Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Adat Dan Budaya Sulawesi Tenggara” dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang Budaya Dan Adat Masyarakat Sualwesi Tenggara
bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
Daftar Isi
HALAMAN JUDUL ……………………………....................……… i
1.1.Latar Belakang...........................................................................1
1.2.Tujuan........................................................................................8
BABI
2
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hampir semua suku bangsa atau etnik ada di Sulawesi Tenggara. Pada masa orde
Baru sejak tahun 1970-an daerah ini telah menjadi lokasi sasaran program transimigrasi.
Praktis Suku Jawa, Sunda, dan Bali semakin banyak mendiami propinsi ini khususnya di
Sebenarnya akulturasi dan asimilasi budaya Sudah terjadi sejak abad IV dimana orang-
Orang bugis dan Mandar mulai melakukan migrasi di wilayah ini khususnya sekitar
Bombana, Konawe Selatan, Kolaka Utara, dan Kolaka. Dengan demikian migrasi dan
Mendiami 4 wilayah Sulawesi Tenggara yaitu suku Muna, Buton, Tolaki, dan Mornene.
Namun sebenranyamemliki sub etnik yang masıheksis hingga saat ini seperti; kulisusu,
Wawonll, mekongga, kadatua, dan taaloki. Disamping itu tak ketinggalan etnik Bajo yang
Mendiami hampir seluruh kawasan pesisir dan kepulauan yang ada di Sulawesi Teggara.
Maka dipastikan bahwa begitu beragam warisan nilai (kearifan lokal) masyarakat yang
Pada bagian ini mengkat 3 etnik/suku besar yang mendiami daerah ini yaitu
3
Muna, Tolaki, dan Bajo.
Suku Muna memiliki banyak kearifan yang memiliki unsur nasehat dan
Pendidikan. Nilai teršebut tidak hanya menjadi konsep pengetahuan dan nilai semata.
Akan teapi cukup banyak menjadi landasan prilaku. Karena itu, semakin pudar
Pemahaman dan internalisasi nilal-nilai kearifan tersebut maka semakin jauh darl
Identitas dan jati diri yang diajarkan oleh leluhurnya Beberapa contoh
Etnopedagogik yang dianggap penting untuk diangkat dalam kajian ini antara lain:
Katangari (nasehat). Dalam bahasa muna mengandung muatan nasehat dan pesanYang memiliki fungsi
dan makna bagi kehidupan masyarakat. Setiap generasi padaSuku ini pasi mendapatkan proses
katangari (nasehat) baik secara formal maupuninformal. Formal dalam artan budaya melalu riial khusus
sesuai siklus hidup manusia. Menurut tokoh müna La Waweha (2017) sejak dalam perut ibunya bagi
orang muna sudah harus diberikan nasehatnasehat. Memberikan perlakuan khusus dan bisikan pada bai
yang masih berada dalam kandungan. Selanjutnya saat lahir dan saat anak tersebut diaqigah. Proses
sunat/khitan bagi anak baik laki-laki maupun perempuan wajib diberikan "toba" yaitu suatu subtansi
nasehat untuk merefleksikan hakekat dirinya sebagai manusia dan tujuan hidupnya. Hal lan yang
diberikan dalam toba ini adalah prinsip-prinsip dalam bersikap dan bertutur kata baik pada sanga
pencipta, pada kedua orang tua, pada saudara yang lebih tua, pada sauadara yang lebih muda, bahkan
pada sesama makhluk yang lain.
Falia (Pantangan) Sama dengan suku lainya, setiap kekompok masyarakat ada pantangannya. Tetapi
bagi Orang Muna falia suatu tata nilai yang dibuat untuk mengaja tubuh/fisik manusia, menjaga
hubunga sosial manusia, menjaga prilaku, menjaga tutur kata dil yang dilengkapi dengan rumor akibat
dampak jika falia tersebut dilanggar. Jaman dulu orang müna sangat memegang teguh konsep falia ini.
Takut melanggamya karena akan berdampak buru bagi dirinya. Tetapi seiring iengan perkembangan
ilmu pengetahuan, aspek-aspek ilmiah suatu pantangan mulai dipertanyakan, sehingga banyak dari nilai
budaya ini saat ini telah mengalami pergeseran yang dalam sejarah sebut dengan perubahan secara
regressif. Karena itu falia harus direkonstuksi dan direvitalisasi pada siswa khususnya diwilayah
masyarakat Muna. Pokadulu. Istilah pokadulu dapat dimaknai dengan gotong royong. Pokadulu
dilakukan dengan tujuan agar dalam setiap pekerjaan tidak terlalu berat, menguji kesetiaan dan
kepedulaan teman atau tetangga, dan adanya tenggang rasa dalam kehidupan mereka. Pokadulu sudah
menjadi kebiasaan masyarakat muna sejak masa kerajaan. Beberapa pekerjaan yang dilakukan dengan
cara pokaduu misalnya pekerjaan "degalu" yaitu berkebun mulai membuka lahan sampai panen, bidang
sosial sepertpokaduhi membangun rumah, pindah rumah, membangun ban iea (tenda) untuk
4
perkwaninan dan acara-acara lainnya, bahkan dalam bidang pendidikan dilakukan dengan cara
memberikan apa yang dimiliki untuk membantu anak dari kerabat yang sedang menempu pendidikan.
