BUDAYA NASIONAL
DI SUSUN OLEH :
KETUA :
- FATUR RAHMAN L13120031
ANGGOTA :
- GERDY AGENG FANDEA L13120201
- GIDEON TODING L13120066
- KRISDAYANTI SUAKI L13120141
- VIONA APRILSILYA KONTJO L13120256
- ERLICHA MARZELINA DAMONA
LADEDU L13120061
- IMELYAWATI NATE L13120281
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Mari mengenal kebudayaan tempat tinggal saya dan mungkin saya akan bahas sedikit
keindahan alam yang ada di Kota Poso. Kalian kalau mendengar orang mengatakan Kota Poso
pastinya kalian akan mengingat kejadian-kejadian yang sangat tragis yang pernah terjadi di sana.
Gimana yah rasanya hidup di tempat yang penuh dengan berbagai macam konflik. Namun, dari
kota Poso ada hal yang menarik yang mungkin agak sedikit berbeda dari daerah-daerah yang
lain. Nah, mungkin sebagian orang ada yang tidak tahu dan mereka hanya tahu kalau Kota Poso
itu adalah kota yang sering terjadi konflik dan tidak ada perdamaian di dalamnya. Oke langsung
aja yah ??
Kota Poso merupakan salah satu kabupaten yang terletak di provinsi Sulawesi Tengah.
Siapa sih yang tidak kenal dengan Kota Poso ? Namun, di sisi lain kota tersebut memiliki
beragam kebudayaan serta keindahan alam yang sangat menarik. Kota Poso memiliki beberapa
suku yang berbeda yakni, masyarakat suku Mori, Bada, Napu dan Pamona. Namun dari keempat
suku tersebut yang lebih mendominasi adalah masyarakat suku Pamona. Suku pamona ini
memiliki lembaga adat, suku ini memiliki bahasa daerah yang sering di sebut bahasa Pamona
atau Poso. Bahasa yang di gunakan sama, hanya saja intonasi berbicara yang berbeda.
Masyarakat suku Pamona ini sebagian besar memeluk agama Kristen. Berbicara tentang
kebudayaan Pamona Poso mereka masih mempertahankan kebudayaan yang ada dari nenek
moyang mereka antara lain kebudayaan yang masih ada.
PEMBAHASAN
1. Adat Perkawinan di gunakan untuk mengatur mas kawin yang di tanggung oleh
mempelai laki-laki yang akan di serahkan kepada orang tua mempelai perempuan, mas
kawin tersebut sering di sebut dengan “Sampapitu”. Nah, dalam melaksanakan adat
perkawinan tersebut masih ada sampai sekarang tradisi gotong royong atau membantu
dalam perkawinan yang biasanya di sebut dengan “Posintuwu”. Bantuan yang di berikan
berupa bahan-bahan makanan, tenaga, uang dan sebagainya. Wujud bantuan seperti itu
atau Posintuwu akan terus ada karena setiap orang yang sudah di beri Posintuwu akan
membalasnya di kemudian hari jika pemberi suatu hari mengadakan pernikahan.
2. Ucapan syukur setelah panen atau yang di sebut ”Padungku”. Setelah panen masyarakat
Pamona selalu mengadakan ucapan syukur atas berkat kesuksesan yang di berikan Tuhan
Yesus. Meskipun masyarakat Pamona sebagian besar bukan petani tetapi harus
mengadakan ucapan syukur tersebut dan ucapan syukur tersebut di laksanakan di gereja
dan setelah ibadah ucapan syukur setiap orang bisa berkunjung satu sama lain. Tanpa
pengecualian kepada siapa saja akan berkunjung karena acara tersebut di buat setahun
sekali. Makanannya enak-enak kalau acara besar seperti ini. Hehe J
Selain memiliki kebudayaan masih ada lagi yang menarik dari suku Pamona, yaitu :
Pakaian Adat
Suku Pamona memiliki pakaian adat yang sangat unik. Sebutan pakaian adat suku
asli Poso adalah Tuana Mahile. Pakaian adat asli Pamona terbuat dari kulit kayu yang di
sebut dengan Kaliken. Tidak sembarang kulit kayu untuk membuat pakaian adat tersebut,
mereka mengambilnya dari pohon-pohon yang berada di sekitar pegunungan dan masih
sangat alami. Pakaian tersebut hanya bisa digunakan pada saat pernikahan dan
penyambutan tamu karena hasil tekstil pakaian tersebut mudah rusak jika terkena air.
Coba deh bayangin gimana pake baju adat yang bahan dasarnya dari kulit kayu ? Namun,
seiring dengan berjalannya waktu pakaian tersebut sudah hampir punah karena untuk
pembuatan baju adat tersebut sangat lama. Sehingga sekarang di gunakan pakaian adat
yang terbuat dari kain khusus dan di hiasi dengan manik-manik yang berwarna-warni.
Makanan Khas
Makanan khas paling terkenal yaitu wayawo masapi (woku sogili) bahan dari
makanan tersebut adalah ikan sogili yang dalam bahasa indonesia ikan sidat (belut
bertelinga) yang di masak dengan campuran bumbu-bumbu di buat sedemikian
rupa sehingga menciptakan rasa yang istimewa selain itu, ada juga sogili bakar. Sogili
yang tersaji dalam keadaan hangat terasa nikmat di makan dengan nasi hangat apalagi
jika makannya dengan menggunakan sambal atau di sebut dabu-dabu. Paling enak makan
masakan tersebut di pinggir danau. Ikan sogili atau ikan sidat ini tergolong ikan yang
paling langka dan harganya sangat mahal. Tempat penjualan makanan khas tersebut di
Tentena, ibu kota kecamatan Pamona Puselemba, kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi
Tengah.
B. Gotong Royong
Indonesia merupakan Negara yang kaya, bukan hanya keanekaragaman hayati dan
hasil tambangnya, namun juga akan budaya dan tradisi yang dimiliki dan dijalani oleh
leluhur bangsanya di masa lampau, bahkan tetap lestari dan eksis hingga saat ini.
Budaya dan tradisi bangsa Indonesia sangat kaya dengan adat istiadatnya masing-
masing dan sudah terkenal ke seluruh penjuru dunia.
