Anda di halaman 1dari 31

Budaya Dan Adat Sulawesi Tenggara

Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Adat Dan Budaya Sulawesi Tenggara” dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang Budaya Dan Adat Masyarakat Sualwesi Tenggara
bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Surabaya, 9 Januari 2022

Penulis

Daftar Isi
HALAMAN JUDUL ……………………………....................……… i

KATA PENGANTAR ………………………….....................……… ii

DAFTAR ISI ………………………………………....................…… iii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………......………… 1

1.1.Latar Belakang...........................................................................1

1.2.Tujuan........................................................................................8

BAB II PEMBAHASAN ………………………………………...…… 9

2.1.Beragam Suku di Sulawesi Tenggara …………….........…….. 9

2.2. Tari Tradisional Suku Sulawesi Tenggara ………………..…. 15

2.3.Pakaian Adat Suku Sulawesi Tenggara……..................…… .16

2.4. Rumah Adat Suku Sulawesi Tenggara...............................… 18

2.5. Lagu Daerah Suku Sulawesi Tenggara….............................. 20

2.6. Senjata Tradisional Suku Sulawesi Tenggara........................23

2.7. Makanan Khas Suku Sulawesi Tenggara...............................24

2.8. Kerajinan Khas Suku Sulawesi Tenggara..............................25

2.9. Upacara Adat Suku Sulawesi Tenggara.................,..............26

2.10. Alat Musik Tradisional Suku Sulawesi Tenggara.................27

2.11. Bahasa Daerah Suku Sulawesi Tenggara...........................28

BAB III PENUTUP.......................,.......,.........................................29

BABI
2
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hampir semua suku bangsa atau etnik ada di Sulawesi Tenggara. Pada masa orde

Baru sejak tahun 1970-an daerah ini telah menjadi lokasi sasaran program transimigrasi.

Praktis Suku Jawa, Sunda, dan Bali semakin banyak mendiami propinsi ini khususnya di

Kabupaten Konawe Selatan, Konawe, Kolaka, Muna, sampai di Kepulauan Buton.

Sebenarnya akulturasi dan asimilasi budaya Sudah terjadi sejak abad IV dimana orang-

Orang bugis dan Mandar mulai melakukan migrasi di wilayah ini khususnya sekitar

Bombana, Konawe Selatan, Kolaka Utara, dan Kolaka. Dengan demikian migrasi dan

Akulturasi ini semakin memperkaya budaya dan kearifan lokal masyarakat.

Di Sulawesi Tenggara sendirn terdapat 4 suku/etnik besar yang mula-mula

Mendiami 4 wilayah Sulawesi Tenggara yaitu suku Muna, Buton, Tolaki, dan Mornene.

Namun sebenranyamemliki sub etnik yang masıheksis hingga saat ini seperti; kulisusu,

Wawonll, mekongga, kadatua, dan taaloki. Disamping itu tak ketinggalan etnik Bajo yang

Mendiami hampir seluruh kawasan pesisir dan kepulauan yang ada di Sulawesi Teggara.

Maka dipastikan bahwa begitu beragam warisan nilai (kearifan lokal) masyarakat yang

Mengandung agenda pendidikan dalam berbagai aspek kehidupan.

Pada bagian ini mengkat 3 etnik/suku besar yang mendiami daerah ini yaitu

3
Muna, Tolaki, dan Bajo.

1.Etnopedagogikpada Suku Muna

Suku Muna memiliki banyak kearifan yang memiliki unsur nasehat dan

Pendidikan. Nilai teršebut tidak hanya menjadi konsep pengetahuan dan nilai semata.

Akan teapi cukup banyak menjadi landasan prilaku. Karena itu, semakin pudar

Pemahaman dan internalisasi nilal-nilai kearifan tersebut maka semakin jauh darl

Identitas dan jati diri yang diajarkan oleh leluhurnya Beberapa contoh

Etnopedagogik yang dianggap penting untuk diangkat dalam kajian ini antara lain:

Katangari (nasehat). Dalam bahasa muna mengandung muatan nasehat dan pesanYang memiliki fungsi
dan makna bagi kehidupan masyarakat. Setiap generasi padaSuku ini pasi mendapatkan proses
katangari (nasehat) baik secara formal maupuninformal. Formal dalam artan budaya melalu riial khusus
sesuai siklus hidup manusia. Menurut tokoh müna La Waweha (2017) sejak dalam perut ibunya bagi
orang muna sudah harus diberikan nasehatnasehat. Memberikan perlakuan khusus dan bisikan pada bai
yang masih berada dalam kandungan. Selanjutnya saat lahir dan saat anak tersebut diaqigah. Proses
sunat/khitan bagi anak baik laki-laki maupun perempuan wajib diberikan "toba" yaitu suatu subtansi
nasehat untuk merefleksikan hakekat dirinya sebagai manusia dan tujuan hidupnya. Hal lan yang
diberikan dalam toba ini adalah prinsip-prinsip dalam bersikap dan bertutur kata baik pada sanga
pencipta, pada kedua orang tua, pada saudara yang lebih tua, pada sauadara yang lebih muda, bahkan
pada sesama makhluk yang lain.

Falia (Pantangan) Sama dengan suku lainya, setiap kekompok masyarakat ada pantangannya. Tetapi
bagi Orang Muna falia suatu tata nilai yang dibuat untuk mengaja tubuh/fisik manusia, menjaga
hubunga sosial manusia, menjaga prilaku, menjaga tutur kata dil yang dilengkapi dengan rumor akibat
dampak jika falia tersebut dilanggar. Jaman dulu orang müna sangat memegang teguh konsep falia ini.
Takut melanggamya karena akan berdampak buru bagi dirinya. Tetapi seiring iengan perkembangan
ilmu pengetahuan, aspek-aspek ilmiah suatu pantangan mulai dipertanyakan, sehingga banyak dari nilai
budaya ini saat ini telah mengalami pergeseran yang dalam sejarah sebut dengan perubahan secara
regressif. Karena itu falia harus direkonstuksi dan direvitalisasi pada siswa khususnya diwilayah
masyarakat Muna. Pokadulu. Istilah pokadulu dapat dimaknai dengan gotong royong. Pokadulu
dilakukan dengan tujuan agar dalam setiap pekerjaan tidak terlalu berat, menguji kesetiaan dan
kepedulaan teman atau tetangga, dan adanya tenggang rasa dalam kehidupan mereka. Pokadulu sudah
menjadi kebiasaan masyarakat muna sejak masa kerajaan. Beberapa pekerjaan yang dilakukan dengan
cara pokaduu misalnya pekerjaan "degalu" yaitu berkebun mulai membuka lahan sampai panen, bidang
sosial sepertpokaduhi membangun rumah, pindah rumah, membangun ban iea (tenda) untuk

4
perkwaninan dan acara-acara lainnya, bahkan dalam bidang pendidikan dilakukan dengan cara
memberikan apa yang dimiliki untuk membantu anak dari kerabat yang sedang menempu pendidikan.

