
resmi dibentuk oleh Romo Gaby dengan Surat Pengangkatan
Nomor: 000/DP/PDP-35/10-06-04 tanggal 10 Juni 2004,
kemudian diangkat kembali dengan Surat Keputusan Pengurus
Dewan Paroki/ PGDP Paroki Santo Mikael Kranji Nomor:
0102/DP/DPH-SK/X/2005 tanggal 30 Oktober 2005 dan
berakhir 30 Oktober 2006. Selanjutnya, Pengurus baru yang
bekerja saat ini diangkat dengan Surat Keputusan Pengurus
PGDP Santo Albertus Paroki Santo Mikael Kranji-Bekasi No.
004/PGDP-SK/III/2007 tanggal 24 Maret 2007.
Peresmian dimulainya pembangunan Gereja Katolik Santo
Al-Bertus oleh Walikota Bekasi, H. Mochtar Mohammad,
sekaligus penekanan Tombol Tiang Pancang Pertama tanda
dimulainya pengerjaan pembangunan pada Minggu, 11 Mei 2008.
Masalah sulit lain yang dihadapi oleh Panitia
Pembangunan Gereja (PPG) ini pada awal pembangunan adalah
penolakan sebagian masyarakat dari wilayah sekitar baik dari
Kota Bekasi maupun Kabupaten Bekasi yang masih terus
berlanjut, walaupun secara administratif dan aturan yang berlaku
sudah cukup dan terpenuhi dengan telah dikeluarkannya surat
Izin Mendirikan Bangunan rumah ibadat dari Walikota Bekasi

15 Badruzzaman Busyairi: Satu Tahun Forum Kerukunan Umat Beragama


Kota Bekasi 14 Juni 2006 14 Juni 2007; 2007; 4-6;

(40)

Nomor: 503/0053/I-B/DISTARKIM/Pem tanggal 06 Februari


2008.16
Salah satu kejadian yang cukup menghebohkan dan
menjadi berita besar yang dilansir oleh media cetak dan
elektronik adalah berita tentang penyerangan dan pembakaran
Gereja St. Albertus pada tanggal 17 Desember 2009. Juga dimuat
dalam daftar masalah di seputar rumah ibadat tahun 2009 dalam
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia tahun 2009
oleh Center For Religious And Cross-Cultural Studies (CRCS)
Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta.17
Kasus Gereja St. Albertus tanggal 17 Desember 2009 yang
dapat dihimpun dari berbagai sumber, sebagai berikut:
a. Kamis, 17 Desember 2009, sekitar pukul 21.00 WIB.
Serombongan massa yang diduga ikut konvoi arak-arakan
menyambut Tahun Baru Umat Islam, 1 Muharram 1431
Hijriyah, datang ke kawasan perumahan Harapan Indah,
Medan Satria, Kota Bekasi. Mereka yang diperkirakan
berjumlah 500-1000 orang, terdiri dari pria, wanita dan anakanak menggunakan mobil dan sepeda motor berkumpul di
patung selamat datang kawasan perumahan Harapan Indah.
b. Mereka berorasi kemudian membubarkan diri setelah dihalau
oleh petugas keamanan (polisi dan petugas keamanan
kawasan). Mereka kecewa dan meninggalkan patung selamat
datang. Mereka bergerak ke arah jalan yang terdapat proyek
pembangunan gereja St. Albertus. Di depan proyek
pembangunan itu mereka masuk, membakar pos
pengamanan, kantor proyek, bedeng pekerja bangunan, dan
merusak keramik yang akan dipasang dalam rangka mengejar
http://st-albertus-org, tanggal 19 Februari 2010
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2009, CRCS,
Universitas Gajahmada.
16
17

(41)

kegiatan Natal tanggal 25 Desember 2009, (pencurian sebuah


mesin potong keramik dan sebuah mesin bor).
c. Porsonil tidak seimbang dengan jumlah massa, sehingga
kesulitan menghentikan amuk massa. Baru setelah diadakan
tembakan peringatan, massa lari meninggalkan lokasi.
Beberapa orang berhasil ditangkap dan diidentifikasi, lalu
dilepas. Hanya satu orang yang ditahan karena kedapatan
membawa barang. Hasil pemeriksaan sementara kepolisian
saat itu: (1) massa yang melakukan pengrusakan berasal dari
Babelan dan Tarumjaya, Kabupaten Bekasi. (2) masa
umumnya tidak tahu bahwa mereka menuju ke lokasi dan
akan melakukan pengrusakan. Mereka tahunya melakukan
arak-arakan dalam rangka Tahun Baru 1 Muharram 1431 H.
Sebab pada malam itu, masjid-masjid di Bekasi sedang
melakukan peringatan Tahun Baru Umat Islam, dan di Masjid
Agung Al-Barkah Kota Bekasi pun sedang berlangsung acara
dzikir bersama dihadiri ribuan jamaah.
Salah satu langkah Pemerintah Daerah dalam mengatasi
kejadian ini adalah Walikota Bekasi langsung mengadakan rapat
koordinasi dengan jajaran kepolisian dan keamanan, serta FKUB,
MUI dan tokoh masyarakat, di rumah dinas walikota. Hadir
Kapolres Metro Kota Bekasi dan jajarannya berikut para
Kapolsek terkait, Kapolres Kabupaten Bekasi, Kepala Kejaksaan
Kota Bekasi, Ketua dan Sekretaris FKUB, Ketua Umum MUI Kota
Bekasi, Komandan Kodim Bekasi, K.H. Amin Noer Ali dari
Pesantren At-Taqwa Babelan, Bekasi, Camat dan Lurah Medan
Satria.
Rapat dipimpin Walikota Bekasi, Mochtar Mohammad.
Pada kesempatan itu rapat mendengarkan kronologis kejadian
dari (1)Kapolres Metro Kota Bekasi, (2) Kapolres Kabupaten
Bekasi, (3) Kapolsek Babelan, (4) Kapolsek Medan Satria, dan (5)
(42)

Camat Medan Satria. Selain itu juga mendengarkan keterangan


dari Pimpinan Pesantren At-Taqwa, Babelan K.H. Amin Noer
Alie, Ketua FKUB Kota Bekasi dan Ketua Umum MUI Kota
Bekasi. Dalam rapat itu disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
a. Massa yang melakukan pengrusakan dan pembakaran di
kompleks pembangunan Gereja ST. Arnoldus adalah massa
dari Babelan dan Tarumjaya, Kabupaten Bekasi.
b. Kondisi fisik bangunan gereja yang sedang dalam proses
pembangunan masih tetap utuh tidak dirusak dan tidak
dibakar. Pengrusakan dan pembakaran terjadi di kantor
manajemen proyek, bedeng pekerja bangunan/tukang, pos
keamanan proyek, dan keramik yang akan dipasang.
c. Pagi hari setelah kejadian, suasana lingkungan proyek sudah
bersih kembali.
d. Aparat kepolisian tetap memproses secara hukum terhadap
orang-orang yang diduga terlibat dalam kasus pengrusakan.
e. Keberadaan patung selamat datang harus ditertibkan karena
tidak memiliki izin pembangunannya.
f. Untuk masa yang akan datang, dalam rangka menjaga
kerukunan hidup antarumat beragama di Kota Bekasi,
dihimbau agar jajaran Pemda Kota Bekasi bertindak tegas
terhadap ulah pengembang kawasan perumahan yang
melanggar ketentuan tentang tatacara pengembangan
kawasan baru. Sedang para pengembang diminta agar dalam
membuka kawasan baru selalu berpegang kepada budaya dan
sejarah lokal, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan sosial
di masyarakat.18

18 Laporan Kronologis Kejadian Kebakaran Pembangunan Gereja St.


Albertus oleh FKUB Kota Bekasi tgl, 19 Desember 2009 dan Laporan
Penyerangan Gereja St. Albertus oleh Penyelenggara Bimas Katolik Kota Bekasi,
tanggal, 22 Desember 2009.

(43)

Renovasi Wihara Tri Dharma Pondok Gede


Wihara Tri Dharma di Pondok Gede telah berdiri pada
tahun 1964. Seiring semakin banyak kegiatan yang beragam dan
marak kala itu membuat umat semakin bertambah banyak.
Mereka berasal dari Pondok Gede, Bojong Nangka, Kampung
Sawah, Pasar Kecapi, Bojong Rawalele, Cikunir, Kampung
Kebantenan, dan Jatiasih. Tempat ibadah yang ada disebut Cetya
(tempat ibadah umat Buddha lebih kecil dari Vihara) dinilai
kurang memadai. Maka pada tahun 1971 dibangunlah Vihara
dengan ukuran 7 m x 14 m di atas tanah seluas 400 m2. Saat itu
bentuk Vihara ini masih semi permanen. Baru pada tahun 1973
Vihara diresmikan oleh Camat Pondok Gede dihadiri oleh tokohtokoh agama. Sejak tahun 1973 sampai saat ini Vihara ini telah
mengalami beberapa kali renovasi kecil. Pada tahun 1984 ada
penambahan bangunan aula yang terletak di samping Vihara.19
Renovasi Total Vihara Tri Dharma
Penduduk yang beragama Buddha di wilayah Kecamatan
Pondok Gede dan Kecamatan Pondok Melati, maka dibentuklah
Panitia Pembangunan Vihara yang bertugas merenovasi dan
perluasan Vihara. Langkah kerja Panitia Pembangunan Vihara,
sebagai berikut:
a. Pada tanggal 28 Oktober 2007 panitia mengajukan surat
permohonan rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) Kota Bekasi, setelah dilakukan peninjauan
dan penelitian di lapangan pada tanggal 17 Desember 2007
dan pada tanggal 12 Februari 2008. Kemudian mendapat
respon dari FKUB melalui Surat Rekomendasi Nomor:
14/REK.FKUB/IX/2008 tertanggal 3 Maret 2008;
Profil Vihara Tridharma Pondok Gede Jl. Raya Hankam No. 46
Jatirahayu Pondok Melati Bekasi
19

(44)

b. Pada tanggal 12 Desember 2007 Panitia mengajukan


permohonan rekomendasi izin pendirian bangunan dari Dinas
Sosial, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat. Dinas
Sosial, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat
kemudian
memberikan
rekomendasi
Nomor:
4541/185/SPPM.3/III/2008 tertanggal 26 Maret 2008, setelah
memperhatikan dan mempertimbangkan antara lain:
1) Surat persetujuan warga sekitar yang dibuktikan dengan
tanda tangan dan foto copy KTP dengan jumlah terpenuhi
menurut persyaratan yang ditentukan oleh PBM tahun
2006.
2) Rekomendasi
dari
Lurah
Jati
Rahayu Nomor:
474/18/X/2006 tanggal 12 Oktober 2006.
3) Rekomendasi dari Camat Pondok Melati Nomor:
503/99/Ekbang/X/2006 tanggal 13 Oktober 2006.
4) Rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) Kota Bekasi Nomor: 14/Rek.FKUB/III/2008
tanggal 3 Maret 2008.
c. Pada tanggal 13 Desember 2007 Panitia mengajukan
permohonan rekomendasi dari Kementerian Agama Kota
Bekasi dan mendapat jawaban rekomendasi Nomor:
Kd.10.21/3/BA.00/766/2008 tertanggal 25 April 2008, setelah
melalui pertimbangan dengan memperhatikan hasil
musyawarah Tim Rekomendasi Rumah Ibadat Kantor
Kemneterian Agama pada tanggal 21 April 2008.
d. Pada tanggal 21 Agustus 2008 panitia mengajukan
permohonan rekomendasi pendirian rumah ibadat kepada
Walikota Bekasi dan mendapat jawaban berupa rekomendasi
pembangunan renovasi total Vihara Tri Dharma Nomor:
445.2/Kep.293-BPPT/VIII/2009 tertanggal 20 Agustus 2009.

(45)

Dari penuturan panitia pembangunan yang juga sekretaris


Yayasan Pengabdi Tri Dharma, Lilawati, bahwa dalam proses
pengurusan surat-surat untuk mendapatkan rekomendsasi
sebagaimana yang disyaratkan oleh PBM tahun 2006 dan
Peraturan Walikota Bekasi Nomor: 16 tahun 2006 tentang Tata
Cara Pemberian Izin Pendirian Rumah Ibadat, tidak terjadi halhal yang menyulitkan baik dari masyarakat lingkungan setempat
maupun dari pihak-pihak dimana surat permohonan ditujukan
seperti FKUB dan Kementerian Agama Kota Bekasi.20
Hal senada dituturkan oleh Ketua RT 04/02 Kelurahan Jati
Rahayu Kecamatan Pondok Melati Uju Sujana bahwa proses
renovasi total Vihara Tri Dharma tidak mengalami kesulitan dan
tidak mendapat penolakan warga. Beberapa hal yang
dikemukakan ketua RT 04/02 sebagai berikut:
a. Pengurus dan para jemaah Vihara ini cukup koperatif dan
membaur dengan masyarakat sekitar, aktif dalam acara-acara
yang diadakan oleh RT/RW.
b. Menyetujui permintaan warga agar jalan warga di belakang
Vihara dapat diluruskan dengan sedikit memberikan tanah
Vihara menjadi jalan.
c. Sering membantu setiap kebutuhan yang diperlukan bersama
untuk keperluan umum warga seperti ronda malam.
d. Vihara mempekerjakan warga sekitar dalam hal keamanan
Vihara.
e. Pada hari-hari besar agama Vihara sering membagikan
sembako kepada warga sekitar.
Perlu diketahui bahwa di wilayah Rt. 04/02 ini saja
terdapat 3 rumah ibadat dan menjadi 4 rumah ibadat yang sangat
Hasil wawan cara langsung dan tertulis dengan Sekretaris Yayasan
Pribadi Tridharma, tanggal 14 Maret 2010
20

(46)

berdekatan karena Gereja Kristen Indonesia (GKI) hanya berjarak


50 meter berseberangan jalan lain RT, masing-masing rumah
ibadat dimaksud adalah: 1). Vihara Tri Dharma (umat Buddha),
2). Mushalla Nurul Muttaqin (Umat Islam), 3). Gereja Bethel
Indonesia GBI(umat Kristen, dan 4). Gereja Kristen Indonesia
GKI(umat Kristen).21
Pembangunan Gereja Masehi Injili Indonesia (Gemindo)
Pada tahun 1985 banyak berdiri perumahan di wilayah
Bekasi dan sekitar yang dihuni oleh berbagai kelompok
masyarakat yang berbeda agama, suku dan profesi. Pada tahun
1986 beberapa keluarga yang berasal dari Manado berkumpul di
salah satu rumah warga yang berasal dari Manado dan
mengadakan kebaktian bersama. Seiring bertambahnya warga
dan tempat kebaktian yang tidak memungkinkan lagi, maka
diputuskan untuk pindah ke rumah Yan Pandei yang menetap di
kampung Cerewed sejak tahun 1970. Saat itu ada 15 KK yang
mengikuti kegiatan ibadah rutin. Dengan semakin bertambahnya
jemaat, tempat ibadah kemudian dipindahkan ke samping rumah
Yan Pandei dengan mendirikan sebuah bangunan yang
menampung untuk beribadah kurang lebih 25 KK (100 jiwa) pada
tahun 1987.
Gemindo Kawan Kasih Bekasi ini resmi menjadi anggota ke
11 yang bernaung di bawah Sinode Gemindo yang berkedudukan di Jl. Kebon Bawang, Tanjung Priok Jakarta Utara.
Sinode Gemindo sendiri resmi terdaftar di Kementerian Agama
dengan surat keputusan No. 129 tahun 1989 dan telah diterima
sebagai anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)

Hasil wawancara denga Ketua RT. 04/-02 Kel. Jatirahayu Bpk Ayu
Sujana tgl. 14 Maret 2010
21

(47)

yang ke 63 dengan surat keputusan No. 027/PGI-XI/SKEP/1993


tanggal 28 September 1993.22
Pembangunan Gereja Gemindo Kawan Kasih Bekasi
Lahan tersedia untuk pembangunan sebuah gereja, maka
pada tanggal 26 Mei 1992 pihak panitia pembangunan gereja
mengajukan permohonan surat kepada lurah untuk
mendapatkan rekomendasi yang pada saat itu masih
menggunakan peraturan lama yaitu Surat Keputusan Bersama
Menag dan Mendagri Nomor 1/BERMDN-MAG/1969 tentang
Pelaksanaan Tugas Aparatur/Pemerintahan dalam Menjamin
Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan
Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya. Surat dimaksud juga
dilampirkan surat keterangan menyatakan tidak keberatan dari
RT dan RW setempat dan tanda tangan tidak keberatan dari
warga sekitar.23
Dengan kesabaran dan mau mendengarkan arahan dan
nasihat baik aparat pemerintah maupun pemuka masyarakat
setempat, melalui proses dan waktu yang cukup lama akhirnya
proses untuk pembangunan gereja ini tinggal menunggu Surat
Izin Mendirikan Bangunan (SIMB) dari Walikota Bekasi, setelah
terpenuhi semua persyaratan sebagaimana diatur baik dalam
PBM tahuan 2006 maupun Peraturan Walikota No. 16 tahun 2006.
Perjalanan pembangunan ini tidak berarti tanpa masalah,
meskipun akhirnya dapat diatasi oleh panitia pembangunan
22 Buku Sejarah Berdirinya Gereja Masehi Injili Indonesia (GEMINDO)
Kawan Kasih, Maret 2008
23 Sejak awal keberadaan gereja ini tidak bermasalah dengan penduduk
sekitar karena pihak gereja dianggap bermasyarakat dengan warga sekitar dan
bahkan lahan yang dibanguan sebuah masjid di daerah ini merupakan
pemberian dari Yan Pandei (almarhum) pendiri GEMINDO Kawan Kasih
dengan Akte hibah No. 1165/H/M/BT/1991.

(48)

gereja. Hambatan terjadi pada awal rencana pambangunan


setelah membangun pondasi, membuat kerangka bangunan
berupa tiang beton/pilar beton dan menutup sebagian bangunan
untuk dapat digunakan sebagai tempat beribadat dan
menghadapi perayaan Natal tahun 1995. Menjelang Natal tahun
1995 itu tiba-tiba tempat rencana gereja ini diserbu oleh massa
yang tidak diketahui menghujani tempat tersebut dengan batu,
menjarah barang-barang yang ada di gereja dan membakarnya
termasuk sebuah mobil kijang dan sepeda motor. Kejadian ini
ditangani dan diproses oleh pihak yang berwajib.
Jemaat sempat berpindah-pindah untuk menumpang
tempat ibadah gereja lain diataranya di gedung gereja HKBP
Durenjaya dan gedung gereja GKP di samping terminal Bus
Bekasi.24
Menurut Kristine, salah seorang pengurus/panitia
pembangunan gereja mengatakan bahwa proses pembangunan
rumah ibadat Gemindo Kawan Kasih ini sudah cukup lama
tetapi memang prosedur itulah yang harus ditempuh karena
ketentuan yang berlaku mengharuskan untuk ditaati.
Pembangunan rumah ibadat tidak ada masalah sepanjang
mengikuti prosedur dan peraturan yang berlaku baik dalam PBM
Tahun 2006 dan atau Peraturan Walikota No. 16 tahun 2006. Juga
perlu dilakukan komunikasi yang intensif dengan warga sekitar
dan para pemuka agamanya. Menurutnya hendaknya tidak
bersikap arogan, seolah-olah dengan uang segala-galanya dapat
diatasi dengan menggunakan kekuatan luar.25

24 Buku Sejarah Berdirinya Gereja Masehi Injili Indonesia (GEMINDO)


Kawan Kasih, Maret 2008
25 Wawancara pada tanggal 15 April 2010.

(49)

Gedung Gereja GPIB Galilea Galaxi


Rencana pembangunan Gereja Protestan di Indonesia
Bagian Barat (GPIB) Jemaat Galilea, telah dirintis sejak 28 Juni
1992. Dimulai dari rencana pembangunan gereja di Jl. Damar XII,
Pekayon Jaya, Bekasi Selatan. Namun warga sekitarnya menolak.
Rencana pembangunan terpaksa pindah ke Jl. Delta Raya
Pekayon, Bekasi Selatan, namun ditolak juga oleh warga,
akhirnya pindah lagi ke Jl. Aralia Raya, Kemang Pratama II,
Bekasi Timur dan ditolak juga. Karena ditolak juga, akhirnya
pindah ke Pondok Pekayon Indah (PPI), Bekasi Selatan. Warga
masyarakat setempat tidak mau menerima kehadiran bangunan
gereja di kampungnya. Panitia pembangunan gereja Galilela
mencari lokasi baru dan berhasil mendapatkan lokasi yang baru,
di atas lahan seluas 500 m2 di Jl. Cendana A-42, RT 001, RW 04,
komplek perumahan Pekayon Jaya, Kelurahan Pekayon Jaya,
Kecamatan Bekasi Selatan, Kota Bekasi.
Kepindahan gereja hingga lima kali terjadi lantaran
pembangunan gereja Galilea berada di tengah-tengah masyarakat
mayoritas beragama Islam taat dalam menjalankan agamanya.
Sebaliknya umat Kristen dengan segala denominasinya yang
terkadang hanya beberapa orang saja berkeinginan mendirikan
gereja. Praktis, jemaat yang memenuhi gereja yang bersangkutan
(GPIB jemaat Galilea) jauh lebih banyak yang berasal dari luar
wilayah gereja itu berada. Itulah konsekuensi umat beragama
yang menjadi fenomena di berbagai pemukiman penduduk
Kota/Kabupaten Bekasi.
Mestinya ketika tidak cukup di tingkat RT, maka harus
naik di tingkat RW. Jika di tingkat RW, persyaratan tidak cukup
juga, maka harus dinaikkan di tingkat Desa/Kelurahan. Jika di
tingkat Desa/Kelurahan belum terpenuhi, maka naik di tingkat
kecataman dan seterusnya. Jika warga tetap menolak juga, maka
(50)

pemerintah wajib memfasilitasi tempat ibadah tersebut agar


setiap warga negara dapat beribadah secara baik dan lancar.
Panitia pembangunan gereja Galilea, akhirnya melalui
surat nomor 52/MJ-GAL/06/1999, tertanggal 5 Juni 1999, Panitia
Pembangunan Gereja Galilela mengajukan permohonan izin ke
Walikota Bekasi dan dikabulkan. Seiring diajukannya
permohonan izin ke walikota oleh panitia, mulai muncul
berbagai penolakan dari masyarakat setempat. Pihak Gereja
Galilea berusaha melakukan pendekatan dengan kelurahan
Pekayon Jaya dan aparat Kecamatan Bekasi Selatan.
Setelah lebih dari empat tahun dan berhasil mendapatkan
dukungan dari 15 tokoh masyarakat dan 100 KK, akhirnya Lurah
Pekayon Jaya (Asep Supyandi) pada tanggal 17 Desember 2004,
memberikan rekomendasi persetujuan. Dua bulan berikutnya, 17
Februari 2005, Camat Bekasi Selatan (Drs. Makbullah) juga
memberikan rekomendasi persetujuan. Alasannya, sebagaimana
terungkap dalam surat nomor 452.2/090-kec.BS/2005 itu,
lantaran: a) sudah ada rekomendasi dari Lurah Pakayon Jaya; b)
sebagai tindak lanjut dari surat Camat Bekasi Selatan pada
tanggal 15 Juni 2003 yang ketika itu ditanda-tangani oleh Drs.
Junaedi; c) sudah ada persetujuan warga pada tanggal 11
Febrauri 2002.
Tanggal 25 Februari 2005, Ketua Panitia Pembangunan
Gereja Galilea, Egbert Marulitua Siagian dan Ketua Jemaat GPIB
Galilea Pdt. Timotius Susilo S.Si mengajukan surat permohonan
baru kepada Walikota Bekasi H. Akhmad Zurfaih S.Sos untuk
mendapatkan izin bagi pembangunan Gereja Galilela.
Masyarakat sempat resah atas munculnya pembaruan IMB
itu, dan suasana pun menjadi tidak kondusif. Mayoritas warga
kelurahan Pekayon Jaya berbalik menolak rencana pembangunan
(51)

gereja di wilayahnya. Warga setempat khawatir akan terjadi


pemurtadan
dilingkungannya.
Mendengar kekhawatiran
masyarakat setempat, jemaat Gereja Galilea berjanji tidak akan
melakukan pemurtadan terhadap orang-orang Islam di sekitar
Gereja. Sayang masyarakat tetap tidak mempercayainya.
Pada Sabtu malam Ahad, tanggal 5 Mei 2005, warga
masyarakat Pekayon Jaya menyelenggarakan rapat akbar di
Masjid Jami Al-Huda. Dalam kesempatan itu, sebanyak 256
warga dan tokoh masyarakat setempat menuliskan nama, alamat,
dan tanda tangannya, menolak pendirian gereja di Pekayon Jaya.
Akibatnya pada tanggal 1 Juni 2005, melalui surat nomor:
Kd.10.21/I/Ba.00.712.2005, Kepala Kantor Kementerian Agama
Kota Bekasi, H. Nuh Mahmud tidak bersedia memberikan
rekomendasi bagi rencana pembangunan gereja GPIB Jemaat
Galilea, karena permasalahan di wilayah masyarakat sekitar
tempat pembangunan gereja belum selesai.
Tanggal 14 September 2005, panitia mengajukan surat
susulan yang tembusannya disampaikan kepada Presiden RI,
Ketua DPR-RI, Ketua Umum Sinode GPIB Jakarta, Ketua Umum
PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) pusat di Jakarta,
serta instansi tingkat Kota Bekasi, termasuk Camat Bekasi Selatan
dan Lurah Pekayon Jaya yang kesemuanya ada 13 instansi
tingkat Pusat dan tingkat Kota Bekasi.
Pada tanggal 7 Februari 2006, surat susulan ketiga (Nomor
02/MJ-GAL/I/2006) dilayangkan kembali dengan tembusan
yang sama dengan surat susulan sebelumnya. Tanggal 20
Februari 2006, Sekretaris Daerah Kota Bekasi, Tjandra Utama
Effendi,
melalui
surat
Nomor:
451/291-Kesos/II/2006
menyatakan bahwa surat Panitia pembangunan gereja Galilea
belum dapat diproses karena berkas permohonan yang Saudara
sampaikan belum lengkap, yaitu Rekomendasi Kepala Kantor
(52)

Departemen Agama Kota Bekasi dan Rekomendasi Dinas Sosial


Kota Bekasi.
Salah satu acuan pemberian rekomendasi pendirian rumah
ibadat di Kota Bekasi di masa itu, adalah Surat Keputusan
Walikota Nomor 19 tahun 1999, tentang Tatacara Penyelesaian
Pertimbangan Persetujuan Pendirian Sarana Peribadatan di
Wilayah Kotamadya Tingkat II Bekasi, di samping berbagai
perundang-undangan dan peraturan di tingkat operasionalnya.
Sementara FKUB Kota Bekasi waktu itu belum berdiri.
Setelah gagal mendirikan Gereja Galilea di 5 lokasi yang
berbeda, karena penolakan warga setempat, Jemaat Galilea masih
memperjuangkannya. Mereka pindah ke wilayah yang baru,
yaitu perumahan Taman Galaxi I/Villa Galaxi, Blok BA-2,
Kaveling Nomor 45-46, RT 005, RW017, Kelurahan Jakasetia,
Kecamatan Bekasi Selatan, Kota Bekasi. Pembangunannya berada
di atas sebidang tanah seluas 550 m2 dari 149.870 m2 yang dibeli
pada tanggal 23 April 2007 sesuai dengan Akte Notaris Sermida
Silaban SH, Nomor 5.
Gereja Galiliea mengklaim telah memiliki jemaat 135 KK,
atau sekitar 600 (enam ratus) jiwa yang tersebar di berbagai
kawasan perumahan dari berbagai kecamatan di Kota Bekasi. Di
antaranya dari perumahan Villa Galaxy, perumahan Kemang
Pratama, perumahan Delta Pekayon Jaya, perumahan Pekayon
Jaya II, perumahan Pondok Pekayon Indah, perumahan
Peninsula Garden, perumahan Depnaker, perumahan Jatiasih,
perumahan Pondok Mitra Lestari, perumahan Century Garden,
perumahan Griya Metropolitan, dan perumahan Narogong.
Di lokasi yang baru ini (Villa Galaxi, Jakasetia)
sesungguhnya sudah berdiri 5 (lima) buah gereja dari
denominasi yang berbeda, yakni gereja Bartholomeus, gereja
(53)

Oukemene, gereja GBKP, gereja Methodis, dan gereja POUK.


