BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan atau moto dari bangsa Indonesia.
Bhinneka Tunggal Ika berasal dari kutipan Kitab Sutasoma, yang ditulis oleh Mpu
Tantular pada masa Kerajaan Majapahit, yang mengajarkan sifat toleransi antar
umat. Bila diartikan secara harfiah, frasa ini bermakna ‘berbeda-beda tetapi tetap
satu juga,’semboyan ini dipakai untuk menggambarkan adanya persatuan dan
kesatuan dari bangsa Indonesia, yang sejatinya memiliki keanekaragaman budaya,
bahasa daerah, ras, suku, agama dan keyakinan. Keberagaman ini merupakan
kekayaan yang seharusnya patut menjadi kebanggaan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Namun, potensi kebanggaan tersebut bisa menjadi tidak bermakna,
ketika kebhinekaan yang ada, tidak dipahami sepenuhnya serta tidak menjadi
bagian hidup dari setiap diri anak bangsa, sehingga rasa nasionalismenya lama
kelamaan dapat tergerus.
dan bertindak atas nama kepentingan kelompok yang mengarah pada konflik
SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).
Media sosial pada hakikatnya hadir untuk menyebarkan virus kebaikan, tapi
faktanya yang terjadi malah sebaliknya. Berbagai status di media sosial seringkali
tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur dan keadaban bangsa. Pernyataan negatif di
media sosial yang bernada intoleran dan diskriminasi seolah tidak pernah berhenti
mewarnai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Media sosial seolah
menjadi virus yang mematikan bagi terpeliharanya harmoni toleransi di Indonesia,
yang semestinya menjadi instrumen untuk merayakan keberagaman (celebrate
diversity) dengan penuh suka cita dan kebahagiaan.
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Pustaka
Negara Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia, hal
ini dapat terlihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang
begitu kompleks, beragam, dan luas. “Indonesia terdiri atas sejumlah besar
kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain yang masingmasing plural (jamak)
dan sekaligus juga heterogen “aneka ragam”.1 Sebagai negara yang plural dan
heterogen, Indonesia memiliki potensi kekayaan multi etnis, multi kultur, dan
multi agama yang kesemuanya merupakan potensi untuk membangun negara
multikultur yang besar “multikultural nationstate”. Keragaman masyarakat
multikultural sebagai kekayaan bangsa di sisi lain sangat rawan memicu konflik
dan perpecahan.2 kemajemukan masyarakat Indonesia paling tidak dapat dilihat
dari dua cirinya yang unik, pertama secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan
adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat,
serta perbedaan kedaerahan, dan kedua secara vertikal ditandai oleh adanya
perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup
tajam.3
1
Kusumohamidjojo, B., Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia: Suatu Problematik Filsafat
Kebudayaan (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 45.
2
Nasikun., Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada 2007),hlm.33.
3
Gina Lestari dari jurnal binnekha tunggal ika: khasanah multikultural di tengah kehidupan
sara (Yogyakarta: 2015), hlm 1. file:///C:/Users/user/Downloads/5437-4573-1-PB%20(4).pdf
4
Selanjutnya, McQuail juga menyatakan sejatinya sifat dari media baru merupakan
hal yang baru, karena media baru mengaburkan batasan antara model media cetak
dan model penyiaran, sehingga memungkinkan terjadinya percakapan dengan
melibatkan banyak pihak; memungkinkan adanya penerimaan, pengiriman dan
4
Isi Sumpah Pemuda:
“Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami Putra dan
Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”.
5
Sujanto.,Pemahaman Kembali Makna Bhineka Tunggal Ika (Persaudaraan dalam kemajemukan
(Jakarta: Sagung Seto 2009),hlm.4.
6
Mondry., Pemahaman Teori dan Praktek Jurnalistik (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia 2008),
hlm.13.
5
, Denis McQuail ., McQuail’s Mass Communication Theory (Sixth Edition) (Thousand Oaks,
7
B. Pembahasan
Negara Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia, hal
ini dapat terlihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang
begitu kompleks, beragam, dan luas. “Indonesia terdiri atas sejumlah besar
kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain yang masingmasing plural (jamak)
dan sekaligus juga heterogen “aneka ragam”9
9
Kusumohamidjojo, B., Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia: Suatu Problematik Filsafat
Kebudayaan (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 45.
10
Hardiman, F. B., Belajar dari Politik Multikulturalisme. Pengantar dalam Kimlicka. .
Kewargaan Multikultur: Teori Liberal Mengenal Hal-Hak Minoritas. Terjemahan oleh Edlina
Efmini Eddin dari Jurnal Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority (Jakarta:
LP3ES.2002), hlm. 4.
7
11
Mahfud, C., Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 83.
12
Ibid., hlm. 103.
8
Ditegah arus media digital yang demikian masif kebhinekaan yang menjadi
identitas bangsa indonesia mendapat ancaman serius. Ancaman itu berupa
meningkatnya eskalasi dan provokasi yang disebar secara masif melalui media
sosial. Revolusi teknologi dan mudahnya akses media sosial, ternyata menyimpan
ruang gelap berupa kebencian dan isu isu negatif yang ditembuskan kelompok
radikal
13
Daryono “Terbaru Kasus Rasisme Mahasiswa Papua di Surabaya: Peran Tri Susanti yang
Membuatnya Jadi Tersangka”
https://www.tribunnews.com/regional/2019/08/29/terbaru-kasus-rasisme-mahasiswa-papua-di-sura
baya-peran-tri-susanti-yang-membuatnya-jadi-tersangka?, hlm. 2-3 (diakses pada 14 Oktober 2019,
pukul 23.42).
