Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

DASAR – DASAR AGROEKOSISTEM

Disusun Oleh :
Khodir Abdul Maliki (21.31.025289)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA


FAKULTAS PERTANIAN DAN KEHUTANAN
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan


karunia dan rahmatnya, Shalawat dan salam untuk tauladan kita Nabi
Muhammad SAW yang membawa kita semua ke zaman hidayah ini
sehingga kami bisa menyelesaikan Makalah Dasar – Dasar Agroekosistem,
dengan baik walapun masih banyak kekurangan didalamnya. Serta kami
juga berterima kasih kepada Bapak Hariyadi, S.P., M.Si. selaku dosen
mata kuliah dasar – dasar agroekosistem yang sudah memberikan
kepercayaan menyelesaikan tugas makalah ini. Kami sangat berharap
makalah ini akan bermanfaat dalam rangka menambah pengetahuan juga
wawasan.  Kami pun menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
mengharapkan adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang sudah kami buat. Semoga makalah sederhana ini bisa dipahami bagi
siapapun yang membacanya.

Palangkaraya, 23 November 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................

DAFTAR ISI............................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................................


1.1 Latar Belakang......................................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................................................
1.4 Manfaat ................................................................................................................................

BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................................


2.1  Konsep Agroekosistem........................................................................................................
2.2 Komponen Agroekosistem...................................................................................................
2.3 Tipe Agroekosistem.............................................................................................................
2.4 Interaksi Komponen-Komponen Dalam Agroekosistem...................................................
2.5 Masalah-Masalah yang Dihadapi Suatu Agroekosistem Saat Ini......................................
2.6 Permasalahan Seputar Perubahan Iklim.............................................................................
2.7 Faktor-Faktor Penyebab Kerentanan Agroekosistem Terhadap Eksplosi
hama...................................................................................................................................
2.8 Pengelolaan Agroekosistem...............................................................................................
2.8.1 Mengelola permasalahan agroekosistem...................................................................
2.8.2 Mengelola komponen pembentuk ekosistem............................................................
2.9 Pengendalian Hama Melalui Pengelolaan Agroekosistem................................................

BAB III PENUTUP.................................................................................................................


3.1 Kesimpulan.........................................................................................................................
3.2 Saran....................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................

iii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertanian dapat dianggap sebagai suatu usaha untuk mengadakan suatu


ekosistem buatan yang bertugas menyediaakan bahan makanan bagi manusia.
Untuk mendapatkan produksi yang optimal seperti yang diharapkan, banyak hal
yang perlu diperhatikan dalam bertani, diantaranya adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi dan teknik tepat dalam bertani. Untuk mengetahui bagaimana
teknik dan perlakuan yang tepat dalam bertani, maka sudah barang tentu kita
harus mengetahui dan memahami sifat, dan kejadian apa saja yang terjadi baik
pada tanaman itu sendiri maupun pada lingkungan sekitarnya. Untuk dapat
memahami bagaimana hubungan yang terjadi antara suatu organisme dengan
lingkungannya, dan pegaruh-pengaruhnya terhadap pertanian, maka kita perlu
mempelajari Ekologi pertanian, yakni suatu ilmu yang menerapkan prinsip-prinsip
ekologi didalam merancang, mengelola, dan mengevaluasi sistem pertanian yang
produktif dan lestari, yang disana akan dipelajari tentang agroekosistem. Pertanian
sebagai suatu ekosistem buatan, mempunyai hubungan saling mempengaruhi
antara makhluk hidup dan lingkungan sekitarnya, baik yang menguntungkan bagi
pertanian itu sendiri maupun yang merugikan.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa konsep agroekositem ?
2. Komponen apa saja yang ada dalam agroekosistem ?
3. Apa saja tipe agroekosistem ?
4. Bagaimana interaksi komponen-komponen dalam agroekosistem ?
5. Apa saja masalah-masalah yang dihadapi suatu agroekosistem saat ini ?
6. Apa permasalahan seputar perubahan iklim ?
7. Apa saja faktor-faktor penyebab kerentanan agroekosistem terhadap eksplosi
hama ?
8. Bagaimana pengelolaan agroekosistem ?
9. Bagaimana pengendalian hama melalui pengelolaan agroekosistem ?
2

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui konsep agroekosistem.
2. Mengetahui struktur komponen agroekosistem.
3. Mengetahui tipe agroekosistem.
4. Mengetahui interaksi komponen-komponen dalam agroekosistem.
5. Mengetahui masalah-masalah yang dihadapi suatu agroekosistem saat ini.
6. Mengetahui permasalahan seputar perubahan iklim.
7. Mengetahui faktor-faktor penyebab kerentanan agroekosistem terhadap
eksplosi hama.
8. Mengetahui pengelolaan agroekosistem.
9. Mengetahui pengendalian hama melalui pengelolaan agroekosistem

1.4 Manfaat
Manfaat makalah ini ini adalah sebagai penambah wawasan bagi
mahasiswa dibidang dasar agroekosistem dan dapat menjadi pelajaran
dalam menjalankan pertanian, serta dapat bermanfaat dalam proses
perkuliahan baik bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya.
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Konsep Agroekosistem

Agroekosistem adalah komunitas tanaman dan hewan yang


berhubungan dengan lingkungannya (baik fisik maupun kimia) yang telah
diubah oleh manusia untuk menghasilkan pangan, pakan, serat, kayu
bakar, dan produk- produk lainnya. Pengertian lain tentang agroekosistem
adalah, bahwa agroekosistem merupakan salah satu bentuk ekosistem
binaan manusia yang bertujuan menghasikan produksi pertanian guna
memenuhi kebutuhan manusia.
Konsep agroekosistem adalah sistem ekologi yang terdapat didalam
lingkungan pertanian, yang biasanya merupakan sistem alami yang terjadi
setelah dibentuk oleh manusia. Atau dalam arti lain agroekosistem adalah
suatu kawasan tempat membudidayakan makhluk hidup tertentu meliputi
apa saja yang hidup di dalamnya serta material lain yang saling
berinteraksi. Agar lebih mudah difahami, dapat diartikan lahan pertanian
dalam arti luas, termasuk kedalamnya hutan produksi dengan komoditas
tanaman industri (HTI), kawasan peternakan dengan lading
penggembalaan serta tambak-tambak ikan.
Agroekosistem tidak memiliki kontinyuitas temporal (tidak stabil).
Keberadaannya hanya dalam waktu yang terbatas dan sering mengalami
perubahan iklim mikro secara mendadak akibat tindakan manusia, seperti
pencangkulan, penyiangan, pengairan dan sebagainya Struktur
agroekosistem didominasi oleh jenis tanaman tertentu yang dipilih oleh
manusia dan sering merupakan tanaman baru yang dimasukkan ke dalam
ekosistem tersebut.
Seperti yang kita ketahui, di dalam suatu ekosistem tentunya
terdapat berbagai komponen, dari yang abiotik sampai dengan yang biotik.
Di dalam agroekosistem juga demikian, dan antara komponen-komponen
tersebut menjalin interaksi satu sama lain yang apabila interaksi tersebut
normal, akan terjadi sebuah keseimbangan ekosistem dan sebaliknya
4

apabila tidak normal, atau ada salah satu di ntara komponen tersebut yang
jumlahnya melampaui batas, missal meledaknya hama maka interaksinya
akan terganggu dan tidak akan seimbang.
4

2.2     Komponen Agroekosistem

Agroekosistem meliputi seluruh komponen ekosistem yang berada

di lingkungan pertanian, yang meliputi:

1.  Komponen abiotik


a.       Air
Penyusun tubuh organisme tidak kurang dari 50% terdiri akan air.
Oleh sebab itu, air merupakan salah satu komponen abiotik yang sangat
menentukan kelangsungan hidup organisme. Jika kita perhatikan berbagai
daerah di skitar kita, maka ada daerah yang kaya akan air, tetapi ada pula
yang kering. Perbedaan keadaan tersebut menyebabkan cara adaptasi
berbeda-beda. Di dalam agroekosistem, perbedaan keadaan lahan yang
berair dengan lahan kering memiliki penanganan yang berbeda dan
tentunya berbeda dalam segi varietas tanaman yang ditanam.
b.      Tanah
Tanah merupakan tempat hidup seluruh kehidupan. Sebagian besar
penyusun makhluk hidup baik langsung maupun tidak langsung berasal
dari tanah. Oleh sebab itu tak mungkin ada kehiduan tanpa adanya tanah.
Karena sebagian besar kebutuhan makhluk hidup berasal dari
tanah, maka perkembangan suatu ekosistem, khususnya ekosistem darat
seperti pertanian dan sebagainya sangat dipengaruhi oleh kesuburan
tanahnya. Tanah yang subur adalah tanah yang mampu menyediakan
kebutuhan organisme, yaitu banyak kandungan unsur hara makro dan
mikro-nya, cukup remah, dan mengandung biomass yang berguna bagi
tanaman dan tanah itu sendiri khususnya.
c.       Udara
Udara atau gas merupakan komponen utama dari atmosfer bumi.
Gas-gas di atmosfer ini disamping sebagai selimut bumi, juga sebagai
sumber berbagai unsur zat tertentu, seperti oksigen, karbondioksida,
nitrogen dan hidrogen.
Di atmosfer, udara juga merupakan komponen utama tanah. Tanah
yang cukup pori/rongganya akan baik pertukaran udara atau aerasinya.
5