2. Emopedagogik pada Suku Tolaki

Tolaki adalah salah sau suku yang cukup banyak populitasnya di Sulawesi

Tenggara, mendiami wilayah daratan dan tersebar pada 4 kabupaten di Sulawesi

Tenggara seperūi Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, dan Koa Kendar.

Memiliki warisan ragam badaya dan keartfan yang patut selalu direvitalisasi sebagai

Menjaga identitas dan jati dirl etnik ini.

Samaturu. Dapat dimaknai dengan saling menopang, saling memberi, dan

Saling menjaga. Bagtolaki,budaya ini untuk memuhakan dan

Mengutamakan hidup untuk saling menjalin persatuan, Suka menolong orang

Lan yang sedang membunuhkan pertolongan. Samaturu juga meupakan

Bentuk kepekaan dan kepeduliaan sosial. Menurut Sulsalman (2017) tradisi

Samaturu bukanlah sekedar slogan saja, akan tetapi mengandung ranah afektif

(Si kap) dan psikomotorik (parktek kebersamaan) yang syarat dengan

Tanggung jawab sesama. Jika membantu orang dengan asal-asalan maka itu

Tetap dikategorikan sebagai orang yang belum menjalankan budaya samaturu

5
Dengan baik dan tanggung Jawab.

Kohanu. Serlng disebut dengan budaya malu. Nilai kearifan Ini merupakan

Sistim pertahanan moral bagi diri sendiri, misalnya ada orang yang dikatakan

Malas bekerja maka pihak yang dijadikan sasaran kalim tersebut akan merasa

Malu dan memotivasi diri untuk berubah lebih tekun dan rajin. Orang akan

Selau menjaga dirinya dari sugma pemalas, atau sgma lainnya yang

Bermakna tidak baik, hal ini karena setiap orang tolaki harus merasa kohanu

Atau malu. Dalam kegiatan pendidikan Siswa aka merasa malu jika tidak

Menyelesaikan tugas dengan baik, dia dianggap pemalas dan tidak tanggung

Jawab. Maka nilal-nilai kohanu harus selalu ditumbuhkan termasuk dalam

Proses pembelajaran. Pada pembelajaran sejarah lokal bahkan sejarah sosial,

Orang tolaki dikenal dengan kegarangan dalam memperfahankan harga

Dirinya karena pada diri mereka melakat nilai kohanu. Kondisi ini memiki

Norma yang sama dengan suku Bagis-Makassar.

3. Ethopedago dik pada Suku Bajo

[18.01, 13/1/2022] adit: Etnik Bajo mendiami hampir seluruh wilayah-wilayah pesisir di Sulawesi

Tengara. Kelompok masyarakat ini syrat dengan kearifan lokal, tetapi pada wilayah-

6
wilayah tertenl tetap Saja menjadi komlintas yang terpinggirkan dari segi

pendidikan. Penelituan Suardika (2012) keterpinggiran Suku Bajo pada beberapa

pulau kecil tak terlepas dari faktor internal yaitu budaya mereka yang cenderung

tertunup dan Juga tegradasinya kearnfan lokal pada generasi baru. Mereka Ini

memiliki keakyaan nilai dan pedoman prilaku yang paut untuk diangkat dan

dikembangkan.

Bapongka, yaitu sebuah tradisi melaut yang ramah terhadap alam. Istilah

Bapongka disebut juga dengan Babangi adalah bermalam di laut selama 3

hari sampai sebulan. Pongka adalah berlayar mencari nafkah atau atau hasil-

hasil laut ke daerah atau provinsi lain, selama beberapa minggubulan.

Menangkap Hasil Laut bapongka adalah suatu kegiatan melaut khas

masyarakat Bajo atau Bajau di Pulau Saponda yang telah dilakukan sejak

lama. Mereka pergi ke satu tempat di luar kampungnya untuk mencari hasil

laut selang berharn-hari hingga beninggu-minggu secara berkelompok.

Setiap kelompok terdiri dari tiga sarmpai lima perahu, masing-masing perahu

terdapat sau orang. Pembentukan kelompok kecil bapongka lebih sering

diakukan berdasarkan kedekaan hubungan. Biasanya kelompok kecil

7
tersebut akan bertemu dengan keompok kecil yang lain di suatu lokasi

penangkapan dan akhirnya membentuk kelompok besar yang Jumlahnya bisa

mencapai l5 bahkan 20 perahu. Kelompok Bapongka berupaya menangkap

Ikan, udang, lola, atau kepiting, teripang. Mereka melakukan penangkapan

secara bergerombol dan saling membantu bukan saling bersaing. Selanjutnya

hasil dari tangkapan mereka dipasarkan langsung pada Pasar Ikan Pelelangan

Kota Kendari yang telah berlangsung sejak masa penjajahan Belanda.

Pasipupukang, yang artinya perkumpulan nasyarakat suku Bajo atau tradisi

berkumpul masyarakat Bajo untuk mencari solusi darl permasalahan-

permasalahan yang mereka hadapi. Pasipupukang ini biasanya dilakukan

dengan tata cara misalnya jika terjadi kasus perkelahian diantara sesama

ma tokoh adat atau di balai pertemuan di Desa. Pertemuan ini dihadiri oleh kedua

belah pihak yang berseteru, tokoh adat, tokoh masyarakat, kepala desa.