Tak terkecuali salah satu provinsi di Indonesia, terletak tepat di tengah-tengah
kepulauan Nusantara yaitu pulau Sulawesi, khususnya Sulawesi Tengah yang
menyimpan sejuta
keindahan bukan hanya alam. Selain itu kultur dan tradisi kearifan lokal
masyarakatnya juga tidak kalah dari daerah-daerah lain di Indonesia.
Salah satu budaya Sulawesi Tengah yang tetap lestari dan eksis hingga saat ini
adalah padungku. Perayaan padungku umum di temukan di Kabupaten Poso, Tojo Una-
una, dan
Morowali dan Morowali Utara. Kata padungku secara harfiah berasal dari bahasa
Pamona, yang berarti semua sudah rapi, sudah tuntas. (Siruyu, Mosintuwu, 2010). Makna
tersirat padungku berarti padi sudah di lumbung, alat pembajak sudah dibersihkan dan
disimpan di kolong rumah, serta semua rangkaian panen padi sudah selesai, maka seluruh
petani di desa atau kampung mulai bersiap mengadakan pesta bersama yakni mo
padungku. (Siruyu, Mosintuwu, 2010)
Kebudayaan ini berasal dari nenek moyang suku Pamona yang mayoritas berada
di Poso. Namun menyebar hingga beberapa daerah sekitar Poso, Tojo una-una, dan
Morowali.
Mirip dengan dengan beberapa kebudayaan di tanah Jawa, inti dari perayaan ini adalah
merayakan dan bersyukur atas panen yang hasil utamanya adalah “pae” atau beras.
Masyarakat mulai bersiap seminggu sebelum acara dimulai, semua masyarakat desa
mulai mencari daun-daun dan bamboo. Kemudian para pria mulai membangun tenda-
tenda terpal di lapangan desa. Melalui padungku, terlihat nilai-nilai gotong royong dan
persaudaraan sangat terasa di sini (Hajar, 2014).Satu hari sebelum acara, pada sore hari
desa dihiasi dengan kepulan asap dari pembakaran nasi bamboo atau nasi bulu. Para ibu
sibuk menyiapkan berbagai bahan masakan seperti ayam, sapi, dan kambing. Sementara
para kaum muda sibuk menyiapkan tempat acara, panggung, dekorasi, dan yang paling
mencolok adalah adanya janur kuning yang menghiasi tempat acara hingga malam hari
tiba (Hajar, 2014)
Dalam mo padungku, para petani akan mengolah seluruh hasil panennya, terutama padi
yang pertama kali di panen (Mosintuwu.com). Padi yang sudah tersimpan di lumbung,
kemudian diolah menjadi masakan khas yaitu nasi bambu. Nasi bambu kemudian di bawa
ke balai desa atau tempat pesta untuk dimakan bersama-sama.
Suasana persaudaraan saling menjalin silaturahmi sangat terasa. Masyarakat saling
bercanda dan timbul tawa hangat. Biasanya pada malam harinya akan diadakan tarian
seperti tari Dero yang biasanya dibawakan saat ada acara-acara adat (Siruyu, Mosintuwu,
2010)
Lain cerita dengan suku Mori di kabupaten Morowali, suku Mori merayakannya dengan
saling berkunjung ke rumah-rumah tetangga, saudara, kerabat, dan kolega. Setiap rumah
di desa menyiapkan sendiri hidangan khas keluarga mereka untuk dihidangkan kepada
tamu-tamu yang akan berkunjung (Palu Poso, Kumparan, 2019). Tidak hanya sesama
warga desa, warga dari desa lain pun dipersilahkan untuk bertamu untuk mempererat
persaudaraan dan silaturahmi antar sesama warga yang merayakan padungku. Suku Mori
menyebut nasi bambu mereka dengan dinaha yang hidangan selalu di sajikan saat
padungku tiba (Palo Poso, Kumparan, 2019).Selain dinaha, yang menjadi hidangan khas
lainnya adalah, jajanan khas yang di temukan di pasar-pasar. Sebagai contoh, hidangan
bebek dan burasa atau buras (seperti lontong tapi tanpa isi). Kedua hidangan ini selalu
hadir di meja makan suku Mori saat padungku tiba. Pada masa ini, nasi biasanya jarang
disajikan. Padungku tak ubahnya seperti hari raya untuk suku Mori. Biasanya, setelah
saling mengunjungi, padungku akan dibuat acara umum di tanah lapang desa (Palu Poso,
Kumparan, 2019)
Sementara itu, orang ta’a dan bare’e di Tojo Una-una menyebut padungku dengan
sebutan praa atau mo raa yangberarti darah atau “mendarahi”. Istilah ini merujuk pada
adat orang bare’e dan ta’a yang ketika melakukan sesuatu, mereka meminta keridhoan
sang “Pue” atau Tuhan dengan memberikan darah ayam kampung hitam ke benda-benda
yang akan di gunakan. Bahkan orang yang akan melakukan penanaman diolesi dengan
darah terlebih dahulu. Hal ini juga dilakukan saat semua rangkaian panen telah selesai
semua hasil panen biasanya akan diolesi dengan darah ayam, hal ini di percaya menjadi
berkat atau braka.
Ada satu adat yang unik ketika orang ta’a dan bare’e akan menanam padi lading. Mereka
biasanya saling mengundang mulai dari kaum muda hingga dewasa. Lalu, saat akan
mulai menanam mereka akan saling mengolesi arang ke sekujur tubuh mereka terlebih
dahulu. Biasanya para kaum muda akan saling kejar demi mengolesi arang ke tubuh
mereka satu sama lain. Hal ini sudah menjadi adat yang turun temurun di kerjakan.
Konon jika satu dari rangkaian adat di atas terlewatkan, maka hal buruk akan terjadi pada
tanaman padi dan pemilik ladang. Dalam perayaan mo raa warga akan saling berkunjung
dan menghidangkan makanan.
