RANGKUMAN MATERI
Untuk memenuhi tugas matakuliah Ekologi Lanjut yang dibina oleh Ibu Prof.
Dr.Suhadi, M.Si
Disusun oleh:
Muh. Nur Akbar 170341864556
1
2
terjadinya gejala khas atau tanggapan terukur. Kovacs (1992) dalam Wijaya
(tanpa tahun) menyatakan bahwa indikator biologis merupakan organisme (atau
populasi) yang keberadaan, vitalitas dan tanggapannya berubah di bawah
pengaruh kondisi lingkungan.
Mulgrew et al (2000) dalam Wijaya (tanpa tahun) menyatakan bahwa
biomonotoring adalah penggunaan respon biologi secara sistematik untuk
mengukur dan megevaluasi perubahan dalam lingkungan dengan menggunakan
bioindikator. Biomonitor memberikan informasi tentang keberadaan polutan dan
upaya untuk memberikan tambahan informasi tentang jumlah dan intensitas
paparan. Menurut Herdianto et al (2003) dalam Fanani (2013), biomonitoring
merupakan upaya melakukan pemantauan kualitas lingkungan dengan
menggunakan organisme yang hidup di dalam ekosistem tersebut. Organisme
yang hidup di dalam perairan dapat menjadi indikator dalam menentukan kondisi
ekosistem perairan tersebut. Bioindikator dapat dilakukan dengan melihat
keberadaan dan kelimpahan berbagai indikator biologi. Jenis-jenis indikator
biologi bervariasi diantaranya insekta, gastropoda, ikan, alga, dan lain-lain.
Bioindication atau biomonitoring merupakan salah satu jenis dari penerapan
ilmu ekologi dengan tujuan utama untuk menggunakan organisme hidup yang ada
pada komunitas alam untuk memantau dampak atau gangguan serta pengelolaan
pada suatu sistem ekologi. Bioindication dapat digunakan di daerah perkotaan dan
komunitas pertanian. Terdapat tiga macam tingkatan atau level dalam
biomonitoring, yaitu:
1. Tingkat indikator lingkungan
a. Takson yang bersangkutan dapat diprediksi responnya dengan cara yang
mudah diamati dan diukur untuk gangguan atau perubahan keadaan
lingkungan dengan (ketepatan dalam pemilihan organisme sebagai
biomonitoring).
b. Organisme yang digunakan sebagai “alarm peringatan dini” dapat
membatasi efek dari gangguan (seperti limbah).
c. Organisme dapat digunakan sebagai akumulator bahan kimia pada teknik
bioassay kehadiran atau konsentrasi polutan.
3
ini memberikan kita kesimpulan penting bahwa tingkat taksonomi sulit atau
sedikit dipelajari (William and Gaston, 1994 dalam Jarvis, 2000).
dijumpai diantara batuan. Ingram, dkk. (1977) dalam Simamora, dkk. (tanpa
tahun) menyatakan bahwa peningkatan Tubificidae memberikan indikasi bahwa
terjadinya pencemaran pada perairan tersebut karena Tubificidae merupakan
makroinvertebrata yang sangat toleran terhadap bahan organik yang tinggi.
Rahayu et al (2009) dalam Fanani (2013) juga menyatakan bahwa kelompok
serangga yang umum digunakan unutk monitoring adalah kelompok dari ordo
Ephemeroptera, Plecoptera, dan Trichoptera (EPT) yang memiliki sensitivitas
sangat tinggi terhadap bahan pencemar.
Selain itu, adanya makroinvertebrata yang lebih tahan terhadap pencemaran
seperti Chironomidae merah (Diptera), dan satu kekerangan, yaitu Thiaridae
(Mesogastropoda). Perubahan faktor fisika, kimia, dan biologi suatu perairan
mengakibatkan jenis biota air yang mempunyai daya toleransi tinggi akan
mengalami peningkatan dan penyebaran yang luas. Organisme yang toleran dapat
tumbuh dan berkembangbiak dalam kisaran kondisi lingkungan yang buruk
sedangkan organisme yang tidak toleran akan tersebar pada bagian perairan
tertentu.
b. Makrobentos
Kelompok makrobentos merupakan kelompok hewan yang relatif menetap
di dasar perairan dan sering digunakan sebagai petunjuk biologis (bioindikator).
