Anda di halaman 1dari 15

32

PEMBAHASAN

Gulma di Perkebunan Sagu

Tumbuhan dibagi menjadi dua yaitu tumbuhan yang menguntungkan dan


yang merugikan. Tumbuhan yang menguntungkan adalah tumbuhan yang di-
budidayakan oleh manusia untuk ditanam karena mempunyai nilai ekonomis (ta-
naman) sedangkan tumbuhan yang merugikan adalah tumbuhan yang tidak di-
kehendaki keberadaannya atau dalam bahasa pertanian sering disebut dengan gul-
ma (weed).
Batasan gulma bersifat teknis dan plastis. Batasan bersifat teknis karena
terkait dengan proses produksi suatu tanaman pertanian. Keberadaan gulma dapat
menurunkan hasil karena mengganggu pertumbuhan tanaman melalui kompetisi.
Batasan gulma bersifat plastis, karena batasan plastis tidak mengikat suatu spesies
tertentu.
Sifat khusus dari gulma menurut Yunafsi (2007) adalah mempunyai ke-
mampuan untuk menyesuaikan diri (adaptasi) yang tinggi dan tetap hidup pada
keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan dan juga mempunyai sifat dor-
mansi yang baik, sehingga berkemampuan untuk dapat tumbuh dan berkembang
sangat besar. Kegiatan teknis budidaya tanaman sagu meliputi persiapan lahan,
pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan.
Kegiatan budidaya yang menjadi fokus PT. National Sago Prima adalah
pembibitan dan pengendalian gulma. Kegiatan pembibitan dan pengendalian gul-
ma menjadi fokus kerja PT. National Sago Prima karena sebagaian besar blok-
blok pertanaman memiliki persentase kehidupan yang rendah dan keberadan gul-
ma yang sudah melebihi ambang batas ekonomi.
Pengelolaan gulma dilakukan pada dua tempat, yaitu di piringan sagu dan
di gawangan (interrow) rumpun sagu. Pengendalian gulma di gawangan antara
lain menurut SOP Weeding PT. National Sago Prima (2010) bertujuan untuk me-
ngurangi kompetisi hara, air, dan sinar matahari, mempermudah kontrol pekerjaan
dari satu gawangan ke gawangan lain serta menekan populasi hama.
33

Pengendalian gulma di piringan rumpun sagu bermanfaat untuk meng-


urangi kompetisi unsur hara dan air karena akar halus tanaman masih di sekitar pi-
ringan, meningkatkan efisiensi pemupukan dan mempermudah kontrol pelaksana-
an panen dan aplikasi pemupukan.
Pengendalian gulma merupakan subjek yang sangat dinamis dan perlu
strategi yang khas untuk setiap kasus. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
sebelum pengendalian gulma dilakukan adalah jenis gulma dominan, tanaman bu-
didaya utama, alternatif pengendalian yang tersedia, dampak ekonomi dan eko-
logi. Keadaan gulma secara umum di perkebunan sagu yakni semakin bertambah
umur tanaman sagu maka pertumbuhan gulma semakin tertekan karena ternaungi.
Oleh karena itu efisiensi atas biaya, rotasi dan dosis bisa dilakukan penyesuaian
(rotasi dan dosis dapat dikurangi).
Kondisi gulma lebih didominasi oleh jenis pakis (Nephrolepis biseratta
Schott.) dengan tingkat penutupan >80 % pada blok yang mengalami keterlambat-
an rotasi weeding manual. Gulma pakis menutupi gawangan bersih dan piringan
yang seharusnya bersih dari keberadaan gulma. Kondisi penutupan gulma yang
tinggi disebabkan karena adanya keterlambatan dalam rotasi pengendalian gulma
manual selama 2 bulan. Keterlambatan pengendalian manual mengakibatkan bi-
aya yang dikeluarkan perusahaan untuk pemeliharaan akan semakin besar dan me-
nyulitkan dalam pengendalian secara kimia.

