Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG
Antroposentrisme merupakan suatu etika yang memandang manusia
sebagai pusat dari sistem alam semesta. Di dalam antroposentrisme, etika, nilai
dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia, dan bahwa kebutuhan dan
kepentingan manusia mempunyai nilai paling tinggi dan paling penting diantara
mahkluk hidup lainnya. Manusia dan kepentingannya dianggap paling
menentukan tatanan kehidupan beserta ekosistem di dalamnya yang menjadikan
kehidupan ini hanya didasarkan pada rasionalitas berpikir manusia semata.
Keterpisahan manusia terhadap alamnya tidak dapat disangkal ketika gaya
hidup modern semakin tidak terpisahkan dari tuntutan zaman. Gaya hidup modern
yang erat dengan rasionalitas dan penggunaan teknologi yang membantu
kehidupan manusia. Teknologi merupakan solusi dari masalah sosial atau fisik
yang dapat muncul dalam masyarakat (Kilbourne & Carlson, 2008).
Akan menjadi sebuah keresahan apabila antroposentrisme terus dijadikan
pedoman dalam tatanan kehidupan karena berdampak buruk secara jangka pendek
sekaligus jangka pangjang bagi keutuhan ekosistem seperti yang dinyatakan oleh
Lidskog & Waterton (2016) bahwa “Antroposentris menjadi narasi dalam
mengamati bagaimana manusia membentuk eksosistem dan juga menimbulkan
acaman bagi ekosistem”.
Bertumpu pada antroposentrisme akan menempatkan derap ekonomisasi
sumber daya alam pada eksploitasi dimana alam diperas sumber dayanya sebagai
pemenuhan kebutuhan manusia yang bilamana ini terus berlangsung akan
berdampak buruk pada kehidupan manusia dan kelangsungan ekosistem itu
sendiri. Murdy dalam Keraf (2005) menyatakan bahwa yang menjadi masalah
bukanlah kecenderungan antroposentris pada diri manusia yang memperalat alam
semesta untuk kepentingannya. Tetapi masalah dan sumber malapetaka krisis
lingkungan hidup adalah tujuan-tujuan tidak pantas dan berlebihan yang dikejar
oleh manusia di luar batas toleransi ekosistem itu sendiri. Akhirnya dengan

1
demikian manusia bunuh diri. Krisis lingkungan hidup bukan disebabkan oleh
pendekatan antroposentris semata, tetapi melainkan oleh pendekatan
antroposentrisme yang berlebihan.
Untuk mengimbangi pandangan terhadap kedudukan manusia, terdapat
etika kehidupan lain yaitu biosentrisme dan ekosentrisme. Biosentrisme,
merupakan suatu paradigma yang memandang bahwa setiap kehidupan dan
mahkluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri, sehingga
pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Konsekuensinya, alam
semesta adalah sebuah komunitas moral, setiap kehidupan dalam alam semesta
ini, baik manusia maupun bukan manusia atau mahkluk lain, sama-sama
mempunyai nilai moral. Seluruh kehidupan di alam semesta sesungguhnya
membentuk sebuah komunitas moral. Oleh karena itu, kehidupan mahkluk hidup
apa pun pantas dipertimbangkan secara serius dalam setiap keputusan dan
tindakan moral, bahkan lepas dari perhitungan untung dan rugi bagi kepentingan
manusia.
Ekosentrisme, merupakan suatu paradigma yang lebih jauh jangkauannya.
Pada ekosentrisme, justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis,
baik yang hidup maupun yang tidak hidup. Secara ekologis, mahkluk hidup dan
benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sam alain. Oleh karena itu,
kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada mahkluk hidup.
Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua
realitas ekologis.
Biosentrisme dan ekosentrisme, memandang manusia tidak hanya sebagai
makhluk sosial (zoon politikon). Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai
makhluk biologis, makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek
yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan
dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai
intrinsik semua makhluk dan memandang manusia tak lebih dari salah satu bagian
dalam jaringan kehidupan.
Pandangan ekosentrisme, biosentrisme maupun antroposentrisme adalah
paradigma, dan istilah paradigma digunakan pertama kali oleh para ilmuwan
dalam memberikan asumsiasumsi intelektual dasar mengenai pokok permasalahan