Tolaki adalah salah sau suku yang cukup banyak populitasnya di Sulawesi
Tenggara seperūi Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, dan Koa Kendar.
Memiliki warisan ragam badaya dan keartfan yang patut selalu direvitalisasi sebagai
Samaturu bukanlah sekedar slogan saja, akan tetapi mengandung ranah afektif
Tanggung jawab sesama. Jika membantu orang dengan asal-asalan maka itu
5
Dengan baik dan tanggung Jawab.
Kohanu. Serlng disebut dengan budaya malu. Nilai kearifan Ini merupakan
Sistim pertahanan moral bagi diri sendiri, misalnya ada orang yang dikatakan
Malas bekerja maka pihak yang dijadikan sasaran kalim tersebut akan merasa
Malu dan memotivasi diri untuk berubah lebih tekun dan rajin. Orang akan
Selau menjaga dirinya dari sugma pemalas, atau sgma lainnya yang
Bermakna tidak baik, hal ini karena setiap orang tolaki harus merasa kohanu
Atau malu. Dalam kegiatan pendidikan Siswa aka merasa malu jika tidak
Menyelesaikan tugas dengan baik, dia dianggap pemalas dan tidak tanggung
Dirinya karena pada diri mereka melakat nilai kohanu. Kondisi ini memiki
[18.01, 13/1/2022] adit: Etnik Bajo mendiami hampir seluruh wilayah-wilayah pesisir di Sulawesi
Tengara. Kelompok masyarakat ini syrat dengan kearifan lokal, tetapi pada wilayah-
6
wilayah tertenl tetap Saja menjadi komlintas yang terpinggirkan dari segi
pulau kecil tak terlepas dari faktor internal yaitu budaya mereka yang cenderung
tertunup dan Juga tegradasinya kearnfan lokal pada generasi baru. Mereka Ini
memiliki keakyaan nilai dan pedoman prilaku yang paut untuk diangkat dan
dikembangkan.
Bapongka, yaitu sebuah tradisi melaut yang ramah terhadap alam. Istilah
hari sampai sebulan. Pongka adalah berlayar mencari nafkah atau atau hasil-
masyarakat Bajo atau Bajau di Pulau Saponda yang telah dilakukan sejak
lama. Mereka pergi ke satu tempat di luar kampungnya untuk mencari hasil
Setiap kelompok terdiri dari tiga sarmpai lima perahu, masing-masing perahu
7
tersebut akan bertemu dengan keompok kecil yang lain di suatu lokasi
hasil dari tangkapan mereka dipasarkan langsung pada Pasar Ikan Pelelangan
dengan tata cara misalnya jika terjadi kasus perkelahian diantara sesama
ma tokoh adat atau di balai pertemuan di Desa. Pertemuan ini dihadiri oleh kedua
belah pihak yang berseteru, tokoh adat, tokoh masyarakat, kepala desa.
8
anak-anak Bajo yang menamatkan sekolah pada PT (S1) Konsep ini
Muna. Hanya saja pada masyarakat Muna tradisi Pokadulu lebih diarahkan
durāsinya sudah mulai menurun, dulu bisa menembus waktu 30 hari sekarang
paling lamal minggu, kondisi ini tidak terlepas dari perkembangan teknolog
namun siSi kemanusiaannya berupa kerlnduan pada sesama dan kerabat tidak
9
disaksikan kerumunan perahu yang diayun ombak di pemukaan laut di
biasan cahaya purnama, Kadang dari kejauhan terdengar tawa kelakar mereka.
Hal yang menarik pula untuk dilihat adalah ngampuan ini tidak harus yang
muda mengunjung! yang tua, namün bukti kasth sayang yang tua pun kadang8
Bajo yang menyebut dirnnya suku Sama/same. Itulah sebabya kejadiasyarakat Bajo, diadakanlah
pertemuan di suatu tempat, misalnya dirumah
kejadian konfik dan perselisihan jarang terjadi di desa ini dan begitulah cara
pada berbagai kajian masyarakat Bajo memiliki sastra lisan Iko-Iko ini.