Selain itu, juga sudah berdiri sekolah Pax Patriace yang megah,
dan kantor kegiatan Paroki, dan lain lain yang kesemuanya
berada dalam satu lingkungan, yakni RT 05, RW 017, Kelurahan
Jakasetia, Kecamatan Bekasi Selatan.
Majelis Sinode GPIB membentuk kepanitiaan baru sebagai
pengganti kepanitian yang lama. Melalui surat keputusan No.
0797/1-07/MS XVIII/Kpts, tertanggal 19 Januari 2007, Majelis
Sinode GPIB Jemaat Galilea mengangkat Panitia yang baru untuk
masa tugas tahun 2007-2008, terdiri dari Ketua Dra. Roosiana
Sahusilawane, Sekretaris Amelia Dhamayanti, dan Bendahara
Soebekti.
Panitia menghubungi Kantor FKUB, seraya menyerahkan
surat tertanggal 23 Mei 2007, yang isinya memohon agar
diterbitkan rekomendasi bagi pembangunan Gereja Galilea.
Tembusan surat itu dikirimkan ke Wakil Walikota Bekasi, dan
Kapolres Bekasi. Sesuai ketentuan, surat Panitia itu dilampiri
antara lain nama-nama jemaat Galilea dan warga sekitar yang
menerima rencana pembangunan gereja dimaksud berikut fotocopy KTP yang dilegalisir pejabat setempat. Panitia juga telah
mendapatkan rekomendasi dari Lurah Jakasetia Nurtani, SIP dan
Camat Bekasi Selatan Drs. H. Makbullah, yang juga dilampiri
persetujuan Ketua RT 05/RW 017 Yadih, Ketua RW 017 Nanin
Sudiar, Ketua RW 018 H. Sarih Mulyana, dan Ketua RW 019 Ir.
Deden Dermawan.
Surat itu direspon dan dipelajari oleh FKUB dengan
mempelajarinya. Beberapa hari berikutnya, dilakukan peninjauan
ke lokasi, di bawah koordinasi Ketua FKUB. Hasil peninjauan
belum bisa disimpulkan, karena belum dilakukan pengecekan
langsung kepada warga yang foto-copy KTP-nya disertakan
dalam lampiran surat Panitia.
(54)

Beberapa orang anggota FKUB dari wilayah kerja


kecamatan Bekasi Selatan di bawah koordinasi Drs. H. Soekandar
Ghozali melakukan cros-check ke warga sekitar lokasi gereja
Galilea yang nama-nama berikut foto copy KTP-nya tertera
dalam lampiran surat permohonan Panitia. Hasilnya, tidak
semua warga tahu dan sadar kalau namanya tercantum dalam
daftar sebagai orang-orang yang tidak keberatan bila di
wilayahnya dibangun lagi gereja baru yaitu gereja GPIB Galilea.
Sebaliknya, jauh lebih banyak warga masyarakat yang keberatan
dan menolak bila di lingkungan yang telah berdiri lima gereja
akan berdiri gereja baru lagi.26
Dari hasil pengecekan dan konfirmasi peneliti di lapangan
baik dilakukan terhadap Ketua RT, Yadih27 warga RT.05/17 yang
menyetujui. Informasi dari aparat desa dan beberapa warga
terungkap bahwa:
a. Panitia Gereja Galilea pernah datang ke warga bersilaturrahim
menawarkan bantuan untuk perbaikan fasilitas umum seperti
saluran air got dan pernah memberi beberapa sak semen, serta
menjanjikan bantuan, dan merekapun memberikan tanda
tangan persetujuan;
b. Dari 63 orang yang membubuhkan tanda tangan sebagai
persetujuan tidak keberatan dibangunnya gereja di wilayah
mereka ini, keseluruhan adalah penduduk RW. 17.28
Dari hasil penelusuran terhadap daftar nama-nama calon
pengguna Gereja GPIB yang berjumlah 202 orang (sudah lebih
dari 90 orang yang disyaratkan). Tetapi, faktanya ada yang
kurang tepat. Panitia mencantumkan nama-nama yang sebagian
26 Laporan Kronologis singkat pembangunan Gereja Galelia oleh Ketua
FKUB Kota Bekasi 18 Maret 2009.
27 Wawancara dengan Ketua RT. 05/17 pada tanggal 20 Maret 2010
28 Wawancara dengan Somad dan Nur pada tanggal 28 Maret 2010

(55)

bukan pengikut/ jemaat Gereja GPIB Galilea. Dari 17 orang


jemaat beralamat di Villa Galaxi di mana letak gereja akan
dibangun setelah dikonfirmasi penulis ke rumah masing-masing
sedikitnya sebanyak 8 orang menyatakan bukan jemaat GPIB
Galilea.
Bahkan dari Pulo Minas Rt. 05/17 di kampung masyarakat
yang memberikan persetujuan, dari 25 orang yang tercantum
dalam daftar calon pengguna gereja GPIB Galilea tidak seorang
pun yang menjadi jemaat Gereja Galilea ini. Hal ini terjadi,
kemungkinan karena jemaat GPIB tempat tinggalnya tersebar di
berbagai komplek perumahan, sehingga mengalami kesulitan
untuk mendapatkan tanda tangan persetujuan.
Gereja yang dimanfaatkan oleh jemaat GPIB adalah bekas
Gereja Toraja yang digunakan beribadat pada tanggal 28 Maret
2010. Klaim salah satu pengurus bahwa jemaatnya lebih dari 90
orang, namun pada saat mereka beribadat, jemaat yang hadir
tidak lebih dari 5060 orang jemaat. Mungkin hal ini, karena
banyak berhalangan hadir dalam ritual itu, sebagaimana umat
Islam juga seperti itu29
Kronologi Penolakan Masyarakat Bekasi
Rencana pembangunan gereja oleh GPIB ini sudah berkalikali dilakukan hingga 5 (lima) kali pindah. Perpindahan
disebabkan penolakan keras dari warga setempat karena
dianggap tidak memenuhi persyaratan.
Pada tanggal 6 Juni 2007 bertepatan dengan 20 Jumadil
Awal 1428 H, diselenggarakan silaturrahim masjid dan mushalla
Kecamatan Bekasi Selatan, kemudian disampaikan surat
Penulis setidaknya 4 kali melakukan observasi dan penelusuran di
lapangan masing-masing tanggal 16, 20, 28 Maret dan 11 April 2010.
29

(56)

penolakan ditujukan kepada Ketua FKUB. Ada 5 (lima) alasan


penolakan terhadap pembangunan gereja Galilela yang
disampaikan melalui surat Nomor 01/SMM/VI/ 2007, yaitu:
a. Di wilayah tersebut khususnya di lingkungan Rt.05/17 telah
berdiri dan beroperasi 5 (lima) gereja besar dari berbagai
denominasi, yang mungkin melebihi kuota kebutuhan warga
Kristen atau Katolik di wilayah perumahan Galaxy dan
sekitarnya.
b. Sebagian besar jemaat gereja-gereja tersebut di atas berasal
dari Villa Galaksi, Taman Galaksi, Pondok Pekayon, Pulau
Ribung dan Kampung Pulo Minas Kelurahan Jakasetia.
c. Diduga terjadi manipulasi persetujuan warga oleh oknum
RT/RW setempat, yang menyatakan bahwa warga tidak
berkeberatan yang diwakili oleh sejumlah warga dari
Kampung Pulo Minas. Mayoritas warga sekitar, keberatan dan
menolak rencana pembangunan gereja tersebut, karena rumah
ibadat yang ada sudah cukup.
d. Adanya 5 (lima) gereja besar yang sudah ada, karena fasilitas
parkir yang tidak memadai, sehingga menimbulkan
ketidaknyamanan bagi warga sekitar.
Surat penolakan pembangunan gereja Galilea itu ditandatangani oleh Ketua-ketua Pengurus DKM Masjid, Mushalla dan
Majlis Taklim se kecamatan Bekasi Selatan.
Pada tanggal 29 Mei 2009, Forum Silaturrahmi Masjid &
Mushalla Bekasi Selatan (FSMM) mengirimkan surat kepada
Ketua FKUB Kota Bekasi, nomor 12/SMM/V/2009 berisi
Penegasan Kembali Penolakan Pembangunan Gereja GPIB
Galilea. Dalam surat itu FSMM menyinggung 3 (tiga) suratnya
terdahulu yang isinya sama tentang Penegasan Penolakan
Pembangunan Gereja GPIB Galilela. Ketiga surat itu adalah:
a. Surat Nomor 01/SMM/VI/2007, tanggal 6 Juni 2007.
(57)

b. Surat Nomor 02/SMM/VIII/2007 tanggal 26 Agustus 2007


c. Surat Nomor 04/SMM/IX/2008 tanggal 15 September 2008
yang ditujukan kepada Kepala Kantor Kementerian Agama
Kota Bekasi. Ketiga surat itu diulang dengan surat ke-empat.
Alasan yang dikemukan FSMM itu adalah:
a. Diduga terjadi manipulasi persetujuan warga yang tandatangan dan KTP-nya disertakan dalam proses perizinan, yang
dianggap tidak sesuai PBM Nomor 9 dan 8 tahun 2006.
b. Menimbulkan keresahan warga sekitar.
c. Pernyataan penolakan 14 masjid dan mushalla serta warga
muslim Bekasi Selatan yang tertuang dalam Piagam Galaxi
tertanggal 13 Agustus 2007, serta
d. Penolakan masyarakat yang dituangkan dalam Pernyataan
Sikap Umat Islam dan Ormas-ormas Islam se-Bekasi tanggal 5
Desember 2007.
Usaha PPG GPIB Galilea terus berlanjut untuk
mendapatkan rekomendasi dari FKUB disamping itu juga
melaporkan kepada Polres Kota Bekasi dan Walikota yang
tembusannya dikirim kepada 15 instansi pemerintah dari RT
sampai Presiden.30 berdasarkan rapat pleno FKUB, pada tanggal
11 Februari 2009, diterbitkan rekomendasi pembangunan gereja
GPIB Jemaaat Galilea Bekasi. Rekomendasi itu berbunyi, antara
lain:
Menetapkan: Memberikan rekomendasi persetujuan terhadap
permohonan pembangunan Gereja GPIB Jemaat Galilea Bekasi, yang
berada di Taman Galaxi I / Villa Galaxi Blok BA-2, Kaveling no. 45-46,
RT 005 RW 017 kelurahan Jakasetia, Bekasi Selatan, Kota Bekasi, di
atas lahan seluas 550 m2.
Kronologis rencana pembangunan Gereja GPIB Galilea oleh Ketua
FKUB Kota Bekasi
30

(58)

Rekomendasi tersebut dapat dikeluarkan dengan catatan


apabila dikemudian hari terjadi penolakan dari masyarakat,
maka surat rekomendasi ini bisa dicabut kembali dan
penyelesaian selanjutnya sesuai dengan Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 tahun
2006, Bab VI, pasal 21, dilakukan oleh Walikota Bekasi.
Pada tanggal 25 Oktober 2009, FKUB mendapat informasi,
telah dilakukan pemancangan dan batu pertama bagi
pembangunan gereja. Pada hari yang bersamaan warga muslim
berkumpul untuk menolak rencana tersebut.
FKUB mendapat kiriman foto kopi Keputusan Walikota
Bekasi Nomor 452.2/Kep.201-BPPT/V/2009, tanggal 20 Mei
2009, tentang Pemberian Rekomendasi Pendirian Gereja GPIB
Jemaat Galilea Kepada Panitia Pembangunan Gereja GPIB Jemaat
Galilea
yang ditandatangani Walikota Bekasi Mochtar
Mohamad. SK Walikota itu memutuskan:
KESATU: Memberikan Rekomendasi Pembangunan Gereja
GPIB Jemaat Galilea di atas tanah seluas 550 m2 yang beralamat
di Taman Galaxy I / Villa Galaxy Blok BA-2 Kaveling No. 45-46
RT 005, RW 017 Kelurahan Jakasetia Kecamatan Bekasi Selatan.
KEDUA: Pemberian izin sebagaimana dimaksud diktum
KESATU keputusan ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Menyelesaikan Rekomendasi Kementerian Agama Kota
Bekasi.
b. Pengurus Gereja GPIB Galilea wajib merubah status tanah.
c. Setelah mendapat rekomendasi, pemohon agar segera: (a)
menyelesaikan Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT).
(b) menyelesaikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
SK Walikota itu ditembuskan kepada FKUB, tetapi FKUB
belum pernah menerima tembusan dimaksud kendatipun sudah
(59)

meminta kepada fihak Badan Pelayanan Perizinan Terpadu


(BPPT).
Pada tanggal 26 Oktober 2009, FSMM mengirim surat
kembali kepada Ketua FKUB Kota Bekasi. Mereka keberatan dan
resah dengan dimulainya peletakan batu pertama pembangunan
gereja GPIB Galilea itu. Mereka meminta kepada FKUB Kota
Bekasi agar segera mencabut surat rekomendasi No.
26/Rek.FKUB/II/2009. Surat FSMM Bekasi Selatan ditandatangani 28 pengurus masjid, mushalla dan majelis taklim seKecamatan Bekasi Selatan. Tembusannya dikirimkan kepada
Walikota Bekasi Selatan, Ketua DPRD Kota Bekasi, Kapolresta
Kota Bekasi, Ketua MUI Kota Bekasi, KakanKemenag Kota
Bekasi, Camat Bekasi Selatan, Kapolsek Bekasi Selatan, Lurah
Jaka Setia dan TPM Kota Bekasi. Surat FSMM itu juga dilampiri
foto-foto lokasi pembangunan Gereja Galilea yang memperlihatkan suasana persiapan pembangunan lengkap dengan tenda
upacara pemancangan tiang pertama, alat-alat berat, reaksi
masyarakat dengan melakukan orasi di lokasi pembangunan
yang dikelilingi bedeng yang terbuat dari seng, dan lain lain.
Peran Pemerintah dalam Penyelesaian Perselisihan
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk
menyelesaikan setiap perselisihan tentang penggunaan
rumah/ruko sebagai rumah ibadat, baik melalui musyawarah
maupun dengan tindakan tegas aparat keamanan jika terjadi halhal di luar kendali.
Dalam menangani kasus pendirian rumah ibadat Gereja
GPIB Galilea pemerintah setempat telah berusaha melakukan
berbagai upaya sebagai berikut:
a. Rapat koordinasi intelejen dari berbagai instansi (Kominda)
Kota Bekasi menjelang diselenggarakan Pemilihan Kepala
(60)

Daerah (Pilkada) Kota Bekasi. Rapat menyimpulkan agar


masalah rencana pendirian gereja Galilea disikapi dengan
arif. Menunggu sampai kondisi masyarakat benar-benar
kondusif.31
b. PPG Galilea menulis surat kepada Kapolres Bekasi, diikuti
utusan Kapolres menemui Ketua FKUB. Ketua FKUB
menyanggupi membicarakan masalah Gereja Galilea, baik
sendirian maupun bersama dengan pengurus/ anggota
FKUB lainnya. Polres dapat memahami sikap FKUB yang
tidak serta merta memberikan rekomendasi, karena
masalahnya sangat peka. Reaksi masyarakat yang menolak
sangat keras dan lebih banyak daripada yang menyetujuinya.
Secara khusus telah berulang kali disampaikan oleh
Pengurus FKUB kepada Ketua Panitia Pembangunan Gereja
Galilea, bahkan Ketua FKUB megingatkan untuk melakukan
pendekatan sebaik-baiknya dengan mayarakat. Bila tidak ada
pendekatan yang baik dipastikan pendirian gereja tidak akan
terwujud.
Catatan: Masyarakat pada umumnya memahami agama yang
difasilitasi pemerintah Indonesia ada 6 yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha dan Kong Hu Cu. Masyarakat juga memahami tempat peribadatan yang
dikenal selain masjid, mushalla, wihara, adalah gereja untuk umat Nasrani
(Katolik dan Kristen). Karena itu sebagian masyarakat masih bisa menerima
ketika di suatu tempat / wilayah terdapat sebuah gereja, meski jemaat yang
mendatanganinya kebanyakan berasal dari luar lingkungannya. Tapi ketika di
suatu lingkungan kecil (RT atau RW) bangunan gereja berbilang jumlahnya,
masyarakat menganggapnya sudah berlebihan. Masyarakat secara umum belum
bisa membedakan antara satu denominasi dengan denominasi lain dalam
Agama Kristen yang banyak jumlahnya dengan latar belakang pemahaman dan
cara peribadatan yang berbeda satu dengan lainnya. Hal ini sudah barang tentu
memerlukan pendekatan yang baik, agar masyarakat memahami keaneka
ragaman sekte-sekte tadi. Karena itulah mereka menolak keras rencana
pembangunan gereja GPIB jemaat Galilea sedang persis di sebelahnya sudah ada
Gereja Kristen Methodis dan di depannya ada beberapa gereja sejenis dari
Kristen Protestan dan Katolik.
31

(61)

c. Pada tanggal 25 Februari 2008, Kepala Solinbermas Kota


Bekasi mengadakan rapat bersama Ketua FKUB, Kepala
Kemenag Kota Bekasi, Camat dan Lurah Jakasetia, agenda
membahas masalah rencana pembangunan Gereja Galilea.
Rapat menyimpulkan dapat memahami sikap FKUB yang
belum
memberikan
rekomendasi
kepada
Panitia
Pembangunan Gereja Galilea sebelum keadaan masyarakat
sekitar benar-benar kondusif.
d. Pada tanggal 29 Agustus 2008, diadakan pertemuan di
Kantor Kecamatan Bekasi Selatan yang dihadiri oleh tokohtokoh masyarakat, unsur Muspika Bekasi Selatan, unsur
Kandepag Kota Bekasi, Pengurus FKUB Kota Bekasi, dan
Panitia Pembangunan Gereja GPIB Jemaat Galilea Bekasi.
Pertemuan membahas rencana pembangunan gereja
dimaksud yang tak kunjung selesai.
e. Tanggal 11 Februari 2009, FKUB mengadakan Rapat Pleno
kembali membahas masalah permohonan rekomendasi dari
Panitia Pembangunan Gereja GPIB Galilea Bekasi. Dalam
pertemuan itu disimpulkan, rekomendasi bisa dikeluarkan
oleh FKUB dengan catatan, manakala masih terdapat
kalangan masyarakat yang keberatan terhadap rencana
pembangunan gereja dimaksud, maka penyelesaian
selanjutnya diserahkan kepada Walikota Bekasi.
f. Tanggal 24 November 2009, Camat Bekasi Selatan
mengundang FKUB Kota Bekasi membahas surat FSMM
Nomor 18/SMM/X/2009, tanggal 26 Oktober 2009. Hadir
dalam acara itu FKUB, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
(BPPT), Kemenag Kota Bekasi, Dinas Hukum&Perundangundangan Kota Bekasi, Wakapolsek Bekasi Selatan, Lurah
Pekayon, Sekcam Bekasi Selatan, KUA Bekasi Selatan. Rapat
dipimpin langsung oleh Camat Bekasi Selatan. Rapat

(62)

membahas proses awal rencana pembangunan gereja GPIB


Galilea, berbagai reaksi yang muncul serta sikap Panitia
Pembangunan, sampai akhirnya terbit SK Walikota Nomor
452.2/Kep.201-BPPT/V/2009,
tentang
Pemberian
Rekomendasi Pendirian Gereja GPIB Jemaat Galilea Kepada
Panitia Pembangunan Gereja GPIB Jemaat Galilea, tanggal 20
Mei 2009. Rapat juga mendapat keterangan dari aparat
keamanan yang melaporkan di lokasi pembangunan terus
berjalan kendatipun belum ada IMB.
Setelah mendengar keterangan, usul dan saran dari
segenap yang hadir, rapat menyimpulkan Pembangunan
Gereja GPIB Jemaat Galilea harus dihentikan sementara
dengan alasan; pertama, syarat-syarat yang dikehendaki
dalam SK Walikota itu belum terpenuhi, yaitu (1)
Rekomendasi dari Kandepag Kota Bekasi, dan (2) status
tanah belum dirubah. Kedua, adanya keresahan masyarakat
yang makin memuncak dan cenderung menimbulkan
ketegangan di kalangan masyarakat.
Pada tanggal 17 Maret 2010 di Aula Kantor
Kementerian Agama Kota Bekasi diadakan pertemuan
silaturahim tokoh agama, tokoh masyarakat Islam se-Kota
Bekasi dan dihadiri oleh Asda III mewakili Bupati. Salah satu
pembahasan dalam pertemuan ini adalah persoalan
pendirian rumah ibadat termasuk Gereja Galilea, yang
sampai saat penulisan makalah ini belum ada titik terang
penyelesaiannya.
Analisis
Berbagai persoalan yang muncul di seputar pembangunan
rumah ibadat di Kota Bekasi ini bukan hanya tidak terpenuhinya
persyaratan yang diatur oleh PBM tahun 2006 maupun Peraturan
(63)

Walikota Nomor: 16 tahun 2006, tetapi juga disebabkan oleh


masing-masing pihak yang terlibat dalam persoalan ini sering
mengedepankan pendapat pribadi. Masing-masing berargumen
memperkuat pendiriannya. Perizinan yang dikeluarkan secara
tidak prosedural tanpa memperoleh rekomendasi dari Kantor
Kementerian Agama Kota Bekasi sering menjadi penyebab. Hal
ini menyalahi Peraturan Walikota No. 16 tahun 2006 tentang Tata
cara Pendirian Rumah Ibadat di Kota Bekasi.
Panitia pembangunan gereja mulai bekerja membangun
gereja, sementara IMB belum terbit dan mengabaikan
saran/kerjasama dengan penyelenggara Bimas Kristen
Kementerian Agama Kota Bekasi. Sementara pihak yang
keberatan tidak memberikan ruang dan kesempatan berdialog
dengan panitia.
Pihak FKUB sendiri telah melakukan tinjauan lapangan
tetapi kurang mendalam, tidak mengecek kebenaran daftar
nama-nama calon pengguna,32 karena seringnya mendapat
desakan untuk segera mengeluarkan rekomendasi. Dari pihak
pemerintah telah melanggar peraturan yang ditetapkan sendiri
seperti
telah
mengeluarkan
Surat Rekomendasi
izin
pembangunan gereja yang seharusnya menurut peraturan
Walikota Nomor; 16 tahun 2006 harus melampirkan Surat
rekomendasi dari Kantor Kementerian Agama.
Panitia berkeinginan pembangunan dapat terselenggara
secepatnya disamping permintaan jemaat gereja yang
menginginkan gereja mereka segera bisa terwujud.

