Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan atau moto dari bangsa Indonesia.
Bhinneka Tunggal Ika berasal dari kutipan Kitab Sutasoma, yang ditulis oleh Mpu
Tantular pada masa Kerajaan Majapahit, yang mengajarkan sifat toleransi antar
umat. Bila diartikan secara harfiah, frasa ini bermakna ‘berbeda-beda tetapi tetap
satu juga,’semboyan ini dipakai untuk menggambarkan adanya persatuan dan
kesatuan dari bangsa Indonesia, yang sejatinya memiliki keanekaragaman budaya,
bahasa daerah, ras, suku, agama dan keyakinan. Keberagaman ini merupakan
kekayaan yang seharusnya patut menjadi kebanggaan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Namun, potensi kebanggaan tersebut bisa menjadi tidak bermakna,
ketika kebhinekaan yang ada, tidak dipahami sepenuhnya serta tidak menjadi
bagian hidup dari setiap diri anak bangsa, sehingga rasa nasionalismenya lama
kelamaan dapat tergerus.

Negara yang memiliki keunikan multientis dan multimental seperti Indonesia


dihadapkan pada dilematisme tersendiri, di satu sisi membawa Indonesia menjadi
bangsa yang besar sebagai multicultural nation-state, tetapi di sisi lain merupakan
suatu ancaman. Maka bukan hal yang berlebihan bila ada ungkapan bahwa
kondisi multikultural diibaratkanseperti bara dalam sekam yang mudah tersulut
dan memanas sewaktuwaktu. Kondisi ini merupakan suatu kewajaran sejauh
perbedaan disadari dan dihayati keberadaannya sebagai sesuatu yang harus
disikapi dengan toleransi. Namun, ketika perbedaan tersebut mengemuka dan
menjadi sebuah ancaman untuk kerukunan hidup, hal ini dapat menjadi masalah
yang harus diselesaikan dengan sikap yang penuh toleransi. Menyoal tentang
rawan terjadi konflik pada masyarakat multikultur seperti Indonesia, memiliki
potensi yang besar terjadinya konflik antarkelompok, etnis, agama, dan suku
bangsa. Salah satu indikasinya yaitu mulai tumbuh suburnya berbagai organisasi
kemasyarakatan, profesi, agama, dan organisasi atau golongan yang berjuang
2

dan bertindak atas nama kepentingan kelompok yang mengarah pada konflik
SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).

Toleransi dan kebhinekaan dalam bingkai Indonesia adalah wacana yang


kerap digulirkan Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan. Menurut presiden
sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia harus memperkuat diri dengan semangat
toleransi dan persatuan di tengah kebhinekaan. Toleransi dan persatuan adalah
modal bangsa yang kokoh untuk menghadapi berbagai tantangan bangsa.

Ancaman intoleransi dan krisis kepribadian bangsa terjadi akibat politik


penyeragaman yang telah mengikis karakter Indonesia sebagai bangsa pejuang,
memudarkan solidaritas ,gotong royong dan kebersamaan, serta meminggirkan
kebudayaan lokal. Jati diri bangsa terkoyak oleh merebaknya konflik sektarian
dan berbagai bentuk intoleransi. Sementara sikap tidak mau hidup bersama dalam
sebuah komunitas yang beragam telah melahirkan ekspresi intoleransi dalam
bentuk kebencian, permusuhan, diskriminasi dan tindakan kekerasan terhadap
"yang berbeda".

Media sosial pada hakikatnya hadir untuk menyebarkan virus kebaikan, tapi
faktanya yang terjadi malah sebaliknya. Berbagai status di media sosial seringkali
tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur dan keadaban bangsa. Pernyataan negatif di
media sosial yang bernada intoleran dan diskriminasi seolah tidak pernah berhenti
mewarnai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Media sosial seolah
menjadi virus yang mematikan bagi terpeliharanya harmoni toleransi di Indonesia,
yang semestinya menjadi instrumen untuk merayakan keberagaman (celebrate
diversity) dengan penuh suka cita dan kebahagiaan.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana keadaan kehidupan multikulturalisme dan toleransi bangsa


Indonesia ditengah kehidupan sara media sosial pada saat ini?
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tinjauan Pustaka

