Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

EVALUASI AGROEKOSISTEM BERDASARKAN KAJIAN


STRUKTUR DAN FUNGSI KOMUNITAS TUMBUHAN

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Ekologi dan Manajemen Lingkungan


yang diampu oleh Bapak Prof. Dr. Ir. Suhadi, M.Si dan
Dr. Drs. Fatchur Rohman, M.Si

Disusun Kelompok-2
Oleh:
Ida Alfiah 190341564452
Rasyada Farahilda 190341864414
Yohanes Andriano Sibu 190341864453

Kelas A/2019

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2019

i
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNYA sehingga


makalah ini dapat tersusun hingga selesai .Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin masih


banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Malang, 31 Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 2

C. Tujuan ............................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Struktur Komunitas Tumbuhan Agroekosistem ........................................................ 6
B. Fungsi Komunitas Tumbuhan Agroekosistem.......................................................... 10
C. Evaluasi Agroekosistem Berdasarkan Kajian Struktur dan Fungsi Komunitas ........ 13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................................. 17
B. Saran ........................................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahan pertanian merupakan salah satu bentuk ekosistem. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya manusia dengan sengaja merubah ekosistem alami dengan menciptakan
suatu ekosistem baru yang dibuat untuk kepentingan pertanian, juga disebut sebagai
agroekosistem. Agroekosistem sendiri mengacu pada modifikasi ekosistem alami dengan
campur tangan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, serat, dan kayu untuk memenuhi
kebutuhan dan kesejahteraan manusia (Salikin, 2003). Dalam suatu ekosistem, komponen
ekosistem menjadi lebih sederhana dan biasanya terdiri dari populasi tumbuhan pertanian yang
kurang lebih seragam (monokultur). Dengan demikian agroekosistem tidak mempunyai
keanekaragaman yang tinggi, dan interaksi antar spesies menjadi rendah.
Ekosistem pertanian sangat peka akan kekeringan dan hama/penyakit.
Agroekosistem memiliki kaidah-kaidah ekologi umum yang memiliki khas tersendiri seperti
yang terlihat pada ekosistem sawah dengan ekosistem lainnya.Kesederhanaan dalam struktur
dan fungsi agroekosistem serta pemeliharaannya untuk mendapatkan hasil yang maksimum,
menjadikannya mudah goyah dan peka akan tekanan lingkungan seperti kekeringan dan
meledaknya hama serta penyakit tanaman lainnya.
Masalah lingkungan serius di pedesaan dan pertanian adalah kerusakan hutan,
meluasnya padang alang-alang, degradasi lahan dan menurunnya lahan kritis, desertifikasi,
serta menurunnya keanekaragaman. Masalah lingkungan ini sebagai akibat adanya lapar lahan
seiring meningkatnya populasi penduduk, komersialisasi pertanian, masukan teknologi
pertanian dan permintaan konsumsi masyarakat.
Analisis agroekosistem merupakan hal baru yang dikembangkan untuk memperbaiki
kapasitas kita dalam melihat persoalan-persoalan yang muncul dari penerapan berbagai
teknologi di bidang pertanian. Khususnya persoalan yang muncul sejak Revolusi
Hijau.Pendekatan agroekosistem berusaha menanggulangi kerusakan lingkungan akibat
penerapan sistem pertanian yang tidak tepat dan pemecahan masalah pertanian spesifik akibat
penggunaan masukan teknologi (Sutanto, 2002 dalam Sumarsono, 2006).

4
Berdasarkan latar belakang yang ada diatas, maka pada makalah ini akan dibahas
mengenai Evaluasi Agroekosistem Berdasarkan Kajian Struktur dan Fungsi Komunitas
Tumbuhan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana struktur komunitas tumbuhan pada agroekosistem?
2. Apa saja fungsi komunitas tumbuhan pada agroekosistem?
3. Bagaimana evaluasi agroekosistem berdasarkan kajian struktur dan fungsi komunitas
tumbuhannya?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan dari penulisan makalah ini:
1. Untuk mengetahui struktur komunitas tumbuhan pada agroekosistem
2. Untuk mengetahui fungsi komunitas tumbuhan pada agroekosistem
3. Untuk mengetahui evaluasi agroekosistem berdasarkan kajian struktur dan fungsi
komunitas tumbuhannya

