Anda di halaman 1dari 20

PEMANFAATAN MACAM-MACAM INDIKATOR HEWAN UNTUK

MONITORING KONDISI LINGKUNGAN

RANGKUMAN MATERI

Untuk memenuhi tugas matakuliah Ekologi Lanjut yang dibina oleh Ibu Prof.
Dr.Suhadi, M.Si

Disusun oleh:
Muh. Nur Akbar 170341864556

The Learning University

PENDIDIKAN BIOLOGI PROGRAM MAGISTER


PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MALANG
Desember 2017
A. Pengertian Bioindikator
Bioindikator didefinisikan sebagai penggunaan suatu organisme baik
sebagai bagian dari suatu individu atau suatu kelompok organisme untuk
mendapatkan informasi terhadap kualitas seluruh atau sebagian dari
lingkungannya (Hornby dan Bateman, 1997 dalam Rachmawati, 2012).
Bioindikator adalah kelompok atau komunitas organisme yang keberadaannya dan
perilakunya di alam berhubungan dengan kondisi lingkungan, apabila terjadi
perubahan kondisi lingkungan maka akan berpengaruh terhadap keberadaan dan
perilaku organisme tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk kualitas
lingkungan (Sisda, 2012).
Perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan akan memberikan
pengaruh terhadap biota yang hidup di dalamnya. Setiap organisme yang hidup
pada suatu lingkungan mempunyai batas toleransi terhadap suatu faktor yang ada
di lingkungan tersebut. Pemantauan pencemaran lingkungan yang terjadi dapat
menggunakan kombinasi parameter kimia, fisika, dan biologi. Sastrawijaya (2000)
dalam Murtianingtyas (2006) menyatakan bahwa pengukuran menggunakan
parameter fisika dan kimia hanya memberikan gambaran kualitas lingkungan
sesaat. Indikator biologi digunakan untuk menilai secara makro perubahan
keseimbangan ekologi, khususnya ekosistem akibat pengaruh limbah. Indikator
biologi dapat memantau secara kontinyu dibandingkan dengan parameter fisika
dan kimia. Hal ini terjadi karena komunitas biota perairan menghabiskan seluruh
hidupnya di lingkungan tersebut, sehingga apabila terjadi pencemaran akan
terakumulasi atau tertimbun pada ekosistem tersebut.
Bioindikator adalah organisme atau respon biologi yang menunjukan
masuknya zat tertentu dalam lingkungan. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk
melakukan pemantauan kondisi lingkungan dengan menggunakan insekta,
gastropoda, makrobentos, tumbuhan, plankton, sebagai bioindikator. Menurut
Tingey (1989) dalam Wijaya (tanpa tahun), bioindikator adalah organisme atau
respon biologi yang menggungkapkan ada atau tidaknya polutan dengan

1
2

terjadinya gejala khas atau tanggapan terukur. Kovacs (1992) dalam Wijaya
(tanpa tahun) menyatakan bahwa indikator biologis merupakan organisme (atau
populasi) yang keberadaan, vitalitas dan tanggapannya berubah di bawah
pengaruh kondisi lingkungan.
Mulgrew et al (2000) dalam Wijaya (tanpa tahun) menyatakan bahwa
biomonotoring adalah penggunaan respon biologi secara sistematik untuk
mengukur dan megevaluasi perubahan dalam lingkungan dengan menggunakan
bioindikator. Biomonitor memberikan informasi tentang keberadaan polutan dan
upaya untuk memberikan tambahan informasi tentang jumlah dan intensitas
paparan. Menurut Herdianto et al (2003) dalam Fanani (2013), biomonitoring
merupakan upaya melakukan pemantauan kualitas lingkungan dengan
menggunakan organisme yang hidup di dalam ekosistem tersebut. Organisme
yang hidup di dalam perairan dapat menjadi indikator dalam menentukan kondisi
ekosistem perairan tersebut. Bioindikator dapat dilakukan dengan melihat
keberadaan dan kelimpahan berbagai indikator biologi. Jenis-jenis indikator
biologi bervariasi diantaranya insekta, gastropoda, ikan, alga, dan lain-lain.
Bioindication atau biomonitoring merupakan salah satu jenis dari penerapan
ilmu ekologi dengan tujuan utama untuk menggunakan organisme hidup yang ada
pada komunitas alam untuk memantau dampak atau gangguan serta pengelolaan
pada suatu sistem ekologi. Bioindication dapat digunakan di daerah perkotaan dan
komunitas pertanian. Terdapat tiga macam tingkatan atau level dalam
biomonitoring, yaitu:
1. Tingkat indikator lingkungan
a. Takson yang bersangkutan dapat diprediksi responnya dengan cara yang
mudah diamati dan diukur untuk gangguan atau perubahan keadaan
lingkungan dengan (ketepatan dalam pemilihan organisme sebagai
biomonitoring).
b. Organisme yang digunakan sebagai “alarm peringatan dini” dapat
membatasi efek dari gangguan (seperti limbah).
c. Organisme dapat digunakan sebagai akumulator bahan kimia pada teknik
bioassay kehadiran atau konsentrasi polutan.
3

