PERTANIAN
Fandi Suganda Rahmatullah1, Moch Revo Zulvikar 2dan Gita Fitri Kautsari 3
Universitas Negeri Jember, Fakultas Pertanian, Jurusan Agroteknologi
Jalan Kalimantan No. 37 Kampus Tegalboto Sumbersari, Krajan Timur, Sumbersari, Kabupaten Jember, Jawa Timur 68121
anaksoleh1144@gmail.com
ABSTRAK
Perkebunan buah naga dengan lahan miring di wilayah Rembangan merupakan perkebunan milik pemerintah yang memiliki luas lahan
sebesar 3 hektare. Tanah pada tempat praktikum perkebunan buah naga di lahan miring memiliki karakteristik berporous yang artinya
tanag memiliki pori-pori yang baik dalam meresap dan menjerap air. Perkebunan buah naga di lahan miring wilayah Rembangan secara
ekologis mendapatkan nilai 22, secara ekonomis mendapatkan nilai 27, dan secara sosial mendapatkan nilai 25, sehingga total nilai
sebesar 74 yang artinya perkebunan buah naga di lahan miring wilayah Rembangan memiliki potensi yang tinggi untuk berkelanjutan.
Pestisida yang digunakan berasal dari campuran tembakau dan mimbah yang telah difermentasi. Pestisida yang diperlukan dalam 3
hektare lahan sebanyak 15 liter. Volume penggunaan pestisida yang sedikit dikarenakan tidak semua tanaman diberikan pestisida,
hanya tanaman-tanaman tertentu yang terserang hama dan penyakit terutama hama semut. Tanaman selain buah naga yang
dibudidayakan bukanlah sebagai kmoditas utama melainkan memiliki fungsi lain contohnya tanaman sirsat yang berfungsi untuk
refugia yaitu tanaman yang mengalihkan semut agar tidak menyerang buah naga melainkan menyerang tanaman sirsat. Harga buah
naga stabil Rp. 15.000,-. Pengairan pada perkebunan menggunakan pengairan tadah hujan.Harga buah naga pada perkebunan buah
naga di wilayah rembangan relatif stabil karena berkerja sama dengan perusahaan mitra, sedangkan harga buah naga pada lahan datar
yang banyak dimiliki oleh petani secara perorangan sehingga ketika panen serentak teori pemsaran akan berlaku yaitu apabila produksi
tinggi maka penawaran tinggi, dan harga akan mengikuti kelangkaan suatu barang, panen raya buah naga menyebabkan kelangkaan
buah naga menurun dan mengakibatkan harga turun dan fluktuatif .
ABSTRACT
Dragon fruit plantation with sloping land in the Rembangan area is a government-owned plantation that has a land area of 3 hectares.
The land at the practicum of dragon fruit plantations on sloping land has a characteristic that means that tanag has pores that are good at
absorbing and absorbing water. The dragon fruit plantation on the sloping land in the ecological area of Rembangan has a value of 22,
economically gets a value of 27, and socially gets a value of 25, so the total value is 74 which means dragon fruit plantations in the
sloping land of Rembangan have high potential for sustainability. The pesticides used are from a mixture of tobacco and fermented
pulp. Pesticides needed in 3 hectares of land are 15 liters. The volume of pesticide use is small because not all plants are given
pesticides, only certain plants are attacked by pests and diseases, especially ants. Plants other than the cultivated dragon fruit are not the
main commodity but have other functions, for example, tailings plants that function as refugia, which are plants that divert ants from
attacking the dragon fruit but attack the tailings plants. The price of dragon fruit is stable Rp. 15,000. Irrigation on plantations uses
rainfed irrigation. The price of dragon fruit on dragon fruit plantations in the rembangan area is relatively stable because it works with
partner companies, while the price of dragon fruit on flat land is mostly owned by individual farmers so that when the harvest is
simultaneously the marketing theory will apply namely if the production is high then the supply is high, and the price will follow the
scarcity of an item, the harvest of dragon fruit causes the scarcity of dragon fruit to decline and causes prices to fall and fluctuate.