Fungsi pasipupukang di Pulau Saponda juga djadikan sebagai media

kerjasama dan mempersatukan. Bahkan di Pulau Bokori Satu kawasan dengan

Pulau Saponda, sama-sama masuk dalam kecamatan Soropia, mereka

menjadikan tradisi pasSipupukang Sebagal bentuk gotong royong dalam

menyekolahkan anakanak Bajo di pulau ini, sehingga sudah ada puluhan

8
anak-anak Bajo yang menamatkan sekolah pada PT (S1) Konsep ini

memiliki kesamaan dengan tradisi Pokadulu yang dikembangkam masyarakatt

Muna. Hanya saja pada masyarakat Muna tradisi Pokadulu lebih diarahkan

pada bentuk-bentuk kerjasama dan gotong royong dalam meringankan beban

pekerjaan tertentu, misalnya dalam bertani, acara hajatan pesta perkawinan,

memindahkan rumah, dan lain-lain.

Ngampuan, sebuah kebiasaan suku Bajo saling mengunjungi untuk

membangun interkasi yang harmonis (assosiatüf). Kebiasaan melaut saat

durāsinya sudah mulai menurun, dulu bisa menembus waktu 30 hari sekarang

paling lamal minggu, kondisi ini tidak terlepas dari perkembangan teknolog

dan mesin kapal/perahu yang mereka gunakan. tetapi dalam

pengembaraannya itu, bukannya mereka menjadi individualis dan "soliter"

namun siSi kemanusiaannya berupa kerlnduan pada sesama dan kerabat tidak

pernah hilang. Kerinduan Inilah yang menjadikan tradisi Ngampuan (saling8

mengunj un g) masih dilaku kan dengan tujuan unuk memperkuat rasa

kekeluargaan dan kekerabatan seSama Bajo. Ngampuan kadang di kala

Pumama datang, dimana aküfitas se bagai nelayan istirahat maka dapat

9
disaksikan kerumunan perahu yang diayun ombak di pemukaan laut di

biasan cahaya purnama, Kadang dari kejauhan terdengar tawa kelakar mereka.

Hal yang menarik pula untuk dilihat adalah ngampuan ini tidak harus yang

muda mengunjung! yang tua, namün bukti kasth sayang yang tua pun kadang8

ngampuan pada yang muda, sehingga siampuanan (saling mengunjungi) ini

merupakan lem perekat yang ampuh untuk memelihara kekerabatan Suku

Bajo yang menyebut dirnnya suku Sama/same. Itulah sebabya kejadiasyarakat Bajo, diadakanlah
pertemuan di suatu tempat, misalnya dirumah

kejadian konfik dan perselisihan jarang terjadi di desa ini dan begitulah cara

mereka merawat kebersamaannya.

Tradisi lisan Iko-iko. Sesungguhnya dari beberapa temuan yang diperoleh

pada berbagai kajian masyarakat Bajo memiliki sastra lisan Iko-Iko ini.

Tradisi lisan ini memiliki pesan yang tersirat dan mendalam bagi suku laut di

pelbagai pesisir Nusantara termasuk di wilayah pesisir Sulawesi Tenggara,

termasuk di Saponda. Menurut mereka sastra lisan ini berisikan tentang adat

dan budaya kehidupan suku Bajo yang mengagungkan laut sebagai kehidupan

abadi dan senantiasa mensyukuri nikmat dari sang Maha Pencipta. Tradisi

iko-iko biasanya disajikan oleh orang tua pada anak-anak mereka. Cerita

kepahlawanan dan kepiawaian komunitas Bajo dalam mengarungi lautan

cukup banyak, namun ada juga yang sudah mendesain dalam bentuk cerita-

10
cerita lucu tetapi mengandung pesan moral yang kuat. Tardisi ini memiliki

potensi yang kuat untuk membangun mainshet dan kesadaran anak-anak suku

Bajo

B. Tujuan Penulisan

Untuk memenuhi tugas mata pelajaran Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan.

Untuk mengetahui bagaimana Sejarah Sulawesi Tenggara.

Untuk mengetahui bagaimana Tarian Tradisional Sulawesi Tenggara.

Untuk mengetahui bagaimana Alat Musik Tradisional Sulawesi Tenggara.

Untuk mengetahui bagaimana Lagu Daerah Sulawesi Tenggara

Untuk mengetahui bagaimana Senjata Tradisional Sulawesi Tenggara

11
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 BERAGAM SUKU DI SULAWESI TENGGARA

A. Suku Tolaki

Suku Tolaki adalah suatu komunitas masyarakat yang berdiam di kota Kendari, Konawe dan konawe
selatan di Sulawesi Tenggara. Menurut cerita rakyat, bahwa dahulu ada sebuah kerajaan, yaitu Kerajaan
Konawe. Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo. Dari keturunan orang-orang kerajaan inilah yang
menjadi masyarakat suku Tolaki sekarang. Pada masa sebelum-sebelumnya orang Tolaki merupakan
masyarakat yang nomaden, mereka bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, hidup dari hasil
berburu dan mencari tempat baru untuk membuka ladang. Mereka percaya bahwa nenek moyang
mereka berasal dari daratan china, yaitu dari daerah Yunnan yang bermigrasi ke wilayah ini.

Dalam tradisi orang Tolaki memberi petunjuk bahwa penghuni pertama daratan Sulawesi Tenggara
adalah Toono Peiku (ndoka) yang hidup dalam gua-gua dan makanannya adalah Sekam. Orang Tolaki
pada umumnya menamakan dirinya Tolahianga yang artinya orang dari langit, yaitu dari Cina. Kalau
demikian istilah Hiu dalam bahasa Cina artinya langit dihubungkan dengan kata Heo (Oheo) bahasa
Tolaki yang berarti terdampar.

B, Suku Mekonga

12
Suku Mekongga, adalah salah suatu komunitas masyarakat adat yang berdiam di kabupaten Kolaka dan
sebagian kecil juga terdapat di kabupaten Kolaka Utara Sulawesi Tenggara. Suku Mekongga merupakan
salah satu sub-etnik dari suku Tolaki. Menurut orang Tolaki, bahwa orang Mekongga adalah orang Tolaki
juga. Istilah Mekongga, konon berasal dari kata "to mekongga", yang berarti "to" berarti "orang" dan
"mekongga" berarti "pembunuh burung elang raksasa", jadi kata "to mekongga" berarti "orang yang
membunuh burung elang raksasa". Sedangkan burung elang raksasa dalam bahasa Mekongga adalah
"Konggaha’a".