d. Organisme dapat digunakan untuk menentukan peringkat polutan pada


urutan toksisitas.
2. Tingkat indikator ekologi
a. Berfungsi lebih dari sekedar alat pengukur perubahan lingkungan, yaitu juga
berfungsi untuk menunjukkan efek dari perubahan habitat atau perubahan
iklim.
b. Taksa indikator bertindak sebagai pengganti bagi komunitas yang lebih
besar.
c. Respon dapat berupa penurunan jumlah populasi, perubahan distribusi
spasial, atau perubahan pada sejumlah sejarah kehidupan.
d. Respon ini representatif atau mewakili dari respon minimal taksa lain yang
ada pada habitat.
3. Tingkat indikator keanekaragaman
a. Indikator keanekaragaman hayati adalah sekelompok taksa (misalnya genus,
suku, famili) atau kelompok fungsional yang mencerminkan
keanekaragaman beberapa taksa lainnya dalam habitat.
b. Pengukuran dalam keanekaragman ini mencakup keanekaragaman kekayaan
karakter, kekayaan spesies, tingkat endemisme, keragaman genetic.
c. Ukuran keanekaragaman dari indicator taksa dapat digunakan untuk
memperkirakan keanekaragaman taksa lain (Anonim).

Gambar 1. Peranan Bioindikator pada Masing-Masing Kategori Bioindication


Sumber: Anonim (http://www.csulb.edu/~dlunderw/entomology/20-Insects
Bioindi-cators.pdf)
4

B. Karakteristik Organisme sebagai Bioindikator


Menurut Sastrawijaya (2000) dalam Murtianingtyas (2006) organisme yang
dapat dijadikan indikator biologi pencemaran harus memehuni kriteria sebagai
berikut:
a. mudah diidentifikasi;
b. mudah dijadikan sampel;
c. distribusinya cosmopolitan;
d. mudah menimbun bahan pencemar
e. mudah dibudidayakan di laboratorium;
f. mempunyai keragaman jenis yang sedikit;
g. mempunyai kepekaan terhadap perubahan lingkungan.
Hellawel (1986); Rosenberg dan Wiens (1989); Rosenberg dan Resh (1993)
dalam Rachmawati (2012) menyatakan bahwa karakteristik ideal dari jenis
organisme indikator adalah:
a. mudah diidentifikasi,
b. tersebar secara kosmopolit,
c. kelimpahan dapat dihitung,
d. variabilitas ekologi dan genetik rendah,
e. ukuran tubuh relatif besar,
f. mobilitas terbatas dan masa hidup relatif lama,
g. karakteristik ekologi diketahui dengan baik,
h. terintegrasi dengan kondisi lingkungan,
i. cocok untuk digunakan pada studi laboratorium.
Kelangsungan hidup organisme dalam suatu ekosistem pada dasarnya
sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan. Setiap organisme memiliki
toleransi yang berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan. Apabila perubahan
faktor lingkungan lebih besar dari kisaran toleransi yang dapat diterima oleh
organisme, maka organisme tersebut tidak dapat bertahan hidup, tetapi organisme
lain mungkin dapat bertahan dengan kondisi tersebut.
5

C. Bioindikator sebagai Monitoring Kondisi Lingkungan


Monitoring memerlukan asesmen dari beberapa standar perubahan
lingkungan, target atau level dasar, dan melibatkan survei atau pengawasan serta
pengukuran data yang sedemikian rupa sehingga karakter suatu perubahan dapat
diidentifikasi dan diukur, serta alasan untuk setiap perubahan yang terjadi dapat
diketahui secara jelas (Furness et al., 1993 dalam Jarvis, 2000). Monitoring perlu
dilakukan dengan pemahaman yang jelas tentang tujuan dan pemilihan indikator
utama yang dapat diukur secara tepat, sehingga dapat diselesaikan dengan tepat
tentang indikasi apa yang terjadi pada perubahan-perubahan lingkungan, mengapa
terjadi, dan tindakan apa yang paling tepat dilakukan untuk perbaikan kondisi
tersebut. Seterusnya, pengelolaan ekosistem mengimplikasikan pengetahuan dan
pemahaman tentang ilmu ekologi yang mendasari lingkungan.
Komarawidjaja, dkk. (2006) menyatakan bahwa biomonitoring ditinjau dari
kategori minat komunitas pakar dalam pengembangan teknik operasional dikenal
sebagai berikut.
1. Bioassessments study, melakukan pendalaman komunitas kehidupan perairan
termasuk fungsi dan struktur komunitas.
2. Toxicity bioassays, melakukan kegiatan pengujian di laboratorium dan
menganalisa efek polutan terhadap bentuk-bentuk kehidupan.
3. Behavioral bioassays, mengkaji efek subletal terhadap flora dan fauna uji,
sebagai dasar upaya peringatan dini.
4. Bioaccumulation study, melakukan kajian dosis kontaminan yang diserap flora
dan fauna uji dan dampaknya dalam rantai makanan.
Biomonitoring bukan hanya merupakan pengukuran langsung dari efek
biologis yang dihasilkan dengan adanya polutan. Namun bilamana efek polutan
tersebut berlangsung lama pada suatu jenis hewan, akan dapat menimbulkan
perubahan pada organisme tersebut sehingga dapat disebut sebagai tanda atau
indikasi adanya dampak negatif dari pemaparan suatu jenis polutan pada suatu
ekosistem.
Penggunaan bioindikator dirasakan semakin penting dengan tujuan utama
untuk menggambarkan adanya keterkaitan antara faktor biotik dan abiotik
lingkungan. Konsep bioindikator merujuk pada penggunaan hewan atau tanaman
6