Tradisi lisan ini memiliki pesan yang tersirat dan mendalam bagi suku laut di
termasuk di Saponda. Menurut mereka sastra lisan ini berisikan tentang adat
dan budaya kehidupan suku Bajo yang mengagungkan laut sebagai kehidupan
abadi dan senantiasa mensyukuri nikmat dari sang Maha Pencipta. Tradisi
iko-iko biasanya disajikan oleh orang tua pada anak-anak mereka. Cerita
cukup banyak, namun ada juga yang sudah mendesain dalam bentuk cerita-
10
cerita lucu tetapi mengandung pesan moral yang kuat. Tardisi ini memiliki
potensi yang kuat untuk membangun mainshet dan kesadaran anak-anak suku
Bajo
B. Tujuan Penulisan
11
BAB II
PEMBAHASAN
A. Suku Tolaki
Suku Tolaki adalah suatu komunitas masyarakat yang berdiam di kota Kendari, Konawe dan konawe
selatan di Sulawesi Tenggara. Menurut cerita rakyat, bahwa dahulu ada sebuah kerajaan, yaitu Kerajaan
Konawe. Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo. Dari keturunan orang-orang kerajaan inilah yang
menjadi masyarakat suku Tolaki sekarang. Pada masa sebelum-sebelumnya orang Tolaki merupakan
masyarakat yang nomaden, mereka bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, hidup dari hasil
berburu dan mencari tempat baru untuk membuka ladang. Mereka percaya bahwa nenek moyang
mereka berasal dari daratan china, yaitu dari daerah Yunnan yang bermigrasi ke wilayah ini.
Dalam tradisi orang Tolaki memberi petunjuk bahwa penghuni pertama daratan Sulawesi Tenggara
adalah Toono Peiku (ndoka) yang hidup dalam gua-gua dan makanannya adalah Sekam. Orang Tolaki
pada umumnya menamakan dirinya Tolahianga yang artinya orang dari langit, yaitu dari Cina. Kalau
demikian istilah Hiu dalam bahasa Cina artinya langit dihubungkan dengan kata Heo (Oheo) bahasa
Tolaki yang berarti terdampar.
B, Suku Mekonga
12
Suku Mekongga, adalah salah suatu komunitas masyarakat adat yang berdiam di kabupaten Kolaka dan
sebagian kecil juga terdapat di kabupaten Kolaka Utara Sulawesi Tenggara. Suku Mekongga merupakan
salah satu sub-etnik dari suku Tolaki. Menurut orang Tolaki, bahwa orang Mekongga adalah orang Tolaki
juga. Istilah Mekongga, konon berasal dari kata "to mekongga", yang berarti "to" berarti "orang" dan
"mekongga" berarti "pembunuh burung elang raksasa", jadi kata "to mekongga" berarti "orang yang
membunuh burung elang raksasa". Sedangkan burung elang raksasa dalam bahasa Mekongga adalah
"Konggaha’a".
Kabupaten Kolaka tempat kediaman suku Mekongga ini disebut juga sebagai "Bumi Mekongga". Di
daerah pemukiman orang Mekongga terdapat sebuah gunung yang bernama gunung Mekongga.
Menurut orang Mekongga sendiri gunung Mekongga merupakan gunung keramat. Menurut cerita
rakyat, di gunung ini terdapat Tebing Putih yang bernama Musero-sero yang merupakan pusat kerajaan
jin untuk wilayah Kolaka Utara.
C, Suku Buton
Orang Buton atau Butung mendiami pulau Buton atau Pulau Butung yang terletak di sebelah selatan
jazirah Sulawesi bagian Tenggara. Secara administratif berada dalam wilayah Kabupaten Buton, Provinsi
Sulawesi Tenggara. Orang Buton dikenal sebagai salah satu suku bangsa perantau. Banyak di antara
mereka yang tersebar sampai ke Sabah (Malayisa), Pulau Seram, dan Maluku Utara. Mereka memang
terkenal sebagai pelaut dan pedagang yang ulet. Populasinya sekarang sekitar 400.000 jiwa. Bahasa
Buton digolongkan ahli etnolinguistik klasik, Esser, ke dalam kelompok Muna-Butung. Bahasa Buton
terbagi ke dalam beberapa dialek, seperti dialek Butung, Wolio, Wapacana, Cia-Cia, dan Wakatobi.
Kemudian semua dialek itu terbagi-bagi lagi ke dalam lebih kurang 22 buah sub-dialek.
