Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Agroekosistem merupakan ekosistem yang dimodifikasi dan dimanfaatkan secara
langsung atau tidak langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan
atau sandang. Karakteristik esensial dari suatu agroekosistem terdiri dari empat sifat
utama yaitu produktivitas (productivity), kestabilan (stability), keberlanjutan
(sustainability) dan kemerataan (equitability). Untuk mencapai tujuannya, kriteria yang
digunakan untuk menentukan karakteristik agroekosistem meliputi ekosistem, ekonomi,
sosial, dan teknologi yang digunakan dalam budidaya. Salah satu agroekosistem yang ada,
terutama dimanfaatkan dalam konservasi adalah sistem agroforestri.
Manajemen agroekosistem adalah kegiatan mengelola ekosistem pada lahan pertanian
sedemikian rupa sehingga seperti keadaan yang alamiah dan berkelanjutan, keadaan
seperti ini diupayakan oleh manusia. Manajemen agroekosistem meliputi tiga aspek, yaitu
aspek Hama Penyakit Tanaman, aspek Tanah dan aspek Budidaya Pertanian. Ketiga aspek
tersebut sangat berhubungan erat satu sama lain dan juga saling mempengaruhi. Ketiga
aspek tersebut dapat kita jumpai pada lahan pertanian di Desa Bayem Kecamatan
Kasembon Kabupaten Malang, pada lahan pertamian ini dengan tanaman komoditas padi
dapat dijumpai dua system pengelolaan hama dan penyakit yaitu, dengan pengelolaan
hama terpadu (PHT) dan non pengelolaan hama terpadu (non-PHT). Untuk budiaya
penanaman padi menggunakan system tanam monokultur dengan pola tanam jajar legowo,
pola tanam ini bertujuan untuk mengurangi intensitas serangan hama tikus. Untuk tanah
yang ada di lahan tersebut diberikan pupuk anorganik dan bokasi (bahan organic kaya
nutrisi), pemberian pupuk ini perlahan-lahan sudah mulai berubah menuju pupuk alami.
Dilihat dari tiga aspek tersebut dapat terlihat bahwa petani sudah menerapkan system
manajemen agroekosistem yang berkelanjutan. Keadaan ini diharapkan terus berjalan dan
semakin baik agar didapatkan hasil produksi pertanian yang optimal baik secara kualitas
dmaupun kuantitasnya, namun juga memperhatikan keseimbangan lingkungan yang ada.

1
1.2.Tujuan
- Untuk mengetahui agroekosistem lahan basah dan lahan kering
- Untuk mengetahui agroekosistem yang ada di lahan dengan komoditas padi
- Untuk mengetahui hubungan tiga aspek dalam manajemen agroekosistem

1.3.Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah dan praktikum ini adalah dapat mengetahui
dan memahami agroekosistem yang ada pada lahan pertanian padi serta dapat menganalisi
hubungan antara aspek HPT, BP, dan TANAH dalam manajemen agroekosotem.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Agroekosistem Lahan Basah


Lahan basah atau wetland (Ingg.) adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh
dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu
sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal.
Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya, adalah rawa-rawa (termasuk rawa
bakau), paya, dan gambut. Air yang menggenangi lahan basah dapat tergolong ke
dalam air tawar, payau atau asin.
Lahan basah merupakan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang
tinggi dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem. Di atas lahan basah tumbuh berbagai
macam tipe vegetasi(masyarakat tetumbuhan), seperti hutan rawa air tawar, hutan rawa
gambut, hutan bakau, paya rumputdan lain-lain. Pada sisi yang lain, banyak kawasan
lahan basah yang merupakan lahan yang subur, sehingga kerap dibuka, dikeringkan dan
dikonversi menjadi lahan-lahan pertanian. Baik sebagai lahan persawahan, lokasi
pertambakan, maupun --di Indonesia-- sebagai wilayah transmigrasi.Mengingat nilainya
yang tinggi itu, di banyak negara lahan-lahan basah ini diawasi dengan ketat
penggunaannya serta dimasukkan ke dalam program-program konservasi dan rancangan
pelestarian keanekaragaman hayati semisal Biodiversity Action Plan.
Lahan basah digolongkan baik ke dalam bioma maupun ekosistem. Lahan basah
dibedakan dari perairan dan juga dari tataguna lahan lainnya berdasarkan tingginya muka
air dan juga tipe vegetasi yang tumbuh di atasnya. Lahan basah dicirikan oleh muka air
tanah yang relatif dangkal, dekat dengan permukaan tanah, pada waktu yang cukup lama
sepanjang tahun untuk menumbuhkan hidrofita, yakni tetumbuhan yang khas tumbuh di
wilayah basah.
(Anonymousa, 2012)
2.2.Agroekosistem Lahan Kering
Lahan kering adalah bagian dari ekosistem teresterial yang luasnya relatif luas
dibandingkan dengan lahan basah (Odum, 1971). Selanjutnya menurut Hidayat dkk
(2000) lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau
tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Lahan kering secara keseluruhan
memiliki luas lebih kurang 70 %. Pada saat ini pemanfaatan lahan kering untuk

3
keperluan pertanian baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan/ perkebunan sudah
sangat berkembang. Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi dengan sangat cepat
menyebabkan kebutuhan akan bahan pangan dan perumahan juga akan meningkat.
Sejalan dengan itu pengembangan lahan kering untuk pertanian tanaman pangan dan
perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sudah merupakan keharusan. Usaha intensifikasi
dengan pola usaha tani belum bisa memenuhi kebutuhan. Upaya lainnya dengan
pembukaan lahan baru sudah tidak terelakkan lagi.
Lahan kering dapat dibagi dalam dua golongan yaitu lahan kering dataran rendah
yang berada pada ketinggian antara 0 – 700 meter dpl dan lahan kering dataran tinggi
barada pada ketinggi diatas 700 meter dpl (Hidayat, 2000).
Pengelolaan agrokosistem lahan kering dipandang sebagai bagian dari pengelolaan
ekosistem sumberdaya alam oleh masyarakat petani yang menempati areal dimana mereka
menetap. Masyarakat petani menanami lahan pertanian dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarganya dapat dikatakan sebagai bagian dari pengelolaan
agroekosistem lahan kering di daerahnya. Menurut Soerianegara (1977) pengelolaan
agroekosistem lahan kering merupakan bagian dari interaksi atau kerja sama masyarakat
dengan agroekosistem sumberdaya alam. Pengelolaan agroekosistem lahan kering
merupakan usaha atau upaya masyarakan pedesaan dalam mengubah atau memodifikasi
ekosistem sumberdaya alam agar bisa diperoleh manfaat yang maksimal dengan
mengusahakan kontinuitas produksinya. Komoditas yang diusahatan tentunya disesuaikan
dengan kondisi setempat dan manfaat ekonomi termasuk pemasaran. Dalam
pembangunan pertanian berkelanjutan pengelolaan agroekosistem lahan kering dapat
dipandang sebagai upaya memperbaiki dan memperbaharui sumberdaya alam yang bisa
dipulihkan (renewable resourses) di daerahnya. Dalam pemanfaatan sumberdaya lahan
kering untuk pertanian berkelanjutan memerlukan pendekatan lingkungan dan mengikuti
kaidah pelestarian lingkungan.
Pengelolaan lahan pertanian khususnya lahan kering yang lestari dan berkelanjutan
memerlukan penanganan yang profesional dan mengikuti kaidah lingkungan. Menurut
Goenadi (2002) pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan memiliki lima pilar
penyangga, yaitu Produktifitas, keamanan, proteksi, viabilitas dan akseptibilitas. Pada
lahan miring dengan kemiringan diatas 15 % aapabila tanah tidak dikelola dengan
baik/ditanami, maka sangat rentan terhadap terjadinya erosi diwaktu hujan. Hal ini
terjadi karena tanah tidak mampu meresapkan air hujan kedalam tanah, sehingga terjadi
aliran permukaan (Run of) yang menghanyutkan butiran-butiran tanah sehingga tanah
menjadi tidak subur lagi. Menurut Sutono dkk (2007) akibat erosi yang terjadi selama
4
musim hujan tidak hanya menghanyutkan butiran-butiran tanah akan tetapi juga
menghanyutkan pupuk dan kompos yang diberikan ketanah juga ikut hanyut sehingga
tanah menjadi kurus, oleh sebab itu erosi harus dicegah sedini mungkin. Dampak dari
terjaninya erosi ini adalah di daerah bagian bawah terjadinya pendangkalan pada daerah
aliran sungai (DAS) yang berakibat terjadinya gangguan keseimbangan ekosistim air
setempat.
(Anonymousb, 2012)
2.3.Kualitas Tanah dan Kesehatan Tanah
a. Kualitas Tanah
Menurut The Soil Science Society of Amerika, yang dimaksud dengan
Kualitas Tanah (soil quality) adalah kapasitas dari suatu jenis tanah yang spesifik
untuk berfungsi di alam atau dalam batas ekosisten terkelola, untuk mendukung
produktivitasbiologi, memelihara kualitas lingkungan dan mendorong kesehatan
hewan dantumbuhan
(Henrik, 2000)
Doran dan Safley (1997) mendefinisikan kualitas tanah sebagai kecocokan
sifat fisik, kimia dan biologi yang bersama-sama :
1. Menyediakan suatu medium untuk pertumbuhan tanaman dan aktivitas
biologi,
2. Mengatur dan memilah aliran air dan penyimpanan di lingkungan serta
3. Berperan sebagai suatu penyangga lingkungan dalam pembentukan dan
pengrusakan senyawa-senyawa yang meracuni lingkungan.

Tanah disebut berkualitas tinggi bila memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

1. Cukup tapi tidak berlebih dalam mensuplai hara


2. Memiliki struktur yang baik
3. Memiliki kedalaman lapisan yang cukup untuk perakaran dan drainase
4. Memiliki drainase internal yang baik
5. Populasi penyakit dan parasit rendah
6. Populasi organisme yang mendorong pertumbuhan tinggi
7. Tekanan tanaman pengganggu (gulma) rendah
8. Tidak mengandung senyawa kimia yang beracun untuk tanaman
9. Tahan terhadap kerusakan dan
10. Elastis dalam mengikuti suatu proses degradasi
(Magdof, 2001)
5
b. Kesehatan Tanah
Kesehatan tanah bisa diukur berdasarkan beberapa indikator kesuburan tanah.
Beberapa indikator kesuburan tanah yang biasa digunakan oleh para ahli tanah antara
lain adalah : kapasitas absorbsi, tingkat kejenuhan basa, kandungan liat dan kandungan
bahan organik. Selanjutnya akan diuraikan dibawah ini.
- Kapasitas Absorbsi dihitung dengan milli equivalent, adalah kemampuan tanah
untuk mengikat/ menarik suatu kation oleh partikel-partikel kolloid tanah (partikel
kolloid itu terdiri dari liat dan organik), dan ini secara langsung mencerminkan
kemampuan tanah melakukan aktifitas pertukaran hara dalam bentuk kation.
Semakin tinggi nilai kapasitas absorbsi, maka tanah dikatakan kesuburannya
semakin baik, yang biasanya susunan kationnya didominasi oleh unsur K
(Kalium), Ca (Calsium) dan Mg (Magnesium), sehingga nilai pH tanah normal
(berkisar 6,5).
- Kejenuhan Basa, nilainya dalam bentuk persen, mencerminkan akumulasi susunan
kation. Peningkatan nilai persen kejenuhan basa mencerminkan semakin tingginya
kandungan basa-basa tanah pada posisi nilai pH tanah yang menyebabkan nilai
kesuburan kimiawi optimal secara menyeluruh. Nilai kesuburan kimiawi secara
sederhana dicermnkan oleh nilai pH, karena nilai pH akan mampu mempengaruhi
dan mencerminkan aktifitas kimiawi sekaligus aktifitas biologis dan kondisi fisik
di dalam tanah.
- Kandungan liat, merupakan ukuran kandungan partikel kolloid tanah. Partikel
dengan ukuran ini (kolloid) akan mempunyai luas permukaan dan ruang pori tinggi
sehingga mempunyai kemampuan absorbsi juga tinggi serta diikuti kemampuan
saling tukar yang tinggi pula diantara partikel kolloid. Kemampuan absorbsi ini
bisa untuk air maupun zat hara, sehingga menjadi cermin peningkatan kesuburan
tanah. Namun jika kandungan liat pada komposisi dominan atau tinggi menjadi
tidak ideal untuk budidaya maupun pengolahan tanah. Kandungan liat yang tinggi
menyebabkan perkolasi, inlfiltrasi, permeabilitas, aerasi tanah menjadi lebih
rendah sehingga menyulitkan peredaran air dan udara.
(Anonymousc, 2012)

6
2.4.Hama dan Penyakit penting tanaman pada Agroekosistem yang diamati
2.4.1. Hama Penting
a. Penggerek Batang (Stem Borer)

Gambar 1. Padi yang terserang sundep


Penggerek batang merupakan hama paling menakutkan pada pertanaman padi,
karena sering menimbulkan kerusakan berat dan kehilangan hasil yang tinggi. Di
lapang, kehadiran hama ini ditandai oleh kehadiran ngengat (kupu-kupu) dan kematian
tunas padi, kematian malai, dan ulat penggerek batang.
Hama ini merusak tanaman pada semua fase tumbuh, baik pada saat
pembibitan, fase anakan, maupun fase berbunga. Bila serangan terjadi pada
pembibitan sampai fase anakan, hama ini disebut sundep, dan jika terjadi pada saat
berbunga, disebut beluk.
Sampai saat ini belum ada varietas yang tahan penggerek batang. Oleh karena
itu gejala serangan hama ini perlu diwaspadai, terutama pada pertanaman di musim
hujan. Waktu tanam yang tepat, merupakan cara yang efektif untuk menghindari
serangan penggerek batang. Hindari penanaman pada musim Desember-Januari,
karena suhu, kelembaban, dan curah hujan pada saat itu sangat cocok bagi
perkembangan penggerek batang, sementara tanaman padi yang baru ditanam, sangat
sensitif pada hama ini. Tindakan pengendalian harus segera dilakukan, kalau > 10%
rumpun memperlihatkan gejala sundep atau beluk.
Insektisida yang efektif terhadap penggerek batang tersedia di kios-kios sarana
pertanian, terutama yang berbahan aktif: karbofuran, bensultaf, karbosulfan,
dimenhipo, amitraz, dan fipronil. Sebelum menggunakan suatu produk pestisida, baca
dan fahami informasi yang tertera pada label. Kecuali untuk kupu-kupu yang banyak
beterbangan, jangan memakai pestisida semprot untuk sundep dan beluk.

7
b. Tomcat

Gambar 2. Imago tomcat


Serangga tomcat kumbang ini sejatinya merupakan spesies kumbang Paederus
fuscipes. "Masyarakat menyebutnya tomcat, mungkin karena bentuknya sepintas
seperti pesawat tempur Tomcat F-14,Nama tomcat sendiri sebenarnya di luar negeri
merupakan merek produk pengontrol populasi hewan pengerat dan produk lem semut.
Tomcat juga merupakan produk pestisida. Kumbang tomcat dalam bahasa Inggris juga
sering disebut rove beetle. Jenis kumbang ini mencakup famili Staphylinidae, terdiri
dari ribuan genus dan kurang lebih 46.000 spesies. Spesies Paederus fiscipes adalah
salah satu jenis kumbang yang masuk dalam genus Paederus. Totalnya, ada sekitar 12
spesies yang masuk genus tersebut.
Ciri-ciri serangga ini adalah memiliki kepala warna hitam, dada dan perut
berwarna oranye, dan sayap kebiruan. Warna mencolok berfungsi sebagai peringatan
bagi predatornya, bahwa serangga ini punya racun. Ukurannya sekitar 7-10
mm. Tomcat biasa hidup di persawahan. Pada siang hari, serangga ini biasa terbang di
tanaman padi untuk mencari mangsa berupa wereng dan hama padi lainnya. Jadi,
sebetulnya kumbang tomcat ini atau Paederus fuscipes adalah serangga yang
bermanfaat bagi petani karena membantu mengendalikan hama-hama padi," jelas
Aunu. Pada malam hari, serangga ini cenderung tertarik pada cahaya lampu. Adapun
dermatitis yang dialami warga diakibatkan oleh racun paederin yang diproduksi
serangga dengan bantuan bakteri. Racun akan keluar saat serangga dalam bahaya atau
dipencet.
(Anonymousd, 2012)

8
c. Walang sangit/rice bug Leptocorisa oratorius (Fabricius)

Gambar 3. Walang sangit


Walang sangit merupakan hama yang umum merusak bulir padi pada fase
pemasakan. Mekanisme merusaknya yaitu menghisap butiran gabah yang sedang
mengisi. Apabila diganggu, serangga akan mempertahankan diri dengan
mengeluarkan bau. Selain sebagai mekanisme mempertahankan diri, bau yang
dikeluarkan juga untuk menarik walang sangit lain dari species yang sama. Walang
sangat merusak tanaman ketika mencapai fase berbunga sampai matang susu.
Kerusakan yang ditimbulkannya menyebabkan beras berubah warna dan mengapur,
serta gabah menjadi hampa.
d. Belalang hijau

Gambar. 4 Belalang

Belalang adalah seranggaherbivora dari subordo Caelifera dalam


ordoOrthoptera.Serangga ini memiliki antena yang hampir selalu lebih pendek dari
tubuhnya dan juga memiliki ovipositor pendek. Suara yang ditimbulkan beberapa
spesies belalang biasanya dihasilkan dengan menggosokkan femur belakangnya
terhadap sayap depan atau abdomen (disebut stridulasi), atau karena kepakan sayapnya
sewaktu terbang. Femur belakangnya umumnya panjang dan kuat yang cocok untuk
melompat.Serangga ini umumnya bersayap, walaupun sayapnya kadang tidak dapat
dipergunakan untuk terbang.Belalang betina umumnya berukuran lebih besar dari
belalang jantan. Dalam Agama Islam, Belalang adalah salah satu dari dua hewan yang
apabila telah terlebih dahulu mati masih dihalalkan untuk dimakan.

9
e. Capung

Gambar. 5 Capung

Capung ditengarai jadi indikator masih sehatnya udara di suatu wilayah.Untuk


mengetahui lebih banyak tentang binatang yang lincah terbang dan warna yang cantik
serta sayap yang indah terterpa sinar matahari ini, baca yang satu ini. Capung yang
terdiri dari 5.000 spesies di dunia ini masuk dalam kelompok serangga yang tergolong
dalam rodo Odonata.Ia bisa hidup mulai dari ketinggian lebih dari 3.000 meter diatas
permukaan laut di hutan, sawah, kebun, sungai, dan danau. Capung tak bisa hidup jauh
dari air.
Capung adalah serangga yang mengalami metamorfosis yang tidak sempurna,
yaitu telur, nimfa, dan dewasa.Ia senang bertelur di daerah yang berair. Saat masih
menjadi nifa, capung akan memangsa berudu dan ikan-ikan kecil, lalu setelah dewasa
ia akan menyantap serangga seperti kutu, ngengat, nyamuk, kupu-kupu, juga kepik.
Kelebihan capung ada banyak, misalnya pada bagian yang paling menonjol
dari capung yaitu matanya.Pada sepasang matanya terdapat 30.000 lensa berbeda,
sehingga pandangannya sangat luas. Selain itu capung adalah serangga tercepat di
dunia, ia mampu terbang dengan kecepatan 97 km/jam dan mampu melakukan
perjalanan sejauh 137 km dalam satu hari.
Capung ditengarai jadi indikator masih sehatnya udara di suatu wilayah.Untuk
mengetahui lebih banyak tentang binatang yang lincah terbang dan warna yang cantik
serta sayap yang indah terterpa sinar matahari ini, baca yang satu ini. Capung yang
terdiri dari 5.000 spesies di dunia ini masuk dalam kelompok serangga yang tergolong
dalam rodo Odonata.Ia bisa hidup mulai dari ketinggian lebih dari 3.000 meter diatas
permukaan laut di hutan, sawah, kebun, sungai, dan danau. Capung tak bisa hidup jauh
dari air. Capung adalah serangga yang mengalami metamorfosis yang tidak sempurna,
yaitu telur, nimfa, dan dewasa.Ia senang bertelur di daerah yang berair. Saat masih
menjadi nifa, capung akan memangsa berudu dan ikan-ikan kecil, lalu setelah dewasa
ia akan menyantap serangga seperti kutu, ngengat, nyamuk, kupu-kupu, juga kepik.

10
f. Laba-laba

Gambar. 6 Laba-laba

Laba-laba, atau disebut juga labah-labah, adalah sejenis hewan berbuku-buku


(arthropoda) dengan dua segmen tubuh, empat pasang kaki, tak bersayap dan tak
memiliki mulut pengunyah.Semua jenis laba-laba digolongkan ke dalam ordo
Araneae; dan bersama dengan kalajengking, ketonggeng, tungau —semuanya berkaki
delapan— dimasukkan ke dalam kelas Arachnida.Bidang studi mengenai laba-laba
disebut arachnologi.

Laba-laba merupakan hewan pemangsa (karnivora), bahkan kadang-kadang


kanibal.Mangsa utamanya adalah serangga. Hampir semua jenis laba-laba, dengan
perkecualian sekitar 150 spesies dari suku Uloboridae dan Holarchaeidae, dan subordo
Mesothelae, mampu menginjeksikan bisa melalui sepasang taringnya kepada musuh
atau mangsanya. Meski demikian, dari puluhan ribu spesies yang ada, hanya sekitar
200 spesies yang gigitannya dapat membahayakan manusia.

Tidak semua laba-laba membuat jaring untuk menangkap mangsa, akan tetapi
semuanya mampu menghasilkan benang sutera --yakni helaian serat protein yang tipis
namun kuat-- dari kelenjar (disebut spinneret) yang terletak di bagian belakang
tubuhnya. Serat sutera ini amat berguna untuk membantu pergerakan laba-laba,
berayun dari satu tempat ke tempat lain, menjerat mangsa, membuat kantung telur,
melindungi lubang sarang, dan lain-lain.

(Anonymouse, 2012)

11
2.4.2. Penyakit Penting

a. Hawar Daun Bakteri (Xanthomonas campestrispv. Oryzae)

Gambar 7. Daun yang terserang penyakit hawar

Hawar daun bakteri (HBD) merupakan penyakit bakteri yang tersebar luas dan
menurunkan hasil sampai 36 %.Penyakit terjadi pada saat musim hujan atau musim
kemarau yang basah, terutama pada lahan sawah yang selalu tergenang, dan dipupuk
N tinggi (> 250 kg Urea/ha).
Penyakit HDB menghasilkan dua gejala khas, yaitu kresek dan hawar.Kresek
adalah gejala yang terjadi pada tanaman berumur < 30 hari (persemaian atau yang baru
pindah).Daun-daun berwarna hijau kelabu, melipat, dan menggulung.Dalam keadaan
parah keadaan daun menggulung, layu, dan mati, mirip tanaman yang terserang
penggerek batang atau terkena air panas (lodoh).Sementara, hawar merupakan gejala
yang paling umum pada tanaman yang telah mencapai fase tumbuh anakan sampai
fase pemasakan.
Gejala diawali dengan timbulnya bercak abu-abu (kekuningan) umumnya pada
tepi daun. Dalam perkembangannya gejala akan meluas, membentuk hawar, dan
akhirnya daun mengering. Dalam keadaan lembab (terutama pagi hari), kelompok
bakteri, berupa butiran berwarna kuning keemasan, dapat dengan mudah ditemukan
pada daun-daun yang menunjukkan gejala hawar. Dengan bantuan angin, gesekkan
antar daun, dan percikan air hujan, massa bakteri ini berfungsi sebagai alat penyebar
penyakit HDB.
b. Busuk batang / stem rot (Magnaporthe salvinii )
Busuk batang merupakan penyakit yang menginfeksi bagian tanaman dalam
kanopi dan menyebabkan tanaman menjadi mudah rebah.Untuk mengamati penyakit
ini, kanopi pertanaman perlu dibuka.Perlu diwaspadai apabila terjadi kerebahan pada
pertanaman, tanpa sebelumnya terjadi hujan dengan angin yang kencang.

12
Gejala awal berupa bercak berwarna kehitaman, bentuknya tidak teratur pada
sisi luar pelepah daun dan secara bertahap membesar.Akhirnya, cendawan menembus
batang padi yang kemudian menjadi lemah, anakan mati, dan akibatnya tanaman
menjadi rebah.
Stadia tanaman yang paling rendah adalah pada fase anakan sampai stadia
matang susu. Kehilangan hasil akibat penyakit ini dapat mencapai 80 %.
Pemupukan tanaman dengan dosis 250 Kg urea, 100 Kg SP36 dan 100 Kg KCI
per ha dapat menekan perkembangan penyakit.Untuk menghindari penyebaran lebih
luas lagi, keringkan tanaman sampai pada saat panen tiba.
c. Bercak Cercospora/Narrow Brown Leaf Spot (Cercospora oryzae)

Gambar. 8 Padi yang terserang C. oryzae

Bercak cercospora disebabkan oleh jamur Cercospora oryzae.Penyakit


menyebabkan kerusakan yang serius pada pertanaman dilahan yang kurang
subur.Penyakit menghasilkan gejala lurus sempit berwarna coklat pada helaian daun
bendera, pada fase tumbuh-pemasakan.Gejala juga dapat terjadi pada pelepah dan
kulit gabah.Penyakit dikendalikan oleh pemupukan berimbang yang lengkap, dengan
dosis 250 Kg urea, 100 Kg SP36, dan 100 Kg KCI per ha.
d. Blas /blast (Pyicularia grisea)

Gambar. 9 Gejala serangan P. grisea

Semula penyakit blas dikenal sebagai salah satu kendala utama pada padi
gogo.Tetapi sejak akhir 1980-an, penyakit ini juga sudah terdapat pada sawah

13
beririgasi.Penyakit yang mampu menurunkan hasil yang sangat besar ini disebabkan
oleh jamur patogen Pycularia grisae.
Penyakit blas menimbulkan dua gejala khas, yaitu blas daun dan blas leher.
Blas daun merupakan bercak coklat kehitaman, berbentuk belah ketupat, dengan pusat
bercak berwarna putih. Sedangkan blas leher berupa bercak coklat kehitaman pada
pangkal leher yang dapat mengakibatkan leher malai tidak mampu menopang malai
dan patah. Kemampuan patogen membentuk strain dengan cepat menyebabkan
pengendalian penyakit ini sangat sulit.
Penyakit ini dikendalikan melalui penanaman varietas tahan secara bergantian
untuk mengantisipasi perubahan ras blas yang sangat cepat, dan pemupukan NPK
yang tepat.Penanaman dalam waktu yang tepat dan perlakuan benih dapat pula
diupayakan.Bila diperlukan dapat menggunakan fungisida yang berbahan aktif metil
tiofanat, fosdifen, atau kasugamisin.