sebagai instrumen untuk menilai kondisi kualitas lingkungan yang lampau,


sekarang dan akan datang (Sudarso, 2009). Organisme yang dijadikan sebagai
bioindikator sudah selayaknya harus mampu beradaptasi dengan adanya fluktuasi
kondisi lingkungan dalam periode yang cukup lama dan menggabungkan respon
atau informasi yang ditimbulkannya (Dziock et al.,2006 dalam Sudarso, 2009).
Penggunaan indikator biologi (bioindikator) dalam ekologi dan konservasi
merupakan upaya yang sedang dikembangkan. Penggunaan bioindikator ini
membutuhkan identifikasi karakter dari lingkungan, biasanya karakteristik dari
spesies atau habitat, yang dapat digunakan sebagai barometer perubahan
lingkungan. Dalam hal ini, perubahan jumlah populasi atau kisaran geografis dari
suatu spesies akan mencerminkan penurunan atau peningkatan kualitas
lingkungan. Seperti suatu indeks, indikator dapat digunakan untuk
mengkarakterisasi suatu komunitas. Tapi penting untuk ditekankan bahwa hal ini
adalah dua konsep yang berbeda. Indikator keanekaragaman merupakan hal
penting dalam memonitoring perubahan lingkungan, meskipun banyak perubahan
lingkungan yang dapat dimonitoring menggunakan indikator abiotik (Goldsmith,
1991 dalam Jarvis, 2000).
Pentingnya biomonitoring terletak dalam penggunaan organismenya, untuk
dapat menunjukkan dampak perubahan lingkungan pada komponen ekosistem dan
lingkungan yang lebih luas (Furness et al., 1993 dalam Jarvis, 2000). Suatu
spesies dapat digunakan sebagai bioindikator ketika rentang toleransi dan
preferensi lingkungannya menunjukkan bahwa mereka mewakili kondisi
lingkungan tertentu. Dinamika kehadiran, ketidakhadiran, kelimpahan dan
populasinya menunjukkan tingkat perubahan lingkungan. Sangat penting untuk
diperhatikan bahwa spesies indikator harus dapat mewakili secara spesifik untuk
kelompok atau habitat tertentu, selain berlimpah dan terdistribusi secara luas.
Spesies tersebut harus dapat menggambarkan dan membawa banyak informasi
tentang apa yang sedang dimonitoring dan pada saat yang sama memiliki
probabilitas tinggi menjadi sampel (Dufrene dan Legendre, 1997 dalam Jarvis,
2000). Tingkat taksonomi yang dipelajari tidak perlu sampai spesies, dalam
banyak kasus hampir banyak informasi yang sama dapat diperoleh dengan
menggunakan keragaman dan indikator lainnya di tingkat genus atau famili, hal
7

ini memberikan kita kesimpulan penting bahwa tingkat taksonomi sulit atau
sedikit dipelajari (William and Gaston, 1994 dalam Jarvis, 2000).

D. Aplikasi Pemanfaatan Indikator Hewan sebagai Monitoring Kondisi


Lingkungan
1. Aplikasi bioindikator dalam bidang perairan
a. Makroinvertebrata
Makroinvertebrata adalah organisme yang tertahan pada saringan yang
berukuran lebih besar sama dengan 0,2 sampai 0,5 mm (Rosenberg, 1993 dalam
Murtianingtyas, 2006). Makroinvertebrata lebih banyak digunakan dalam
pemantauan kualitas air karena sifat hidupnya yang relatif menetap untuk jangka
waktu yang panjang. Arisandi (2002) dalam Murtianingtyas (2006) menyatakan
bahwa makroinvertebrata dijumpai pada beberapa zona habitat akuatik dengan
berbagai kondisi kualitas air dan masa hidupnya yang cukup lama menyebabkan
keberadaanya memungkinkan untuk merekam kualitas air. Organisme yang
termasuk makroinvertebrata diantaranya adalah Crustacea, Mollusca, Arhtropoda,
dan Annelida. Selain itu, spesies ideal yang digunakan sebagai indikator biologi
yang tidak mempunyai tulang belakang juga tergolong ke dalam
makroinvertebrata.
Bioindikator dengan menggunakan makroinvertebrata bentik memiliki
beberapa kelebihan. Spellman, dkk. (2001) dalam Simamora, dkk. (tanpa tahun)
menyatakan bahwa kelebihan pemanfaatan makroinvertebrata sebagai
bioindikator adalah (1) mudah dijumpai dimana saja, (2) spesiesnya kaya,
memiliki beragam respon terhadap tekanan lingkungan, (3) sifatnya menetap, (4)
siklus hidupnya panjang, dan (5) dapat menunjukkan bukti mengenai suatu
kondisi dalam rentang waktu yang panjang. Oleh karena itu, makroinvertebrata
berperan penting sebagai continuous monitor bagi air yang didiaminya. Makin
tinggi keanekaragamannya, makin rendah tingkat pencemarannya.
Menurut Iowater (2005) dalam dalam Simamora, dkk. (tanpa tahun), ordo
Ephemeroptera, Plecoptera, dan Trichoptera (EPT) merupakan kelompok yang
sensitif terhadap pencemaran seperti logam dan insektisida. Semakin tinggi
%EPT, kualitas air semakin baik. EPT merupakan kelompok yang juga banyak
8

dijumpai diantara batuan. Ingram, dkk. (1977) dalam Simamora, dkk. (tanpa
tahun) menyatakan bahwa peningkatan Tubificidae memberikan indikasi bahwa
terjadinya pencemaran pada perairan tersebut karena Tubificidae merupakan
makroinvertebrata yang sangat toleran terhadap bahan organik yang tinggi.
Rahayu et al (2009) dalam Fanani (2013) juga menyatakan bahwa kelompok
serangga yang umum digunakan unutk monitoring adalah kelompok dari ordo
Ephemeroptera, Plecoptera, dan Trichoptera (EPT) yang memiliki sensitivitas
sangat tinggi terhadap bahan pencemar.
Selain itu, adanya makroinvertebrata yang lebih tahan terhadap pencemaran
seperti Chironomidae merah (Diptera), dan satu kekerangan, yaitu Thiaridae
(Mesogastropoda). Perubahan faktor fisika, kimia, dan biologi suatu perairan
mengakibatkan jenis biota air yang mempunyai daya toleransi tinggi akan
mengalami peningkatan dan penyebaran yang luas. Organisme yang toleran dapat
tumbuh dan berkembangbiak dalam kisaran kondisi lingkungan yang buruk
sedangkan organisme yang tidak toleran akan tersebar pada bagian perairan
tertentu.

b. Makrobentos
Kelompok makrobentos merupakan kelompok hewan yang relatif menetap
di dasar perairan dan sering digunakan sebagai petunjuk biologis (bioindikator).
Salah satu makrobentos yang dapat digunakan adalah jenis makrozoobentos.
Makrozoobentos dapat digunakan sebagai parameter biologi dalam menentukan
kondisi sungai karena hidupnya relatif diam di dasar sungai. Bioindikator atau
indikator ekologis merupakan taksa atau kelompok organisme yang sensitif dan
dapat dijadikan petunjuk bahwa mereka dipengaruhi oleh tekanan lingkungan
akibat dari kegiatan manusia dan desktruksi sistem biotik perairan.
Menurut Guntur (2003) dalam Asra (2009), perubahan-perubahan kualitas
air tempat hidupnya akan berpengaruh terhadap komposisi atau kelimpahan
makrozoobentos. Komposisi atau kelimpahan makrozoobentos bergantung kepada
toleransi ataupun sensitifitasnya terhadap perubahan lingkungan. Beberapa
organisme makrozoobentos sering digunakan sebagai spesies indikator kandungan
9

bahan organik dan dapat memberikan gambaran yang lebih tepat dibandingkan
pengujian fisika dan kimia.
Salah satu contoh penelitian dalam penggunaan makrobentos sebagai
bioindikator perairan adalah penelitian dengan judul kondisi perairan berdasarkan
bioindikator makrobentos di sungai Seketak Tembalang kota Semarang.
Penelitian yang dilakukan Kawuri, dkk. (2012) bertujuan untuk mengetahui
kondisi perairan pada stasiun I, II, dan III Sungai Seketak dan mengetahui
kelimpahan, keanekaragaman, dan keseragaman makrobentos di sungai Seketak.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey, yaitu metode
yang digunakan untuk mendapatkan informasi dari sebagian populasi yang
dianggap dapat mewakili populasi tertentu. Tingkat pencemaran perairan dapat
ditentukan melalui indeks keanekaragaman jenis dan hewan makrobentos pada
masing-masing lokasi penelitian yang diamati. Menurut Kawuri, dkk (2012)
dalam Anggoro (1988), kriteria tingkat kondisi perairan berdasarkan indeks
keanekaragaman jenis terpapar dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Tingkat Kondisi Perairan Berdasarkan Bioindikator Makrobentos
H’ Indikasi
<1,0 a. Pencemaran berat
b. Kesuburan sulit dimanfaatkan
1-1,5 a. Pencemaran sedang sampai berat
b. Kesuburan sulit dimanfaatkan
1,5-2 a. Pencemaran ringan sampai sedang
b. Kesuburan dapat dimanfaatkan
>2,0 a. Pencemaran ringan atau belum tercemar
b. Kesuburan dapat dimanfaatkan
Berdasarkan kategori tingkat kondisi perairan bioindikator makrobentos dan
data yang diperoleh, Kawuri, dkk menyimpulkan bahwa Stasiun I dan III
terindikasi pencemaran sedang hingga berat dan kesuburan sulit dimanfaatkan.
Stasiun II terindikasi pencemaran berat dan kesuburan sulit dimanfaatkan.
Keberadaan hewan dari kelas Hexapoda yaitu Chironomus sp. yang mendominasi
Stasiun I dan II mengindikasi bahwa perairan tersebut telah mengalami
pencemaran bahan organik. Menurut Kawuri, dkk. (2012) dalam Rini (2007),
Chironomus sp. merupakan organisme yang tergolong sebagai indikator kunci
dalam tingkat pencemaran di suatu perairan. Selain Chironomus sp. sebagai
makrobentos indikator pencemaran suatu perairan, ada beberapa makrobentos lain
10

seperti Tubifex sp., Limnodrillus sp., dan Nais sp. yang merupakan makrobentos
dari kelas Oligochaeta. Penelitan terdahulu menyatakan bahwa air yang terpolusi
oleh bahan organik yang cukup berat, hanya mengandung bakteri, jamur dan
hewan yang tahan seperti cacing Tubifex sp. dan larva Chironomid. Menurut
Kawuri, dkk. (2012), keberadaan Chironomus sp. dan Tubifex sp. menandakan
bahwa pemanfaatan perairan untuk kegiatan domestik oleh masyarakat di sekitar
sungai. Jenis Chironomus sp. dan Tubifex sp. bersifat toleran dan memiliki
kemampuan osmoregulasi yang baik, sehingga organisme tersebut dapat
menyesuaikan diri terhadap kondisi ekstrim yang ada di sekitarnya. Gastropoda
yang ditemukan pada ketiga stasiun didominasi oleh jenis Melanoides sp.
terutama pada Stasiun III, dimana makrobentos dari kelas gasropoda ini melimpah
pada perairan yang dipengaruhi oleh limbah pertanian.
Penggunaan bioindikator menjadi sangat penting untuk memperlihatkan
hubungan antara lingkungan biotik dengan lingkungan abiotik. Penentuan kualitas
air juga dapat diukur dengan pengukuran beberapa parameter yang mendukung
keberlangsungan hidup organisme tersebut. Adapun parameter kualitas air yang
diukur dalam penelitian ini diantaranya suhu air, arus, kandungan oksigen terlarut,
dan pH air. Menurut Kawuri, dkk. (2012) dalam Setyobudiandi (1997), faktor
kedalaman mempengaruhi jumlah jenis dan jumlah individu. Kecepatan arus akan
mempengaruhi penyebaran hewan makrobentos. Kawuri, dkk. (2012) dalam
Odum (1993), umumnya invertebrata bentik (bentos) mempunyai kerapatan yang
paling tinggi pada air deras. Suhu juga dapat membatasi sebaran hewan
makrobentos secara geografik dan suhu yang baik untuk pertumbuhan hewan
makrobentos berkisar antara 25-31°C. Secara umum, rata-rata nilai kandungan
oksigen terlarut (DO) pada ketiga stasiun berada pada kriteria rendah sehingga
ditemukan Chironomus sp.. Nilai pH menunjukkan derajat keasaman dan
kebasaan suatu perairan. Nilai pH yang diperoleh dari ketiga Stasiun tersebut
adalah 7. Nilai ini menunjukkan kondisi peraitan berada pada kondisi normal yang
masih dapat mendukung keberlangsungan hidup makrobentos. Nilai pH ideal bagi
kehidupan organisme akuatik umumnya terdapat antara 7-8,5 (Kawuri, dkk.,
2012).
11

Penelitian lain yang dilakukan Zulkifli, dkk. (tanpa tahun) menunjukkan


bahwa Melanoides sp. memiliki kelimpahan tinggi pada stasiun outlet limbah
industri dan bagian hilirnya. Hal ini menunjukkan bahwa Melanoides sp. toleran
terhadap kondisi ekstrim (nilai amoniak, C-organik, dan P-organik lebih tinggi).
Penelitian lain yang dilakukan Asra (2009) menunjukkan bahwa keberadaan
spesies indikator seperti Chironomus sp., Scatella sp., dan Brachiura sowerbyi
pada Sungai Kumpeh dan Danau Arang-Arang merupakan indikator dari kualitas
perairan yang tercemar.

c. Plankton
Plankton merupakan organisme perairan yang keberadaannya dapat
dijadikan indikator perubahan kualitas biologi perairan. Sachlan (1982) dalam
Rahman, dkk. (2010) menyatakan bahwa plankton mempunyai kepekaan dan
toleransi yang berbeda-beda terhadap bahan pencemar, sehingga dapat dijadikan
indikator perubahan kualitas lingkungan perairan. Organisme plankton yang
toleran terhadap bahan pencemar tersebut dapat hidup dan bertahan pada kondisi
tekanan lingkungan yang tinggi.
Perubahan kualitas perairan juga dapat ditinjau dari kelimpahan dan
komposisi fitoplakton. Fitoplankton merupakan parameter biologi yang dapat
dijadikan indikator untuk mengevaluasi kualitas dan tingkat kesuburan suatu
perairan. Penelitian yang dilakukan Wijaya, dkk. (2009) mengenai struktur
komunitas fitoplankton sebagai bio indikator kualitas perairan Danau Rawapening
Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Dalam penelitian ini, salah satu cara untuk
mengukur kualitas suatu perairan yaitu dengan mengetahui nilai koefisien
saprobik.
Koefisien saprobik adalah suatu indeks yang erat kaitannya dengan tingkat
pencemaran. Koefisien saprobik ini akan terlihat setelah mengetahui struktur
komunitas fitoplankton di suatu perairan. Selain itu, Dahuri (1995) dalam
Rahman, dkk. (2010) menyatakan bahwa indeks saprobik digunakan untuk
mengetahui tingkat ketergantungan atau hubungan suatu organisme dengan
senyawa yang menjadi sumber nutrisinya. Oleh karena itu, dapat diketahui
hubungan kelimpahan plankton dengan tingkat pencemaan suatu perairan. Sistem
12

saprobitas digunakan untuk melihat kelompok organisme yang dominan dan


banyak digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran dengan persamaan
Dresscher dan Van Der Mark:
𝐶 + 3𝐷 − 𝐵 − 3𝐴
𝑋=
𝐴+𝐵+𝐶+𝐷
Dimana:
X: Koefisien Saprobik (-3 sampai dengan 3)
A: Kelompok organisme Cyanophyta
B: Kelompok organisme Dinophyta
C: Kelompok organisme Chlorophyta
D: Kelompok organisme Chrysophyta
Tabel 2. Hubungan antara Koefisien Saprobik dengan Tingkat Pencemaran
Perairan (Marganof, 2008 dalam Wijaya, dkk. 2009)
Bahan Tingkat Koefisien
Fase Saprobik
Pencemar Pencemar Saprobik
Polisaprobik (-3)-(-2)
Bahan Organik Sangat Berat
Poli/α-mesosaprobik (-2)-(-1,5)
α-meso/Polisaprobik (-1,5)-(-1)
Cukup Berat
α-mesosaprobik (-1)-(-0,5)
Bahan Organik α/β-mesosaprobik (-0,5)-(0)
Sedang
dan Anorganik β/αmesosaprobik (0)-(0,5)
β-mesosaprobik (0,5)-(1,0)
Ringan
β-meso/Oligosaprobik (1,0)-(1,5)
Bahan Organik Oligo/β-mesosaprobik (1,5)-(2)
Sangat Ringan
dan Anorganik Oligosaprobik (2)-(3)
Sumber: Marganof, 2008 dalam Wijaya, dkk. tanpa tahun
Hasil penelitian ini menunjukkan struktur komunitas fitoplankton dengan
kelimpahan fitoplankton didominasi oleh spesies Melosira. Indeks
keanekaragaman termasuk rendah dengan distribusi merata. Koefisien saprobik
tergolong Oligo/β-mesosaprobik yang berarti tercemar sangat ringan. Faktor-
faktor kimia dan fisika perairan Danau Rawapening masih baik untuk kehidupan
organisme perairan.

2. Aplikasi bioindikator darat


a. Gastropoda
13

Fauna tanah adalah fauna yanghidup di tanah, baik yang hidup dipermukaan
tanah maupun yang terdapat di dalam tanah. Fauna tanah merupakan salah satu
komponen tanah. Kehidupan fauna tanah sangat tergantung pada habitatnya,
karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah
sangat ditentukan oleh keadaan daerah tersebut. Dengan perkataan lain
keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat
tergantung dari faktor lingkungan (Suheriyanto, 2012).
Menurut Setiadi (1989) dalam (Suheriyanto, 2012) peranan terpenting dari
fauna tanah di dalam ekosistem adalah sebagai perombak bahan organik.
Buckman dan Brady (1982) menambahkan bahwa fauna tanah berperan penting
dalam mempercepat penyediaan hara dan juga sebagai sumber bahan organik
tanah. Menurut Suhardjono (1997), keberadaan fauna tanah sangat dipengaruhi
oleh faktor lingkungan, seperti suhu udara, suhutanah dan pH tanah.
Beberapa jenis fauna permukaan tanah dapat digunakan sebagai petunjuk
(indikator) terhadap kesuburan tanah atau keadaan tanah. Fauna tanah cukup baik
sebagai bioindikator tanah karena memiliki respon yang sensitif terhadap praktek
pengelolaan lahan dan iklim serta berkorelasi baik terhadap sifat tanah yang
menguntungkan dan fungsi ekologis. Tetapi pengukuran organisme tanah
memerlukan banyak kriteria supaya dapat digunakan sepenuhnya sebagai
indikator pengelolaan lahan yang sesuai, termasuk kelimpahannya, keragaman,
struktur jaringan dan stabilitas komunitas.
Penelitian di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ini terlebih dahulu
mengukur data fisik lingkungan seperti pH dan total sulfur ditiga tempat yaitu
Bromo, Jemplang, dan Penanjakan. Dari hasil pengukuran tersebut diperoleh hasil
bahwa Bromo memiliki total sulfur tertinggi, kemudian disusul daerah Jemplang
dan daerah Penanjakan. Berikut akan disajikan tabel hasil pengukuran total sulfur
tersebut.
Tabel 3. Hasil Pengukuran Data Fisik Lingkungan pada Beberapa Daerah
Penelitian
14

Setelah mengetahui kadar sulfur pada masing-masing tempat, kemudian


dilakukan identifikasi terhadap fauna tanah pada masing-masing tempat.
Tujuannya untuk mengetahui keanekaragaman masing-masing fauna tanah,
sehingga dapat diketahui jenis fauna tanah yang dapat hidup pada daerah dengan
kandungan Sulfur tertinggi (Bromo) dan dapat dijadikan bioindikator pada tanah
bersulfur tinggi.
Setelah dilakukan identifikasi, fauna yang berpotensi sebagai bioindikator
tanah yang mengandung sulfur tinggi adalah fauna yang hanya ditemukan di
tempat yang berkadar sulfur tinggi (gunung Bromo) yaitu famili Brachyderinae,
karena memiliki jumlah keanekaragaman paling banyak dan memiliki nilai indeks
penting paling tinggi dibandingkan famili lain. Berikut akan disajikan tabel hasil
penelitian tersebut.
Tabel 4. Keanekaragaman Fauna Tanah pada Berbagai Daerah Penelitian
15