Untuk di kabupaten Tojo una-una sendiri, banyak masyarakat yang mulai meninggalkan
menanam padi di lading karena prosesi adat yang panjang dan sedikit rumit. Imbasnya,
mo raa atau padungku ini dirayakan bukan untuk panen padi lagi, tetapi panen-panen
hasil ladang lain, seperti jagung dan kacang.
Nilai-nilai gotong-royong dan persaudaraan dalam padungku sangat terasa. Nilai ini
bukan hanya diartikan sebagai persembahan syukur kepada sang “Pue” atau Tuhan yang
Maha Kuasa, tetapi juga tentang nilai-nilai falsafah bangsa Indonesia pada umumnya.
Bhineka Tunggal Ika menjadi pelajaran dasar dari budaya ini, semua elemen masyarakat
bersatu tanpa sekat dan kasta. Bukan hanya petani, tetapi semua orang dapat
merasakannya makan dalam satu “dulang” atau baki dan melupakan sejenak kepenatan
hidup (Siruyu, Mosintuwu, 2010) (Editor Hidayatullah Rabbani).
C. Toleransi
Selama ini Poso dikenal sebagai wilayah penuh konflik dengan serentetan operasi
ketertiban yang dilancarkan dari tahun ke tahun.
Banyak warga Poso yang justru menjaga keamanan dan ketertiban dengan
mengamalkan toleransi antar umat beragama. Salah satunya, warga Malitu yang memiliki
tradisi menanam bersama bagi warga kristen dan muslim.
Ada cerita menarik dari warga Malitu, di mana saat itu sebuah konflik tengah
meletus
dan mengancam para muslim. Karenanya, warga kristen di desa ini pun langsung
menyiapkan skenario pengungsian bagi para tetangganya yang muslim.
"Warga kristen menyiapkan truk untuk mengangkut para orang muslim ke tempat
pengungsian di atas bukit. Begitu konflik mereda, warga muslim pun kembali ke desa itu
lagi,"
Peran masyarakat Poso dalam menciptakan rasa aman juga terlihat dari trasidi
Mosango yang dilakukan oleh warga Danau Poso. Dengan ide utama membagi rejeki di
air, tradisi ini menjadi simbol kebersamaan untuk memupuk keamanan dan keteriban.
Pandemi virus corona juga bukan menjadi halangan bagi masyarakat Poso untuk
bahu- membahu membangun ketahanan demi terciptanya rasa aman. Sebagian besar
desa-desa
telah menginisiasi pendirian pos-pos yang disebut dengan posko keamanan, yang
menjadi wadah bagi warga untuk berkumpul guna menciptakan situasi kondusif di dalam
desa.
D. Agama
Meskipun Kristen merupakan agama mayoritas di Kabupaten Poso, penduduk di
kota Poso lebih banyak yang memeluk agama Islam. Pada tahun 2015, sekitar 47315 jiwa
menganut agama Islam, 8338 jiwa memeluk Kristen, 50 orang beragama Katolik, 90
orang merupakan pemeluk Hindu, dan sekitar 20 orang lainnya menganut agama
Buddha.[11] Pada tahun 2016, ada sekitar 49 masjid dan 14 musala, 33 Gereja Protestan
dan 3 Gereja Katolik, dan 17 pura.
E. Konflik
Kerusuhan Poso I
Artikel utama: Kerusuhan Poso I
Fase pertama termasuk singkat dan terbatas pada beberapa lingkungan di kota Poso,
meskipun iring-iringan truk yang mengangkut kelompok tertentu dari daerah lain
bergabung dalam keributan. Para pendukung teori provokator menunjukkan bahwa
kekerasan dimulai tepat setelah pengumuman Arief Patanga pada tanggal 13 Desember
1998, yang menyatakan bahwa dirinya tidak akan mengikuti pemilihan ulang sebagai
Bupati Poso, sekaligus membuka peluang bagi sejumlah kandidat yang ambisius.
Secara
kebetulan, fase ini juga bertepatan dengan pecahnya rangkaian kekerasan dan unjuk rasa
yang terjadi di seluruh Indonesia pasca kejatuhan Orde Baru.
Sebab khusus
Pada malam Natal tanggal 24 Desember 1998, yang secara kebetulan bertepatan dengan
bulan Ramadan, seorang pemuda yang berasal dari kelurahan mayoritas Protestan di
Lombogia bernama Roy Runtu Bisalemba menikam Ahmad Ridwan, seorang pemuda
Muslim dari kelurahan Kayamanya. Informasi yang beredar di pihak Kristen
menyebutkan bahwa Ridwan melarikan diri ke masjid setelah ditikam. Sedangkan versi
Muslim menggambarkannya sebagai serangan terhadap seorang pemuda Muslim yang
tertidur di halaman masjid, dan dalam beberapa versi menyebutkan bahwa korban sedang
shalat atau bahkan menjadi imam. Para tokoh dan pemuka agama dari kedua belah pihak
kemudian bertemu, dan menyepakati bahwa alkohol-lah yang merupakan sumber
masalah dan setuju untuk melarangnya selama bulan Ramadan. Polres Poso berikutnya
mulai menyita ribuan minuman keras untuk kemudian dihancurkan. Dalam sebuah
kesempatan, saat para pemuda Kristen berusaha melindungi sebuah toko miras milik
orang Tionghoa Kristen, mereka bertemu dengan para pemuda Muslim yang awalnya
berniat untuk menyegel toko tersebut, dan bentrokan antar kelompok pun tidak dapat
dihindari.[4] Rumor beserta kabar burung yang beredar di pihak Kristen pada umumnya
menyatakan bahwa ada sebuah gereja yang dibakar. Pada tanggal 27 Desember,
sekelompok orang Kristen bersenjata yang menaiki truk dari Tentena tiba, dipimpin oleh
seorang anggota DPRD Poso, Herman Parimo. Parimo diketahui merupakan anggota dari
Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST), bekas milisi pro-pemerintah yang bertempur
melawan Permesta dan DI/TII pada periode tahun 1950-an hingga 1960-an di Poso. Di
sisi lain, sedikitnya sembilan truk Muslim tiba dari ibu kota Palu, Parigi, dan Ampana.