Negara Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia, hal
ini dapat terlihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang
begitu kompleks, beragam, dan luas. “Indonesia terdiri atas sejumlah besar
kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain yang masingmasing plural (jamak)
dan sekaligus juga heterogen “aneka ragam”.1 Sebagai negara yang plural dan
heterogen, Indonesia memiliki potensi kekayaan multi etnis, multi kultur, dan
multi agama yang kesemuanya merupakan potensi untuk membangun negara
multikultur yang besar “multikultural nationstate”. Keragaman masyarakat
multikultural sebagai kekayaan bangsa di sisi lain sangat rawan memicu konflik
dan perpecahan.2 kemajemukan masyarakat Indonesia paling tidak dapat dilihat
dari dua cirinya yang unik, pertama secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan
adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat,
serta perbedaan kedaerahan, dan kedua secara vertikal ditandai oleh adanya
perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup
tajam.3

Bhinneka Tunggal Ika sebagai kunci dan pemersatu keragaman bangsa


Indonesia merupakan ciri persatuan bangsa Indonesia sebagai negara multikultur.
“lahirnya Sesanti Bhineka Tunggal Ika, berangkat dari kesadaran adanya
kemajemukan tersebut. Bahkan kesadaran perlu adanya persatuan dari keragaman

1
Kusumohamidjojo, B., Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia: Suatu Problematik Filsafat
Kebudayaan (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 45.
2
Nasikun., Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada 2007),hlm.33.
3
Gina Lestari dari jurnal binnekha tunggal ika: khasanah multikultural di tengah kehidupan
sara (Yogyakarta: 2015), hlm 1. file:///C:/Users/user/Downloads/5437-4573-1-PB%20(4).pdf
4

itu terkristalisasi kedalam ‘Soempah Pemoeda’ 4


tahun 1928 dengan
keIndonesiaannya yang sangat kokoh”. 5
Untuk memahami konsep Bhinneka
Tunggal Ika yang tercetus pada Kongres Sumpah Pemuda, penting kiranya
penulis memaparkan konsep Bhinneka Tunggal Ika terlebih dahulu.

Perkembangan teknologi komunikasi yang pesat, telah membawa perubahan


yang signifikan bagi masyarakat dalam berbagai aspek. Melalui teknologi
komunikasi yang baru, 4 juga melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai
media baru (new media). McQuail secara tegas menyatakan bahwa media baru
telah mengubah dan memperluas seluruh spektrum sosio-teknologi dalam
komunikasi publik. McQuail menekankan pemahaman mengenai ‘media baru’
dari ‘media tradisional’, dengan ciri utamanya berupa adanya digitalisasi dan
keluasaan akses informasi bagi pengguna pribadi. Oleh karena itu, McQuail
merujuk ‘media baru’ pada penggunaan internet yang berkaitan dengan
penggunaan publik, seperti berita daring, iklan, aplikasi penyiaran, forum dan
aktivitas diskusi, world wide web (www), pencarian informasi dan potensi adanya
pembentukan komunitas tertentu. new media sebagai media yang berbasis pada
internet, media online berbasis teknologi, berkarakter fleksibel, berpotensi
interaktif, serta dapat berfungsi secara privat maupun secara publik.6

Selanjutnya, McQuail juga menyatakan sejatinya sifat dari media baru merupakan
hal yang baru, karena media baru mengaburkan batasan antara model media cetak
dan model penyiaran, sehingga memungkinkan terjadinya percakapan dengan
melibatkan banyak pihak; memungkinkan adanya penerimaan, pengiriman dan

4
Isi Sumpah Pemuda:

“Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami Putra dan
Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”.

5
Sujanto.,Pemahaman Kembali Makna Bhineka Tunggal Ika (Persaudaraan dalam kemajemukan
(Jakarta: Sagung Seto 2009),hlm.4.
6
Mondry., Pemahaman Teori dan Praktek Jurnalistik (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia 2008),
hlm.13.
5

penyebaran kembali objek-objek budaya; memindahkan posisi tindakan


komunikasi dengan mengabaikan persoalan negara dan wilayah; serta
menyediakan kontak global dengan mudah.7

Penggunaan teknologi internet yang massif ini, perlahan menggeser perilaku


masyarakat, khususnya dalam berkomunikasi dengan orang lain atau publik.8
Kegiatan yang bersifat publik seperti isu kebhinekaan (politik, suku, agama
ataupun keyakinan, bisa disampaikan melalui media sosial dan messenger.