Salah satu makrobentos yang dapat digunakan adalah jenis makrozoobentos.
Makrozoobentos dapat digunakan sebagai parameter biologi dalam menentukan
kondisi sungai karena hidupnya relatif diam di dasar sungai. Bioindikator atau
indikator ekologis merupakan taksa atau kelompok organisme yang sensitif dan
dapat dijadikan petunjuk bahwa mereka dipengaruhi oleh tekanan lingkungan
akibat dari kegiatan manusia dan desktruksi sistem biotik perairan.
Menurut Guntur (2003) dalam Asra (2009), perubahan-perubahan kualitas
air tempat hidupnya akan berpengaruh terhadap komposisi atau kelimpahan
makrozoobentos. Komposisi atau kelimpahan makrozoobentos bergantung kepada
toleransi ataupun sensitifitasnya terhadap perubahan lingkungan. Beberapa
organisme makrozoobentos sering digunakan sebagai spesies indikator kandungan
9
bahan organik dan dapat memberikan gambaran yang lebih tepat dibandingkan
pengujian fisika dan kimia.
Salah satu contoh penelitian dalam penggunaan makrobentos sebagai
bioindikator perairan adalah penelitian dengan judul kondisi perairan berdasarkan
bioindikator makrobentos di sungai Seketak Tembalang kota Semarang.
Penelitian yang dilakukan Kawuri, dkk. (2012) bertujuan untuk mengetahui
kondisi perairan pada stasiun I, II, dan III Sungai Seketak dan mengetahui
kelimpahan, keanekaragaman, dan keseragaman makrobentos di sungai Seketak.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey, yaitu metode
yang digunakan untuk mendapatkan informasi dari sebagian populasi yang
dianggap dapat mewakili populasi tertentu. Tingkat pencemaran perairan dapat
ditentukan melalui indeks keanekaragaman jenis dan hewan makrobentos pada
masing-masing lokasi penelitian yang diamati. Menurut Kawuri, dkk (2012)
dalam Anggoro (1988), kriteria tingkat kondisi perairan berdasarkan indeks
keanekaragaman jenis terpapar dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Tingkat Kondisi Perairan Berdasarkan Bioindikator Makrobentos
H’ Indikasi
<1,0 a. Pencemaran berat
b. Kesuburan sulit dimanfaatkan
1-1,5 a. Pencemaran sedang sampai berat
b. Kesuburan sulit dimanfaatkan
1,5-2 a. Pencemaran ringan sampai sedang
b. Kesuburan dapat dimanfaatkan
>2,0 a. Pencemaran ringan atau belum tercemar
b. Kesuburan dapat dimanfaatkan
Berdasarkan kategori tingkat kondisi perairan bioindikator makrobentos dan
data yang diperoleh, Kawuri, dkk menyimpulkan bahwa Stasiun I dan III
terindikasi pencemaran sedang hingga berat dan kesuburan sulit dimanfaatkan.
Stasiun II terindikasi pencemaran berat dan kesuburan sulit dimanfaatkan.
Keberadaan hewan dari kelas Hexapoda yaitu Chironomus sp. yang mendominasi
Stasiun I dan II mengindikasi bahwa perairan tersebut telah mengalami
pencemaran bahan organik. Menurut Kawuri, dkk. (2012) dalam Rini (2007),
Chironomus sp. merupakan organisme yang tergolong sebagai indikator kunci
dalam tingkat pencemaran di suatu perairan. Selain Chironomus sp. sebagai
makrobentos indikator pencemaran suatu perairan, ada beberapa makrobentos lain
10
seperti Tubifex sp., Limnodrillus sp., dan Nais sp. yang merupakan makrobentos
dari kelas Oligochaeta. Penelitan terdahulu menyatakan bahwa air yang terpolusi
oleh bahan organik yang cukup berat, hanya mengandung bakteri, jamur dan
hewan yang tahan seperti cacing Tubifex sp. dan larva Chironomid. Menurut
Kawuri, dkk. (2012), keberadaan Chironomus sp. dan Tubifex sp. menandakan
bahwa pemanfaatan perairan untuk kegiatan domestik oleh masyarakat di sekitar
sungai. Jenis Chironomus sp. dan Tubifex sp. bersifat toleran dan memiliki
kemampuan osmoregulasi yang baik, sehingga organisme tersebut dapat
menyesuaikan diri terhadap kondisi ekstrim yang ada di sekitarnya. Gastropoda
yang ditemukan pada ketiga stasiun didominasi oleh jenis Melanoides sp.