Laporan dari seorang narasumber Muslim memperkirakan bahwa 1000 orang Muslim
tiba dengan menggunakan 27 truk, mobil pikap, dan kapal motor. Bentrokan meningkat,
dan polisi tidak mampu berbuat banyak, meskipun mereka mengaku telah menutup jalur-
jalur yang menuju ke Poso. Setelah seminggu, bentrokan kembali meruncing di tengah
hujan deras, dan mereka yang kehilangan tempat tinggal memilih mengungsi di Tentena,
Parigi, dan Ampana.
Spanduk, surat kaleng, dan grafiti yang menyerang para pejabat pemerintah kabupaten
Poso yang beragama Kristen mulai menjamur, terutama menargetkan Parimo dan orang
yang diduga mendukungnya, Yahya Patiro yang juga mencalonkan diri sebagai Bupati
Panglima Komando Militer Daerah Wirabuana menyatakan bahwa yang mengobarkan
kerusuhan adalah delapan pengacau Kristen yang telah mereka tahan. Anggota Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan hasil penyelidikan mereka
menunjukkan bahwa kerusuhan di Poso terjadi bukan karena ketegangan agama atau
etnis. Mereka menyebut kekerasan terjadi karena "miskomunikasi" dan mengklaim
bahwa tidak ada pejabat lokal yang terlibat dalam upaya untuk mengembalikan
kedamaian. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah membentuk "Tim Klarifikasi" yang
mewawancarai empat puluh saksi dan juga menyimpulkan bahwa tidak ada pejabat
daerah Poso yang bertindak sebagai provokator.
Parimo, yang disebut-sebut sebagai pemimpin iring-iringan kendaraan Kristen yang
berangkat dari Tentena, ditangkap.[a] Desas-desus terus berlanjut bahwa ada pejabat
tinggi di Poso yang berada di balik kekerasan ini, seperti Bupati Arief Patanga yang
beragama Islam, atau Sekretaris Kabupaten Yahya Patiro yang beragama Kristen. Patiro
diberi jabatan di pemerintahan provinsi di Palu, meyebabkan kemarahan umat Islam
Poso. Pada bulan Februari 1999, polisi menahan adik laki-laki Bupati, Agfar Patanga,
dengan tuduhan memberikan hasutan untuk melakukan kekerasan. Pada bulan Juni 1999,
Gubernur H.B. Paliudju mencopot Arief sebagai bupati. Laboratorium forensik di
Sulawesi Selatan kemudian menyimpulkan bahwa Agfar Patanga adalah penulis dari
surat tanpa nama yang isinya menuduh para pejabat Kristen Poso sebagai pihak yang
memulai kerusuhan.
Kerusuhan Poso II
Artikel utama: Kerusuhan Poso II
Setelah lebih dari satu tahun masa tenang, rangkaian peristiwa politik dan hukum pada
bulan April 2000 menimbulkan ketegangan. Fase kedua berlanjut di sepanjang garis
pertempuran yang sama dengan fase pertama, kali ini wilayah Kristen yang menderita
kerusakan. Persidangan saudara mantan bupati Agfar Patanga telah dimulai. Dalam
persidangan korupsi lainnya, seorang pengusaha lokal bernama Aliansa Tompo didakwa
telah menyalahgunakan dana dari program kredit pedesaan (Kredit Usaha Tani, KUT).
Ada desas-desus bahwa sebagian dari uang ini digunakan untuk menyewa massa untuk
menyerang gedung pengadilan dan membakar dokumen-dokumen perihal
keterlibatannya, yang memaksa penangguhan kedua kasus tersebut. Pengadilan Patanga
kemudian kembali diadakan di Palu. Selain itu, posisi tertinggi kedua di Poso, sekretaris
wilayah atau sekwilda sedang dipertimbangkan, dan persaingannya sangat ketat. Sebuah
surat kabar yang dicetak pada tanggal 15 April memuat pernyataan oleh Chaelani Umar,
seorang anggota DPRD provinsi dari Partai Persatuan Pembangunan, yang memprediksi
bahwa akan ada lebih banyak kekerasan yang terjadi apabila mantan calon bupati,
Damsik Ladjalani, tidak dipilih.
Bentrokan April-Mei
Keesokan harinya, seorang pemuda Muslim mengklaim telah diserang oleh sekelompok
pemuda Kristen, dan menunjukkan luka di lengannya sebagai bukti. Pihak Islam
membalas, dan pertarungan antara pemuda-pemuda dari kelurahan mayoritas Kristen
Lombogia dan para pemuda Islam dari kelurahan Kayamanya dan Sayo meningkat
menjadi kekerasan yang meluas. Selama beberapa hari berikutnya, rumah-rumah yang
dimiliki umat Kristen Poso di dekat terminal bus dan di Lombogia dibakar. Peristiwa ini
memaksa Kapolres Poso saat itu untuk mendatangkan pasukan Brigade Mobil
(BRIMOB) dari Palu.
Kedatangan BRIMOB
Pada tanggal 17 April, anggota BRIMOB secara tidak sengaja menembaki kerumunan
massa, menewaskan Mohammad Yusni (23) dan Yanto (13) dan melukai delapan orang
Muslim lainnya, termasuk seorang pria bernama Rozal Machmud yang dilaporkan
meninggal kemudian karena luka-lukanya. Setelah penguburan korban pada siang yang
sama, Muslim yang marah menyerang Lombogia dan membakar rumah, gereja, dan
sekolah.[13] Keesokan harinya, Gubernur Paliudju mengunjungi Poso dan disambut oleh
sekelompok Muslim yang dipimpin oleh pengusaha dan tersangka penipuan Aliansa
Tompo. Mereka menuntut agar Ladjalani menerima posisi sekwilda, agar kasus melawan
Agfar Patanga ditutup, agar Kapolres dipecat, dan agar pasukan BRIMOB dikirim
kembali ke Palu. Human Rights Watch menilai tuntutan tersebut mencerminkan tema
konflik yang mendasar: persaingan politik, sistem peradilan yang dipolitisir, dan
ketidakpuasan terhadap para penegak hukum. BRIMOB dikirim pulang, namun
pembakaran rumah berlanjut setelah sebuah mayat tak dikenal ditemukan di samping
sejenis topi yang biasanya dikenakan oleh pihak Islam. Muslim dari kota dan sekitarnya
membakar rumah, gereja, dan kantor cabang PDI-P, meninggalkan Lombogia dan
Kasintuwu dalam kondisi hancur. Razia dalam bentuk pengecekan identitas —terutama
terkait agama— dimulai di wilayah mayoritas Muslim. Beberapa orang Kristen
dilaporkan ditarik paksa untuk keluar dari mobil dan dibunuh.