2
yang dihadapi. Pertanyaan mendasar yang kemudian muncul melihat fenomena
kerusakan lingkungan diberbagai daerah, apakah pandangan hidup/ yang
selanjutnya kita namakan paradigma itu bisa menentukan sikap dan perilaku
manusia dan apakah paradigma itu bisa berubah? Dari pandangan dan kajian para
ahli ditemukan bahwa paradigma itu memang bisa berubah, karena dalam
kenyatan hidup perubahan itulah yang abadi.
Ekosentrisme mematahkan kedudukan manusia yang dianggap sebagai
sumber perubahan kehidupan yang lebih mementingkan aspek ekonomis daripada
kelangsungan biosme dan ekosistem. Hal tersebut lah merangsang eksploitasi
besar-besaran terhadap potensi Sumber Daya Alam dengan tidak memperhatikan
masalah polusi terlebih lagi kerusakan permanen pada alam. Dalam ajaran Agama
Hindu, umat dikenalkan dengan konsep pelestarian alam semesta yang disebut
dengan Sad Kertih yang terdiri dari Atman Kertih, Samudra Kertih, Wana Kertih,
Danu Kertih, Jagat Kertih dan Jana Kertih. Konsep inilah yang menjadi visi misi
Pemerintah Bali pada saat ini.
Selain pelestarian hutan (wana), bumi; tanah dan sawah (jagat) ada dua
unsur air yakni samudra dan danu yang menjadi konsep ekosentrisme umat Hindu
yang eksistensinya harus dilestarikan untuk mencapai keharmonisan alam
semesta. Laut dan danau merupakan elemen vital bagi umat Hindu yang
melambangkan makna kesucian, keseimbangan dan penyatuan bagi umat Hindu.
Air adalah elemen terbesar dari bumi yang mana bila keberadaannya tidak kita
lestarikan akan membawa bencana bagi bumi beserta isinya.
Berlandaskan norma tersebut dibandingkan dengan keadaan jaman saat ini
tentunya ada sesuatu yang menarik yang perlu untuk dikaji terkait upaya
pelestarian air dan kesenjangan yang terjadi berupa pencemaran dan makin
terbatasnya sumber air bagi kehidupan manusia.
Terkait dengan hal di atas, maka penting untuk membuat suatu kajian yang
membahas tentang ekosentrisme dan paradigma ekosentrisme tersebut utamanya
tentang air. Dengan maksud kajian ini mampu menjadi suatu sumber informasi
tentang paradigma ekosentrisme serta perbandingannya dengan biosentrisme dan
antroposentrisme.

3
1.2.RUMUSAN MASALAH
Adapun masalah yang dapat dirumuskan dalam karya tulis ini adalah
sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud ekosentrisme?
2. Bagaimanakah pengelolaan air dalam kehidupan manusia menurut Agama
Hindu?
3. Bagaimanakah paradigma ekosentrisme pengelolaan air dalam kehidupan?

1.3.TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat dijabarkan tujuan
penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui definisi ekosentrisme.
2) Untuk mengetahui pengelolaan air kehidupan manusia menurut agama
Hindu.
3) Untuk mengetahui paradigma ekosentrisme pengelolaan air dalam
kehidupan.

1.4.MANFAAT PENULISAN
Ada beberapa manfaat yang bisa diambil dari penulisan ini diantaranya:
1. Bagi Mahasiswa
- Diharapkan karya tulis ini mampu mengembangkan kompetensi
peserta didik dalam tulis menulis serta berpikir ilmiah.
- Sebagai akademisi yang mampu menjadi suri tauladan bagi masyarakat
dalam mempertahankan etika lingkungan sebagai pelestarian biosme
dan ekosistem.
2. Bagi Sekolah
- Karya tulis ini mampu menjadi sumber informasi tambahan untuk
penelitian serupa atau pengembangannya untuk pengembangan ilmu
pengetahuan dan kesusastraan.

4
3. Bagi Masyarakat
- Diharapkan karya tulis ini mampu menjadi sumber informasi
masyarakat akan pentingnya pandangan ekosentrisme bagi keberadaan
dan kelestarian lingkungan serta menyikapi paradigmanya yang akan
berimplikasi pada kehidupan alam dalam skala besar.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI EKOSENTRISME


Ekosentrisme adalah cara pandang bahwa pemakaian etika diperluas untuk
mencakup komunitas ekosistem secara keseluruhan. Ekosentrisme adalah
merupakan lanjutan dari biosentrisme yang merupakan teori bahwa makhluk
hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Sebagai lanjutan,
ekosentrisme sering disamakan dengan biosentrisme baik dari sudut pandang
maupun dari pengertiannya sendiri, karena adanya banyak kesamaan di antara
Biosentrisme Dan Ekosentrisme.
Teori ekosentrisme adalah sebuah teori etika lingkungan. Teori ini mulanya
adalah perkembangan dari teori biosentrisme. Teori biosentrisme percaya bahwa
seluruh makhluk hidup memiliki nilai moral yang tertanam dalam dirinya,
sehingga diperlukan sebuah kepedulian. Teori ini kemudian berkembang lebih
luas menjadi teori ekosentrisme. Ekosentrisme memusatkan nilai moral kepada
seluruh makhluk hidup dan benda abiotik lainnya yang saling terkait. Oleh karena
itu, kepedulian moral tidak hanya ditujukan pada makhluk hidup saja, tetapi untuk
benda abiotik yang terkait pula (Primardianti, 2016 dalam catchithecture.com
diakses tanggal 9 November 2019).
Perubahan pandangan tersebut sudah dimulai sejak lama, dipelopori oleh
seorang tokoh dengan memperkenalkan istilah deep ecology. Deep Ecology
adalah suatu teori yang pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang
filsuf Norwegia tahun 1973, dan sekenal sebagai salah seorang tokoh utama
gerakan deep ecology hingga sekarang. Deep Ecology menuntut suatu etika baru
yang tidak berpusat hanya pada manusia, tetapi berpusat pada mahkluk hidup
secara keseluruhan dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan
hdiup. Etika baru ini tidak mengubah sama sekali hubungan antara manusia
dengan manusia. Yang baru adalah manusia dan kepentingannya bukan lagi
ukuran bagi segala sesuatu yang lain. Manusia bukan lagi pusat pusat dari dunia
moral. Tetap lebih menyangkut gerakan yang jauh lebih dalam dan komprehensif