D, Suku Wolio
Suku Wolio adalah suatu suku yang tersebar di kepulauan Buton, Muna dan Kabaena di provinsi
Sulawesi Tenggara. Juga terdapat di pulau-pulau kecil di provinsi Selatan. Populasi suku Wolio
diperkirakan lebih dari 30.000 orang. Suku Wolio berbicara dengan bahasa Wolio. Bahasa Wolio
merupakan sub-bahasa Buton-Muna, yang termasuk cabang bahasa Austronesia. Menurut para peneliti
bahwa suku Wolio ini merupakan bagian dari sub-suku Buton. Dikatakan bahwa dahulunya orang Wolio
juga merupakan keturunan dari Kerajaan Buton yang sejak abad 15 menguasai wilayah Buton. Hingga
saat ini bahasa Wolio masih dipakai oleh masyarakat khususnya yang ada di Kota Bau-Bau, namum
bahasa Wolio ini tetap dikenal oleh masyarakat dari berbagai penjuru daerah bekas pemerintahan
kerajaan atau kesultanan Buton.
E, Suku Muna
Suku bangsa Muna yang sering juga disebut Tomuna menetap di Pulau Muna. Daerah mereka dalam
wilayah kabupaten Muna dan Muna Barat, yang terletak di sebelah selatan jazirah Sulawesi Tenggara.
Pada zaman dulu Pulau Muna termasuk dalam wilayah Kesultanan Butung (Buton). Ahli etnolinguistik
klasik, Esser menggolongkan bahasa Muna ke dalam kelompok bahasa Muna-Buton. Bahasa ini terbagi
13
lagi menjadi beberapa dialek, seperti Dialek Tiworo, Mawasangka, Gu, Kotobengke, Silompu dan
Kadatua. Jumlah populasinya sekitar 300.000 jiwa. Orang Muna kebanyakan bekerja sebagai nelayan
dan petani di ladang-ladang dengan tanaman utamanya jagung. Selain itu mereka juga menanam ubi,
tebu, kelapa dan sayur-sayuran. Makanan khas orang Muna yang terkenal yaitu Kabuto yang terbuat
dari bahan ubi. Tanaman komoditi ekspor mereka adalah kopi, tembakau, cengkeh dan kapuk.
F. Suku Moronene
Suku Moronene adalah suatu suku bangsa yang mendiami wilayah pada bagian ujung selatan jazirah
Sulawesi Tenggara. Sebelum kata Moronene, digunakan Wonua Bombana/Wita Moronene, yaitu
kerajaan Moronene seperti yang dituturkan dalam kada (suatu legenda dalam sastra moronene).
Didalam kada dituturkan bahwa kerajaan Moronene diperintah oleh seorang Raja yang bernama Tongki
Pu’u Wonua. Tidak diketahui dari mana asalnya dan siapa orangnya, hanya dituturkan bahwa beliau
adalah seorang keturunan Raja dari sebuah kerajaan. Nama Moronene telah lazim digunakan untuk
nama bahasa dan nama suku bangsa yang dahulunya terhimpun dalam satu wadah Kerajaan yaitu
Kerajaan Moronene. Secara etimologis istilah Moronene berasal dari dua kata yaitu moro yang artinya
sejenis, serupa, dan kata nene adalah nama tumbuhan resam batangnya dapat dibuat pengikat pagar,
atap dan lain-lain.
G, Suku Kabaena
Suku Kabaena adalah suku yang bermukim di pulau Kabaena kabupaten Baombana provinsi Sulawesi
Tenggara. Suku Kabaena hidup di pulau yang sepanjang garis pantainya banyak bisa ditemukan
hamparan batu-batu permata biru yang berkilauan terkena sinar matahari. Selain itu di pulau ini diduga
banyak terdapat kandungan emas. Pulau Kabaena ini juga menjadi salah satu tujuan wisata bagi para
wisatawan asing maupun lokal. Karena keindahan pulau ini sudah terkenal sebagai salah satu tempat
wisata di pulau Sulawesi. Di pulau Kabaena selain suku Kabaena sebagai penduduk asli pulau ini, juga
ada etnis lain yang menghuni pulau ini, yaitu suku Bajo yang bermukim di kecamatan Kabaena Barat.
H. Suku Wawonii
Suku ini terdapat di pulau Wawonii yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Menurut istilah kata
"Wawonii" diambil dari kata Wawo berarti di atas dan nii yang berarti kelapa. Menurut cerita, nenek
moyang Orang Wawonii berasal dari kampung Lasolo dan Soropia (Torete) dan daratan Buton Utara di
kampung Kulisusu. Mereka telah mendiami pulau ini sejak berabad-abad yang lalu. Suku Wawonii juga
terkenal dengan ilmu hitam (santet) yang dapat dengan mudah melumpuhkan lawannya. Tetapi ilmu ini
sudah jarang digunakan oleh sebagian orang Wawonii karena ilmu itu hanya bisa digunakan oleh orang
tertentu saja.