Pembalasan dendam
Pergerakan kelompok Tibo dari Kelei hingga ke Tentena pada bulan Mei 2000
Pada pagi hari tanggal 23 Mei, sekelompok pasukan bertopeng ala ninja membunuh
seorang polisi, Sersan Mayor Kamaruddin Ali, dan dua warga sipil Muslim, yang
masing-masing bernama Abdul Syukur dan Baba. Kelompok ninja ini kemudian
dilaporkan bersembunyi di sebuah gereja Katolik di Kelurahan Moengko. Kelompok
tersebut, termasuk Tibo, mulai bernegosiasi dengan polisi untuk menyerah. Kerumunan
warga Muslim mulai berkumpul di depan gereja, dan bukannya menyerahkan diri, Tibo
serta yang lainnya justru melarikan diri ke perbukitan di belakang kompleks gereja.
Gereja tersebut dibakar pada pukul 10.00 pagi dan pertempuran terjadi di seluruh kota,
yang paling parah di Sayo, dimana sepuluh orang terluka terkena panah dan lemparan
batu. Gubernur kembali mengisyaratkan bahwa ada pihak-pihak luar —merujuk kepada
status imigran Tibo— yang menjadi provokator, sementara kepolisian mengumumkan
bahwa tiga tersangka dari kelompok ninja telah ditahan dan dibawa ke Palu setelah
dikeroyok oleh massa Muslim. Dua minggu kemudian tiga orang yang diduga sebagai
provokator, diidentifikasi sebagai Yen, Raf, dan Leo, ditahan atas tuduhan menghasut
kerusuhan pada tanggal 23 Mei.
Meluasnya pertempuran
Lokasi-lokasi utama dalam Kerusuhan Mei-Juni 2000 di Poso
Pada tanggal 28 Mei, serangan meluas terhadap warga Islam terjadi di beberapa desa di
kabupaten ini. Dalam sebuah peristiwa yang paling terkenal, sekelompok orang Kristen
—beberapa sumber menyebut bahwa Tibo dan kelompoknya ikut berpartisipasi—
mengelilingi Desa Sintuwu Lemba, yang juga dikenal sebagai Kilo Sembilan. Para
wanita dan anak-anak ditangkap dan beberapa di antaranya mengalami pelecehan
seksual. Sekitar tujuh puluh orang berlari ke pesantren terdekat —Pesantren Walisongo—
dimana banyak warga Muslim dibunuh dengan senjata api dan parang, tanpa peduli
mereka menyerah atau tidak. Mereka yang kabur, berhasil ditangkap untuk kemudian
dieksekusi dan mayatnya dilemparkan ke Sungai Poso. Tiga puluh sembilan mayat
kemudian ditemukan di tiga kuburan massal, meskipun sebuah sumber Islam
memperkirakan total 191 kematian dalam serangan tersebut. Seorang warga yang selamat
dari serangan tersebut mengatakan kepada wartawan bahwa dirinya kembali ditangkap
empat hari kemudian dan dibawa ke sungai untuk dieksekusi, namun ia sekali lagi
berhasil lolos dan selamat.
Dalam kekerasan dan kerusuhan yang terjadi antara masyarakat Kristen dan Islam di ibu
kota Poso, kedua belah pihak didukung oleh massa seiman dari luar kota. Masyarakat
Muslim dibantu oleh orang-orang yang berasal dari Ampana yang termasuk wilayah Tojo
Una-Una dan terletak di sebelah timur laut kota Poso, dan Parigi yang berada di sebelah
barat Kabupaten Poso. Di sisi lain, masyarakat Kristen dibantu oleh orang-orang Lage
dari desa-desa seperti Sepe dan Silanca di Kecamatan Lage, sebelah tenggara ibu kota
Poso.
Islam
Milisi yang datang dari luar Poso dan Palu yang sudah berada di Poso pada akhir tahun
2001 meliputi:
Jemaah Islamiyah
Mujahidin KOMPAK
Laskar Jundullah, dipimpin oleh Agus Dwikarna dengan markas lokal di Pendolo,
Pamona Selatan.
Laskar Wahdah Islamiyah, sebuah kelompok yang berbasis di Makassar dan berafiliasi
dengan Wahdah Islamiyah dan dipimpin oleh Zaitun Rusmin.
Laskar Bulan Sabit Merah, dipimpin oleh seorang tokoh Darul Islam dari Jawa Barat dan
menjalin hubungan erat dengan Laskar Jundullah.
Laskar Jihad, dengan pemimpin lokal Mohamed Harits dan Abu Ibrahim, dan dikirim ke
Poso sekitar bulan Juli tahun 2001.
Laskar Khalid bin Walid, sebuah milisi kecil yang berasosiasi dengan Partai Keadilan
dan dipimpin oleh Sugianto Kaimudin.
Milisi dan organisasi lokal yang berpihak pada Muslim meliputi:
Forum Perjuangan Ummat Islam, dipimpin oleh Adnan Arsal dan merupakan organisasi
dimana banyak anggota Jundullah direkrut.
Majelis Dzikir Nurkhaerat Poso, dipimpin oleh Habib Saleh al-Idrus. Gerakan Anak
Monginsidi, dipimpin oleh Mohammed Dong.
Anak Tanah Runtuh, sebuah milisi kecil yang dipimpin oleh Adnan Arsal dan berbasis di
kelurahan Gebangrejo, Poso Kota.
Brigade Pemuda Hisbullah Sulteng, sebuah pasukan kecil yang berkaitan dengan cabang
lokal dari Partai Bulan Bintang.