Tanah yang baik aerasinya akan baik proses mineralisasinya. Dengan


demikian komponen udara di atmosfer maupun di tanah sangat
berpengaruh terhadap kesuburan tanah. Hal ini akan berpengaruh pada
tanaman.
d.      Cahaya
Cahaya matahari merupakan komponen abiotik yang berfungsi
sebagai sumber energi primer bagi ekosistem. Seperti yang kita ketahui,
pada aliran energi yang bersumber dari matahari yang kemudian diserap
dan digunakan tanaman ataupun tumbuhan dalam proses fotosintesis.
Kemudian tumbuhan dimakan oleh konsumen I, dan seterusnya
sebagaimana yang kita lihat pada rantai makanan. Penyebaran cahaya
matahari ke permukaan bumi tidaklah merata. Oleh sebab itu, organisme
mempunyai cara menyesuaikan diri dengan lingkungan yang intensitas dan
kualitas cahayanya berbeda.
e.       Suhu
Setiap makhluk hidup memerlukan suhu lingkungan tertentu, hal
itu karena pada setiap tubuh makhluk hidup akan berlangsung proses
kimia yang berkaitan erat dengan suhu. Tak terkecuali pada tanaman, yang
juga memerlukan suhu optimum untuk metabolisnya. Tinggi rendahnya
suhu suatu lingkungan mempengaruhi varietas apa yang cocok untuk di
tanam di sana.
Suhu tanah yang rendah akan berakibat absorpsi air dan unsur hara
teganggu, karena transpirasi meningkat. Apabila kekurangan air ini terus-
menerus tanaman akan rusak. Suhu rendah pada kebanyakan tanaman
mengakibatkan rusaknya batang, daun muda, tunas, bunga dan buah.
Besarnya kerusakan organ atau jaringan tanaman akibat suhu rendah
tergantung pada keadaan air, keadaan unsur hara, morfologis dan kondisi
fisiologis tanaman. Pada suhu maksimum, jaringan tanaman akan mati.
Suhu yang baik untuk tanaman adalah suhu maksimum.
f.       Kelembapan
Kelembapan adalah kadar air pada udara. Kelembapan udara
mempunyai pengaruh yang besar terhadap keersediaan air dalam tubuh.
6

Tersedianya air dalam tubuh berperan besar dalam menunjang proses


metabolisme. setiap organisme mempunyai kemampuan untuk beradaptasi
dengan lingkungan yang kelembapannya berbeda-beda. Dengan begitu,
tingkat kelembapan pada suatu wilayah akan mempengaruhi jenis varietas,
OPT, kondisi tanah, dan penanganannya tentunya.
g.      Arus angin
Arus angin mempunyai pengaruh yang besar terhadap
perikehidupan tumbuhan. Di samping itu, arus angin juga berpengaruh
dalam menjaga kesuburan tanah suatu lingkungan. Pada daerah yang arus
anginnya kencang, hanya jenis tumbuhan yang mempunyai perakaran kuat
dan berbatang liat yang dapat bertahan hidup. Sedangkan tumbuhan yang
perakarannya tidak kuat dan batangnya tidak liat, maka akan mudah
terangkat atau patah oleh kencangnya angin.
h.      Derajat keasaman / pH
Derajat keasaman atau pH pada media memberi pengaruh yang
besar terhadap distribusi organisme. Pada lingkungan yang berbeda pH-
nya akan berbeda pula organisme yang hidup disana. Hal tersebut karena
ada beberapa jenis organisme yang hidup di medium yang netral, da nada
juga yang suka hidup di media masam dan ada pula yang menyukai
medium yang bersifat basa.
Dalam agroekosistem ataupun pertanian, berdasarkan derajat
keasamannya memiliki penanganan yang berbeda-beda. Daerah yang
memiliki derajat keasaman yang tinggi biasanya adalah daerah gambut.
i.        Iklim
Iklim merupakan komponen abiotik yang terbentuk sebagai hasil
interaksi berbagai komponen abiotik lainnya, seperti kelembapan udara,
suhu, curah hujan, dan lain-lain. Perbedaan iklim dengan cuaca adalah,
cuaca merupakan keadaan atmosfer dalam waktu tertentu dan pada area
yang terbatas. Sedangkan iklim adalah rata-rata keadaan cuaca dalam
waktu yang lama dan dalam tempat yang luas.
Iklim suatu daerah sangat menentukan jenis tanaman dan hasil
produksi pertaniannya. Perubahan iklim yang tiba-tiba, akan membuat
7

petani kewalahan terutama dalam menentukan waktu tanam, atau bahkan


bisa berakibat gagal panen. Bukan hanya itu, akibat iklim tertentu juga
dapat menyebabkan meledaknya suatu populasi hama, dan berakibat fatal
pada tanaman budidaya petani.
Organisme penganggu tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas
produksi tanaman di Indonesia baik tanaman pangan, hortikultura maupun
perkebunan. Organisme pengganggu tanaman secara garis besar dibagi
menjadi tiga yaitu hama, penyakit dan gulma. Hama menimbulkan
gangguan tanaman secara fisik, dapat disebabkan oleh serangga, tungau,
vertebrata, moluska. Sedangkan penyakit menimbulkan gangguan
fisiologis pada tanaman, disebabkan oleh cendawan, bakteri, fitoplasma,
virus, viroid, nematoda dan tumbuhan tingkat tinggi. Perkembangan hama
dan penyakit sangat dipengaruhi oleh dinamika faktor iklim. Sehingga
tidak heran kalau pada musim hujan dunia pertanian banyak disibukkan
oleh masalah penyakit tanaman seperti penyakit kresek dan blas pada padi,
antraknosa cabai dan sebagainya. Sementara pada musim kemarau banyak
masalah hama penggerek batang padi dan hama belalang kembara.
Pada hakikatnya, iklim sangat berpengaruh pada kesuburan tanah
dan tumbuhan, banyaknya tumbuhan juga berpengaruh pada iklim, namun
tanah yang subur tidak berpengaruh pada tumbuhan.
j.        Topografi
Topografi adalah altitude dan latitude suatu tempat. Topografi
mempunyai pengaruh besar terhadap penyebaran makhluk hidup, yang
tampak jelas adalah penyebaran tumbuhannya. Demikian pada pertanian
atau agroekosistem, topografi juga sangat menentukan jenis varietas,
pengelolaan lahan dan lain-lainnya. Misalnya pada daerah lereng gunung,
pengelolaan lahan biasanya dibuat perundakan pada penanaman padi, atau
pada daerah puncak yang biasanya digunakan untuk perkebunan teh.
k.      Garam mineral
Tumbuhan mengambil zat hara dari tanah atau air di lingkungan
berupa larutan ion garam-garam mineral. Ada tanaman yang mampu
menyerap unsur-unsur tertentu dari tanah tanpa bantuan orgnisme lain.
8

Namun ada juga tumbuhan yang untuk mendapatkan suatu unsur


memerlukan organisme lain. Misalnya pada tanaman atau tumbuhan
polong-polongan yang memerlukan bantuan bakteri rhizobium untuk
mmengikat unsur N dari udara.
l.        Pestisida
Pestisida adalah substansi kimia yang digunakan untuk membunuh
atau mengendalikan berbagai hama dalam arti luas (zat pengganggu).
Pestisida juga merupakan faktor penting dalam agroekosistem.
Penggunaan pestisida dapat membantu petani dalam melindungi
tanamannya dari OPT, namun pemakaian pestisida juga ada yang memberi
dampak buruk, baik bagi tanaman atau lingkungan sekitar.
m.    Teknologi
Teknologi sangat dibutuhkan dalam pertanian, mulai dari tahap
pembenihan ada yang disebut dengan teknologi benih, sampai dengan
pemanenan dan pasca panen. Teknologi berperan dalam menghasilkan
varietas unggul demi mendapatkan hasil produksi yang maksimal dan
mampu bersaing di pasaran, serta menciptakan pertanian yang
berkelanjutan.
2.      Komponen Biotik
a.       Manusia
Di dalam agroekosistem ataupun ekosistem buatan manusia yang
diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, manusia sangat berperan
penting di dalamnya, mulai dari persiapan awal sampai dengan pasca
panen, dan bahkan sebagai konsumen hasil produksi.
b.      Biota tanah
Di dalam tanah, berdasarkan berdasarkan fungsinya dalam
budidaya pertanian secara umum terdapat dua golongan jasad hayati tanah,
yaitu yang menguntungkan dan yang merugikan. Berdasarkan spesifikasi
fungsinya, jasad hayati tanah digolongkan menjadi:

 Jasad fungsional, contohnya bakteri nitromonas dan nitrobacter yang berperan


dalam nitrifikasi, bakteri rhizobium alam fiksasi N-bebas, endomikoriza dalam
penyediaan dan penyerapan hara P oleh tanaman.
9

 Jasad nonfungsional, contohnya media dekomposer bahan organik.


c.       Hewan ternak
Kehadiran hewan ternak seperti kerbau juga dapat menjadi
komponen yang menguntungkan dalam pertanian, terutama dalam tipe
persawahan. Kerbau dapat digunakan sebagai alat bantu manusia dalam
membajak sawah secara tradisional.
d.      Pathogen
Pathogen dapat diartikan sebagai mikroorganisme yang
menyebabkan timbulnya penyakit pada tanaman.

e.       Gulma
Gulma adalah tumbuhan yang tidak dikehendaki, atau tumbuhan
yang tumbuh tidak sesuai dengan tempatnya. Kehadiran gulma pada suatu
lahan pertanian menyebabkan berbagai kerugian yakni menurunkan angka
hasil, menurunkan mutu hasil, menjadi inang alternatif hama atau patogen,
mempersulit pengolahan dan mempertinggi biaya produksi, dapat
menumbuhkan zat beracun dari golongan fenol bagi umbuhan lainnya, dan
mengurangi debit dan kualitas air.
f.       Hama
Ada beberapa hama yang dikenal dalam pertanian yakni Nematoda
parasitic tanaman, serangga hama tanaman, tungau, siput, hewan
vertebrata, satwa liar dan burung.