6
dari sekedar sesuatu yang instrumental dan ekspansionis. Serta menuntut suatu
pemahaman yang baru tentang relasi etis yang ada dalam alam semesta disertai
adanya prinsip-prinsip baru sejalan dengan relasi etis baru tersebut, yang
kemudian diterjemahkan dalam gerakan atau aksi nyata di lapangan (Keraf, 2005).
Dari ajaran tersebut muncullah sebuah konsep lingkungan hidup yang
menekankan bahwa alam ini sebagai sebuah komunitas yang juga memiliki
sebuah nilai moral. Keraf (2005) memberikan suatu pengertian tentang etika
lingkungan hidup adalah berbagai prinsip moral lingkungan. Etika lingkungan
tidak hanya dipahami dalam pengertian yang sama dengan pengertian moralitas.
Etika lingkungan hidup lebih dipahami sebagai sebuah kritik atas etika yang
selama ini dianut oleh manusia, yang dibatasi pada komunitas sosial manusia.
Etika lingkungan hidup menuntut agar etika dan moralitas tersebut diberlakukan
juga bagi komunitas biotis dan komunitas ekologis.
Ekosentrisme merupakan sebuah cara pandang bahwa alam dan lingkungan
hidup adalah sumber prinsip moral dalam kehidupan dan memiliki nilai yang
terdapat di dalamnya sebagai landasan prikehidupan manusia dan alam semesta.
Dalam tatanan kehidupan masyarakat Bali khususnya agama Hindu, keberadaan
etika lingkungan hidup sangatlah vital sebagaimana tercetus dalam konsep Tri
Hita Karana serta konsep hari raya suci dan upacara keagamaan yang
menyetarakan antara Ketuhanan dengan eksistensi lingkungan hidup tersebut.

2.2. PENGELOLAAN AIR DALAM KEHIDUPAN MANUSIA MENURUT


AGAMA HINDU
Etika berasal dari kata Yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau

adat. Etika identik dengan kata moral yang berasal dari kata latin mos, yang

dalam bentuk jamaknya mores yang juga berarti adat atau cara hidup (Bernes,
1993). Etika dan moral artinya sama, namum dalam pemakaian sehari-hari ada
sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang
dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang ada.
Sumber langsung ajaran moral adalah berbagai orang dalam kedudukan agama,

7
dan tulisan para bijak. Etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran dan pandangan moral.
Etika ekosentris seperti disampaikan oleh Aldo Leopold (dalam Ginting,
2012) yaitu mengakui semua spesies termasuk manusia adalah produk dari sebuah
proses evolusi panjang saling terkait dalam kehidupan di alam semesta. Demikian
juga prinsip keanekaragaman nilai budaya dan ekosisitem adalah termasuk prinsip
pandangan ekosentris.
Antroposentrisme dan ekosentrisme merupakan etika pemahaman yang
berbeda terhadap lingkungan, terlebih dengan kedudukan sumber daya alam. Ada
paradigma besar antara keduanya yang tentu saja menimbulkan polemik dalam
konteks swakelola kehidupan manusia itu sendiri. Keberadaan alam dan
lingkungan merupakan organ vital keberlangsungan kehidupan itu sendiri. Fungsi
dan peran air bagi kehidupan manusia sebagai salah satu kebutuhan pokok sehari-
hari makhluk hidup di dunia ini yang tidak dapat terpisahkan adalah air. Tidak
hanya penting bagi manusia, air merupakan bagian yang penting bagi makhluk
hidup baik hewan dan tumbuhan. Tanpa air kemungkinan tidak ada kehidupan di
dunia ini karena semua makhluk hidup sangat memerlukan air untuk bertahan
hidup.
Manusia mungkin dapat hidup beberapa hari akan tetapi manusia tidak
akan bertahan selama beberapa hari jika tidak minum karena sudah mutlak bahwa
sebagian besar zat pembentuk tubuh manusia itu terdiri dari 73% adalah air. Jadi
bukan hal yang baru jika kehidupan yang ada di dunia ini dapat terus berlangsung
karena tersedianya air yang cukup. Dalam usaha mempertahankan kelangsungan
hidupnya, manusia berupaya mengadakan air yang cukup bagi dirinya sendiri.
Dalam konteks kehidupan masyarakat Bali khususnya Agama Hindu, air
merupakan jiwa dari keberagamaan itu sendiri. Hal ini dijelaskan dalam Bhagavad
Gita III.14 yang berbunyi demikian:

“Annad bhawanii bhutani, parjanyad annasamhawah, yajnad bhawanii parjanjo,


yajnan karma samudhhawan”.