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Struktur Komunitas Tumbuhan Agroekosistem
Agroekosistem adalah suatu sistem kawasan tempat membudidayakan makhluk
hidup tertentu meliputi apa saja yang hidup di dalamnya serta material yang saling berinteraksi.
Lahan pertanian merupakan arti agroekosistem secara luas, sehingga di dalamnya juga dapat
pula dimasukkan hutan produksi dengan komuditas tanaman industi, kawasan perternakan
dengan penggembalaan serta tambak-tambak ikan. Indonesia yang secara geografis terletak di
wilayah yang beriklim tropis memiliki agroekosistem yang dapat digolongkan sebagai
agroekosistem tropik. Agroekosistem ini adalah kawasan pertanian yang terletak di daerah
tropika secara geografis ataupun vegetative yang dipengaruhi oleh iklim setempat (Jumil,
2002).
Suatu agroekosistem yang keanekaragamannya tinggi memberi jaminan yang lebih
tinggi bagi petani. Namun keanekaragaman tidak selalu mengakibatkan ketidakstabilan jika
komponen-komponennya tidak dipilih dengan baik, misalnya beberapa jenis pohon merupakan
rumah/penginapan hama atau penyakit berbahaya bagi tanaman, hewan atau pohon bisa
bersaing dalam ketenagakerjaan, unsur hara, dan air. Jika keanekaragaman fungsional bisa
dicapai dengan mengkombinasikan spesies tanaman dan hewan yang memiliki ciri saling
melengkapi dan yang berhubungan dalam interaksi sinergitik dan positif, maka bukan hanya
kestabilan yang bisa diperbaiki, namun juga produktivitas sistem pertanian dengan input
rendah (Reijntjes dkk, 1999).
Hidayat (2001) menjelaskan bahwa struktur komunitas tumbuhan agroekosistem
meliputi dua struktur, yaitu struktur biotik dan struktur abiotik, meliputi:
1. Struktur Biotik
Kebanyakan tanaman pada agroekosistem merupakan tanaman semusim,
baik anual maupun bianual. Tanaman dipelihara dengan populasi murni, meskipun
beberapa gulma tumbuh bersama-sama tanaman. Tanaman dan gulma merupakan produsen
dan konsumennya terutama herbivora, terdiri atas beberapa spesies serangga, burung dan
mamalia kecil. Populasi dekomposer (pembusuk) kebanyakan bangsa fungi, bakteri dan
nematoda dan sebagainya.

6
a. Gulma
Menurut Soerjani (1988) dalam Soejono (2006), yang dimaksud gulma
ialah tumbuhan yang peranan, potensi, dan hak kehadirannya belum sepenuhnya
diketahui. Dari aspek ekologi, yang dimaksud gulma adalah tumbuhan pioner atau
perintis pada suksesi sekunder terutama pada lahan pertanian. Gulma dalam
agroekosistem mempunyai beberapa peranan penting yaitu sebagai pencegah erosi
tanah, penyubur tanah, dan inang pengganti (alternate host) predator atau parasitoid
serangga hama. Beberapa jenis gulma rumputan yang tumbuh tegak dan rapat seperti
Imperata cylindrica (L.) Beauv., Saccharum spontaneum L., dan Anastrophus
compressus Schlechtend. atau yang tumbuh menjalar seperti Paspalum conjugatum
Berg., Axonopus compessus (Sw.) Beauv., Ischaemum timorense Kunth, dan Cynodon
dactylon (L.) Pers., ternyata dapat menutup dan melindungi tanah terhadap ancaman
erosi (Arsyad, 1989) dalam Soejono (2006). Jenis-jenis gulma yang merupakan
tumbuhan inang predator serangga hama ialah Ludwigia hyssopifolia (G.Don) Exell
sebagai inang Coccinella arquata dan Synedrella nodiflora (l.) Gaertn. Sebagai inang
Cytorhynus lividipenis. Kedua serangga tersebut adalah pemangsa Nilaparvata lugens
(wereng coklat) yang menyerang padi.
Namun disisi lain, gulma dalam agroekosistem menimbulkan berbagai
masalah yaitu berkompetisi dengan tanaman budidaya terhadap sumberdaya,
mempersulit pemeliharaan tanaman, patogen penyebab penyakit tumbuhan,
menurunkan kualitas dan kuantitas hasil tanaman sehingga mengakibatkan kerugian
finansiil. Gulma agak lebih berbahaya dibandingkan insekta dan patogen, bersifat
statis, menyusun komunitas bersama tanaman budidaya dan sering menjadi resisten
terhadap herbisida (Kohli et al., 2001 dalam Soejono, 2006).
Sejak diketahui bahwa keberadaan gulma dalam agroekosistem dapat
menyebabkan penurunan hasil tanaman, maka manusia berusaha untuk mengendalikan
gulma dengan berbagai cara. Pengendalian gulma digolongkan menjadi dua kelompok
yaitu pengendalian tanpa herbisida (non chemical methods) dan pengendalian dengan
herbisida (chemical method).
a) Pengendalian gulma tanpa herbisida, meliputi cara pencegahan (prevention), cara
mekanis (mechanical methods), cara hayati (biological method) dan cara kultur