2.3    Tipe Agroekosistem


Berdasarkan jenis sampai varietas tanaman yang ditanam,
diantaranya :
a)      Monokultur, yaitu satu jenis atau satu varietas tanaman saja yang di tanam
dalam agroekosistem
b)      Polikultur, yaitu penanaman lebih dari satu jenis atau varietas tanaman dalam
satu kawasan agroekosistem. Meliputi : tumpang sari (Multiple cropping), tanam
lajur (Intercropping) dan tanam bergilir lebih dari satu jenis atau varietas tanaman
(alleycropping).
10

Berdasarkan kondisi lahan, meliputi :


a) Lahan kering
Lahan kering adalah kawasan lahan tidak tergenang yang berkaitan
dengan daya dukungnya terhadap kehidupan dan kesejahteraan hidup
manusia. Sumber daya lahan kering berpotensi besar dalam pembangunan
berkelanjutan dan mempunyai layanan ekosistem penting antara lain
penyedia pangan, sandang, pakan, kayu dan air.
b) Lahan basah
Lahan basah adalah lahan subur yang perlu dipertimbangkan untuk
media tanam tanaman pertanian atau tanaman perkebunan. Tingkat
kesuburan tanah merupakan faktor penting yang menentukan pertumbuhan
tanaman. Adanya lahan basah cukup menarik perhatian, karena jenis lahan
ini cocok digunakan untuk berbagai macam area, baik untuk area sawah,
perkebunan, tambak dan lain sebagainya. Namun, seringkali banyak
pemahaman yang kurang mengenai lahan basah, termasuk bagaimana cara
untuk memperoleh serta mengelolanya.
c) Gambut
Gambut adalah jenis lahan basah yang terbentuk dari timbunan
material organik berupa sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut dan jasad
hewan yang membusuk di dalam tanah. Indonesia merupakan salah satu
negara yang memiliki lahan gambut yang luas. Luas lahan gambut di
Indonesia diperkirakan mencapai 22,5 juta hektar. Persebaran lahan
gambut di Indonesia berkisar di pulau Sumatera, Kalimantan, Papua serta
sebagian kecil di Sulawesi. Luas lahan gambut terbesar di Indonesia
terletak di Papua dengan luas 6,3 juta ha. Disusul kemudian Kalimantan
Tengah 2,7 juta ha, Riau 2,2 juta ha, Kalimantan Barat 1,8 juta ha dan
Sumatera Selatan 1,7 juta ha. Selain itu, cakupan lahan gambut terbanyak
disusul oleh Papua Barat 1,3 juta ha, Kalimantan Timur 0,9 juta ha serta
Kalimantan Utara, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan yang masing-
masing memiliki 0,6 juta ha.
d) Rawa
11

Rawa adalah lahan yang secara alami tergenang air akibat drainase


yang terhambat, baik genangan itu terjadi secara periodik atau pun terus
menerus selama waktu yang panjang dalam setahun. Digolongkan pula ke
dalam rawa, lahan-lahan yang selalu jenuh air karena muka air tanahnya
yang dangkal. Rawa berbeda dengan danau dan telaga, karena biasanya
airnya lebih dangkal serta pada umumnya ditumbuhi oleh tumbuh-
tumbuhan yang mencuat di atas air. Rawa yang ditumbuhi oleh
tetumbuhan lunak (terna) dan rumput-rumputan dikenal sebagai paya.
Rawa dapat digolongkan sebagai wilayah atau mintakat peralihan,
karena baik unsur tanah maupun air berperan penting dalam pembentukan
ekosistem ini. Rawa ditemukan di seluruh dunia, dan bervariasi ukurannya
dari yang kecil hingga sangat luas. Airnya pun bervariasi mulai dari air
tawar, air payau, hingga air asin.

Berdasarkan penggunaan lahan, yaitu :


a)      Perkebunan
Perkebunan merupakan usaha penanaman tumbuhan secara teratur
sesuai dengan ilmu pertanian dan mengutamakan tanaman perdagangan.
Perkebunan penting bagi bahan ekspor dan bahan industri. Jenis-jenis
tanaman perkebunan khususnya di Indonesia antara lain karet, kelapa
sawit, kopi, teh, tembakau, tebu, kelapa, cokelat, kina, kapas, cengkih
(Soerjani, 2007).
Pada sistem pengairan, pertanian lahan kering, kondisi topogragfi
memegang peranan cukup penting dalam penyediaan air, serta menentukan
cara dan fasilitas pengairan. Sumber – sumber air biasanya berada pada
bagian yang paling rendah, sehingga air perlu dinaikkan terlebih dahulu
agar pendistribusiannya merata dengan baik. Oleh karena itu, pengairan
pada lahan kering dapat berhasil dan efektif pada wilayah yang datar datar
– berombak (Kurnia, 2004).
12

b) Persawahan
Sawah adalah pertanian yang dilaksanakan di tanah yang basah
atau dengan pengairan. Bersawah merupakan cara bertani yang lebih baik
daripada cara yang lain, bahkan merupakan cara yang sempurna karena
tanah dipersiapkan lebih dahulu, yaitu dengan dibajak, diairi secara teratur,
dan dipupuk (Rustiadi, 2007).
Sawah bukaan baru dapat berasal dari lahan kering yang digenangi
atau lahan basah yang dijadikan sawah. Hara N, P, K, Ca, dan Mg
merupakan pembatas pertumbuhan dan hasil padi pada lahan sawah
bukaan baru. Hara N, P dan K merupakan pembatas pertumbuhan dan
hasil padi pada ultisol (Widowati et al., 1997).
Lahan untuk sawah bukaan baru umumnya mempunyai status
kesuburan tanah yang rendah dan sangat rendah. Tanah-tanah di daerah
bahan induknya volkan tetapi umumnya volkan tua dengan perkembangan
lanjut, oleh sebab itu miskin hara, dengan kejenuhan basa rendah bahkan
sangat rendah. Kandungan bahan organik, hara N, P, K dan KTK
umumnya rendah (Suharta dan Sukardi, 1994).
Padi (oryza sativa l) tumbuh baik di daerah tropis maupun sub-
tropis. Untuk padi sawah, ketersediaan air yang mampu menggenangi
lahan tempat penanaman sangat penting. Oleh karena air menggenang
terus-menerus maka tanah sawah harus memiliki kemampuan menahan air
yang tinggi, seperti tanah yang lempung.
c) Ladang
Ladang mengacu pada umumnya ke area lahan tertutup atau
sebaliknya dan digunakan untuk tujuan pertanian seperti,
budidaya tanaman, penggunaan sebagai padang rumput atau, umumnya,
sebuah kandang ternak dan lahan buatan yang tersisa sebagai tanah kosong
atau tanah subur.
d)     Agriforestri (hutan tanaman)
Praktek agrikultur dengan intensitas rendah seperti perladangan
berpindah, pekarangan tradisional, talun, rotasi lahan, menyisakan banyak
proses ekosistem alami dan komposisi tumbuhan, hewan dan
13

mikroorganisme. Sistem dengan intensitas tinggi, termasuk perkebunan


modern yang seragam dan peternakan besar, mungkin merubah ekosistem
secara keseluruhan sehingga sedikit sekali biota dan keistimewaan bentang
alam sebelumnya yang tersisa (Karyono, 2000).
e)      Kebun/pekarangan campuran
Pekarangan adalah areal tanah yang biasanya berdekatan dengan
sebuah bangunan. Tanah ini dapat diplester, dipakai untuk berkebun,
ditanami bunga atau terkadang memiliki kolam. Pekarangan bisa berada di
depan, di belakang, disamping sebuah bangunan, tergantung besar sisa
tanah yang tersedia setelah dipakai untuk bangunan utamanya (Anonim,
2009).
Lahan pekarangan beserta isinya merupakan satu kesatuan
kehidupan yang saling menguntungkan. Sebagian dari tanaman
dimanfaatkan untuk pakan ternak, dan sebagian lagi untuk manusia,
sedangkan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk kandang untuk
menyuburkan tanah pekarangan. Dengan demikian, hubungan antara
tanah, tanaman, hewan piaraan, ikan dan manusia sebagai unit-unit di
pekarangan merupakan satu kesatuan terpadu (Pratiwi, 2004).

2.4 Interaksi Antar Komponen dalam Agroekosistem


Komponen abiotik dan biotik di dalam agroekosistem saling
berinteraksi untuk mencapai keseimbangan pangan ekosistem pertanian.
Kebutuhan pangan atau sumber nutrisi bagi faktor biotik tersedia dengan
adanya faktor abiotik tanah, air, unsur hara, dan anasir iklim yang
mendukung nutrisi dalam tanah maupun udara menjadi tersedia. Adanya
daur unsur atau daur biogeo kimiawi di alam menunjukkan keterkaitan
antara faktor biotik dan abiotik.