Aplikasi Herbisida

Dosis herbisida yang digunakan untuk pengendalian gulma sangat ter-


gantung dari gulma sasaran yang akan dikendalikan. Ketepatan dalam penggunaan
dosis di lapang menjadi aspek penting dalam efisiensi biaya dan efek fitotoksisitas
terhadap lingkungan tumbuh sagu.
Dosis herbisida sebelum aplikasi di lapang harus disesuaikan menjadi
konsentrasi dan volume larutan semprot. Hal pertama yang harus dilakukan adalah
kalibrasi alat semprot dan nozel, serta menghitung kecepatan jalan untuk meng-
etahui kebutuhan volume semprot per hektar. Konsentrasi larutan semprot di-
hitung dengan memakai data dosis per hektar dan kebutuhan volume larutan
semprot per hektar.
34

Namun, keberadaan gulma Nephrolepis sp. ditinjau dari aspek ekologi ti-
dak sepenuhnya harus diberantas karena keberadaan gulma pakis (Nephrolepis
sp.) berfungsi sebagai penutup tanah (cover crop) dan penyeimbang kelembaban
di atas permukaan tanah. Gulma Nephrolepis sp. hanya dikendalikan di jalur ber-
sih (gawangan) dan piringan rumpun sagu.

Dosis herbisida

Dosis herbisida yang digunakan oleh PT. National Sago Prima yaitu
paraquat 1.5 l / ha dan metil metsulfuron 62.5 g / ha , dengan volume semprot 400
l/ ha. Penyemprotan mengunakan alat knapsack sprayer SOLO-15 (kapasitas 15
liter) dan GS-16 (kapasitas 16 liter) dengan warna nozel semprot biru.

Kecepatan jalan

Faktor kecepatan jalan sangat dipengaruhi oleh bentuk topografi areal,


penghalang seperti batang kayu yang melintang, kerapatan gulma, dan volume
semprot yang dibutuhkan. Seorang penyemprot yang berpengalaman dapat me-
nempuh jarak antara 30-48 meter/menit, maka dari itu penyemprot harus dilatih
berjalan dengan kecepatan yang sesuai agar diperoleh hasil pengendalian yang op-
timal.

Tekanan pompa semprot

Tekanan pompa semprot sprayer (Solo-15 atau GS-16) yang umum di-
gunakan untuk penyemprotan herbisida adalah 1 kg/cm². Jika tekanan pompa ku-
rang atau berlebih, maka akan dihasilkan pancaran semprot yang kurang sempur-
na. Hal ini akan berpengaruh pada efektivitas herbisida dalam mengendalikan
gulma terutama gulma yang dominan di perkebunan sagu.

Nisbah Jumlah Dominan Gulma

Analisis vegetasi merupakan metode yang dilakukan untuk mengetahui


penyusun vegetasi secara tepat. Analisis vegetasi berfungsi untuk mengetahui gul-
ma dominan di suatu areal sehingga dapat ditentukan cara pengendalian gulma
yang sesuai, serta dapat mengetahui perubahan vegetasi akibat adanya pengaruh
suatu pengendalian gulma. Metode yang digunakan dalam analisis vegetasi di-
35

dasarkan pada keragaman dan distribusi gulma. Apabila komposisinya merata,


cukup diambil satu petak sampel ditengah areal sehingga dapat mewakili vegetasi
tersebut.
Jenis gulma yang menyusun suatu vegetasi sangat bermacam-macam dan
banyak dipengaruhi oleh keadaan lingkungan atau habitatnya. Hasil penelitian
Rahman (2009) menyatakan bahwa jenis gulma dominan pada tanaman sagu
dengan jarak tanam 8 m x 8 m adalah jenis pakis, pohon geronggang (Crtoxylon
formosum Dyer) dan beberapa jenis pohon yang berdiameter 10-30 cm. Kom-
posisi vegetasi yang dilaporkan Amarilis (2009) juga terdiri atas beragam spesies
gulma yaitu Nephrolepis sp. (76.82 %), Mikania michranta (9.61 %), Boreria sp.
(4.12 %), Stenochlaena palustris (6.29 %), Melastoma malabathricum (0.61 %),
dan Gleichenia linearis (2.55 %) karena pemeliharaan kebun kurang diperhati-
kan.
Petak percontohan dilakukan untuk mengetahui metode pengelolaan gulma
yang efektif di perkebunan sagu. Pengambilan sampel dilakukan secara acak
langsung karena vegetasi gulma yang beragam di petak percontohan. Analisis
vegetasi dilaksanakan pada petak percontohan sebelum dan setelah pengendalian
gulma secara manual maupun kimia untuk mengetahui nisbah jumlah dominan
gulma (NJD) (Tabel 2).
Tabel 2. Nisbah Jumlah Dominan Gulma (NJD)

Sebelum Setelah
No Spesies
Aplikasi Aplikasi
1 Nephrolepis sp. 82.50% 78.87 %
2 Mikania michranta 9.40% 3.21 %
3 Boreria sp. 6.60% 0%
4 Gleichenia linearis 1.50% 0%
5 Stenochlaena palustris 0% 14.78 %
6 Melastoma malabathricum 0% 3.14 %
Jumlah 100% 100%
36

