Disusun Oleh :
Khodir Abdul Maliki (21.31.025289)
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................
DAFTAR ISI............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui konsep agroekosistem.
2. Mengetahui struktur komponen agroekosistem.
3. Mengetahui tipe agroekosistem.
4. Mengetahui interaksi komponen-komponen dalam agroekosistem.
5. Mengetahui masalah-masalah yang dihadapi suatu agroekosistem saat ini.
6. Mengetahui permasalahan seputar perubahan iklim.
7. Mengetahui faktor-faktor penyebab kerentanan agroekosistem terhadap
eksplosi hama.
8. Mengetahui pengelolaan agroekosistem.
9. Mengetahui pengendalian hama melalui pengelolaan agroekosistem
1.4 Manfaat
Manfaat makalah ini ini adalah sebagai penambah wawasan bagi
mahasiswa dibidang dasar agroekosistem dan dapat menjadi pelajaran
dalam menjalankan pertanian, serta dapat bermanfaat dalam proses
perkuliahan baik bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya.
BAB II PEMBAHASAN
apabila tidak normal, atau ada salah satu di ntara komponen tersebut yang
jumlahnya melampaui batas, missal meledaknya hama maka interaksinya
akan terganggu dan tidak akan seimbang.
4
e. Gulma
Gulma adalah tumbuhan yang tidak dikehendaki, atau tumbuhan
yang tumbuh tidak sesuai dengan tempatnya. Kehadiran gulma pada suatu
lahan pertanian menyebabkan berbagai kerugian yakni menurunkan angka
hasil, menurunkan mutu hasil, menjadi inang alternatif hama atau patogen,
mempersulit pengolahan dan mempertinggi biaya produksi, dapat
menumbuhkan zat beracun dari golongan fenol bagi umbuhan lainnya, dan
mengurangi debit dan kualitas air.
f. Hama
Ada beberapa hama yang dikenal dalam pertanian yakni Nematoda
parasitic tanaman, serangga hama tanaman, tungau, siput, hewan
vertebrata, satwa liar dan burung.
b) Persawahan
Sawah adalah pertanian yang dilaksanakan di tanah yang basah
atau dengan pengairan. Bersawah merupakan cara bertani yang lebih baik
daripada cara yang lain, bahkan merupakan cara yang sempurna karena
tanah dipersiapkan lebih dahulu, yaitu dengan dibajak, diairi secara teratur,
dan dipupuk (Rustiadi, 2007).
Sawah bukaan baru dapat berasal dari lahan kering yang digenangi
atau lahan basah yang dijadikan sawah. Hara N, P, K, Ca, dan Mg
merupakan pembatas pertumbuhan dan hasil padi pada lahan sawah
bukaan baru. Hara N, P dan K merupakan pembatas pertumbuhan dan
hasil padi pada ultisol (Widowati et al., 1997).
Lahan untuk sawah bukaan baru umumnya mempunyai status
kesuburan tanah yang rendah dan sangat rendah. Tanah-tanah di daerah
bahan induknya volkan tetapi umumnya volkan tua dengan perkembangan
lanjut, oleh sebab itu miskin hara, dengan kejenuhan basa rendah bahkan
sangat rendah. Kandungan bahan organik, hara N, P, K dan KTK
umumnya rendah (Suharta dan Sukardi, 1994).
Padi (oryza sativa l) tumbuh baik di daerah tropis maupun sub-
tropis. Untuk padi sawah, ketersediaan air yang mampu menggenangi
lahan tempat penanaman sangat penting. Oleh karena air menggenang
terus-menerus maka tanah sawah harus memiliki kemampuan menahan air
yang tinggi, seperti tanah yang lempung.
c) Ladang
Ladang mengacu pada umumnya ke area lahan tertutup atau
sebaliknya dan digunakan untuk tujuan pertanian seperti,
budidaya tanaman, penggunaan sebagai padang rumput atau, umumnya,
sebuah kandang ternak dan lahan buatan yang tersisa sebagai tanah kosong
atau tanah subur.
d) Agriforestri (hutan tanaman)
Praktek agrikultur dengan intensitas rendah seperti perladangan
berpindah, pekarangan tradisional, talun, rotasi lahan, menyisakan banyak
proses ekosistem alami dan komposisi tumbuhan, hewan dan
13
dalam tanah. Larutan nitrit dapat meresap ke dalam sumur penduduk yang
berdekatan. Pemupukan yang berlebihan dan larut ke dalam air juga dapat
menyebabkan meningkatkan kesuburan sungai (eutrofikasi). Ganggang
dan tumbuhan sungai, misalnya eceng gondok, tumbuh dengan subur.