2.5 Masalah-Masalah yang Dihadapi Suatu Agroekosistem Saat Ini


Ada beberapa masalah yang biasanya dihadapi oleh suatu
agroekosistem yang terjadi saat ini, yakni:
a. Degradasi lahan
14

Degradasi lahan kering selama ini lebih diakibatkan oleh terjadinya


kekeliruan dalam pembukaan dan pengelolaan lahan oleh perladangan
berpindah. Sistem pembukaan lahan dengan cara tebas-bakar (slash and
burn) yang dilakukan pada lahan yang miring akan mengawali terjadinya
erosi. Kebiasaan membakar kayu dan ranting sisa pembukaan lahan
biasanya diteruskan oleh petani dengan membakar sisa tanaman. Bila
pembakaran dilakukan hanya sekali saja pada waktu pembukaan lahan,
tidak akan banyak merusak tanah. Tetapi pembakaran yang dilakukan
berulang-ulang setiap musim akan cepat menurunkan kadar bahan organik
tanah yang akhirnya menurunkan produktivitas tanah. Pembakaran sisa-
sisa tanaman tiap tahun akan mempercepat proses pencucian dan
pemiskinan tanah. Merosotnya kadar bahan organik tanah akan
memperburuk sifat fisik dan kimia tanah. Struktur tanah menjadi tidak
stabil. Bila terjadi hujan, maka pukulan butir hujan akan cepat
menghancurkan agregat tanah dan partikel- partikel tanah yang halus akan
mengisi ruang pori. Ruang pori yang sudah terisi oleh partikel tanah
menyebabkan kapasitas infiltrasi tanah menurun dan meningkatkan aliran
permukaan dan mempercepat laju erosi tanah. Lapisan atas tanahakan
hilang karena erosi menyebabkan produktivitas lahan menurun. Apalagi
jika terjadinya erosi hingga menyebabkan munculnya horizon B, maka
tanah akan terdegradasi.
b. Kerusakan tubuh tanah
Tanah sebagai suatu sistem dinamis, selalu mengalami perubahan-
perubahan, baik perubahan dari segi fisik, kimia maupun biologinya.
Perubahan-perubahan ini terutama karena pengaruh berbagai unsur iklim.
Tetapi tidak sedikit pula yang dipercepat oleh tindakan atau perlakuan
manusia. Kerusakan tubuh tanah yang diakibatkan terjadi perubahan-
perubahan yang berlebihan, misalnya kerusakan yang menyebabkan
lapisan olah tanah lenyap atau dikenal dengan istilah erosi. Erosi adalah
terangkutnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah ke tempat lain.
Peningkatan erosi dapat diakibatkan oleh hilangnya vegetasi penutup tanah
atau akibat kegiatan pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi
15

tanah. Erosi umumnya mengakibatkan hilangnya tanah lapisan atas yang


subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman. Erosi dapat mengakibatkan
terjadinya kemunduran sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Erosi merupakan
penyebab utama kerusakan lahan dan lingkungan.
Permasalahan degradasi lahan akibat erosi disebabkan oleh: 1)
curah hujan yang mempunyai nilai erosivitas tinggi, 2) tanah peka erosi, 3)
kemiringan lereng melebihi batas kemampuan lahan untuk tanaman
pangan, 4) cara pengelolaan tanah dan tanaman yang salah termasuk
kebiasaan membakar dan cara pembukaan lahan yang salah, dan 5)
tindakan konservasi lahan yang belum memadai. Faktor lain yang
mempercepat kerusakan lahan yaitu kadar bahan organik yang makin
berkurang karena pembakaran sisa tanaman dan pencucian hara. Erosi
berlangsung secara alamiah, kemudian dapat dipercepat oleh beberapa
tindakan atau perlakuan manusia terhadap tanah dan tanaman yang tumbuh
di atasnya. Sebaliknya, erosi alamiah tidak menimbulkan malapetaka bagi
kehidupan manusia karena pada erosi alamiah masih terjadi keseimbangan
lingkungan, karena dalam peristiwa ini banyak tanah yang terangkut masih
seimbang dengan pembentukan tanah. Sedangkan pada erosi yang
dipercepat (accelerated erotion) sudah dapat dipastikan banyak
menimbulkan kerugian bagi manusia, seperti : bencana banjir, kekeringan,
produktivitas tanah yang makin menurun, longsor, dan lainnya. Pada
peristiwa erosi yang dipercepat, volume penghanyutan tanah lebih besar
dibandingkan dengan pembentukan tanah, sehingga penipisan lapisan
tanah akan berlangsung terus yang pada akhirnya dapat melenyapkan
lapisan tanah tersebut.
c. Dampak pemupukan yang berlebihan
Pemupukan dilakukan untuk memberikan zat makanan yang
optimal kepada tanaman, agar tanaman dapat memberikan hasil yang
cukup. Pemupukan dan pupuk buatan dapat menyebabkan tanah menjadi
asam (pH tanah menurun). Jika tanah menjadi asam, produktivitas
tanaman pertanian akan merosot. Selain itu, unsur nitrogen yang
terkandung di dalam pupuk dapat menyebabkan terbentuk larutan nitrit di
16

dalam tanah. Larutan nitrit dapat meresap ke dalam sumur penduduk yang
berdekatan. Pemupukan yang berlebihan dan larut ke dalam air juga dapat
menyebabkan meningkatkan kesuburan sungai (eutrofikasi). Ganggang
dan tumbuhan sungai, misalnya eceng gondok, tumbuh dengan subur.
Akibatnya hewan-hewan air akan kekurangan oksigen sehingga
mengalami kematian. Selain itu, tumbuhan air yang makin subur dapat
menyebabkan terjadi pendangkalan pada waduk dan bendungan.
d. Lahan pertanian terbatas/semakin sempit
Dalam suatu agroekosistem, khususnya yang diolah sedemikian
rupa untuk memenuhi kebutuhan penduduk (pertanian), pasti
membutuhkan lahan untuk mengelola sumber daya yang ada. Namun,
akibat dari pertambahan penduduk yang makin meningkat dari tahun ke
tahun mengakibatkan penggunaan lahan untuk pemukiman dan industri
semakin besar sehingga lahan yang dulunya sebagai lahan pertanian
menjadi semakin sempit. Selain itu, lahan pertanian di Indonesia banyak
pula yang belum benar-benar dimanfaatkan untuk pertanian karena lahan
tersebut berupa lahan kritis dan gambut yang memerlukan perlakuan dan
penanganan lebih apabila dijadikan lahan untuk pertanian. Lahan-lahan
kritis, gambut, serta tanah kosong yang tidak dimanfaatkan akhirnya
dialihfungsikan menjadi daerah pemukiman maupun industri.
e. Ketergantungan petani terhadap pestisida, pupuk anorganik dan varietas unggul
Akibat petani mengintensifkan penggunaan pestisida untuk
menanggulangi serangan hama dan penyakit pada tanaman yang
dibudidayakannya, maka petani tersebut memiliki ketergantungan terhadap
pestisida. Hal ini terjadi karena minimnya pengetahuan petani untuk
menerapkan Program Pengendalian Hama Terpadu dengan menggunakan
pestisida nabati yang aman serta memanfaatkan musuh alami sesuai
program PHT.
Petani pada masa Revolusi Hijau lebih mempercayakan pestisida
untuk memberantas hama dan penyakit yang menyerang tanamannya
karena pestisida tersebut bekerja efektif dan langsung ke sasarannya.
Begitupula dengan ketersediaan pupuk anorganik untuk meningkatkan
17

produksi pertanian, petani selalu melakukan pemupukan intensif


menggunakan pupuk anorganik, bahkan terkesan berlebihan sehingga
dalam usahataninya, petani sangat bergantung kepada ketersediaan pupuk
anorganik. Varietas unggul pun diperlukan sebagai modal untuk
menghasilkan produksi yang tinggi pada masa Revolusi Hijau sehingga
tanpa varietas yang unggul, petani merasa produksinya akan menurun dan
tidak dapat menutupi biaya produksi, akibatnya petani mengalami
kerugian.
f. Muncul ketahanan (resistensi) hama terhadap pestisida
Ketahanan hama terhadap pemberian pestisida akan muncul
apabila pestisida diberikan secaraterus menerus. Hal ini menjadi fenomena
dan konsekuensi ekologis yang umum dan logis. Resistensi muncul akibat
reaksi evolusi menghadapi suatu tekanan (strees). Oleh karena hama terus
menerus mendapat tekanan oleh pestisida, maka melalui proses seleksi
alami, spesies hama mampu membentuk strain baru yang lebih tahan
terhadap pestisida tertentu yang digunakan petani. Pada tahun 1947, dua
tahun setelah penggunaan pestisida DDT, muncul strain serangga yang
resisten terhadap DDT. Saat ini, telah ada lebih dari 500 spesies serangga
hama telah resisten terhadap berbagai jenis insektisida.
g. Resurgensi hama
Peristiwa resurgensi hama terjadi apabila setelah diperlakukan
aplikasi pestisida, populasi hama menurun dengan cepat dan secara tiba-
tiba justru meningkat lebih tinggi dari jumlah polulasi sebelumnya.
Resurgensi sangat mengurangi efektivitas dan efesiensi pengendalian
dengan pestisida. Resurgensi hama terjadi karena pestisida, sebagai racun
yang berspektrum luas, juga membunuh musuh alami. Musuh alami yang
terhindar dan tahan terhadap penyemprotan pestisida, sering kali mati
kelaparan karena populasi mangsa untuk sementara waktu terlalu sedikit,
sehingga tidak tersedia makanan dalam jumlah cukup. Kondisi demikian
terkadang menyebabkan musuh alami beremigrasi untuk mempertahankan
hidup. Di sisi lain, serangga hama akan berada pada kondisi yang lebih
baik dari sebelumnya. Sumber makanan tersedia dalam jumlah cukup dan
18