terutama pada Stasiun III, dimana makrobentos dari kelas gasropoda ini melimpah
pada perairan yang dipengaruhi oleh limbah pertanian.
Penggunaan bioindikator menjadi sangat penting untuk memperlihatkan
hubungan antara lingkungan biotik dengan lingkungan abiotik. Penentuan kualitas
air juga dapat diukur dengan pengukuran beberapa parameter yang mendukung
keberlangsungan hidup organisme tersebut. Adapun parameter kualitas air yang
diukur dalam penelitian ini diantaranya suhu air, arus, kandungan oksigen terlarut,
dan pH air. Menurut Kawuri, dkk. (2012) dalam Setyobudiandi (1997), faktor
kedalaman mempengaruhi jumlah jenis dan jumlah individu. Kecepatan arus akan
mempengaruhi penyebaran hewan makrobentos. Kawuri, dkk. (2012) dalam
Odum (1993), umumnya invertebrata bentik (bentos) mempunyai kerapatan yang
paling tinggi pada air deras. Suhu juga dapat membatasi sebaran hewan
makrobentos secara geografik dan suhu yang baik untuk pertumbuhan hewan
makrobentos berkisar antara 25-31°C. Secara umum, rata-rata nilai kandungan
oksigen terlarut (DO) pada ketiga stasiun berada pada kriteria rendah sehingga
ditemukan Chironomus sp.. Nilai pH menunjukkan derajat keasaman dan
kebasaan suatu perairan. Nilai pH yang diperoleh dari ketiga Stasiun tersebut
adalah 7. Nilai ini menunjukkan kondisi peraitan berada pada kondisi normal yang
masih dapat mendukung keberlangsungan hidup makrobentos. Nilai pH ideal bagi
kehidupan organisme akuatik umumnya terdapat antara 7-8,5 (Kawuri, dkk.,
2012).
11
c. Plankton
Plankton merupakan organisme perairan yang keberadaannya dapat
dijadikan indikator perubahan kualitas biologi perairan. Sachlan (1982) dalam
Rahman, dkk. (2010) menyatakan bahwa plankton mempunyai kepekaan dan
toleransi yang berbeda-beda terhadap bahan pencemar, sehingga dapat dijadikan
indikator perubahan kualitas lingkungan perairan. Organisme plankton yang
toleran terhadap bahan pencemar tersebut dapat hidup dan bertahan pada kondisi
tekanan lingkungan yang tinggi.
Perubahan kualitas perairan juga dapat ditinjau dari kelimpahan dan
komposisi fitoplakton. Fitoplankton merupakan parameter biologi yang dapat
dijadikan indikator untuk mengevaluasi kualitas dan tingkat kesuburan suatu
perairan. Penelitian yang dilakukan Wijaya, dkk. (2009) mengenai struktur
komunitas fitoplankton sebagai bio indikator kualitas perairan Danau Rawapening
Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Dalam penelitian ini, salah satu cara untuk
mengukur kualitas suatu perairan yaitu dengan mengetahui nilai koefisien
saprobik.