Komposisi vegetasi gulma setelah aplikasi herbisida menunjukkan hasil


yang tidak berbeda dengan pengamatan yang dilakukan oleh Amarilis (2009), gul-
ma Nephrolepis sp. tetap mendominasi lahan setelah aplikasi (78.87 %), sedangkan Mi-
kania michranta mengalami penurunan (3.21 %). Gulma Melastoma malabathricum
(14.78 %) dan Stenochlaena palustris (3.14%) merupakan gulma yang baru mun-
cul setelah aplikasi herbisida. Gulma yang berhasil dikendalikan secara efektif
adalah Boreria sp. dan gulma Gleichenia linearis yang tidak tumbuh kembali se-
telah aplikasi herbisida di petak percontohan.
Pengelolaan yang dilakukan PT. National Sago Prima adalah pengendali-
an secara manual ketika Nephrolepis sp. dalam fase vegetatif akhir sebelum men-
capai fase berspora (generatif). Pengelolaan gulma manual dilakukan karena jika
gulma dikendalikan pada saat fase berspora maka kemungkinan besar spora
Nephrolepis sp. akan menyebar diatas permukaan tanah dan pertumbuhan gulma
kembali akan terjadi dalam waktu cepat. Pengelolaan yang diperlukan untuk fase
berspora Nephrolepis sp. adalah pengunaan herbisida karena penyemprotan akan
mematikan spora Nephrolepis sp.
Pengendalian gulma secara kimia di perkebunan sagu berpengaruh ter-
hadap terjadinya perubahan komposisi gulma yang dominan. Namun, gulma pakis
(Nephrolepis sp.) masih tetap menjadi dominansi utama dari beberapa gulma yang
dikendalikan. Gulma pakis ditemukan sepanjang fase hidupnya baik fase vegetatif
maupun fase membentuk spora (Gambar 7). Gulma Nephrolepis sp. lebih men-
dominasi karena lebih mampu bertahan dalam kompetisi lingkungan tumbuh di
sekitar tanaman sagu (Amarilis, 2009).

Gambar 7. Gulma dominan Nephrolepis sp


37

Gulma Boreria sp. sepenuhnya dapat dikendalikan oleh perlakuan yang di-
aplikasikan, baik perlakuan secara manual, perlakuan herbisida kontak maupun
herbisida sistemik. Gulma Boreria sp. merupakan jenis gulma berdaun lebar yang
merambat dan menutupi rumpun sagu sehingga menjadi pesaing utama rumpun
sagu dalam menyerap cahaya matahari untuk proses fotosintesis.
Pertumbuhan gulma golongan daun lebar (Melastoma malabathricum dan
Stenochlaena palustris) (Gambar 8) diduga terjadi akibat pecahnya dormansi biji
gulma akibat tersedianya ruang tumbuh dan masuknya cahaya matahari setelah
gulma Nephrolepis sp. dikendalikan secara manual, kondisi demikian memicu
pertumbuhan gulma daun lebar. Dormansi merupakan kelebihan yang dimiliki
oleh semua biji gulma untuk mempertahankan diri dari keadaan lingkungan yang
buruk untuk pertumbuhannya (Sastroutomo, 1990).

Gambar 8. Melastoma malabathricum (kiri) dan Stenochlaena palustris (kanan)

Tingkat Penutupan Gulma

Tingkat penutupan gulma merupakan nilai luasan petak percontohan yang


tertutup oleh gulma baik di gawangan (interrow) maupun di sekitar piringan sagu.
Nilai penutupan di petak percontohan (Tabel 3) tergolong kondisi gulma yang ha-
rus dikendalikan menurut SOP Weeding PT. NSP sehingga lokasi petak per-
contohan sesuai untuk dijadikan sebagai lokasi pengendalian gulma. Tingkat pe-
nutupan gulma menjadi dasar rekomendasi terhadap jenis pengendalian gulma
yang efektif diantara perlakuan yang diaplikasikan.