pengendali alami sebagai pemba-tas pertumbuhan populasi menjadi tidak


berfungsi. Akibatnya, populasi hama meningkat tajam segera setelah
penyemprotan.
h. Ledakan populasi hama sekunder
Dalam ekosistem pertanian, diketahui terdapat beberapa hama
utama dan banyak hama-hama kedua atau hama sekunder. Umumnya
tujuan penggunaan pestisida adalah untuk mengendalikan hama utama
yang paling merusak. Peristiwa ledakan hama sekunder terjadi apabila
setelah pemberian pestisida menghasilkan penurunan populasi hama
utama, tetapi kemudian terjadi peningkatan populasi pada spesies yang
sebelumnya bukan hama utama, sampai tingkat yang merusak. Ledakan ini
seringkali disebabkan oleh terbunuhnya musuh alami, akibat penggunaan
pestisida yang berspektrum luas. Pestisida tersebut tidak hanya membunuh
hama utama yang menjadi sasaran, tetapi juga membunuh serangga
berguna yang dalam keadaan normal secara alamiah efektif
mengendalikan populasi hama sekunder.
Peristiwa ledakan populasi hama sekunder di Indonesia pernah
terjadi, yakni ledakan hama ganjur di hamparan persawahan Jalur Pantura
Jawa Barat, setelah daerah tersebut disemprot intensif pestisida Dimecron
dari udara untuk memberantas hama utama penggerek padi kuning
Scirpophaga incertulas. Penelitian dirumah kaca membuktikan, dengan
menyemprotkan Dimecron pada tanaman padi muda, hama ganjur dapat
berkembang dengan baik, karena parasitoidnya terbunuh. Munculhama
wereng coklat Nilaparvata iugens setelah tahun 1973 menggantikan
kedudukan hama penggerek batang padi sebagai hama utama di Indonesia.
Hal ini diduga disebabkan oleh penggunaan pestisida golongan khlor
secara intensif untuk mengendalikan hama sundep dan weluk.

2.6 Permasalahan Seputar Perubahan Iklim


Perubahan iklim adalah perubahan variabel iklim, khususnya suhu
udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka
waktu panjang (50-100 tahun) dan dapat juga disebabkan oleh kegiatan
19

manusia, terutama yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar fosil dan
alih guna lahan. Pertanian konvensional menyumbang terjadi perubahan
iklim pertanian konvensional yang intensif (baik dari sisi pemakaian mesin
pertanian atau luas lahan) akibat penebangan hutan untuk membuka lahan.
Gundulnya hutan berarti hilangnya bahan organik dari tanah. Padahal
bahan organik berperan mengikat air dan menahan laju penguapan. Tidak
heran, lebih banyak terjadi kekeringan. Jumlah vegetasi berkurang
menurunkan kelembaban udara dan meningkatkan suhu udara. Produksi
pupuk dan pestisida kimia yang dipakai pertanian konvensional juga
menghasilkan gas rumah kaca yang merupakan salah satu pemicu terjadi
perubahan iklim. Sementara aplikasinya pada lahan telah menurunkan
kesuburan dan menyebabkan erosi tanah.
Fenomena perubahan iklim dapat diakibatkan oleh pergeseran atau
perubahan pola musim. Kini hampir di seluruh wilayah di Indonesia, batas
musim hujan dan musim kemarau tidak lagi jelas. Secara perlahan,
pergeseran ini mulai mengubah pola tanam, khususnya dirasakan di daerah
pertanian tadah hujan. Jika saat semai tidak tepat, bisa jadi benih tidak
akan tumbuh karena kekurangan air. Pergeseran musim hujan dan musim
kemarau memengaruhi proses pembungaan tanaman. Hal ini bisa
mengurangi hasil panen dan ketersediaan benih untuk musim tanam
berikutnya. Perubahan iklim dapat terjadi akibat kenaikan suhu. Laporan
terakhir dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
menyebutkan bahwa dalam satu abad terakhir terjadi kenaikan rata-rata
suhu dunia sebesar 0,76°C. Diprediksikan, tahun 2050 akan terjadi
kenaikan suhu sebesar 2°C.
Kondisi ini menyebabkan banyak sumber air di pegunungan yang
mengairi sungai-sungai mengering. Kenaikan suhu juga menjadi ancaman
serius bagi petani, terkait dengan pola penyebaran hama dan penyakit.
Akibat kondisi lingkungan menghangat, ada beberapa hama dan penyakit
yang tadinya bukan ancaman serius bagi pertanian, berubah menjadi
sangat merusak. Hal sebaliknya juga bisa terjadi. Hama penyakit yang
dahulu ganas bisa berkurang serangannya karena perubahan suhu.
20

Perubahan iklim juga dapat terjadi akibat kekeringan berkepanjangan.


Kian menipisnya ketersediaan air disebabkan oleh peningkatan evaporasi
dan evapotranspirasi akibat peningkatan suhu udara dan hilangnya
vegetasi penutup tanah. Selain itu, juga disebabkan oleh curah hujan yang
makin sedikit. Belakangan banyak terjadi ketidakseimbangan jumlah air di
musim kemarau dan musim hujan. Masyarakat mengalami kekurangan air
di musim kemarau dan kebanjiran di musim hujan. Banjir dan kekeringan
juga menyebabkan kegagalan panen.

2.7 Faktor-Faktor Penyebab Kerentanan Agroekosistem Terhadap Eksplosi


Hama
Agroekosistem yang merupakan suatu ekosistem pertanian dapat
dikatakan produktif jika terjadi keseimbangan antara tanah, hara, sinar
matahari, kelembaban udara dan organisme-organisme yang ada, sehingga
dihasilkan suatu pertanaman yang sehat dan hasil yang berkelanjutan
(Altieri dan Altieri, 2004). Gangguan-gangguan terhadap agroekosistem
tersebut dapat diatasi karena telah ada sistem yang dapat mengatasi atau
mentoleransi adanya cekaman biotik dan abiotik yang ada. Jika terdapat
gangguan pada suatu agroekosistem oleh patogen, serangga hama atau
degradasi lahan, maka untuk mencegah terjadinya kerentanan pada
agroekosistem tersebut perlu dilakukan pengembalian keseimbangan
(resiliance), yaitu dengan mengembalikan fungsi dari masing-masing
komponen yang ada dalam agroekositem tersebut.
Beberapa praktek budidaya yang dapat meningkatkan kerentanan
suatu agroekosistem terhadap hama adalah:
1. Penurunan keragaman lanskap
Pengembangan pertanian secara besar-besaran di negara industri
mengakibatkan perubahan terhadap keragaman lanskap, karena adanya
penyederhanaan agroekosistem melalui perluasan lahan, penambahan
kepadatan tanaman, peningkatan keseragaman tanaman dalam umur dan
kualitas fisik, serta penurunan keragaman intra dan ekstra spesifik dalam
pertanaman. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya kesenjangan
21

perkembangan antara herbivora dan musuh alaminya. Terdapat fenomena


bahwa serangga herbivora masuk dalam pertanaman dan memencar secara
bersamaan pada suatu pertanaman, sedangkan musuh alaminya masuk
mulai dari tepi pertanaman dan menyebar ke tengah dengan selang waktu
3 minggu (Price, 1976). Kondisi ini akan mengakibatkan
ketidakseimbangan antara hama dan musuh alaminya. Dengan demikian,
perluasan lahan pertanaman monokultur akan semakin merentankan
agroekosistem tersebut terhadap eksplosi hama.
2. Penurunan keragaman tanaman
Kerentanan agroekosistem terhadap hama merupakan suatu akibat
dari penyederhanaan dari lanskap, seperti yang terjadi pada sistem
pertanian dengan input tinggi di negara-negara maju dan negara-negara
yang mengembangkan ekspor hasil pertanian dengan menerapkan sistem
tanam monokultur. Sistem pertanian monokultur menurunkan jumlah dan
aktivitas musuh alami karena terbatasnya sumber pakan, seperti polen,
nektar dan mangsa atau inang alternatif yang diperlukan oleh musuh alami
untuk makan, bereproduksi (Andow, 1991) serta tempat untuk refugia
untuk bertahan pada suatu ekosistem (Jervis et al, 2004). Sebaliknya, bagi
Pengelolaan Agroekosistem dalam Pengendalian Hama (Nurindah)
serangga herbivora, pertanaman monokultur merupakan sumber pakan
yang terkonsentrasi dalam jumlah banyak, sehingga herbivora tersebut
dapat bereproduksi dan bertahan dengan baik. Beberapa serangga
herbivora dilaporkan dapat berkembang biak dengan baik pada
pertanaman monokultur yang dipupuk, disiang dan diairi secara intensif
(Price, 1991). Kondisi agroekosistem seperti ini secara terus menerus akan
menyebabkan agroekosistem menjadi rentan terhadap eksplosi hama.
3. Penggunaan pestisida
Dampak negatif dari penggunaan insektisida kimia secara intensif
dalam jangka panjang telah banyak dilaporkan, yaitu timbulnya resistensi,
resurgensi, munculnya serangga sekunder, dan polusi. Sedikitnya telah
dilaporkan adanya 50 spesies arthropoda yang telah resisten terhadap
insektisida dan akarisida (van Driesche dan Bellows, 1996). Resistensi
22