7
teknis (cultural methods). Cara pencegahan ialah suatu tindakan untuk
menghalangi masuknya suatu jenis gulma ke suatu daerah atau lahan tertentu.
Dengan karantina tumbuhan, masuknya jenis gulma baru ke Indonesia dapat
dicegah atau dikurangi. Pengendalian gulma secara mekanis merupakan suatu
tindakan merusak gulma secara fisik dengan alat-alat pertanian dari yang paling
sederhana sampai modern (mempergunakan alat berat). Pengendalian secara
mekanis ini meliputi pembajakan (tillage), penyiangan (hand pulling), pendangiran
(hoeing), pemotongan (mowing) atau pembabatan (slashing), dan pembakaran
(burning) atau pelayuan (flaming) (Soejono, 2006).
b) Pengendalian gulma secara kimiawi, dengan herbisida banyak diminati terutama
pada lahan pertanian yang cukup luas karena lebih efektif dan efisien dibandingkan
cara mekanis. Dalam melakukan pengendalian gulma secara kimiawi, yang perlu
dipertimbangkan ialah dampak terhadap organisme bukan sasaran seperti predator
dan parasitoid hama serta jenis-jenis gulma yang digunakan sebagai tumbuhan
inangnya. Pemberantasan (eradication) gulma secara total hendaknya dihindari.
Gulma seharusnya dikelola secara benar, hanya jenis-jenis gulma yang berbahaya
dan betul-betul merugikan (noxious weed)yang dibunuh, sedang jenis-jenis yang
berperan positif (sebagai penyubur tanah, inang predator atau parasitoid hama)
hendaknya dilestarikan (Soejono, 2006).
b. Produsen Primer
Untuk mengendalikan gulma terbaik antara lain adalah dengan mengatur
daur hidup bersama dengan tanaman pokok. Penelitian di lapangan menunjukkan ada
indikasi bahwa gulma sangat bervariasi tergantung tipe tanaman dan musim
pertumbuhan. Sifat fisik dan kimia tanah, faktor iklim mikro di dekat permukaan tanah,
memungkinkan adanya variasi kualitatif dan kuantitatif dalam flora gulma di lapangan
pertanian.
Gulma berkompetisi dengan tanaman pokok untuk faktor pertumbuhannya
dan mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hasil. Biomassa merupakan yang baik
untuk struktur komunitas. Tidak seperti komunitas alam, biomassa tanaman tetap
bertambah dari permulaan, stadium pertumbuhan vegetatif sampai panen.