Kabupaten Kolaka tempat kediaman suku Mekongga ini disebut juga sebagai "Bumi Mekongga". Di
daerah pemukiman orang Mekongga terdapat sebuah gunung yang bernama gunung Mekongga.
Menurut orang Mekongga sendiri gunung Mekongga merupakan gunung keramat. Menurut cerita
rakyat, di gunung ini terdapat Tebing Putih yang bernama Musero-sero yang merupakan pusat kerajaan
jin untuk wilayah Kolaka Utara.

C, Suku Buton

Orang Buton atau Butung mendiami pulau Buton atau Pulau Butung yang terletak di sebelah selatan
jazirah Sulawesi bagian Tenggara. Secara administratif berada dalam wilayah Kabupaten Buton, Provinsi
Sulawesi Tenggara. Orang Buton dikenal sebagai salah satu suku bangsa perantau. Banyak di antara
mereka yang tersebar sampai ke Sabah (Malayisa), Pulau Seram, dan Maluku Utara. Mereka memang
terkenal sebagai pelaut dan pedagang yang ulet. Populasinya sekarang sekitar 400.000 jiwa. Bahasa
Buton digolongkan ahli etnolinguistik klasik, Esser, ke dalam kelompok Muna-Butung. Bahasa Buton
terbagi ke dalam beberapa dialek, seperti dialek Butung, Wolio, Wapacana, Cia-Cia, dan Wakatobi.
Kemudian semua dialek itu terbagi-bagi lagi ke dalam lebih kurang 22 buah sub-dialek.

D, Suku Wolio

Suku Wolio adalah suatu suku yang tersebar di kepulauan Buton, Muna dan Kabaena di provinsi
Sulawesi Tenggara. Juga terdapat di pulau-pulau kecil di provinsi Selatan. Populasi suku Wolio
diperkirakan lebih dari 30.000 orang. Suku Wolio berbicara dengan bahasa Wolio. Bahasa Wolio
merupakan sub-bahasa Buton-Muna, yang termasuk cabang bahasa Austronesia. Menurut para peneliti
bahwa suku Wolio ini merupakan bagian dari sub-suku Buton. Dikatakan bahwa dahulunya orang Wolio
juga merupakan keturunan dari Kerajaan Buton yang sejak abad 15 menguasai wilayah Buton. Hingga
saat ini bahasa Wolio masih dipakai oleh masyarakat khususnya yang ada di Kota Bau-Bau, namum
bahasa Wolio ini tetap dikenal oleh masyarakat dari berbagai penjuru daerah bekas pemerintahan
kerajaan atau kesultanan Buton.

E, Suku Muna

Suku bangsa Muna yang sering juga disebut Tomuna menetap di Pulau Muna. Daerah mereka dalam
wilayah kabupaten Muna dan Muna Barat, yang terletak di sebelah selatan jazirah Sulawesi Tenggara.
Pada zaman dulu Pulau Muna termasuk dalam wilayah Kesultanan Butung (Buton). Ahli etnolinguistik
klasik, Esser menggolongkan bahasa Muna ke dalam kelompok bahasa Muna-Buton. Bahasa ini terbagi

13
lagi menjadi beberapa dialek, seperti Dialek Tiworo, Mawasangka, Gu, Kotobengke, Silompu dan
Kadatua. Jumlah populasinya sekitar 300.000 jiwa. Orang Muna kebanyakan bekerja sebagai nelayan
dan petani di ladang-ladang dengan tanaman utamanya jagung. Selain itu mereka juga menanam ubi,
tebu, kelapa dan sayur-sayuran. Makanan khas orang Muna yang terkenal yaitu Kabuto yang terbuat
dari bahan ubi. Tanaman komoditi ekspor mereka adalah kopi, tembakau, cengkeh dan kapuk.

F. Suku Moronene

Suku Moronene adalah suatu suku bangsa yang mendiami wilayah pada bagian ujung selatan jazirah
Sulawesi Tenggara. Sebelum kata Moronene, digunakan Wonua Bombana/Wita Moronene, yaitu
kerajaan Moronene seperti yang dituturkan dalam kada (suatu legenda dalam sastra moronene).
Didalam kada dituturkan bahwa kerajaan Moronene diperintah oleh seorang Raja yang bernama Tongki
Pu’u Wonua. Tidak diketahui dari mana asalnya dan siapa orangnya, hanya dituturkan bahwa beliau
adalah seorang keturunan Raja dari sebuah kerajaan. Nama Moronene telah lazim digunakan untuk
nama bahasa dan nama suku bangsa yang dahulunya terhimpun dalam satu wadah Kerajaan yaitu
Kerajaan Moronene. Secara etimologis istilah Moronene berasal dari dua kata yaitu moro yang artinya
sejenis, serupa, dan kata nene adalah nama tumbuhan resam batangnya dapat dibuat pengikat pagar,
atap dan lain-lain.

G, Suku Kabaena

Suku Kabaena adalah suku yang bermukim di pulau Kabaena kabupaten Baombana provinsi Sulawesi
Tenggara. Suku Kabaena hidup di pulau yang sepanjang garis pantainya banyak bisa ditemukan
hamparan batu-batu permata biru yang berkilauan terkena sinar matahari. Selain itu di pulau ini diduga
banyak terdapat kandungan emas. Pulau Kabaena ini juga menjadi salah satu tujuan wisata bagi para
wisatawan asing maupun lokal. Karena keindahan pulau ini sudah terkenal sebagai salah satu tempat
wisata di pulau Sulawesi. Di pulau Kabaena selain suku Kabaena sebagai penduduk asli pulau ini, juga
ada etnis lain yang menghuni pulau ini, yaitu suku Bajo yang bermukim di kecamatan Kabaena Barat.