musuh alami terhadap insektisida, kalau pun terjadi, sangat lambat, karena
musuh alami berpeluang kecil mempunyai gen yang resisten, karena
populasi rendah, serta proses evolusi yang berbeda dengan herbivora.
Penggunaan insektisida kimia, pada banyak kasus, tidak
memecahkan masalah, bahkan menimbulkan masalah baru, yaitu
terjadinya resistensi terhadap insektisida (Martin et al., 2000;
Wolfenbarger dan Vargas-Camplis, 2002; Fakhrudin et al., 2003) dan
terjadinya ledakan populasi hama sekunder (Hallberg, 1989; Kelly, 1995;
Schultz et al., 2001). Salah satu contoh dampak negatif penggunaan
insektisida adalah penggunaan insektisida dari kelompok piretroid sintetik
secara berlebihan untuk mengendalikan populasi H. armigera pada kapas
di Lamongan pada MTT 2003 dan 2004. Penggunaan insekisida kimia
sintetik yang berlebihan tersebut mengakibatkan peledakan populasi hama
sekunder Bemisia sp. dan menyebabkan petani gagal panen (Nurindah dan
Mukani, 2005).
4. Pemupukan yang tidak berimbang
Pemupukan Nitrogen dengan dosis tinggi dapat menyebabkan
peningkatan kerusakan tanaman oleh herbivora. Beberapa studi
melaporkan bahwa pemberian beberapa tingkat pupuk N berkorelasi
positif dengan peningkatan populasi herbivora, karena adanya peningkatan
kapasitas reproduksinya (Brodbeck et al, 2001; Luna, 1988; Altieri dan
Nicholls, 2003). Penambahan dosis pupuk N dari 30 kgN/ha menjadi 60 –
90 kg N/ha meningkatkan populasi Helicoverpa armigera, Amrasca
biguttula dan Earias sp. pada kapas, sehingga meningkatkan frekuensi
rata-rata penyemprotan dari 2,5 kali menjadi 3,7 kali; dan tidak
meningkatkan hasil kapas berbiji secara nyata (Sahid et al., 2000).
5. Iklim
Cuaca dapat menjadi faktor abiotik penting pemicu peledakan
populasi hama. Hal ini tidak terlepas dari faktor fisiologis herbivora.
Komponen iklim yang paling berpengaruh terhadap perkembangan
populasi serangga adalah suhu dan kelembaban udara. Guiterez et al.
(1974) melaporkan bahwa beberapa kondisi suhu dan kelembaban udara
23

dapat menyebabkan perubahan pada populasi kutu daun, karena adanya


perubahan pada perkembangan fisiologi, migrasi dan pemencaran,
sehingga menyebabkan peledakan populasi lokal. Suhu dan kelembaban
tertentu pada pertanaman (iklim mikro) terjadi karena kondisi pertanaman
yang merupakan akibat dari praktek agronomi dalam budidaya tanaman,
misalnya jarak tanam, populasi tanaman dan pemupukan. Populasi
tanaman yang tinggi dan jarak tanam rapat mengakibatkan tanaman
tumbuh sangat rimbun, sehingga terjadi iklim mikro pada pertanaman
(suhu dan kelembaban udara tinggi) yang sangat rentan terhadap infestasi
herbivora.

2.8 Pengelolaan Agroekosistem

2.8.1 Mengelola permasalahan agroekosistem


Konservasi lahan dapat dilakukan dengan cara penerapan tanpa
olah tanah (zero tillage) atau pengolahan tanah minimum (minimum
tillage) dalam rangka pengawetan tanah dengan tidak mencuci peralatan
penyemprot pesti- sida di sungai atau di dekat sumur agar tidak mencemari
sungai atau sumur penduduk. Peralatan sebaiknya dicuci di tempat khusus
dan limbahnya dibuang secara khusus pula (misalnya dibuatkan lubang
yang jauh dari pemukiman). Hindari membuang sisa obat di sembarang
tempat. Buanglah sisa obat di tempat khusus yang tidak mencemari sungai
atau sumur penduduk. Sebaiknya penggunaan pestisida dikurangi dengan
memberantas hama secara mekanik (misalnya ditangkap, kemudian
dimatikan), dan secara biologis (misal menggunakan serangga predator).
Pemberantasan secara biologis dengan serangga atau hewan predator
dimaksudkan agar hewan predator yang dilepaskan di lingkungan
memangsa hama tanaman. Serangga predator dipelihara terlebih dahulu,
dikembangbiakkan, kemudian dilepaskan di sawah atau perkebunan.
Tindakan-tindakan yang disarankan adalah menggunakan pestisida hayati
yang aman bagi kesehatan petani, konsumen dan lingkungan pertanian;
24

dan menerapkan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dengan prinsip-


prinsip berikut, yaitu :
1. Budidaya tanaman sehat.
2. Pelestarian musuh alami.
3. Pengamatan agroekosistem secara rutin.
4. Petani menjadi ahli PHT dan manajer di kebunnya.
5. Menerapkan sistem pertanian berkelanjutan serta pertanian berwawasan
lingkungan yang tidak hanya mementingkan faktor keuntungan dalam
melakukan usahatani/budidaya dalam suatu agroekosistem, tetapi justru
memperhatikan faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Faktor yang memengaruhi suatu ekosistem pertanian sangatlah
beragam, tetapi secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga pengaruh
besar, yakni: pengaruh praktik atau perlakuan budidaya, pengaruh kondisi
alami, dan pengaruh kegiatan manusia. Pengaruh yang dapat dikendalikan
atau ditangani oleh seorang ahli pertanian adalah praktik dan perlakuan
budidaya. Usaha untuk menetralkan kondisi alam juga banyak dilakukan,
tetapi tingkat kendalinya amat terbatas. Di lain pihak, pengaruh kegiatan
manusia acapkali di luar jangkauan ahli-ahli pertanian, karena selain
wewenangnya tidak sampai, di Indonesia kepakaran ahli jarang
dipergunakan sebagai landasan penentuan kebijakan dan pengambilan
keputusan.
Secara rinci sebenarnya pengaruh tersebut bersifat timbal-balik,
sehingga lebih merupakan interaksi saling tindak antara agroekosistem dan
lingkungan atau ekosistem lain yang ada di sekelilingnya. Saling tindak ini
bersifat dinamik dan progresif. Tetapi apabila agroekosistem tidak lagi
mampu menyeimbangkan pengaruh-pengaruh tersebut, maka akan terjadi
kondisi regresif. Dalam kondisi ini, agroekosistem mengalami
kemunduran, tidak produktif dan dinamikanya menuju ke degradasi
ekosistem. Sering kali hal tersebut terjadi karena tidak terkendalinya faktor
pengaruh kegiatan manusia, kadang-kadang juga oleh kondisi alam yang
ekstrim (bencana alam, kondisi cuaca buruk yang tetap berkepanjangan
dan lain-lain). Namun dapat juga hal itu terjadi karena praktik budidaya
25

yang salah, yang tidak sesuai lingkungan, yang tidak melihat ke depan,
atau ringkasnya, yang tidak menjamin kelestarian usaha pertanian
(nonsustainable).
Sebagai ahli pertanian, pertimbangan praktik budidaya agar
agroekosistem menuju ke sistem yang lestari atau sustainable harus
diperhitungkan secara optimal. Kelestarian atau keberlanjutan ini
menyangkut aspek-aspek ekonomi, budidaya, sosial, lingkungan, dan pada
akhirnya juga hukum dan politik. Mungkin seorang ahli pertanian tidak
akan bertindak pada semua aspek yang saling tindak menyusun kelestarian
agroekosistem tersebut, tetapi mengetahui dan menyadari bahwa dinamika
agrosekosistem yang berlanjut tergantung kepada semua aspek di atas,
sama pentingnya dengan bertindak.

2.8.2 Mengelola komponen pembentuk ekosistem


Ekosistem dibentuk oleh komponen-komponennya. Ekosistem
adalah hubungan timbal balik (interaksi) antara makhluk hidup dan
lingkungannya. Interaksi ini menciptakan kesatuan ekologi yang disebut
ekosistem. Ekosistem terdiri dari faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik,
antara lain: suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi. Sedangkan
faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan,
tumbuhan, dan mikroba. Upaya mengelola komponen ekosistem penting
dilakukan untuk menghindari terjadi permasalahan dalam agroekosistem.