2.5.Pengaruh populasi musuh alami terhadap agroekosistem


Ekosistem pertanian tanaman pangan umumnya bersifat kurang stabil yang dicirikan
oleh diversitas struktur komunitas yang rendah. Susunan jala makanan (food web) pada
ekosistem ini bersifat sederhana sehingga populasi suatu jenis organisme (khususnya yang
berstatus hama) berada dalam keadaan tidak seimbang, bahkan dapat mengalami eksplosi.
Biodiversitas ekosistem tanaman pangan dapat dipertahankan pada taraf tinggi dengan
cara memanipulasi lingkungan, sehingga tercipta kondisi yang menguntungkan bagi
spesies-spesies untuk saling berinteraksi dalam ekosistem.
Musuh alami sebagai salah satu komponen ekosistem berperan penting dalam proses
interaksi intra- dan inter-spesies. Karena tingkat pemangsaannya berubah-ubah menurut
kepadatan populasi hama, maka musuh alami digolongkan ke dalam faktor ekosistem
yang tergantung kepadatan (density dependent factors). Ketika populasi hama meningkat,
mortalitas yang disebabkan oleh musuh alami semakin meningkat, demikian pula
sebaliknya.
(Stehr 1975)
Musuh alami dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan dan mengatur populasi hama
pada tingkat keseimbangan umum (general equilibrium position), baik secara alamiah
maupun buatan. Pemanfaatannya secara alamiah dapat dilakukan melalui konservasi dan
peningkatan efektivitas musuh alami, antara lain dengan menerapkan teknik budi daya
yang baik, dan menggunakan pestisida secara bijaksana, sehingga tidak mengganggu
kehidupan musuh alami. Pemanfaatan musuh alami secara buatan dapat dilakukan dengan
14
cara pelepasan (augmentation) setelah dibiakkan/diperbanyak di laboratorium, introduksi,
dan kolonisasi musuh alami.
(Watson et al. 1976)

2.6.Dampak manajemen agroekosistem terhadap kualitas dan kesehatan tanah


a. Peningkatan bahan organic tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dandinamis, yang
bersumber dari sisa tanaman dan atau binatang yang terdapat di dalam tanah yangterus menerus
mengalami perubahan bentuk, karena dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika, dankimia (Kononova,
1961). Bahan organik tidak mutlak dibutuhkan di dalam nutrisi tanaman, tetapi untuk nutrisi tanaman
yang efisien, peranannya tidak boleh ditawar lagi. Sumbangan bahan organik terhadap pertumbuhan
tanaman merupakan pengaruhnya terhadap sifat-sifat fisik, kimia dan biologis daritanah. Mereka
memiliki peranan kimia di dalam menyediakan N, P dan S untuk tanaman perananbiologis di dalam
mempengaruhi aktifitas organisme mikroflora dan mikrofauna, serta perananfisik di dalam
memperbaiki struktur tanah dan lainnya.
b. Membentuk agregat tanah yang lebih baik dan memantapkan agregat yang telah terbentuk sehingga
aerasi, permeabilitas dan infiltrasi menjadi lebih baik. Akibatnya adalah daya tahantanah terhadap
erosi akan meningkat. Meningkatkan retensi air yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman.
c. Meningkatkan retensi unsur hara melalui peningkatan muatan di dalam tanah . Kegiatan jasad mikro
dalam membantu dekomposisi bahan organik meningkat. Bahan organik segar yang ditambahkan ke
dalam tanah akan dicerna oleh berbagai jasad renik yang adadalam tanah dan selanjutnya
didekomposisisi jika faktor lingkungan mendukung terjadinya proses tersebut. Dekomposisi berarti
perombakan yang dilakukan oleh sejumlah mikroorganisme(unsur biologi dalam tanah) dari senyawa
kompleks menjadi senyawa sederhana. Hasildekomposisi berupa senyawa lebih stabil yang disebut
humus. Makin banyak bahan organik maka makin banyak pula populasi jasad mikro dalam tanah
(Stevenson, 1994)

Selain itu adanya managemen agroekosistem adalah antara lain: Mengimmobilisasi senyawa
antropogenik maupun logam berat yang masuk ke dalam tanah, Meningkatkan kapasitas sangga
tanah,Mensuplai energi bagi organisme tanah, Meningkatkan organisme saprofit dan menekan organisme
parasit bagi tanaman.

2.7.Kriteria indikator dalam pengelolaan agroekosistem yang sehat dan berkelanjutan


a. Kimia Tanah
- Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan binatang
yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Sumber
primer bahan organik tanah dapat berasal dari Seresah yang merupakan bagian
15
mati tanaman berupa daun, cabang, ranting, bunga dan buah yang gugur dan
tinggal di permukaan tanah baik yang masih utuh ataupun telah sebagian
mengalami pelapukan. Dalam pengelolaan bahan organik tanah, sumbernya juga
bisa berasal dari pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang, pupuk hijau
dan kompos, serta pupuk hayati (inokulan). Bahan organic tersebut berperan
langsung terhadap perbaikan sifat-sifat tanah baik dari segi kimia, fisika maupun
biologinya, diantaranya : Memengaruhi warna tanah menjadi coklat-hitam,
Memperbaiki struktur tanah menjadi lebih remah, Meningkatkan daya tanah
menahan air sehingga drainase tidak berlebihan, kelembapan dan tempratur tanah
menjadi stabil, Sumber energi dan hara bagi jasad biologis tanah terutama
heterotrofik. Tanah yang sehat memiliki kandungan bahan organik tinggi, sekitar
5%. Sedangkan tanah yang tidak sehat memiliki kandungan bahan organik yang
rendah.

- pH Tanah (Kemasaman Tanah) dan Adanya Unsur Beracun. Tanah bersifat asam
dapat pula disebabkan karena berkurangnya kation Kalsium, Magnesium, Kalium
dan Natrium. Unsur-unsur tersebut terbawa oleh aliran air kelapisan tanah yang
lebih bawah atau hilang diserap oleh tanaman. pH tanah juga menunjukkan
keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi tanaman. Pada tanah asam
banyak ditemukan unsur alumunium yang selain bersifat racun juga mengikat
phosphor, sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Pada tanah asam unsur-
unsur mikro menjadi mudah larut sehingga ditemukan unsur mikro seperti Fe, Zn,
Mn dan Cu dalam jumlah yang terlalu besar, akibatnya juga menjadi racun bagi
tanaman. Tetapi dengan pH yang agak masam belum tentu kebutuhan tanaman
terhadap pH tanah tidak cocok karena itu tergantung dari komoditas tanaman
budidaya yang dibudidayakan. Untuk pengelolaan pH tanah yang berbeda-beda
dalam suatu agroekosistem maka apabila suatu lahan digunakan untuk pertanian
maka pemilihan jenis tanamannya disesuaikan dengan pH tanah apakah tanaman
yang diusahakan sesuai dan mampu bertahan dengan pH tertentu.
- Ketersediaan Unsur Hara, Unsur hara yang digunakan tanaman untuk proses
pertumbuhan dan perkembangannya diperoleh dari beberapa sumber antara lain :
Bahan organik, mineral alami, unsur hara yang terjerap atau terikat, dan pemberian
pupuk kimia.

16
b. Fisika Tanah
- Kondisi kepadatan tanah, Widiarto (2008) menyatakan bahwa, ―Bahan organik
dapat menurunkan BI dan tanah yang memiliki nilai BI kurang dari satu
merupakan tanah yang memiliki bahan organik tanah sedang sampai tinggi. Selain
itu, Nilai BI untuk tekstur berpasir antara 1,5 – 1,8 g / m3, Nilai BI untuk tekstur
berlempung antara 1,3 – 1,6 g / m3 dan Nilai BI untuk tekstur berliat antara 1,1 –
1,4 g / m3 merupakan nilai BI yang dijumpai pada tanah yang masih alami atau
tanah yang tidak mengalami pemadatan‖. Sedangkan untuk nilai BJ tanah,
menurut literature (Anonymous, 2012) menyatakan bahwa, ―Pada tanah secara
umum nilainya BJ antara 2,6 – 2,7 g.cm-3, bila semakin banyak kandungan BO,
nilai BJ semakin kecil‖.
- Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah yang masih dapat ditembus oleh
akar tanaman. Pengamatan kedalaman efektif dilakukan dengan mengamati
penyebaran akar tanaman. Banyakya perakaran, baik akar halus maupun akar
kasar, serta dalamnya akar-akar tersebut dapat menembus tanah, dan bila tidak
dijumpai akar tanaman maka kedalaman efektif ditentukan berdasarkan kedalaman
solum tanah (Hardjowigeno, 2007).
- Erosi Tanah adalah terangkutnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah ke
tempat lain. Meningkatnya erosi dapat diakibatkan oleh hilangnya vegetasi
penutup tanah dan kegiatan pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi
tanah. Erosi tersebut umumnya mengakibatkan hilangnya tanah lapisan atas yang
subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu erosi mengakibatkan
terjadinya kemunduran sifat-sifat fisik dan kimia tanah.
c. Biologi Tanah

- Keanekaragaman biota dan fauna tanah, ditunjukkan dengan adanya kascing


Biota tanah memegang peranan penting dalam siklus hara di dalam tanah,
sehingga dalam jangka panjang sangat mempengaruhi keberlanjutan produktivitas
lahan. Salah satu biota tanah yang paling berperan yaitu cacing tanah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa cacing tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah
melalui perbaikan sifat kimia, fisik, dan biologis tanah. Kascing (pupuk organik
bekas cacing atau campuran bahan organik sisa makanan cacing dan kotoran
cacing) mempunyai kadar hara N, P dan K 2,5 kali kadar hara bahan organik
semula, serta meningkatkan porositas tanah (pori total dan pori drainase cepat
meningkat 1,15 kali). Cacing jenis ‗penggali tanah‘ yang hidup aktif dalam tanah,

17
walaupun makanannya berupa bahan organik di permukaan tanah dan ada pula
dari akar-akar yang mati di dalam tanah. Kelompok cacing ini berperanan penting
dalam mencampur seresah yang ada di atas tanah dengan tanah lapisan bawah, dan
meninggalkan liang dalam tanah. Kelompok cacing ini membuang kotorannya
dalam tanah, atau di atas permukaan tanah. Kotoran cacing ini lebih kaya akan
karbon (C) dan hara lainnya dari pada tanah di sekitarnya. (Hairiah, 2004).

18
BAB III

METODE PELAKSANAAN

3.1.Waktu dan Tempat


Praktikum dilakukan pada hari minggu, tanggal 29 April 2012. Bertempat di Dusun
Bayem, Kasembon, kabupaten Malang.
Praktikum dimulai pada pukul 10.00 WIB. Dalam 1 kelompok besar praktikum,
praktikan dibagi menjadi 3 kelompok kecil. Pembagiuan tersebut dimaksudkan untuk
mempermudah pengamatan untuk aspek BP, Tanah, dan HPT.
Komoditas yang diamati adalah komoditas padi varietas Inpari-13 dengan sistem PHT.
Pengamatan aspek BP adalah mewawancarai petani mengenai seluk beluk budidaya
komoditas. Untuk aspek HPT praktikum dilakukan dengan menangkap hama dengan swip
net dan dengan jebakan pitt fall. Sedangkan untuk aspek Tanah yakni mengambil sampel
tanah, seresah, kascing dan cacing.

3.2.Alat, Bahan dan Fungsi


a. Alat
- BP
 Alat perekam : untuk merekam percakapan dengan petani
 Alat tulis : untuk mencatat percakapan
 Kuisioner : lembar wawancara
- HPT
 Kapas : untuk menyerap etanol pada pembiusan serangga
 Plastik : untuk tempat meletakkan serangga
 Karet : untuk mengikat plastik
 Swip net : untuk menangkap serangga yang terbang diudara
 Fial film : untuk meletakkan serangga
 Baskom kuning : untuk tempat menjebak serangga
- Tanah
 Plastik : untuk tempat meletakkan sampel tanah, cacing, kascing
dan seresah
 Ring : untuk mengambil sampel tanah
 Balok kayu : sebagai alas saat memukul ring
19
 Karet : untuk mengikat plastik
 Palu : untuk memukul balok kayu
 Plastik : untuk wadah tanah
 Cetok : untuk mengambil sampel
b. Bahan
- HPT
 Cairan etanol : untuk membius serangga
 Air : untuk membuat cairan sabun
 Detergen : untuk membius serangga
- Tanah
 Tanah : sebagai bahan praktikum

3.3.Cara Kerja Secara Umum


a. Lapangan
- BP

Siapkan daftar Pertanyaan untuk Petani

Siapkan Recorder

Mulai wawancara dengan petani

Analisis data
- HPT

Siapkan alat dan bahan (sweep net, plastic, dan baskom)

Ayunkan sweep net secara perlahan 3 kali ayunan

Masukkan hama/serangga ke dalam plastik

Hitung intensitas penyakit pada tiap plot

Ambil perangkap veromon yang sudah disiapkan 24 jam sebelumnya dan


Hitung jumlah serangga yang tertangkap
20
- Tanah

Siapkan alat dan bahan

Tentukan areal lahan yang sudah panen

Ambil sampel komposit dengan ring, 4 plot

Masukkan sampel tanah pada kantong plastik

Ambil sampel seresah pada tiap plot

Jika terdapat cacing dan kascing ambil dan masukkan dalam kantong plastic

Dokumentasi

b. Laboratorium
- Biologi Tanah

Ambil seresah yang akan di oven

Bungkus seresah dengan kertas

Timbang seresah

Masukkan seresah pada oven selama 3 hari dengan suhu 72oC

Timbang seresah dan catat hasilnya

21
- Fisika Tanah

Siapkan alat dan bahan

Ratakan permukaan tanah sejajar dengan ring

Ukur tinggi dan diameter ring

Hitung berat tanah

Pindahkan sampel tanah ke kaleng

Timbang tanah beserta kalengnya

Oven tanah tadi selama 24 jam dengan suhu 110oC

Timbang sampel tanah yang sudah di oven

Kemudian haluskan tanah yang sudah di oven

Timbang tabu Erlenmeyer

Masukkan tanah 20 gram pada labu erlenmeyer

Tambahkan air hangat sebanyak 100 ml

Kocok dan dipanaskan pada suhu 100oC

Kemudian dinginkan dengan air

Timbang hasilnya

22
- Kimia Tanah
A. C-Organik

Ambil erlenmeyer 500 ml

Ambil sampel tanah sebanyak 0.5 gram yang lolos ayakan 0.5 mm

Tambah K2Cr2O7 10 ml

Tambah H2SO4 20 ml

Diamkan selama 30 menit

Tambah aquadest 200 ml

Tambah H3PO4 85% 10 ml

Difenilamina 30 tetes

Titrasi dengan FeSO4 sampai berwarna hijau

Hasil ml blanko dan ml sampel

B. pH
Timbang 10 gram sampel tanah

Tambahkan aquadest 10 ml

Kocok + 1 jam

Ukur pH dengan pH meter

Hasil pH
23
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Hasil
4.1.1. Kondisi Umum Lahan
Pada praktikum Manajemen Agroekosistem di daerah Kasembon. Luas lahan
yang dikelola dalam satu hamparan adalah 0,5 ha. Jenis tanah pada daerah setempat
adalah Lempung berliat. Kondisi Agroekosistem didesa ini masuk pada
Agroekosistem lahan kering dengan sistem tanam Agroforestri. Dengan tanaman
pokok adalah Pohon Jati dan tanaman pendukungnya adalah Durian, Mahoni, Kopi,
Mangga, dan Pisang. Sistem Pengairan yang dilakukan adalah dengan sistem tadah
hujan. Pengolahan tanahnya mulai mencoba menggunakan sistem pertanian organik,
yang semula pemupukan menggunakan pupuk kimia yaitu phonska akan tetapi pada
saat ini sudah mulai mengganti menggunakan pupuk organik yaitu bokashi yang
didapat dari bantuaan Universitas Brawijya.
4.1.2. Pemeliharaan Tanaman
Petani yang bernama Pak Ansori yang lahir pada tahun 1968 merupakan
anggota dari sekolah lapang yang diadakan oleh Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya ini mempunyai suatu petak sawah tanaman padi dengan ukuran luas lahan
yang dikelola dalam satu hamparan adalah 10x80 m2 yang ditanam dengan sistem jajar
legowo. Varietas yang dipakai oleh bapak Ansori saat ini adalah inpari 13, sebelum
mengikuti sekolah lapang varietas yang dipakai adalah ciherang. Sistem tanam yang
digunakan adalah monokultur.
4.1.3. Sistem Tanam
Dalam penanaman padi, jarak tanam yang digunakan adalah 20x10x40 m2.
Pada tiap 100m2 beliau membutuhkan 2,5 kg benih tanaman padi. Bibit yang diperoleh
Pak Anshori diperoleh dari pihak sekolah lapang yang beliau ikuti. Pemupukan
dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan sesudah tanam ketika berumur 30 hari, pupuk
yang digunakan adalah bokashi dengan takaran 1 ton/100 m2, urea 40 kg, dan phonska
10 kg. Irigasi yang digunakan adalah irigasi permukaan, yang bersumber dari air
sungai yang terdekat. Dalam pengendalian OPT Pak Anshori memanfaatkan musuh
alami yang ada, dan tanpa ada campuran pestisida.

24
4.1.4. Hasil Pengamatan Keanekaragaman Arthropoda

Data Hama Tanaman Padi

No NAMA HAMA MUSUH ALAMI


1. Tomcat 1 ekor
2. Belalang hijau 3 ekor
3. Laba – laba 1 ekor
4. Capung 1 ekor
5. Walang sangit 2 ekor
Jumlah 5 3
Tabel. 1 Data Hama Tanaman Padi

Perhitungan :

%Hama : A/B X 100%

5/8 x 100 % = 62.5 %

% Musuh Alami : C/B X 100%

3/8X 100% = 37.5 %

Data hama Pantrap 1

No. NAMA HAMA MUSUH


ALAMI
1. 100 % Belalang hijau 3 ekor
Tabel. 2 Data Hama Pantrap 1

Data hama pantrap 2

No. NAMA HAMA MUSUH


ALAMI
1. 50 % Tomcat 1 ekor
2. 50% Capung 1 ekor
Tabel. 3 Data Hama Pantrap 2

25
4.1.5. Hasil Perhitungan Intensitas Penyakit
Data Penyakit Tanaman Padi
1. Plot 1
Skor Jumlah ∑ skor x jumlah
0 88 0
1 5 5
2 1 2
3 3 9
4 1 4
Jumlah 98 20
Tabel. 4 Data Penyakit Tanaman Padi Plot 1


Intensitas Penyakit =

= 5,1 %

2. Plot 2

Skor Jumlah ∑ skor x jumlah


0 6 0
1 4 4
2 2 4
3 3 9
4 3 12
Jumlah 18 29
Tabel. 5 Data Penyakit Tanaman Padi Plot 2

26
= 27,7 %

3. Plot 3
Skor Jumlah ∑ skor x jumlah
0 73 0
1 7 7
2 4 8
3 2 6
4 3 12
Jumlah 89 33
Tabel. 6 Tabel Data Penyakit Tanaman Padi Plot 3

= 8,14 %

4. Plot 4
Skor Jumlah ∑ skor x jumlah
0 45 0
1 6 6
2 2 4
3 4 12
4 5 20
Jumlah 62 42
Tabel. 6 Data Penyakit Tanaman Padi Plot 4

= 16,9 %

27
5. Plot 5
Skor Jumlah ∑ skor x jumlah
0 69 0
1 3 3
2 1 2
3 3 9
4 2 8
Jumlah 78 22
Tabel. 8 Data Penyakit Tanaman Padi Plot 5