8
Nilai biomassa tanaman yang diperoleh waktu panen memperlihatkan
variasi yang lebar di antara tanaman yang berbeda di pertanaman monokultur. Kecuali
ubi-ubian, perbandingan yang lebih besar penimbunan bahan kering terjadi di batang.
Akar menempati proporsi yang kecil dari keseluruhan biomas (15-20%). Dengan
demikian perbandingan akar dan batang kecil (0,1-0,3) di tanaman pertanian.
Perbandingan itu bervariasi antara 0,8 - 3,1 di padang rumput yang didominasi oleh
rumput tahunan dan legum memperlihatkan akumulasi biomas bagian dalam tanah
lebih besar.
Luas daun tanaman merupakan pengukuran terbaik untuk besarnya
fotosintesis dan pengukuran luas daun yang lebih praktis untuk lapangan pertanian
dengan hasil ditunjukkan per unit luas lahan, ialah luas daun per unit luas lahan (LAI).
Komunitas tanaman pertanian mempunyai nilai rata-rata antara 6 - 13 (hutan) dan 3 -
15 (rumput-rumputan). Dalam tanaman semusim LAI terus naik dengan bertambahnya
umur dan menuju puncak pada pembungaan yang kemudian turun. Perhitungan lebih
jauh dalam LAI tidak membawa efek positif pada produksi bersih karena harus
mengimbangi kehilangan respirasi. Sudut daun dan posisinya berinteraksi dengan LAI
dalam peranan penetrasi cahaya ke dalam kanopi. Daun yang tegak dengan sudut yang
kecil/tajam semacam rumput-rumputan menyebabkan distribusi cahaya yang lebih
efisien dalam kanopi daripada yang horizontal.
Umur tanaman dan komposisi kimia membawa pengaruh terhadap variasi
kandungan energi. Di beberapa varietas pada kandungan energi yang tinggi terjadi
selama pertumbuhan vegetatif dari awal. Pada gandum dan rumput memperlihatkan
konsentrasi kalori berhubungan dengan berubahnya perbandingan lemak, karbohidrat
dan protein dalam tanaman. Lemak dan minyak merupakan organ yang diperkaya
energi. Pola akumulasi energi di beberapa varietas padi terjadi selama fase
pertumbuhan vegetatif.
c. Konsumen
Karena produsen yang homogen, maka hanya beberapa binatang yang
sesuai saja yang mengambil bagian dalam agroekosistem. Rantai makanan sangat
sederhana dengan 2 - 3 tingkatan trofik. Lebih-lebih dengan beberapa aktivitas
pengolahan tanah, irigasi, penyiangan dan sebagainya yang mempengaruhi binatang

9
dalam tanah dan terkadang hal ini berpengaruh sangat tegas sehingga tercipta kondisi
baru. Komunitas tanaman hanya dapat dijadikan tempat tinggal binatang kecil yang
hanya datang secara temporer.
d. Pengurai
Karena praktek-praktek pemeliharaan antara lain pemupukan, penggunaan
pestisida serta kecilnya kandungan bahan organik maka mempersempit aktivitas
dekomposer/pengurai dalam ekosistem pertanian.
2. Struktur Abiotik
Praktek bercocok tanam yang berbeda dapat menyebabkan komposisi fisik dan
kimiawi tanah yang berbeda. Pemupukan kimia, irigasi dan pola drainase menyebabkan
perbedaan kualitas tanah. Ciri-ciri tanah pertanian :
 mudah tererosi
 lapisan kesuburan ± 30 cm
 akumulasi garam di lapisan bawah (pelindian)
 miskin bahan organik
Untuk mengevaluasi struktur abiotik agroekosistem kita dapat mengestimasi jumlah
nutrien (N, P, K, dan sebagainya) yang ada dalam biomassa dan tanah pada setiap
waktu,sehingga dapat mempertimbangkan pemupukan dan irigasi yang tepat.
B. Fungsi Komunitas Tumbuhan Agroekosistem
1. Konsep Poduktivitas
Kajian fungsi pada agroekosistem terkait dengan konsep produktivitas tumbuhan
yang ada di agroekosistem. Produktivitas biasanya diartikan sebagai laju produksi zat
organik dalam suatu ekosistem. Proses ini biasanya dimulai dari kegiatan mengkonversi
energi sinar matahari menjadai zat-zat organik melalui proses fotosintesis pada tumbuhan
hijau (Ramli, 1989).
Proses-proses yang terlibat dalam pengubahan energi dalam ekosistem meliputi
proses metabolisme, aliran energi pada berbagai tingkat trofik, dan siklus biogeokimia
(Chapman, 1997). Proses metabolisme merupakan proses fisiologi yang terdapat pada tubuh
organisme hidup. Metabolisme meliputi anabolisme yaitu proses penyusunan kimiawi yang
dilakukan melalui kegiatan fotosintesis dan katabolisme yaitu proses pembongkaran energi
yang tersimpan dalam zat-zat kimia hasil anabolisme. Hasil dari proses metabolisme adalah