Kristen
Berbeda dengan milisi Islam, milisi Kristen sedikit sulit untuk diidentifikasi. Salah satu di
antara beberapa kelompok milisi yang berhasil diidentifikasi adalah Brigade Manguni.
Milisi ini berpusat di Manado, Sulawesi Utara dengan jumlah personel sekitar 700 orang.
Dalam kerusuhan Poso, pasukan ini diduga berbasis di daerah Sepe dan Silanca, Lage.
Brigade Manguni memiliki divisi di masing-masing daerah yang membawahi cabang
satuan. Pada fase ketiga yang berlangsung pada bulan Mei 2000, muncul milisi dengan
nama Laskar Kristus. Kelompok ini disebut-sebut terdiri dari tiga kelompok, yaitu
pasukan Macan, pasukan Kelelawar, dan pasukan kipas (sisiru).
Kelompok lain yang terorganisir oleh warga Kristen di Poso adalah Angkatan Muda
Sintuwu Maroso (ANSIMAR). Kelompok ini pada umumnya terdiri dari para kaum muda
terpelajar di kota Poso. Para anggota ANSIMAR sebagian besar terdiri dari warga
kelurahan Lombogia. Rumah-rumah mereka dibakar massa Islam saat fase kedua
kerusuhan yang terjadi bulan April tahun 2000, sehingga sebagian besar dari mereka
terpaksa mengungsi ke Tentena. Mereka tidak berpartisipasi dalam bentrokan fisik,
melainkan lebih kepada upaya untuk mencari penyelesaian konflik.
Korban
Pertanyaan tentang jumlah korban sangat sensitif dan berunsur politis. Hal ini didorong
oleh rasa keberatan yang dibuat lebih kuat oleh laporan berita yang tidak lengkap atau
kabar miring tentang serangan dan desas-desus terbaru tentang pembantaian yang akan
terjadi. Kurangnya pelaporan yang jelas oleh media atau investigasi oleh pemerintah,
ditambah dengan medan yang luas dan durasi konflik yang panjang, menyulitkan untuk
menentukan jumlah korban yang sebenarnya. Meski demikian, Human Rights Watch
mencatat bahwa kedua belah pihak telah menderita banyak korban dalam kerusuhan ini.
Meski ada beberapa perkiraan yang mencapai sekitar 2.000 korban jiwa, sebagian besar
memperkirakan antara 500 hingga 1.000 korban. Versi pemerintah, yang dikeluarkan
pada tanggal 5 Desember 2001 —tepat sebelum penandatanganan Deklarasi Malino—
dirinci menjadi 577 korban tewas, 384 terluka, 7.932 rumah hancur, serta 510 fasilitas
umum terbakar atau rusak. Sebuah kelompok Muslim, Tim Evakuasi Pencari Fakta
Korban Muslim Kerusuhan Poso (Victims of the Poso Conflict Evacuation and Fact
Finding Team), mengklaim bahwa antara bulan Mei 2000 hingga Desember 2001, 840
mayat Muslim ditemukan, kebanyakan ditemukan di Sungai Poso dan hutan-hutan di tepi
kota. Jumlah yang tidak diketahui juga dikatakan hilang. Kebanyakan korban jiwa
diperkirakan sampai pada kerusuhan ketiga, pada bulan Mei dan Juni 2000. Meskipun
pertanyaan seperti ini adalah sesuatu yang dapat diselesaikan melalui penyelidikan
independen secara menyeluruh, namun pengaruh lingkungan yang sangat terpolitisasi,
hasil jangka panjang Deklarasi Malino, dan kelemahan Komnas HAM membuat usaha
semacam itu tidak mungkin terjadi. Jika tidak dilakukan dengan tingkat profesionalisme
yang tinggi, penyelidikan perihal jumlah korban bisa memperburuk kondisi lebih jauh.
Tetapi rekonsiliasi juga mungkin akan terhambat, kecuali jika kedua belah pihak merasa
bahwa keadilan telah ditangani dalam kejahatan terburuk. Masih ada kejahatan berat
dimana tidak ada yang bertanggung jawab, seperti pembunuhan terhadap empat belas
Muslim di Dusun Buyung Katedo pada bulan Juli 2001 dan serangan sporadis terhadap
desa-desa Kristen pada bulan November. Keluarga dan kerabat dari mereka yang hilang
—kebanyakan di antaranya diculik selama masa kerusuhan— masih menunggu informasi
tentang saudara mereka yang diculik.
F. Suku
Penduduk asli daerah Poso saat ini sudah bercampur dengan para perantau yang
telah berada di daerah ini puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Selain suku asli,
daerah Poso dan sekitarnya didiami oleh pendatang dari daerah luar. Hal ini juga
merupakan salah satu bukti ketenaran daerah Poso dimasa silam. Seiring berkembangnya
kota Poso selama rezim Orde Baru, Poso menjadi semakin beragam secara etnis.
Penduduk Protestan selain Pamona termasuk orang-orang Minahasa, Bali, dan Tionghoa
serta Mori, Napu, Besoa, dan Bada dari wilayah pedalaman kabupaten. Penduduk
Muslim termasuk orang-orang Arab, Jawa, Bugis, Makassar, Mandar, Buton, Kaili, Tojo,
Togean, dan Bungku dari dalam kabupaten. Kelompok minoritas Katolik terdiri dari
orang Minahasa dan Tionghoa, serta para migran dari bekas koloni Portugis seperti
Flores. Orang Bali adalah satu-satunya etnis yang memeluk agama Hindu. Secara
keseluruhan, pada akhir 1990-an, persentase Muslim dari populasi kota Poso melebihi 50
persen, dan orang Bugis Muslim menguasai banyak perdagangan kota.
Di tana Poso kebiasaan menyebut suku seseorang di awali dengan kata "To". To
jawa untuk menyebutkan seseorang yang bersuku jawa. To Makasssar untuk
menyebutkan seseorang yang bersuku Makasar dll.Nah siapakah To-To yang berada di
Poso sebelum suku-suku lain yang kita kenal di Indonesia masuk ke Poso..?