Tabel 3. Tingkat Penutupan Gulma Sebelum Aplikasi di Petak Percontohan


NO LOKASI ULANGAN 1 ULANGAN II ULANGAN III Rata-Rata
1 Gawangan 88% 58% 43% 63%
2 Piringan 72% 60% 54% 62%
38

Lahan percontohan sebelum adanya pengendalian gulma tertutup oleh ve-


getasi yang mencapai 60% dari gawangan dan piringan. Tingkat penutupan gul-
ma yang cukup tinggi sehingga dapat menghambat kegiatan kebun seperti panen,
pengambilan anakan dan sensus produksi.
Hasil rekapitulasi pengaruh herbisida terhadap tingkat penutupan gulma di
gawangan dan piringan rumpun sagu menjadi indikator bahwa perlakuan berbagai
jenis herbisida yang diaplikasikan mampu menekan pertumbuhan gulma sehingga
tingkat penutupan hanya mencapai 8 % - 16 % dari total luas petak percontohan
setelah 8 MSA, sedangkan perlakuan kontrol menutup petak percontohan paling
tinggi diantara semua perlakuan (29 % - 35 %) setelah 8 MSA (Tabel 4 dan 5).
Perlakuan tebas+Paraquat mampu mengendalikan penutupan gulma sekitar
7 % pada 4 MSA, tetapi tingkat penutupan meningkat hingga 15 % pada 8 MSA.
Efektivitas herbisida Paraquat mampu mengendalikan pertumbuhan gulma di per-
kebunan sagu selama 4 MSA kemudian tingkat penutupan gulma meningkat se-
cara bertahap. Paraquat merupakan herbisida kontak yang efeknya langsung da-
pat terlihat pada minggu awal setelah aplikasi. Demikian pula perlakuan tebas
+Glifosat menunjukkan tingkat pengendalian terhadap penutupan gulma sekitar 6
% pada 4 MSA, kemudian penutupannya meningkat secara bertahap hingga 16 %
pada 8 MSA (Tabel 4). Efek herbisida Glifosat hilang terdegradasi setelah 4 MSA
karena tingkat penutupan meningkat setelah 4 MSA baik di gawangan maupun
piringan.
Perlakuan tebas+Metil Metsulfuron 100 g/ha mampu menekan pertumbuh-
an gulma paling efektif (dibawah 10 %) setelah 8 MSA yang merupakan tingkat
penutupan paling kecil diantara semua perlakuan baik di gawangan maupun pi-
ringan (Tabel 4 dan 5). Metil metsulfuron termasuk golongan herbisida sulfonil-
urea, efektif terhadap gulma berdaun lebar, semak dan pakis (Siregar et.al, 1990).
Tingkat penutupan gulma baik di gawangan maupun piringan menunjuk-
kan bahwa gulma mulai tumbuh dan menutup kembali areal setelah 8 MSA. SOP
(Standard Operating Procedure) PT. National Sago Prima yang menerapkan pe-
ngendalian gulma setiap 6 bulan sekali akan menjadi kurang efektif karena di-
pastikan gulma telah tumbuh tinggi hingga menutupi gawangan dan piringan.
39

Tabel 4. Tingkat Penutupan Gulma di Gawangan Setelah Aplikasi


Minggu Setelah Aplikasi (MSA)
Perlakuan
1 2 3 4 5 6 7 8
……………………persentase penutupan (%)…………………………
Kontrol 12.75 15.00 15.55 16.67 14.43 15.53 32.22 29.99
Tebas+Paraquat 5.55 6.00 5.56 7.22 8.33 8.33 12.77 15.57
Tebas+Glifosat 7.33 6.44 6.22 6.67 7.22 11.11 10.55 16.11
Tebas+ MM 12.77 8.78 7.33 7.22 6.11 7.78 7.22 8.33
Tebas+(Glifosat+MM) 4.11 5.67 9.00 8.87 7.78 6.67 9.44 11.11

Tabel 5. Tingkat Penutupan Gulma di Piringan Setelah Aplikasi


Minggu Setelah Aplikasi (MSA)
PERLAKUAN
1 2 3 4 5 6 7 8
…………………..persentase penutupan (%)……………………………
Kontrol
6.44 6.99 12.33 8.89 13.89 11.11 28.89 35.55
Tebas+Paraquat
4.11 5.11 5.67 5.56 7.22 8.89 10.00 11.66
Tebas+Glifosat
5.22 4.56 6.22 6.67 6.67 7.22 10.55 10.55
Tebas+ MM
6.22 4.33 7.89 6.11 7.22 6.67 8.33 8.89
Tebas+(Glifosat+MM)
6.22 4.33 4.89 7.77 5.56 7.77 8.33 10.55