Catatan: Jumlah Sinode dalam Kristen terlalu banyak sehingga sulit


untuk membedakan anatara pengikut satu denominasi dengan yang lain
32

(64)

Ringkasan
Dari hasil penelusuran yang dipaparkan di atas, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Pendirian rumah ibadat yang kemudian memperoleh
penolakan dari warga sekitar disebabkan oleh berbagai hal;
1) Rencana lokasi pendirian rumah ibadat dianggap tidak
tepat karena sebagian besar calon pengguna tidak
bermukim di wilayah dimana akan dibangun rumah
ibadat dimaksud.
2) Tidak ada komunikasi sebelumnya antara panitia
pembangunan dengan masyarakat sekitar.
3) Pembangunan rumah ibadat tidak berdasarkan
keperluan nyata dan sungguh-sungguh.
4) Ada ketidakjujuran panitia dalam pencantuman nama
calon pengguna rumah ibadat.
b. Pendirian rumah ibadat yang disetujui warga:
1) Panitia maupun calon pengguna rumah ibadat
sebelumnya sudah bersosialisasi dengan warga
sekitar.
2) Mengikuti prosedur yang telah diatur oleh PBM
maupun peraturan pemerintah daerah.
3) Ada kerjasama dengan perwakilan yang ada di
pemerintah, dan ada kesabaran menunggu.
4) Betul-betul berdasarkan keperluan nyata dan
sungguh-sungguh.
c.

Berbagai upaya pemerintah setempat dilakukan untuk


penyelesaian kasus pendirian rumah ibadat dengan cara:
1) Koordinasi antar instansi terkait, dengan melakukan
rapat-rapat dengan melibatkan semua unsur terkait;
2) Mempertemukan antara panitia pembangunan dengan
perwakilan warga/masyarakat yang menolak;
(65)

3) Menunda
dikeluarkannya
rekomendasi
oleh
Kementerian Agama Kota Bekasi (khusus Gereja
Galelia) karena kondisi masyarakat sekitar belum
kondusif.

a.

b.

c.

d.

e.

f.

Sesuai hasil penelitian, maka disarankan sebagai berikut:


Sosialisasi peraturan perundangan-undangan yang menyangkut pendirian rumah ibadat baik PBM Nomor: 9 dan 8 tahun
2006 maupun Peraturan Walikota Nomor: 16 Tahun 2006,
perlu dilakukan terus menerus.
Pihak Panitia Pembangunan Rumah Ibadat diminta untuk
mentaati peraturan yang ada, dan dapat bekerjasama dengan
para penyelenggara Bimas masing-masing di Kantor
Kementerian Agama Kota Bekasi.
Tim verifikasi baik dari FKUB maupun dari Kantor
Kemeterian Agama Kota Bekasi diharapkan dapat
melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab, dan
lebih teliti sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pemerintah melalui Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
(BPPT) agar dalam memberikan surat izin harus sesuai
dengan peraturan yang telah ditetapkan sendiri dan PBM
Nomor: 9 dan 8 tahun 2006.
Pemerintah dalam hal ini Kantor Kementerian Agama perlu
tegas, jika PPG sudah mendapatkan persetujuan warga
sekitar, hendaknya tetap mengeluarkan surat rekomendasi
meskipun mendapat protes dari warga lain di luar wilayah
sekitar.
MUI Kota Bekasi memberikan pengertian pada masyarakat
dan melakukan pembinaan masyarakat dalam memahami
perbedaan.

(66)

3
Pendirian Rumah Ibadat
di Kabupaten Tangerang
Oleh: Titik Suwariyati
Geografi dan Demografi
Kabupaten Tangerang terletak di bagian Timur Provinsi
Banten pada koordinat 10620'-10643' Bujur Timur dan 600'620' Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Tangerang
1.110,38 km2 atau 12,62% dari seluruh luas wilayah Provinsi
Banten. Wilayah di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa,
sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota
Tangerang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor
dan Kota Depok, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Serang dan Lebak.
Penduduk Kabupaten Tangerang sebanyak 3.103.299 jiwa
terdiri dari laki-laki 1.116623 jiwa dan perempuan 1.986.677 jiwa
tersebar di 29 Kecamatan. Kepadatan penduduk 3.129 jiwa/km.
Sebagai daerah penyangga Jakarta, banyak penduduk yang
bekerja di Jakarta. Namun karena Kab. Tangerang juga
merupakan daerah industri, sehingga banyak orang datang dan
bekerja di pabrik-pabrik. Perkembangan pemukiman di sekitar
pabrik-pabrik itu telah mempercepat pertambahan penduduk.
Mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia bermacam-

(67)

macam suku dan agama, yang akhirnya berimbas pada


kebutuhan rumah ibadat.
Secara topografi, Kabupaten Tangerang terdiri dari wilayah
dataran rendah dan dataran tinggi. Dataran rendah sebagian
besar berada di wilayah utara yaitu Kecamatan Teluknaga,
Mauk, Kemiri, Sukadiri, Kresek, Kronjo, Pakuhaji, dan Sepatan.
Sedangkan dataran tinggi berada di wilayah bagian tengah ke
arah selatan.
Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Pemerintahan
Kabupaten Tangerang adalah daerah tingkat dua di
wilayah Provinsi Banten yang sekaligus menjadi penyangga DKI
Jakarta, hanya berjarak 30 km dari Ibukota negara dengan waktu
tempuh 30 menit. Pusat perkembangan signifikan di Kabupaten
Tangerang yaitu Serpong, Balaraja dan Tigaraksa dan Teluk
Naga. Daerah Serpong meliputi enam kecamatan, yaitu Serpong,
Ciputat, Pondok Aren, Legok dan Curug yang menjadi pusat
pertumbuhan pemukiman. Pusat pertumbuhan Balaraja dan
Tigaraksa berupa kawasan industri, pemukiman dan pusat
pemerintahan meliputi delapan kecamatan yaitu Balaraja, Rajeg,
Pasar Kemis, Tigaraksa, Kresek, Cisoka, Cikupa, Kronjo, Jayanti,
Jambe, dan Panongan. Teluk Naga meliputi lima kecamatan yaitu
Teluk Naga, Kosambi, Sepatan, Mauk, Pakuhaji, Kemiri, dan
Sukadiri. Wilayah-wilayah ini diarahkan untuk pengembangan
sektor pariwisata bahari dan alam, industri maritim, pelabuhan
laut, perikanan, dan tambak.
Sebagai daerah sentra industri, di sektor ekonomi sebagian
besar penduduk bekerja bidang industri dan jasa. Penyerapan
sektor industri pada tahun-tahun belakangan mengalami
hambatan, karena banyak pabrik tutup dan tidak berproduksi
(Tempointeraktif.com,2007).
(68)

Tutupnya beberapa pabrik menyebabkan berkurangnya


lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan berpengaruh pada
peningkatan angka pengangguran.
Masyarakat Kabupaten Tangerang memiliki kultur budaya
campuran Betawi, Jawa, Banten dan Priangan. Sebagian
penduduk menggunakan bahasa Indonesia sebagai media
komunikasi sehari-hari, dan sebagian lagi menggunakan bahasa
Sunda dan bahasa Jawa, bahasa kaum pendatang dari Jawa.
Masyarakat Kabupaten Tangerang termasuk masyarakat
yang dinamis dan gemar akan kesenian. Karakter kesenian yang
ada di Kabupaten Tangerang adalah perpaduan antara seni
budaya Betawi, Banten dan Priangan. Beberapa kesenian yang
berkembang sampai saat ini diantaranya seni musik Gambang
Keromong dan Tari Krecek yang merupakan tarian pergaulan
banyak berkembang di kawasan Teluk Naga dan Kosambi.
Kondisi Kehidupan Keagamaan
Kabupaten Tangerang terkenal dengan sebutan daerah
industri, sehinga banyak penduduk yang berdatangan ke kota
Tangerang untuk mengadu nasib. Terdapat berbagai suku yang
memeluk agama masing-masing, yakni Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Buddha dan Khonghucu. Agama penduduk di
Kabupaten Tangerang sebagaimana tabel berikut:
TABEL 1: JUMLAH PENDUDUK MENURUT AGAMA
DI KABUPATEN TANGERANG
Agama
Islam
Kristen
Katolik
Hindu

Jumlah
2.924 244 jiwa
61.946 jiwa
56 744 jiwa
21 486 jiwa

(69)

Prosentase
94,23
1,99
1,83
0,69

Buddha
Khonghucu
Jumlah

31 254 jiwa
7.625 jiwa
3.103.299 jiwa

1,01
0,25

Komposisi penduduk berdasarkan agama tercermin pula


dengan komposisi jumlah rumah ibadat. Terbanyak adalah
masjid/mushalla sebanyak 9.760 buah, Gereja Kristen 317 buah,
Gereja Katolik 18 buah, Pura 5 buah, dan Vihara 37 buah.
Berbagai ormas keagamaan terdapat di Kab. Tangerang
mulai dari ormas keagamaan Islam sampai Khonghucu. Ormas
Keagamaan Islam: Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah,
Mathlaul Anwar, Dewan Masjid Indonesia, PERSIS, GP. Ansor,
Fatayat, Aisyiah, Muslimat NU, BKMT dan MTA. Ormas Kristen
yang ada yakni PGI, PGPI, PGLI, BAPTIS dan ADVENT. Di
kalangan Umat Katolik: Wanita Katolik, MUDIKA (Pemuda
Pemudi Katolik) dan Warsen (Warga Senior). Di kalangan Hindu:
PHDI, WHDI, dan Permudita. Di kalangan Umat Buddha: Tri
Dharma, NSI, Gemabudi, Patriya dan Budayana. Di kalangan
Khonghucu: Makin, Pakingemaku dan Perkin.
Masing-masing ormas keagamaan memiliki kegiatan sesuai
dengan visi dan misinya. Aktivitas ormas Islam diantaranya
majelis taklim, TPA, yasinan dan lainnya dilaksanakan di masjidmasjid atau mushalla lingkungan. Demikian pula dengan umat
beragama yang lain yang dilakukan di lingkungannya sendiri.
Pendirian Rumah Ibadat
Pasca keluarnya PBM,33 pada tanggal 17 April 2006,
Bupati Kabupaten Tangerang mengeluarkan Keputusan Nomor;

33 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM)


No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,

(70)

450/Kep.125-Huk/2007 tentang Pembentukan Forum Kerukunan


Umat Beragama Kabupaten Tangerang periode 20072011.
Setelah terbentuknya FKUB Kabupaten Tangerang, maka
dilakukan kegiatan-kegiatan, antara lain sebagai berikut:
a. Sosialisasi Kerukunan Umat Beragama
Sosialisai dilaksanakan pada bulan Juni 2008, bertempat
di Aula KORPRI Kabupaten Tangerang Cikokol, Kota Tangerang.
Peserta sebanyak 150 orang yang terdiri dari unsur aparat
kecamatan, desa/kelurahan dan KUA Kecamatan se-wilayah
Kabupatan Tangerang Barat dan Utara. Materi yang disampaikan
adalah PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9
dan 8 tahun 2006, serta implementasi PBM 2006 di Kabupaten
Tangerang. Sumber dana bantuan sosial untuk FKUB dari APBD
Kabupaten Tangerang tahun 2008. Sosialisasi kerukunan ini
untuk pertama kali dilaksanakan atau angkatan pertama.
Sosialisasi berikutnya dengan materi yang sama
dilaksanakan pada bulan Agustus tahun 2008, bertempat di Aula
Kecamatan Serpong. Jumlah peserta sebanyak 150 orang yang
terdiri dari unsur aparat kecamatan, desa/kelurahan dan KUA
Kecamatan se-wilayah Kabupaten Tangerang Selatan dan
Kabupaten Tangerang Tengah.
Berikutnya dilaksanakan pada Desember tahun 2008,
bertempat di Aula Kelurahan Jelupang-Serpong Utara diikuti
oleh 150 orang peserta berasal dari warga sekitar Perumahan
Melati Mas. Sumber dana diperoleh dari bantuan sosial untuk
FKUB dari APBD Kabupaten Tangerang tahun 2008. Sosialisasi
ini dilaksanakan atas permintaan warga masyarakat setempat.

Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Pendirian


Rumah Ibadat

(71)

b. Dialog Antarpemuka Agama dan Tokoh Masyarakat


Dialog dilaksanakan pada tanggal 28 Agustus 2007
bertempat di Pendopo Bupati Tangerang diikuti sebanyak 70
orang yang terdiri dari tokoh agama dan tokoh masyarakat.
Materi dialog ialah membangun Kerukunan Umat Beragama
sebagai faktor dominan dalam menunjang keberhasilan
pembangunan di Kabupaten Tangerang. Dialog dilaksanakan,
tanggal 15 Mei 2008, bertempat di ruang Wareng Kantor Bupati
Tangerang (Tigaraksa) diikuti 60 orang yang terdiri dari tokoh
agama dan tokoh masyarakat. Materi dialog yang disampaikan
adalah Pemahaman Kerukunan Umat Beragama berdasarkan
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
No. 9 dan 8 tahun 2006.
Dialog berikutnya pada bulan Juni tahun 2009, bertempat
di Ciloto Cipanas diikuti 80 orang, terdiri dari tokoh agama dan
tokoh masyarakat. Materi yang disampaikan adalah Pembinaan
Persatuan dan Kesatuan Bangsa Melalui Kerukunan Umat
Beragama. Sumber dana diperoleh dari Kantor Kesbangpol
Kabupaten Tangerang, (APBD 2009). Sedangkan nara sumber
adalah Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian
Agama RI.
c. Menampung Aspirasi Ormas Keagamaan dan Aspirasi
Masyarakat
Pada tanggal 29 Januari 2008, bertempat di Aula Kantor
Kemenag Kabupaten Tangerang, telah hadir sejumlah tokoh
sebanyak 20 orang yang terdiri dari Forum Komunikasi Muslim
Jatimulya Kecamatan Kosambi dan Jemaat Advent. Aspirasi yang

(72)

disampaikan adalah penolakan warga Jatimulya Komplek


Perumahan Duta Bandara Kecamatan Kosambi atas rencana
pendirian Gereja Advent Hari Ketujuh cabang Kebayoran Baru
Jakarta. Rombongan diterima oleh pengurus FKUB dan aparat
Kantor Depag Kabupaten Tangerang, juga hadir dari unsur
Muspika Kosambi.
Pada bulan Maret 2008, bertempat di Aula Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Tangerang hadir sejumlah tokoh
masyarakat/agama 10 orang diikuti oleh rombongan Majelis
Taklim Ibu-ibu Kelurahan Pamulang Barat sebanyak 2 bus.
Mereka menyatakan penolakan atas rencana pendirian Gereja
Katolik Rasul Barnabas di Kelurahan Pondok Cabe Udik
Kecamatan Pamulang. Dialog dilakukan dengan Kepala Kantor
Kemenag Kabupaten Tangerang.
Pada tanggal 8 Mei tahun 2008, bertempat di Aula Kantor
Kemenag Kabupaten Tangerang, setelah menerima 10 tokoh
masyarakat dan agama yang terdiri dari Pengurus dan Anggota
Paguyuban Wilayah Santo Petrus Paroki Santo Agustinus
Karawaci Tangerang. Mereka menuntut penghentian kebaktian
umat Katolik di salah satu ruko yang dikontrak oleh umat yang
bersangkutan di Desa Gelam Jaya Kecamatan Pasar Kamis.
Kebaktian umat Katolik ini pernah dihentikan oleh pihak
mengatasnamakan warga setempat dan umat Katolik sudah
melaporkan pada aparat keamanan.
Pendirian Rumah Ibadat yang Berjalan Damai
Sejak terbentuknya FKUB Kabupaten Tangerang tahun
2007 telah menerima 29 permohonan izin pendirian rumah
ibadat, yaitu:

(73)

TABEL 3: PERMOHONAN REKOMENDASI PENDIRIAN


RUMAH IBADAT
No.

Agama

Nama Rumah Ibadat/Alamat

Katolik

Gereja Bethel Indonesia (GBI) Binatro Sektor 3, Kel. Pondok Jaya,


Pondok Aren

Katolik

Kristen

4
5
6

Hindu
Kristen
Katolik

Kristen

8
9

Kristen
Kristen

10

Katolik

Gereja Katolik Santa Maria Regina, Gading Serpong, Desa Cihuni


Pagedangan
Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pos I Bintaro, Pondok Jaya Pondok
Aren
Pura Umat Hindu Yayasan Sosial Guru Nanak Ciputat
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pamulang.
Gereja Katolik PGDP Santa Monica, Blok O Melati Mas Jelupang
Serpong Utara
Gereja Kristen Nafiri Sion Agape, jalan Vila Permata (Lippo
Kel.Binong Curug)
Gereja Gerakan Pantekosta Elim, Kelurahan Cipayung Ciputat
Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh, Komplek Perumahan Duta
Bandara, Desa Jatimulya-Kosambi
Gereja Katolik Rasol Barnabas Pamulang

11

Kristen

Gereja Pantekosta di Indonesia Jemaat Agape-Kelurahan


Kaduagung, Tigaraksa

12

Buddha

Vihara Vimala Kirti, Kelurahan Mekarbakti Panongan

13
14
15
16

Buddha
Buddha
Buddha
Kristen

17
18
19

Kristen
Khonghucu
Hindu

Vihara Vimala Kirti, Desa Kampung Melayu Timur Teluk Naga


Cetya (Romo Holid) Paku Haji
Vihara Kelurahan Parigi Pondok Aren
Gereja Bethel Indonesia di bangunan Ruko Golden Boulevard BSD
Serpong Utara
Gereja HKBP Cisauk
Kelenteng Tjung Le Miau Desa Tanjung Burung Teluk Naga
Pura Hindu Dharma Indonesia Ciputat

20

Kristen

Gereja Pantekosta Medang Lestari Blok III/G.50 Pagedangan

21

Kristen

Gereja Bethel Medang Lesatari Blok D.1/A2 Pagedangan

22

Kristen

23

Kristen

Yayasan Swadharma Krama Serpong, Jl.Sedap Malam II Kav. AC


No.25 Puspita Loka BSD
Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) Jemaat Vila Delvia
Kampung Kandang Genteng Desa Tanjung Burung Teluk Naga

(74)

24

Kristen

25

Kristen

26
27

Buddha
Kristen

28

Kristen

29

Kristen

Saksi Saksi Yehuwa Indonesia Jemaat Sidang Pondok


Aren/Bintaro
Gereja Kristen Indonesia (GKI) Gading Serpong Jl.Kelapa Puan
Raya No.58 Perumahan Gading Serpong
Vihara Cuang Le Miao Desa Tegal Angus Kecamatan Teluk Naga
HKBP Salembaran Resort Tangerang, Kav. Salembaran Jaya
No.34 Kec.Kosambi
Gereja Sidang Jemaat Allah Anugrah, Kampung Sari Mulya Desa
Setu, Kec. Setu
Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jl. G. Merbabu Sektor IV, Blok R
Giri Loka II BSD.

Sumber Data: FKUB Kabupaten Tangerang Tahun 2009

Dari sebanyak 29 permohonan izin mendirikan rumah


ibadat yang sudah dikeluarkan rekomendasinya oleh FKUB
Kabupaten Tangerang adalah sebanyak 15 buah, yaitu sebagai
berikut:
TABEL 4: DAFTAR REKOMENDASI PENDIRIAN RUMAH
IBADAT YANG SUDAH DIKELUARKAN OLEH FKUB
KABUPATEN TANGERANG
No, Tanggal
Rekomendasi
001/FKUB/KabTng/V/2007 Tanggal 2
juni 2007

002/FKUB/KabTng/V/2007 Tanggal 2
Juni 2007

003/FKUB/KabTng/V/2007 Tanggal 2

Alamat
GerejeKristen
Bethel
Indonesia
(GBI) Bintaro
Sektor
III,Kel.Pondo
k Jaya
Pondok Aren
Gereja
Katolik Santa
Maria
Regina,Gadin
g Serpong
Desa Cihuni
Pagedangan
Gereja
Kristen

Status Izin

Realisasi

Ket IMB

Diproses

Sudah
dibangun

Ada

Diproses

Sudah
dibangun

Ada

Diproses

Belum
dibangun

Belum

(75)

Juni 2007

004/FKUB/KabTng/IX/2007 Tanggal
7 September 2007

005/FKUB/KabTng/IX/2007 Tanggal
7 September 2007
006/FKUB/KabTng/X/2007 Tanggal
31 Oktober 2007

007/FKUB/KabTng/XI/2007 Tanggal
16 November 2007

008/FKUB/KabTng/XI/2007 Tanggal
19 November 2007

009/FKUB/KabTng/XI/2007 Tanggal
23 November 2007

Indonesia
Pos I, Bintaro
Pondok Jaya
Pondok Aren
Pura Umat
Hindu Sikh
Yayasan
Sosial Guru
Nanak
Ciputat
Gereja
Kristen Jawa
Pamulang
Gereja
Katolik PGDP
Santa Monica
Blok O,
Melati Mas
Jelupang
Serpong
Utara
Gereja
Kristen Napiri
Sion Agape,
Jl.Vila
Permata,
Kel.Binong
Curug
Gereja
Gerakan
Pantekosta
Elim, Kel.
Cipayung
Ciputat
Gereja
Masehi
Advent Hari
Ketujuh
Komplek
Perumahan
Duta
Bandara,
Desa
Jatimulya
Kosambi

Diproses

Sudah
terbangun

Belum

Diproses

Belum
dibangun

Belum

Diproses

Belum
dibangun

Ada

Tidak
diproses
(tidak sesuai
peruntukan)

Sudah
terbangun

Belum, IMB
bermasalah

Diproses

Belum
dibangun

Belum

Izin tidak
diproses (ada
penolakan
warga)

Belum
dibangun

Belum

(76)

010/FKUB/KabTng/I/2008 Tanggal 9
Januari 2008
011/FKUB/KabTng/I/2008 Tanggal
10 Januari 2008

012/FKUB/KabTng/III/2008 Tanggal
26 Maret 2008

013/FKUB/KabTng/III/2008 Tanggal
26 Maret 2008

014/FKUB/KabTng/2008
017/FKUB/KabTng/VII/2009 Tanggal
4 Juli 2009

Gereja
Katolik Rasul
Barnabas
Pamulang
Gereja
Pantekosta di
Indonesia
Jemaat
Agape, Kel.
Kadu Agung
Tigaraksa
Vihara
Pimala Kirti
Kel. Mekar
Bakti
Panongan
Vihara
Pimala Kirti,
Desa
Kampung
Melayu Timur
Teluk Naga
Cetya (Romo
Holid) Paku
Haji
Vihara
Yayasan
Swadharma
Kerama,
Serpong

Diproses

Belum
dibangun

Sudah

Diproses

Sudah
terbangun

Belum ada
IMB

Diproses

Belum
dibangun

Belum

Diproses

Sedang
dibangun

Ada

Diproses

Sudah
dibangun

Sudah
diberikan

Sedang
dibangun

Ada

Sumber Data: FKUB Kabupaten Tangerang 2009

Problematika Pendirian Rumah Ibadat Upaya Penyelesaiannya


Permohonan Rekomendasi yang Ditangguhkan/Ditolak
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa
permohonan pendirian rumah ibadat yang masuk ke FKUB Kab.
Tangerang sebanyak 29 buah, namun tidak semuanya diberikan
rekomendasi karena berbagai alasan yang tak terpenuhi.
Berikut ini beberapa permohonan pendirian rumah ibadat
yang ditangguhkan atau ditolak rekomendasinya:
(77)

Rumah Ibadat
Gereja HKBP Cisauk

Gereja Bethel Indonesia,


BSD Serpong Utara
Kelenteng Tjung Ie Miau,
Tanjung Burung Teluk Naga

Pura Hindu Dharma


Indonesia, Ciputat
Gereja Pantekosta Medang
Lestari, Blok III/50,
Pagedangan
Gereja Bethel Medang
Lestari, Blok D 1/A2
Pagedangan
GKI Serpong, Jl.Merbabu
sektor IV Blok R, Giri Loka 2
BSD
HKBP Salembar
Kav.Salembar Jaya No.34,
Kosambi
Saksi Saksi Yehuwa
Indonesia, Jl.Pondok Betung
Raya, Pondok Aren
GKI Gading serpong,
Jl.Kelapa Puan Raya No.58
Perumahan Gading Serpong
Gereja Pantekosta di
Indonesia, Kampung
Kandang Desa Genteng,
Tanjung Burung Teluk Naga

Alasan Ditangguhkan/
Ditolak

Keterangan

Ditolak warga, lingkungan


tidak kondusif tidak
memenuhi syarat
administrasi
Ditolak Pemkab karena tidak
sesuai peruntukan

Tidak direkomendasi

Persyaratan tidak lengkap,


tidak ada komunikasi dari
pemohon dengan warga
setempat
Persyaratan tidak dipenuhi

Tidak direkomendasi

Persyaratan tidak lengkap


(tidak ada dukungan
lingkungan)
Pesyaratan tidak dilengkapi

Tidak direkomendasi

Tidak memenuhi syarat 60


pendukung untuk 2 gereja,
warga setempat ada yang
menolak
Belum ditinjau ke lapangan
oleh FKUB

Belum direkomendasi

Tidak memenuhi syarat


administrasi, lingkungan
tidak kondusif
Tidak memenuhi syarat,
lingkungan tidak kondusif

Tidak direkomendasi

Belum disurvey ke lapangan

Belum direkomendasi

Tidak direkomendasi

Tidak direkomendasi

Tidak direkomendasi

Belum direkomendasi

Tidak direkomendasi

Sumber Data: FKUB Kabupaten Tangerang Tahun 2009


(78)

Perbedaan Rekomendasi Kemenag dan FKUB


Di Kabupaten Tangerang rekomendasi yang dibuat FKUB
maupun Kemenag saling melengkapi dan menyempurnakan.
Rekomendasi Kemenag mengarah pada legalitas umat beragama.
Artinya sekte atau sinode mereka harus terdaftar pada Ditjen
Pembimas Kemenag.
Rekomendasi FKUB lebih dititik beratkan kepada jumlah
jamaah dan jumlah pendukung yang dibuktikan dengan
fotocopy KTP, wilayah dan masyarakat lingkungannya kondusif
atau tidak. Apabila dinyatakan kondusif, maka FKUB
berkoordinasi
dengan
Kemenag
melihat
legalitas
sekte/aliran/faham si pemohon. Jadi titik beratnya FKUB pada
pengguna dan pendukung, sedangkan Kementerian Agama
melihat dari legalitas suatu sekte yang akan mendirikan rumah
ibadat.
Rumah Ibadat yang Mendapat Rekomendasi Bupati
Umat Hindu di wilayah perumahan PT. Bumi Serpong
Damai (BSD) berjumlah 60 KK dan rumah ibadat yang ada cukup
jauh, yaitu di Cinere (30 Km), dan di Kota Tangerang yang juga
cukup jauh. Dengan kondisi ini, umat Hindu membentuk panitia
pembangunan rumah ibadat tahun 2005. Panitia kemudian
mengajukan permohonan untuk mendapatkan lahan ke Pemda
Kabupaten Tangerang dan pengembang. Pada awalnya umat
Hindu diberi fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (Fasum) di
vila Melati. Setelah ditelusuri ternyata vila Melati digarap oleh
tiga developer, akhirnya dibatalkan. Panitia kemudian
mengajukan permohonan fasilitas sosial dan fasilitas umum
kepada pengembang BSD. Gayung pun bersambut, pengembang
BSD memberikan sebidang tanah yang terletak di sektor 14-4
kurang lebih 800 m2. Namun karena lokasi itu oleh Pemda
diperuntukan untuk lahan resapan air, maka pihak pengembang
BSD memberi tempat lain.
Untuk pengurusan lokasi rumah ibadat dilakukan dari
mulai tingkat RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kandepag, FKUB,
(79)

Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT), Pemda, dan


masyarakat sekitarnya. Setelah lengkap, Pemda memberikan
rekomendasi. Pada tahun 2007 umat Hindu sudah mendapatkan
lahan untuk lokasi rumah ibadat seluas 2100 m2. Permohonan ke
FKUB beserta persyaratannya sudah cukup, dan tidak ada
masalah, termasuk pengguna dan izin lingkungan. Dalam proses
pendirian Pure, tidak ada resistensi dari masyarakat, bahkan
masyarakatnya kondusif dan sikap gotong royongnya tinggi.
Setelah diberi lahan oleh Pemda Kabupaten Tangerang, Panitia
mengadakan Bakti Sosial berupa pengobatan gratis yang
diadakan di Kelurahan Rawa Mekar Jaya. Sementara itu, umat
Hindu juga menyiapkan sembako seperti beras, mie, minyak dan
lain-lain.
Pada saat ini Pura yang telah memperoleh izin
membangun dari Bupati Tangerang, dan telah membangun
pagar keliling, menguruk lahan untuk perpakiran dan sekolah
minggu anak-anak.
Rumah Ibadat yang Mendapat Penolakan
Semua permohonan pendirian rumah ibadat diberikan
rekomendasi oleh FKUB, ada juga yang ditolak karena tidak
memenuhi persyaratan, seperti kurangnya dukungan, tidak
kondusif lingkungan dan ada penolakan dari warga seperti
pendirian Gereja Kristen Indonesia yang beralamat di Jl.
Merbabu Sektor IV Blok R Giri Loka 2 Bumi Serpong Damai. GKI
tidak diberikan rekomendasi ternyata setelah dipelajari dan
dibahas secara seksama bersama pengurus FKUB terdapat
kekurangan-kekurangan terutama persyaratan khusus didukung
60 orang dan penolakan warga.
Perlu diketahui sekilas tentang GKI yang ditolak/belum
diberikan rekomendasi oleh FKUB.
1. Lokasi tanah GKI berada di tanah fasos-fasum yang luasnya
4.000 m.
2. Tanah seluas 4.000 m2 ini akan digunakan oleh 2 Gereja yaitu
GKI dan Gereja Elgibor
(80)

3. Hambatan:
a. Pada saat pemohon mengajukan surat ke FKUB, setelah
hasil penelitian FKUB, ternyata izin lingkungan 60
pendukung tanda tangan warga digunakan oleh kedua
gereja tersebut (GKI dan Elgibor).
b. Hasil rapat FKUB menolak pemberian rekomendasi
karena menyalahi PBM. FKUB melakukan rapat
koordinasi dengan instansi terkait dan surat permohonan
dikembalikan kepada pemohon untuk diadakan
sosialisasi ulang dan pemutakhiran data izin lingkungan.
Setelah panitia pembangunan rumah ibadat (GKI)
mengajukan lagi permohonan ke dua kalinya ke FKUB
tentang data yang terbaru, FKUB mengadakan rapat
koordinasi lagi, ternyata sebagian elemen masyarakat
masih keberatan. Dari berbagai elemen yang diundang
rapat yaitu unsur masyarakat, RT, RW, Lurah, Camat,
MUI, Polsek ternyata masih ada beberapa pihak yang
keberatan.
FKUB menunggu tindak lanjut dari pemohon apakah
sudah ada pemutakhiran data? FKUB menunggu kelengkapan
persyaratannya dan menangguhkan atau mengeluarkan
rekomendasi dua gereja ini menjadi satu, apa tetap keduanya
dibangun. FKUB belum menindaklanjuti karena masih dalam
tahapan penelitian. FKUB harus rapat koordinasinya dengan
Muspika, Lurah, RT, RW, apakah betul sudah kondusif atau
belum.
Ringkasan
Dari hasilenelitian dapat disimpulkan:
a. Proses pengajuan permohonan rekomendasi pendirian rumah
ibadat, berjalan lancar dan telah diterima sebanyak 29
permohonan. 15 telah dikeluarkan rekomendasinya.
Sedangkan sisanya masih ditangguhkan atau ditolak.

(81)

b. Permohonan rekomendasi pendirian rumah ibadat yang


diterima oleh FKUB diteliti dan dibahas oleh pengurus. Pada
tahap ini difokuskan pada melihat kelengkapan persyaratan.
c. Penolakan rekomendasi karena tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana yang diamanatkan oleh PBM Nomor 9 dan 8
Tahun 2006.
d. Permohonan telah memenuhi syarat kemudian dilakukan
pengecekan di lapangan. Jika semuanya sudah sesuai, maka
dalam waktu 2-3 minggu digunakan untuk mengevaluasi isi
rekomendasi tersebut.
e. Dalam penyelesaian perselisihan berkaitan dengan pendirian
rumah ibadat, FKUB Kab. Tangerang memanggil panitia dari
Gereja Kristen Indonesia (GKI) dan Gereja Elgibor. Sesuai
hasil penelitian direkomendasikan bawah perlu sosialisasi
PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 ke berbagai unsur dan
lapisan masyarakat sehingga PBM ini difahami oleh aparat
pemerintah maupun masyarakat.

(82)

4
Pendirian Rumah Ibadat
di Kota Denpasar
Oleh: Bashori A Hakim

Gambaran Singkat Geografis dan Demografis


Kota Denpasar secara geografis berada di posisi tengah
bagian selatan Pulau Bali. Luas wilayah kota ini 12.778 hektar
atau 2,18% dari luas seluruh wilayah Propinsi Bali. Batas-batas
wilayahnya adalah: sebelah utara, barat dan selatan berbatasan
dengan Kabupaten Badung, sedangkan sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Gianyar dan Selat Lombok.
Dari aspek pemerintahan, wilayah Kota Denpasar secara
administratif terbagi menjadi empat (4) kecamatan dan
empatpuluh tiga (43) desa/kelurahan.
Jumlah penduduk Kota Denpasar berdasarkan data
terakhir mencapai 628.908 jiwa (Badan Statistik Kota Denpasar,
2009:214). Sebagaimana kota-kota besar lainnya di Indonesia
sekaligus sebagai Ibukota Provinsi Bali, Kota Denpasar
berpenduduk cukup beragam, baik dari segi etnis, budaya
maupun agama. Dilihat dari segi etnis, hampir semua etnis dan
suku yang ada di Indonesia terdapat di Kota Denpasar. Sebagai
daerah turis yang sangat terkenal di dunia internasional,
masyarakat penduduk Kota Denpasar diwarnai oleh keberadaan
para turismanca negara dari berbagai benua, seperti Eropa,
Australia, Amerika maupun Asia.

(83)

Sekalipun penduduk Kota Denpasar dilihat dari segi etnis


dan suku beragam, namun keberadaan orang-orang Bali sebagai
penduduk asli kota ini terlihat masih sangat dominan. Mereka
menyebar secara merata di berbagai kecamatan hingga desadesa/kelurahan di seluruh wilayah Kota Denpasar.
Tidak ada data secara resmi yang menunjukkan jumlah
penduduk Kota Denpasar menurut etnis atau suku. Namun
sebagai gambaran, menurut penjelasan beberapa informan yang
terdiri atas penduduk asli selaku tokoh masyarakat maupun
unsur pejabat terkait, dapat diperkirakan jumlah penduduk etnis
Bali di Kota Denpasar tidak kurang dari 65% jumlah penduduk
Kota Denpasar. Sedangkan sekitar 35% sisanya terdiri atasa
antara lain: Jawa, Madura, Bugis, Makassar, Ambon, Timor,
Sasak, Manado, dan Minang.
Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya
Kehidupan ekonomi penduduk Kota Denpasar ditandai
oleh pekerjaan sekaligus sebagai matapencaharian mereka yang
beragam, antara lain: pegawai negeri maupun swasta, pedagang,
pengrajin, maupun penjasa. Dengan jenis matapencaharian
demikian menjadikan kondisi sosial ekonomi sebagian besar
penduduk Kota Denpasar berada di posisi kelas menengah ke
bawah.
Dalam kaitannya dengan kehidupan sosial budaya
masyarakat Kota Denpasar, terlihat terjadi benturan budaya
antara masyarakat pendatang bukan etnis Bali- dengan
penduduk asli Bali yang pada umumnya beragama Hindu.
Masyarakat asal Bali yang kental dengan budaya Balinya terlihat
sangat dominan menerapkan norma-norma adat dan budaya
mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dominasi budaya tersebut
meliputi seluruh aspek kehidupan mereka, meliputi kehidupan
sosial dan kehidupan keagamaan. Penerapan budaya Bali yang
bertumpu kepada nilai-nilai ajaran agama Hindu itu demikian
mentradisi dalam kehidupan sosial dan kehidupan keagamaan
mereka, sehingga menimbulkan benturan tradisi dengan
(84)

masyarakat pendatang yang pada umumnya masih kental


dengan tradisi yang mereka bawa dari daerah asal, termasuk
tradisi keagamaan. Kondisi sosial budaya menjadi wajar terjadi
dalam kehidupan sosial dan kehidupan keagamaan masyarakat.
Agaknya kondisi itulah yang dirasakan dalam kehidupan sosial
masyarakat di Kota Denpasar sekalipun relatif tidak
menimbulkan konflik secara terbuka. Budaya Bali, selain
memang budaya milik penduduk asli dan juga mayoritas, terlihat
berlaku secara dominan dalam kehidupan masyarakat Kota
Denpasar.
Kehidupan Keagamaan
Kehidupan keagamaan masyarakat Kota Denpasar terlihat
marak, terutama masyarakat Bali dengan agama Hindunya. Hal
ini disebabkan selain secara kuantitas jumlah pemeluknya
mayoritas, agama Hindu di Bali sarat dengan upacara -upacara
dan ritual keagamaan.
Lebih dari setengah penduduk Kota Denpasar, yakni
sebanyak 428.676 jiwa atau sekitar 68,29% beragama Hindu.
Penganut agama Islam menempati posisi mayoritas kedua
dengan jumlah 143.399 jiwa atau sekitar 22,80%. Selanjutnya
penduduk beragama Kristen sebanyak 30.017 jiwa atau sekitar
3,98%. Penduduk beragama Katolik sebanyak 14.050 jiwa atau
sekitar 2,26%. Penduduk beragama Buddha sebanyak 12.649 jiwa
atau sekitar 2,09% dan 117 jiwa atau 0,58% sisanya beragama lain
(Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2009:214). Penduduk
beragama Khonghucu hingga penelitian ini dilakukan belum
terdata oleh Badan Pusat Statistik Kota Denpasar sehingga
jumlah penganut agama itu belum diketahui secara pasti. Dengan
demikian jumlah 117 jiwa di atas adalah termasuk penganut
agama Khonghucu.
Dalam kehidupan keagamaan., pada dasarnya penduduk
Kota Denpasar memperoleh kebebasan dalam menganut agama
termasuk menjalankan ajaran agama masing-masing. Namun
dalam hal pendirian rumah ibadat termasuk renovasi, kelompok
(85)

umat beragama selain umat Hindu merasa mendapatkan


kesulitan. Di antara kesulitan dimaksud adalah terkait dengan
pemenuhan persyaratan pendirian rumah ibadat sebagaimana
yang terdapat dalam ketentuan Peraturan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 & 8 Tahun
2006. Kesulitan dalam pemenuhan persyaratan pendirian rumah
ibadat itu semakin dirasakan oleh kalangan umat beragama
selain umat Hindu- sehubungan adanya Peraturan Daerah
(Perda) berupa Peraturan Gubernur Provinsi Bali Nomor 10
Tahun 2006, terutama Pasal (2). Dalam Pasal (2) Peraturan
Gubernur Propinsi Bali tersebut dinyatakan bahwa pendirian
rumah ibadat dipersyaratkan antara lain: adanya persetujuan
Kepala Lingkungan, Dusun/Banjar Dinas dan Banjar
Adat/Pakraman, Kepala Desa Pakraman, serta daftar pengguna
rumah ibadat -yang akan didirikan- sebanyak 100 Kepala
Keluarga (KK) yang dibuktikan dengan copy Kartu Tanda
Penduduk (KTP) sebagai penduduk tetap di wilayah yang akan
dibangun rumah ibadat tersebut.
Kesulitan untuk mendirikan rumah ibadat itu
mengakibatkan berbagai kalangan umat beragama bersikap tidak
akan menambah rumah ibadat masing-masing untuk sementara
waktu. Masing-masing kelompok umat beragama selain umat
Hindu- mengaku akan lebih berkonsentrasi dalam pembinaan
umat daripada rencana penambahan rumah ibadat. Dengan
demikian sejak dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 & 8 Tahun
2006 dan Peraturan Gubernur Propinsi Bali Nomor 10 Tahun
2006, praktis tidak ada penambahan bangunan rumah ibadat.
Kondisi demikian ternyata tidak mengendorkan semangat
di kalangan umat beragama dalam beraktivitas memenunaikan
kegiatan ibadah sesuai agama masing-masing. Rumah-rumah
ibadat yang telah mereka miliki selama ini dimaksimalkan
perannya sebagai sentra kegiatan keagamaan dan peribadatan.
Umat Hindu memiliki rumah ibadat banyak rumah ibadat.
Kenyataan ini dapat dimengerti karena jumlah umat Hindu di
(86)

Kota Denpasar menempati posisi mayoritas. Adapun jumlah


rumah ibadat masing-masing agama secara rinci adalah: umat
Hindu memiliki 108 buah pura; umat Islam memiliki sebanyak 28
buah masjid dan 80 buah mushalla dan 11 buah langgar.
Kemudian disusul umat Kristen memiliki sebanyak 69 gereja;
umat Katolik memiliki 5 buah gereja; sedangkan umat Budha
memiliki sebanyak 11 buah vihara. (Badan Pusat Statistik Kota
Denpasar, 2009).
Pendirian Rumah Ibadat
Penyetaraan Mushalla dengan Masjid
Dalam pengertian kalangan umat Islam, mushalla tidak
sama dengan masjid. Keduanya memang sama-sama bangunan
untuk tempat ibadah bagi umat Islam, dalam beberapa hal
dibedakan
baik
dari
segi
fisik/bangunan
maupun
penggunaannya. Dari segi fisik bangunan, mushalla relatif
memiliki ukuran lebih kecil dibanding dengan masjid. Dari segi
penggunaannya mushalla biasanya hanya dipergunakan oleh
kalangan jamaah lingkungan kecil dan tidak dipergunakan untuk
salat (jamaah) Jumat. Berbeda dengan masjid yang secara fisik
bangunannya lebih luas dan jangkauan jamaahnyapun
lingkungan lebih luas, serta dipergunakan untuk tempat salat
Jumat. Dalam Buku Saku Tanya Jawab PBM yang diterbitkan
oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama Tahun 2008, dijelaskan bahw
mushalla termasuk bangunan tempat ibadat keluarga.
Perbedaan antara mushalla dan masjid di atas memberikan
konsekuensi terhadap prosedur dan proses pembangunannya.
Pembangunan mushalla betapapun- berbeda prosedur dan
prosesnya dengan pembangunan masjid, termasuk persyaratan
tentang pendirian/ pembangunannya. Dengan demikian,
prosedur dan persyaratan pendirian mushalla tidak sama
dengan prosedur dan persyaratan pendirian rumah ibadat yang
terdapat dalam PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006, khususnya rumah
ibadat bagi umat Islam. Menurut persepsi umat Islam, rumah
(87)

ibadat yang dikategorikan dalam PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006


itu adalah masjid, bukan mushalla. Hal itu sejalan dengan
penjelasan yang dimuat dalam Buku Saku tentang Tanya-Jawab
PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006 di atas.
Berbeda dengan uraian di atas, masyarakat Hindu di Kota
Denpasar dan Bali pada umumnya, kalangan pejabat Pemda Kota
Denpasar maupun Provinsi Bali, serta para Pemangku Adat Bali
menggolongkan mushalla sebagai jenis rumah ibadat bagi umat
Islam seperti halnya masjid, sehingga prosedur dan persyaratan
pendiriannya disamakan dengan prosedur dan persyaratan
pendirian masjid maupun rumah ibadat umat lain. Penggolongan
demikian mereka dasarkan kepada Peraturan Gubernur Provinsi
Bali Nomor 10 Tahun 2006 tentang Prosedur dan Ketentuan
Pembangunan Tempat-Tempat Ibadah untuk Umum di Wilayah
Provinsi Bali Pasal 2 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa:
Pembangunan tempat-tempat ibadah untuk umum (Pura, Masjid,
Mushalla, Langgar, Surau, Gereja, Kapela, Pos Pelayanan Iman,
Vihara, Cetiya, Asram) di wilayah Propinsi Bali harus mendapat izin
tertulis dari Gubernur Bali. Dengan demikian berbeda dengan
ketentuan yang terdapat dalam PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006
Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat (3) dan penjelasan dalam
Tanya-Jawab PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006, yang menjelaskan
bahwa mushalla adalah termasuk tempat ibadat keluarga.
Akibat pemberlakuan Perda Gubernur Propinsi Bali
terutama terkait dengan penyetaraan antara mushalla dengan
masjid sebagaimana dipaparkan di atas, maka membawa
implikasi besar terhadap pembangunan mushalla dan
renovasinya di Kota Denpasar, yang pada gilirannya menambah
beban sulit bagi umat Islam di Kota Denpasar dan Propinsi Bali
pada umumnya dalam hal pendirian rumah ibadat.
Penolakan Pendirian Rumah Ibadat
Berdasarkan
penuturan
para
informan,
sejak
dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 9 & 8 Tahun 2006, di Kota Denpasar
(88)

terdapat tidak kurang dari empat (4) rumah ibadat yang


pembangunannya maupun keberadaannya mendapat penolakan
dari sebagian masyarakat setempat. Keempat rumah ibadat
dimaksud adalah dua (2) rumah ibadat umat Islam dan dua (2)
rumah ibadat umat Kristen.
Penolakan Pendirian Rumah Ibadat Umat Islam
Rumah ibadat umat Islam yang memperoleh penolakan,
keduanya adalah berupa mushalla yakni Mushalla as-Syafiiyah
dan Mushalla al-Qari. Kedua mushalla itu dibangun pada waktu
sebelum dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 & 8 Tahun 2006.
Kasus Penolakan Pendirian Mushalla as-Syafiiyah:
Mushalla as-Syafiiyah terletak di Jl. Blimbing Gang G,
Nomor 8, Kecamatan Denpasar Utara. Dibangun di atas tanah
seluas 100 m2 yang dibeli dari penduduk setempat. Dana
pembelian tanah dan pembangunan mushalla berasal dari
swadaya masyarakat sekitar. Sejak didirikan pada tahun 1988
hingga awal tahun 2008, mushalla tersebut dipergunakan untuk
aktivitas keagamaan dan peribadatan oleh jamaah mushalla,
seperti: kegiatan pendidikan agama anak-anak atau TPA, salat 5
waktu, tempat kegiatan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) dan
bahkan untuk tempat Salat Jumat, tanpa ada permasalahan dan
keberatan dari masyarakat sekitar termasuk umat Hindu.
Dipergunakannya sebagai tempat Salat Jumat, karena umat
Islam di sekitar Mushalla as-Syafiiyah relatif jauh dari lokasi
masjid.
Hingga sekitar tahun 2006, masyarakat sekitar mushalla
khususnya umat Hindu mulai merasa terganggu dengan adanya
sejumlah sepeda motor milik jamaah mushalla yang melakukan
Salat Jumat yang diparkir di Jl. Blimbing Gang G dekat
mushalla. Pada waktu sebelumnya, yakni pada tahun 2002 pihak
Pengurus Mushalla as-Syafiiyah dengan dana yang telah
terkumpul membeli sebidang tanah seluas 110 m2 atau 1,1 are
(89)

yang terletak bersebelahan dengan mushalla, tepatnya terletak di


sebelah kiri/Timur mushalla. Tanah itu sedianya akan
dipergunakan sebagai tempat perparkiran kendaraan/motor
para jamaah yang salat di mushalla, khususnya Salat Jumat.
Namun karena posisinya berada di sebelah Timur mushalla
maka dinilai oleh Pengurus Mushalla kurang tepat karena
jamaah yang membawa motor apabila akan memarkir motornya
harus melalui jalan setapak yang ada persis di dekat beranda
mushalla sehingga akan mengganggu jamaah yang sedang salat
di mushalla. Atas pertimbangan supaya tidak mengganggu
jamaah yang sedang salat, maka Pengurus Mushalla sepakat
merencanakan menggeser bangunan mushalla dipindahkan di
tanah yang sedianya akan dipakai tempat parkir, sedangkan
tanah bekas bangunan mushalla akan dipakai tempat parkir.
Pada bulan Januari 2008, setelah terkumpul dana,
dimulailah rencana pembongkaran mushalla untuk digeser ke
tanah sebelah Timur mushalla. Sejak itulah sebagian masyarakat
penduduk sekitar mushalla yang terdiri atas orang-orang
Bali/umat Hindu menyatakan keberatan, dengan alasan bahwa
rencana pemindahan mushalla tersebut tidak melalui persetujuan
rapat/musyawarah dengan Kelian Dinas dan Kelian Adat.
Pada tangggal 17 Pebruari 2008 Pengurus Mushalla asSyafiiyah mendapat surat dari Kelian Dinas dan Kelian Adat
yang isinya mempertanyakan/mempermasalahkan rencana
penggeseran mushalla dan minta agar rencana tersebut
dihentikan (Disarikan dari dokumen milik warga).
Pada tanggal 5 Maret 2008 Pengurus Mushalla
menghentikan sementara proses penggeseran mushalla.
Kemudian pada hari Jumat tanggal 23 Mei 2008 ketika umat
Islam jamaah mushalla as-Syafiiyah hendak melaksanakan Salat
Jumat, tiba-tiba digiring keluar mushalla oleh sekelompok orang
dari masyarakat setempat- yang kemudian melakukan
penyegelan mushalla dengan alasan tidak ada izin dari warga.
Hingga saat penelitian ini dilakukan, mushalla tersebut praktis
tidak dipergunakan oleh pengurus maupun jamaah untuk
(90)