H. Suku Wawonii

Suku ini terdapat di pulau Wawonii yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Menurut istilah kata
"Wawonii" diambil dari kata Wawo berarti di atas dan nii yang berarti kelapa. Menurut cerita, nenek
moyang Orang Wawonii berasal dari kampung Lasolo dan Soropia (Torete) dan daratan Buton Utara di
kampung Kulisusu. Mereka telah mendiami pulau ini sejak berabad-abad yang lalu. Suku Wawonii juga
terkenal dengan ilmu hitam (santet) yang dapat dengan mudah melumpuhkan lawannya. Tetapi ilmu ini
sudah jarang digunakan oleh sebagian orang Wawonii karena ilmu itu hanya bisa digunakan oleh orang
tertentu saja.

I. Suku Bajau

Suku bangsa yang satu ini sangat pandai menyesuaikan diri dengan kehidupan di perairan Nusantara,
bahkan sampai ke perairan kepulauan Filipina bagian selatan. Mereka hidup berpindah-pindah di

14
perairan laut dan teluk di sekitar Pulau Sulawesi, Kalimantan, Sumatera bagian timur, Kepulauan Maluku
bagian utara dan Kepulauan Nusa Tenggara. Jumlah orang Bajau di seluruh Indonesia diperkirakan
sekitar 50.000 jiwa. Kelompok yang paling banyak jumlahnya mungkin berada di sekitar Sulawesi
Tenggara, yaitu sekitar 25.000 jiwa.

J. Suku Bugis

Suku Bugis merupakan suku asli dari Sulawesi Selatan. Suku Bugis terkenal sebagai suku bangsa yang
senang merantau dalam urusan perdagangan. Itulah sebabnya jika ditanah Sulawesi Tenggara terdapat
banyak Suku Bugis yang menetap dan tersebar di beberapa Kabupaten antara lain terdapat di Kota
Kendari, Kabupaten Bombana, Konawe, Konawe Selatan, Kabaena dan beberapa Kabupaten lainnya.

2.2. Tari Tradisional Suku Sulawesi Tenggara

A, Tari Balumpa

Balumpa adalah tari adat tradisional dari Sulawesi Tenggara tepatnya di Kabupaten Wakatobi.

Tari balumpa adalah tari yang menggambarkan kegembiraan masyarakat nelayan di Pulau Binongko.
Tari balumpa berfungsi sebagai tari penyambutan dan sering tampil di pertunjukan seni.

Sebagai tari penyambut tamu, gerakan tari balumpa mengandung makna rasa gembira,
kelemahlembutan, dan keramahtamahan masyarakat Binongko.

Tari balumpa ditarikan oleh 6-8 penari perempuan, namun ada juga yang ditarikan secara berpasangan
dengan penari laki-laki.

15
B. Tari Malulo

Tari malulo atau bisa disebut dengan lulo adalah tari adat tradisional dari Sulawesi Tenggara dari Suku
Tolaki di Kendari. Tari persahabatan yang ditujukan untuk muda-mudi sebagai ajang pencarian jodoh.
Lulo mencerminkan bahwa Suku Tolaki cinta damai dan mengutamakan persahabatan dan persatuan.

Tari malulo bisa ditarikan oleh laki-laki, perempuan, remaja, dan anak-anak dengan formasi melingkar
sambil berpegangan tangan serta diiringi dengan 2 gong yang berbeda ukuran dan jenis suara. Tari
malulo ditampilkan pada upacara adat di Kendari.

Tari malulo yang sekarang mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman seperti alunan
gong diganti dengan musik elekton dan terdapat variasi dalam gerakan tarian.

16
2.3.Pakaian Adat Suku Sulawesi Tenggara

Ciri khas pakaian adat Sulawesi Tenggara untuk Pria Dan Wanita. Sulawesi Tenggara memiliki
banyak sekali suku di dalamnya, dengan suku mayoritas yaitu suku Tolaki. Provinsi yang
memiliki ibukota yaitu Kendari ini memiliki pakaian adat yang namanya tentu unik dan
disesuaikan dengan bahasa dari suku tersebut.

Beberapa suku yang ada di Sulawesi Tenggara yaitu Tolaki, Muna, Buton, Morenene, dan
Wawonii. Beragam suku ini tersebar luar di seluruh Sulawesi Tenggara.Perlu Anda ketahui
karena Suku Tolaki merupakan suku yang paling besar atau mayoritas, maka tidak heran jika
budaya dan tentunya pakaian adat wanita atau pria yang selalu dikedepankan adalah miliki
dari Suku Tolaki ini.

 Pakaian adat Sulawesi Tenggara dari Suku Tolaki


Babu Nggawi Memiliki nama dan juga Babu Nggawi Langgai. Pakaian ini memiliki ciri khas
tersendiri dari warna dan corak yang dimiliki oleh Suku Tolaki. Babu Nggawi dan tentunya Babu
Nggawi Langgai juga menjadi pakaian nasional yang dipakai untuk menjadi ikon dari Sulawesi
Tenggara. Sejarah dari pakaian adat ini baik laki-laki dan perempuan dulunya menggunakan
bahan dasar yaitu kulit kayu.

Mungkin tidak ada yang pernah menyangka apabila kulit kayu dapat dijadikan bahan atau serat
untuk membuat pakaian adat.Pohon yang biasanya digunakan adalah Usongi, Dalisi, Wehuka,
dan tentunya Otipulu.Kayu ini awalnya direbus menggunakan abu dapur, kemudian direndam
hingga kayu memiliki tekstur lembut.Setelah memiliki tekstur yang lembut, kayu dapat dipukul-
pukul hingga tipis dan lebar, sehingga dapat diambil serat dan dijahit menjadi sebuah baju
adat yang utuh.

17
 Ciri dari pakaian adat Sulawesi Tenggara dalam Babu Nggawi
ini berbeda untuk laki-laki dan perempuan. Pakaian adat Babu Nggawi untuk perempuan
memiliki nama Lipa Hinoru untuk atasan dan Roo Mendaa untuk bawahan. Baju adat yang
digunakan untuk atasan ini memiliki potongan pendek satu bahu sedangkan bawahannya
memiliki bentuk yang panjang sampai mata kaki. Terdapat ciri khas unik yaitu manik-manik
dengan warna emas yang biasanya disusun di bagian depan baju atasan, tentunya dengan
corak khas Suku Tolaki.