Terjemahan:

“Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan,


adanya hujan karena yajna, adanya yajna karena karma”

8
Dalam arti sempit sloka tersebut dapat diartikan bahwa hujan atau air itu
merupakan pemberi kehidupan kepada semua makhluk. Namun bila diperhatikan
secara lebih luas, sloka tersebut bermakna sebuah siklus alur kehidupan dimana
hujan atau air adalah unsur utamanya.
Dalam bahasa Sanskerta, air disebut dengan tirtha. Namun dalam
kehidupan beragama Hindu di Bali khususnya mendefinisikan bahwa tirtha itu
adalah air yang telah disucikan melalui sebuah upacara. Tirtha dalam konsep umat
Hindu Bali di dalam Bahasa Sakskerta disebut dengan toyam.
Yajur Veda Mandala I. Sukta III. Mantra 6 menyatakan sebagai berikut.
“Aayam gauh prsnir akramiidasadan Maataram purah, pitaram ca prayantsvah”

Terjemahannya:

Bumi ini berputar di angkasa, dengan sumber air dalam orbitnya. Ia bergerak
mengelilingi ayahnya, yaitu matahari.

Dari kutipan sloka di atas disimpulkan kedudukan air dalam Agama Hindu
sangat penting sebagai sumber kehidupan di samping keberadaan matahari
sebagai intinya. Dari keyakinan-keyakinan yang termaktub dalam Weda, air
menjadi elemen yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan umat beragama
Hindu. Air merupakan sarana pembersihan utama manusia dan alam semesta
untuk menciptakan kebahagiaan abadi.
Menurut Drs. I Kt. Wiana (1994: 91), dalam bukunya Arti dan Fungsi
Sarana Persembahyangan, tirta dapat juga diartikan permandian atau sungai,
kesucian atau setitik air, toya atau air suci, sungai yang suci, permandian/ sungai/
air suci, tempat perziarahan, mengunjungi tempat-tempat suci, bersuci dengan air,
air suci, permandian, tempat mandi atau tempat yang dapat disebrangi.
Hal tersebut dipertegas dengan kutipan dalam Reg Weda Mandala I Sukta
3, sloka 10, 11 dan 12, Reg Weda Mandala I Sukta 5, sloka 6 ditegaskan tentang
fungsi tirta yang sekaligus menjadi sarana yang dapat memberikan daya cipta
yang tinggi untuk mengundang kedatangan atau kehadiran Tuhan pada umatnya,
dapat menciptakan suasana, perilaku, perkataan dan pikiran yang serba suci
menuju kepada keterangan yang abadi (Susila. 2009:89).
Air merupakan simbolis penyucian substansi bhuana agung dan bhuana
alit. Dalam upacara keagamaan kita mengenal “ida betara mesucian” yang artinya

9
umat Hindu meyakini fungsi dan kedudukan air sebagai penyucian manifestasi
Tuhan dalam bentuk pratiwimba-Nya. Selain itu dari kutipan Reg Weda seperti
yang dijelaskan disimpulkan bahwa air merupakan sarana yang mampu
membersihkan daya cipta pikiran, perkataan, dan prilaku manusia untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan.
Pentingnya kedudukan air sebagaimana tersurat dalam berbagai sumber,
tidak berhenti di tataran kitab suci, namun [di Bali khususnya] kemudian
diimplementasikan ke dalam berbagai aktivitas kebudayaan. Dibedakannya antara
prethiwi, apah, teja, bayu, dan akasa sebagai elemen yang bertruktur [dari yang
konkrit ke yang semakin abstrak] dengan segala aktivitas ikutannya menjadi bukti
tentang hal itu. Demikian pula dibedakan antara yeh-toya-tirta memperkuat
keutamaan air dalam struktur kebudayaan Bali.Yeh, secara sosiologis diletakkan
sebagai sesuatu yang biasa yang hanya berfungsi untuk hal-hal yang bersifat
fisikal dan sekuler, berbeda dengan toya dan tirta yang sudah muatan spiritual dan
agama, walau ketiganya menunjuk pada entitas yang sama. Air dalam kebudayaan
Hindu kemudian menjadi berbeda nilai dan maknanya melalui proses ritual yang
dipayungi oleh agama, sebagaimana tertuang dalam teks-teks kitab suci. Air
kemudian disakralisasi menjadi tirta [pabiakalan, pakelemigian, prayascita,
pabresihan-panyucian, pangelukatan, panguripurip, panebusan, papegat,
panembak, pangentas,dantirta ke purwa dsb] (Triguna: 2017). Ada beberapa
makna air dalam keyakinan umat beragama Hindu yakni makna kesuburan,
makna penyembuhan, makna penyucian, makna keabadian, makna siklus, dan
makna kesejahteraan Rema (2013: 112-121).
Fungsi, kedudukan dan makna air dalam kehidupan manusia Hindu
sebagai satu elemen yang tidak terpisahkan menurut peruntukannya. Dalam
kehidupan bermasyarakat air sebagai sumber penghidupan dan mata pencaharian
diberdayakan sejak jaman dahulu sebagai sistem subak (pengairan sawah),
sebagai sebuah peninggalan nyata kebudayaan manusia Hindu Bali yang masih
terpelihara hingga kini. Lebih jauh melihat kebutuhan masyarakat Bali di era
milenial ini tidak hanya pada keperluan hidup dan keagamaan sehari-hari saja,
akan tetapi kebutuhan akan air dan pengelolaannya lebih dari itu.