Koefisien saprobik adalah suatu indeks yang erat kaitannya dengan tingkat
pencemaran. Koefisien saprobik ini akan terlihat setelah mengetahui struktur
komunitas fitoplankton di suatu perairan. Selain itu, Dahuri (1995) dalam
Rahman, dkk. (2010) menyatakan bahwa indeks saprobik digunakan untuk
mengetahui tingkat ketergantungan atau hubungan suatu organisme dengan
senyawa yang menjadi sumber nutrisinya. Oleh karena itu, dapat diketahui
hubungan kelimpahan plankton dengan tingkat pencemaan suatu perairan. Sistem
12
Fauna tanah adalah fauna yanghidup di tanah, baik yang hidup dipermukaan
tanah maupun yang terdapat di dalam tanah. Fauna tanah merupakan salah satu
komponen tanah. Kehidupan fauna tanah sangat tergantung pada habitatnya,
karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah
sangat ditentukan oleh keadaan daerah tersebut. Dengan perkataan lain
keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat
tergantung dari faktor lingkungan (Suheriyanto, 2012).
Menurut Setiadi (1989) dalam (Suheriyanto, 2012) peranan terpenting dari
fauna tanah di dalam ekosistem adalah sebagai perombak bahan organik.
Buckman dan Brady (1982) menambahkan bahwa fauna tanah berperan penting
dalam mempercepat penyediaan hara dan juga sebagai sumber bahan organik
tanah. Menurut Suhardjono (1997), keberadaan fauna tanah sangat dipengaruhi
oleh faktor lingkungan, seperti suhu udara, suhutanah dan pH tanah.
Beberapa jenis fauna permukaan tanah dapat digunakan sebagai petunjuk
(indikator) terhadap kesuburan tanah atau keadaan tanah. Fauna tanah cukup baik
sebagai bioindikator tanah karena memiliki respon yang sensitif terhadap praktek
pengelolaan lahan dan iklim serta berkorelasi baik terhadap sifat tanah yang
menguntungkan dan fungsi ekologis. Tetapi pengukuran organisme tanah
memerlukan banyak kriteria supaya dapat digunakan sepenuhnya sebagai
indikator pengelolaan lahan yang sesuai, termasuk kelimpahannya, keragaman,
struktur jaringan dan stabilitas komunitas.
Penelitian di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ini terlebih dahulu
mengukur data fisik lingkungan seperti pH dan total sulfur ditiga tempat yaitu
Bromo, Jemplang, dan Penanjakan. Dari hasil pengukuran tersebut diperoleh hasil
bahwa Bromo memiliki total sulfur tertinggi, kemudian disusul daerah Jemplang
dan daerah Penanjakan. Berikut akan disajikan tabel hasil pengukuran total sulfur
tersebut.
Tabel 3. Hasil Pengukuran Data Fisik Lingkungan pada Beberapa Daerah
Penelitian
14
Tabel 5. Indeks Nilai Penting Fauna Tanah pada Berbagai Daerah Penelitian
Asra, Revis. 2009. Makrozoobentos sebagai Indikator Biologi dari Kualitas Air di
Sungai Kumpeh dan Danau Arang-Arang Kabupaten Muaro Jambi, Jambi.
Biospecies, (Online), 2 (1): 23-25, (http://online-journal.unja.ac.id/index.
php/biospecies/article/download/262/464), diakses 15 Maret 2015.
Kawuri, Lintang Rina, Mustofa Niti Suparjo, dan Suryanti. 2012. Kondisi
Perairan Berdasarkan Bioindikator Makrobentos di Sungai Seketak
Tembalang Kota Semarang. Journal of Management of Aquatic Resources.
(Online), 1 (1): 1-7, (http://download.portalgaruda.org/article.php?article=
74447&val=4713), diakses 11 Maret 2015.
Rahman, Arip dan Sri Endah Purnamaningtyas. 2010. Kualitas Biologi Perairan
Situ Cileunca Kabupaten Bandung Jawa Barat Berdasarkan Bioindikator
Plankton, (Online), (http://download.portalgaruda.org/article.php?article=
23352&val=1392), diakses 15 Maret 2015.
Simamora, Rotua Lelawaty, Amran Achmad, dan Inayah Yasir. Tanpa tahun.
Kualitas Air Sungai Bone (Gorontalo) Berdasarkan Bioindikator
Makroinvertebrata, (Online), (http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/d78f702
d6fc5cbed32df6dc084653877.pdf), diakses 15 Maret 2015.
18
19