Akibatnya hewan-hewan air akan kekurangan oksigen sehingga
mengalami kematian. Selain itu, tumbuhan air yang makin subur dapat
menyebabkan terjadi pendangkalan pada waduk dan bendungan.
d. Lahan pertanian terbatas/semakin sempit
Dalam suatu agroekosistem, khususnya yang diolah sedemikian
rupa untuk memenuhi kebutuhan penduduk (pertanian), pasti
membutuhkan lahan untuk mengelola sumber daya yang ada. Namun,
akibat dari pertambahan penduduk yang makin meningkat dari tahun ke
tahun mengakibatkan penggunaan lahan untuk pemukiman dan industri
semakin besar sehingga lahan yang dulunya sebagai lahan pertanian
menjadi semakin sempit. Selain itu, lahan pertanian di Indonesia banyak
pula yang belum benar-benar dimanfaatkan untuk pertanian karena lahan
tersebut berupa lahan kritis dan gambut yang memerlukan perlakuan dan
penanganan lebih apabila dijadikan lahan untuk pertanian. Lahan-lahan
kritis, gambut, serta tanah kosong yang tidak dimanfaatkan akhirnya
dialihfungsikan menjadi daerah pemukiman maupun industri.
e. Ketergantungan petani terhadap pestisida, pupuk anorganik dan varietas unggul
Akibat petani mengintensifkan penggunaan pestisida untuk
menanggulangi serangan hama dan penyakit pada tanaman yang
dibudidayakannya, maka petani tersebut memiliki ketergantungan terhadap
pestisida. Hal ini terjadi karena minimnya pengetahuan petani untuk
menerapkan Program Pengendalian Hama Terpadu dengan menggunakan
pestisida nabati yang aman serta memanfaatkan musuh alami sesuai
program PHT.
Petani pada masa Revolusi Hijau lebih mempercayakan pestisida
untuk memberantas hama dan penyakit yang menyerang tanamannya
karena pestisida tersebut bekerja efektif dan langsung ke sasarannya.
Begitupula dengan ketersediaan pupuk anorganik untuk meningkatkan
17
manusia, terutama yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar fosil dan
alih guna lahan. Pertanian konvensional menyumbang terjadi perubahan
iklim pertanian konvensional yang intensif (baik dari sisi pemakaian mesin
pertanian atau luas lahan) akibat penebangan hutan untuk membuka lahan.
Gundulnya hutan berarti hilangnya bahan organik dari tanah. Padahal
bahan organik berperan mengikat air dan menahan laju penguapan. Tidak
heran, lebih banyak terjadi kekeringan. Jumlah vegetasi berkurang
menurunkan kelembaban udara dan meningkatkan suhu udara. Produksi
pupuk dan pestisida kimia yang dipakai pertanian konvensional juga
menghasilkan gas rumah kaca yang merupakan salah satu pemicu terjadi
perubahan iklim. Sementara aplikasinya pada lahan telah menurunkan
kesuburan dan menyebabkan erosi tanah.
Fenomena perubahan iklim dapat diakibatkan oleh pergeseran atau
perubahan pola musim. Kini hampir di seluruh wilayah di Indonesia, batas
musim hujan dan musim kemarau tidak lagi jelas. Secara perlahan,
pergeseran ini mulai mengubah pola tanam, khususnya dirasakan di daerah
pertanian tadah hujan. Jika saat semai tidak tepat, bisa jadi benih tidak
akan tumbuh karena kekurangan air. Pergeseran musim hujan dan musim
kemarau memengaruhi proses pembungaan tanaman. Hal ini bisa
mengurangi hasil panen dan ketersediaan benih untuk musim tanam
berikutnya. Perubahan iklim dapat terjadi akibat kenaikan suhu. Laporan
terakhir dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
menyebutkan bahwa dalam satu abad terakhir terjadi kenaikan rata-rata
suhu dunia sebesar 0,76°C. Diprediksikan, tahun 2050 akan terjadi
kenaikan suhu sebesar 2°C.