Tingkat Kematian Gulma

Tingkat kematian gulma merupakan nilai persentase keberhasilan dari per-


lakuan yang diaplikasikan terhadap gulma yang mampu dikendalikan baik di ga-
wangan maupun di sekitar piringan. Semua perlakuan herbisida mampu mengen-
dalikan gulma dengan tingkat kematian berkisar 80 % - 90 % dari total luasan pe-
tak percontohan baik di gawangan maupun piringan sagu (Tabel 6 dan 7).
Gulma pada perlakuan kontrol ditebas secara manual menggunakan parang
hingga ketinggian gulma 15 cm diatas permukaan tanah. Tingkat kematian gulma
pada perlakuan kontrol di gawangan maupun piringan sagu cenderung menurun
dari 4 MSA hingga 8 MSA karena gulma pada pengendalian kontrol telah sepe-
nuhnya kering pada minggu awal setelah aplikasi sehingga setelah 4 MSA bebera-
pa gulma pakis dan gulma golongan daun lebar mulai tumbuh kembali.
40

Tabel 6. Tingkat Kematian Gulma Di Gawangan Setelah Aplikasi


Minggu Setelah Aplikasi (MSA)
PERLAKUAN
1 2 3 4 5 6 7 8
……………………..…persentase kematian (%)………………………...……
Kontrol
87.24 85.00 84.45 83.33 85.57 84.45 67.77 70.01
Tebas+Paraquat
94.44 94.00 94.44 92.77 91.67 91.67 87.22 84.44
Tebas+Glifosat
92.67 93.56 93.77 93.33 92.77 88.89 89.45 83.88
Tebas+ MM
87.22 91.22 92.66 92.77 93.89 92.22 92.77 91.67
Tebas+(Glifosat+MM)
95.89 94.33 90.99 91.11 92.22 93.33 90.56 88.89

Tabel 7. Tingkat Kematian Gulma Di Piringan Setelah Aplikasi


Minggu Setelah Aplikasi (MSA)
PERLAKUAN
1 2 3 4 5 6 7 8
………………………persentase kematian(%)………………………..…
Kontrol
93.56 93.00 87.67 91.11 86.11 88.89 71.11 64.43
Tebas+Paraquat
95.89 94.89 94.33 94.43 92.77 91.11 90.00 88.34
Tebas+Glifosat
94.78 95.44 93.77 93.33 93.33 92.78 89.45 89.45
Tebas+ MM
93.78 95.67 92.11 93.88 92.78 93.33 91.67 91.11
Tebas+(Glifosat+MM)
93.78 95.67 95.11 92.22 94.44 92.22 91.67 89.44

Tingkat kematian gulma dari perlakuan herbisida menunjukkan perlakuan


tebas+Paraquat, tebas+Glifosat, dan tebas+(Glifosat+Metil Metsulfuron) mampu
mengendalikan gulma hingga 7 MSA. Tingkat kematian gulma pada saat 8 MSA
menurun yang disebabkan oleh gulma Melastoma malabathricum dan Stenochlae-
na palustris yang mulai tumbuh di lahan.
Tingkat kematian yang berbeda ditunjukkan dari perlakuan tebas+Metil
Metsulfuron yang tetap stabil setelah 8 MSA. Efek Metil Metsulfuron masih tetap
ada setelah 8 MSA sehingga tidak ada gulma yang tumbuh kembali dan perlakuan
tebas+Metil Metsulfuron mampu mengendalikan kematian gulma hingga 91.67 %
di gawangan dan 91.11 % di piringan.
Hasil pengamatan di petak percontohan menunjukkan bahwa efektivitas
pengendalian gulma di PT. National Sago Prima dapat ditingkatkan dengan pe-
ngendalian gulma terpadu yang diawali dengan pengendalian manual (tebas) ke-
mudian dilanjutkan dengan pengendalian secara kimia ketika tunas-tunas gulma
41

sudah mulai terlihat tumbuh. Jeda waktu yang diperlukan untuk gulma tumbuh
kembali di lahan berdasarkan perlakuan yang dilaksanakan di petak percontohan
adalah 4 MSA.

Analisis Vegetasi Sagu

Jumlah Anakan Sagu

Analisis yang dilakukan terhadap rumpun sagu bertujuan untuk menge-


tahui efek dari pengendalian gulma baik secara manual maupun kimia terhadap
pertumbuhan. Peubah yang diamati meliputi jumlah anakan, jumlah pelepah
anakan luar dan jumlah pelepah anakan dalam. Peubah jumlah anakan diambil
karena respon yang cepat terlihat dari perlakuan herbisida adalah pada anakan
sagu dalam rumpun. Anakan sagu secara umum rata-rata bertambah tiga anakan
setiap bulan (Andany, 2009).