10
pertumbuhan dan penambahan biomassa, dan penimbunan biomassa itu disebut produksi
(Odum, 1993).
Pada suatu ekosistem dikenal adanya produsen dan konsumen, sehingga juga
dikenal adanya produktivitas oleh produsen dan produktivitas oleh konsumen. Produktivitas
pada aras konsumen disebut produktivitas primer (dasar), sedangkan pada aras konsumen
disebut produktivitas sekunder.
a) Produktivitas primer
Produktivitas primer merupakan laju penambatan energi yang dilakukan oleh
produsen. Menurut Campbell (2002), produktivitas primer menunjukkan jumlah energi
cahaya yang diubah menjadi energi kimia oleh autotrof suatu ekosistem selama suatu
periode waktu tertentu. Total produktivitas primer dikenal sebagai produktivitas primer
kotor (gross primary productivity, GPP). Tidak semua hasil produktivitas ini disimpan
sebagai bahan organik pada tubuh organisme produsen atau pada tumbuhan yang sedang
tumbuh, karena organisme tersebut menggunakan sebagian molekul tersebut sebagai
bahan bakar organic dalam respirasinya.
b) Produktivitas sekunder
Produktivitas sekunder dapat diartikan sebagai kecepatan menyimpan energi
potensial ke dalam tingkatan trofik konsumen atau makhluk pengurai. Produktivitas
sekunder dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu produktivitas sekunder kotor dan
produktivitas sekunder bersih. Dengan demikian, semakin jauh kedudukannya dalam
rantai makanan, maka jumlah energinya adalah semakin kecil. Jumlah energi total yang
terdapat pada tingkat heterotrofik yang analog dengan produktivitas kotor pada tingkat
autotrofik sebaliknya disebut asimilasi dan bukan produksi, karena pada tingkat ini
memang organisme tidak melakukan produksi melainkan hanya mengassimilasi saja
(Resosoedarmo, 1986).
2. Aliran Energi pada Agroekosistem
Dalam ekosistem sawah terjadi pula berbagai bentuk aliran energi. Dan jika
diamati, aliran energi tersebut sejalan dengan rantai makanan atau jaring-jaring makanan
yang terjadi. Karena memang cara makhluk hidup untuk mendapatkan energi adalah
dengan cara makan. Bentuk aliran yang terjadi adalah sebagai berikut :
 Awalnya energi berasal dari sumber energi utama yaitu matahari

11
 Kemudian, energi matahari dimanfaatkan oleh berbagai makhluk hidup untuk
kebutuhan hidupnya, namun yang terlihat sangat memanfaatkan energi matahari adalah
tumbuhan padi (produsen). Karena dengan energi matahari tumbuhan padi dapat
berfotosintesis (membuat makanannya sendiri).
 Lalu energi yang sudah dibuat oleh tumbuhan tersebut, akan mengalir atau berpindah
ke organisme lain dengan cara organisme belalang, tikus, burung tersebut (konsumen
tingkat I) memakan padi (sebagai produsen).
 Energi dari organisme pemakan tumbuhan (konsumen tingkat I) itu akan kembali
berpindah pada organisme lain yaitu konsumen tingkat II (katak,ular,kadal,elang)
 Energi tersebut akan terus berputar, berpindah dan mengalir meskipun organisme
tersebut sudah mati. Karena, ketika semua organisme itu mati, energi yang dimilikinya
juga akan akan berpindah kepada organisme lain yaitu pengurai atau dekomposer
(bakteri dan jamur).
Energi akan terus berpindah, dan karena itulah terjadi aliran energi. Energi dapat
digunakan oleh semua makhluk hidup dengan cara mengubahnya. Setiap makhluk hidup
diberi kemampuan untuk merubah energi yang didapatnya sehingga dapat digunakan oleh
tubuhnya. Contohnya adalah pada tumbuhan padi yang memiliki kemampuan mengubah
energi panas dari matahari menjadi zat makanan yaitu berupa energi kimia. Lalu herbivor
(konsumen tingkat 1) mengubah energi tumbuhan tersebut menjadi energi kimia sehingga
ia dapat menjalankan kehidupan. Dan terus terjadi sampai dekomposer.
Namun, yang harus ditekankan dan diingat adalah, pada setiap suatu energi diubah
dan berpindah, energi tersebut tidaklah utuh melainkan berkurang. Karena energi yang
akan diterima oleh organisme (konsumen tingkat 1) hanyalah sejumlah 10% dari energi
yang dimiliki padi (produsen). Kebanyakan energi berkurang karena energi tersebut
berubah menjadi panas saat digunakan berpindah. Jadi, penerima energi yang terakhir
(karnivor-pengurai) adalah kelompok makhluk hidup yang mendapat aliran energi paling
sedikit.
Hubungan antar abiotik dengan abiotik ini tentu mempengaruhi keberlangsungan
kehidupan sekitar. Contohnya pada ekosistem sawah, saat ini sering terjadi penggunaan
insektisida pada tanaman. Bahan ini dapat mengakibatkan serangga yang berperan sebagai
konsumen tingkat satu ini mati. Padahal serangga merupakan salah satu penghubung dalam