I. Suku Bajau
Suku bangsa yang satu ini sangat pandai menyesuaikan diri dengan kehidupan di perairan Nusantara,
bahkan sampai ke perairan kepulauan Filipina bagian selatan. Mereka hidup berpindah-pindah di
14
perairan laut dan teluk di sekitar Pulau Sulawesi, Kalimantan, Sumatera bagian timur, Kepulauan Maluku
bagian utara dan Kepulauan Nusa Tenggara. Jumlah orang Bajau di seluruh Indonesia diperkirakan
sekitar 50.000 jiwa. Kelompok yang paling banyak jumlahnya mungkin berada di sekitar Sulawesi
Tenggara, yaitu sekitar 25.000 jiwa.
J. Suku Bugis
Suku Bugis merupakan suku asli dari Sulawesi Selatan. Suku Bugis terkenal sebagai suku bangsa yang
senang merantau dalam urusan perdagangan. Itulah sebabnya jika ditanah Sulawesi Tenggara terdapat
banyak Suku Bugis yang menetap dan tersebar di beberapa Kabupaten antara lain terdapat di Kota
Kendari, Kabupaten Bombana, Konawe, Konawe Selatan, Kabaena dan beberapa Kabupaten lainnya.
A, Tari Balumpa
Balumpa adalah tari adat tradisional dari Sulawesi Tenggara tepatnya di Kabupaten Wakatobi.
Tari balumpa adalah tari yang menggambarkan kegembiraan masyarakat nelayan di Pulau Binongko.
Tari balumpa berfungsi sebagai tari penyambutan dan sering tampil di pertunjukan seni.
Sebagai tari penyambut tamu, gerakan tari balumpa mengandung makna rasa gembira,
kelemahlembutan, dan keramahtamahan masyarakat Binongko.
Tari balumpa ditarikan oleh 6-8 penari perempuan, namun ada juga yang ditarikan secara berpasangan
dengan penari laki-laki.
15
B. Tari Malulo
Tari malulo atau bisa disebut dengan lulo adalah tari adat tradisional dari Sulawesi Tenggara dari Suku
Tolaki di Kendari. Tari persahabatan yang ditujukan untuk muda-mudi sebagai ajang pencarian jodoh.
Lulo mencerminkan bahwa Suku Tolaki cinta damai dan mengutamakan persahabatan dan persatuan.
Tari malulo bisa ditarikan oleh laki-laki, perempuan, remaja, dan anak-anak dengan formasi melingkar
sambil berpegangan tangan serta diiringi dengan 2 gong yang berbeda ukuran dan jenis suara. Tari
malulo ditampilkan pada upacara adat di Kendari.
Tari malulo yang sekarang mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman seperti alunan
gong diganti dengan musik elekton dan terdapat variasi dalam gerakan tarian.
16
2.3.Pakaian Adat Suku Sulawesi Tenggara
Ciri khas pakaian adat Sulawesi Tenggara untuk Pria Dan Wanita. Sulawesi Tenggara memiliki
banyak sekali suku di dalamnya, dengan suku mayoritas yaitu suku Tolaki. Provinsi yang
memiliki ibukota yaitu Kendari ini memiliki pakaian adat yang namanya tentu unik dan
disesuaikan dengan bahasa dari suku tersebut.
Beberapa suku yang ada di Sulawesi Tenggara yaitu Tolaki, Muna, Buton, Morenene, dan
Wawonii. Beragam suku ini tersebar luar di seluruh Sulawesi Tenggara.Perlu Anda ketahui
karena Suku Tolaki merupakan suku yang paling besar atau mayoritas, maka tidak heran jika
budaya dan tentunya pakaian adat wanita atau pria yang selalu dikedepankan adalah miliki
dari Suku Tolaki ini.
Mungkin tidak ada yang pernah menyangka apabila kulit kayu dapat dijadikan bahan atau serat
untuk membuat pakaian adat.Pohon yang biasanya digunakan adalah Usongi, Dalisi, Wehuka,
dan tentunya Otipulu.Kayu ini awalnya direbus menggunakan abu dapur, kemudian direndam
hingga kayu memiliki tekstur lembut.Setelah memiliki tekstur yang lembut, kayu dapat dipukul-
pukul hingga tipis dan lebar, sehingga dapat diambil serat dan dijahit menjadi sebuah baju
adat yang utuh.