10
Berdasarkan angka sensus jumlah penduduk Bali pada 2010, sejumlah
3.890.757 jiwa. Angka proyeksi BPS pada 2014, jumlah penduduk bali mencapai
4,1 juta jiwa. Dengan rata-rata penggunaan air setiap orang 183 liter/hari, maka
berarti kebutuhan air lebih dari 750 juta liter per hari. Sedangkan data kebutuhan
air bagi wisatawan berdasarkan data PHRI 2014 dengan jumlah kamar hotel
77.496 kamar menunjukkan bahwa jika rata-rata per kamar perlu 2.000 liter, kalau
terisi 50% dari jumlah kamar perlu 160 juta liter per hari. Jumlah tersebut belum
termasuk kebutuhan air dari ratusan villa tak teregistrasi, kondotel, dan lain-lain.
Sementara Data Bali Hotel Association (BHA) dan Howarth HTL menunjukkan
Hotel dengan tarif lebih US$440 per kamar mengkonsumsi air lebih dari 4.000
liter per orang. Jauh lebih tinggi dari asumsi kebutuhan air penduduk 183 liter per
hari di Bali.

2.3. PARADIGMA EKOSENTRISME PENGELOLAAN AIR


Manusia di jaman global mengutamakan berpikir realistis tentang
kehidupannya. Di jaman yang mengutamakan kepentingan kekayaan ini merubah
poros pemikiran manusia dan menyampingkan hal-hal yang bagi mereka dapat
secara instan mencukupi hidup mereka. Penyimpangan pola pikir ini
menyebabkan kepedulian manusia pada lingkungan hidupnya menjadi hilang.
Mereka hanya berpandangan bahwa alam hanya sebagai alat pemuas kepentingan
mereka sehingga menyampingkan nilai etika dan moral lingkungan, hal inilah
yang kita kenal dengan pola antroposentrisme.
Antroposentrisme merupakan suatu etika yang memandang manusia
sebagai pusat dari sistem alam semesta. Di dalam antroposentrisme, etika, nilai
dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia, dan bahwa kebutuhan dan
kepentingan manusia mempunyai nilai paling tinggi dan paling penting diantara
mahkluk hidup lainnya. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling
menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam
kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi
adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan
mendapat perhatian. Segala sesuatau yang lain di alam semesta ini hanya akan

11
mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia.
Oleh karena itu, alampun dilihat hanya sebagai obyek, alat, dan sarana bagi
pemenuhan kebutuhan dna kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi
pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
Murdy dalam keraf (2005) menyatakan bahwa yang menjadi masalah bukanlah
kecenderungan antroposentris pada diri manusia yang memperalat alam semesta
untuk kepentingannya. Tetapi masalah dan sumber malapetaka krisis lingkungan
hidup adalah tujuan-tujuan tidak pantas dan berlebihan yang dikejar oleh manusia
di luar batas toleransi ekosistem itu sendiri. Akhirnya dengan demikian manusia
bunuh diri. Krisis lingkungan hidup bukan disebabkan oleh pendekatan
antroposentris semata, tetapi melainkan oleh pendekatan antroposentrisme yang
berlebihan.
Yohanes I Wayan Marianta (2011) mengatakan bahwa krisis lingkungan
merupakan alarm yang memperingatkan kita bahwa ada yang salah dengan pola
manusia modern. Krisis timbul oleh karena permasalahan yang terjadi dalam
lingkungan mengancam kehidupan manusia modern. Ancaman ini tidak melulu
terjadi dalam satu dua tempat, melainkan sudah meluas secara global. Kendati
demikian, masyarakat masih perlu disadarkan betapa dahsyatnya krisis yang
terjadi. Setiap orang bertanggungjawab untuk tidak hanya memikirkan
kepentingan kelompok atau demi kemajuan semata.
Paradigma adalah pandangan dasar yang dianut oleh para ahli pada kurun
waktu tertentu, yang diakui kebenarannya, dan didukung oleh sebagian besar
komunitas, serta berpengaruh terhadap perkembangan ilmu dan kehidupan.
Harvey dan Holly (1981) mengutip batasan pengertian paradigma yang
dikemukakan oleh Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolution (1970)
yang mengartikan paradigma sebagai ”keseluruhan kumpulan (konstelasi)
kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, cara-cara (teknik) mempelajari,
menjelaskan, cakupan dan sasaran kajian, dan sebagainya yang dianut oleh warga
suatu komunitas tertentu”
Paradigma ekosentrisme menyampaikan pandangannya bahwa secara
ekologis, makluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama
lainnya. Kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makluk

12
hidup, tetapi juga berlaku terhadap semua realitas ekologis. Seperti yang
dikemukakan di atas tentang makna air dalam kehidupan, terjadi paradigma
ekosentrisme pengelolaan air dalam kehidupan Agama Hindu.
Air merupakan sarana utama manusia untuk berhubungan dengan
penciptanya. Bab 9, Ayat 26 Bhagawad Gita, yang sering disebutkan
sebagai The Most Confidential Knowledge, menyatakan sebagai berikut :
patram puspam phalam toyam
yo me bhaktya prayacchati
tad aham bhakty-upahrtam
asnami prayatatmanah