12
rantai makanan maupun aliran energi, Selain itu, terdapat contoh lainnya yaitu antara tikus
sawah yang dianggap sebagai parasit sekalian predator oleh para petani, sehingga para
petani membasmi tikus disawah. Hal-hal ini dapat mengakibatkan ketidakseimbangan pada
lingkungan, karena tikus (sebagai konsumen tingkat 1) tidak dapat mengalirkan energinya
pada organisme selanjutnya. Dan Akibat yang terjadi dari pemusnahan serangga dan tikus
ini menyebabkan kepunahan-kepunahan selanjutnya (kepunahan para predator) karena
sumber makanan predator telah berkurang.
Kepunahan-kepunahan serta pencemaran ini tentu tidak diharapkan. Maka
seharusnya ada pemikiran lain untuk menggunakan cara yang lebih baik untuk
meningkatkan hasil pertanian disawah. Misalnya, dengan tidak menggunakan insektisida
pada serangga yang berlebihan, dan menggunakan cara lain yaitu dengan membiarkan
katak hidup sehingga membantu mengurangi jumlah serangga, tidak membasmi tikus
secara berlebihan dan membiarkan ular dan elang tetap hidup disawah, dan lain-lain. Hal-
hal tersebut perlu dilakukan agar aliran energi dan rantai makanan tidak terputus serta
keseimbangan lingkungan ekosistem sawah tetap terjaga dan berlangsung dengan baik.
Sawah merupakan ekosistem buatan yang terdiri dari organisme yang nyaris
homogen pada semua tingkat trofik. Dalam ekosistem ini, tanaman padi dan rerumputan
menjadi organisme autotrof atau produsen yang dapat membuat makanannya sendiri
melalui proses fotosintesis. Oleh karena itu, kedua organisme inilah yang menjadi tingkat
trofik paling rendah dalam rantai makanan di sawah. Adapun rantai makanan di dalam
ekosistem sawah sebagai berikut :
- Energi matahari – Padi – Burung pemakan biji – Ular sawah – Elang – Pengurai.
- Energi matahari – Rumput – Serangga – Tikus – Ular sawah – Elang- Pengurai.
- Energi matahari – Padi – Tikus – Elang – Pengurai.
- Energi matahari – Padi – Serangga – Katak – Ular sawah – Elang – Pengurai.
- Energi matahari – Padi – Keong mas – Katak – Ikan – Ular sawah – Pengurai.
C. Evaluasi Agroekosistem Berdasarkan Kajian Struktur dan Fungsi Komunitas
Berdasarkan kajian struktur dan fungsi komunitas tumbuhan, evaluasi
agroekosistemterkait dengan analisis vegetasi dan analisis produktivitas suatu komunitas
tumbuhan. Analisis vegetasi tumbuhan yaitu mempelajari susunan atau komposisi jenis dan
bentuk atau struktur vegetasi. Dalam agroekosistem, satuan vegetasi yang dipelajari berupa