Kondisi ini menyebabkan banyak sumber air di pegunungan yang
mengairi sungai-sungai mengering. Kenaikan suhu juga menjadi ancaman
serius bagi petani, terkait dengan pola penyebaran hama dan penyakit.
Akibat kondisi lingkungan menghangat, ada beberapa hama dan penyakit
yang tadinya bukan ancaman serius bagi pertanian, berubah menjadi
sangat merusak. Hal sebaliknya juga bisa terjadi. Hama penyakit yang
dahulu ganas bisa berkurang serangannya karena perubahan suhu.
20
musuh alami terhadap insektisida, kalau pun terjadi, sangat lambat, karena
musuh alami berpeluang kecil mempunyai gen yang resisten, karena
populasi rendah, serta proses evolusi yang berbeda dengan herbivora.
Penggunaan insektisida kimia, pada banyak kasus, tidak
memecahkan masalah, bahkan menimbulkan masalah baru, yaitu
terjadinya resistensi terhadap insektisida (Martin et al., 2000;
Wolfenbarger dan Vargas-Camplis, 2002; Fakhrudin et al., 2003) dan
terjadinya ledakan populasi hama sekunder (Hallberg, 1989; Kelly, 1995;
Schultz et al., 2001). Salah satu contoh dampak negatif penggunaan
insektisida adalah penggunaan insektisida dari kelompok piretroid sintetik
secara berlebihan untuk mengendalikan populasi H. armigera pada kapas
di Lamongan pada MTT 2003 dan 2004. Penggunaan insekisida kimia
sintetik yang berlebihan tersebut mengakibatkan peledakan populasi hama
sekunder Bemisia sp. dan menyebabkan petani gagal panen (Nurindah dan
Mukani, 2005).
4. Pemupukan yang tidak berimbang
Pemupukan Nitrogen dengan dosis tinggi dapat menyebabkan
peningkatan kerusakan tanaman oleh herbivora. Beberapa studi
melaporkan bahwa pemberian beberapa tingkat pupuk N berkorelasi
positif dengan peningkatan populasi herbivora, karena adanya peningkatan
kapasitas reproduksinya (Brodbeck et al, 2001; Luna, 1988; Altieri dan
Nicholls, 2003). Penambahan dosis pupuk N dari 30 kgN/ha menjadi 60 –
90 kg N/ha meningkatkan populasi Helicoverpa armigera, Amrasca
biguttula dan Earias sp. pada kapas, sehingga meningkatkan frekuensi
rata-rata penyemprotan dari 2,5 kali menjadi 3,7 kali; dan tidak
meningkatkan hasil kapas berbiji secara nyata (Sahid et al., 2000).
5. Iklim
Cuaca dapat menjadi faktor abiotik penting pemicu peledakan
populasi hama. Hal ini tidak terlepas dari faktor fisiologis herbivora.
Komponen iklim yang paling berpengaruh terhadap perkembangan
populasi serangga adalah suhu dan kelembaban udara. Guiterez et al.
(1974) melaporkan bahwa beberapa kondisi suhu dan kelembaban udara
23
yang salah, yang tidak sesuai lingkungan, yang tidak melihat ke depan,
atau ringkasnya, yang tidak menjamin kelestarian usaha pertanian
(nonsustainable).
Sebagai ahli pertanian, pertimbangan praktik budidaya agar
agroekosistem menuju ke sistem yang lestari atau sustainable harus
diperhitungkan secara optimal. Kelestarian atau keberlanjutan ini
menyangkut aspek-aspek ekonomi, budidaya, sosial, lingkungan, dan pada
akhirnya juga hukum dan politik. Mungkin seorang ahli pertanian tidak
akan bertindak pada semua aspek yang saling tindak menyusun kelestarian
agroekosistem tersebut, tetapi mengetahui dan menyadari bahwa dinamika
agrosekosistem yang berlanjut tergantung kepada semua aspek di atas,
sama pentingnya dengan bertindak.
dalam tanah dan pengembalian bahan organik, konservasi air dan tanah
serta keseimbangan populasi hama dan musuh alaminya. Strategi ini
mengarah pada suatu pengaturan lanskap yang ada, sehingga didapatkan
kemantapan fungsi dari keragaman hayati yang membantu dalam proses
menuju agroekosistem yang sehat.