17
Ciri dari pakaian adat Sulawesi Tenggara dalam Babu Nggawi
ini berbeda untuk laki-laki dan perempuan. Pakaian adat Babu Nggawi untuk perempuan
memiliki nama Lipa Hinoru untuk atasan dan Roo Mendaa untuk bawahan. Baju adat yang
digunakan untuk atasan ini memiliki potongan pendek satu bahu sedangkan bawahannya
memiliki bentuk yang panjang sampai mata kaki. Terdapat ciri khas unik yaitu manik-manik
dengan warna emas yang biasanya disusun di bagian depan baju atasan, tentunya dengan
corak khas Suku Tolaki.
Pakaian adat Babu Nggawi Langgai diperuntukkan untuk laki-laki yang tentunya memiliki
design yang berbeda, yaitu memiliki nama Babu Kandiu untuk nama pakaian atasan yang
memiliki bentuk lengan panjang dan hiasan keemasan di beberapa sisi bajunya. Sedangkan
bawahan untuk laki-laki adalah celana panjang yang diberi nama Saluaro Ala.
Terdapat hiasan tambahan yang biasanya digunakan untuk melengkapi pakaian adat Sulawesi
Tenggara. Pakaian wanita biasanya dilengkapi dengan hiasan sanggul yang memiliki aroma
harum. Sanggulnya juga memiliki bentuk yang unik yaitu bentuk bunga kecil yang berkilauan
atau mengkilat. Selain itu apabila tengah berdandan, terdapat urutan yang wajib dipatuhi
menurut kepercayaan suku tersebut. Pakaian adat laki-laki juga memiliki hiasan tambahan yaitu
ikat pinggang atau Sulepe, ikat atau penutup kepala yang diberi nama Pabele, dan beberapa
tambahan lainnya.
Pakaian adat Sulawesi Tenggara yang populer ini biasanya digunakan pada saat acara
pernikahan. Meskipun memang beberapa acara sakral lain memiliki pakaian adat yang tidak
jauh berbeda. Pakaian adat wanita dan laki-laki ini hingga sekarang masih terus dipertahankan
untuk melestarikan budaya nenek moyang dan leluhur. Selain itu terdapat beberapa modifikasi
pada design pakaian adat tersebut, agar terlihat lebih modern dan anggun. Perubahan tersebut
tentunya dengan tidak menghilangkan unsur pakaian adat dari Sulawesi Tenggara tersebut.
18
2.4. Rumah Adat Suku Sulawesi Tenggara
Rumah adat mengkoha merupakan rumah tradisional dari Suku Raha, bangunan dari rumah ini
begitu luas dan besar dengan bentuk arsitektur segiempat yang indah dan menawan.
Material yang digunakan adalah kayu dengan kualitas tinggi, sehingga tidaklah heran apabila
menghasilkan bangunan yang kuat dan kokoh.
Atap dari rumah adat mekongga disangga oleh tiang-tiang besar dengan ukuran 20 kaki dari
atas tanah.
Apabila kita perhatikan, bangunan rumah adat dari Sulawesi Tenggara ini tinggi menjulang,
untuk tinggi bangunan sendiri dierkirakan tidak kurang 70 kaki.
Pada masa lalu, rumah tradisional ini biasanya digunakan oleh para raja atau pemimpin untuk
melangsungkan upacara-upacara tertentu.
Setidaknya rumah adat Sulawesi Tenggara ini memiliki bagian-bagian yang sangat unik,
sebagai lambang atau filosofi yang mengambarkan betapa khasnya rumah ini.
19
2. Memiliki 4 bagian rumah, ruang atau bilik.
3. Memiliki 30 anak tangga.
Rumah adat masyarakat Buton ini dikenal juga dengan sebutan rumah adat malige dan benoa
walie.
Sekilas mungkin menyerupai dengan rumah adat dari Sulawesi Barat, tepatnya Suku Mandar.
Meskipun ke-2 jenis rumah adat Buton ini ada perbedaan, untuk rumah tradisional malige pada
umumnya dihuni oleh Sultan dan kaum bangsawan, sedangkan malige diperuntukan
masyarakat biasa.
Akan tetapi masyarakat luas lebih mengenal rumah tradisional malige sebagai rumah adat
Buton.
Rumah dengan jenis bangunan panggung ini memliki atap dengan pelana dua, sehingga
berbentuk tinggi. Apabila kita perhatikan, sekilas lebih mirip dengan bangunan kekaisaran di
Jepang atau Korea Selatan.
Masing-masing bangsawan memiliki besar rumah yang berbeda, misal untuk mereka yang
memiliki pengaruh, rumah bisa mencapai hingga empat lantai.
Setiap bagian dari rumah memiliki fungsi dan kegunaan masing-masing, sebut saja bumbungan
digunakan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
20
Denah rumah adat Buton ini memanjang ke bagian belakang, dan menggunakan 5 buah tiang
pada bagian depan.