Tabel 8. Rata-Rata Jumlah Anakan Sagu Setelah Aplikasi


Minggu Setelah Aplikasi (MSA)
Perlakuan
2 4 6 8
Kontrol 218.67 223.67 223.67 224.67
Tebas+Paraquat 241.33 247.33 250.00 251.33
Tebas+Glifosat 220.67 224.67 225.00 226.00
Tebas+ MM 249.33 252.67 254.00 254.67
Tebas+(Glifosat+MM) 133.67 138.33 139.33 140.67

Hasil yang diperoleh dari pengamatan menunjukkan bahwa pertambahan


anakan sagu tidak terpengaruh oleh adanya pengendalian gulma secara kimia di-
bandingkan dengan pengamatan pada tanaman kontrol (Tabel 8). Pertambahan
anakan sagu pada perlakuan kontrol tumbuh secara normal (3 anakan/bulan) de-
mikian pula dengan pertambahan pada perlakuan secara kimia. Perlakuan herbi-
sida mampu mengendalikan pertumbuhan gulma di gawangan dan piringan, tetapi
pertambahan anakan sagu tidak terpengaruh oleh adanya perlakuan herbisida yang
diaplikasikan.
42

Jumlah Pelepah Daun Anakan Sagu

Anakan yang dijadikan tanaman contoh dibedakan berdasarkan lokasi


anakan terhadap tanaman induk. Anakan dalam adalah yang dekat dengan ta-
naman induk sedangkan anakan luar adalah anakan yang paling luar dari rumpun
sagu.
Pengamatan pada peubah pertumbuhan jumlah pelepah anakan luar sagu
menunjukkan bahwa pengendalian gulma manual (kontrol) dan perlakuan kimia
tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan jumlah pelepah daun anakan luar selama
8 MSA. Anakan luar dari rumpun sagu pada perlakuan kimia tetap tumbuh di-
bandingkan dengan perlakuan kontrol tanpa adanya gangguan terutama pada pe-
ubah jumlah pelepah daun anakan sagu. (Tabel 9).

Tabel 9. Rata-Rata Jumlah Pelepah Anakan Luar Sagu Setelah Aplikasi


Minggu Setelah Aplikasi (MSA)
Perlakuan
2 4 6 8
Kontrol 25.33 29.33 30.67 33.00

Tebas+Paraquat 29.67 32.33 34.00 35.00

Tebas+Glifosat 26.33 27.00 27.00 29.33

Tebas+ MM 27.33 30.33 27.33 30.33

Tebas+(Glifosat+MM) 20.67 21.33 26.00 30.33

Peningkatan jumlah pelepah daun anakan luar pada perlakuan kimia di-
sebabkan karena dosis herbisida yang diaplikasikan tidak berpengaruh secara sig-
nifikan pada pertambahan anakan dan pertumbuhan pelepah daun anakan sagu. Ja-
rak tanam sagu 8 m x 8 m menyebabkan efek dari herbisida hanya mampu me-
ngendalikan pertumbuhan gulma, sedangkan pertumbuhan sagu tidak terpengaruh
oleh adanya perlakuan herbisida.
Hasil pengamatan pada peubah jumlah anakan dalam yang dilakukan pada
2, 4, 6, dan 8 MSA menunjukkan adanya penurunan jumlah pelepah daun baik
perlakuan gulma secara manual (tebas) maupun perlakuan secara kimia. Kondisi
penurunan jumlah pelepah terjadi karena kurangnya kontrol pada pemeliharaan
tanaman (pruning) tanaman contoh selama pengamatan sehingga jumlah pelepah
43

daun anakan dalam pada 2 MSA untuk perlakuan tebas+Metil Metsulfuron dan
tebas+(Glifosat+Metil Metsulfuron) menurun, demikian pula pada 4 MSA untuk
perlakuan tebas+Paraquat dan tebas+Glifosat jumlah pelepah daun anakan dalam
juga menurun (Tabel 10).

Tabel 10. Rata-rata Jumlah Pelepah Anakan Dalam Sagu Setelah Aplikasi
Minggu Setelah Aplikasi (MSA)
Perlakuan
2 4 6 8
Kontrol 27.00 25.00 25.33 26.00