, Denis McQuail ., McQuail’s Mass Communication Theory (Sixth Edition) (Thousand Oaks,
7

California: SAGE Publications Inc 2008), hlm. 136-138.


8
Elihu Katz.,Ownership, Technology, Content and Context in The Continuing Search for Media
Effects. Dalam ‘Communication year Book 35,’ Charles T. Salmon (Ed.), (New York and London:
Routledge.2001),hlm.6.
6

B. Pembahasan

Negara Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia, hal
ini dapat terlihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang
begitu kompleks, beragam, dan luas. “Indonesia terdiri atas sejumlah besar
kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain yang masingmasing plural (jamak)
dan sekaligus juga heterogen “aneka ragam”9

Pluralitas dan heterogenitas yang tercermin pada masyarakat Indonesia diikat


dalam prinsip persatuan dan kesatuan bangsa yang kita kenal dengan semboyan
“Bhinneka Tunggal Ika”, yang mengandung makna meskipun Indonesia
berbhinneka, tetapi terintegrasi dalam kesatuan. Hal ini merupakan sebuah
keunikan tersendiri bagi bangsa Indonesia yang bersatu dalam suatu kekuatan dan
kerukunan beragama, berbangsa dan bernegara yang harus diinsafi secara sadar.
Namun, kemajemukan terkadang membawa berbagai persoalan dan potensi
konflik yang berujung pada perpecahan. Hal ini menggambarkan bahwa pada
dasarnya, tidak mudah mempersatukan suatu keragaman tanpa didukung oleh
kesadaran masyarakat multikultural.Terlebih, kondisi masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang paling majemuk di dunia, selain Amerika Serikat dan
India. Sejalan dengan hal tersebut, Geertz mengemukakan bahwa Indonesia ini
sedemikian kompleksnya, sehingga sulit melukiskan anatominya secara persis.
Negeri ini bukan hanya multietnis (Jawa, Batak, Bugis, Aceh, Flores, Bali, dan
seterusnya), melainkan juga menjadi arena pengaruh multimental (India, Cina,
Belanda, Portugis, Hindhuisme, Buddhisme, Konfusianisme, Islam, Kristen,
Kapitalis, dan seterusnya).10

9
Kusumohamidjojo, B., Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia: Suatu Problematik Filsafat
Kebudayaan (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 45.
10
Hardiman, F. B., Belajar dari Politik Multikulturalisme. Pengantar dalam Kimlicka. .
Kewargaan Multikultur: Teori Liberal Mengenal Hal-Hak Minoritas. Terjemahan oleh Edlina
Efmini Eddin dari Jurnal Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority (Jakarta:
LP3ES.2002), hlm. 4.
7

Indonesia adalah suatu negara multikultural yang memiliki keragaman


budaya, ras, suku, agama dan golongan yang kesemuanya merupakan kekayaan
tak ternilai yang dimiliki bangsa Indonesia. mengemukakan bahwa pada waktu
disiapkannya Republik Indonesia yang didasarkan atas Pancasila tampaknya para
pemimpin kita menyadari realitas bahwa ditanah air kita ada aneka ragam
kebudayaan yang masing-masing terwadahkan di dalam suatu suku. Realitas ini
tidak dapat diabaikan dan secara rasional harus diakui adanya. Founding Father
bangsa menyadari bahwa keragaman yang dimiliki bangsa merupakan realitas
yang harus dijaga eksistensinya dalam persatuan dan kesatuan bangsa. Keragaman
merupakan suatu kewajaran sejauh disadari dan dihayati keberadaannya sebagai
sesuatu yang harus disikapi dengan toleransi. Kemajemukan ini tumbuh dan
berkembang ratusan tahun lamanya sebagai warisan dari nenek moyang bangsa
Indonesia.memaparkan bahwa:Pluralisme kultural di Asia Tenggara, khususnya
Indonesia, Malaysia, dan Singapura sangatlah mencolok, terdapat hanya beberapa
wilayah lain di dunia yang memiliki pluralisme kultural seperti itu. Karena itulah
dalam teori politik Barat dasawarsa 1930-an dan 1940-an, wilayah ini, khususnya
Indonesia dipandang sebagai “lokus klasik” bagi konsep masyarakat majemuk/
plural (plural society) yang diperkenalkan ke dunia Barat oleh JS Furnivall.11

“multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya


sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat”.12 Kearifan akan
tumbuh jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan
melihat realitas plural sebagai kepastian hidup yang kodrati .Kearifan dapat
tumbuh baik dalam kehidupan diri sebagai individu yang multidimensional
maupun dalam kehidupan masyarakat yang lebih kompleks. Dengan demikian,
muncul suatu kesadaran bahwa keanekaragaman dalam realitas dinamika
kehidupan adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak, diingkari, apalagi
dimusnahkan.

11
Mahfud, C., Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 83.
12
Ibid., hlm. 103.
8

Ditegah arus media digital yang demikian masif kebhinekaan yang menjadi
identitas bangsa indonesia mendapat ancaman serius. Ancaman itu berupa
meningkatnya eskalasi dan provokasi yang disebar secara masif melalui media
sosial. Revolusi teknologi dan mudahnya akses media sosial, ternyata menyimpan
ruang gelap berupa kebencian dan isu isu negatif yang ditembuskan kelompok
radikal

Betapa, kericuhan antarpersonal kemudin merebak menjadi jurang


komunikasi antar kelompok etnis-agama provokasi melalui media sosial
memperluas ruang kosong (Gap) antarkelompok yang bertambah parah karna
miskinnya kebenaran informasi. Jaraj untuk merenungi kesadaran dan kecerdasan
spesieal warga negri ini, terganti dengan amarah, kepicikan dan kegaduhan
merespon situasi. Ironisnya, informasi dari satu pihak yang digelontor masif
melalui kanal media sosial dianggap sebagai kebenaran oleh sebagian pihak.
Padahal informasi itu merupakan `Kebenaran Semu’.

Konflik bernuansa SARA akhir-akhir ini banyak terjadi di beberapa daerah di


Indonesia. Kebanyakan kasus yang terjadi dipicu oleh tindakan seorang atau
kelompok tertentu yang intoleran yang kemudian dibawa pada kelompoknya yang
lebih luas dengan mengatasnamakan latar belakang ras, suku, agama, dan budaya.

Seperti Ujaran rasis dan persekusi terhadap mahasiswa Papua


di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019 lalu menjadi pemicu aksi demontrasi
yang berujung kerusuhan di Papua. Yang bermula dari unggah komentar di grup
WhatsApp yang bernada ujaran kebencian dan berita bohong atau hoaks.
Informasi tidak benar tersebut disebarkan Tri dalam rangkaian aksi protes
perusakan bendera di depan asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Nomor
10, Surabaya, Jawa Timur. pada 15 Agustus 2019, Tri Susanti mengunggah
pengumuman dalam sebuah grup WhatsApp berisi kata-kata, "Karena ada
kemungkinan masalah bendera di depan Asrama Kalasan akan dibuat besar,
digoreng oleh mereka bila butuh perhatian internasional. Semoga hanya dendam
coklat saja, masalah penahanan mahasiswa di Polda Papua". Selanjutnya, pada
9

16 Agustus 2019, Tri Susanti mengunggah gambar di grup WhatsApp Info KB


FKPPI. Tri Susanti mengatakan, "Bendera merah putih dibuang ke selokan oleh
kelompok separatis di Surabaya pada Jumat 16 Agustus 2019, pukul 13.30 WIB,
tepatnya di depan asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Surabaya".
Kemudian, pada 17 Agustus 2019, di grup WhatsApp yang sama, Tri
Susanti kembali menulis komentar, "Mohon perhatian urgent, kami butuh
bantuan massa, karena anak Papua akan melakukan perlawanan dan telah siap
dengan senjata tajam dan panah. PENTING PENTING PENTING". Selanjutnya,
dalam aksi pada 17 Agustus 2019, muncul ujaran-ujaran rasial yang disebut
memicu aksi kerusuhan di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat.13