Selain pada bagian depan, tiang juga meliputi bagian samping rumah, jumlah yang digunakan
biasanya melambangkan status sosial pemilik.
1. Bagian teras
2. Bagian utama
3. Pagar
4. Tangga
Saya rasa salah satu jenis rumah adat Sulawesi Tenggara ini begitu menakjubkan, baik dari
segi arsitektur, bagian rumah serta filosofi yang terkandung di dalamnya.
Lagu Peia Tawa-Tawa yang berirama gembira ini, merupakan lagu yang berasal dari Sulawesi
Tenggara.
Lirik Lagu Peia Tawa-Tawayang dinamis ini merupakan ajakan untuk bernyanyi dan menari
bersama sambil bergandengan.
21
B. Lagu Sope-sope
Makna dari Lagu Sope-Sope yang merupakan lagu dari daerah yang berasal dari Sulawesi
Tenggara, bercerita tentang perahu tradisional yang bernama Sope-Sope.
22
Aparambangan teja rangka,
Apabelomo iyati,
Tolando momakesana…
Dolango momalinona,
Labusana momalingu,
Tolandomo kasintapa…
Atunggua betoambari…
Apabelomo iyati,
Tolando momakesana…
Dolango momalinona,
Labusana momalingu,
23
Bangkamolalo moporo penaiwolio,
Tolandomo kasintapa…
Atunggua betoambari…
Keris memang merupakan senjata tradisional yang sudah ada sejak dahulu kala, bahkan tidak
hanya di Sulawesi Tenggara saja, kehadiran Keris sudah lama ada di beberapa pulau lainnya
di Indonesia, misalnya di Pulau Jawa ataupun Sumatra, namun senjata tersebut tetap memiliki
perbedaan yang di diwujudkan dari bentuk senjata tersebut, baik itu dari ukiran maupun motif
yang terdapat pada keris tersebut, namun bukan hanya itu, sejarah atau pengaruh kerajaan
menjadi perbedaan yang sangat mencolok dari setiap senjata tradisional, sebab dibalik bentuk
senjata tersebut terdapat banyak cerita yang diyakini oleh masyarakat setempat sebagai asal
usul dari senjata itu, bahkan tak jarang beberapa dari cerita tersebut membuat masyarakat
percaya akan kekuatan magis yang terkandung dalam senjata tradisional tersebut.
Keris Triwolo Liya atau Keris Meantu’u Liya ialah senjata tajam yang digunakan untuk menikam
atau menusuk musuh dari jarak dekat, keris ini sendiri digunakan sebagai senjata perang yang
digunakan oleh para prajurit atau pun rakyat kerajaan pada masa pemerintahan Raja Liya.
Pada masanya, keris ini merupakan keris yang dimiliki oleh Raja Liya atau Lakina Liya, keris ini
dipercaya memiliki kekuatan yang sangat sakti. Raja Liya sendiri bertugas untuk mengamankan
dan mengatur semua hasil panen rakyat pada masa kerajaannya.
Jika Keris Tiworo Liya merupakan senjata tajam yang digunakan untuk menyerang musuh
dengan jarak dekat, Tombak Tiworo Liya kebalikannya, senjata tradisional ini digunakan
sebagai senjata berperang dari jarak jauh. Senjata ini juga sama seperti keris Tiworo Liya, yang
juga dimiliki oleh petinggi kerajaan di masa pemerintahan raja Liya .
24
2.7. Makanan Khas Suku Sulawesi Tenggara
A. Kasuami
Kasuami atau kasoami adalah oalahan singkong yang terkenal dari Sulawesi Tenggara.
Bentuknya kercurut menyerupai tumpeng.
Cara membuat kasuami, singkong diparut, dikeringkan, disaring, dan dikukus. Kasuami disantap
seperti layaknya makanan pokok. Biasanya dengan lauk ikan dan sayuran.
Namun, kasuami juga bisa disantap langsung tanpa lauk, layaknya kudapan.
B. Lapa-lapa
Bentuk lapa-lapa sekilas mirip lepet khas Jawa. Hanya saja lapa-lapa berdiameter lebih kecil
dan lebih panjang.
25
Sama seperti lepet, lapa-lapa juga dibuat dengan beras ketan dan santan. Umumnya
lapa-lapa muncurl pada Ramadhan. Sajian ini nikmat disantap dengan ikan asin
C. Kabuto
Kabuto juga menjadi makanan pokok pengganti nasi dari Sulawesi Tenggara.
Mirip kasuami, kabuto terbuat dari singkong.