Terjemahannya:

Siapa saja yang sujud kepada-Ku dengan persembahan setangkai daun, sekuntum
bunga, sebiji buah atau seteguk air,
Aku terima sebagai bakti persembahan dari orang yang tulus hati
(Radhakrisnan, 1971:248)
Jelas bahwa air merupakan salah satu keyakinan umat Hindu untuk
menghubungkan diri kepada Tuhannya dan menjadi keyakinan fundamental yang
dalam perkembangannya dikreasikan dalam bentuk sesajen atau banden dalam
kehidupan umat Hindu di Bali. Selain itu, dasar keyakinan pelestarian air adalah
Sad Kertih yang tertuang dalam lontar Purana Bali. Sad Kertih adalah enam jenis
upacara yang bertujuan untuk menjaga keharmonisan alam beserta isinya atau
enam konsep dalam melestarikan lingkungan (Wiana, 2007:14).
Samudra Kertih dan Danu Kertih merupakan ajaran dasar bagi umat
Hindu untuk melestarikan sumber mata air. Sumber mata air seperti laut sebagai
ekosistem air asin dan sungai atau danau sebagai ekosistem air tawar adalah
ekosistem penting dalam kehidupan manusia. Kedua ekosistem tersebut
merupakan sumber dari sumbernya kehidupan bumi, hutan dan makhluk hidup di
dalamnya. Laut dan danau ataupun sungai tempat hidup berjuta spesies tumbuhan
dan binatang, disamping sebagai sumber mata air untuk konsumsi semua makhluk
di bumi ini, tidak terkecuali manusia. Kebutuhan manusia akan konsumsi air
bersih untuk minum, MCK, kehidupan rumah tangga lainnya dan penunjang
usaha. Air yang disalurkan dan diberdayakan pemerintah lewat PDAM menyuplai
keperluan manusia ke rumah-rumah untuk kepentingan setiap kepala.

13
Pola antroposentrisme hanya menimbang keperluan air tersebut dari segi
kepentingan konsumtifnya tapi berpikir kelangsungan sumber daya air tersebut.
Menipisnya kadar kebersihan sumber mata air seiring eksploitasi alam dan
kemajuan industri membuat polusi menjadi momok yang sangat merugikan
kelangsungan hayati manusia dan makhluk lain di dalamnya yang tentu saja
berlawanan dengan prinsip ekosentrisme.
Lebih jauh tentang makna kesucian air, dalam Manawadharmasastra IV.56
menyatakan sebagai berikut:
“Napsu mutram purisam va sthivanam va samutsrjet
amedhya liptam anya dva lohitam vavisani va”.

Terjemahannya:

Hendaknya ia jangan melempar air kencingnya atau kotorannya ke dalam air


sungai, tidak pula air ludahnya , juga tidak boleh melemparkan perkataan yang
tidak suci, tidak pula kotor-kotoran, tidak pula yang lain, tidak pula darah atau
yang berbisa.

Strukturasi tidak berhenti pada penyakralan air menjadi tirta, tetapi juga
memastikan pentingnya memelihara wilayah sumber air [kelebutan, pancoran,
danu, tukad, dan lautan sebagai pemberi kesuburan dan kesucian. Lahir dan
dikembangkannya konsepsi nyagara-giri menempatkan segara [laut] dan giri
[gunung] sebagai dua tempat yang saling berpengaruh, ibarat suami dan istri.
Agar gunung dengan hutan bisa berfungsi dengan baik sebagai penyerap dan
penyangga air dan bermakna, maka dilaksanakan berbagai upacara seperti wana
kerthi, yang bertujuan menyucikan, menghidupakan, memelihara agar hutan tetap
lestari. Sementara itu, untuk menjaga pentingnya arti segara dilakukan dengan
proses enkulturasi malukat, nganyut, malasti, banyu pinaruh, mapekelem, sagara
kerthi dan di beberapa kawasan tertentu, ada upacara nyepi di laut. Semua itu,
dalam rangka meneguhkan, merevitalisasi, dan melestarikan air sebagai sesuatu
yang sakral, agar tetap memenuhi fungsi religius dengan dibalut aktivitas
kebudayaan. Dalam batas tertentu sumber air dipelihara, bukan karena air ia
berfungsi secara fisikal untuk mandi, minum, dan pengairan, melainkan karena di
tempat itu [kelebutan, pancoran, danau, sungai, campuhan, dan laut] sering