13
komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tumbuhan yang
menempati suatu habitat. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam analisis vegetasi
adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah yang
dipelajari.
Hasil analisis vegetasi tumbuhan disajikan secara deskripsi mengenai komposisi
spesies dan struktur komunitasnya. Struktur suatu komunitas tidak hanya dipengaruhi oleh
hubungan antar spesies, tetapi juga oleh jumlah individu dari setiap spesies organisme. Lebih
lanjut, dinyatakan bahwa kelimpahan relatif suatu spesies dapat mempengaruhi fungsi suatu
komunitas, distribusi individu antar spesies dalam komunitas, bahkan dapat memberikan
pengaruh pada keseimbangan sistem dan akhirnya berpengaruh pada stabilitas
komunitas.Komponen yang harus diketahui dan dijadikan sebagai dasar penentuan struktur
dan komposisi vegetasi adalah kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi
relatif, indeks nilai penting dan indeks similaritas.
Analisis produtivitas tumbuhan berkaitan dengan kontribusi tumbuhan terhadap
lingkungannya, dalam hal ini yaitu agroekosistem. Produktivitas dapat dibedakan dalam dua
bentuk, yaitu produktivitas primer, yang meliputi produksi materi organik baru pada
tumbuhan atau autotrof dan produktivitas sekunder, yang meliputi produksi materi organik
baru pada hewan atau heterotrof.
Dari hasil analisis vegetasi dan hasil analisis produktivitas kesimpulan yang didapat
dilanjutkan ke evaluasi. Dengan harapan hasil dari evaluasi tersebut akan ditemukan suatu
formula tentang pengelolaan bagi agroekosistem tersebut. Pengelolaan agroekosistem yang
baru tersebut diharapkan mampu meningkatkan hasil maksimal dengan menekan resiko
kerusakan agroekosistem seminimal mungkin.
Salah satu upaya untuk menghasilkan agroekosistem yang sehat adalah dengan
memperbanyak keragaman genetik, melalui pola tumpang sari dengan juga memerhatikan
habitat musuh alami. Pola ini, selain untuk meningkatkan produktivitas lahan, juga untuk
menekan risiko serangan OPT. Peningkatan keragaman vegetasi melalui sistem tanam
tumpang sari merupakan praktek budidaya yang mudah diterima oleh petani. Walaupun
demikian, pemilihan jenis tanaman yang akan ditumpangsarikan dan sistem tanam yang tepat
perludipertimbangkan untuk mendapatkan produktivitas lahan yang optimal dan mempunyai
keuntungan sosial dan ekonomi yang sesuai dengan lokasi setempat (spesiik lokasi).

14
Penerapan sistem tumpangsari hendaknya tidak menurunkan produksi secara nyata dari
tanaman-tanaman yang dipadukan. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan tentang
pengaturan jarak tanam, populasi tanaman, serta umur panen untuk diterapkan dengan
mempertimbangkan aspek pengendalian hama dan produktivitaslahan yang optimal (Jayadi,
2015).
Pengelolaan agroekosistem untuk mendapatkan produksi yang berkelanjutan dan
sesedikit mungkin berdampak negatif terhadap lingkungan dan sosial, serta input rendah
dimungkinkan menerapkan prinsip-prinsip ekologi sebagai berikut (Reijntes et al., 1992):
1. Meningkatkan daur ulang dan optimalisasi ketersediaan dan keseimbangan alur hara.
Prinsip ini dapat dilakukan dengan melakukan rotasi dengan tanaman-tanaman pupuk hijau.
2. Memantapkan kondisi tanah untuk pertumbuhan tanaman dengan mengelola bahan organik
dan meningkatkan biota tanah. Pemberian biomassa pada lahan akan menambah bahan
organik yang selanjutnya akan meningkatkan biota tanah yang berguna dalam peningkatan
kesuburan tanah.
3. Meminimalkan kehilangan karena keterbatasan ketersediaanair melalui pengelolaan air. Air
dibutuhkan tanaman untuk dapat berproduksi optimal, sehingga ketersediaannya pada
waktu dan jumlah yang cukup, sangat berpengaruh terhadap produktivitas lahan.
Pengelolaan air dapat dilakukan dengan teknik-teknik pengawetan air tanah.
4. Meningkatkan keragaman spesies dan genetik dalam agroekosistem, sehingga terdapat
interaksi alami yang menguntungkan dan sinergi dari komponen-komponen agroekosistem
melalui keragaman hayati.
5. Karakteristik vegetasi yang terdapat di lingkungan Agroekosistem. Vegetasi yang terdapat
di lingkungan agroekositem didominasi oleh tanaman pangan (padi dan palawija) untuk di
lingkungan persawahan dan tegalan, dan tanaman tahunan (tanaman-tanaman keras) untuk
di lingkungan perkebunan. Khusus di lingkungan sawah, jenis tanaman yang banyak
dibudidayakan adalah tanaman semusim (annual), terutama padi dan palawija, dan sebagian
kecil tanaman dua musim (biennial), misalnya tebu,dengan sistem monokultur. Kondisi
yang demikian itu yang menyebabkan ekosistem ini rentan terhadap guncangan, baik yang
datang dari eksternal, maupun internal. Salah satu contohnya adalah seringnya terjadi
serangan OPT (hama dan penyakit). Sementara itu, di lingkungan perkebunan, lebih banyak