Dalam hukum yang berlaku tindakan intoleran dapat berupa “ujaran


kebencian” (Hate Speech) dan sudah termuat dalam KUHP, pasal 156-157.
Beberapa UU dan peraturan juga dapat dijadikan landasan untuk mempidanakan
“ujaran kebencian” seperti UU No. 11 Tahun 2008 Pasal 28 ayat (1) “Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik” dan ayat (2) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”14. UU No 40 Tahun 2008, Pasal 4
Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa : a. memperlakukan pembedaan,
pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang
mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau
pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di
bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau b. menunjukkan kebencian

13
Daryono “Terbaru Kasus Rasisme Mahasiswa Papua di Surabaya: Peran Tri Susanti yang
Membuatnya Jadi Tersangka”
https://www.tribunnews.com/regional/2019/08/29/terbaru-kasus-rasisme-mahasiswa-papua-di-sura
baya-peran-tri-susanti-yang-membuatnya-jadi-tersangka?, hlm. 2-3 (diakses pada 14 Oktober 2019,
pukul 23.42).
14
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
10

atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa
perbuatan: 1. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau
disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca
oleh orang lain; 2. berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan katakata tertentu
di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain; 3.
mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat
umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau 4. melakukan
perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul,
pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan
diskriminasi ras dan etnis.15 ; UU N0. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik
Sosial; serta Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan
Konflik Sosial.16

Salah satu perkembangan tercanggih dalam ujaran kebencian sampai


terorisme adalah kampanye, propaganda oleh provokator isu SARA dan jaringan
teroris melaui internet dan media sosial. Pemerintah menggunakan UU No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk melakukan
penyaringan, memblokir dan counter propaganda atas penyebaran ide radikal dan
terorisme melalui dunia maya sebagai dasar pemidanaan dan memblokir pemilik
blog dan akun yang mendukung terorisme. Untuk mengcounter pemahaman
radikalisme Kementerian Komunikasi dan Informasi telah bekerja sama dengan
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme serta tokoh-tokoh agama.

Barangkali media sosial berjasa besar sebagai penyambung komunikasi antar


kelompok yang secara fisik dan geografis berkejauhan, bahkan hingga ribuan
kilometer. Teknologi internet dan akses mudah media sosial melipat jarak secara
fleksible, dengan pesaan teks, audio, dan audio-visual yang makin canggih.
Namun disisi lain ruang gelap internet dan sisi negatif manjadi tantangan nyata:

15
UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis

16 Eko Sulistyo “Negara dan Kebhinnekaan” http://ksp.go.id/negara-dan-kebhinekaan/ (diakses


pada 15 Oktober 2019, pukul 00.39).
11

provokasi, kebencian, yang disertai dengan merebaknya ajakan ajakan dari


kelompok radikal untuk bergabung dalam jaringan. Gelombang kebencian
menjadi tantangan untuk menguatkan kebhinekaan kita, menjernihkan pandangan
tentang nilai nilai Pancasila.

Lalu, bagaimana memaknai nilai nilai pancasila di tengah gelombang


kebencian? Bagaimana menjernihkan makna ideologi bangsa, di tengah zamana
digital dewasa ini? Tentu, yang harus dilakukan adalah menjadi bagian dari
penebar nilai, penyulut cahaya kecil, dan penjaga lilin ditengah gelap.17

Internet dan media sosila sejatinya merupakan alat untuk mempermudah


komunikasi. Justru dengan menempatkannya sebagai alat, kita dengan sadar tidak
lantas menajadikannya sebagi tuuan. Sebagi alat, sudah semestinya internet
digunakan untuk menebarkan nilai niai kebaikan, membangun infrastruktur
peradaban, menebar konten konten yang menginspirasi. Dengan menjadikan alat,
tentu ada tujuan yang lebih lanjut yang ingin digapai, yakni mencerdaskan publik.
Dalam istilahnya, internet dan teknologi digital merupakan wasilah (alat cara),
bukan merupakan ghunyah (tujuan).

Jika alat ini digunakan secara negatif oleh kelompok tertentu, kita tentu tidak
mempercayai sepenuhnya. Kebermanfaatan alat, bergantung orang yang
menggunakannya. Jika digunakan sebagai peranti kebeikan maka yang dihasilkan
adalah kemaslahatan. Sebaliknya, bencana akan muncul jika digunakan
sebaliknya. Maka yang dibutuhkan adalah kesadaran menggunakan alat secara
cerdas, secara kritis. Dengan demikian, informasi apa pun yang diakses dari media
sosial, harus dilacak ulang sumbernya, kreatornya, hingga kebenaran
informasinya.