Di Poso ada banyak suku-suku kecil yang yang mendiami pegunungan dan
lembah,yang terdapat dalam wilayah Poso. Suku yang terbesar di sebut suku Pamona
yang memiliki setidaknya 23 sub suku yang menghuni pegunungan wilayah
Timur,Selatan dan sebagian pegunungan Barat serta di sepanjang pesisir pantai. Sebagian
besar Wilayah Pegunungan sebelah Barat di huni oleh suku Lore yang terbagi dalam tiga
Sub suku Yakni To Pekurehua atau disebut juga To Napu. To Bada dan To Behoa.
Pegunungan tempat hidup suku Lore memiliki pemandangan yang indah. Padang rumput
dan sabana. Menghiasi lereng-lereng Gunung. Suku Lore juga di kenal sebagai suku
peternak. Pesisir pantai pada awalnya di tempati oleh suku-suku dari luar Poso.Seperti To
Padangka atau orang-orang perahu yang mengisi pantai di wilayah Poso Pesisir Desa
Mapane sekarang atau wilayah ini di sebut juga Takule yang artinya belimbing sayur
karena banyak belimbing ini tumbuh di daerah itu. Banyak spekulasi tentang asal
mereka.tetapi sebagian menyebutkan asal mereka dari arah Sulawesi Selatan yakni Luwu
karena waktu itu kerajaan-kerajaan kecil To Pamona berpayung ke Luwu dalam artian
takluk secara politis. Karena kerajaan Luwu tidak pernah menundukan kerajaan-kerajaan
Di Poso dengan perang,tetapi dengan cara kawin mawin. Sehingga tali kekerabatan
menjadi kuat. Orang-orang yang tinggal di pegunungan tertarik turun ke arah pantai di
sebabkan karena kebutuhan akan garam. Teknologi pembuatan garam ini di duga mereka
pelajari dari para pendatang. Garam juga merupakan kebutuhan suku-suku di pegunungan
untuk mengawetkan daging hasil buruan. Atau untuk pembuatan dendeng.
Sebelum agama-agama samawi atau agama-agama langit masuk orang Poso memiliki
agama tradisi atau agama tanah yang hidup dan di yakini dikalangan mereka. To Pamona
dengan agama Molamoa atau Mowurake dengan imamnya Tadu Wurake. To Lore
dengan agama Mowalia dengan imamnya yang di sebut ToPo Walia dll. Sebagian besar
imam dalam agama suku ini adalah perempuan. Merekalah yang mengatur Daur Hidup
dalam komunitas sukunya.
Dari pembukaan ladang,kapan mulai menanam,memanen,berburu hewan,bahkan dalam
berperang atau mengayau suku yang lain di tentukan oleh Perempuan yang menjadi imam
ini.
Perempuan di anggap sebagai ibu dari alam dan mereka memiliki kemampuan untuk
berkomunikasi dengan alam.
Dari tuturan orang tua yang saya pernah dengar langsung tentang seorang To Po Walia
dari To Pekurehua atau napu. To Po Walia ini mempunyai kemampuan dalam hal
meramalkan kejadian. Khususnya kejadian yang menyangkut perang.
Jadi hal-hal yang menyangkut spiritual di pegang oleh Perempuan. Bahkan di Lore ketika
terjadi perang masyarakat lokal melawan tentara Belanda, di sebuah tempat yang
bernama Peore. Seorang Bangsawan perempuan berhasil menghentikan perang dengan
mengibarkan bendera putih. Agama Samawi yang masuk pertama di Kabupaten Poso
yaitu agama islam. Agama Islam di duga masuk ke Poso pada Akhir Tahun 1700 an
Sedangkan agama kristen masuk pada Tahun 1892 oleh sebuah badan Zending Belanda
yakni NZG.
Tokoh yang membawa agama kristen masuk ke Poso yaitu Albert Christian Kruyt yang
melakukan pembabtisan pertama pada tahun 1909. Dengan membaptis seorang
bangsawan dari Suku Pamona sub suku Pebato Yang bernama Papa I Wunte dan seorang
Perempuan yakni Ine Maseka.
Pada pertengahan 1900 an suku-suku dari wilayah lain di Indonesia mulai memasuki
wilayah Poso. Sehingga kemudian Raja Talasa Tua yang berkuasa di Poso mengeluarkan
maklumat raja pada bulan Mei Tahun 1947 yang isinya memberikan keleluasan suku-
suku yang lain untuk tinggal di Poso selama mereka menghormati adat istiadat dan
mematuhi perintah Raja. Hal inilah yang kemudian membuat Poso memiliki berbagai
macam Suku yang mendiaminya Percampuran antar suku dan etnis melalui perkawinan
yang kemudian melahirkan orang-orang Poso seperti saya yang menganggap diri sebagai
sebuah suku yang baru yakni To Poso atau Orang Poso.
G. Akademik
Sebagai ibu kota kabupaten, kota ini juga menjadi pusat pendidikan dan edukasi.
Perguruan tinggi swasta terbesar di Poso adalah Universitas Sintuwu Maroso, yang
berdiri sejak tahun 1986. Sekolah Tinggi Agama Islam Poso adalah perguruan tinggi
Islam swasta yang mulai beroperasi pada bulan Juni 2010. Perguruan tinggi swasta
lainnya adalah Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Husada Mandiri yang berada di tengah
kota.