14
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
10
atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa
perbuatan: 1. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau
disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca
oleh orang lain; 2. berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan katakata tertentu
di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain; 3.
mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat
umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau 4. melakukan
perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul,
pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan
diskriminasi ras dan etnis.15 ; UU N0. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik
Sosial; serta Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan
Konflik Sosial.16
15
UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
Jika alat ini digunakan secara negatif oleh kelompok tertentu, kita tentu tidak
mempercayai sepenuhnya. Kebermanfaatan alat, bergantung orang yang
menggunakannya. Jika digunakan sebagai peranti kebeikan maka yang dihasilkan
adalah kemaslahatan. Sebaliknya, bencana akan muncul jika digunakan
sebaliknya. Maka yang dibutuhkan adalah kesadaran menggunakan alat secara
cerdas, secara kritis. Dengan demikian, informasi apa pun yang diakses dari media
sosial, harus dilacak ulang sumbernya, kreatornya, hingga kebenaran
informasinya.
Untuk itu, perlu ada nalar dan kebijaksanaan dalam menggunakan media
sosial. Manusia indonesia perlu kembali pada karakter aslinya, menjernihkan
kembali nilai nilai dasarnya. Merenungi nilai nilai luhur pancasila ditengah era
17
Munawir Aziz, Merawat Kebinekaan: Pancasila, Agama, dan Renungan Perdamaia (Jakarta:
Elex Media Komputindo, 2017), hlm. 196.
12
sebagai mahluk individu, mahluk sosial, juga keseimbangan atara pemenuhan hak
sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya. 18 kelima nilai tersebut
didasarkan pada alam pemikiran pancasila, yang didasarkan perdebatan panjang
pendiri bangsa ketika menyelenggarakan sidang BPUPKI di akhir mei 1945.
Kesadaran akan perbedaan harus disikapi seperti tubuh manusia yang ketika
salah satu bagiannya sakit yang lainnya akan ikut merasakan. Sebagaimana
dikemukakan oleh Richard Falk yang memandang bahwa “keragaman
masyarakat meningkatkan mutu hidup, dengan memperkaya pengalaman kita,
memperluas sumber daya budaya”.19 Sejalan dengan hal tersebut, “Bagi Bung
Karno keragaman etnis masyarakat Indonesia adalah suatu given. Hal ini bisa
dimengerti karena ia sangat dipengaruhi oleh semangat Sumpah Pemuda, yang
dengan ikrar itu menyatakan persatuan masyarakat Indonesia”. 20 Keragaman
sebagai given (pemberian) yang dapat bermakna bahwa keragaman merupakan
rahmat yang diberikan Tuhan kepada bangsa Indonesia untuk dijadikan sebagai
modal yang oleh Falk dianggap sebagai sarana untuk meningkatkan mutu hidup.
18
Yudi Latif, Pancasila dasar dan Haluan Negara, Makalah dalam Lokakarya Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Jakarta: MPR RI,2011).hlm.17.t.d.
19
Kymlicka, Will, Kewargaan Multikultural (Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia,2002), hlm
183.
20
Tan, M. G, Etnis Tionghoa di Indonesia (Kumpulan tulisan) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008), hlm 44.
14
ke 78,46 di tahun lalu. Aspek hak-hak politik berada pada angka 65,79--turun 0,84
poin dibandingkan tahun sebelumnya. penurunan pada indeks kebebasan sipil
terutama disebabkan oleh penurunan pada variabel kebebasan berkeyakinan
sebesar 1,42 poin dari 84,28 di tahun 2017 menjadi 82,86 pada tahun
2018. 21 Indeks kebebasan sipil yang menyangkut kebebasan berkumpul dan
berserikat; kebebasan berpendapat; kebebasan berkeyakinan; dan kebebasan dari
diskriminasi. Jangan sampai sosial media semakin mempercepat laju penurunan
itu karena kegagalan kita merangi ujaran kebencian. Bila sampai gagal maka
betapa bersalahnya kita pada mereka yang telah bersusah payah merawat
kebhinekaan Indonesia selama 71 tahun.
21
Hendra Friana "Indeks Kebebasan Sipil dan Hak-Hak Politik Turun Tahun
2018", https://tirto.id/efeZ (diakses pada 15 Oktober 2019 pukul 02.19)
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Menurut pendapat kami, kehadiran media sosial bukan menjadi bencana bagi
tegaknya harmoni antar sesama bangsa, melainkan bisa menjadi berkah yang
membawa kemaslahatan bagi setiap orang. Sudah saatnya, pemikiran untuk
menyuburkan api permusuhan dengan cara menyebarkan fitnah dan perilaku rasis
tidak lagi menjadi tontonan yang memalukan di tengah iklim demokrasi yang
sudah hampir matang. Media sosial harus dimanfaatkan untuk tujuan membangun
budaya damai, saling menghormati, hidup berdampingan (koeksistensi), dan
bertindak aktif tanpa kekerasan (active non-violence) yang mencerminkan diri
sebagai bangsa yang luhur dan bermoral.