Tabel 5. Indeks Nilai Penting Fauna Tanah pada Berbagai Daerah Penelitian

Berdasarkan dari hasil pengamatan peneliti didapatkan ciri-ciri sebagai berikut:


1) serangga ini memiliki sungut atau probosis yang panjangdan di bagian
pangkalnya terdapat syaraf yang digunakan sebagai indikator keberadaan
musuh,
2) tubuh serangga ini yaitu 7-9 mm, dan warna tubuhnya hitam kecoklatan.
Menurut Borror et al., (1992), pada umumnya Famili Brachyderinae ini
tidak terbang karena elitra tumbuh bersama sepanjang sutura dan sayap-sayap
belakang menyusut. Pada bagian ujung abdomen terdapat rambut-rambut yang
halus. Peranan serangga ini dalam ekosistem sebagai herbivora yakni memakan,
bahkan merusak daun-daun. Klasifikasinyamenurut Borroret al., (1992) yaitu:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Classis : Insekta
Ordo : Coleoptera
Familia : Brachyderinae
Gambar 2. Famili Brachyderinae
16

Fauna tanah memiliki keuntungan jika digunakan sebagai bioindikator


tanah, karena waktu regenerasi fauna tanah lebih panjang (hari hingga tahun)
dibanding mikrobia metabolik aktif lainnya (jam hingga hari), sehingga membuat
mereka lebih stabil dan tidak mudah berfluktuasi akibat perubahan hara yang
sesaat dan tiba-tiba (Neher, 2001 dalam Suheriyanto, 2012).

3) Aplikasi bioindikator udara


a. Capung
Capung merupakan salah satu kelompok serangga yang sangat erat
kaitannya dengan air. Capung memiliki ukuran tubuh relatif kecil, berwarna
bagus dan menggunakan sebagian besar hidupnya untuk terbang. Tahapan
pradewasa capung bersifat akuatik dan individu dewasa biasanya ditemukan
dekat perairan. Pada tahapan pradewasa capung berbentuk nimfa, nimfa capung
memangsa serangga-serangga kecil lain yang hidup di dalam air. Nimfa capung
tidak akan hidup pada air yang tercemar atau yang tidak bervegetasi. Oleh karena
itu, kelangsungan hidup capung tergantung dari tercemar atau tidak habitatnya,
sehingga capung dapat digunakan sebagai bioindikator lingkungan aquatik.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Wakhid dll (2014) meneliti
kelimpahan populasi capung Jarum (Zygoptera) di kawasan Taman Nasional
Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara. Tujuan dari penelitan adalah untuk
mengetahui kelimpahan capung yang digunakan sebagai pengendali hayati dan
bioindikator lingkungan. Pada penelitian ini dilakukan pada tiga stasiun yang
berbeda yaitu hutan primer, hutan sekunder, dan lahan pertanian. Sampel capung
yang diambil dalam penelitian adalah imago (capung dewasa) dengan
menggunakan jaring udara. Capung jarum yang ditemukan terdiri atas 13 spesies
sebanyak 485 individu. yang termasuk dalam 4 famili yaitu Coenagrionidae
(61,44%), Chlorocypidae (25,77%), Calopterygidae (12,37%), dan
Platycnemididae (0,41%). Coenagrionidae merupakan salah satu famili capung
di mana sebagian besar spesiesnya ditemukan di habitat air yang tidak mengalir
Kemampuan adaptasi yang tinggi dari Coenagrionidae ini menyebabkan tingginya
jumlah spesies yang ditemukan berbagai habitat.
17

Lokasi penelitian yang memiliki kelimpahan individu tertinggi yaitu pada


habitat pertanian (40,21%), selanjutnya pada habitat hutan sekunder (30,72%).
Habitat hutan primer memiliki kelimpahan individu lebih sedikit dibanding
dengan habitat lain (29,07%). Kelimpahan capung jarum yang tingi pada habitat
pertanian disebabkan tingginya intensitas cahaya dan kurangnya penutupan
vegetasi tumbuhan di sekitar sungai pada habitat pertanian. Capung jarum
mempunyai kebiasaan berjemur di bawah sinar matahari untuk menghangatkan
tubuhnya dan untuk mempekuat otot-otot sayap untuk terbang, tingginya
intensitas cahaya dan kurangnya penutupan vegetasi pada habitat pertanian
sehingga jumlah capung jarum yang ditemukan melimpah.
Distribusi dari capung jarum pada ketiga habitat sangat bervariasi. Spesies
capung jarum dengan distribusinya yang merata atau ditemukan hanya pada salah
satu habitat. Capung jarum tidak akan ditemukan pada hutan yang telah
mengalami gangguan atau hutan yang telah mengalami alih fungsi, sehingga
keberadaannya dapat mengindikasikan kondisi suatu hutan sebagai hutan yang
masih sehat atau telah mengalami kerusakan. Ada beberapa spesies capung jarum
yang hanya ditemukan di habitat tertentu sehingga dapat dijadikan salah satu
penentu kualitas kesehatan hutan (bioindikator). Beberapa spesies yang hanya
dapat ditemukan di habitat hutan primer antara lain: M. cyaneipennis, T. laidlawi,
Libellago hyalina, Rhinocypha humeralis, Amphicnemis bebar, dan
L.malacodora.
DAFTAR RUJUKAN

Anonim. Insect Bioindicators, (Online), (http://www.csulb.edu/~dlunderw/


entomology/20-InsectsBioindicators.pdf), diakses tanggal 15 Maret 2015.