tempat peribadatan. Berbagai upaya telah dilakukan pengurus,


antara lain: melengkapi persyaratan pendirian rumah ibadat,
pendekatan dengan tokoh masyarakat Hindu- setempat,
komunikasi dan musyawarah dengan unsur-unsur masyarakat
setempat, namun mushalla tetap belum dapat dipergunakan,
karena alasan belum dilengkapinya persyaratan tentang
persetujuan pembangunan rumah ibadat dari Pendamping,
Kelian Dinas ataupun Kelian Adat. Upaya yang dilakukan FKUB
Kota Denpasar melalui mediasi dengan mempertemukan pihakpihak yang terkait dengan kasus Mushalla as-Syafiiyah, juga
belum membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan oleh
Pengurus dan jamaah Mushalla as-Syafiiyah.
Penolakan Pendirian Mushalla al-Qori.
Mushalla al-Qori terletak di Jl. Nuansa Kori Utama, No. 45,
Kelurahan Ubung Kaja, Kecamatan Denpasar Utara. Bangunan
mushallanya didirikan di atas tanah seluas 112 m2. Proses
pembangunannya dirintis sejak sebelum tahun 1999 dengan
permohonan izin bangunan untuk tempat tinggal. Sambil
menunggu proses penerbitan IMB, proses pembangunannya
terus dilakukan, tetapi IMB belum juga keluar tanpa alasan yang
jelas. Pada tahun 2003 pihak pengurus mencoba memproses
kembali surat perizianannya untuk TPA, karena proses perizinan
untuk mushalla sulit. Karena tidak mendapat persetujuan dari
sebagian warga khususnya umat Hindu- maka pihak Muspika
termasuk Kelian Dusun, Lurah dan Camat ketika itu belum
memberikan persetujuan. Sekalipun mendapat penolakan dari
sebagian warga Hindu- namun oleh umat Islam setempat tetap
dipergunakan untuk tempat aktivitas keagamaan. Mula-mula
dipergunakan untuk tempat kegiatan TPA, kemudian secara
bertahap dipergunakan untuk tempat salat lima waktu, yang
selanjutnya dipergunakan untuk tempat Salat Jumat. Oleh
karena di antara para jamaah yang salat memarkir motornya di
pinggir jalan yang menurut sebagian warga Hindumengganggu jalan umum, maka kegiatan ibadah di Mushalla alQori itu mendapat protes dari sebagian warga dengan alasan
(91)

meresahkan warga. Pada waktu berikutnya ada pelarangan


penggunaan tempat peribadatan bangunan tersebut dari aparat
Kelurahan Ubung Kaja dengan alasan tidak memiliki IMB.
Klimaksnya, pihak Satpol PP Kota Denpasar melakukan
penyegelan tempat ibadah itu dengan alasan yang sama, yaitu
tidak memiliki IMB. Peristiwa penolakan dari masyarakat berikut
dari aparat setempat itu terjadi pada tahun 2003.
Akan tetapi sekalipun telah dilakukan penyegelan,
bangunan mushalla itu tetap dipergunakan untuk aktivitas
peribadatan oleh umat Islam sekitar. Melihat mushalla al-Qori
yang telah disegel itu tetap dipergunakan sebagai tempat
peribadatan oleh umat Islam, maka pada tanggal 29 Juli 2003
sekitar 20 orang warga Hindu mendatangi tempat kediaman
warga muslim yang berdomisili di sekitar mushalla dari rumah
ke rumah untuk melarang salat di mushalla tersebut. Selain
mendatangi rumah-rumah warga muslim, mereka juga
melakukan penggembokan pintu pagar bagian depan mushalla
dan memasang palang kayu di bagian pintu samping mushalla.
Atas kejadian itu maka pada tanggal 2 Agustus 2003 pihak
Yayasan al-Qori melapor kepada Kapolda Bali dengan materi
laporan intimidasi, perampasan kemerdekaan dan penutupan
mushalla al-Qori oleh oknum masyarakat. Menyikapi adanya
laporan ke Kapolda Bali tersebut maka Forum Komunikasi Antar
Umat Beragama (FKAUB) Desa Ubung Kaja didampingi oleh
FKAUB Kecamatan dan FKAUB Kota Denpasar memprakarsai
pertemuan di Bale Banjar Tegal Kori. Pertemuan tersebut dihadiri
oleh sebagian besar warga Tegal Kori, para tokoh masyarakat
serta unsur instansi pemerintah setempat antara lain Kepala Desa
Ubung Kaja dan Camat Denpasar Barat. Agenda dalam
pertemuan itu adalah pembinaan antar umat beragama.
Pertemuan itu akhirnya menyepakati beberapa hal, antara lain:
pencabutan laporan intimidasi ke Polda; penggantian dan
pembentukan pengurus baru Kerukunan Warga Muslim Dusun
Tegal Kori; kepengurusannya dijalankan oleh warga muslim dari
Banjar Tegal Kori yang menjadi bagian dari kepengurusan Banjar
sebagai seksi kerohanian Islam; selama proses perizinan tempat
(92)

ibadat belum keluar maka demi kerukunan warga dan ketertiban


serta keamanan lingkungan, bangunan tempat ibadat (Mushalla
al-Qori) tersebut agar tidak dipergunakan sebagai tempat ibadah;
serta tidak lagi melibatkan Yayasan al-Qori dalam pembicaraan
tempat ibadah termasuk pengelolaannya.
Kesepakatan-kesepakatan hasil pertemuan itu sebagian
besar telah dilaksanakan oleh umat Islam setempat, termasuk
pencabutan surat intimidasi ke Kapolda dengan Surat
Pencabutan tanggal 8 September 2003.
Hingga saat penelitian ini dilakukan, persoalan Mushalla
al-Qori belum cair sehingga belum dapat dipergunakan.
Pimpinan Kerukunan Warga Muslim Dusun Tegal Kori, Desa
Ubung Kaja Kecamatan Denpasar Barat melalui surat tanggal 12
Oktober 2003 memohon kepada Kepala Dusun untuk dapat
mempergunakan kembali Mushalla al-Qori sebagai tempat
ibadah sehubungan akan datangnya bulan suci Ramadlan ketika
itu, namun Kepala Dusun Tegal Kori tetap pada pendiriannya
menolak permintaan tersebut dengan alasan belum ada izin.
Namun Kepala Dusun Tegal Kori atas permohonan tersebut,
melalui surat tanggal 19 Oktober 2003 berjanji akan
menindaklanjuti melalui rapat warga Dusun Tegal Kori untuk
mencapai mufakat (Disarikan dari penuturan para informan,
dipadukan dengan dokumen-dokumen terkait/berupa arsip surat-surat).
Penolakan Pendirian Rumah Ibadat Umat Kristen
Ada dua rumah ibadat umat Kristen yang memperoleh
penolakan, yaitu: (i) Gereja GPIB Maranatha, terletak di Jl.
Gunung Tangkuban Perahu Desa Padangsambian Klod Denpasar
Barat, merupakan cabang GPIB Majelis Jemaat Maranatha Jl.
Surapati, Nomor 11 Denpasar; (ii) Gereja GKI di Renon,
Kecamatan Denpasar Selatan.
Penolakan Gereja GPIB Maranatha
Proses pendirian Gereja GPIB Maranatha di atas adalah
sejak tahun 1997 dan telah memperoleh Izin Prinsip dari
(93)

Gubernur Bali. Gereja dibangun di atas tanah seluas 1.400 m2.


Gereja ini terdiri atas dua lantai; luas bangunan lantai I yaitu 647
m2, sedangkan luas bangunan lantai II 174,25 m2.
Sejak tahun 2001, proses pembangunan gereja ini
dihentikan, sehubungan adanya surat pernyataan dari
Pengemong Pura Dalem Teges, Desa Padangsambian Klod
Denpasar Barat yang menyatakan keberatan terhadap
pembangunan gereja tersebut. Alasan keberatannya yaitu: gereja
dibangun di dekat /seberang jalan/ depan Pura Dalem Teges,
tanpa musyawarah dengan masyarakat adat setempat melalui
rapat; belum adanya kepastian gereja akan dipergunakan untuk
tempat peribadatan oleh jemaat minimal 40 Kepala Keluarga
(KK) yang berdomisili di wilayah gereja (Surat Pengemong Pura
Dalem Teges kepada Panitia Pembangunan Gereja tertanggal 18
Desember 2000).
Lima tahun kemudian pembangunan gereja dilanjutkan,
dengan dasar: telah ada IMB dari Pemerintah Kota Denpasar
dengan surat tertanggal 12 Juni 2000; ada Izin Prinsip dari
Gubernur Bali, Nomor 181 Tahun 1997; serta sesuai saran
Walikota Denpasar dalam pertemuan antara Majelis Jemaat GPIB
Maranatha Denpasar dengan Pemerintah Kota Denpasar. Surat
Pemberitahuan Pembangunan Lanjutan disampaikan oleh
Pimpinan Gereja GPIB Maranatha Kota Denpasar kepada
Walikota Denpasar pada tanggal 16 Mei 2006. Namun
Pemerintah Kota Denpasar menghentikan kembali proses
pembangunan gereja tersebut dengan alasan adanya keberatan
masyarakat setempat dengan mendatangi Kepala Desa dan
Camat. Surat penghentian pembangunan gereja dari Walikota
Denpasar di atas adalah tertanggal 15 Mei 2006. Dengan adanya
penghentian
pembangunan
gereja
itu
maka
praktis
pembangunan gereja tidak dilanjutkan. Pada waktu penelitian ini
dilakukan, pembangunan gereja itu masih tetap terhenti
(Disarikan dari hasil wawancara dengan para informan dan data
dokumen).

(94)

Penolakan Pendirian Gereja GKI Renon, di Renon, Denpasar Selatan


Kasus penolakan terjadi pada saat Gereja Renon baru
dalam tahap rencana didirikan. Rencana pembangunan gereja
tersebut akan dimulai pada tahun 2006. Persyaratan pendirian
gereja seperti: Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebanyak
90 calon jemaat, bukti persetujuan dari penduduk setempat
sebanyak 60 orang, persetujuan dari Pendamping, serta
rekomendasi dari Kepala Kantor Kementerian Agama Kota
Denpasar dan FKUB Kota Denpasar, semuanya telah ada.
Ketika permohonan IMB sedang diproses, Walikota
Denpasar mendapat surat dari salah seorang asal Bali- yang
berdomisili di Jakarta, menyatakan keberatan atas rencana
pembangunan gereja yang terletak di sebelah rumahnya. Orang
tersebut memiliki rumah terletak di dekat lokasi pembangunan
gereja, yang pada saat ini dikontrakkan. Dengan adanya surat
keberatan dari memilik rumah itu maka pihak Walikota
Denpasar menunda penerbitan IMB. Akibatnya, rekomendasi
yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Agama Kota Denpasar
dan FKUB ditarik kembali. Alasan penarikan kembali dari kedua
lembaga tersebut juga didasarkan atas alasan yang sama, dengan
memposisikan pemilik rumah yang keberatan di atas sebagai
pendamping. Dengan adanya penundaan penerbitan IMB dan
pernyataan keberatan dari warga/pendamping tersebut maka
rencana pendirian Gereja GKI tidak dilanjutkan (Disarikan dari
hasil wawancara dengan para informan).
Terdapatnya kasus-kasus pendirian tumah ibadat
sebagaimana dipaparkan secara singkat di atas selain akibat
ketidaklengkapan persyaratan tentang pendirian rumah ibadat,
karena adanya benturan budaya dan tradisi keagamaan antara
warga masyarakat utamanya orang-orang Bali yang beragama
Hindu dengan warga masyarakat pendatang yang dengan tradisi
keagamaannya sendiri yang mereka bawa dari daerah asal.
Dalam tradisi umat Hindu di Bali, pengelola/pengurus rumah
ibadat dan penggunaan rumah ibadat (dalam hal ini Pura)

(95)

hanyalah diperuntukkan bagi umat Hindu yang berdomisili di


sekitar Pura yang bersangkutan. Tradisi seperti itu oleh umat
Hindu di Bali diberlakukan/diterapkan pula kepada umat
beragama lain. Sementara itu, bagi umat beragama lain seperti
umat Islam dan umat Kristiani tradisi seperti itu tidak berlaku.
Artinya, jamaah/pengguna suatu rumah ibadat bisa saja terdiri
atas orang-orang atau jamaah/jemaat yang berdomisili di luar
wilayah rumah ibadat berada. Warga masyarakat Bali tampaknya
memaksakan tradisi keagamaan mereka diterapkan pula kepada
umat beragama lain. Jelasnya, persoalan penolakan pendirian
rumah ibadat di Kota Denpasar yang secara realita menimpa
terhadap rencana pendirian rumah-rumah ibadat umat Islam dan
umat Kristiani, bukan semata-mata persoalan kurangnya
persyaratan yang ditentukan dalam PBM Nomor 9 & 8 Tahun
2006, tetapi lebih pada persoalan lintas budaya.
Pendirian Rumah Ibadat yang Berlangsung Damai
Di Kota Denpasar, Bali, rumah-rumah ibadat yang
dibangun secara damai dalam arti tidak ada penolakan dari
masyarakat warga setempat, rumah-rumah ibadat tersebut pada
umumnya dibangun pada waktu sebelum dikeluarkannya
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
(PBM) Nomor 9 & 8 Tahun 2006. Adapun setelah dikeluarkannya
PBM tersebut minat berbagai kelompok umat beragama untuk
mendirikan rumah ibadat cenderung berkurang, bahkan boleh
dikatakan tidak ada minat ke arah itu untuk sementara waktu
karena sejak dikeluarkannya PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006
mereka merasakan sulit mendirikan rumah ibadat. Dengan
demikian sejak diberlakukannya PBM tersebut hingga kini nyaris
tidak ada pembangunan rumah ibadat.
Rumah-rumah ibadat yang dibangun/ didirikan secara
damai di Kota Denpasar, pada umumnya dibangun sejak
sebelum dikeluarkan PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006. Adapun
rumah-rumah ibadat yang didirikan secara damai di Kota
Denpasar antara lain:

(96)

Masjid Baitul Muminin


Masjid ini terletak di Jl. Tukat Pakerisan, Denpasar Barat.
Masjid dibangun jauh sebelum ada PBM Nomor 9 & 8 Tahun
2006. Masjid dibangun di lokasi tanah yang dulunya di
sekitarnya kosong penghuni. Dulu pada waktu masjid dibangun,
sekitar 1 km dari lokasi masjid yang dibangun terdapat
pemukiman penduduk dan ketika itu belum banyak penduduk
dari etnis Bali/orang-orang Hindu.
Masjid al-Hikmah
Masjid ini terletak di di Denpasar Timur, dibangun pada
waktu sebelum ada PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006 di lingkungan
mayoritas umat Hindu. Panitia Pembangunan dan Pengurus
DKM nya selain tergolong memiliki karisma di kalangan warga
sekitar, juga mempunyai hubungan baik dengan mereka;
Mushalla al-Falah
Mushalla dibangun di lokasi dekat dengan Kantor KUA
Kecamatan
Denpasar
Barat.
Panitia
Pembangunan
Mushalla/pengurus mushalla ini memiliki hubungan yang
harmonis dengan warga sekitar. Mushalla dibangun pada tahun
2008.
Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) Bethesda
Gereja terletak di Jl. Kresna, Kecamatan Denpasar Barat.
Gereja didirikan di lingkungan mayoritas umat Hindu pada
sekitar 20 tahun yang lalu.
Gereja Katedral
Gereja Katedral ini terletak di Jl. Pemuda, Kecamatan
Denpasar Timur. Gereja didirikan di lingkungan mayoritas umat
Hindu, dibangun sebelum ada PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006.

(97)

Gereja GPIB Maranatha Padangsambing


Gereja ini terletak di Jl. Surapati, No.11, Kecamatan
Denpasar Barat. Didirikan di lingkungan komunitas yang
heterogen dan mayoritas umat Hindu. Gereja dibangun sekitar 15
tahun yang lalu.
Rumah-rumah ibadat umat Hindu, Buddha dan
Khonghucu selama ini dibangun berlangsung secara damai.
Rumah ibadat masing-masing kelompok agama yang proses
pembangunannya berlangsung secara damai dalam arti tidak ada
keberatan atau penolakan dari warga setempat tersebut,
dibangun pada waktu sebelum lahirnya Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 & 8
Tahun 2006. Seperti halnya kalangan umat Islam dan umat
Kristiani, sejak dikeluarkan PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006
hingga saat penelitian ini dilakukan, masing-masing kelompok
agama di atas juga belum pernah melakukan penambahan
pembangunan rumah ibadat.
Faktor Penyebab Pendirian/Pembangunan
Berlangsung Damai

Rumah

Ibadat

Ada beberapa faktor yang menyebabkan pendirian atau


pembangunan rumah ibadat di Kota Denpasar berlangsung
secara damai diantaranya:
1) Terpenuhinya persyaratan-persyaratan pendirian rumah
ibadat sebagaimana telah diatur dalam Perda Provinsi Bali.
2) Adanya hubungan atau relasi yang selama ini terjalin dengan
baik antara oknum Panitia Pembangunan rumah ibadat
maupun umat beragama yang bersangkutan pada umumnya
dengan warga setempat terutama yang beragama lain,
termasuk hubungan baik dengan para pemimpin/pemangku
adat setempat.
3) Di antara unsur Panitia Pembangunan rumah ibadat atau
pengurusnya ada yang berwibawa atau mempunyai pengaruh
terhadap warga masyarakat di lingkungan rumah ibadat
tersebut didirikan.
(98)

4) Didirikan di lingkungan mayoritas umat beragama pengguna


rumah ibadat.
5) Didirikan di lokasi/kawasan yang relatif belum ada
penghuninya dan tidak berdekatan dengan rumah ibadat
umat lain khsusnya Hindu.
Penanganan Sengketa
Dalam menangani perselisihan di kalangan masyarakat
terkait dengan persoalan pendirian rumah ibadat, pada dasarnya
pihak Pemda Kota Denpasar seperti Pimpinan Kantor
Kementerian Agama, Walikota Denpasar dan instansi terkait
lainnya berupaya melakukan penyelesaian bersinergi dengan
lembaga/organisasi keagamaan yang ada. Adapun bentukbentuk penanganan yang dilakukan antara lain:
a. Mencari pokok masalah yang menimbulkan perselisihan
dalam pendirian rumah ibadat, dilakukan oleh unsur
Pimpinan Kementerian Agama Kota Denpasar bersama
Walikota Denpasar dalam pertemuan koordinasi dengan
unsur Pimpinan Kesbangpol, FKUB, Camat dan Kepala KUA
setempat. Apabila pokok masalah pada kurangnya
persyaratan pendirian rumah ibadat, maka dicari alternatif
solusi yang tepat. Apabila kurangnya persyaratan karena
kealpaan panitia, maka direkomendasikan agar Panitia
Pembangunan rumah ibadat segera melengkapi. Apabila
perselisihan berupa sengketa lahan yang dijadikan tempat
rumah ibadat, maka disarankan klarifikasi terlebih dahulu.
Namun sejauh ini pihak Pemda belum pernah ada upaya
memberi fasilitas berupa lokasi tanah (sebagai solusi)
terhadap kasus pendirian rumah ibadat yang lokasi
dipersengketakan.
b. Mengundang dan mempertemukan pihak-pihak yang
berselisih dalam suatu pertemuan untuk menyelesaikan kasus
pendirian rumah ibadat yang mereka perselisihkan. Dalam hal
ini Pengurus FKUB Kota Denpasar secara proaktif menjadi
mediator dalam membantu penanganan perselisihan antar
warga terkait pendirian rumah ibadat. Kemudian FKUB
(99)

menyampaikan alternatif dan saran sesuai masalah yang


diperselisihkan. Apabila masalahnya tentang renovasi rumah
ibadat maka disarankan renovasi ditunda/dibatalkan jika
memang belum ada persetujuan warga. FKUB pernah
menyarankan kepada Pemda Kota Denpasar agar
memfasilitasi lokasi lain bagi rumah ibadat yang
diperselisihkan warga, seperti kasus Mushalla al-Qori di Jl.
Nuansa Kori Utama, Desa Ubung Kaja. Namun hingga
penelitian ini dilakukan belum ada reaksi dari Pemda. Dalam
hal rekomendasi pendirian rumah ibadat, pihak FKUB
mempunyai prinsip bahwa rekomendasi dari FKUB adalah
final. Dengan demikian jika ada persengketaan tentang
pendirian rumah ibadat di kalangan warga masyarakat pada
hal telah ada rekomendasi FKUB, maka pembangunan rumah
ibadat tersebut tetap dapat dilanjutkan. Pihak FKUB
memberikan rekomendasi setelah ada rekomendasi dari
Kantor Kementerian Agama Kota Denpasar.
Ringkasan
Berdasarkan hasil kajian di atas, dapat disimpulkan
berikut:
a. Prosedur pendirian rumah ibadat di Kota Denpasar lebih
didasarkan atas Peraturan Daerah (Perda) yakni Peraturan
Gubernur Bali Nomor 10 Tahun 2006 tentang Prosedur dan
Ketentuan-Ketentuan Pembangunan Tempat-Tempat Ibadah
Untuk Umum di Wilayah Provinsi Bali, daripada PBM Nomor
9 & 8 Tahun 2006.
b. Pemberlakuan Perda oleh para Pejabat Pemerintah Daerah
dan para Pemangku Adat dinilai menyulitkan oleh kalangan
umat beragama selain Hindu-. Selain itu, konsekuensi dari
pemberlakuan Perda itu prosedur pendirian mushalla sama
dengan prosedur pendirian masjid yang menurut Tanya
Jawab PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006, musholla tidak
disamakan dengan masjid.
c. Sejak dikeluarkan PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, ada
beberapa pembangunan rumah ibadat yang mendapat
(100)

d.

e.

f.

g.

penolakan warga, yakni dua (2) pembangunan rumah ibadat


umat Islam berupa mushalla dan dua (2) rumah ibadat umat
Kristen berupa gereja. Penolakan dilakukan oleh warga
Hindu/orang-orang Bali di lingkungan rumah ibadat
didirikan, dengan alasan tidak memenuhi persyaratan
pendirian rumah ibadat yang telah diatur dalam Perda Bali
Tahun 2006.
Sejak dikeluarkan PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006 dan Perda
Provinsi Bali /Pergub Nomor 10 Tahun 2006, di Kota
Denpasar praktis nyaris tidak ada pendirian rumah ibadat
karena beratnya persyaratan yang harus dipenuhi.
Selain terdapat rumah-rumah ibadat yang proses
pendiriannya memperoleh penolakan dari sebagian warga
setempat, ada rumah-rumah ibadat yang proses pendiriannya
berlangsung damai tanpa ada penolakan warga setempat.
Rumah ibadat yang pendiriannya berlangsung damai, pada
umumnya dibangun jauh sebelum ada Perda Provinsi Bali dan
PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006.
Faktor-faktor yang menyebabkan pendirian/pembangunan
rumah ibadat berlangsung damai, antara lain karena:
terpenuhinya persyaratan pendirian rumah ibadat; hubungan
antara panitia pembangunan rumah ibadat/pengurus dengan
para tokoh masyarakat/adat maupun dengan warga terjalin
dengan baik; rumah ibadat dibangun di lingkungan mayoritas
umat beragama pengguna rumah ibadat tersebut, di antara
unsur panitia pembangunan rumah ibadat/pengurus
mempunyai pengaruh terhadap warga sekitar/berwibawa;
rumah ibadat dibangun di lokasi yang belum ada
penghuninya.
Dalam menangani berbagai macam perselisihan warga dalam
kasus pendirian rumah ibadat, aparat Pemda Kota Denpasar
bersama lembaga keagamaan melakukan upaya penyelesaian
secara proaktif. Upaya yang dilakukan misalnya pertemuan
koordinasi membahas penyelesaian masalah yang terjadi;
melakukan mediasi untuk menemukan solusi yang disepakati
bersama; serta menganjurkan kepada pihak-pihak yang
(101)

berselisih dan masyarakat pada umumnya untuk


meningkatkan toleransi beragama dalam upaya menciptakan
kerukunan hidup beragama di lingkungan masing-masing.
Sesuai hasil penelitian, direkomendasikan:
a. Pimpinan Kantor Kementerian Agama Kota Denpasar
hendaknya dapat melakukan koordinasi dengan instansi
Pemda terkait untuk mengupayakan sinkronisasi materi Perda
dengan prosedur pendirian rumah ibadat dengan PBM Tahun
2006, agar kalangan umat beragama tidak merasa sulit dalam
mendirikan rumah ibadat masing-masing.
b. Diharapkan Pimpinan Kantor Kementerian Agama Kota
Denpasar memprakarsai penyebarluasaan pemahaman
budaya ataupun tradisi serta ajaran pokok agama-agama
kepada warga masyarakat, agar memahami tradisi serta ajaran
agama lain sekalipun hanya pokok-pokoknya/ tradisi agama
lain secara umum. Dengan lebih memahami tradisi serta
ajaran agama lain.