2.9 Pengendalian Hama Melalui Pengelolaan Agroekosistem


Faktor-faktor penyebab rentannya suatu agroekosistem terhadap
eksplosi hama dapat diatasi dengan melakukan pengelolaan agroekosistem
supaya menjadi lebih tahan terhadap eksplosi hama. Tujuan dari
pengelolaan agroekosistem adalah menciptakan keseimbangan dalam
lingkungan, hasil yang berkelanjutan, kesuburan tanah yang dikelola
secara biologis dan pengaturan populasi hama melalui keragaman hayati
serta penggunaan input yang rendah (Altieri, 1994). Untuk mencapai
tujuan ini, strategi yang dikembangkan adalah optimalisasi daur hara
26

dalam tanah dan pengembalian bahan organik, konservasi air dan tanah
serta keseimbangan populasi hama dan musuh alaminya. Strategi ini
mengarah pada suatu pengaturan lanskap yang ada, sehingga didapatkan
kemantapan fungsi dari keragaman hayati yang membantu dalam proses
menuju agroekosistem yang sehat.
Konsep ekologi dalam PHT, merupakan konsep dari proses alami
dan interaksi-interaksi biologi yang dapat mengoptimalkan sinergi fungsi
dari komponen-komponennya. Dengan demikian, lahan dengan keragaman
hayati yang tinggi, mempunyai peluang tinggi untuk terjaga kesuburan
tanahnya melalui aktivasi biota tanah. Selain itu, perkembangan populasi
herbivora dapat terjaga melalui peningkatan peran arthropoda berguna dan
antagonis. Pengelolaan agroekosistem untuk mendapatkan produksi yang
berkelanjutan dan sesedikit mungkin berdampak negatif terhadap
lingkungan dan sosial, serta input rendah dimungkinkan dengan
menerapkan prinsip-prinsip ekologi sebagai berikut (Reijntes et al.,
1992) :
1. Meningkatkan daur ulang dan optimalisasi ketersediaan dan keseimbangan
alur hara. Prinsip ini dapat dilakukan dengan melakukan rotasi dengan
tanaman-tanaman pupuk hijau.
2. Memantapkan kondisi tanah untuk pertumbuhan tanaman dengan mengelola
bahan organik dan meningkatkan biota tanah. Pemberian biomassa pada lahan
akan menambah bahan organik yang selanjutnya akan meningkatkan biota
tanah yang berguna dalam peningkatan kesuburan tanah.
3. Meminimalkan kehilangan karena keterbatasan ketersediaan air melalui
pengelolaan air. Air dibutuhkan tanaman untuk dapat berproduksi optimal,
sehingga ketersediaannya pada waktu dan jumlah yang cukup, sangat
berpengaruh terhadap produktivitas lahan. Pengelolaan air dapat dilakukan
dengan teknik-teknik pengawetan air tanah.
4. Meningkatkan keragaman spesies dan genetik dalam agroekosistem, sehingga
terdapat interaksi alami yang menguntungkan dan sinergi dari komponen-
komponen agroekosistem melalui keragaman hayati.
27

Prinsip-prinsip ini dapat diterapkan melalui berbagai teknik


budidaya. Teknik-teknik tersebut akan memberikan pengaruh yang
berbeda dalam produktivitas, stabilitas dan keseimbangan pada suatu
agroekosistem, tergantung pada peluang- peluang yang ada pada lokasi
(spesifik lokasi), sumberdaya alam yang ada serta pasar. Tujuan akhir dari
pengelolaan agroekosistem adalah memadukan komponen-komponen
yang ada sehingga efisiensi biologis dapat diperbaiki, keragaman hayati
dapat dilestarikan dan dihasilkan produksi yang berkelanjutan.
Seperti telah dibahas di atas, pertanaman monokultur dapat
memicu eksplosi hama, karena budidaya monokultur dapat menyebabkan
agroekosistem menjadi tidak stabil. Ketidakstabilan agroekosistem masih
dapat diperbaiki dengan menambahkan keragaman tanaman pada suatu
pertanaman dan lanskap (Gillesman, 1999) yang disebut sebagai rekayasa
ekologi (ecological engineering). Keragaman tanaman yang tinggi dapat
menciptakan interaksi dan jaring-jaring makan yang mantap dalam suatu
agroekosistem. Keragaman tanaman dalam suatu agroekosistem
merupakan konsep dasar dalam pengendalian hayati (Noris dan Kogan,
2006).
Peningkatan keragaman tanaman pada suatu agroekosistem dapat
dilakukan melalui praktek budidaya dengan sistem tumpangsari,
agroforestry atau dengan menggunakan tanaman pelindung atau penutup
tanah. Praktek budidaya ini telah umum dilakukan pada sistem pertanian
di Indonesia. Pada tanaman perkebunan, kapas selalu ditanam secara
tumpangsari dengan palawija (jagung, kedelai, kacang tanah atau kacang
hijau). Keragaman spesies parasitoid telur yang lebih tinggi berakibat pada
peningkatan kontribusi mortalitas H. armigera oleh faktor mortalitas
biotiknya.
Pengelolaan habitat untuk pengendalian hama dengan
menambahkan keragaman hayati hendaknya diikuti dengan perbaikan
kualitas tanah. Kualitas kesuburan tanah yang baik, merupakan media
untuk mendapatkan tanaman yang sehat dan tanaman yang sehat
merupakan dasar dari pengelolaan hama yang berbasis ekologi. Pada
28

sistem pertanian organik, populasi serangga hama dilaporkan selalu lebih


rendah dibandingkan dengan pada sistem pertanian konvensional (Elzaker,
1999). Pemberian biomasa tanaman dapat meningkatkan ketersediaan air,
karena berpengaruh pada perbaikan sifat fisik tanah seperti bobot isi,
porositas, dan permeabilitas (Mastur dan Sunarlim, 1993). Pemberian
mulsa pada tanah juga dilaporkan dapat meningkatkan efisiensi
pengendalian hama (Mathews et al., 2002; 2004; Afun et al., 1999).
Aplikasi mulsa jerami padi pada pertanaman kapas selain dapat
meningkatkan bahan organik dalam tanah yang dapat memperbaiki
struktur fisik dan kimia tanah yang menyebabkan tanah menjadi lebih
subur, juga meningkatkan aktivasi predasi terhadap penggerek buah kapas,
karena populasi kompleks predator pada kanopi meningkat (Subiyakto,
2006).
Kemampuan tanaman untuk bertahan atau toleran terhadap
serangga hama atau patogen berhubungan erat dengan properti fisik, kimia
dan biologi tanah yang optimal. Tanah dengan kandungan bahan organik
tinggi dan aktivitas biologi yang tinggi biasanya menunjukkan adanya
kesuburan yang tinggi dan adanya jaring- jaring makanan (food web) serta
mikroorganisme yang kompleks, sehingga mencegah terjadinya infeksi
patogen (Magdoff dan van Es, 2000).
Dengan demikian, interaksi multitropik yang terjadi di atas
permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah merupakan suatu food
web yang saling tergantung dan menyebabkan terjadinya stabilitas
populasi herbivora. Hal ini disebabkan oleh adanya keseimbangan antara
herbivora dan musuh alaminya dan patogen dengan antagonisnya.
Keseimbangan ini akan men- jadikan suatu agroekosistem menjadi sehat
dan dapat menciptakan sistem pertanian yang berkelanjutan.
Penambahan keragaman tanaman dalam program pengendalian
hama telah banyak dilakukan. Penambahan keragaman tersebut ditujukan
untuk meningkatkan populasi predator, misalnya dengan tata tanam strip
cropping kapas dengan sorgum (Slosser et al., 2000). Tanaman kedelai
yang ditumpangsarikan dengan kapas dilaporkan dapat menarik predator,
29

seperti Kepik Mirid (Nabis spp.), kepik bermata besar (Geocoris spp.) dan
laba-laba (Anderson dan Yeargan, 1998).
Peningkatan keragaman vegetasi melalui sistem tanam tumpangsari
merupakan praktek budidaya yang mudah diterima oleh petani. Walaupun
demikian, pemilihan jenis tanaman yang akan ditumpangsarikan dan
sistem tanam yang tepat perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan
produktivitas lahan yang optimal dan mempunyai keuntungan sosial dan
ekonomi yang sesuai dengan lokasi setempat (spesifik lokasi). Penerapan
sistem tumpangsari hendak- nya tidak menurunkan produksi secara nyata
dari tanaman-tanaman yang dipadukan. Oleh karena itu diperlukan
pengetahuan tentang pengaturan jarak tanam, populasi tanaman, serta
umur panen untuk diterapkan dengan mempertimbangkan aspek
pengendalian hama dan produktivitas lahan yang optimal.
Dalam program pengendalian hama, penambahan keragaman
vegetasi bukan merupakan suatu strategi pengendalian yang dapat berdiri
sendiri (standalone tactic) dalam menyelesaikan masalah hama yang ada.
Teknik-teknik pengendalian hama yang penekanannya adalah
pengendalian ramah lingkungan dengan pemanfaatan sumberdaya alam
yang telah ada untuk menuju sistem pertanian yang berkelanjutan, perlu
dikembangkan. Teknik-teknik tersebut difokuskan pada optimalisasi peran
musuh alami sebagai faktor mortalitas biotik bagi serangga hama atau
sebagai penghambat perkembangan patogen penyakit. Salah satu teknik
pengendalian hama dan penyakit yang ramah lingkungan adalah
penggunaan pestisida botani. Beberapa ekstrak tanaman telah dilaporkan
dapat digunakan sebagai pestisida botani yang sifatnya tidak hanya toksik
bagi herbivora, tetapi juga sebagai antifeedant dan penolak (Isman, 2006).
Insektisida botani yang dikembangkan adalah dari ekstrak piretrum atau
mimba. Insektisida botani dari ekstrak biji mimba yang dipadukan dengan
pelepasan predator mempunyai efektivitas yang tinggi, yaitu menyebabkan
99% mortalitas thrips Frankinella accidentalis pada kacang hijau
(Thoeming dan Poehling, 2006).
BAB III PENUTUP

3.1  Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan oleh penulis dapat


disimpulkan bahwa agroekosistem merupakan suatu ekosistem batan
manusia yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Agroekosistam mempunyai komponen-komponen yang saling berinteraksi
satu sama lain yang apabila interaksinya tidak normal atau salah satu sari
komponennya melebihi batas normal akan mengakibatkan masalah. Dan
apabila interaksi berjalan normal maka akan tercipta suatu keseimbangan.