= 7.05 %

=12,978 %

28
Segi Tiga Fiktorial

Gambar. 10 Segitiga Fiktorial


29
Pembahasan

Dalam pengamatan di Kasembon prosentase antara musuh alami dan hama tidak
seimbang. Dari pengambilan dengan swepnet prosentase musuh alami 37,5% dan hama
62,5%. Sedangkan penangkapan pantrap 1 tidak didapatkan hama sama sekali dah hanya di
didominasi dengan adanya musuh alami. Hal tersebut dapat terjadi mungkin saat penangkapan
serangga dengan menggunakan pantrap adalah areal yang lebih di dominasi dengan musuh
alami. Sedangkan pantrap 2 didominasi juga dengan adanya musuh alami. Maka, dalam
kondisi lahan tanaman padi tersebut ekosistem tidak seimbang. Karena dengan adanya musuh
alami yang lebih mendominasi maka musuh alami tersebut akan berubah menjadi predator
dan dapat berpengaruh pada hasil produksi tanaman padi. Ketidak seimbangan ekosistem
tersebut juga dapat diakibatkan karena konsep pengendalian hama dan penyakit yang
dilakukan dengan konsep non PHT.
Sedangkan untuk itensitas penyakit di dapatkan data pada tanaman padi untuk plot 1
adalah 5,1 % untuk plot 2 adalah 27,7 % plot 3 adalah 8,14 ,plot 4 adalah 16,9 dan untuk plot
terakir adalah 7.05 % dan untuk rata-rata dari itensitas penyakit adalah 12,978 % .Hasil dari
presentae tersebut adalah dengan menggunakan rumus :

∑( )

Keterangan :

I : Intensitas serangan

n : Jumlah daun dari tiap katagori serangan

v : nilai skala dari tiap katagori serangan

Z : nilai skala dari katagori serangan tertinggi

N : Jumlah daun yang diamati

dengan presentase tersebut dapat di simpulkan bahwa agroekosistem dari lahan


tanaman padi tersebut termasuk baik karena itensitas serangan penyakit masih di bawah 50%
dari seluruh areal pertanaman. Dengan data yang di dapatkan tersebut maka tidak perlu
dilakukan pengendalian secara intensif. Karena dengan pengendalian secara tradisonal sudah
dapat menekan jumlah serangan penyakit pada suatu areal pertanaman padi di desa bayem.

PHT merupakan konsep sekaligus strategi penanggulangan hama dengan pendekatan


ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan
lingkungan yang terlanjutkan. Ini berarti bahwa pengendalian hama harus terkait dengan
30
pengelolaan ekosistem secara keseluruhan. Pengelolaan ekosistem dimaksudkan agar tanaman
dapat tumbuh sehat sehingga memiliki ketahanan ekologis yang tinggi terhadap hama. Untuk
itu, petani harus melakukan pemantauan lapang secara rutin. Dengan demikian,
perkembangan populasi dan faktor-faktor penghambat lainnya dapat diatasi/diantisipasi dan
faktor-faktor pendukung dapat dikembangkan. Apabila dengan pengelolaan ekosistem
tersebut masih terjadi peningkatan populasi dan serangan hama, langkah selanjutnya adalah
tindakan pengendalian.

Sasaran PHT adalah: 1) produktivitas pertanian mantap tinggi, 2) penghasilan dan


kesejahteraan petani meningkat, 3) populasi hama dan kerusakan tanaman karena serangannya
tetap berada pada tingkatan yang secara ekonomis tidak merugikan, dan 4) pengurangan
resiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida.

Strategi PHT adalah memadukan secara kompatibel semua taktik atau metode
pengendalian hama. Taktik PHT, terutama adalah: 1) Pemanfaatan prosss pengendalian alami
dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat merugikan atau mematikan perkembangan
musuh alami, 2) Pengelolaan ekosisem melalui usaha bercocok tanam, yang bertujuan untuk
membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi perikehidupan hama serta
mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati, 3) Pengendalian fisik dan mekanis yang
bertujuan untuk mengurangi populasi hama, mengganggu aktivitas fisiologis hama yang
normal, serta mengubah lingkungan fisik menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan
perkembangan hama, dan 4) Penggunaan pestisida secara selektif untuk mengembalikan
populasi hama pada tingkat keseimbangannya. Selektivitas pestisida didasarkan atas sifat
fisiologis, ekologis, dan cara aplikasi. Penggunaan pestisida diputuskan setelah dilakukan
analisis ekosistem terhadap hasil pengamatan dan ketetapan ambang kendali. Pestisida yang
dipilih harus yang efektif dan direkomendasikan. Ada empat prinsip yang harus dilaksanakan
dalam penerapan PHT, yaitu pembudidayaan tanaman sehat, pelestarian musuh alami,
pemantauan secara rutin, dan pengambiian keputusan pengendalian oleh petani.

Menurut data yang kita peroleh didapatkan serangga dan musuh alami yang lebih
banyak dari pada penyakitnya. Hal ini dikarenakan PHT lebih memposesikan kepada
perlindungan penyakit pada suatu tanaman budidaya, dengan criteria hama yang ditemukan
adalah capung, belalang hijau, wereng, tomcat, laba-laba, kumbang kubah spot M dan
kumbang kubah spot bulan sabit. Dimungkinkan PHT yang dilakukan kurang efisien karna
system pemberantasannya memakai pestisida nabati. untuk kondisi lingkungan didesa
kasembon tersebut relative subur dan cocok untuk dibudidayakan tanaman padi. Dari hasil

31
identitas penyakit didapat dengan melakukan pengambilan sempel pada lima titik dengan
metode sampling.

4.1.6. Hasil Pengukuran Kondisi Tanah


a. Biologi Tanah

Seresah Daun Berat Basah Berat Kering


A 3.2 2.4
B 3.7 2
C 4.6 3
D 4.2 1.8
Tabel. 9 Data Seresah Daun

Vegetasi yang terdapat pada lahan Kasembon yaitu tanaman padi, dan
terdapat pula vegetasi pohon sengon. Pada plot yang kami amati, tidak
terdapat kascing karena tidak terdapat cacing. Hal ini dikarenakan lahan
digunakan untuk tanaman komoditas padi yang selalu tergenang oleh air.
Cacing tidak dapat bernafas pada keadaan tanah yang tergenang, juga
dikarenakan disana hanya terdapat seresah daun, aktivitas dari cacing tanah
akan meningkat bila cukup bahan organic.

b. Fisika Tanah

Perhitungan Berat Isi

Ka Sub
Sampel Diameter Panjang Berat Total Ka BI
Tb + K To + K K
A 5.5 4.8 170.08 175.98 106.29 5.9 0.69 0.88
B 5.5 4.8 188.12 194.02 124.16 5.9 0.59 1.04
C 5.5 4.8 171.81 177.71 88.89 5.9 1.07 0.73
D 5.5 4.8 199.51 205.41 119.9 5.9 0.75 1.00
Tabel. 10 Data Berat Isi

32
Keterangan :

Tb : Berat Basah Tanah

To : Berat Kering Tanah

K : Berat Kaleng

Rumus BI

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑚𝑎 (𝑇𝑏 𝑘) (𝑇𝑜 𝑘)


𝑚𝑝 ( 𝐾𝑎) 𝐾a = 𝑚𝑝 (𝑇𝑜 𝑘) 𝑘
𝐵𝐼
𝑉𝑡 𝑉𝑡

Keterangan :

mp : Massa padatan Ka : Kadar air

Vt : Volume tanah BI : Berat isi

( ) ( )
A. 𝐾a = ( )
( ) ( )
B. 𝐾a = ( )
( ) ( )
C. 𝐾a = ( )
( ) ( )
D. 𝐾a = ( )

𝑉𝑡 𝜋𝑥𝑑 𝑥 𝑡 𝑥 𝑥 𝑥 𝑐𝑚

( ) ( )
A.

( ) ( )
B.

( ) ( )
C.

( ) ( )
D.

33
Hasil perhitungan BI (Bobot Isi) tanah pada lahan Kasembon kurang dari 1 atau rata-
rata pada plot yang kami amati yaitu 0,91. rendahnya nilai BI tersebut menandakan tanah
tidak mengalami pemadatan dimana dapat dengan mudah meneruskan air atau ditembus oleh
akar dan adanya nilai BI yang rendah dikarenakan adanya bahan organic yang menurunkan
BI.
Menurut Widiarto (2008), bahan organik dapat menurunkan BI dan tanah yang
memiliki nilai BI kurang dari satu merupakan tanah yang memiliki bahan organik tanah
sedang sampai tinggi. Selain itu, Nilai BI untuk tekstur berpasir antara 1,5 – 1,8 g / m3. Nilai
BI untuk tekstur berlempung antara 1,3 – 1,6 g / m3 dan Nilai BI untuk tekstur berliat antara
1,1 – 1,4 g / m3 merupakan nilai BI yang dijumpai pada tanah yang masih alami atau tanah
yang tidak mengalami pemadatan.

Perhitungan Berat Jenis

Labu Labu + To Labu + To + 100 ml Vp mp Labu BJ

54.34 74.34 165.64 8.7 20 2.30


Tabel. 11 Data Berat Jenis

Keterangan :

Labu + To : Berat Labu ditambah tanah oven

Vp : Volume padatan

mp Labu : Massa padatan Labu

BJ : Berat Jenis

(𝐿𝑎𝑏𝑢 𝑇𝑜) 𝐿𝑎𝑏𝑢


𝐵𝐽
((𝐿𝑎𝑏𝑢 𝑇𝑜 𝑚𝑙) (𝐿𝑎𝑏𝑢 𝑇𝑜))

( )
(( ) ( )) ( )

34
Hasil perhitungan BJ (Bobot Jenis) tanah pada lahan Kasembon kurang dari 2,6 atau
rata-rata pada plot yang kami amati yaitu 2,3 yang berarti BJ di daerah tersebut masih belum
normal.