Pendidikan di Kabupaten Poso semakin meningkat pasca kerusuhan yang
terjadi
beberapa tahun sebelumnya. Pada tahun 2015, Poso memiliki 170 Taman kanak-
kanak, 231 Sekolah Dasar, 76 Sekolah Menengah Pertama, 19 Sekolah Menengah Atas,
dan 16 Sekolah Menengah Kejuruan. Universitas swasta terbesar di Kabupaten Poso
adalah Universitas Sintuwu Maroso yang didirikan pada tahun 1986. Universitas Kristen
Tentena yang terletak di kota Tentena diresmikan pada tanggal 1 Mei 2007 secara
langsung oleh Presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono. Sekolah Tinggi
Agama Islam Poso, mulai beroperasi pada bulan Juni 2010. Perguruan tinggi lainnya
adalah Poltekkes/Akademi Keperawatan Poso, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Husada
Mandiri. Kebutuhan sarana pendidikan di Kabupaten Poso meningkat pada periode 1980-
an. Pada awal tahun 1986, sebuah organisasi bernama Yayasan Pendidikan Sintuwu
Maroso mempersiapkan proposal pendirian Universitas Sintuwu Maroso. Para anggota
organisasi melakukan penjajakan dukungan dari Universitas Tadulako di Palu. Pada
tanggal 14 September 1986, Koordinator Kopertis Wilayah IX, Ridwan Saleh Matayang
bersama tim memutuskan bahwa Universitas Sintuwu Maroso memenuhi syarat untuk
memperoleh izin operasional. Pada tanggal 15 September 1986, Koordinator Kopertis
Wilayah IX melantik mantan Bupati Poso, Marto Herlan Koeswandi sebagai Rektor
Universitas Sintuwu Maroso yang pertama. Pemerintah Kabupaten Poso di bawah
kepemimpinan Bupati Piet Inkiriwang menggagas pendidikan harmoni yang dimulai di
sekolah-sekolah, terutama sekolah dasar. Program pendidikan harmoni sendiri mulai
dijalankan di Poso pada awal tahun 2007. Pemerintah Kabupaten Poso menjalin kerja
sama dengan Wahana Visi Indonesia (WVI) untuk menjalankan program pendidikan
harmoni ini. Program pendidikan harmoni ini sengaja diluncurkan untuk menghilangkan
stigmatisasi wilayah-wilayah tertentu di Poso sebagai basis kelompok komunitas agama
tertentu. Program pendidikan harmoni sudah efektif dilaksanakan selama lima tahun
(2009-2014) di Poso. Dalam kurun waktu 5 tahun, pendidikan harmoni sudah diterapkan
di 14 sekolah dasar model, 21 sekolah dampak atau imbas, 7 SMP dan 9 PAUD yang
tersebar di 10 Kecamatan. WVI mengakhiri tugasnya pada Desember 2014. Pemerintah
Daerah Poso melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Poso, menyatakan bahwa
pendidikan harmoni yang diwarisi dari WVI akan menjadi salah satu program disemua
jenjang pendidikan di Poso. Pada 19 Mei 2014, hal ini semakin diperkuat dengan payung
hukum berupa Peraturan Bupati Poso No. 14 Tahun 2014 tentang penyelenggaraan
pendidikan karakter berbasis harmoni.
H. Kualitas Akademik
Diskusi kelompok terpumpun “Implementasi Penjaminan Mutu Pendidikan
Kabupaten Poso” secara resmi dibuka oleh Plt. Sekertaris Daerah (Sekda) Drs.Joksan
Lakukua bertempat diruang Pogombo, senin 09/10/17.
Dalam sambutannya Plt. Sekda mengharapkan keterlibatan semua
stakeholder dan
pemangku kepentingan, baik pemerintah, praktisi pendidikan maupun orang tua
dan masyarakat untuk ikut andil memajukan dunia pendidikan. LPMP ( Lembaga
Penjamin Mutu Pendidikan ) sebagai wakil pemerintah dari unit pelaksana teknis
kementerian pendidikan dan kebudayaan yg berkedudukan di provinsi bertugas untuk
membantu dalam bentuk supervisi, bimbingan, arahan, Saran dan Bantuan teknis guna
mencapai Standard nasional yaitu ” Standar kompetensi lulusan, standar isi, standar
proses, standar penilaian, standar PTK, standar pengelolaan, standar sarana
prasarana dan standar
pembiayaan. Kegiatan dilanjutkan degan pemaparan dari tim LPMP SultengÂÂ
DR. Manna, M.Pd, Ibu DR. Heriwanty, Ibu DR. Risnu, yang di ikuti oleh MKSS SD,
SMP, SMA wilayah Poso kota.
Daftar Pustaka
1. http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/1265/suku-pamona-poso
2. http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/885/tarian-dero-atau-madero
3. http://budaya-indonesia.org/Tari-Dero-Poso-Sulawesi-Tengah/
4. https://media.neliti.com/media/publications/28579-ID-padungku-masih-bertahan-pada-
etnis-baree-di-desa-uedele-kecamatan-tojo-timur-kab.pdf
5. https://jurnalharmoni.kemenag.go.id/index.php/harmoni/article/download/29/16
6. https://jimmymethusala.blogspot.com/2017/02/gununglembah-dan-suku-mendiami-
dan.html
7. https://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_di_Kabupaten_Poso
8. https://www.posokab.go.id/2017/10/10/implementasi-penjaminan-mutu-pendidikan-
kabupaten-poso/
9. https://slideplayer.info/slide/13890664/
10. https://id.wikipedia.org/wiki/Poso_(kota)
11. https://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Poso
KESIMPULAN
Poso, adalah ibu kota Kabupaten Poso. Posisi Poso terletak di tengah Pulau Sulawesi, di
pesisir Teluk Tomini, dan menjadi kota pelabuhan dan perhentian utama di pesisir tengah bagian
selatan Teluk Tomini. Kota Poso dilewati oleh Sungai Poso yang mengalir dari Danau Poso di
kecamatan Pamona Puselemba.
Kabupaten Poso adalah sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia.
Kabupaten ini mempunyai luas sebesar 7.112,25 km² dan berpenduduk sebanyak 256.396
jiwa (2019) dan Ibu kota kabupaten terletak di Kota Poso.
abupaten Poso 2020, penduduknya berjumlah 256.393 jiwa, dengan kepadatan 36,05
jiwa/km². Penduduk kabupaten Poso terdiri dari bermacam suku bangsa, sehingga termasuk
sebagai kabupaten yang multikultural di Indonesia. Penduduknya juga cukup beragam dalam
keagamaan. Data dari Kementerian Agama tahun 2020, sekitar 60,80% (151.261 jiwa) memeluk
agama Kristen, dimana Protestan 59,45% (147.899 jiwa) dan Katolik 1,35% (3.362 jiwa).
Kemudian Islam berjumlah 33,60% (83.597 jiwa)kemudian Hindu 5,60% (13.937 jiwa) dan
sebagian kecil beragama Budha tidak sampai 0,01% (4 jiwa).