3.2  Saran

Perlu adanya studi yang lebih mendalam mengenai dampak

perubahan agroekosistem dan solusi pengendalian kerusakan.


DAFTAR PUSTAKA

Afun, J. V. K, Johnson, D. E, Russell, dan Smith. A. 1999. The effects of weed


residue management on pests, pest damage, predators and crop yield in
upland rice in Cote d'Ivoire. Biological Agriculture and Horticulture 17(1):
47 - 58.
Ali Hanafiah, Kemas. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Rajagrafindo Pers. Jakarta
Altieri, M. A. 1994. Biodiversity and Pest Management in Agroecosystems.
Haworth Press, New York.
Altieri, N and Altieri, M. A. 2004. Agroecological bases of ecological engineering
for pest management. In: G. M. Gurr, S. D. Wratten dan M. A. Altieri
(Eds.), Eco- logical Engineering for Pest Mana- gement. Comstock
Publishing Associates, New York. p. 32 – 54.
Altieri, M. A. dan Nicholls, C. I. 2003. Soil fertility management and insect pests:
harmonizing soil and plant health in agroecosystem. Soil and Tillage
Research 72: 203 – 211.
Anderson, A. C. dan Yeargan, K. V. 1998. Influence of soybean canopy closure
on predator abundances and predation on Helicoverpa zea (Lepidoptera:
Noctuidae) eggs. Environmental Entomology 27: 1488-1495.
Andow, D.A. 1991. Vegational diversity and arthropod population response.
Annual Review of Entomology 36: 561 – 586.
Basri Jumin, Hasan. 2002 Agroekologi Suatu Pendekatan Fisiologis. Rajawali
Pers. Jakarta.
Brodbeck, B., Stavisky, J., Funderburk, J., Andersen, P. dan Olson, S. 2001.
Flower nitrogen status and populations of Frankinella occidentalis feeding
on Lycopersicon escullentum. Entomologia Experimentalis et Applicata 99
(2): 165 – 172.
Fakhrudin, B., Badariprasad, Krishnareddy, K. B., Prakash, S. H., Vijaykumar,
Patil, B. V . and Kuruvinashetti, M. S. 2003. Insecticide resistance in cotton
bollworm, Helicoverpa armigera (Hubner) in South Indian cotton
ecosystems. Resistant Pest Management Newsletter 12(2):13 - 16.
Guiterez, A.P., Havenstein, D.E., Nix, , H. A. and Moore, P.A. 1974. The ecology
of Aphis cracivora Koch and subteranean clover stunt virus in South East
Australia. II. A model of cowpea aphid population in temperate pastures.
Journal of Applied Ecology. 11: 1 – 20.
Hallberg, G. R. 1989. Pesticide pollution of groundwater in the humid United
States. Agriculture Ecosystems and Environ- ment 26 (3-4) : 299 - 367.
Isman, M. B. 2006. Botanical insecticides, deterrents and repellents in modern
agriculture and increasingly regulated world. Annual Review of
Entomology 51: 45 – 66.
Jervis, M.A., Lee, J. C., dan Heimpel, G. E. 2004. Use of behavioural and life-
history studies to understand the effects of habitat manipulation. In: G. M.
Gurr, S. D. Wratten and M. A. Altieri (Eds.), Ecological Engineering for
Pest Management. Comstock Publishing Associates, New York. p. 65 – 100.
Kelly, A. G. 1995. Accumulation and persistence of chlorobiphenyls,
organochlorine pesticides and faecal sterols at the Garroch Head sewage
30

sludge disposal site, Firth of Clyde. Environmental Pollution 88(2): 207 -


217.
Luna, J. M. 1988. Influence of soil fertility prac- tices on agricultural pest. In:
Global perspectives on agroecology and sus- tainable agricultural systems.
Procee- dings of the Sixth International Scientific Conference of IFOAM. St
Cruz. p. 589 – 600.
Magdoff, F dan van Es, H. 2000. Building Soils fo Better Crops. SARE,
Washington.
Martin, T., Ochou, G. O., Hala. N'., Klo, F. Vassal, J. M., dan Vaissayre, M. 2000.
Pyrethroid resistance in the cotton bollworm, Helicoverpa armigera
(Hubner), in West Africa. Pest Management Science 56(6): 549 - 554.
Mastur dan N. Sunarlim 1993. Pengaruh drainase/irigasi dan mulsa jerami padi
terhadap sifat fisik tanah dan keragaan kedelai. Risalah Hasil Penelitian
Tanaman Pangan. 1:67-74.
Mathews, C. R., Bottrell, D. G. dan Brown, M. W. 2002. A comparison of
conventional and alternative understory management practices for apple
production: multi- trophic effects. Applied Soil Ecology 21(3): 221 - 231.
Mathews, C. R., Bottrell, D. G. dan Brown, M. W. 2004. Habitat manipulation of
the apple orchard floor to increase ground dwelling predators and predation
of Cydia pomonella (L.) (Lepidoptera: Tortricidae). Biological Control
30(2): 265 - 273.
Noris, R. F. dan Kogan, M. 2006. Ecology of interactions between weeds and
arthropods. Annual Review of Entomo- logy 50: 479 – 503.
Nurindah dan Mukani. 2005. Peningkatan daya saing kapas dengan PHT.
Lokakarya Revitalisasi Agribisnis Kapas Diinte- grasikan dengan Palawija
di Lahan Sawah Tadah Hujan, Lamongan 8 September 2005. 10 hlm.
Prawihartono dan Sri Hidayati, Slamet. Sains Biologi 1 SMA/MA. Bumi Aksara.
Jakarta
Price, P. W. 1976. Colonization of crops by arthropods: non-equilibrium commu-
nities in soybean fields. Environmental Entomology. 5: 605 – 612.
Price, P. W. 1991. The plant vigor hypothesis and herbivore attack. Oikos, 62:
244 – 251.
Reijntes, C., Haverkort, B. Dan Water-Bayer, A. 1992. Farming for the Future,
Macmillan, London.
Sahid, M., Cholid, M. dan Yulianti, T. 2000. Pengeruh cara tanam kedelai dan
dosis nitrogen pada tanaman kapas terhadap perkembangan hama dan hasil
kapas. Jurnal Tanaman Industri 5:128 – 134.
Schultz, R., Peall, S. K. C., Dabrowski, J. M., and Reinecke, A. J. 2001. Spray
deposition of two insecticides into surface waters in a South African orchard
area. Journal of Environmental Quality 30(3): 814 - 822.
Slosser,J. E., Parajulee, M. N. and Bordovsky, D. G. 2000. Evaluation of food
sprays and relay strip crops for enhancing biological control of bollworms
and cotton aphids in cotton. International-Journal-of-Pest- Management 46:
267-275.
Subiyakto. 2006. Peran Mulsa Jerami Padi Terhadap Keanekaragaman
Arthropoda Predator dan Manfaatnya Dalam Pengen- Dalian Serangga
Hama Kapas Pada Tumpangsari Kapas dan Kedelai. Diser- tasi Program
Doktor Ilmu Pertanian, Universitas Brawijaya.
31

Taufiq Arminuddin dan Indah Permanasari, Ahmad. 2011. Ekologi Pertanian.


Suska Press: Pekanbaru.
Triharso, 2010.Dasar-dasar Perlindungan Tanaman.Gadjah Mada University
Press
Thoeming, G. dan Poehling, H. M. 2006. Integrating soil-applied azadirachtin
with Amblyseius cucumeris (Acari: Phyto- seiidae) and Hypoaspis aculeifer
(Acari: Laelapidae) for the management of Frarnkinella occidentalis
(Thysanoptera: Thripidae). Environmental Entomology 35 (3): 746 – 756.
van Driesche, R.G. and Bellows, T.S. Jr. 1996. Biological Control. Chapman and
Hall, New York.
van Elzaker, Bo. 1999. Organic cotton product- ion. In: D Myers dan S. Stolton.
(Eds.) Organic cotton, from field to final product. Intermediete Technology
Publi- cations, London. p. 21 – 35.
Wolfenbarger, D. A., Vargas-Camplis, J. 2002. Profenofos: response of field,
collected strains of bollworm and tobacco budworm in South Texas, USA
and Mexico. Resistant Pest Management Newsletter 11(2): 11 -13.
http://anntok.blogspot.com/, 16 November 2022; 16:30 WIB

Anda mungkin juga menyukai