Pakaian adat Babu Nggawi Langgai diperuntukkan untuk laki-laki yang tentunya memiliki
design yang berbeda, yaitu memiliki nama Babu Kandiu untuk nama pakaian atasan yang
memiliki bentuk lengan panjang dan hiasan keemasan di beberapa sisi bajunya. Sedangkan
bawahan untuk laki-laki adalah celana panjang yang diberi nama Saluaro Ala.

Terdapat hiasan tambahan yang biasanya digunakan untuk melengkapi pakaian adat Sulawesi
Tenggara. Pakaian wanita biasanya dilengkapi dengan hiasan sanggul yang memiliki aroma
harum. Sanggulnya juga memiliki bentuk yang unik yaitu bentuk bunga kecil yang berkilauan
atau mengkilat. Selain itu apabila tengah berdandan, terdapat urutan yang wajib dipatuhi
menurut kepercayaan suku tersebut. Pakaian adat laki-laki juga memiliki hiasan tambahan yaitu
ikat pinggang atau Sulepe, ikat atau penutup kepala yang diberi nama Pabele, dan beberapa
tambahan lainnya.

Pakaian adat Sulawesi Tenggara yang populer ini biasanya digunakan pada saat acara
pernikahan. Meskipun memang beberapa acara sakral lain memiliki pakaian adat yang tidak
jauh berbeda. Pakaian adat wanita dan laki-laki ini hingga sekarang masih terus dipertahankan
untuk melestarikan budaya nenek moyang dan leluhur. Selain itu terdapat beberapa modifikasi
pada design pakaian adat tersebut, agar terlihat lebih modern dan anggun. Perubahan tersebut
tentunya dengan tidak menghilangkan unsur pakaian adat dari Sulawesi Tenggara tersebut.

18
2.4. Rumah Adat Suku Sulawesi Tenggara

A. Rumah Adat Mekongga

Rumah adat mengkoha merupakan rumah tradisional dari Suku Raha, bangunan dari rumah ini
begitu luas dan besar dengan bentuk arsitektur segiempat yang indah dan menawan.

Material yang digunakan adalah kayu dengan kualitas tinggi, sehingga tidaklah heran apabila
menghasilkan bangunan yang kuat dan kokoh.

Atap dari rumah adat mekongga disangga oleh tiang-tiang besar dengan ukuran 20 kaki dari
atas tanah.

Apabila kita perhatikan, bangunan rumah adat dari Sulawesi Tenggara ini tinggi menjulang,
untuk tinggi bangunan sendiri dierkirakan tidak kurang 70 kaki.

Pada masa lalu, rumah tradisional ini biasanya digunakan oleh para raja atau pemimpin untuk
melangsungkan upacara-upacara tertentu.

Seperti halnya dengan rumah adat Sulawesi Selatan, rumah adat mekongga adalah rumah


tradisional dengan jenis panggung.

Setidaknya rumah adat Sulawesi Tenggara ini memiliki bagian-bagian yang sangat unik,
sebagai lambang atau filosofi yang mengambarkan betapa khasnya rumah ini.

1. Memiliki 12 tiang penyangga, yang bermakna sebagai 12 pemimpin paling berpengaruh.

19
2. Memiliki 4 bagian rumah, ruang atau bilik.
3. Memiliki 30 anak tangga.

B. Rumah Adat Buton

Rumah adat masyarakat Buton ini dikenal juga dengan sebutan rumah adat malige dan benoa
walie.

Sekilas mungkin menyerupai dengan rumah adat dari Sulawesi Barat, tepatnya Suku Mandar.

Meskipun ke-2 jenis rumah adat Buton ini ada perbedaan, untuk rumah tradisional malige pada
umumnya dihuni oleh Sultan dan kaum bangsawan, sedangkan malige diperuntukan
masyarakat biasa.

Akan tetapi masyarakat luas lebih mengenal rumah tradisional malige sebagai rumah adat
Buton.

Rumah dengan jenis bangunan panggung ini memliki atap dengan pelana dua, sehingga
berbentuk tinggi. Apabila kita perhatikan, sekilas lebih mirip dengan bangunan kekaisaran di
Jepang atau Korea Selatan.

Masing-masing bangsawan memiliki besar rumah yang berbeda, misal untuk mereka yang
memiliki pengaruh, rumah bisa mencapai hingga empat lantai.

Setiap bagian dari rumah memiliki fungsi dan kegunaan masing-masing, sebut saja bumbungan
digunakan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

20
Denah rumah adat Buton ini memanjang ke bagian belakang, dan menggunakan 5 buah tiang
pada bagian depan.

Selain pada bagian depan, tiang juga meliputi bagian samping rumah, jumlah yang digunakan
biasanya melambangkan status sosial pemilik.

Adapun jumlah tiang dan artinya sebagai berikut;

1. Jumlah tiang empat menggambarkan rakyat biasa.


2. Jumlah tiang enam menggambarkan bangsawan.
3. Jumlah tiang delapan menggambarkan Sultan.
Setiap tiang penyangga dari rumah adat Buton diteruskan dari bawah hingga atas, lalu bagian
atap akan diumpakan seperti piramida terpancung.

Rumah adat Buton setidaknya memiliki bagian-bagian penting sebagai berikut;

1. Bagian teras
2. Bagian utama
3. Pagar
4. Tangga
Saya rasa salah satu jenis rumah adat Sulawesi Tenggara ini begitu menakjubkan, baik dari
segi arsitektur, bagian rumah serta filosofi yang terkandung di dalamnya.

2.5. Lagu Daerah Suku Sulawesi Tenggara

A. Peiya Tawa Tawa

Lagu Peia Tawa-Tawa yang berirama gembira ini, merupakan lagu yang berasal dari Sulawesi
Tenggara.

Lirik Lagu Peia Tawa-Tawayang dinamis ini merupakan ajakan untuk bernyanyi dan menari
bersama sambil bergandengan.