Kabuto biasanya dimakan dengan parutan kelapa, ikan asin goreng, dan
sambal.
26
Motif yang terkenal di masyarakat Tolaki adalah ragam hias mua. Dan
pewarnaannya meliputi jingga muda, biru laut, kuning susu dan merah samar.
Hingga saat ini tradisi menenun masih berkembang karena kecintaan
masyarakatnya terhadap kain tradisional tersebut. Pakaian adat sulawesi
tenggara bisa dijadikan sebagai informasi tambahan.
Kerajinan tenun dari Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara adalah kerajinan tenun lainnya yang tak kalah
cantiknya. Tenun Buton juga kaya akan warna-warna.
Inilah yang menjadi kekhasan kerajinan tenun dari Buton. Dari sekian motif dan warna yang dihasilkan
penyebutannya selalu disesuaikan dengan penngamatan alam dengan mengunakan nama-nama daerah dari
berbagai jenis tumbuhan yang ada di Pulau Buton Oleh masyarakat Buton.
Kerajinan tenun ini dianggap mampu menjadi perekat sosial bagi masyarakat Buton, sebab tenun Buton
adalah pengejawantahan orang-orang Buton memahami lingkungan alamnya. alat musik tradisonal sulawesi
tenggara bisa anda jadikan sebagai informasi tambahan
27
Posuo terdiri dari tiga jenis, yakni posuo wolio, posuo johoro dan posuo
arabu. Posuo wolio merupakan posuo yang berasal dari masyarakat Wolio
atau Buton sendiri, Posuo Johoro berasal dari Johor-Melayu dan adapun
posuo arabu merupakan adaptasi dari posuo Wolio dan mengandung nilai-
nilai Islami.
Saat seorang gadis melaksanakan posuo, ia akan diisolasi dan dijauhi dari
berbagai pengaruh dunia luar. Sang gadis hanya dapat berhubungan dengan
bhisa. Bhisa merupakan orang yang ditujuk langsung oleh pemangku adat
untuk memberikan berbagai wejangan khusus selama masa posuo
dilaksanakan.
Pada pelaksanaannya, akan ada seseorang yang akan menabuh gendang dan
gong atau juga disebut pawang gendang. Kegiatan itu memiliki arti bahwa jika
gendangnya pecah saat ditabuh maka di antara gadis yang melaksanakan
posuo ada yang sudah pernah berhubungan badan dengan lawan jenis.
Hasilnya tidak diberitahukan ke publik, melainkan hanya akan diketahui oleh
pihak keluarga dan pawang gendang.
28
2.10. Alat Musik Tradisional Suku Sulawesi Tenggara
1. Baasi
Pembuatan aat musik tradisional Sulawesi Tenggara ini berasal dari 10 buah
bambu dan rotan. Alat musik baasi dimainkan pada saat acara pertunjukkan
sebagai pengiring lagu daerah dan nusantara.
Pada bagian pangkalnya, 10 buah bambu yang dimiliki alat musik baasi ini
memiliki panjang yang berbeda-beda dengan setiap lubang. Hal tersebut
dikarenakan agar alat musik baasi bisa menghasilkan bunyi nada yang
berbeda-beda pula. Seringnya, alat musik baasi digunakan sebagai pengiring
nyanyian lagu-lagu daerah atau juga sebagai pengiring tarian daerah itu.
Pembuatan alat musik Sulawesi Tenggara ini berasal dari bambu dan rotan.
Pemain yang memainkan alat musik dimba nggowuna ini merupakan kaum
wanita dan dimainkan sebagai alat musik hiburan ketika selesai membuat
29
tenunan atau saat mereka kerja. Hal tersebut bertujuan agar mereka tidak
jenuh.
30
bahasa mayoritas di Pulau Kabaena. Bahasa Moronene terdiri atas tiga dialek,
yaitu dialek Wumbubangka, Lora, dan dialek Rahantari.
6. Bahasa Muna dituturkan oleh masyarakat di Pulau Muna dan pantai barat
Pulau Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Bahasa Muna merupakan bahasa
mayoritas di Pulau Muna dan pantai barat Pulau Buton. Penutur bahasa Muna
dapat dijumpai di Kabupaten Muna, Buton, Buton Utara, Bombana, Kota
Kendari, dan Kota Baubau. Bahasa Muna memiliki dua puluh dialek, yaitu
dialek Lohia, Sidamangura, La Siwa, Labora, La Bora, La Padaku, Bente, Bone
Tondo, Gala, Lambiku, Wasilomata, Lombe, Siompu, Todanga, Gu-
Mawasangka, Pancana, Lipu, Kioko, Boneoge, Bone Gunu, dan dialek Dempu.
BAB 3 PENUTUP
31