14
dilaksanakan upacara untuk menyucian dan pencarian air suci serta dijadikan
tempat pembuangan hal-hal yang dianggap kotor [Triguna, 2017].
Menjadi sangat miris apabila air yang diyakini umat sebagai sesuatu yang
suci adalah air yang tidak suci secara lahiriah karena terkontaminasi oleh polusi.
Yang tentunya hal tersebut tidak baik bagi kesehatan, melanggar hukum Tuhan
yang termaktub dalam kitab suci juga melanggar asas etika lingkungan. Selain
polusi, eksploitasi pengelolaan air akan secara otomatis berdampak pada
kelangkaan sumber air.
Pengalihgunaan lahan persawahan menjadi perumahan juga bisa
memberikan sebuah implikasi kepada eksistensi dari pengelolaan air. Konsep
pelestarian air oleh masyarakat Bali juga dapat ditemui dalam sistem subak. Subak
selama ini lebih dikenal sebagai sistem pengairan pertanian di Bali. Namun jika
ditelaah lebih mendalam subak pada dasarnya lebih pada tata kelola penggunaan
air oleh petani di Bali. Sebagai sebuah tata kelola air, subak tidak sebatas cara
membagi air tetapi lebih pada tata cara penggunaan air secara efektif dan efisien.
Petani diajak untuk menggunakan air seperlunya dan sesuai kebutuhan.
Penggunaan air seperlunya dilakukan karena masih banyak petani yang lain juga
memerlukan air untuk mengairi lahannya. Dalam konsep subak, masyarakat
petani juga memiliki kewajiban untuk melakukan pemeliharaan saluran air.
Termasuk menjaga kebersihan saluran air dari sampah atau kotoran lainnya.
Dalam kegiatan pertanian di sawah yang dilakukan masyarakat Bali juga
terdapat konsep kearifan lokal dalam menjaga dan melestarikan air. Konsep
kearifan local tersebut dapat ditemui dalam upacara magpag toya. Magpag dalam
bahasa Bali memiliki arti menyambut, sedangkan toya diartikan sebagai air. Jadi
magpag toya dapat diartikan sebagai upacara menyambut kedatangan air yang
dilakukan pada petani Bali. Upacara magpag toya biasanya dilakukan di pura
Ulun Suwi. Ulun Suwi dalam konsepsi masyarakat Bali sangat identitik dengan
tempat yang menjadi sumber mata air dan pengaturan distribusi air. Magpag toya
juga disebut mendak toya. Mendak toya adalah upacara permohonan kepada
Tuhan Yang Maha Esa agar air yang digunakan untuk mengairi sawah diberkahi,
diselenggarakan menurut dewasa ayu (Windia, 2006: 13-16).

15
Area hijau (perkebunan, persawahan) adalah area yang harus dilestarikan
keberadaannya karena berkaitan erat dengan keberadaan sumber mata air.
Penggundulan lahan, pengalih fungsian sawah dan hutan akan berdampak buruk
pada kehidupan karena kritisnya debit air. Kearifan lokal yang menjadikan ciri
umat Hindu dan orang Bali akan perlahan punah dengan penyimpangan etika
lingkungan tersebut. Upacara mendak toya merupakan upacara permohonan
kesuburan kepada Sang Maha Pencipta tetapi akan menjadi cerita yang berbeda
apabila air yang menjadi elemen utama dalam upacara tersebut sudah tidak ada.
Ekosentrisme adalah lawan dari antroposentrisme, dimana konsep
ekosentrisme tersebut dituangkan dalam konsepsi ajaran Sad Kertih. Air
merupakan inti dari substansi Sad Kertih dimana dari penyimpangan terhadap satu
elemen tersebut akan membawa dampak bagi semua bagiannya. Eksploitasi
terhadap air dengan bentuk penyimpangannya tentu sangat bertentangan dengan
konsep Samudra dan Danu Kertih. Keberadaan air juga sangat mempengaruhi
kelestarian dan kesinambungan kesuburan hutan dan bumi (Wana dan Jagat
Kertih). Tanpa adanya air yang bersih manusia tidak bisa hidup, tidak bisa
melakukan yadnya, tidak bisa melaksanakan kegiatan sosial keagamaan yang
tentunya merupakan realisasi Atman Kertih dan Jana Kertih.
Agama Hindu adalah agama tertua dengan ajarannya yang fleksibel dan
kompatibel di semua jaman. Dan di jaman yang memposisikan manusia sebagai
sentra kehidupan dan perubahan inipun ajaran Agama Hindu mampu menjawab
dengan kebenarannya. Jika manusia mengenyampingkan kelestarian alam, alam
akan menjawab dengan caranya sendiri. Alam adalah ibu bagi manusia.
Eksploitasi alam besar-besaran tanpa tetap menjaga kelestariannya ibarat kita
memperkosa ibu kita sendiri, manusia durhaka.
Manusia tidak bisa hanya menyalahkan Tuhan dalam semua kasus karena
menjaga keseimbangan antara Tuhan, kepentingan perut manusia dan kelestarian
alam harus berjalan sejalan dan seiring. Tidak hanya sampai disana, produksi
bahan pangan dan kualitasnya akan berpengaruh terhadap pengelolaan air. Intinya,
tensi antroposentrisme harus diturunkan kadarnya dan mengalihkan pandangan
kepada ekosentrisme. Lingkungan tidak dapat bicara tentang dirinya sendiri.
Manusialah yang akan memaknainya. Pengetahuan tentang alam lingkungan

16
tersebut tidak akan muncul dan menampakkan dirinya jika tidak terdapat sebuah
proses perjumpaan. Mustahil, jika lingkungan selalu ditempatkan sebagai obyek
eksploitasi. Untuk itu perlu melihat secara lebih holistik, lewat kesadaran diri.
Idealnya, kesadaran dan perubahan dilakukan secara bersama-sama dalam
masyarakat. Namun, kesadaran tersebut tidak akan tumbuh apabila masing-
masing individu pun tidak mendorong kesadaran untuk mengubah persepsi dan
perilaku terhadap alam.