Konsep ekologi dalam PHT, merupakan konsep dari proses alami
dan interaksi-interaksi biologi yang dapat mengoptimalkan sinergi fungsi
dari komponen-komponennya. Dengan demikian, lahan dengan keragaman
hayati yang tinggi, mempunyai peluang tinggi untuk terjaga kesuburan
tanahnya melalui aktivasi biota tanah. Selain itu, perkembangan populasi
herbivora dapat terjaga melalui peningkatan peran arthropoda berguna dan
antagonis. Pengelolaan agroekosistem untuk mendapatkan produksi yang
berkelanjutan dan sesedikit mungkin berdampak negatif terhadap
lingkungan dan sosial, serta input rendah dimungkinkan dengan
menerapkan prinsip-prinsip ekologi sebagai berikut (Reijntes et al.,
1992) :
1. Meningkatkan daur ulang dan optimalisasi ketersediaan dan keseimbangan
alur hara. Prinsip ini dapat dilakukan dengan melakukan rotasi dengan
tanaman-tanaman pupuk hijau.
2. Memantapkan kondisi tanah untuk pertumbuhan tanaman dengan mengelola
bahan organik dan meningkatkan biota tanah. Pemberian biomassa pada lahan
akan menambah bahan organik yang selanjutnya akan meningkatkan biota
tanah yang berguna dalam peningkatan kesuburan tanah.
3. Meminimalkan kehilangan karena keterbatasan ketersediaan air melalui
pengelolaan air. Air dibutuhkan tanaman untuk dapat berproduksi optimal,
sehingga ketersediaannya pada waktu dan jumlah yang cukup, sangat
berpengaruh terhadap produktivitas lahan. Pengelolaan air dapat dilakukan
dengan teknik-teknik pengawetan air tanah.
4. Meningkatkan keragaman spesies dan genetik dalam agroekosistem, sehingga
terdapat interaksi alami yang menguntungkan dan sinergi dari komponen-
komponen agroekosistem melalui keragaman hayati.
27
seperti Kepik Mirid (Nabis spp.), kepik bermata besar (Geocoris spp.) dan
laba-laba (Anderson dan Yeargan, 1998).
Peningkatan keragaman vegetasi melalui sistem tanam tumpangsari
merupakan praktek budidaya yang mudah diterima oleh petani. Walaupun
demikian, pemilihan jenis tanaman yang akan ditumpangsarikan dan
sistem tanam yang tepat perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan
produktivitas lahan yang optimal dan mempunyai keuntungan sosial dan
ekonomi yang sesuai dengan lokasi setempat (spesifik lokasi). Penerapan
sistem tumpangsari hendak- nya tidak menurunkan produksi secara nyata
dari tanaman-tanaman yang dipadukan. Oleh karena itu diperlukan
pengetahuan tentang pengaturan jarak tanam, populasi tanaman, serta
umur panen untuk diterapkan dengan mempertimbangkan aspek
pengendalian hama dan produktivitas lahan yang optimal.
Dalam program pengendalian hama, penambahan keragaman
vegetasi bukan merupakan suatu strategi pengendalian yang dapat berdiri
sendiri (standalone tactic) dalam menyelesaikan masalah hama yang ada.
Teknik-teknik pengendalian hama yang penekanannya adalah
pengendalian ramah lingkungan dengan pemanfaatan sumberdaya alam
yang telah ada untuk menuju sistem pertanian yang berkelanjutan, perlu
dikembangkan. Teknik-teknik tersebut difokuskan pada optimalisasi peran
musuh alami sebagai faktor mortalitas biotik bagi serangga hama atau
sebagai penghambat perkembangan patogen penyakit. Salah satu teknik
pengendalian hama dan penyakit yang ramah lingkungan adalah
penggunaan pestisida botani. Beberapa ekstrak tanaman telah dilaporkan
dapat digunakan sebagai pestisida botani yang sifatnya tidak hanya toksik
bagi herbivora, tetapi juga sebagai antifeedant dan penolak (Isman, 2006).
Insektisida botani yang dikembangkan adalah dari ekstrak piretrum atau
mimba. Insektisida botani dari ekstrak biji mimba yang dipadukan dengan
pelepasan predator mempunyai efektivitas yang tinggi, yaitu menyebabkan
99% mortalitas thrips Frankinella accidentalis pada kacang hijau
(Thoeming dan Poehling, 2006).
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran