Anda di halaman 1dari 20

EVALUASI AGROEKOSISTEM BERDASARKAN

KAJIANSTRUKTURDAN FUNGSIKOMUNITAS TUMBUHAN

MAKALAH

untuk memenuhi Tugas MatakuliahEkologi Lanjut


yang dibina oleh Dr. Fatchur Rohman, M.Si

Disusun Oleh:
Kelompok 8 / Kelas A

Fatimah Nurmala Sari


Putu Yuliana Grisnawati
Ummul Hasanah

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCA SARJANA
JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
April 2015
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agroekosistem adalah sistem ekologi yang dimodifikasi manusia dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama bahan makanan. Manusia
telah mengubah ekosistem alam secara luas sejak mulai mengenal pemukiman.
Mereka mengembangkan pertanian dengan membersihkan tanah, membajaknya,
menanam tanaman musiman dan memberikan unsur-unsur yang diperlukan,
seperti pupuk dan air. Setelah menghasilkan kemudian dipanen. Agroekosistem
(ekosistem pertanian) ditandai oleh komunitas yang monospesifik dengan
kumpulan beberapa gulma.
Ekosistem pertanian sangat peka akan kekeringan dan hama/penyakit.
Agroekosistem memiliki kaidah-kaidah ekologi umum yang memiliki khas
tersendiri seperti yang terlihat pada ekosistem sawah dengan ekosistem
lainnya.Kesederhanaan dalam struktur dan fungsi agroekosistem serta
pemeliharaannya untuk mendapatkan hasil yang maksimum, menjadikannya
mudah goyah dan peka akan tekanan lingkungan seperti kekeringan dan
meledaknya hama serta penyakit tanaman lainnya.
Masalah lingkungan serius di pedesaan dan pertanian adalah kerusakan
hutan, meluasnya padang alang-alang, degradasi lahan dan menurunnya lahan
kritis, desertifikasi, serta menurunnya keanekaragaman. Masalah lingkungan ini
sebagai akibat adanya lapar lahan seiring meningkatnya populasi penduduk,
komersialisasi pertanian, masukan teknologi pertanian dan permintaan konsumsi
masyarakat.
Analisis agroekosistem merupakan hal baru yang dikembangkan untuk
memperbaiki kapasitas kita dalam melihat persoalan-persoalan yang muncul dari
penerapan berbagai teknologi di bidang pertanian. Khususnya persoalan yang
muncul sejak Revolusi Hijau.Pendekatan agroekosistem berusaha menanggulangi
kerusakan lingkungan akibat penerapan sistem pertanian yang tidak tepat dan
pemecahan masalah pertanian spesifik akibat penggunaan masukan teknologi
(Sutanto, 2002 dalam Sumarsono, 2006).

1
Berdasarkan latar belakang tersebut maka makalah ini disusun dengan judul
Evaluasi Agroekosistem Berdasarkan KajianStruktur dan Fungsi
Komunitas Tumbuhandengan membahas mengenai pengertian agroekosistem
dan karakteristiknya, struktur dan fungsi komunitas tumbuhan pada agroekosistem
serta evaluasi agroekosistem berdasarkan kajian struktur dan fungsi komunitas
tumbuhannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian agroekosistem?
2. Bagaimanakah karakteristik agroekosistem?
3. Bagaimanakah struktur dan fungsi komunitas tumbuhan pada
agroekosistem?
4. Bagaimanakah evaluasi agroekosistem berdasarkan kajian struktur dan
fungsi komunitas tumbuhannya?

C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan pengertian agroekosistem.
2. Untuk menjelaskan karakteristik karakteristik agroekosistem.
3. Untuk menjelaskan struktur dan fungsi komunitas tumbuhan pada
agroekosistem
4. Untuk menjelaskan evaluasi agroekosistem berdasarkan kajian struktur
dan fungsi komunitas tumbuhannya

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Agroekosistem
Agroekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuhan dan hewan serta
lingkungan kimia dan fisik yang telah dimodifikasimanusia guna menghasilkan
makanan, serat, bahan bakar, dan produklainnya untuk konsumsi dan pengolahan
untuk kebutuhan umatmanusia (Reijntjes et al., 1992 dalam Soejono, 2006).
Dalam Kamus Pertanian Umum,agroekosistem ialah bentuk ekosistem binaan
manusia yang ditujukanuntuk memperoleh produksi pertanian dengan kualitas dan
kuantitasyang sesuai dengan kebutuhan manusia.
Meskipun berkaitan erat, pengertian tentang agroekosistem berbeda
dengan ekosistem. Penciri agroekosistem tidak hanya mencakup unsur-unsur
alami (iklim, topografi, altitude, fauna, flora, jenis tanah, dan lain sebagainya)
tetapi juga unsur-unsur buatan. Bahkan dalam pendekatan pragmatis yang lazim
digunakan mengarah pada unsur-unsur buatan. Hal ini merupakan konsekuensi
logis dari pengaruh kemajuan teknologi dan investasi di bidang infrastruktur.
Sumaryanto dkk (2008) dalam Mayrowani dkk (2010) yang membedakan
agroekosistem menjadi 3: (1) pesawahan, (2) lahan kering (terdiri dari: (i) lahan
kering berbasis tanaman pangan/hortikultura, dan (ii) lahan kering berbasis
tanaman perkebunan), dan (3) agroekosistem pesisir.
Agroekosistem mengacu pada modifikasi ekosistem alami dengan campur
tangan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, serat, dan kayu untuk
memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan manusia (Salikin, 2003 dalam Soejono,
2006). Sebenarnya agroekosistem merupakan padanan pertanian berkelanjutan
(sustainable agriculture) yang dipakai pertama kali sekitar awal tahun1980-an
oleh pakar pertanian FAO (Food Agriculture Organization,1989). Pertanian
berkelanjutan oleh Conway (1990) dalam (Soejono, 2006) juga digunakan dengan
konteks agroekosistem, yang berupayamemadukan antara produktivitas
(productivity), stabilitas (stability),dan pemerataan (equity). Jadi pertanian
berkelanjutan ialah pertanianyang mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya

3
alam dan manusiayang tersedia di tempat, secara ekonomis layak, secara ekologis
mantap, sesuai menurut budaya, dan adil secara sosial.
Ada hubungan erat antara berfungsinya agroekosistem dengan keragaman
hayati dan stabilitas agroekosistem, sehingga menjadi pertimbangan dalam upaya
membangun sistem pertanian berkelanjutan (Shennan, 2008 dalam Evizal, 2009).
Agroekosistem dapat dipandang sebagai sistem ekologi pada lingkungan
pertanian. Melalui sistem ini diharapkan terjadi pengembangan sistem pertanian
yang sesuai dengan kondisi lingkungan. Sehingga dapat meningkatkan
produktivitas tanah sesuai kondisi agroekosistem dilandasi masukan teknologi
rendah dan sekaligus memperbaiki keseimbangan ekosistem karena memadukan
aspek agronomi dan ekologi. Agroekosistem merupakan ekosistem yang
dimodifikasi dan dimanfaatkan secara langsung atau tidak langsung oleh manusia
untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan atau sandang (Sumarsono, 2006).
Agroekosistem memiliki keragaman tanaman dan hewan hampir sama
dimana dapat diharapkan tidak akan berbeda nyata. Faktor iklim merupakan
komponen agroekosistem yang paling sulit untuk dimodifikasi. Komponen iklim
yang paling berpengaruh terhadap keragaman tanaman agroekosistem adalah suhu
dan kelembapan (Amin, 1997dalam Rusna, 2008).

B. Karakteristik Agroekosistem
Karakteristik agroekosistem meliputi faktor-faktor ekosistem, ekonomi,
sosial dan teknologi konservasi yang sesuai dengan daerah setempat. Menurut
Hidayat (2011) ciri-ciri dari agroekosistem adalah sebagai berikut:
1. Agroekosistem sering mengalami perubahan iklim mikro yang mendadak
sebagai akibat tindakan manusia dalam melakukan pengolahan tanah,
penggunaan benih/bibit tanaman yang memerlukan input yang tinggi,
pengairan, penyiangan, pembakaran, pemangkasan, penggunaan bahan-
bahankimia, dan lain-lain.
2. Struktur agroekosistem yang didominasi oleh jenis tanaman tertentu yang
dipilih oleh manusia, beberapa di antaranya merupakan tanaman dengan materi
genetik yang berasal dari luar. Tanaman lain yang tidak mengandung gen asing

4
biasanya diberi perlakuan pemeliharaan untuk perlindungan dari serangan
hama sehingga tanaman tersebut sangat menyerupai induknya.
3. Hampir semua agroekosistem mempunyai diversitas biotik dan spesies
tanaman mempunyai diversitas intraspesifik yang rendah karena manusia lebih
menyenangi pembudidayaan tanaman/varietas tanaman tertentu. Dengan
perkataan lain, secara genetik tanaman cenderung seragam. Biasanya ekosistem
hanya didominasi oleh satu spesies tunggal dan pembersihan spesies gulma
secara kontiniu mengakibatkan kondisi lingkungan menjadi lebih sederhana.
4. Fenologi tanaman seragam, karena untuk memudahkan pengelolaan manusia
menggunakan tanaman yang mempunyai tipe dan umur yang seragam.
Contohnya: waktu pembungaan atau pembentukan polong pada semua tanaman
terjadi pada waktu yang hamper bersamaan.
5. Pemasukan unsure hara yang sangat tinggi mengakibatkan menjadi lebih
disukai herbivora karena jaringan tanaman kaya unsure hara dan air.
Menurut Edwards (1990) dalam Hermanto (2011), didalam suatu tatanan
agroekosistem, terdapat empat aspek penting yang dapat mendukung terciptanya
keseimbangan agroekosistem, yaitu dijelaskan sebagai berikut:
1. Produktivitas (Productivity)
Produktivitas dapat didefinisikan sebagai suatu tingkat produksi atau
keluaran berupa barang atau jasa, misalnya produktivitas padi/ha/tahun. Hasil
akhir panen atau pendapatan bersih, nilai produksi dibandingkan masukan
sumber. Produktifitas selalu diukur dalam pendapatan per hektar, atau total
produksi barang dan jasa per rumah tangga atau negara. Produktifitas juga dapat
diukur dalam kilogram butiran, ikan atau daging, atau juga dapat dikonversikan
dalam kalori, potein, vitamin atau unit-unit uang. Input sumberdaya dasar adalah
tanah, tenaga kerja,dan modal.Artinya, apabila produktifitas dari suatu
agroekosistem itu tinggi maka hendaknya kebutuhan hidup bagi manusia akan
terpenuhi, dan sepantasnya untuk diupayakan kondisi agroekosistem yang lestari.
Namun, pada kenyataannya upaya konservasi terhadap agroekosistem itu
jarang sekali dilakukan. Seharusnya disusun suatu model pendekatan
agroekosistem yang didesain untuk pencegahan dan pengendalian terjadinya
kemerosotan kualitas sumberdaya lahan dan lingkungan dan tetap

5
mernpertahankan produktivitas pertanian.Karena, sejatinya keterpaduan dua
aspek tersebut merupakan konsepsi pembangunan pertanian berkelanjutan dan
melembagakan aspek ekologi kedalam kebijakan ekonomi.
2. Stabilitas (Stability)
Stabilitas diartikan sebagai tingkat produksi yang dapat dipertahankan
dalam kondisi konstan normal, meskipun kondisi lingkungan berubah. Suatu
sistem dapat dikatakan memiliki kestabilan tinggi apabila hanya sedikit saja
mengalami fluktuasi ketika sistem usaha tani tersebut mengalami gangguan.
Sebaliknya, sistem itu dikatakan memiliki kestabilan rendah apabila fluktuasi
yang dialami sistem usaha tani tersebut besar. Produktifitas menerus yang tidak
terganggu oleh perubahan kecil dari lingkungan sekitarnya. Fluktuasi ini mungkin
disebabkan karena perubahan iklim atau sumber air yang tersedia, atau kebutuhan
pasar akan bahan makanan.Stabil, artinya dalam hal ini tercipta kondisi yang
konsisten terhadap suatu hasil produksi. Namun secara menyeluruh, hal ini sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti variasi curah hujan, serangan hama
periodik, fluktuasi harga, dll.
3. Keberlanjutan (Sustainability)
Kemampuan agroekosistem untuk memelihara produktifitas ketika ada
gangguan besar. Gangguan utama ini berkisar dari gangguan biasa seperti salinasi
tanah, sampai ke yang kurang biasa dan lebih besar seperti banjir, kekeringan atau
terjadinya introduksi hama baru. Aspek keberlanjutansebenarnya mengacu pada
bagaimana mempertahankan tingkat produksi tertentu dalam jangka
panjang.Apakah pada kondisi tertentu produktivitas dapat dipertahankan dari
waktu ke waktu (artinya bisa sustain). Prinsipnya, keberlanjutan melibatkan
kemampuan manajemen pertanian untuk mempertahankan fungsi agroekosistem
(termasuk produksi), meskipun proses-proses ekologi alami yang cenderung
mengubah agroekosistem menuju suatu titik degradasi. Seperti dengan stabilitas,
keberlanjutan (sustainability) memiliki berbagai kebijakan yang terkait dengan
tindakan berbagai produktivitas. Beberapa langkah keberlanjutan bisa tinggi
sementara yang lain rendah untuk agroekosistem yang sama.
4. Pemerataan (Equitability)

6
Aspek ekuitabilitas digunakan untuk menggambarkan bagaimana hasil-
hasil pertanian dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat. Contoh apabila suatu
sistem usaha tani dapat dikatakan memiliki suatu ekuitabilitas atau pemerataan
sosial yang tinggi apabila penduduknya memperoleh manfaat pendapatan, pangan,
dan lain-lain yang cukup merata dari sumber daya yang ada. Indikatornya antara
lain rata-rata keluarga petani memiliki akses lahan yang luasnya tidak terlalu
berbeda atau senjang. Pemerataan biasanya diukur melalui distribusi keuntungan
dan kerugian yang terkait dengan produksi barang dan jasa dari agroekosistem.
Komponen keanekaragaman hayati dalam agroekosistem dapat
dikelompokkan berdasarkan hubungan peranan, fungsi, dan sistem pertanaman
yang terdiri dari:
1. Biota produktif: tanaman, pepohonan, hewan atau ternak yang dipilih oleh
petani, memiliki peranan penting dalam keanekaragaman hayati dan
kekompleksan agroekosistem
2. Sumber-sumber biota: makhluk hidup yang memiliki kontribusi terhadap
penyerbukan, pengendalian hayati, dekomposisi, dan lain-lain.
3. Biota perusak: gulma, serangga hama, mikroba patogen dan lain-lain, yang
dikendalikan oleh petani melalui manajemen budidaya.

C. Struktur Komunitas Tumbuhan pada Agroekosistem


1. Struktur biotik
Kebanyakan tanaman pada agroekosistem merupakan tanaman semusim,
baik anual maupun bianual. Tanaman dipelihara dengan populasi murni,
meskipun beberapa gulma tumbuh bersama-sama tanaman. Tanaman dan gulma
merupakan produsen dan konsumennya terutama herbivora, terdiri atas beberapa
spesies serangga, burung dan mamalia kecil. Populasi dekomposer (pembusuk)
kebanyakan bangsa fungi, bakteri dan nematoda dan sebagainya.
2. Gulma
Menurut Soerjani (1988) dalam Soejono (2006), yang dimaksud gulma
ialah tumbuhan yang peranan, potensi, dan hak kehadirannya belum sepenuhnya
diketahui. Dari aspek ekologi, yang dimaksud gulma adalah tumbuhan pioner atau
perintis pada suksesi sekunder terutama pada lahan pertanian. Gulma dalam

7
agroekosistem mempunyai beberapa peranan penting yaitu sebagai pencegah erosi
tanah, penyubur tanah, dan inang pengganti (alternate host) predator atau
parasitoid serangga hama. Beberapa jenis gulma rumputan yang tumbuh tegak dan
rapat seperti Imperata cylindrica (L.) Beauv., Saccharum spontaneum L., dan
Anastrophus compressus Schlechtend. atau yang tumbuh menjalar seperti
Paspalum conjugatum Berg., Axonopus compessus (Sw.) Beauv., Ischaemum
timorense Kunth, dan Cynodon dactylon (L.) Pers., ternyata dapat menutup dan
melindungi tanah terhadap ancaman erosi (Arsyad, 1989) dalam Soejono (2006).
Jenis-jenis gulma yang merupakan tumbuhan inang predator serangga hama ialah
Ludwigia hyssopifolia (G.Don) Exell sebagai inang Coccinella arquata dan
Synedrella nodiflora (l.) Gaertn. Sebagai inang Cytorhynus lividipenis. Kedua
serangga tersebut adalah pemangsa Nilaparvata lugens (wereng coklat) yang
menyerang padi.
Namun disisi lain, gulma dalam agroekosistem menimbulkan berbagai
masalah yaitu berkompetisi dengan tanaman budidaya terhadap sumberdaya,
mempersulit pemeliharaan tanaman, patogen penyebab penyakit tumbuhan,
menurunkan kualitas dan kuantitas hasil tanaman sehingga mengakibatkan
kerugian finansiil. Gulma agak lebih berbahaya dibandingkan insekta dan
patogen, bersifat statis, menyusun komunitas bersama tanaman budidaya dan
sering menjadi resisten terhadap herbisida (Kohli et al., 2001 dalam Soejono,
2006).
Sejak diketahui bahwa keberadaan gulma dalam agroekosistem dapat
menyebabkan penurunan hasil tanaman, maka manusia berusaha untuk
mengendalikan gulma dengan berbagai cara. Pengendalian gulma digolongkan
menjadi dua kelompok yaitu pengendalian tanpa herbisida (non chemical
methods) dan pengendalian dengan herbisida (chemical method).
a. Pengendalian gulma tanpa herbisida meliputi cara pencegahan (prevention),
cara mekanis (mechanical methods), cara hayati (biological method) dan cara
kultur teknis (cultural methods). Cara pencegahan ialah suatu tindakan untuk
menghalangi masuknya suatu jenis gulma ke suatu daerah atau lahan tertentu.
Dengan karantina tumbuhan, masuknya jenis gulma baru ke Indonesia dapat
dicegah atau dikurangi.Pengendalian gulma secara mekanis merupakan suatu

8
tindakan merusak gulma secara fisik dengan alat-alat pertanian dari yang
paling sederhana sampai modern (mempergunakan alat berat). Pengendalian
secara mekanis ini meliputi pembajakan (tillage), penyiangan (hand pulling),
pendangiran (hoeing), pemotongan (mowing) atau pembabatan (slashing), dan
pembakaran (burning) atau pelayuan (flaming) (Soejono, 2006).
b. Pengendalian gulma secara kimiawi dengan herbisida banyak diminati
terutama pada lahan pertanian yang cukup luas karena lebih efektif dan efisien
dibandingkan cara mekanis. Dalam melakukan pengendalian gulma secara
kimiawi, yang perlu dipertimbangkan ialah dampak terhadap organisme bukan
sasaran seperti predator dan parasitoid hama serta jenis-jenis gulma yang
digunakan sebagai tumbuhan inangnya. Pemberantasan (eradication) gulma
secara total hendaknya dihindari. Gulma seharusnya dikelola secara benar,
hanya jenis-jenis gulma yang berbahaya dan betul-betul merugikan (noxious
weed)yang dibunuh, sedang jenis-jenis yang berperan positif (sebagai
penyubur tanah, inang predator atau parasitoid hama) hendaknya dilestarikan
(Soejono, 2006).

3. Produsen primer
Untuk mengendalikan gulma terbaik antara lain adalah dengan mengatur
daur hidup bersama dengan tanaman pokok. Penelitian di lapangan menunjukkan
ada indikasi bahwa gulma sangat bervariasi tergantung tipe tanaman dan musim
pertumbuhan. Sifat fisik dan kimia tanah, faktor iklim mikro di dekat permukaan
tanah, memungkinkan adanya variasi kualitatif dan kuantitatif dalam flora gulma
di lapangan pertanian.
Gulma berkompetisi dengan tanaman pokok untuk faktor pertumbuhannya
dan mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hasil. Biomassa merupakan yang
baik untuk struktur komunitas. Tidak seperti komunitas alam, biomassa tanaman
tetap bertambah dari permulaan, stadium pertumbuhan vegetatif sampai panen.
Nilai biomassa tanaman yang diperoleh waktu panen memperlihatkan
variasi yang lebar di antara tanaman yang berbeda di pertanaman monokultur.
Kecuali ubi-ubian, perbandingan yang lebih besar penimbunan bahan kering
terjadi di batang. Akar menempati proporsi yang kecil dari keseluruhan biomas

9
(15-20%). Dengan demikian perbandingan akar dan batang kecil (0,1-0,3) di
tanaman pertanian. Perbandingan itu bervariasi antara 0,8 - 3,1 di padang rumput
yang didominasi oleh rumput tahunan dan legum memperlihatkan akumulasi
biomas bagian dalam tanah lebih besar.
Luas daun tanaman merupakan pengukuran terbaik untuk besarnya
fotosintesis dan pengukuran luas daun yang lebih praktis untuk lapangan pertanian
dengan hasil ditunjukkan per unit luas lahan, ialah luas daun per unit luas lahan
(LAI). Komunitas tanaman pertanian mempunyai nilai rata-rata antara 6 - 13
(hutan) dan 3 - 15 (rumput-rumputan). Dalam tanaman semusim LAI terus naik
dengan bertambahnya umur dan menuju puncak pada pembungaan yang
kemudian turun. Perhitungan lebih jauh dalam LAI tidak membawa efek positif
pada produksi bersih karena harus mengimbangi kehilangan respirasi. Sudut daun
dan posisinya berinteraksi dengan LAI dalam peranan penetrasi cahaya ke dalam
kanopi. Daun yang tegak dengan sudut yang kecil/tajam semacam rumput-
rumputan menyebabkan distribusi cahaya yang lebih efisien dalam kanopi
daripada yang horizontal.
Umur tanaman dan komposisi kimia membawa pengaruh terhadap variasi
kandungan energi. Di beberapa varietas pada kandungan energi yang tinggi terjadi
selama pertumbuhan vegetatif dari awal. Pada gandum dan rumput
memperlihatkan konsentrasi kalori berhubungan dengan berubahnya
perbandingan lemak, karbohidrat dan protein dalam tanaman. Lemak dan minyak
merupakan organ yang diperkaya energi. Pola akumulasi energi di beberapa
varietas padi terjadi selama fase pertumbuhan vegetatif.
Pada permulaan menunjukkan 41 - 53% dari titik energi diakumulasi di
helaian daun dan 16 - 23% di akar. Akumulasi energi di batang secara bertahap
meningkat sesuai dengan meningkatnya berat tanaman. Tingkat kemasakan 85 -
90%, total energi diperlihatkan oleh biomas dalam bentuk biji dan daun, dan
sisanya 10 - 15% berupa batang dan akar.
4. Konsumen
Karena produsen yang homogen, maka hanya beberapa binatang yang
sesuai saja yang mengambil bagian dalam agroekosiste. Rantai makanan sangat
sederhana dengan 2 - 3 tingkatan trofik. Lebih-lebih dengan beberapa aktivitas

10
pengolahan tanah, irigasi, penyiangan dan sebagainya yang mempengaruhi
binatang dalam tanah dan terkadang hal ini berpengaruh sangat tegas sehingga
tercipta kondisi baru. Komunitas tanaman hanya dapat dijadikan tempat tinggal
binatang kecil yang hanya datang secara temporer.
5. Pengurai
Karena praktek-praktek pemeliharaan antara lain pemupukan, penggunaan
pestisida serta kecilnya kandungan bahan organik maka mempersempit aktivitas
dekomposer/pengurai dalam ekosistem pertanian.

6. Struktur Abiotik
Praktek bercocok tanam yang berbeda dapat menyebabkan komposisi fisik
dan kimiawi tanah yang berbeda. Pemupukan kimia, irigasi dan pola drainase
menyebabkan perbedaan kualitas tanah. Ciri-ciri tanah pertanian :
Mudah tererosi
lapisan kesuburan 30 cm
akumulasi garam di lapisan bawah (pelindian)
miskin bahan organik
Untuk mengevaluasi struktur abiotik agroekosistem kita dapat mengestimasi
jumlah nutrien (N, P, K, dan sebagainya) yang ada dalam biomassa dan tanah
pada setiap waktu,sehingga dapat mempertimbangkan pemupukan dan irigasi
yang tepat.

D. Fungsi Komunitas Tumbuhan pada Agroekosistem


Fungsi tumbuhan dalam suatu agroekosistem terkait dengan konsep
produktivitas tumbuhan. Produktivitas adalah laju produksi zat-zat organic dalam
suatu ekosistem, yang dimulai dengan konversi energy cahaya matahari menjadi
zat-zat organic melalui fotosintesis pada tumbuhan hijau (Ramli, 1989).
1. Produktivitas primer
Dari tinjauan produktivitas organik dengan masukan energi, agroekosistem
dunia saat ini menghasilkan 10 milyar ton bahan kering/tahun. Cahaya matahari
yang masuk ke kanopi tanaman digunakan dalam proses fotosintesis yang
menghasilkan kekuatan dalam produktivitas organik. Sejumlah tanaman penting

11
(jagung, gula, shorgum dan sebagainya) mempunyai jalur C4. Produktivitas bersih
tanaman C4 lebih tinggi dari tanaman siklus kelvin. Selama puncak musim
pertumbuhan, tanaman mengkonversi 6 - 8% total energi sinar matahari ke bahan
organik dalam produksi kotor. Produksi bersih rata-rata produksi kotor itupun
hanya 50% yang dapat digunanakan untuk heterotrop (hewan dan manusia).
Efisiensi konversi energi berbeda karena :
a. Beda varietas
b. musim pertumbuhan
c. kondisi pertumbuhan/pertanaman
Di samping cahaya dan suhu, sebagai pengendali produksi bersih dalam
agroekosistem adalah kelembaban tanah, nutrisi dan kompetisi baik intra/antar
spesies. Untuk lebih mendalami variasi produksi bahan kering kita perlu
mengetahui beda varietas dan kondisi lingkungan dengan analisis pertumbuhan
(growth analysis) yaitu dengan mendeterminasi :
a. Laju asimilasi per unit luas daun (NAR)
b. Laju produksi bahan kering per unit berat bagian tanaman (RGR)
c. Luas daun per unit luas lahan (LAI)
RGR menentukan produktivitas dan nilai tertinggi pada fase vegetatif
awal untuk menuju NAR yang lebih besar. Tetapi NAR turun karena adanya
peneduhan daun pada puncak periode pertumbuhan vegetatif, RGR menunjukkan
menurun tajam. Penurunan RGR diimbangi dengan peningkatan LAI dan NPP.
Pada waktu tanaman mendekati masak, ukuran relatif akan turun dan juga
efisiensi asimilasinya karena adanya sheding dan senescence yang memungkinkan
RGR turun dengan tajam juga NPP (nilai produksi primer bersih).
Pada tanaman semusim yang merupakan dasar tanaman pertanian
menunjukkan produktivitas/kesatuan luas relatif rendah karena tanaman semusim
hanya produktif untuk masa kurang dari 6 bulan. Penanaman ganda dengan
menggunakan 2 - 3 tanaman yang produksinya sepanjang tahun dapat mendekati
produktivitas kotor komunitas alam yang terbaik.
Suatu perbandingan produktivitas primer bersih musiman komunitas
terestrial memperlihatkan sedikit lebih tinggi untuk tanah yang diusahakan. Lebih
tingginya produktivitas bersih di agroekosistem karena adanya tambahan masukan

12
energi, nutrisi, perbaikan genetika tanaman pertanian dan tindakan pengendalian
serangga.
2. Aliran energi
Tanah pertanian merupakan ekosistem tersubsidi yang diperlukan untuk
membuat kondisi optimum yang diinginkan dengan tujuan efisiensi produsen pada
tingkat batas maksimum. Subsidi itu tentu saja sangat diperlukan, lebih-lebih
dengan waktu singkat harus menghasilkan, seperti pada kebanyakan tanaman
semusim antara 60 - 90 hari saja subsistem produsen mencapai kemasakan dan
efisiensi fotosintesis menurun karena umur.
Pada padi produksi bersih 5 - 60% berbentuk jerami dan biji. Dalam
agrosistem daerah sedang (temperate) lebih dari 50% energi yang dipanen,
digunakan sebagai makanan ternak untuk produksi daging dan susu (protein).
Jerami dan daun jatuh ke tanah dan akar-akar merupakan sumber masukan energi
kimia ke dalam subsistem tanah. Jumlah ini umumnya tidak mencukupi untuk
memelihara kesuburan tanah pada taraf optimum. Energi yang masuk ke dalam
detritus food chain belum banyak diketahui sampai saat ini.
3. Daur nutrisi/bahan
Dalam ekosistem terestrial sumber/mineral dari tanah, secara alami status
nutrisi dipelihara oleh adanya proses daun Biogeokimia. Di dalam agroekosistem
sebagian besar nutrisi terikut sebagai hasil panen dan tidak kembali lagi secara
alami sehingga diperlukan pemupukan. Karena itu daur yang biasa terjadi
terputus/asiklik.

E. Evaluasi Agroekosistem
Berdasarkan kajian struktur dan fungsi komunitas tumbuhan, evaluasi
agroekosistemterkait dengan analisis vegetasi dan analisis produktivitas suatu
komunitas tumbuhan. Analisis vegetasi tumbuhan yaitu mempelajari susunan atau
komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Dalam agroekosistem, satuan
vegetasi yang dipelajari berupa komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi
konkret dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu habitat. Oleh karena
itu, tujuan yang ingin dicapai dalam analisis vegetasi adalah untuk mengetahui
komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah yang dipelajari.

13
Hasil analisis vegetasi tumbuhan disajikan secara deskripsi mengenai
komposisi spesies dan struktur komunitasnya. Struktur suatu komunitas tidak
hanya dipengaruhi oleh hubungan antar spesies, tetapi juga oleh jumlah individu
dari setiap spesies organisme. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa kelimpahan relatif
suatu spesies dapat mempengaruhi fungsi suatu komunitas, distribusi individu
antar spesies dalam komunitas, bahkan dapat memberikan pengaruh pada
keseimbangan sistem dan akhirnya berpengaruh pada stabilitas
komunitas.Komponen yang harus diketahui dan dijadikan sebagai dasar
penentuan struktur dan komposisi vegetasi adalah kerapatan, kerapatan relatif,
frekuensi relatif, dominansi relatif, indeks nilai penting dan indeks similaritas.
Analisis produtivitas tumbuhan berkaitan dengan kontribusi tumbuhan
terhadap lingkungannya, dalam hal ini yaitu agroekosistem. Produktivitas dapat
dibedakan dalam dua bentuk, yaitu produktivitas primer, yang meliputi produksi
materi organik baru pada tumbuhan atau autotrof dan produktivitas sekunder,
yang meliputi produksi materi organik baru pada hewan atau heterotrof.
Dari hasil analisis vegetasi dan hasil analisis produktivitas kesimpulan yang
didapat dilanjutkan ke evaluasi. Dengan harapan hasil dari evaluasi tersebut akan
ditemukan suatu formula tentang pengelolaan bagi agroekosistem tersebut.
Pengelolaan agroekosistem yang baru tersebut diharapkan mampu meningkatkan
hasil maksimal dengan menekan resiko kerusakan agroekosistem seminimal
mungkin.

F. Contoh Penelitian
1. Struktur Komunitas Tumbuhan Liar dan Arthropoda sebagai Komponen
Evaluasi Agroekosistem di Kebun Teh Wonosari Singosari Kabupaten
Malang (Disertasi oleh Dr. Fatchur Rahman, M.Si., Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya)
Penelitian ini mengkaji struktur komunitas tumbuhan liar di area kebun
teh Wonosari, Singosari, Kabupaten Malang. Selain itu juga mengkaji struktur
komunitas Arthropoda dan kepadatan populasi Wereng daun teh Empoasca
sp di kanopi tanaman teh.
Disebutkan bahwa kebun teh Wonosari telah menerapkan sistem Early
Warning System (EWS) dalam mengendalikan hama maupun patogen

14
penyerang daun teh menarik untuk dikaji dan dievaluasi berdasarkan aspek
ekologi, baik secara struktur maupun fungsi. Tiga tahap penelitian ini, yaitu
sebagai berikut.
a. Pertama, survei untuk mengkaji struktur dan komposisi komunitas
tumbuhan liar, keanekaragaman dan kelimpahan organisme Arthropoda
dan kepadatan populasi wereng daun teh Empoasca sp di area kebun teh
tersebut.
b. Selanjutnya uji preferensi predator generalis terhadap beberapa jenis
tumbuhan liar.
c. Dan tahap terakhir, uji potensial tumbuhan liar terpilih dalam peningkatan
keanekaragaman Arthropoda di kanopi tumbuhan uji.
Dari penelitian itu ditemukan, struktur komunitas tumbuhan liar sekitar
kebun teh menunjukkan adanya variasi tipe komunitas, Terdapat 10 jenis
tumbuhan yang dominan, yaitu Centella asiatica, Borreria repens, Setaria
sp, Biden pilosa, Synedrella nodiflora, Thunbergia alata, Centrosoma
pubescens, Oplisminus compositus, Ageratum conyzoides, dan Solanum
nigrum. Struktur komunitas Arthropoda dapat ditunjukkan berdasarkan tingkat
keanekaragaman, kelimpahan, dominasi takson dan komposisi niche
Arthropoda, baik di kanopi maupun di permukaan tanah. Beberapa di antara
takson yang ditemukan merupakan predator generalis Wereng daun
teh Empoasca sp yakni Kumbang Kubah/Curinus (Coccinellidae), Laba-laba
bermata tajam/Oxyopes (Oxyopade) dan Belalang Sembah/Hymenopus
(Mantidae). Beberapa jenis tumbuhan liar dominan berpotensi sebagai
tumbuhan refugia karena dapat menarik Kumbang Kubah, Laba-laba bermata
tajam, dan belalang sembah setelah dilakukan uji preferensi di laboratorium.
Jenis-jenis tumbuhan liar seperti Synedrella nodiflora, Centella
asiatica, Setaria sp, tanaman kombinasi,Borreria repens dan Arachis
pentoi dapat meningkatkan keanekaragaman Arthropoda di kanopi tersebut.

15
2. Karakteristik Zone Agroekosistem dan Kesesuaian Lahan di Lereng
Selatan Gunung Batukaru Kabupaten Tabanan (I Wayan Rusna,
Fakutas pertanian Universitas Udayana)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik agroekosistem,
kesesuaian lahan dan faktor pembatasnya pada lereng selatan Gunung
Batukaru, Kabupaten Tabanan. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan
satuan agroekosistem dengan metode survei lapangan.
Berdasarkan kesamaan komponen utama pembentuk agroekosistem
(iklim, fisiografi, dan jenis tanah), toposekuen lereng selatan Gunung
Batukaru dapat dibedakan menjadi 5 zone agroekosistem. Berdasarkan tipe
penggunaan lahannya yang utama masing-masing zone agroekosistem 1, 2,
dan 3 dapat dibagi lagi menjadi 2 sub zone agroekosistem. Adapun kelima
zone agroekosistem tersebut, beserta sub zone agroekosistemnya secara
berurutan dari selatan (pantai) kearah utara dapat dilihat pada Gambar 1,
sedangkan karakteristik masing-masing zone agroekosistem dilampirkan
dalam bentuk jurnal pada makalah ini.

Gambar 1. Zone Agroekosistem pada Lereng Selatan Gunung Batukaru Kabupaten


Tabanan

16
Penggunaan lahan pada masing masing zone agroekosistem lereng selatan
gunung batu karu adalah sawah dan tegalan pada zone 1, sawah dan kebun kelapa
pada zona 1 sawah dan perkebunan kopi pada zone 3 kebun kopi pada zona 4 dan
hutan lindung pada zone 5.
Karakteristik lahan zona agroekosistem 1 adalah cukup sesuai untuk
tanaman padi sawah dan sesuai marginal untuk tegalan, zona 2 cukup sesuai untuk
tanaman padi sawaah dan sesuai marginal untuk kebun kelapa, zona 3 sesuai
marginal untuk tanaman padi sawah dan kopi zona 4 cukup sesuai untuk tanaman
kopi dan zona 5 merupakan hutan alam yang ditetapkan sebagai hutan lindung.
Faktor pembatas yang terdapat pada zone agroekosistem adalah pada zone
agroekosistem 1 adalah tekstur tanah dan K2O pada tanaman padi sawah, dan
nitrogen totol pada lahan tegalan, zona agroekosistem 2 terhadap faktor
pembatasan nitrogen P2O5 dan K2O pada lahan sawah, dan nitrogen pada lahan
kbun kelapa, zone agroekoistem 3 terdapat faktor pembatasan nitrogen dan
kemiringan lereng pada kebun kopi serta nitrogen dan P2O5 pada tanah sawah, dan
zona agroekositem 4 terdapat faktor pembatasan k

17
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Agroekosistem mengacu pada modifikasi ekosistem alami dengan campur
tangan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, serat, dan kayu untuk
memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan manusia.
2. Karakteristik agroekosistem yaitu:sering mengalami perubahan iklim
mikro, didominasi oleh jenis tanaman tertentu, hampir semua
agroekosistem mempunyai diversitas biotik dan spesies tanaman
mempunyai diversitas intraspesifik yang rendah, fenologi tanaman
seragam, adanya pemasukan unsur hara yang sangat tinggi sehingga lebih
disukai herbivora karena jaringan tanaman kaya unsur hara dan air.
3. Empat aspek penting yang dapat mendukung terciptanya keseimbangan
agroekosistem, yaitu: produktivitas, stabilitas, keberlanjutan, dan
pemerataan.
4. Evaluasi agroekosistem terkait dengan analisis vegetasi dan analisis
produktivitas suatu komunitas tumbuhan. Analisis vegetasi tumbuhan
yaitu mempelajari susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur
vegetasi. Analisis produtivitas tumbuhan berkaitan dengan kontribusi
tumbuhan terhadap lingkungannya, dalam hal ini yaitu agroekosistem.
5. Lereng selatan Gunung Batukaru dapat dipilah menjadi 5 zone
agroekosistem. Dari kelima zone tersebut, empat zone merupakan daerah
budidaya pertanian dan satu zone merupakan hutan lindung. Karakteristik
lahan zona agroekosistem 1 adalah cukup sesuai untuk tanaman padi
sawah dan sesuai marginal untuk tegalan, zona 2 cukup sesuai untuk
tanaman padi sawaah dan sesuai marginal untuk kebun kelapa, zona 3
sesuai marginal untuk tanaman padi sawah dan kopi zona 4 cukup sesuai
untuk tanaman kopi dan zona 5 merupakan hutan alam yang ditetapkan
sebagai hutan lindung.

18
Daftar Rujukan

Hidayat. 2011. Agroekosistem. Online.


(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26309/4/Chapter%20II
.pdf). Diakses tanggal 18 April 2015

Evizal, Rusdi. 2009. Keragaman Genetik Bakteri Tanah sebagai Indikator


Agroekosistem Kopi Berkelanjutan. Laporan Akhir Kegiatan Hibah
Penelitian untuk Mahasiswa Program Doktor: UGM. Online.
(http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/2144_RusdiE.pdf). 18 April 2015

Hermanto, Arif. 2011. Manajemen Agroekosistem. Online.


(http://ub.ac.id/mastertommy/files/2012/06/LAPORAN-AKHIR-
MANAJEMEN-AGROEKOSISTEM-K1.pdf). Diakses tanggal 18
April 2015

Mayrowani, Henny dkk. 2010. Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian


pada Agroekosistem Lahan Kering. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian. Kementrian Pertanian. Online.
(http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf). 18
April 2015

Sumarsono. 2006. Peran Tanaman Pakan dalam Intervensi Pertanian


Berwawasan Lingkungan. Makalah. Fakultas Peternakan Universitas
Diponegoro. Online.
(http://eprints.undip.ac.id/401/1/PERAN_TANAMAN_PAKAN_Sumar
sono.doc. Diakses tanggal 18 April 2015

Rusna, I Wayan. 2008. Karakteristik Zone Agroekosistem dan Kesesuaian Lahan


di Lereng Selatan Gunung Batukaru Kabupaten Tabanan. Online.
(http://ojs.unud.ac.id Home Vol 8, No 1 Rusna). Diakses tanggal 18
April 2015

Soejono, Toekidjan. 2006. Gulma dalam Agroekosistem: Peranan, Masalah, dan


Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas
Pertanian UGM. Online.
(http:lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/967_pp0911130.pdf). Diakses
tanggal 18 April 2015

19

Anda mungkin juga menyukai