Tebas+Paraquat 29.00 31.33 30.00 30.00

Tebas+Glifosat 31.33 29.33 26.33 30.00

Tebas+ MM 26.67 22.33 24.00 24.33

Tebas+(Glifosat+MM) 20.33 19.00 19.33 19.67

Gejala Keracunan

Pengendalian gulma secara kimia pada lahan perkebunan akan memberi-


kan efek keracunan (fitotoksisitas) mulai dari ringan hingga yang membahayakan
tanaman. Gejala awal yang terlihat dari adanya keracunan pada rumpun sagu
adalah warna pelepah daun yang menguning dan adanya bercak (spot) pada daun
dan pelepah daun yang sering disebut nekrosis.
Gejala keracunan lebih mudah terlihat pada tanaman sisipan dengan rata-
rata memiliki 2-5 pelepah daun karena tanaman sisipan lebih peka terhadap
adanya aplikasi herbisida. Pengamatan gejala keracunan pada rumpun sagu di-
lakukan dengan pengamatan pada kondisi akar nafas di piringan dan warna pe-
lepah anakan luar dan anakan dalam. Ada dua macam gejala fitotoksisitas yang di-
alami sagu apabila terkena herbisida, yaitu gejala akut dan gejala kronis.
Herbisida sistemik menunjukkan gejala keracunan kronis yang terjadi pada
seluruh bagian tanaman, mulai dari akar, pelepah, dan daun sagu. Herbisida
kontak hanya merusak bagian sagu yang terkena semprotan (gejala akut). Gejala
keracunan lebih cepat terlihat pada aplikasi herbisida kontak daripada herbisida
sistemik.
44

Gejala keracunan yang terjadi akibat aplikasi herbisida diamati dengan


peubah kondisi akar nafas. Kondisi akar nafas yang keracunan menjadi kering dan
kerapatannya berkurang di sekitar piringan. Gejala keracunan menjadi pertanda
awal dari adanya perubahan kondisi akar nafas akibat aplikasi herbisida.
Akar nafas di piringan sagu yang diamati mulai mengalami penurunan
jumlah penutupan pada 3 MSA untuk semua perlakuan termasuk akar nafas pada
perlakuan kontrol. Penurunan tingkat penutupan akar nafas diduga karena dua
faktor yaitu kondisi lahan yang tidak ada hujan selama tiga minggu (3 MSA
hingga 6 MSA) sehingga akar nafas yang sangat peka terhadap kondisi air men-
jadi kering, tanaman sagu sudah mulai merespon adanya keracunan (fitotoksisitas)
akibat aplikasi herbisida pada 3 MSA. Kondisi musim hujan di PT. National Sago
Prima terjadi sekitar bulan September-Januari, dan musim kemarau terjadi sekitar
bulan Februari hingga Agustus (www.merantikab.go.id).
Perlakuan kontrol mengalami penurunan pada 3 MSA disebabkan kondisi
akar nafas yang terbuka selama pengamatan menjadi kering karena terkena sinar
matahari sehingga tingkat penutupan akar nafas menjadi turun (Tabel 11).

Tabel 11 . Persentase Penutupan Akar Nafas di Piringan Setelah Aplikasi


Minggu Setelah Aplikasi (MSA)
Perlakuan
1 3 5 7
……………persentase penutupan (%)………………………..
Kontrol 35.00 26.67 12.22 21.11
Tebas+Paraquat 18.89 13.89 10.56 18.89
Tebas+Glifosat 34.44 20.00 12.78 20.00
Tebas+ MM 25.56 21.11 13.33 20.00
Tebas+(Glifosat+MM) 47.78 26.67 14.44 17.78

Penutupan akar nafas di piringan meningkat pada 7 MSA untuk semua


perlakuan yang disebabkan oleh pengaruh herbisida yang sudah mulai hilang pada
7 MSA. Akar nafas sudah melakuakan recovery dari adanya pengaruh herbisida
sehingga akar nafas kembali tumbuh dan menutupi daerah sekitar piringan sagu.
Peubah kematian gulma dan tingkat penutupan gulma di gawangan dan piringan
juga berubah pada 7 MSA karena efek dari herbisida yang sudah mulai meng-
hilang.
45