Untuk itu, perlu ada nalar dan kebijaksanaan dalam menggunakan media
sosial. Manusia indonesia perlu kembali pada karakter aslinya, menjernihkan
kembali nilai nilai dasarnya. Merenungi nilai nilai luhur pancasila ditengah era
17
Munawir Aziz, Merawat Kebinekaan: Pancasila, Agama, dan Renungan Perdamaia (Jakarta:
Elex Media Komputindo, 2017), hlm. 196.
12

kebencian, tentu saja membutuhkan konsistensi, energi dan dukungan. Namun,


jika tidak ada perumusan dan penafsiran kekinian atas nilai nilai pancasila, maka
generasi generasi bangsa ini akan kehilangan falsafah hidupnya, akan kehilangan
ideologi dasarnya.

Padahal, sejatinya pancasila yang diidealkan oleh pendiri bangsa, merupakan


rumusan nilai nilai kunci untuk membangun kebhinekaan, menyuburkan toleransi.
Hal ini, tercermin dari rekaman perdebatan yang terjadi pada tangkal 29 dan 30
Mei 1945 pada detik detik menjelang peneguhan pancasila.

Pokok pokok moralitas dan haluan kebangsaan kenegaraan menurut alam


Pancasila sebagai berikut: Pertama; munurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai
ketuhanan (religiusitas) sebagai sumber etika dan spiritualitas dianggap penting
sebagai fundamentaletika kehidupan bangsa. Kedua; menurut alam pemikiran
Pancasila, nilai nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan,
hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia (yang bersifat horizontal) dianggap
penting sebagai fundamental etika politik kehidupan bernegara dalam pergaulan
dunia. Landasan etika sebagai prasarat persaudaraan universal ini adalah adil dan
beradab. Ketiga; menurut alam pemikiran Pancasila, aktualisasi nilai-nilai etis
kemanusiaan itu terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan
kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia yang lebih
jauh. menurut alam pemikiran Pancasila, Persatuan dari kebhinnekaan masyarakat
Indonesia dikelola berdasarkan konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan
persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan yang dalam slogan
negara dinyatakan dalam ungkapan Bhinneka Tunggal Ika.Keempat; menurut
alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan dan cita-cita

kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan


rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan. Kelima; menurut alam pemikiran Pancasila, dalam visi keadilan
sosial menurut Pancasila yang dikehendaki adalah keseimbangan antara
pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, keseimbangan antara peran manusia
13

sebagai mahluk individu, mahluk sosial, juga keseimbangan atara pemenuhan hak
sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya. 18 kelima nilai tersebut
didasarkan pada alam pemikiran pancasila, yang didasarkan perdebatan panjang
pendiri bangsa ketika menyelenggarakan sidang BPUPKI di akhir mei 1945.

Kesadaran akan perbedaan harus disikapi seperti tubuh manusia yang ketika
salah satu bagiannya sakit yang lainnya akan ikut merasakan. Sebagaimana
dikemukakan oleh Richard Falk yang memandang bahwa “keragaman
masyarakat meningkatkan mutu hidup, dengan memperkaya pengalaman kita,
memperluas sumber daya budaya”.19 Sejalan dengan hal tersebut, “Bagi Bung
Karno keragaman etnis masyarakat Indonesia adalah suatu given. Hal ini bisa
dimengerti karena ia sangat dipengaruhi oleh semangat Sumpah Pemuda, yang
dengan ikrar itu menyatakan persatuan masyarakat Indonesia”. 20 Keragaman
sebagai given (pemberian) yang dapat bermakna bahwa keragaman merupakan
rahmat yang diberikan Tuhan kepada bangsa Indonesia untuk dijadikan sebagai
modal yang oleh Falk dianggap sebagai sarana untuk meningkatkan mutu hidup.