(102)

5
Pendirian Rumah Ibadat
di Kabupaten Minahasa Utara
Oleh: Mursyid Ali

Kondisi Umum Sosial Budaya


Kabupaten Minahasa Utara merupakan salah satu
kabupaten dari sembilan Kabupaten/Kota di lingkungan
Propinsi Sulawesi Utara, dengan ibukotanya Airmadidi, berjarak
sekitar 35 kilometer dari Manado, ibukota Provinsi Sulawsei
Utara. Luas wilayahnya sekitar 932.20 km2, dan meliputi
sebanyak 10 wilayah kecamatan, 119 desa, 6 kelurahan.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik setempat (2009),
jumlah penduduk Minahasa Utara sebanyak 200.518 jiwa, dengan
tingkat kepadatan penduduk rata-rata sekitar 199.22 jiwa tiap m2.
Dilihat dari jenis kelamin, penduduk Minahasa Utara laki-laki
lebih banyak (51.80%) bila dibandingkan dengan penduduk
perempuan (48.20%).
Selanjutnya bila ditilik dari sisi wilayah kebudayaan,
menurut Nasrun Sandiah (antroplog UNSRAT), di lingkungan
masyarakat Sulawesi Utara terdapat tiga kelompok wilayah
budaya: 1) Masyarakat yang bermukim di Kepulauan SangiheTalaud, mayoritas Kristen dan Katolik, 2) Bolaang Mongondow,
mayoritas Muslim, 3) Minahasa, mayoritas Kristen dan Muslim
Masyarakat Sangihe Talaud dan Bolaang Mongondow
banyak dipengaruhi karakter budaya kerajaan (seperti kerajaan
(103)

Tabukan, Kendahe, Manganitu, Siau di Sangihe Talaud, serta


kerajaan Bolan Uki, Kandipang, Bone di Bolaang Mongondow).
Di kedua wilayah ini, banyak melekat karakter kerajaan seperti
sifat paternalistik dan kepatuhan yang kental terhadap
pemimpin.
Berbeda dengan wilayah kerajaan, Minahasa yang tidak
mengenal sistem kerajaan, hubungan sosial masyarakat setempat
lebih bersikap kompetitif dan egaliter. Selain itu, status ekonomi
tinggi, seperti kemampuan menggelar pesta besar (kaya),
merupakan faktor esensial dalam menentukan status sosial dan
politik seseorang. Pesta besar merupakan ekspresi showing and
sharing. Hal semacam ini tak jarang dikaitkan dengan pemilihan
figur para pemimpin. Misalnya di Minahasa Utara, Kota
Tomohon dan Kota Bitung, pemenang Pilkadanya justru tokohtokoh dengan latar belakang pengusaha yang diusung partaipartai kecil, mengalahkan tokoh birokrasi yang didukung partai
besar. Di samping itu, masyarakat Minahasa cenderung rasional
yang ditopang dengan tingginya mobilitas sosial dan tingkat
pendidikan (Kompas, 29 Februari 2009).
Kehidupan Keagamaan
Penduduk Kabupaten Minahasa Utara berjumlah 200.518
jiwa. Sebagian besar sebanyak 142.585 orang (71%) penganut
Kristen, 43.104 orang (21,4%) Muslim, 14.625 orang (7,3%)
Katolik, 162 penduduk (0,2%) Buddha dan sebanyak 41
penduduk (0,1%) beragama Hindu.
Sedangkan sarana ibadat yang tersedia, sebanyak 457
gereja dan sebuah kapel (Kristen), 53 masjid dan 7 mushola
(Muslim) dan sebanyak 51 buah gereja Katolik. Sarana ibadah
Budha, Hindu dan Khonghucu.
Organisasi keagamaan berpengaruh di Sulawesi Utara
adalah Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM), Pantekosta dan
Advent.
Di
lingkungan
komunitas
Muslim:
NU,
Muhammadiyah, Syarikat Islam, Persatuan Tarbiyah, dan MUI.
Di kalangan Jemaat Katolik adalah Gereja Katolik Minahasa.
(104)

Komunitas Hindu memiliki PHDI, di lingkungan umat Buddha


terdapat Walubi, dan Matakin bagi kelompok Khonghucu (proses
pembentukan). Selain itu juga terdapat BKSAUA, BAMAG dan
FKUB (Laporan Kanwil Kemenag Sulawesi Utara).
Kerukunan
Sulawesi Utara pada umumnya termasuk Minahasa Utara,
menurut Pdt. Alexander Kaloay, merupakan salah satu wilayah
yang kondusif. Suasana konflik yang sempat menghangat di
Sulawesi Utara sebagai dampak kerusuhan Poso, Ambon dan
Maluku Utara sekitar tahun 2000-an, berhasil diredam, tidak
sampai menyulut emosi umat beragama. Hal itu ditopang oleh
tingginya komitmen dan kewaspadaan pemerintah dan
komunitas keagamaan setempat yang kompak dan bertekad agar
suasana rukun yang sudah terbina itu tidak tercemari oleh faktorfaktor luar.
Pendirian Rumah Ibadat
Menurut para nara sumber (pejabat pemerintah, FKUB,
ormas keagamaan) tentang pendirian rumah ibadat selama ini,
relatif lancar tanpa banyak hambatan. Proses pendirian rumah
ibadat berlangsung sesuai dengan kelaziman setempat (sebelum
PBM), cukup diketahui dan persetujuan BKSAUA setempat yang
ada di setiap tingkat wilayah pemerintahan sejak tahun 1967.
Rumah ibadat yang ada sekarang umumnya tidak memiliki izin
resmi. FKUB yang terbentuk 2009, bisa dipahami bila belum
banyak berperan karena relatif baru berdiri. Namun di masa
mendatang, dengan dukungan politis dan bantuan yang besar
Pemda dan bersinergi dengan BKSUA setempat, optimis akan
berkembang dan dapat berfungsi sesuai dengan yang
diharapkan. FKUB Minahasa Utara sudah memiliki Sekretariat
permanen. Dalam APBD 2010, FKUB mendapat dukungan dana
sebesar Rp 1,5 milyar dari Pemda Kabupaten setempat.
Berdasarkan laporan Kantor Kementerian Agama
Kabupaten Minahasa Utara, selama kurun waktu sekitar dua
tahun terakhir (2008-2009), terdapat dua buah kasus rumah
(105)

ibadat yang muncul dan terjadi di Kabupaten Minahasa Utara.


Pertama, kasus Gereja Saksi Yehova di Kecamatan Air Madidi.
Kedua, kasus pembangunan Masjid di Perumahan Mapanget
Griya Indah III, Kecamatan Talawaan.
Namun, setelah melalui proses dialog dan langkah-langkah
solusi lainnya, kedua kasus tersebut dipandang sudah selesai.
Untuk jelasnya tentang kasus rumah ibadat tersebut, bisa
disimak lewat paparan di bawah ini.
Kasus Gereja Saksi Yehova
Gereja Saksi Yehova di Kecamatan Air Madidi ini didirikan
dan digunakan sebagai tempat ibadat sejak awal tahun 1970-an.
Pada tahun 1976, gereja ini ditutup dan dilarang melakukan
aktivitasnya oleh Jaksa Agung, karena menyebarkan ajaran yang
menyimpang atau penodaan agama (Kristen). Kemudian pada
awal tahun 2000-an menurut penuturan Kepala Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Minahasa Utara, atas dasar
rekomendasi Ditjen Bimas Kristen Pusat Gereja Saksi Yehova ini
difungsikan kembali oleh pimpinannya. Namun pada tahun
2009, keberadaan gereja ini kembali digugat dan ditolak
komunitas Kristen setempat karena dipandang menyebarkan
ajaran sesat (penodaan agama). Selain itu kelompok Saksi Yehova
ini dilaporkan sering menyebarkan paham agamanya ke rumahrumah penduduk yang berbeda paham dan keyakinan agama
dengan mereka, baik terhadap Kristen yang berbeda sekte,
maupun terhadap kelompok non-Kristen. Hal ini dipandang
dapat mengundang keresahan dan konflik di lingkungan umat
beragama setempat.
Terkait dengan masalah ini, dalam bukunya Berbagai
Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, Jan S. Aritonang
mengungkapkan antara lain bahwa Persekutuan Saksi Yehova
(Lembaga Pengawal) ini menolak pokok-pokok ajaran gereja
yang baku, misalnya menolak Trinitas, kekekalan jiwa,
kebangkitan Kristus secara jasmani. Juga menolak adanya neraka
sebagai tempat hukuman kekal bagi orang-orang jahat, sebab
(106)

menurut kelompok ini setiap orang jahat segera ditiadakan


(annihilated) pada saat ia mati.
Selanjutnya, atas dasar penolakan warga dan supaya
kerukunan umat beragama tetap terpelihara, Gereja Saksi Yehova
Kecamatan Air Madidi tersebut ditutup dan dilarang melakukan
aktivitasnya oleh Pemda setempat.
Kasus Pembangunan Masjid
Dari laporan dan paparan Ketua Panitia Pembangunan
Masjid Perumahan Mapanget Griya Indah III Kecamatan
Talawaan dinyatakan antara lain: pada mulanya pendirian dan
pembangunan masjid ini sudah mendapat persetujuan lisan dari
warga sekitar dan Kepala Desa setempat (Kristen). Masjid ini
dibangun di atas lahan/tanah yang memang disediakan oleh
pihak pengembang perumahan bagi peruntukan masjid. Sama
halnya dengan lahan yang disediakan pengembang untuk gereja
yang sudah lebih dahulu dibangun dalam komplek perumahan
Griya Indah III ini, tanpa proses izin resmi. Setelah dua bulan
proses pembangunan (Juni 2008) masjid seluas sekitar seratus m2
dan mendapat bantuan dana Yayasan Hilal Al-Ahmar (Bulan
Sabit Merah) ini berlangsung, secara tidak sengaja terjadi konflik
pribadi antara warga sekitar (Kristen) dengan Panitia
Pembangunan Masjid. Tidak berhasil diselesaikan secara
kekeluargaan, kemudian berkembang menjadi isu pro-kontra
pembangunan masjid, dan berlanjut menjadi penolakan
kehadiran masjid oleh komunitas Kristen dan aparat setempat
karena tidak ada izin Pemda.
Dalam pertemuan tanggal 19 dan tanggal 27 Februari 2009,
bertempat di Kantor Bupati, yang dihadiri para tokoh
masyarakat, pemuka agama dan jajaran aparat tingkat Desa,
Kecamatan dan Kabupaten yang didominasi kelompok Kristen,
dihasilkan kesepakatan antara lain: pembangunan Masjid di
Mapanget Perum Griya Indah III, untuk sementara dihentikan
aktivitas dan pembangunannya sebelum mendapat izin dari

(107)

Pemda Kabupaten Minahasa Utara (No: 73.A.BMU/III/2009),


dan sesuai dengan PBM No.9 dan 8 Tahun 2006.
Setelah melalui proses lobi-lobi antar pihak-pihak terkait
setempat, bahkan sempat dilaporkan dan dibicarakan di tingkat
Pusat di bawah koordinasi Kesbangpol Kementerian Dalam
Negeri. Kemudian atas dasar berbagai pertimbangan, saran dan
pemikiran dari berbagai pihak, khususnya saling pengertian
antara Panitia Pembangunan dengan Kepala Kantor Kementerian
Agama Kabupaten Minahasa, Panitia merubah permohonan
pembangunan masjid menjadi permohonan pembangunan
Musholla/Taman Pendidikan Agama (14 September 2009). Atas
dasar permohonan tersebut, pada tanggal 8 Oktober 2009, Kepala
Kantor Kementerian Agama Kabupaten Minahasa Utara
mengeluarkan
Rekomendasi
Nomor:
Kd.23.9/2/BA.00/
314/2009, yang berisi persetujuan dibangun Musholla/TPA.
Tanggal 9 Oktober 2009, Bupati turun langsung ke lokasi bersama
Muspida menjelaskan rekomendasi dan diterima masyarakat.
Kasus pembangunan masjid dianggap selesai. Bangunan
Musholla/TPA yang diberi nama Al-Ikhlas kini sudah selesai
dan sudah berfungsi untuk kepentingan ibadat dan pendidikan
agama keluarga Muslim setempat. Dalam penyelesaian kasus ini,
peranan kearifan lokal sangat besar.
Ringkasan
Mengacu pada berbagai informasi, kenyataan, saran dan
pemikiran yang berhasil dihimpun, setelah dianalisis,
diinterpretasi, kemudian ditarik beberapa kesimpulan yang
bersifat pokok, umum dan menyeluruh seperti berikut:
a. Proses pembangunan rumah ibadat di Sulawesi Utara pada
umumnya, termasuk di Kabupaten Minahasa Utara selama ini
(sebelum PBM No.9 dan 8 Tahun 2006) melalui persetujuan
Badan Kerjasama Antar Umat Beragama (BKSAUA) setempat
dan berlangsung tanpa banyak hambatan. Sebagian besar
rumah ibadat yang ada sekarang ini dibangun tanpa izin
resmi Pemda.

(108)

b. BKSAUA yang terbentuk sejak pertengahan tahun 1960-an,


yang berada di tingkat Desa sampai tingkat provinsi, relatif
sangat berperan membantu pemerintah setempat dalam
menyelesaikan berbagai persoalan sosial keagamaan yang
muncul dalam kehidupan keseharian masyarakat.
c. FKUB Kabupaten Minahasa Utara yang terbentuk tahun 2009,
belum berperan dan berfungsi secara optimal. Hal ini bisa
dipahami mengingat masih belum lama eksis. Namun dengan
dukungan politis masyarakat, bantuan Pemda yang besar
serta dengan bersinergi dan kerjasama dengan BKSAUA
setempat, ke depan optimis FKUB lebih mampu melakukan
perannya secara lebih signifikan sesuai harapan.
d. Kehidupan sosial umat beragama Kabupaten Minahasa Utara
secara umum relatif kondusif dan rukun, dalam pengertian
tidak ada konflik terbuka yang melibatkan massa antar
kelompok keagamaan dan berlangsung berlarut-larut.
Suasana kondusif tersebut ditopang oleh beberapa faktor
seperti: komitmen dan dukungan politis yang besar para
tokoh keagamaan bersama pemerintah setempat, sikap
keterbukaan, kearifan terhadap budaya lokal, kehidupan
sosial dan ekonomi yang makin meningkat.
e. Dalam tahun 2009, terdapat dua kasus rumah ibadat di
Kabupaten Minahasa Utara. Pertama, kasus Gereja Saksi
Yehova yang dianggap menyebarkan paham menyimpang
yang tidak sesuai dengan pokok-pokok ajaran yang baku
dalam gereja. Kedua, kasus pembangunan masjid Perumahan
Mapanget Griya Indah III, yang ditolak kehadirannya oleh
komunitas Kristen setempat karena tidak memenuhi
persyaratan seperti yang digariskan dalam PBM No.9 dan 8
Tahun 2006. Kedua kasus tersebut berhasil diselesaikan
melalui proses dialog dan lobi-lobi antar pimpinan ormas
keagamaan, tokoh masyarakat, bersama-sama pejabat
pemerintahan terkait.
f. Agar kerukunan hidup umat beragama tetap terpelihara dan
bisa ditingkatkan, dipandang perlu dilakukan berbagai upaya
konkrit, terarah dan berkesinambungan antara lain: 1)

(109)

Peningkatan frekwensi, intensitas, dan efektifitas sosialisasi


PBM No.9 dan 8 Tahun 2006, 2) Peningkatan kerjasama dan
sinergisitas FKUB dengan BKSAUA setempat dalam
penanganan
permasalahan
sosial
keagamaan,
3)
Menggalakkan dialog-dialog multikultural dan kerjasama
kemanusiaan lintas agama dan budaya.

(110)

6
Pendirian Rumah Ibadat
di Kabupaten Sikka
Nusa Tenggara Timur
Oleh: Akmal Salim Ruhana &
M. Yusuf Asry
Sekilas Kabupaten Sikka
Kabupaten Sikka terletak di pulau Flores, Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Kabupaten yang beribukota Maumere ini
memiliki luas 1.731,91 km2, terbagi menjadi 21 kecamatan, 13
kelurahan, dan 147 desa.
Penduduk sebanyak 301.963 jiwa dengan kepadatan 174,35
per km2. Agama yang dipeluk adalah Katolik (89,9%), Islam
(9,09%), Kristen (0,92%), Hindu dan Buddha (0,11%). Suku yang
ada adalah Sikka Kerowe, Kerowe Tana Ai, Lio Kerowe, Palue
(Lua Kaparja), dan Tidung Bajo. Pekerjaan penduduk di
antaranya Nelayan, pedagang, dan PNS.
Kehidupan Keagamaan
Kehidupan keagamaan di Sikka cukup kondusif. Tidak ada
kasus yang luar biasa, selain beberapa kejadian penodaan agama
beberapa tahun yang lalu. Agama hadir di Sikka
berkembangannya aliran kepercayaan. Islam masuk ke Sikka
melalui orang Gowa/Sulsel, kemudian Katolik dibawa orang
Portugis, Kristen dibawa orang Belanda, serta Hindu dan
(111)

Buddha yang masuk melalui orang Bali, terutama yang bertugas


di kabupaten ini.
Umat beragama beribadat di berbagai rumah ibadat yang
tersedia. Sebagai mayoritas, di tahun 2010 ini umat Katolik
memiliki 35 gereja, umat Islam 48 masjid, umat Kristen 8 gereja,
dan umat Hindu 3 Pura. Sedangkan umat Buddha belum cukup
signifikan jumlahnya, sehingga belum memiliki vihara. Demikian
pula, belum terdata umat Khonghucu dengan Litang-nya.
Di kalangan umat beragama tumbuh dan berkembang
organisasi keagamaan. Di dalam Keuskupan Maumere terdapat
31 organisasi tarekat, seperti: SSpS, CIJ, PIJ, PRR, Alma, dan lainlain. Di kalangan Islam ada 12 lembaga, yakni: MUI, NU,
Muhammadiyah, LPTQ, IPHI, Aisyiyah, Yayasan Safora, Annisa,
Al-Muhajirin, At-Taqwa, PHBI, dan BAZ. Di kalangan Kristen ada
9 gereja, yaitu GMIT Kalvari, GMIT Efata, GMIT Sion, GPPS
Maranatha, GPDI, GBI Siloam, GSJA, dan GMHK. Sedangkan di
kalangan Hindu ada 4 lembaga, yakni PHDI, WHDI, Prada, dan
Banjar.
Kerukunan umat beragama cukup kondusif. Banyak faktor
yang mendukungnya, di antaranya faktor adat istiadat yang
kuat, tali kekerabatan masih kokoh (melalui kawin-mawin),
kegiatan lintas agama (seperti kompetisi olahraga yang
melibatkan antar umat beragama), dan adanya penanganan
kasus yang cepat oleh aparat. Namun terdapat pula faktor yang
menghambat pemeliharaan kerukunan, yakni adanya fanatismesempit sebagian masyarakat, masyarakat yang kurang sadar
hukum, belum optimalnya peran FKUB (karena faktor
keterbatasan dana), dan kentalnya predikat mayoritas-minoritas
umat beragama yang dilekatkan pada suatu daerah.
Pelaksanaan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006
Kasus Pendirian Rumah Ibadat
Secara umum tidak ada pendirian rumah ibadat baru di
Sikka pasca diterbitkannya PBM (Maret 2006), kecuali berupa
(112)

renovasi/perluasan. Pada umumnya rumah ibadat juga belum


memiliki IMB, yang adapun belum mengacu pada ketentuan PBM.
Berikut profil beberapa rumah ibadat tersebut:
a. Renovasi dan perluasan Gereja Spiritu Santo Misir, yang
beralamat di Madawat, Alok, Kabupaten Sikka. Gereja ini
sebelumnya adalah sebuah kapel yang melayani 200-an umat
(bagian dari Paroki Katedral). Atas dasar kebutuhan
pelayanan umat yang semakin besar, tahun 2004 dilakukan
perluasan dengan kapasitas 700-800 orang, dan melayani
7000-an umat Katolik. Sejak 2007 gereja secara definitif
digunakan dan menjadi Paroki tersendiri dengan Pastor
bernama Romo Julius Cesar Reda Parera. Ketika proses
pembangunan, semua tetangga lokasi umat Katolik,
belakangan ada muslim dan Hindu mengontrak di
sekitarnya. Bangunan ini belum memiliki IMB, dan sertifikat
tanah pernah diurus, meski sampai saat ini belum selesai.
b. Pengembangan Gereja St. Thomas Morus, di Waioti, Alok
Timur, Kabapaten Sikka. Semula di tanah seluas 3000 m2 ini
merupakan pasar tradisional yang ditukar-guling dengan
tanah 800 m milik gereja. Sekarang di lokasi tersebut sudah
ada Kapela yang melayani 200-an umat. Direncanakan gereja
yang akan melayani 5000-an umat ini akan menjadi
pengembangan dari Gereja St. Thomas Morus yang saat ini
melayani 15.000-an umat.
Sejauh ini belum mulai membangun, baru rapat-rapat persiapan
sambil menggalang dana, karena dana umat juga terbagi
dengan proses renovasi Gereja St. Santo Morus di Jl. Soekarno
Hatta. IMB belum diurus karena belum mulai membangun,
tetapi panitia telah memikirkan dan akan menyiapkannya.
Tetangga lokasi kebanyakan umat Katolik, ada 3 keluarga
muslim, bahkan lokasi ini bersebelahan dengan Masjid
Darussalam, Waioti.
c. Rencana Pembangunan Masjid Agung di Tanah Eks-HGU,
Kotaune, Alok, Sikka. Tanah seluas 2.600 m ini merupakan
hibah/pembagian Pemda kepada semua agama di Sikka
(1984). Rencananya di sana akan dibangun Masjid Agung
(113)

Sikka, tetapi dalam perkembangannya ada respon umat


beragama lain yang berkeberatan dan menilai cukup dengan
masjid yang telah ada (Masjid Al-Muhajirin, Perumnas).
Dari pihak MUI agaknya dapat memahami, kemudian tanah
direncanakan akan digunakan untuk Kantor MUI, tetapi belum
terlaksana dan masih terkatung-katung (secara teknis
terkendala proses pengukuran tanah untuk pembuatan
sertifikat). Tetangga lokasi tersebut ada Kapela, dan jalan
umum. Jika Pura Waidoko sudah mengantongi IMB, tanah
untuk Masjid Agung belum memilikinya, karena terkendala
dalam pengurusan sertifikat dan peruntukan.
d. Renovasi dan perluasan Masjid Darussalam, di Waioti, Alok
Timur, Kab. Sikka. Pada tahun1986 masih berupa musholla
8x8 m2, kapasitas 50 orang. Atas dasar perkembangan umat
yang mencapai 500-an orang, maka direnovasi/diperlebar
menjadi 22x22 m. Pada 2002 mulai dibangun dan mulai
digunakan tahun 2006. Di sekitar masjid mayoritas muslim,
ada Kampus Universitas Muhammadiyah Kupang (kelas jauh)
dan panti asuhan. Sebagian bangunan telah memiliki IMB.
e. Renovasi dan perluasan Masjid Al-Anshor Kotauneng, Kilo2,
Alok, Sikka. Semula berupa musholla 10x10 m dengan umat
100-an KK. Atas dasar perkembangan umat yang mencapai
300-an KK, maka pada tahun 2004 dikembangkan menjadi
masjid sebesar 18x25 m dengan kapasitas 800-an, bahkan pada
momen besar tertentu bisa menampung 1.300-an umat. Pada
tahun 2007 mulai difungsikan. Tetangga masjid hampir semua
muslim (pendatang dari Bugis, Buton, Jawa dan lain-lain).
Bangunan belum memiliki IMB. Sudah mengurus sejak masa
pembangunan dimulai tahun 2004, tetapi belum ada jawaban
dari Pemda (versi lain menyebutkan karena berkas belum
lengkap).
f. Renovasi dan perluasan Gereja GMIT Kalvari di Kotabaru,
Alok Timur, Sikka. Gereja ini berdiri sejak tahun 1960-an. Pada
1982 mulai dibesarkan menjadi berukuran 9x20 m, dengan
kapasitas 400 orang. Atas kebutuhan pelayanan umat yang
semakin banyak, maka mulai tahun 2005 bangunan gereja
(114)

dibesarkan lagi (20x33 m, 2 lantai) untuk kapasitas 1500 orang


dan melayani 2000-an umat. Tetangga lokasi ada kantor pos,
asrama, dan jalan umum. Sudah memiliki IMB.
g. Eksistensi dan rumah ibadat sementara Gereja GBI-Rock
Ministries. Gereja ini ada di Sikka sejak 2002, tetapi karena
keanggotaannya belum banyak sehingga kegiatan ibadatnya
berpindah-pindah, di Waidoko (2002), Gedung Polres
Kotabaru (2005), Alan Hall (2006), Hotel Nara Room Nelle
(2007), dan Rumah di Nairoa (s/d Des 2009). Gereja permanen
belum dibangun, karena belum dapat memenuhi ketentuan
dalam PBM. Eksistensi gereja ini masih belum diterima Pemda
dan Kemenag karena belum tercukupinya jumlah minimal
umat (baru sekitar 40-70 orang). Selain itu, ditengarai ditolak
masyarakat karena diduga ada penarikan anggota yang tidak
wajar dari umat Katolik dan Kristen, serta ada keanggotaan
ganda dengan gereja lain.
h. Pura Agung Waidoko, di Waidoko, Alok, Kab. Sikka. Tanah
Pura seluas 1.300 m2 didapat dari pembagian Pemda (eks-HGU,
1984). Tahun 1992 (pasca tsunami) Pura mulai dibangun, yang
melayani 340 KK. Hingga saat ini bentuk bangunan tetap
meski yang dilayani cenderung berkurang karena arus
migrasi/mutasi-kerja umat (yang kebanyakan berprofesi
TNI/Polri). Pura yang melayani 300-an umat Hindu di
Maumere ini telah bersertifikat (2006), dan telah memiliki IMB
(2009). Tetangga lokasi ada gereja, sekolah, dan jalan raya.
Analisis
Dari gambaran delapan objek penelitian di atas, bahwa
kebutuhan pendirian atau renovasi rumah ibadat didasarkan
pada pertumbuhan jumlah penganut agama. Selain itu, renovasi
juga dilakukan untuk pelayanan umat agar lebih dekat, dan
adanya pertimbangan kelayakan fisik bangunan rumah ibadat.
Terkait proses pendirian rumah ibadat, pertama diawali
dengan musyawarah internal umat (saja), kemudian ada juga
yang meminta persetujuan umat lain sekitarnya. Pada umumnya
(115)

renovasi yang dilakukan itu mengubah lokasi (bergeser) dan


mengubah bentuk (membesar). Artinya, renovasi tersebut sesuai
ketentuan memerlukan IMB baru.
Sejauh ini belum pernah ada rekomendasi terkait rumah
ibadat dari Kemenag dan FKUBbelum ada permohonan
pendirian rumah ibadat. Sejalan dengan itu, sertifikat dan IMB
umumnya belum dimiliki rumah ibadat. Jika pun sudah memiliki
IMB, pengurusannya belum sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur PBM. Selain faktor pemahaman bahwa yang
direnovasi adalah bangunan lama yang telah sejak dahulu, juga
ada pemakluman atau bantuan dari pemerintah.
Beberapa permasalahan (tersisa) terkait pendirian rumah
ibadat, di antaranya: meski pembangunan atau renovasi sejauh
ini berjalan damai, tetapi masih belum sesuai peraturan (PBM
dan Perda 14/2007); pengurusan IMB rumah-rumah ibadat
(benarkah akan ada pemutihan oleh Bupati terhadap rumah
ibadat yg sudah lama ada?); tanah Eks-HGU untuk
masjid/kantor MUI yang masih terkatung; dan permohonan
Gereja GBI Rock (dari segi eksistensi aliran dan persyaratan
administrasi, teknis, dan khusus pendirian gereja).
Sedangkan penanganan masalah rumah ibadat sejauh ini
dapat ditangani oleh aparat. Meski belum tuntas tetapi tetap
telah menciptakan ketentraman dalam masyarakat. Dalam hal ini
independensi pemerintah menjadi tantangan (catatan: kalangan
minoritas merasakan adanya keberpihakan pemerintah daerah
terhadap kalangan mayoritas).
Ringkasan
Dari hasil penelitian dan pembahasan diambil kesimpulan:
a. Tidak terjadi penolakan terang-terangan terhadap pendirian
rumah ibadat. Namun ada rencana pendirian yang mengalami
hambatan dengan belum dikeluarkannya rekomendasi
dan/atau izin sementara untuk tempat ibadat. Hambatan ini
disebabkan proses pemenuhan persyaratan.