21
B. Lagu Sope-sope

Makna dari Lagu Sope-Sope yang merupakan lagu dari daerah yang berasal dari Sulawesi
Tenggara, bercerita tentang perahu tradisional yang bernama Sope-Sope.

Sope sope mo helana,

Arope rope itolando,

Hela aka subu subu raneo,

22
Aparambangan teja rangka,

Sapa angka nafajara…

Apabelomo iyati,

Manusuru teasora sora pimpi,

Aro aro modolango,

Tolando momakesana…

Dolango momalinona,

Labusana momalingu,

Bangkamolalo moporo penaiwolio,

Tolandomo kasintapa…

Isarongiaka batu buti,

Dolangona kalampamo mangadana,

Atunggua betoambari…

Sapa angka nafajara,

Apabelomo iyati,

Manusuru teasora sora pimpi,

Aro aro modolango,

Tolando momakesana…

Dolango momalinona,

Labusana momalingu,

23
Bangkamolalo moporo penaiwolio,

Tolandomo kasintapa…

Isarongiaka batu buti,

Dolangona kalampamo mangadana,

Atunggua betoambari…

2.6. Senjata Tradisional Suku Sulawesi Tenggara

A. Keris Meantu’u Tiworo Liya

Keris memang merupakan senjata tradisional yang sudah ada sejak dahulu kala, bahkan tidak
hanya di Sulawesi Tenggara saja, kehadiran Keris sudah lama ada di beberapa pulau lainnya
di Indonesia, misalnya di Pulau Jawa ataupun Sumatra, namun senjata tersebut tetap memiliki
perbedaan yang di diwujudkan dari bentuk senjata tersebut, baik itu dari ukiran maupun motif
yang terdapat pada keris tersebut, namun bukan hanya itu, sejarah atau pengaruh kerajaan
menjadi perbedaan yang sangat mencolok dari setiap senjata tradisional, sebab dibalik bentuk
senjata tersebut terdapat banyak cerita yang diyakini oleh masyarakat setempat sebagai asal
usul dari senjata itu, bahkan tak jarang beberapa dari cerita tersebut membuat masyarakat
percaya akan kekuatan magis yang terkandung dalam senjata tradisional tersebut.

Keris Triwolo Liya atau Keris Meantu’u Liya ialah senjata tajam yang digunakan untuk menikam
atau menusuk musuh dari jarak dekat, keris ini sendiri digunakan sebagai senjata perang yang
digunakan oleh para prajurit atau pun rakyat kerajaan pada masa pemerintahan Raja Liya.
Pada masanya, keris ini merupakan keris yang dimiliki oleh Raja Liya atau Lakina Liya, keris ini
dipercaya memiliki kekuatan yang sangat sakti. Raja Liya sendiri bertugas untuk mengamankan
dan mengatur semua hasil panen rakyat pada masa kerajaannya.

B. Tombak Tiworo Liya

Jika Keris Tiworo Liya merupakan senjata tajam yang digunakan untuk menyerang musuh
dengan jarak dekat, Tombak Tiworo Liya kebalikannya, senjata tradisional ini digunakan
sebagai senjata berperang dari jarak jauh. Senjata ini juga sama seperti keris Tiworo Liya, yang
juga dimiliki oleh petinggi kerajaan di masa pemerintahan raja Liya .

24
2.7. Makanan Khas Suku Sulawesi Tenggara

A. Kasuami
Kasuami atau kasoami adalah oalahan singkong yang terkenal dari Sulawesi Tenggara.
Bentuknya kercurut menyerupai tumpeng.

Cara membuat kasuami, singkong diparut, dikeringkan, disaring, dan dikukus. Kasuami disantap
seperti layaknya makanan pokok. Biasanya dengan lauk ikan dan sayuran.

Namun, kasuami juga bisa disantap langsung tanpa lauk, layaknya kudapan.

B. Lapa-lapa
Bentuk lapa-lapa sekilas mirip lepet khas Jawa. Hanya saja lapa-lapa berdiameter lebih kecil
dan lebih panjang.

25
Sama seperti lepet, lapa-lapa juga dibuat dengan beras ketan dan santan. Umumnya
lapa-lapa muncurl pada Ramadhan. Sajian ini nikmat disantap dengan ikan asin

C. Kabuto

Kabuto juga menjadi makanan pokok pengganti nasi dari Sulawesi Tenggara.
Mirip kasuami, kabuto terbuat dari singkong.

Namun proses pembuatannya berbeda. Awalnya singkong dikeringkan


dahulu, direndam air semalaman, kemudian dikukus.

Kabuto biasanya dimakan dengan parutan kelapa, ikan asin goreng, dan
sambal.

2.8. Kerajinan Khas Suku Sulawesi Tenggara

1.Kain Tenun khas Kendari

Sama seperti wilayah di Indonesia lainnya, Sulawesi Tenggara terdapat pula


batik tenun yang bernama motif Tolaki. Batik tenun Tolaki ini merupakan
primadona kain tenun khas Sulawesi Tenggara. Motif Tolaki ini memiliki ciri
khas benang emas yang membentuk garis halus dan ada aksen bunga kecil-
kecil.

26
Motif yang terkenal di masyarakat Tolaki adalah ragam hias mua. Dan
pewarnaannya meliputi jingga muda, biru laut, kuning susu dan merah samar.
Hingga saat ini tradisi menenun masih berkembang karena kecintaan
masyarakatnya terhadap kain tradisional tersebut. Pakaian adat sulawesi
tenggara bisa dijadikan sebagai informasi tambahan.

2. Kain Tenun Buton

Kerajinan tenun dari Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara adalah kerajinan tenun lainnya yang tak kalah
cantiknya. Tenun Buton juga kaya akan warna-warna.

Inilah yang menjadi kekhasan kerajinan tenun dari Buton. Dari sekian motif dan warna yang dihasilkan
penyebutannya selalu disesuaikan dengan penngamatan alam dengan mengunakan nama-nama daerah dari
berbagai jenis tumbuhan yang ada di Pulau Buton Oleh masyarakat Buton.