Sinyal ancaman terhadap kebhinekaan Indonesia sudah semakin nyata. Hal


itu terlihat dari data Badan Pusat Status (BPS) mencatat bahwa Indeks Demokrasi
Indonesia pada tahun 2018 masih berada pada kategori sedang, yakni di angka
72,39--naik 0,28 poin dibandingkan tahun 2017. Namun, jika dilihat dari tiga
aspek yang menopangnya, kenaikan hanya terjadi pada aspek lembaga demokrasi.
Tahun lalu, indeks aspek lembaga demokrasi berada di posisi 75,25 atau naik 2,76
poin dibandingkan 72,49 pada tahun 2017. Sementara dua aspek lainnya, yakni
aspek kebebasan hak sipil dan aspek hak-hak politik, mengalami penurunan pada
tahun 2018. Indeks aspek kebebasan sipil turun 0,29 poin dari 78,75 di tahun 2017

18
Yudi Latif, Pancasila dasar dan Haluan Negara, Makalah dalam Lokakarya Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Jakarta: MPR RI,2011).hlm.17.t.d.
19
Kymlicka, Will, Kewargaan Multikultural (Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia,2002), hlm
183.
20
Tan, M. G, Etnis Tionghoa di Indonesia (Kumpulan tulisan) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008), hlm 44.
14

ke 78,46 di tahun lalu. Aspek hak-hak politik berada pada angka 65,79--turun 0,84
poin dibandingkan tahun sebelumnya. penurunan pada indeks kebebasan sipil
terutama disebabkan oleh penurunan pada variabel kebebasan berkeyakinan
sebesar 1,42 poin dari 84,28 di tahun 2017 menjadi 82,86 pada tahun
2018. 21 Indeks kebebasan sipil yang menyangkut kebebasan berkumpul dan
berserikat; kebebasan berpendapat; kebebasan berkeyakinan; dan kebebasan dari
diskriminasi. Jangan sampai sosial media semakin mempercepat laju penurunan
itu karena kegagalan kita merangi ujaran kebencian. Bila sampai gagal maka
betapa bersalahnya kita pada mereka yang telah bersusah payah merawat
kebhinekaan Indonesia selama 71 tahun.

21
Hendra Friana "Indeks Kebebasan Sipil dan Hak-Hak Politik Turun Tahun
2018", https://tirto.id/efeZ (diakses pada 15 Oktober 2019 pukul 02.19)
15

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Keragaman dalam masyarakat majemuk merupakan sesuatu yang alami yang


harus dipandang sebagai suatu fitrah. Bhinneka Tunggal Ika memiliki peran yang
sangat penting. Pengembangan multikulturalisme mutlak harus dibentuk dan
ditanamkan dalam suatu kehidupan masyarakat yang majemuk agar kemajemukan
tidak membawa pada perpecahan dan konflik. Indonesia sebagai bangsa yang
multikultural harus mengembangkan wawasan multikultural tersebut dalam semua
tatanan kehidupan yang bernafaskan nilainilai kebhinekaan. Setiap anak bangsa
seharusnya melihat keberagaman bukan sebagai masalah, tetapi sebagai modal
untuk memajukan bangsa. Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh kita, tentunya
dengan menahan diri atau tidak mudah tersulut emosi, dengan cara memposting
hal-hal yang bernada persatuan/positif di media sosial, lalu juga memberikan
kesempatan bagi setiap anak bangsa untuk menjadi pemimpin, dengan tidak
melihat latar belakang agama ataupun suku dari calon pemimpin tersebut. Setiap
anak bangsa seharusnya berpikiran luas dan jauh ke depan, demi persatuan dan
kemajuan bangsa Indonesia.

B. Saran

Menurut pendapat kami, kehadiran media sosial bukan menjadi bencana bagi
tegaknya harmoni antar sesama bangsa, melainkan bisa menjadi berkah yang
membawa kemaslahatan bagi setiap orang. Sudah saatnya, pemikiran untuk
menyuburkan api permusuhan dengan cara menyebarkan fitnah dan perilaku rasis
tidak lagi menjadi tontonan yang memalukan di tengah iklim demokrasi yang
sudah hampir matang. Media sosial harus dimanfaatkan untuk tujuan membangun
budaya damai, saling menghormati, hidup berdampingan (koeksistensi), dan
bertindak aktif tanpa kekerasan (active non-violence) yang mencerminkan diri
sebagai bangsa yang luhur dan bermoral.

Anda mungkin juga menyukai