Menurut Buck & Nyle (1982), bobot jenis partikel untuk tanah mineral berkisar
antara 2,6 – 2,75. hal ini terjadi karena akuarsa, feldspar dan koloid silikat yang kerapatannya
terdapat dalam kisaran ini, biasanya merupakan bagian terbesar dari tanah mineral. Selain itu,
karena berat bahan organik yang lebih kecil dari berat benda padat tanah mineral yang lain
dalam volume sama, jumlah bahan organik dalam suatu tanah jelas mempengaruhi bobot jenis
partikel. Akibatnya tanah permukaan biasanya memiliki bobot jenis partikel yang lebih kecil
dari subsoil. Dengan kata lain, semakin banyaknya bahan organik yang terkandung, maka
semakin kecil lah nilai daripada bobot jenis partikel. Sedangkan, semakin banyaknya mineral
berat yang terkandung di dalam tanah, maka akan semakin besar pula lah nilai bobot jenis
partikel tanah tersebut.

Perhitungan Porositas

𝐵𝐼
𝑃𝑜𝑟𝑜𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑥
𝐵𝐽

Keterangan :

BI : Berat Isi

BJ : Berat Jenis

A. ( )

B. ( )

C. ( )

D. ( )

Tanah di plot yang kami amati mempunyai tekstur tanah liat dengan porositas total
kurang lebih 60%.

Menurut Islami dan Utomo (1995), tanah yang mempunyai struktur yang baik, ruang
porinya tinggi sehingga bobot volumenya rendah. Apabila terjadi seperti itu maka akan sangat

35
berpengaruh pada tingkat penyediaan oksigen didaerah perakaran dan pada akhirnya juga
akan mempengaruhi kemampuan tanaman untuk menyerap hara. Nilai porositas pada tanah
pertanian bervariasi dari 40 sampai 60%. Porositas dipengaruhi oleh ukuran partikel dan
struktur. Tanah berpasir mempunyai porositas rendah (40%) dan tanah lempung mempunyai
porositas tinggi, jika strukturnya baik dapat mempunyai porositas 50-60%.

c. Kimia Tanah

Perhitungan C-organik

(𝑚𝑙 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑒) 𝑥 𝐾𝐴


𝐶 𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘 𝑥
𝑚𝑙 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 𝑥

Keterangan :

- % C-organik : persentase C-organik


- ml blanko : volume blanko
- ml sample : volume sample

( ) 𝐾

Menurut Kasno (2003), bahwa sebagian besar lahan sawah di Indonesia berstatus C-

organik <2%. Berdasarkan hasil analisis C-organik dari delapan provinsi di Indonesia

disajikan pada tabel di bawah ini. Lahan sawah di Indonesia terlihat mempunyai kadar C-

organik yang relative rendah.

(Kasno, 2003)

36
Perhitungan BO

𝐵𝑂 𝑥 𝐶 𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘

Menurut Karama et al, (1990), peran bahan organik akan lebih menonjol dimana kadar
C organik tanah pada lahan sawah yang telah lama diusahakan secara intensif cenderung pada
level rendah, yaitu kurang dari 2 %. Hasil penelitian di 30 lokasi tanah sawah di Indonesia
yang diambil secara acak menunjukkan bahwa 68 % diantaranya mempunyai kandungan C-
organik tanah kurang dari 1,5 %.

Perhitungan BOT

𝐵𝑂𝑇 𝑥 𝐶 𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘

Suhu Tanah

Suhu tanah pada lahan sawah di Kasembon adalah 27.2 oC

pH Tanah

pH tanah pada lahan sawah di Kasembon adalah 6.03. Menurut Tim Peneliti Uji Tanah
(2005), tanah sawah umumnya mempunyai pH tanah netral sekitar 6-7. Jika tanah
mineraldisawahkan (digenangi), maka pH tanah akan mengarah ke netral, atau dengan kata
laintanah awal yang mempunyai pH masam akan meningkat pH-nya menuju netral,sebaliknya
tanah awal yang mempunyai pH alkalin akan turun menuju pH netral.Perubahan pH tanah
menuju netral mempunyai manfaat terhadap tingkat ketersedian hara tanah. Pada tanah sawah
ber-pH netral ketersediaan hara dalam kondisi optimal dan unsur hara tertentu yang dapat
meracuni tanaman mengendap.

37
Redoks

Redoks tanah yang didapatkan adalah sebesar 33.0 mV. Menurut Conrad (1989),
pengukuran potensial redoks tanah berkisar antara nilai -6 mV sampai 30,3 mV. Nilai ini jauh
di atas nilai potensial redoks yang menyebabkan adanya reaksi kimia untuk pelepasan gas
metana. Wihardjaka dan Setyanto (2007) mengungkapkan bahwa proses kimia untuk
mengubah senyawa-senyawa di dalam tanah menjadi gas metana berkisar pada nilai potensial
redoks -150 mV sampai -200 mV, bahkan kurang dari -200 mV.

4.1.7. Hasil Panen dan Pemasaran


Cara panen yang digunakan oleh Bapak Anshori masih menggunaan cara yang
tradisional dengan yakni dengan menggunakan alat alat tradisional. Tanaman padi
tersebut dipanen setelah mencapai umur 4 bulan setelah tanam dengan hasil panen
yaitu 1 ton per 100m2. Hasil panen diangkut dengan kendaraan pribadi atau motor.
Sebagian hasil panen dikonsumsi sendiri dan sebagian lainya dijual dengan harga jual
gabah antara Rp 2.000,00 –Rp 2.200,00, dengan harga tersebut petani mendapat
keuntungan sebesar Rp2.000.000,00 per 100 m2, masalah yang dihadapi oleh petani
adalah hama wereng, tikus, walang sangit, belalang hijau. Selain itu muncul juga
penyakit yang diantaranya potong leher, dan tanaman yang sudah membusuk sebelum
matang. Untuk mengatasi hama yang muncul, petani menggunakan pestisida yang
diaplikasikan pada awal tanam, dalam hal pengairan tidak ada kendala dan air untuk
irigrasi berasal dari bendungan Selorejo. Pada peluang untuk penanaman baru
berdasarkan pada iklim dan kondisi pasar Bapak Anshori menggunakan pola tanam
tumpangsari dan jenis komoditas tanaman cabe.

4.2.Analisis Keadaan Agroekosistem secara Umum


Analisis agroekosistem merupakan salah satu metode pemantauan agroekosistem serta
peramalan hama dan penyakit. Dalam kaitan dengan PHT analisis agroekosistem
berkaitan dengan penentuan kemampuan merusak suatu hama atau penyakit, nilai
kehilangan hasil yang ditimbulkan berkaitan dengan kerusakan yang terjadi, dan biaya
pengendalian yang diperlukan untuk mengurangi kehilangan hasil. Analisis agroekosistem
diperlukan sebagai dasar untuk melakukan pengambilan keputusan pengendalian hama
atau pernyakit. Dari data yang diperoleh di Kecamatan Kasembon, tingkat kerusakan yang
ditimbulkan oleh hama maupun penyakit yang menyerang pada tanaman padi, tidak
terlalu berbahaya. Intensitas penyakit yang menyerang pun tidak terlalu tinggi dan
38
berbahaya. Hal ini disebabkan karena jumlah musuh alami yang lebih banyak daripada
hama penyerang tanaman dimana dalam konsep PHT, musuh alami bertugas untuk
mengendalikan populasi dari hama, sehingga di petak sawah yang diamati tidak terlalu
banyak terserang hama dan rusak akibat penyakit. Akan tetapi dalam pengendaliannya,
petani tidak terlalu memperhatikan peranan dari musuh alami. Petani lebih memilih
mengendalikan hama dengan pemberantasan menggunakan pestisida. Pengendalian
dengan cara pemberantasan hama menggunakan pestisida akan mengurangi bahkan
menghilangkan jumlah dari populasi hama, namun hal ini akan berdampak buruk bagi
populasi musuh alami yang ada. Jika populasi hama tidak seimbang dengan populasi
musuh alami, maka yang terjadi adalah kekurangan bahan makanan bagi musuh alami.
Akibatnya, serangga yang awalnya merupakan musuh alami akan mencari bahan makanan
yang ada disekitarnya, yang nantinya akan berganti peran menjadi hama. Selain itu,
kondisi lingkungan yang awalnya baik dan cocok bagi pertumbuhan tanaman, lama-
kelamaan akan tercemar. Oleh karena itu, jika memang populasi hama masih dapat
ditoleransi maka musuh alami yang akan mengendalikannya, petani tidak perlu
menggunakan pestisida untuk memberantas hama, sehingga petani tidak perlu
mengeluarkan biaya untuk pembelian pestisida.

4.3.Rekomendasi
Dalam manajemen atau pengelolaan agroekosistem berlanjut dan sehat perlu
diperhatikan dari beberapa aspek, diantaranya pengelolaan agroekosistem dalam
pengelolaan hama, konservasi air dan tanah, serta keseimbangan hama dan musuh
alaminya. Pengelolaan agroekosistem dalam pengendalian hama, merupakan salah satu
metode dalam Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang diterapkan dengan pendekatan
ekologi. Penerapan metode ini dilakukan setelah dipahami faktor-faktor penyebab suatu
agroekosistem menjadi rentan terhadap serangan hama, dan dikembangkan metode-
metode yang dapat meningkatkan ketahanan agroekosistem tersebut terhadap serangan
hama. Prinsip utama dalam pengelolaan agroekosistem untuk pengendalian hama adalah
menciptakan keseimbangan antara hama dan musuh alaminya melalui peningkatan
keragaman hayati. Peningkatan keragaman vegetasi dan penambahan biomassa, dapat
meningkatkan keragaman hayati dalam suatu agroekosistem. Peningkatan keragaman
vegetasi dilakukan melalui pola tanam polikultur dengan pengaturan agronomis yang
optimal. Penambahan biomassa dilakukan dengan mengaplikasikan mulsa, penambahan
pupuk hijau dan pupuk kandang. Kedua metode ini ditujukan untuk mendapatkan

39
produktivitas lahan yang optimal dan berkelanjutan. Untuk mencapai agroekosistem yang
sehat dan berkelanjutan strategi yang dapat digunakan adalah:
d. Optimalisasi daur hara dalam tanah dan pengembalian bahan organic
Meningkatkan daur ulang dan optimalisasi ketersediaan dan
keseimbangan alur hara dapat dilakukan dengan melakukan rotasi dengan
tanaman-tanaman pupuk hijau.
e. Konservasi air dan tanah
Memantapkan kondisi tanah untuk pertumbuhan tanaman dengan
mengelola bahan organik dan meningkatkan biota tanah Pemberian biomassa
pada lahan akan menambah bahan organik yang selanjutnya akan
meningkatkan biota tanah yang berguna dalam peningkatan kesuburan tanah.
Meminimalkan kehilangan karena keterbatasan ketersediaan air melalui
pengelolaan air. Air dibutuhkan tanaman untuk dapat berproduksi optimal,
sehingga ketersediaannya pada waktu dan jumlah yang cukup, sangat
berpengaruh terhadap produktivitas lahan. Pengelolaan air dapat dilakukan
dengan teknik-teknik pengawetan air tanah.
f. Keseimbangan populasi hama dan musuh alaminya
Meningkatkan keragaman spesies dan genetik dalam agroekosistem,
sehingga terdapat interaksi alami yang menguntungkan dan sinergi dari
komponen-komponen agroekosistem melalui keragaman hayati. Begitu pula
dalam hal keseimbangan populasi hama dan musuh alaminya, jika populasi
hama seimbang dengan populasi musuh alami maka akan juga terjadi
keseimbangan dalam lahan agroekosistem itu sendiri. Musuh alami yang cukup
dalam mengendalikan populasi hama, akan menjadikan suatu rantai makanan
yang seimbang.

Selain itu, Keragaman tanaman yang tinggi dapat menciptakan interaksi dan
jaring-jaring makan yang mantap dalam suatu agroekosistem. Keragaman tanaman
dalam suatu agroekosistem merupakan konsep dasar dalam pengendalian hayati.
Peningkatan keragaman tanaman pada suatu agroekosistem dapat dilakukan melalui
praktek budidaya dengan sistem tumpangsari, agroforestry atau dengan menggunakan
tanaman pelindung atau penutup tanah.

40
BAB V

PENUTUP

5.1.Kesimpulan
- Dari aspek Budidaya Tanaman (BP) tanaman yang dibudidayakan adalah padi.
Sistem penanaman yang digunakan adalah monokultur. Untuk irigasi, petani di
Kasembon menggunakan irigasi permukaan yang bersumber dari air sungai terdekat.
Hasil panen yang didapatkan yaitu sekitar 1 ton per 100m2, dengan harga jual gabah
antara Rp 2.000,00 –Rp 2.200,00 per kg. Masalah-masalah yang dihadapi oelh petani
adalah hama dan penyakit yang dapat menyebabkan penurunan produksi.
- Dari aspek Hama Penyakit Tanaman (HPT) diketahui bahwa keadaan
agroekosistemnya kurang seimbang karena prosentase jumlah musuh alami lebih
dominan dari pada hama dan serangga lain. Sedangkan intensitas serangan penyakit
pada tanaman padi masih ringan karena masih dibawah 50 %, sehingga tidak perlu
pengendalian yang berlebihan.
- Dari aspek Tanah dapat disimpulkan untuk seresah didapatkan seresah daun yang
jumlahnya sedikit. Untuk nilai BI mempunyai rata-rata dibawah nilai 1. Untuk nilai
BJ yaitu 2,3 nilai ini masih belum menjangkau nilai BJ untukjenis tanah mineral.
Untuk porositas mempunyai nilai yang baik yaitu sekitar 60 %. C-organik
mempunyai nilai 0,61 %, nilai ini sudah memenuhi untuk kriteria C-organik lahan
sawah. Bahan organic mempunyai nilai 1,05 %, nilai ini sesuai dengan kriteria pada
lahan sawah rata-rata di Indonesia. Untuk pH tanah di Kasembon cenderung
memiliki pH tanah normal yaitu sekitar 6,03.

5.2.Saran terhadap keberlanjutan manajemen agroekosistem


Mengelola tanaman lebih intensif untuk menghasilkan produksi yang tinggi, dengan
tidak mengesampingkan pengelolaan dari aspek budidaya, pengelolaan hama terpadu, dan
pengelolaan tanah. Sehingga agroekosistem lingkungan di sekitar tetap terjaga
kelestariannya.

5.3.Saran Praktikum
Di mohon untuk praktikum dan fieldtrip dilaksanakan lebih baik, agar praktikum dan
fieldtrip berjalan dengan baik.

41
DAFTAR PUSTAKA

Anonymousa. 2012. www.irwantoshut.com


Anonymousb. 2012. www.irwantoshut.com
Anonymousc. 2012. http://alulagro.blogspot.com/2011/09/kesuburan-tanah.html
Anonymousd. 2012. http://blogger-jepara.blogspot.com/2012/03/sejarah-nama-serangga-
tomcat.html
Anonymouse. 2012. http://wikipedia.org/laba-laba.html
(diakses tanggal 5 Juni 2012)
Buckman, Harry & Nyle C.Brandy. 1982. Ilmu Tanah. PT Bhratara Karya Aksara. Jakarta.
Conrad, R. 1989. Control of methane production in terrestrial ecosystems. In M.O. Andreae
and D.S. Schimel (Eds.), Exchange of Trace Gases between Terrestrial Ecosystems
and the Atmosphere. John Wiley & Sons,Chichester, New York, Brisbane, Toronto,
Singapore.
Direktorat Pengelolaan Lahan. 2008.Pedoman teknis Pemanfaatan PUTS.DirektoratJendral
Pengelolaan Lahan dan Air. Departemen Pertanian. Jakarta
Hairiah, Kurniatun, dkk. 2004. Ketebalan Seresah sebagai Indikator Daerah Aliran
Sungai (DAS) Sehat. FP-UB. Malang.
Hardjowigeno, Saswono. 2007. ILMU TANAH. Akademika Pressindo. Jakarta
Herrick, J. E. (2000). Soil Quality: an indicator of sustainable land management ?. Applied
Soil Ecology. (15) 75-83.
Irwanto, 2008. Peningkatan Produktivitas Lahan dengan Sistem Agroforestri.
www.irwantoshut.com. Diakses tanggal 30 Mei 2012
Islami, T. dan W. H Utomo, 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP Semarang Press,
Semarang.
Kasno, A., Diah Setyorini, dan Nurjaya. 2003. Status C-organik lahan sawah di Indonesia.
Pros. HITI. Padang
Magdoff, F. (2001). Concept, componen and strategies of soil health in agroecosystems.
Journal of Nematology 33 (4); 169-172.
Saragih, B. 2000. Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian.
Yayasan Mulia Persada dan PT Surveyor Indonesia, Jakarta.
Suprayogo. D, K Hairiah, N Wijayanto, Sunaryo dan M Noordwijk.2003. Peran Agroforestri

42
pada Skala Plot: Analisis Komponen Agroforestri sebagai Kunci Keberhasilan atau
Kegagalan Pemanfaatan Lahan Indonesia. World Agroforestry Centre (ICRAF),
Southeast Asia Regional Office. PO Box 161 Bogor, Indonesia
Sutanto, S. 2002. Pertanian Organik. Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.
Stehr, F.W. 1982. Parasitoids and predators in pest management. In: R.L. Metcalf and W.H.
Luckmann (Eds.). Introduction to Insect Management. John Wiley and Sons, New
York. pp. 135-173.
Stevenson, 1994. Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry: genesis, composition, reactions.
2nd ed. New York: Wiley. 496 p.
Tim Peneliti Uji Tanah. 2005.Buku Petunjuk Penggunaan Perangkat Uji Tanah
SawahV.01.Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Watson, T.F., L. Moore, and G.W. Ware. 1976. Practical insect pest management: a self-
instructuion manual. W.H. Freeman and Company, San Francisco.
Widiarto. 2008. Pengantar Ilmu Tanah. PT. Rineka Cipta Jakarta
Wihardjaka, A. dan P. Setyanto. 2007. Emisi dan mitigasi gas rumah kaca dari lahan sawah
dan tadah hujan. Dalam A.M. Fagi, E. Pasandaran, dan U.Kurnia (Eds.). Pengelolaan
Lingkungan Pertanian menuju Mekanisme Pembangunan Bersih. Balingtan.

43
LAMPIRAN

Dokumentasi Pengambilan Sampel Tanah

44

Anda mungkin juga menyukai