15
ditanami dengan tanaman tahunan/tanaman keras (perennial), sehingga relatif lebih stabil
dibandingkan dengan lingkungan sawah.

Contoh Pola Tanam Tumpangsari pada lahan agroekositem, (a) Tumpang sari Bawang Merah
dan Cabai dan (b) Tumpangsari Jagung dan Cabe.

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Agroekosistem mengacu pada modifikasi ekosistem alami dengan campur tangan
manusia untuk menghasilkan bahan pangan, serat, dan kayu untuk memenuhi kebutuhan dan
kesejahteraan manusia.
Evaluasi agroekosistem terkait dengan analisis vegetasi dan analisis produktivitas
suatu komunitas tumbuhan. Analisis vegetasi tumbuhan yaitu mempelajari susunan atau
komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Analisis produtivitas tumbuhan berkaitan
dengan kontribusi tumbuhan terhadap lingkungannya, dalam hal ini yaitu agroekosistem.
B. Saran
Makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu pembaca disarankan untuk
melakukan kajian referensi yang lebih mendalam lagi agar mencapai penjelasan yang lebih
runtut, terstruktur, dan komperhensif. Dan dibutuhkan lebih banyak refrensi lagi untuk
memahami materi evaluasi struktur dan fungsi agroekosistem.

17
DAFTAR PUSTAKA
Campbell, N. A., Reece, J. B., & Mitchell, L. G. (2002). Biologi. Jakarta: Erlangga.
Chapman, J. L. (1997). Ecology : Principles and Applications. USA: Cambridge University.

Hidayat, A. 2001. Metode Pengendalian Hama. Deptan: Jakarta.

Irawan. 2007. Prinsip-Prinsip Ekologi Dan Organisasi Ekosistem, Komunitas, Dan Lingkungan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Jayadi, Edi M. 2015. Ekologi Tumbuhan. Mataram : Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Mataram.
Jumil, Hasan Basri. 2002. Agroekologi Suatu Pendekatan Fisiologis. Raja Grafindo Persada:
Jakarta.
Odum, E. P. (1993). Fundamentals of Ecology. Philadelphia : W. B. Saunders Company.
Ramli, D. (1989). Ekologi. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga PendidikanTenaga
Kependidikan Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi DepartemenPendidikan dan
Kebudayaan.
Resosoedarmo, R. K. (1986). Pengantar Ekologi. Bandung: Remadja Karya CV.
Reijntjes, C., Haverkort, B. & Waters-Bayer, A. (1992). Pertanian Masa Depan. Yogyakarta:
Kanisius.
Reijntjes, Coean. Et.al.1999. Pertanian Masa Depan: Pengantar Untuk Pertanian Berkelanjutan
dengan Input Luar Rendah. Kanisius: Yogyakarta.
Soejono, Toekidjan. 2006. Gulma dalam Agroekosistem: Peranan, Masalah, dan
Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Pertanian UGM.
Online. (http:lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/967_pp0911130.pdf). Diakses tanggal 31
Oktober 2019

Sumarsono. 2006. Peran Tanaman Pakan dalam Intervensi Pertanian Berwawasan Lingkungan.
Makalah. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Online.
(http://eprints.undip.ac.id/401/1/PERAN_TANAMAN_PAKAN_Sumarsono.doc.
Diakses tanggal 31 Oktober 2019

18

Anda mungkin juga menyukai