How to citate: Rahmatullah, FS., M R Zulvikar., G. F. Kautsari. 2019 Sistem Pertanian Lahan Miring. Berkala Ilmiah Pertanian 1(1): 1-3
sumber makanannya. Penggunaan bahan kimia juga membuat beberapa Mamondol, M.R., dan S.A. Taariwuan. 2015. Penilaian Petani Terhadap
hama dan penyakit resisten terhadap dosis tertentu apabila penyakit dan Multifungsi Pertanian Padi Sawah Anorganik Dan Organik Di Desa
hama mampu bertahan saat penyemprotan. Pestisida pada dosis tertentu Tonusu Kecamatan Pamona Puselemba. Agropet.12(2): 23-34.
juga akan menjadi racun bagi organisme lain. Penggunaan pupuk kimia Martina, dan R. Praza. 2018. Analisis Tingkat Kesejahteraan Petani Padi Sawah Di
secara terus menerus juga akan membuat terjadinya degradasi lahan karena Kabupaten Aceh Utara. Agrifo.3(2): 27-34.
tanah pada lahan kekurangan bahan organik sehingga mikroorganisme
yang bertugas membuat pupuk kimia terurai sehingga dapat digunakan Nearing, M.A., Y. Xie, B. Liu, Y. Ye. 2017. Natural and Anthropogenic Rates of
tanaman menjadi banya yang mati membuat pupuk tidak dapat terserap Soil Erosion. International Soil and Water Conservation Research. 5(1): 77-
84.
tanaman secara maksimal. Penanaman buah naga pada lahan yang miring
juga merupakan konservasi lahan agar lahan tidak terbengkalai, selain itu Solikin, Nur., dan Linawati. 2014. Konsepsi Masyarakat Kediri Tentang Pertanian
lahan miring yang ditanami oleh buah naga tidak mudah longsor akibat Berkelanjutan Menuju Ketahanan Pangan Nasional. Nusantara of Research.
akar yang menyebar kedalam tanah membuat tanah saling merekat dan 1(2): 125-133.
kuat, namun potensi untuk terjadinya longsor pada lahan miring sangat
Suryana, I.M., dan I.B. Widiadnya. 2016. Pertanian Berkelanjutan Melalui
besar. Konservasi lahan menjadi lahan pertanian membantu untuk Pengelolaan Limbah Dan Pengolahan Pasca Panen. Bakti Saraswati. 5(2):
meningkatkan produksi pertanian. Produksi pertanian banyak menurun 100-104.
akibat banyakanya alih fungsi lahan menjadi pemukiman, industri dan
sebagainya (Putra dkk., 2016). Penilaian secara ekonomi yang tinggi
karena keuntung yang melebihi 4 kali lipat dari biaya yang dibutuhkan per
hektare nya. Kepemilikan lahan yang merupakan milik negara
menyebabkan usaha tidak perlu khawatir terhadap penyediaan modal
karena telah biayai oleh negara. Keuntungan masuk kedalam kas
pemerintah daerah. Biaya yang digunakan untuk membayar petani
merupakan harga standar tidak terlalu mahal, dimana satu hektare lahan
dibutuhkan hanya satu orang pekerja. Petani pada lahan datar sering
dimiliki oleh perorangan dan tenaga kerja yang dibutuhkan berasal dari
saudara-saudara sendiri. Biaya tenaga kerja dalam keluaga (implisit) lebih
murah daripada biaya tenaga kerja diluar keluarga (eksplisit) (Istiyanti dkk.,
2015). Harga buah naga pada perkebunan buah naga di wilayah
rembangan relatif stabil karena berkerja sama dengan perusahaan mitra,
sedangkan harga buah naga pada lahan datar yang banyak dimiliki oleh
petani secara perorangan sehingga ketika panen serentak teori pemsaran
akan berlaku yaitu apabila produksi tinggi maka penawaran tinggi, dan
harga akan mengikuti kelangkaan suatu barang, panen raya buah naga
menyebabkan kelangkaan buah naga menurun dan mengakibatkan harga
turun dan fluktuatif . Penilaian secara sosial menunjukkan angka yang
tinggi karena petani yang ditugaskan untuk memlihara tanaman buah naga
ialah masyarakat setempat sehingga perkebunan buah naga milik
pemerintah mampu memberdayakan masyarakat dan memberikan peluang
kerja dan memberdayakan masyarakat sekitar. Permasalahan awal tanam
yaitu petani yang kebingungan buah naga tidak berbuah sedang petani
tidak memiliki pengalaman terkait budidaya buah naga. Pendamping yang
diberikan berasal dari luar negeri yaitu dari jepang dan Taiwan, disisi lain
para petani tidak mengerti bahasa asing. Perkebunan buah naga pada lahan
datar yang biasanya dimiliki oleh perorangan dirawat oleh beberapa
anggota keluarga dan tetangga menyebabkan rekatnya dan bagusnya
hubungan antar masyarakat.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Sitanala., dan E. Rustiadi. 2008. Penyelamatan Tanah, Air, dan
Lingkungan. Obor, Jakarta.
Barchia, M. F. 2016. Options for Land Conservation Practices Based on Land Uses
in Kungkai Watershed, Bengkulu, Sumatera, Indonesia. Environmental
Science and Development. 7(3): 221-224.