(116)

b. Pendirian/renovasi rumah ibadat pada umumnya berjalan


damai. Hal ini bukan karena terpenuhinya aturan (PBM, dan
lain-lain),
tetapi
karena
tidak
dipermasalahkannya
(permisivitas) baik oleh Pemda maupun masyarakat. Karena
bukan pendirian baru, proses pendirian/renovasinya tidak
melalui aturan pendirian bangunan gedung dan PBM.
Prosesnya biasanya dengan melalui rapat pengurus, dan
pembentukan kepanitiaan, hingga proses renovasi.
c. Proses penyelesaian masalah terkait rumah ibadat melalui
kebijakan telah dilakukan. Pemerintah berperan besar dalam
upaya itu. Hanya saja, proses fasilitasi dialog dengan
partisipasi pihak otoritatif belum cukup optimal dilakukan.
Sesuai hasil penelitian direkomendasikan:
a. Bagi rumah ibadat yang belum ber-IMB (atau yang direnovasi
dengan mengubah lokasi dan bentuk) sebaiknya segera
mengurusnya, karena selain demi memenuhi peraturan juga
untuk ketentraman pelaksanaan ibadat umat di masa depan.
Apalagi sudah ada pelayanan satu pintu (Kantor Pelayanan
Perizinan Terpadu/ KPPT)
b. Pemerintah, dalam hal ini Pemda/KPPT, agar dapat
membantu untuk mempermudah pengurusan sertifikat dan
IMB rumah ibadat dengan arahan dan pelayanan prioritas,
demi mendukung upaya penertiban bangunan gedung (sesuai
Perda/PBM) sekaligus membantu pembangunan agama.
c. Permasalahan menyangkut rumah ibadat, sebagai bagian dari
upaya pemeliharaan kerukunan, agar segera ditangani oleh
unsur pemerintah terkait (Pemkab, Kemenag, Kesbanglinmas,
Bappeda, BPN, dan lain-lain.) dengan arif, bijaksana, dan
menjaga netralitas pemerintahan.
d. FKUB perlu lebih mengoptimalkan perannya dalam upaya
pemeliharaan kerukunan dengan melakukan dialog-dialog,
penyerapan aspirasi dan penyalurannya, serta sosialisasi
produk perundang-undangan terkait kerukunan dan pemberdayaan umat.

(117)

e. Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri


Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan 8 Tahun 2006 terkait pendirian
rumah ibadat, hendaknya terus dilanjutkan hingga ke tingkat
kecamatan dan kelurahan/desa. Secara teknis, Kemenag atau
Kesbanglinmas (atau majelis agama sendiri) dapat
menggandakan Buku Saku PBM untuk dibagikan kepada
umat.
f. Sejalan dengan Sosialisasi PBM, perlu dilakukan sosialisasi
pengurusan IMB (oleh KPPT) dan rencana tata ruang wilayah
(oleh Bappeda), serta peraturan terkait lainnya.
g. Perlu sinergi yang lebih intensif di antara pihak yang
berkepentingan dalam upaya mendukung peningkatan peran
FKUB, baik dari segi pembiayaan maupun teknis kegiatannya.
h. Pemerintah pusat diharapkan terus mengkoordinasikan dan
membantu upaya pemeliharaan kerukunan di daerah dengan
memberikan alternatif solusi bagi permasalahan di lapangan,
seperti:
1) Menggalakkan (kembali) Sosialisasi PBM di berbagai
daerah.
2) Membuat terobosan strategis terkait anggaran FKUB,
misalnya dengan membuat surat edaran yang mendorong
Pemerintah Daerah agar mengalokasikannya secara
khusus.
3) Membuat program-program pemberdayaan masyarakat
yang dapat mencerdaskan dan mensejahterakan umat.

(118)

7
Pendirian Rumah Ibadat
di Kota Sorong
Oleh: Haidlor Ali Ahmad
Sekilas Kota Sorong
Nama Sorong berasal dari kata soren, dalam bahasa Biak
Numfor berarti laut yang dalam dan bergelombang. Nama Soren
untuk menyebut sebuah tempat di waliyah kepala burung Pulau
Papua, yang pertama kali menggunakan adalah suku Biak
Numfor yang berlayar dan berkelana hingga sampai dan
menetap di Kepulauan Raja Ampat. Suku Biak Numfor inilah
yang memberi nama Daratan Maladum dengan sebutan Soren
yang dilafalkan oleh para pedagang Tionghoa, missionaris dari
Eropa, Maluku dan Sangir Talaut dengan sebutan Sorong.
Kota Sorong memiliki beberapa fasilitas berupa pelabuhan
laut dan udara, sehingga menjadikan kota ini sebagai
persinggahan dan pintu gerbang bagi Provinsi Papua Barat, di
samping juga sebagai kota industri, perdagangan dan jasa. Kota
Sorong yang memiliki water front view (kota dengan
pemandangan laut) menjadikan kota ini sebagai kota
pariwisata.34
Kota Sorong terkenal karena terdapat aktivitas pengeboran
minyak bumi sejak jaman pemerintahan kolonial Balanda, yakni
34Andy,

Selayang Pandang Kota Sorong.

(119)

Nederlands Neauw Guinea Petroleum Matschcapeij (NNGPM)35 yang


mulai beroperasi sejak tahun 1935. Peninggalan bersejarah
perusahaan tersebut adalah pelabuhan ekspor minyak bumi,
beberapa kilang minyak, rumah tinggal karyawan, bekas barak
karyawan kelas bawah, dan sebuah masjid sebagai sarana ibadah
karyawan Muslim.
Kota Sorong pada mulanya merupakan salah satu kota
kecamatan yang dijadikan pusat pemerintahan Kabupaten
Sorong. Berdasarkan PP Nomor 31 Tahun 1996 tanggal 3 Juni
1996 Kecamatan Sorong ditingkatkan menjadi Kota Administratif
(Kotif) Sorong. Berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 1999 Kotif
Sorong ditingkatkan statusnya menjadi daerah otonom sebagai
Kota Sorong. Tanggal 12 Oktober 1999 di Jakarta dilaksanakan
pelantikan Pejabat Walikota Sorong, Drs. J.A. Jumane dan secara
resmi Kota Sorong terpisah dari Kabupaten Sorong tanggal 28
Februari 2000.
Kota Sorong terletak di sebelah selatan garis katulistiwa,
atau terletak pada kordinat 131 15 BT dan 0 54 LS. Luas wilayah
Kota Sorong mencapai 1.105 km2. Wilayah Kota Sorong dibatasi
Selat Dampr di sebalah barat, di bagian utara dengan Distrik
Makbon, Kabupaten Sorong dan Selat Dampir. Di bagian timur
berbatasan dengan Distrik Makbon dan Kabupaten Sorong, di
bagian selatan berbatasan dengan Distrik Aimas, Kabupaten
Sorong dan Distrik Salawati Kabupaten Raja Ampat.
Kota Sorong merupakan wilayah pemekaran dari
Kabupaten Sorong yang dipecah menjadi dua daerah tingkat
dua, yaitu: Kabupaten Sorong dan Kota Sorong. Menurut

35Sekarang
penduduk setempat hanya mengenal perusahaan
pengeboran minyak bumi milik Belanda dengan nama GPM dan mereka tidak
mengetahui kepanjangannya.

(120)

rencana, sudah diwacanakan bahwa, Provinsi Papua Barat akan


dimekarkan, dipecah menjadi dua daerah tingkat 1, yakni
Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua Barat Daya dan Kota
Sorong akan dijadikan ibu kota Provinsi Papua Barat Daya.
Berdasarkan administrasi pemerintahan, Kota Sorong
terdiri dari 5 distrik, yaitu Distrik Sorong Barat, Sorong Timur,
Sorong, Sorong Kepulauan dan Sorong Utara. Masing-masing
distrik terbagi menjadi 4-5 kelurahan, yang dapat dilihat pada
tabel berikut:
TABEL 1: JUMLAH DISTRIK DAN KELURAHAN DI WILAYAH
KOTA SORONG DAN LUAS MASING-MASING KELURAHAN
Distrik
Sorong Barat

Sorong Timur

Sorong

Sorong Kepulauan

Sorong Utara

Jumlah

Kelurahan
Klabala
Saoka
Tanjung Kasuari
Rufei
Klawasi
Klablim
Klasaman
Remu Selatan
Malaingkedi
Klademak
Remu Utara
Klaligi
Kampung Baru
Malawei
Doom Barat
Doom Timur
Raam
Soop
Malanu
Klagete
Matalamagi
Klawuyuk
22 kelurahan

Sumber: Kota Sorong Dalam Angka 2009.

(121)

Luas (km2)
45.7
50.83
62.92
44.5
50,2
62.7
70.5
62.5
54.59
40.064
30.07
40.04
50.05
40.096
45.1
50.5
50.025
54.475
51.155
48.45
50.5
50.035
1,105

Jumlah penduduk Kota Sorong36 pada tahun 2008 dalam


Kota Sorong dalam Angka 2009 tercatat sebanyak 172.855 jiwa
(Proyeksi 2008),37 sama dengan data yang dimiliki Kantor
Kementerian Agama Kota Sorong. Jumlah penduduk tersebut
terdiri atas penduduk laki-laki 90.183 jiwa (52%) dan perempuan
82,672 jiwa (48%). Namun data yang dimiliki BPS Kota Sorong ini
dapat dikatakan tidak cukup akurat, karena pada halaman yang
lain jumlah penduduk Kota Sorong tahun 2008 tercatat sebanyak
215.709 jiwa38.
Tingkat kepadatan penduduk Kota Sorong jika jumlah
penduduk 215,709 jiwa mencapai 195 jiwa/km2. Akan tetapi
jika jumlah penduduk 172.855 jiwa maka tingkat kepadatannya
mencapai 156,43/km2. Meski ada perbedaan (selisih tingkat
kepadatan penduduk), namun dengan tingkat kepadatan
penduduk seperti itu, Kota Sorong dapat dipastikan tergolong
sebagai wilayah yang jarang penduduknya.
Komposisi penduduk Kota Sorong jika dilihat dari sisi
etnis, jumlah penduduk pribumi (etnis Papua) lebih kecil
dibandingkan etnis pendatang, menurut perkiraan 40:60. Etnis
pendatang yang menonjol adalah Bugis, Buton, Makassar,
36 Menurut beberapa informan data kependudukan di Kota Sorong
khususnya dan Papua umumnya terutama berkaitan dengan jumlah penganut
agama berbeda-beda. Informasi yang sama pernah peneliti terima ketika peneliti
melakukan perjalanan dinas di Jayapura. Perbedaan data kependudukan ini
berakibat terjadinya ketidakkonsistenan data yang dimiliki BPS Kota Sorong,
37 Kota Sorong dalam Angka 2009: 36 dan 40,
38 Kota Sorong dalam Angka 2009: 74 dan 111. Data kependudukan dalam
Kota Sorong Dalam Angka 2009 berbeda dengan data yang dimiliki Kantor
Kementerian Agama, meskipun pada tabel jumlah penduduk dilihat dari
penganut agama (Kota Sorong dalam Angka 2009) sebagai sumbernya
dicantumkan Departemen Agama Kota Sorong; Lihat juga data jumlah penganut
agama.
38 Kota Sorong dalam Angka 2009: 40.

(122)

selebihnya etnis Jawa, Menado, Ambon, Tionghwa, dan


pendatang dari kepulauan Key, Tanimbar, Nusa Tenggara Timur,
Sumatra Utara dan lain-lain.
Perkembangan jumlah penduduk pendatang diperkirakan
setiap minggu bertambah 3 kali 500 orang (1.500 orang).
Prakiraan ini berdasarkan kedatangan Kapal Putih (kapal
terbesar) yang berlabuh 3 kali dalam seminggu yang mengangkut
para pendatang (+/- 500 orang) dari wilayah Indonesia Barat dan
Tengah, selain dengan pesawat udara 3 kali setiap hari.39
Penduduk Menurut Etnis
Etnis-etnis yang ada di Kota Sorong bertempat tinggal
secara mengelompok, etnis Bugis yang merupakan etnis
pendatang terbesar terkonsentrasi di Kelurahan Pasar Baru,
Kampung Bugis, Kelurahan Klasaman dan Kelurahan Rufei.
Selain sebagai kantong etnis Bugis, Kelurahan Rufei juga
merupakan kantong etnis Buton. Selain di Rufei, Etnis Buton juga
terkonsentrasi di Kampung Buton Distrik Manoi. Etnis Key di
Kampung Key Kelurahan Kampung Baru. Etnis Jawa di
Kelurahan Matamalage dan Kilometer 9 dan 10. Sementara
penduduk pribumi berada di pinggiran kota. Oleh karenanya
wajah Kota Sorong tidak mencerminkan ciri Papua, melainkan
sebagaimana kota-kota di wilayah Indonesia bagian barat dan
tengah.

39 Sekurang-kurangnya ada empat orang informan (3 orang guru MAN


Model dan seorang Kasi pada Kantor Kementerian Agama Kota Sorong)
memperkirakan perkembangan jumlah penduduk pendatang berdasarkan
kedatangan kapal laut dan pesawat udara di Kota Sorong.

(123)

Kehidupan Keagamaan
Komposisi penduduk menurut agama yang dianut,
berdasarkan data Kantor Kementerian Agama Kota Sorong
Tahun 2008 dapat dilihat pada tabel berikut:
TABEL 2: JUMLAH PENDUDUK MENURUT AGAMA YANG
DIANUT
Kecamatan
Sorong Barat
Sorong Timur
Sorong
Sorong Kepulauan
Sorong Utara
Jumlah

Kristen
14.516
12,676
26,796
7,253
18.372
79,613

Katolik
6.829
5,019
1,913
133
5,837
19,732

Islam
11.331
21.415
29,599
1,291
7,776
71,413

Hindu
151
103
11
6
95
367

Buddha
1.039
108
404
178
1.78

Jumlah
33.867
39.322
58,724
8,684
32,258
172,855

Sumber: Kantor Kementerian Agama Kota Sorong.

Sebagai perbandingan, kiranya perlu ditampilkan data


komposisi penduduk menurut agama yang dimiliki BPS Kota
Sorong. Meski datanya berbeda dengan yang dimiliki Kantor
Kementerian Agama Kota Sorong, namun dalam keterangannya
disebutkan bersumber dari Kementerian Agama Kota Sorong.
TABEL 5: JUMLAH PEMELUK AGAMA PER DISTRIK
DI KOTA SORONG TAHUN 2008
Distrik
Sorong Barat
Sorong Timur
Sorong
Sorong Kepulauan
Sorong Utara
Jumlah

Kristen

Katolik

Islam

Hindu Buddha

17.480
24.397
43.143
5.617
23.365
142.002
(08)

7.010
6.354
1.682
1.003
3.377
19.426
(06-07)

11.631
27.110
26.021
1.000
4.499
70.261
(06-07)

156
132
10
5
65
368
(08)

Sumber: Kementerian Agama Kota

1.067
137
355
103
1.662
(08)

Jumlah
47.344
58.130
71.211
7.625
31.399
215.709

Sorong40

40 Kota Sorong dalam Angka 2009: 111; Yang ganjil dari data dalam tabel
di atas, pertama data jumlah penganut agama Katolik dan Islam merupakan data
tahun 2006-2007, tapi data jumlah seluruh penduduk semakin membengkak
menjadi 215.709 jiwa. Bandingkan dengan data dalam tabel sebelumnya yang

(124)

Diperkirakan jumlah umat Islam akan terus berkembang


seiring dengan pertambahan penduduk berdasarkan etnis yang
datang dari wilayah Indonesia Barat dan Tengah, yakni sekitar
6.722 orang pendatang per tahun. Para pendatang ini sering
diidentikan dengan pendatang Muslim, karena mayoritas
beragama Islam, meski juga terdapat penganut agama non-Islam.
Sebagian penduduk Kota Sorong bertempat tinggal
secara terkonsentrasi atau membentuk kantong-kantong
penduduk menurut agama yang dianut. Sebagian penganut
agama Nasrani bertempat tinggal terkonsentrasi di wilayah
pinggiran kota, di Lademak, dan Rufe. Sedangkan penduduk
Muslim terkonsentrasi di At-Taqwa Remu Selatan, Pasar Baru
Klademak, Sebagian HBM, Klademak Pantai, Remu Utara,
Kilometer 9 dan 10.
TABEL 6: JUMLAH RUMAH IBADAT DI KOTA SORONG
Kristen
Gereja

Katolik

Islam

Buddha

Gereja Kapela Masjid Musala Wihara Pagoda

24741
6
9
70
16
3
1
43
Sumber: Kantor Kementerian Agama Kota Sorong

Hindu
Pure
142

secara keseluruhan merupakan data tahun 2008, tapi jumlah penduduknya lebih
kecil, 172.855 jiwa; Kedua, tabel di atas diambil dari Kota Sorong dalam Angka 2009,
di bawah tabel disebutkan sumbernya dari Kantor Kementerian Kota Sorong,
tapi justru jumlah penduduk dalam tabel ini berbeda dengan data yang peneliti
peroleh dari Kantor Kementerian Agama Kota Sorong (tabel 4).
41 Jumlah gereja Kristen Protestan yang terdaftar sebanyak 247,
sementara ada beberapa gereja yang belum terdaftar (informasi dari staf Urusan
Agama Kristen Kantor Kementerian Agama Kota Sorong).
42 Pembangunan pura sedang dalam proses, sekarang sudah dibangun
fondasi di Kelurahan Klasaman Kecamatan Sorong Timur. Meski demikian
setiap purnama tilem diadakan sembahyang dan pada hari nyepi tgl 16 Maret
2010 juga dipakai untuk sembahyang. Menurut rencana pura yang akan
dibangun ini adalah tingkat pura jagat raya yang disediakan untuk seluruh umat
dan diberi nama Buana Kerti.

(125)

Umat beragama di Kota Sorong yang memiliki rumah


ibadat terbanyak adalah umat Kristen, 247 gereja yang terbagi
atas 39 denominasi. Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKITP)
yang paling banyak, 50 buah; pada urutan ke dua Gereja
Pentakosta di Indonesia (GPdI) 38 buah; dan Gereja Bethel
Indonesia (GBI) pada urutan ke tiga, 36 buah; Selanjutnya secara
berurutan Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) 12 buah; Gereja
Betel Gereja Pentakosta (GBGP) 11 buah; Gereja Pentakosta di
Papua (GPdP), 10 buah; Gereja Kalvari Pentakosta Missi di
Indonesia (GKPMI), 9 buah; Gereja Masehi Advent Hari Ke Tujuh
(GMAHK) 9 buah; Gereja Pekabaran Injil Jalan Suci (GPI Jalan
Suci) 8 buah; Gereja Baptis Anugerah Indonesia (GBAI), 6 buah;
Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) 5 buah; Gereja Protestan
Indonesia (GPI) dan Gereja Pentakosta Tabernakel (GPT) masingmasing 4 buah; Gereja Pekabaran Injil Sungai Air Hidup (GPISAH), Gereja Rasuli Indonesia (GRI).
Gereja Penyebaran Injil (GPI), dan Gereja Persekutuan
Kristen Alkitab Indonesia (GPKAI) masing-masing 3 buah; Gereja
Kristen Oikumene (GKO), Gereja Missi Injili Indonesia (GMII),
Gereja Kristen Kalam Kudus (GKKK), Gereja Kasih Kurnia
Indonesia (GEKARI), Gereja Sidang Tuhan (GST), Gereja Kristen
Protestan Injili Indonesia (GKPII), dan Gereja Bethany Indonesia
masing-masing 2 buah; Gereja Tuhan di Indonesia (GTDI), Gereja
Kristen Nazarene (GKN), Gereja Suara Ketebusan (GSK), Gereja
Betel Injil Sepenuh (GBIS), Gereja Esa Di Indonesia (GESINDO),
Gereja Reformasi Santosa Asih (GRISA), Gereja Kristen Perjanjian
Baru (GKPB), Gereja Bala Keselamatan, Gereja Kemenangan
Iman Indonesia, Gereja Kerapatan Pentakosta (GKP), Gereja
Pentakosta Haleluyah Indonesia (GPHI), Gereja Sidang Jemaat
Kristus Indonesia (GSJKI), Gereja Kristen Alkitab (GKA), dan
Gereja Betel Tabernakel (GBT) masing-masing 1 buah.

43 Sumber sebagian berupa dokumen dan selebihnya dari hasil


wawancara dengan masing-masing Kasi Bimas (Islam, Kristen Protestan dan
Katolik) maupun Penyelenggara (Hindu dan Budha).

(126)

Umat Katolik memiliki 6 paroki Dari keenam paroki


tersebut memiliki 9 kapela binaan. Berdasarkan penjelasan Kasi
Bimas Katolik Kantor Kementerian Agama Kota Sorong, Donatus
Jempormase, umat Katolik hanya memiliki sejumlah kecil rumah
ibadat (gereja). Hal ini dikarenakan bagi umat Katolik untuk
mendirikan gereja harus mendapat izin dari uskup. Kalau di
suatu tempat umatnya banyak bisa dibangun gereja. Sementara
jumlah umat Katolik di Kota Sorong khususnya dan umumnya di
Papua lebih kecil dibandingkan dengan umat Kristen.
Menurut Sutan Alamsah44, masjid tertua di Sorong adalah
Masjid Al-Falah di Kampung Baru, yang merupakan peninggalan
penjajah Belanda. Masjid tersebut disediakan untuk karyawan
Muslim yang bekerja pada perusahaan pertambangan minyak
tanah milik Belanda, NNGPM. Dahulu bangunannya sangat
sederhana beratap seng berdinding gaba-gaba.45 Masjid kedua
adalah Masjid Al-Amin dan yang ketiga Masjid Al-Jihad yang
dibangun pada tahun 1970-an.
Di Lingkunan Kristen Protestan di Kota Sorong terdapat
39 denominasi. Di lingkungan Katolik, terdapat organisasi
Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Persatuan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Mudamudi Katolik (Mudika). Di lingkungan Buddha terdapat sekte
Maitreya.
Di lingkungan Islam terdapat beberbagai ormas
keagamaan antara lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan
Masjid Indonesia (DMI), Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT),
Badan Amil Zakat Daerah (Bazda), Lembaga Pengembangan
Tilawatil Quran (LPTQ), Muhammadiyah dan organisasiorganisasi underbow. Ormas paling maju di Sorong, memiliki
lembaga pendidikan dari Roudlatul Atfal (RA) sampai perguruan
tinggi, Nahdlatul Ulama (NU) dan organisasi-organisasi
44 Sesepuh Ikatan Keluarga Minang (IKM), tapi sebutan sesepuh IKM
diprotes oleh berbagai kalangan, etnis-etnis menginginkan St. Alamsyah sebagai
sesepuh kita semua (sesepuh semua etnis yang ada di Kota Sorong).
45 Gaba-gaba terbuat dari pelepah enau yang dijepit (Aceh: Jembo).