Peubah tingkat keracunan pada rumpun sagu juga dapat diamati dari
perubahan warna pelepah setelah aplikasi. Perubahan warna dinilai dengan skor-
ing dengan ketentuan sebagai berikut : tidak ada gejala keracunan ditandai dengan
warna pelepah hijau (skor 1), keracunan ringan ditandai warna pelepah hijau ke-
kuningan (skor 2), keracunan sedang ditandai warna pelepah kuning bercak coklat
(skor 3), keracuanan berat ditandai warna pelepah coklat dominan (skor 4).
Perubahan warna pelepah menjadi indikator bahwa ada gejala keracunan
akibat aplikasi herbisida terhadap rumpun sagu. Pelepah sagu secara alami akan
mengalami perubahan warna dari mulai hijau hingga berwarna coklat tua yang
menandakan pelepah telah kering (mati) tetapi proses degradasi warna membutuh-
kan waktu lama bila dibandingkan dengan proses degradasi warna yang diakibat-
kan oleh adanya gejala keracunan akibat aplikasi herbisida. Anakan sagu yang di-
jadikan tanaman contoh adalah yang terletak di dalam rumpun dan anakan yang
terluar dari rumpun.
Hasil rekapitulasi sidik ragam perubahan skoring warna pada pelepah
anakan dalam dan pelepah anakan luar menunjukkan bahwa perlakuan herbisida
pada 6 MSA dan 8 MSA memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan
warna pelepah anakan jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol (Tabel 12).
Perlakuan herbisida menyebabkan gejala keracunan yang ditandai adanya
perubahan warna baik pelepah anakan dalam maupun anakan luar, namun tingkat
keracunan (fitotoksisitas) tidak berpengaruh terhadap kematian pelepah anakan sa-
gu sehingga peubah jumlah pelepah anakan tetap meningkat, tetapi pelepah anak-
an setelah 6 MSA berubah warna menjadi kuning atau bercak coklat.

Tabel 12. Perubahan Skoring Warna Pelepah Anakan Dalam


PERLAKUAN Minggu Setelah Aplikasi (MSA)
2 4 6 8
……………………Perubahan Warna (Skoring)…………..
Manual (kontrol) 1.47a 1.86a 1.86b 1.86b
Manual+ Paraquat 1,5 L/ha 2.58a 2.53a 2.63a 2.61a
Manual+ Glifosat 5 L/ha 2.78a 2.52a 2.63a 2.61a
Manual+ MM 100 g/ha 2.56a 2.37a 2.67a 2.64a
Manual + (Glifosat+MM) 2.14a 1.97a 1.86b 1.81b
Uji-F tn tn ** **
46

Keterangan : warna pelepah hijau (skor 1), warna pelepah hijau bercak coklat (skor 2) dan
warna pelepah dominan coklat (skor 3).

Tabel 13. Perubahan Skoring Warna Pelepah Anakan Luar


Minggu Setelah Aplikasi (MSA)
Perlakuan
2 4 6 8
…………………….Perubahan Warna (Skoring)……………
Manual (kontrol) 1.86a 1.98a 1.89ab 1.89ab
Manual+ Paraquat 1,5 L/ha 2.67a 2.57a 2.69a 2.61a
Manual+ Glifosat 5 L/ha 2.72a 2.25a 2.44a 2.41a
Manual+ MM 100 g/ha 1.86a 1.90a 2.36a 2.25a
Manual + (Glifosat+MM) 2.05a 1.97a 1.44b 1.39b
Uji-F tn tn ** **
Keterangan : Warna pelepah hijau (skor 1), warna pelepah hijau bercak coklat (skor 2) dan
warna pelepah dominan coklat (skor 3).
** berbeda nyata pada taraf 5%

Adanya perubahan warna pelepah daun anakan sagu yang terjadi di petak
percontohan pada 6 dan 8 MSA diduga karena dosis aplikasi yang digunakan
(Metil metsulfuron 100 g/ha dan Glifosat 5 L/ha) mampu meracuni anakan luar
dan anakan dalam rumpun sagu. Gejala keracunan tidak ditemukan pada pe-
nelitian Amarilis (2009) yang menggunakan dosis Metil metsulfuron yang lebih
rendah (75 g/ha).
Gejala keracunan pada peubah warna pelepah daun menunjukkan bahwa
dosis herbisida yang diaplikasikan (Paraquat 1.5 L/ha, Glifosat 5 L/ha, Metil Met-
sulfuron 100 g/ha) mampu meracuni anakan sagu sehingga PT. National Sago Pri-
ma dalam melaksanakan kegiatan pengendalian gulma secara kimia harus lebih
waspada karena tanaman sagu yang terkena semprotan herbisida akan menyebab-
kan keracunan meskipun gejalanya baru bisa telihat setelah 6 MSA.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengendalian gulma di
perkebunan sagu yaitu kalibrasi herbisida, cara aplikasi, pengaruh jenis pelarut,
dan kecepatan berjalan penyemprot. Faktor pembuatan larutan herbisida yang ku-
rang terkontrol dan kecepatan berjalan di piringan diduga dapat mengakibatkan
volume herbisida yang dikeluarkan menjadi lebih banyak dan hasilnya mampu
meracuni rumpun sagu.

Anda mungkin juga menyukai