17
BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal yaitu:
1. Ekosentrisme merupakan sebuah cara pandang bahwa alam dan
lingkungan hidup adalah sumber prinsip moral dalam kehidupan dan
memiliki nilai yang terdapat di dalamnya sebagai landasan prikehidupan
manusia dan alam semesta. Dalam tatanan kehidupan masyarakat Bali
khususnya agama Hindu, keberadaan etika lingkungan hidup sangatlah
vital sebagaimana tercetus dalam konsep Tri Hita Karana serta konsep hari
raya suci dan upacara keagamaan yang menyetarakan antara Ketuhanan
dengan eksistensi lingkungan hidup tersebut.
2. Air memiliki fungsi sentral dalam kehidupan manusia. Kedudukan dan
maknanya sangat penting baik itu dalam tata kelola kehidupan manusia,
upacara keagamaan, dan kehidupan bermasyarakat. Pengelolaan air
bergantung pada pemungsiannya dalam kehidupan manusia.
3. Antroposentrisme mengarahkan manusia pada eksploitasi yang berlebihan
terhadap alam tanpa memikirkan timbal baliknya untuk lingkungan yang
pada akhirnya membuat kerusakan permanen pada semua aspek kehidupan
manusia itu sendiri. Ekosentrisme adalah jawaban paling tepat untuk
mencegah dampak buruk antroposentrisme tersebut. Diperlukan kesadaran
diri untuk senantiasa menjaga keseimbangan antara Ketuhanan,
kepentingan hayati manusia, dan pelestarian alam untuk bisa menjaga
keharmonisan kehidupan manusia dan alam.

3.2. SARAN
1. Kepada Mahasiswa
Sebagai akademisi hendaknya mahasiswa memperhatikan masalah
kelestarian alam serta mengedukasi masyarakat terkait hal tersebut sebagai
bentuk pengabdian masyarakat dan pengembangan pendidikan.

18
2. Kepada Kampus
Sekolah diharapkan menjadikan pelestarian alam sebagai salah satu
praktek kerja lapangan dan gencar melakukan diskusi-diskusi berkaitan
dengan hal tersebut guna meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya pelestarian alam.
3. Kepada Masyarakat
Merupakan sebuah kewajiban bagi setiap masyarakat untuk menjaga
warisan leluhur berupa lahan pertanahannya agar tidak tereksploitasi
sehingga merusak ekosistem.
4. Kepada Pemerintah
Lebih menggalakan UU RTRW untuk mengurangi penggunaan lahan
sebagai perumahan non produktif serta menindaklanjuti secara dini
pencemaran lingkungan dengan memberikan sanksi tegas.

19
DAFTAR PUSTAKA

Berten, K., 1993. Etika. Jakarta. Gramedia. Ganter, Grace and Margaret Yeakel.
1980.
Ginting Suka, 2012. Teori Etika Lingkungan. Denpasar: Udayana University
Press.

Keraf, A. Sonny . 2005 . Etika Lingkungan . Jakarta : Penerbit Buku Kompas


Marianta, Yohanes I Wayan. 2011. “Akar Krisis Lingkungan Hidup,” dalam
Studia Philosophica et Theologica.
Primardianti, Oktoviani. 2016. Ekosentrisme (teori). http:// catchithecture.com
diakses tanggal 9 November 2019

Radhakrisnan, Sharvepalli. 1971. The Bhagavadgita. India: George Allen &


Unwin, Private.Ltd

Rolf Lidskog & Claire Waterton. 2016. “Anthropocene – a cautious welcome


from environmental sociology?”. Environmental Sociology. Volume 2. Hal.
395-406

Susila, I Nyoman, dkk. 2009. Materi Pokok Acara Agama Hindu. Jakarta: Depag
RI Dirjen Bimas Hindu

Triguna, IBG Yudha. 2017. Pelestarian Air Sumber Kehidupan, Penghidupan,


dan Peradaban: Perspektif Sinergi Agama, Kebudayaan, dan Kearifan
Lokal. Denpasar.Paper Saresehan Pesta Kesenian Bali.

Wiana, I Ketut. 1994. Air Dan Fungsi Sarana Persembahyangan. _:_

-------------------. 2007. Sembahyang Memuja; Dengan Sembilan Bentuk Bhakti.


Denpasar: Panakom Publishing.

Windia, Wayan. 2006. Transformasi Sistem Irigasi Subak, yang Berlandaskan


Konsep Tri Hita Karana. Denpasar: Pustaka Bali Post.

William E. Kilbourne & Carlson, Les. 2008. “The Dominant Social Paradigm,
Consumption and Environmental Attitudes: Can Macromarketing Education
Help?”. Journal of Macromarketing. Volume 28. Hal. 106-121.

20

Anda mungkin juga menyukai