(127)

underbownya, Kordinator Pengajian Wanita Indonesia (KPWI),


Badan Kordinasi Komunikasi Pembangunan Umat Islam
(BKKPUI), dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indoesia (ICMI).
Sedangkan aliran/faham keagamaan dalam Islam yang
terdapat di Kota Sorong antara lain, Salafi dan Jamaah Tabligh.
Selain Ormas, aliran dan faham Keagamaan tersebut di Sorong
masih banyak terdapat organisasi-organisasi kedaerahan, seperti
Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS), Kerukunan
Keluarga Sulawesi Tenggara (KKST), Kerukunan Keluarga
Sulawesi Utara (KKSU), Ikatan Keluarga Sunda Jawa Madura
(Ikasuwara), Lembur Kuring (kusus Sunda), Ikatan Keluarga
Minang (IKM).
Hubungan Antarumat Beragama
Menurut keterangan tiga orang guru MAN Model Sorong,
yaitu L. Moharofu, S.Pdi, Widodo dan Nining Qomariah,
kerukunan di Kota Sorong dapat terwujud karena sikap
pendatang yang cenderung mengalah, baik dalam konflik
antaretnik maupun antaragama. Dengan alasan lebih baik
mengalah tetapi aman sehingga mereka dapat mencari rezeki
dengan tenang dari pada melawan kemudian terjadi konflik, dan
tidak dapat mencari rezeki dengan tenang.
Keterangan di atas bertolak belakang dengan keterangan
M. Adnan Nuhuyana pendatang dari Key Maluku Tenggara. Ia
mengatakan berhadapan dengan orang Papua, kalau mereka
berbicara keras kita harus bisa lebih keras. Kalau mengalah terus
mereka makin sewenang-wenang. Ia mengilustrasikan ketika
terjadi konflik di Masjid Perumnas, orang Biak yang tinggal di
sebelah masjid merasa terganggu karena suara adzan kadangkadang ia melempari masjid dengan batu dan terakhir ia
memasang speker di atap rumahnya, untuk membalas suara
adzan dengan nyanyian Haleluya. Sementara penduduk Muslim
yang tinggal di sekitar masjid diam saja.
Menurut Adnan penduduk Muslim di sekitar adalah
orang-orang Sunda dan Jawa yang sabar. Tetapi ketika masalah
(128)

tersebut diadukan kepada pihak yang berwajib, orang Biak yang


badannya cukup besar itu pun unjuk kekuatan dengan bertolak
pinggang. Adnan langsung menggertak dengan memaksanya
menurunkan tangan. Adnan kemudian bersandiwara berpurapura menyarankan kepada Kapolres, Pak lebih baik orang satu
ini kita korbankan dari pada kita mengorbankan 200 orang warga
di sini! Dengan gertakan Adnan itu, akhirnya orang Biak itu
pun tidak bertingkah lagi dan konflik dapat diselesaikan.
Selanjutnya, kegiatan di masjid tersebut berjalan tanpa ada
gangguan lagi.
Menurut M. Adnan Nuhuyanan setiap ada masalah, aparat
terkait selalu melakukan koordinasi dengan cepat, tidak boleh
lebih dari satu minggu. Kalau lebih satu minggu sudah habis.
Sebagai ilustrasi penanganan keributan pada vestival
Kebudayaan Islam di Masjid Raya bulan Februari 2010.
Menurutnya, kasus tersebut merupakan kasus antar pribadi,
pelakunya seorang pemuda Biak, korban pertama seorang
pemuda Seram dan korban kedua seorang pemuda Tanimbar.
Secara kronologis Adnan menceritakan kasus tersebut
berawal dari seorang pemuda Biak yang menegur seorang
pemuda Seram yang berjalan layaknya jagoan, He, Dik! Jalan
kok seperti jagoan saja!. Pemuda Seram itu pun menjawab
Suka-suka saya, mau seperti jagoan apa bukan! Usil amat,
Bang! Kemudian terjadi cek-cok dan berbuntut pemukulan,
terhadap seorang pemuda Seram. Melihat temannya dipukuli,
seorang pemuda Tanimbar ikut membela, tetapi ia dipukuli pula.
Sehingga, mereka berdua lari masuk ke masjid, kemudian
dilempari batu oleh pemuda Biak. Selanjutnya, pemuda Seram
itu pulang memanggil keluarganya. Karena di antara batu yang
dilemparkan pemuda Biak itu ada yang mengenai Masjid, maka
secara spontan berkumpullah sekitar 300 pemuda Muslim vis a
vis anak-anak muda yang melempari masjid itu. Tetapi aparat
pun segera datang ke tempat kejadian perkara (TKP).
Kapolrespun mengimbau mereka yang akan baku hantam itu
untuk segera membubarkan diri.

(129)

Himbauan Kapolres itu tidak dihiraukan oleh mereka yang


siap konflik itu. Adnan mengambil alih speker yang dipegang
Kapolres dan menggantikan peran Kapolres mencegah terjadinya
konflik yang lebih besar. Hingga jam 03.00 dini hari suasana yang
menegangkan itu usai. Esok harinya pemuda yang mebikin onar
itu ditangkap dan ditahan oleh yang berwajib.46
Penanganan kasus yang demikian cepat, pelakunya
langsung ditangkap keesokan harinya, menjadikan kasus ini
selesai. Hal ini dapat dibandingkan dengan kasus Poso, yakni
penusukan yang dilakukan oleh (secara kebetulan) pemuda
Kristen terhadap korbannya (secara kebetulan) pemuda Muslim,
di masjid Saiyo yang penangannya dari pihak berwajib tidak
serius, apapun alasannya. Karena pelaku kemudian dibebaskan
agar bisa ikut merayakan Natal. Kasus sepele ini hanya karena
masalah pinjam-meminjam obeng antara dua teman ini menjadi
awal dari konflik berdarah di Poso yang berkepanjangan yang
banyak menelan korban jiwa dan harta benda.
Seusai kasus di Masjid Raya, seorang pensiunan Brimob,
Muhsin Renfan berceramah di sebuah masjid Kampung Baru,
yang intinya kurang lebih Inna al-dina indallahi al-Islam,
sesungguhnya agama yang diridlai Allah hanyalah Islam.
Barangsiapa berani melempar masjid ini, maka perkampungan
sekitar masjid ini akan saya bakar47.
Muhsin kemudian dipanggil Kapolres, untuk dimintai
pertanggungjawaban atas ceramahnya itu. Inti dari dialog antara
Kapolres dengan Muhsin kurang lebih, ketika dia ditanya
tentang maksud ceramahnya itu, dia balik bertanya kepada
Kapolres, Bapak orang Muslim bukan? Kapolres pun
mengiyakan bahwa dirinya sebagai seorang Muslim. Kemudian
Muhsin menyatakan kurang lebih, jika masjid dilempari batu,
yang dilepari itu bukan rumah Kapolres, tetapi rumah Allah.
46 Ini merupakan versi lain dari sekian versi kasus kerusuhan di
Festival Budaya Islam (Masjid Raya Dilempari Batu), karena masing-masing
informan berbeda-beda ceritanya.
47 Di sekitar masjid tersebut banyak orang Ambon (Nasrani) bermukim.

(130)

Sebagai
seorang
Muslim
ia
wajib
membela
dan
mempertahankannya. Dan Kapolres sebagai seorang Muslim
diharap dapat memahaminya. Akhirnya Muhsin diizinkan
pulang.
Dari dua indikator kiranya dapat menunjukkan bahwa
bukan hanya 300 pemuda Muslim saja yang siap tetapi generasi
tua pun ternyata juga mendukung secara moral dan spiritual.
Dan ini juga merupakan sinyal lampu kuning untuk hati-hati
(saling menahan diri) dan aparat untuk tidak selalu memandang
sebelah mata terhadap kalangan minoritas yang sering
diidentikkan dengan pendatang. Karena realitanya menurut
keterangan guru-guru MAN Model dan Juga Adnan bahwa
belakangan ini sering diadakan seminar tentang Sejarah
Kedatangan Islam di Bumi Papua, di mana banyak tokoh-tokoh
tua (termasuk di kalangan Nasrani yang tidak bisa memungkiri
fakta sejarah, bahwa agama Islam datang lebih dahulu dari pada
agama Nasrani. Bahkan yang menyambut kedatangan dan
mengantarkan para misionaris dan zending kala itu adalah
tokoh-tokoh Muslim. Hal ini menunjukkan bahwa agama Islam
memiliki sejarah yang jauh lebih dulu tertanam bukan hanya di
Sorong tapi di Bumi Papua, termasuk Manokwari yang sudah
diklaim sebagai Kota Injili.
Sebagai pendukung kerukunan di Sorong dibangun
kearifan lokal baru atau sebagai semboyan daerah yang diambil
dari nama salah satu makanan tradisional orang Papua dan
Maluku yang terbuat dari sagu yaitu Papeda yang
kepanjangannya Papua Ingin Damai. Secara khusus Kota
Sorong yang penduduknya terdiri berbagai etnis layaknya
miniatur Indonesia memiliki semboyan yang berbunyi
Sakoba (Sorong Kota Bersama).
Adnan menambahkan sewaktu-waktu pada malam
Minggu para tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh formal
melakukan pertemuan non formal, sambil bakar ikan, dengan
tujuan koordinasi dan akomodasi permasalahan dan mencarikan
solusihya.
(131)

Faktor Pendukung Kerukunan


Faktor Budaya
Falsafah Satu Tungku Tiga Batu yang merupakan pesan
moral nenek-moyang orang Papua, termasuk di Papua Barat, dan
lebih khusus di Kota Sorong menunjukkan toleransi yang tinggi
terhadap perbedaan agama. Bagi kebanyakan warga Papua asli,
dalam satu rumah tiga macam agama yang dipeluk anggota
keluarga itu, bukan sesuatu yang mengherankan. Jauh sebelum
toleransi dianjurkan pemerintah, orang Papua pada umumnya,
sudah menghargai perbedaan keyakinan. gereja, masjid, dan
kemudian menyusul vihara, hadir mewarnai pluralitas Kota
Sorong.
Tokoh Karismatik
Menurut M. Adnan Nuhuyana, tokoh karismatik dari
kalangan Kristen Protestan, antara lain: Pdt. Promoduma, Pdt.
Mofu, Pdt. Maure. Menurut Kepala Badan Statistik Kota Sorong
adalah Pdt. Riki Montang; Di kalangan Katolik, menurut Donatus
Jempormase adalah Pdt. Paul Tan PR. Sedangkan, di kalangan
Islam menurut M. Adnan Nuhuyana adalah Muhsin bin Tahir,
KH. Usman Shofi, Abdul Manan Fakaubun, Drs.H. Uso,
Suparman M. Rafiq, S.Pdi, MM, Drs. H. Kisman Rahayaan, MM.
Yang disebutkan terakhir ini juga disepakati oleh St. Alamsah48.
Selain itu, St. Alamsah juga memilih M. Adnan Nuhuyana. M.
Adnan Nuhuyana adalah tokoh kharismatik, karena beberapa
kasus kerusuhan dapat ia selesaikan dan ketika wawancara
mereka sering melemparkan hal tersebut kepada M. Adnan,
misalnya dengan ucapan Kalau masalah itu, Adnan yang lebih
tahu. Dengan adanya tokoh-tokoh kharismatik pada tiap-tiap

48 St. Alamsyah, yang nama kecilnya Ahyar adalah pendatang dari


Padang, yang datang ke Sorong sejak tahun 1967. Ia yang menyelesaikan
pembangunan Masjid Raya Sorong,setelah pembangunannya terbengkelai
bertahun-tahun. Ia pernah menjadi anggota DPR Kabupaten Sorong dari Fraksi
Golkar. Ia pendiri ICMI di Sorong dan pemilik Hotel Pilihan.

(132)

agama ini menjadikan kondisi harmoni di Kota Sorong mudah


dikendalikan.
Tidak Mudah Terprovokasi
Pande Ketut memberikan contoh kasus, seperti yang barubaru ini terjadi ada yang melempar batu di Masjid Raya ketika
sedang diselenggrakan Festifal Budaya Islam pada bulan
Februari 2010. Informasi yang sama disampaikan oleh Mustafa
Musa Buatan, S.Pd. guru IPS MAN Model. Insiden ini tidak
berlanjut karena menurut Mustafa orang-orang Sorong tidak
mudah diprovokasi.
Menurut Adnan, sebelum terjadi konflik di Ambon, di
Sorong pernah terjadi upaya provokasi, ada beberapa masjid
yang dilempari batu, yaitu Masjid Darussalam Kampung Baru,
Masjid Mujtahidin Kampung Baru, Masjid Al-Falah Kampung
Baru, Masjid Al-Azhar, dan Masjid Al-Huriyah kedua-duanya di
GOR ditengah-tengah pemukiman yang mayoritas penduduknya
berasal dari Ambon. Tapi masyarakat secara umum tidak mudah
terprovokasi.
Menurut keterangan L. Moharifu S.Pdi, Widodo, dan
Nining Qomariyah di Masjid Perumnas sedang adzan Magrib di
balas dengan nyanyian Haleluya lewat speker juga. Di Pulau
Doom Kota Lama dekat pelabuhan, sekelompok umat Muslim
sedang melakukan pengajian dilepari batu. Di Masjid Raya,
ketika sedang ada festival Kebudayaan Islam, waktu ada acara
kasidah dilempari batu, hingga mengenai kaca masjid hingga
pecah. Menurut keterangan tiga orang guru MAN Model
tersebut, hal itu dikarenakan ada pemuda non-Muslim masuk
masjid pakai sepatu, ada bekas sepatu dilantai masjid. Konon
ketika anak muda itu ditegur, dia marah dan melempari masjid
dengan batu (ada versi lain berkenaan dengan kasus ini). Namun
masalah itu sudah ditangani pihak yang berwajib, dan yang
bersangkutan ditahan.

(133)

Faktor penghambat kerukunan


Pendirian Rumah Ibadah
Di sisi lain pembangunan gereja yang tidak pernah ada
hambatan, sebagai contoh gereja yang didirikan oleh orang-orang
Bugis di atas tanah sengketa tidak pernah dipermasalahkan,
menjadikan umat lain timbul kecemburuan. Sementara umat
Islam mendirikan rumah ibadat di tanah yang sudah ada
sertifikatnya pun dianggap belum lengkap. Karena harus ada
pelepasan dari adat. Ini merupakan salah satu faktor dapat
menimbulkan kondisi ketidakrukunan di Kota Sorong.
Masalah Etnis/Suku
Menurut salah satu informan, dari Parisada Hindu Dharma
Indonesia (PHDI) Kota Sorong, Pande Ketut Suniarta,
mengatakan bahwa masalah agama di Kota Sorong dapat
dikatakan tidak ada konflik. Sementara yang sering terjadi
konflik adalah masalah etnis atau suku, karena persoalan
pembunuhan, dan korban kecelakaan. Dimana jika terjadi insiden
penduduk pribumi tertabarak kendaraan, tuntutannya sangat
tinggi. Bahkan seekor anjing milik pribumi, jika tertabrak,
tuntutannya bisa mencapai Rp 10 juta.
Pande Ketut Suniarta menambahkan, konflik antar etnis
pernah terjadi pada waktu terjadi konflik Ambon. Mustafa Musa
Buatan, S.Pd. guru IPS MAN Model menambahkan, terutama
yang Nasrani banyak yang lari ke Kota Sorong. Tapi guru MAN
Model yang lain mengatakan, masalah konflik yang selalu
dikaitkan dengan orang Ambon itu hanya alasan belaka.
Meninggalkan Adat Istiadat
Menurut keterangan M. Adnan Nuhuyaman penduduk asli
Sorong sekarang sudah demikian jauh meninggalkan adatistiadat dan sopan-santunya karena terkena ekses budaya
pendatang yang biasa berperilaku keras dan kasar, seperi

(134)

pendatang dari Ambon dan Tapanuli. Dahulu, sekitar 10 tahun


ke belakang penduduk asli Sorong sangat sopan kalau lewat
didepan orang mengucap permisi dan sambil membongkok,
tetapi sekarang etika dan sopan santun seperti itu sudah hilang.
Dahulu penduduk asli Sorong sering berpesan kepada para
pendatang Kalian jangan melakukan perang antar agama di sini.
Kalau mau perang antar agama silakan pulang. Berperanglah di
kampung kalian sendiri. Kalau kalian kesini marilah kita isi
kemerdekaan negeri ini. Tapi sekarang penduduk asli telah
meninggalkan kearifan lokal, mengikuti pendatang dari etnis
tertentu.
Analisis
Rumah ibadat bagi umat beragama bukan saja menjadi
ruang untuk beribadat dana melaksanakan aktivitas sosial
keagamaan melainkan juga merupakan simbol interaksi antar
kelompok agama, penerimaan dan penolakan dari warga
masyarakat sekitarnya. Dalam realitas, ditemukan rumah ibadat
berbeda agama saling berdekatan, bahkan ada yang bersebelahan
menggunakan satu dinding yang sama, tetapi di sisi lain
adakalnya pendirian dan keberadaan rumah ibadat mengundang
kontoversi dan konflik antarumat beragama.
Di antara rumah ibadat ada letaknya saling
berdampingan dalam laporan Center for Religious & cross cultural
studies (CRCS) menyebut beberapa contoh. Misalnya, di Malang
Jawa Timur masjid Jami Kota Malang bersebelahan dengan gereja
GPIB. Sementara itu Gurdwara Perbandhak rumah ibadat
pemeluk agama Sikh terletak persis disebelah Pure Hindu Shri
Mariamman di Jalan Tengku Umar Medan. Sedangkan masjid
agung bersebelahan dengan Gereja Katholik di Kota Banten
untuk menyebut contoh terakhir yang menarik, dinding banguan

(135)

utama gereja GKJ dan masjid al Hikmah di Joyodiningratan


Surakarta Jawa Tengah persis menempel bersebelahan (2009:27)
Sekalipun begitu tidak dapat diingkari dapat terjadi
benturan dan konflik, bahkan kekerasan dalam seputar rumah
ibadat yang masih terjadi di beberapa tempat pasca berlakunya
PBM tahun 2006. Proses penerimaan pendirian rumah ibadat dan
atau renovasi sekalipun telah dilakukan Sosialisasi PBM, dalam
kenyataan belum menjadi acuan bagi panitia pembangunan
rumah ibadat, terkecuali di sekitar ibukota Jakarta dan itupun
pada Gereja-gereja yang didirikan ditengah-tengah mayoritas
umat Islam. Sebaliknya umat Islam minoritas ditengah mayoritas
umat Hindu di Bali dan umat Kristiani di Papua Barat, Sulawesi
Utara dan Nusa Tenggara Timur juga menghadapi kesulitan
dalam pendirian rumah ibadat maupun renovasi. Berbagai upaya
dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan pendirian
rumah ibadat dengan kembali kepada aturan dalam PBM 2006
yang menjamin terpeliharanya kerukunan umat beragama.
PBM memberikan kepastian pelayanan secara adil dan jelas
terhadap permohonan pendirian rumah ibadat. Setiap
permohonan harus di respon oleh pemerintah dalam waktu 90
hari. Inilah prinsip dalam PBM dalam memelihara kerukunan
umat beragama ketentraman dan ketertiban masyarakat

(136)

BAB III
PENUTUP

(137)

(138)

Kesimpulan
erdasarkan uraian yang dipaparkan pada babbab sebelum ini dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:

1. Pendirian rumah ibadat merupakan kebutuhan dasar dari


tiap agama, yang berfungsi sebagai pusat peribatan dan
kebudayaan yang dijiwai oleh nilai-nilai luhur (sacral). Dalam
pendirian rumah ibadat, termasuk renovasi bangunan
menjadi tuntutan dari pertumbuhan umat, dan kompleksitas
kegiatan yang harus mengacu pada PBM Tahun 2006 dan
tetap harus ada Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
2. Dari segi proses pendirian rumah ibadat dalam kaitan
dengan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, di kalangan pengurus
rumah ibadat umumnya telah diketahui, tetapi belum
optimal, meskipun disadari pentingnya wawasan ke depan.
Sedangkan pada umumnya di pedesaan, dan terutama pada
panganut agama mayoritas di suatu tempat belum
menjadikan PBM Tahun 2006 sebagi acuan dalam pendirian
rumah ibadat.
3. Pendirian rumah ibadat yang diterima dengan damai, karena
faktor: 1) terpenuhi sesuai aturan PBM dan peraturan
Pemerintah Daerah, 2) adanya komunikasi dan kerukunan
hidup antar umat beragama, 3) nilai-nilai kearifan lokal yang
terpelihara sebagai media pendekatan.
4. Dalam penyelesaian masalah seputar rumah ibadat yang
bermasalah dan mendapatkan penolakan, disebabkan faktor:
1) perbedaan paham keagamaan, 2) berbagai kepentingan
para elite agama dalam prestise sosial, pengembangan jumlah
umat, kehidupan ekonomi dan kekuasaan, 3) ego mayoritas
dan arogansi minoritas.

(139)

5. Permasalahan di seputar pendirian rumah ibadat yang


dikomunikasikan oleh media massa dan oleh sebagian
Lembaga Swadaya masysrakat (LSM) terkesan pada umat
tertentu, tetapi sesungguhnya juga dialami oleh minoritas
umat Islam di Bali dan di Sikka Nusa Tenggara Timur (NTT)
dan Kota Sorong Papua Barat di tengah pemeluk agama
mayoritas.
6. Upaya mengatasi penyelesaian masalah terkait dengan
pendirian rumah ibadat ialah dengan kedisiplinan mematuhi
aturan PBM, disertai pengamalan kearifan lokal yang
mendukung, dan toleransi sosial.
Rekomendasi
Beberapa rekomendasi diambil antara lain:
1. Dalam pendirian rumah ibadat perlu sosialisasi PBM, dan
secara khsusus tentang pembangunan rumah ibadat,
termasuk renovasi. Sosialisasi secara khusus ditujukan
kepada pengurus dan panitia pembangunan rumah ibadat,
baik oleh pemerintah maupun dan terutama FKUB. Faktor
pendekatan antarumat beragama dalam memulai pendirian
rumah ibadat sangat signifikan untuk kelancaran prosesnya.
2. Sosialisasi PBM, dan secara khusus pendirian rumah ibadat
masih perlu diintesifkan, baik secara lisan maupun tulisan.
Sosialisasi melalui brusur, buku saku dan sejenisnya
hendaklah dibuat dan disebarkan kepada rumah-rumah
ibadat.
3. Agar pendirian rumah ibadat dapat terlaksana atau bisa
diterima oleh penganut agama lain, maka perlu memenuhi
aturan prosedural sebagaimana dalam aturan PBM. Di
samping itu, PBM khususnya tentang pendirian rumah
ibadat perlu terus disosialisasikan terutama kepada para

(140)

pengurus rumah ibadat dengan pendekatan mulai dari media


tradisional, cetak dan media elektronik.
4. Pengadministrasian rumah ibadat merupakan suatu
keharusan, selain untuk memelihara kerukunan juga untuk
kenyamanan dan keamanan jamaah suatu rumah ibadat.
Oleh karena itu, hendaknya perlu pendataan yang akurat
dalam pendirian rumah ibadat, baik oleh masyarakat
maupun pemerintah terkait.
5. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang belum
memiliki peraturan tentang pendirian rumah ibadat
hendaknya segera membuatnya yang dituangkan dalam
Peraturan Gubernur, dan atau Keputusan Bupati/Walikota.
Majelis-majelis
agama
dan
pemuka
agama
agar
mensosialisasikan peraturan terkait dengan pendirian rumah
ibadat agar dapat diselesaikan secara prosedural yang benar
dan cepat dalam prosesnya.

(141)

(142)

DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Buku Tanya
Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 9 & 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat,
Jakarta, 2008
_______, Hasil Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural Pemuka
Agama Pusat dan Daerah
_______, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 9 & 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat,
Jakarta, 2006
Badan Pusat Statistik, Minahasa Utara dalam Angka, 2009
Badan Pusat Statistik Kotamadya Jakarta Timur. Jakarta Timur
dalam Angka. 2007.
Basyuni, Muhammad M, Kebijakan dan Stratergi Umat Beragama,
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
Jakarta, 2006.
Center for Religious & Cross Cultural Studies (CRCS), Laporan
Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2009, Universitas
Gajah Mada Yogyakarta, 2009.
_______, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia Tahun
2008, Yogyakarata.
Creswell. John W. 2007. Qualitative Inquiry & Research Design:
Choosing Among Five Approaches. London. Sage
Publications.
George Ritzer, Douglas J. Goodman, Modern Sosiological Theory,
2004.

(143)

Haidlor Ali Ahmad (Ed.), Revitalisasi Wadah Kerukunan di Berbagai


Daerah di Indonesia Puslitbang Kehidupan Beragama, Jakarta,
2009.
Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, Citra Aditya Bakti,
1993.
Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja,
BPK Gunung Mulia, 2000.
Kabupaten Sikka dalam Angka, BPS Kabupaten Sikka, 2009.
Kompas dan Manado Pos.
Kustini (Ed.), Efektivitas Sosialiasi Peraturan Bersama Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri No. 9 & 8 Tahun 2006, Puslitbang
Kehidupan Beragama, Jakarta tahun 2009

(144)

Anda mungkin juga menyukai