Asra, Revis. 2009. Makrozoobentos sebagai Indikator Biologi dari Kualitas Air di
Sungai Kumpeh dan Danau Arang-Arang Kabupaten Muaro Jambi, Jambi.
Biospecies, (Online), 2 (1): 23-25, (http://online-journal.unja.ac.id/index.
php/biospecies/article/download/262/464), diakses 15 Maret 2015.

Fanani, Anggi. 2013. Keberadaan Larva Serangga Phemeroptera, Plecoptera,


dan Trichoptera di Sub DAS Gajah Wong sebagai Indikator Kualitas Air,
(Online), (http://digilib.uin-suka.ac.id/7321/2/BAB%20I,%20V,%20DAF-
TAR%20PUSTAKA.pdf), diakses 15 Maret 2015.

Jarvis, P.J. 2000. Ecological Principles and Enviromental Issues. Pearson


Education Limited. Harlow, England

Kawuri, Lintang Rina, Mustofa Niti Suparjo, dan Suryanti. 2012. Kondisi
Perairan Berdasarkan Bioindikator Makrobentos di Sungai Seketak
Tembalang Kota Semarang. Journal of Management of Aquatic Resources.
(Online), 1 (1): 1-7, (http://download.portalgaruda.org/article.php?article=
74447&val=4713), diakses 11 Maret 2015.

Komarawidjaja, Wage dan Titiresmi. 206. Teknik Biomonitoring sebagai


Alternatif Tool Pemantauan Kualitas Lingkungan Perairan, (Online),
(http://www.kelair.bppt.go.id/Jtl/2006/khusus2/04bio.pdf), diakses 15 Maret
2015.

Murtianingtyas, Eki. 2006. Identifikasi Invertebrata Makro sebagai Bioindikator


Kualitas Air Sungai Ranu Pakis di Kecamatan Klakah Kabupaten
Lumajang. Skripsi tidak diterbitkan. Jember: Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Jember.

Rachmawati, 2012. BAB II, (Online), (http://eprints.uny.ac.id/9374/3/BAB-2-


008308141019.pdf), diakses tanggal 15 Maret 2015.

Rahman, Arip dan Sri Endah Purnamaningtyas. 2010. Kualitas Biologi Perairan
Situ Cileunca Kabupaten Bandung Jawa Barat Berdasarkan Bioindikator
Plankton, (Online), (http://download.portalgaruda.org/article.php?article=
23352&val=1392), diakses 15 Maret 2015.

Simamora, Rotua Lelawaty, Amran Achmad, dan Inayah Yasir. Tanpa tahun.
Kualitas Air Sungai Bone (Gorontalo) Berdasarkan Bioindikator
Makroinvertebrata, (Online), (http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/d78f702
d6fc5cbed32df6dc084653877.pdf), diakses 15 Maret 2015.

18
19

Sisda, H. 2012. Bentos sebagai Bioindikator Perairan Laut, (Online), (http://id.


scribd.com/doc/194000892/bentos-sebagai-bioindikator-perairan-laut-
makalah-docx), diakses tanggal 15 Maret 2015.

Suheriyanto, D. 2012. Keanekaragaman Fauna Tanah di Taman Nasional Bromo


Tengger Semeru sebagai Bioindikator Tanah Bersulfur Tinggi. Jurnal
Sainstis, 1 (2). (Online), (http://ejournal.uin), diakses 02 Maret 2015.

Syafei, 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Bandung: ITB.

Wakhid, dkk. 2014. Kelimpahan Populasi Capung Jarum (Zygoptera) di Kawasan


Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara. Jurnal Bioslogos,
4 (2). (Online), (http://www. Population Abundance of Damselfly
(Zygoptera) jurnalbioslogos.com), diakses tanggal 02 Meret 2015

Wijaya, Andika. Tanpa tahun. Penggunaan Tumbuhan sebagai Bioindikator


Dalam Pemantauan Pencemaran Udara, (Online), (http://digilib.its.ac.id/
public/ITS-Undergraduate-17195-Paper-594142.pdf), diakses 22 Februari
2015.

Wijaya, Trian Septa, Riche Hariyati. 2009. Struktur Komunitas Fitoplankton


sebagai Bio Indikator Kualitas Perairan Danau Rawapening Kabupaten
Semarang Jawa Tengah, (Online), (http://eprints.undip.ac.id/34459/1/7._
JURNAL_SELULLA_RICHE.pdf), diakses 15 Maret 2015.

Anda mungkin juga menyukai