Kerajinan tenun ini dianggap mampu menjadi perekat sosial bagi masyarakat Buton, sebab tenun Buton
adalah pengejawantahan orang-orang Buton memahami lingkungan alamnya. alat musik tradisonal sulawesi
tenggara bisa anda jadikan sebagai informasi tambahan

2.9. Upacara Adat Suku Sulawesi Tenggara

Upacara Adat Posuo


Upacara Adat Posuo adalah upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat
Buton, Sulawesi Tenggara. Upacara ini dilaksanakan ketika seorang
perempuan telah beralih statusnya dari kabuabua atau gadis remaja dalam
Bahasa Buton menuju kalambe atau gadis dewasa. Posuo diselenggarakan
untuk menguji kesucian seorang gadis. Tradisi ini berlangsung selama delapan
hari delapan malam di dalam suo atau ruangan khusus.

27
Posuo terdiri dari tiga jenis, yakni posuo wolio, posuo johoro dan posuo
arabu. Posuo wolio merupakan posuo yang berasal dari masyarakat Wolio
atau Buton sendiri, Posuo Johoro berasal dari Johor-Melayu dan adapun
posuo arabu merupakan adaptasi dari posuo Wolio dan mengandung nilai-
nilai Islami.

Saat seorang gadis melaksanakan posuo, ia akan diisolasi dan dijauhi dari
berbagai pengaruh dunia luar. Sang gadis hanya dapat berhubungan dengan
bhisa. Bhisa merupakan orang yang ditujuk langsung oleh pemangku adat
untuk memberikan berbagai wejangan khusus selama masa posuo
dilaksanakan.

Pada pelaksanaannya, akan ada seseorang yang akan menabuh gendang dan
gong atau juga disebut pawang gendang. Kegiatan itu memiliki arti bahwa jika
gendangnya pecah saat ditabuh maka di antara gadis yang melaksanakan
posuo ada yang sudah pernah berhubungan badan dengan lawan jenis.
Hasilnya tidak diberitahukan ke publik, melainkan hanya akan diketahui oleh
pihak keluarga dan pawang gendang.

28
2.10. Alat Musik Tradisional Suku Sulawesi Tenggara

1. Baasi

Pembuatan aat musik tradisional Sulawesi Tenggara ini berasal dari 10 buah
bambu dan rotan. Alat musik baasi dimainkan pada saat acara pertunjukkan
sebagai pengiring lagu daerah dan nusantara.

Pada bagian pangkalnya, 10 buah bambu yang dimiliki alat musik baasi ini
memiliki panjang yang berbeda-beda dengan setiap lubang. Hal tersebut
dikarenakan agar alat musik baasi bisa menghasilkan bunyi nada yang
berbeda-beda pula. Seringnya, alat musik baasi digunakan sebagai pengiring
nyanyian lagu-lagu daerah atau juga sebagai pengiring tarian daerah itu.

2. Dimba Nggowuna atau Gendang Bambu

Pembuatan alat musik Sulawesi Tenggara ini berasal dari bambu dan rotan.
Pemain yang memainkan alat musik dimba nggowuna ini merupakan kaum
wanita dan dimainkan sebagai alat musik hiburan ketika selesai membuat

29
tenunan atau saat mereka kerja. Hal tersebut bertujuan agar mereka tidak
jenuh.

Pada zaman Neolitikum, alat musik dimba nggowuna dipercaya memiliki


ukuran sekitar 40 hingga 45 cm. Namun, seiring berkembangnya zaman
membuat alat musik Suku Tolaki ini tergantikan dengan alat musik modern di
gua.

2.11. Bahasa Daerah Suku Sulawesi Tenggara

1. Bahasa Culambacu sering pula disebut sebagai bahasa Tulambatu. Penutur


bahasa Culambacu dapat dijumpai di Kabupaten Konawe Utara, Provinsi
Sulawesi Tenggara. Bahasa Culambacu terdiri atas tiga dialek, yaitu dialek
Lamonae, dialek Torete, dan dialek Landawe.

2. Penutur bahasa Cia-Cia terdapat di Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi


Tenggara. Bahasa Cia-Cia terdiri atas lima dialek, yaitu dialek Lapandewa,
Kancinaa, Masiri, Gonda Baru, dan dialek Kumbewaha.

3. Penutur bahasa Kulisusu dapat dijumpai di Kabupaten Buton, Buton Utara,


dan Pulau Wawonii (Kabupaten Konawe). Dialek bahasa Kulisusu adalah
dialek Kambowa, Taloki, Wawonii, dan dialek Ereke.

4. Penutur bahasa Lasalimu-Kamaru terdapat di Kabupaten Buton. Bahasa


Lasalimu-Kamaru terdiri atas dua dialek, yaitu dialek Lasalimu dan dialek
Kamaru.

5. Bahasa Moronene dituturkan oleh masyarakat yang tinggal di Pulau


Kabaena, tepatnya di Kabupaten Bombana. Bahasa Moronene merupakan

30
bahasa mayoritas di Pulau Kabaena. Bahasa Moronene terdiri atas tiga dialek,
yaitu dialek Wumbubangka, Lora, dan dialek Rahantari.

6. Bahasa Muna dituturkan oleh masyarakat di Pulau Muna dan pantai barat
Pulau Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Bahasa Muna merupakan bahasa
mayoritas di Pulau Muna dan pantai barat Pulau Buton. Penutur bahasa Muna
dapat dijumpai di Kabupaten Muna, Buton, Buton Utara, Bombana, Kota
Kendari, dan Kota Baubau. Bahasa Muna memiliki dua puluh dialek, yaitu
dialek Lohia, Sidamangura, La Siwa, Labora, La Bora, La Padaku, Bente, Bone
Tondo, Gala, Lambiku, Wasilomata, Lombe, Siompu, Todanga, Gu-
Mawasangka, Pancana, Lipu, Kioko, Boneoge, Bone Gunu, dan dialek Dempu.

7. Bahasa Pulo dituturkan oleh masyarakat di Desa Kapola Kecamatan Wangi-


wangi, Desa Sandi (Jamarakka), Kecamatan Kaledupa, Desa Tongano Timur,
Kecamatan Tomia, dan Desa Taipabu, Kecamatan Binongko, Kabupaten
Wakatobi.

BAB 3 PENUTUP

31

Anda mungkin juga menyukai