Anda di halaman 1dari 22

EVALUASI AGROEKOSISTEM BERDASARKAN KAJIAN STRUKTUR

DAN FUNGSI KOMUNITAS TUMBUHAN

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Ekologi dan Manajemen Lingkungan


yang diampu oleh Prof. Dr. Ir. Suhadi, M.Si dan Dr. Fatchur Rohman, M.Si

Disusun Oleh Kelompok 10 Off-A 2020:

1. Abdul Rasyid Fakhrun Gani 200341762501

2. Zhangswe Ariandina Putri 200341862535

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN BIOLOGI
DESEMBER
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya berupa kesehatan, waktu, dan kelancaran
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Evaluasi
Agroekosistem Berdasarkan Kajian Struktur dan Fungsi Komunitas
Tumbuhan”. Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Suhadi, M.Si
dan Dr. Fatchur Rohman, M.Si selaku Dosen Pengampu Matakuliah Ekologi dan
Manajemen Lingkungan.
Kami berharap makalah sederhana ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan terutama tentang adaptasi hewan dari ilmu ekologi.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih ditemukan kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap bagi pembaca untuk memberikan
kritik dan saran yang konstruktif dan logis agar tercipta makalah yang baik.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan bisa menjadi wawasan baru yang
menambah ilmu pengetahuan. Sebelumnya kami memohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata yang kurang berkenan. Kami mengucapkan terimakasih atas
perhatiannya.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Malang, 22 Desember 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah2

1.3 Tujuan Makalah 2

BAB II PEMBAHASAN 3

2.1 Pengertian Agroekositem3


2.2 Struktur Komunitas dan Karakteristik Agroekosistem 4
2.3 Fungsi Komunitas Tumbuhan Pada Agroekosistem 10
2.4 Evaluasi Pada Agroekosistem 15
BAB III PENUTUP 18
3.1 Kesimpulan 18
3.2 Saran 18
DAFTAR RUJUKAN 19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Agroekosistem merupakan ekosistem hasil pengelolaan ekosistem untuk
menghasilkan pangan, pakan, serat dan energi untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Pengelolaan ekosistem di lingkungan pertanian mempengaruhi keberlangsungan dan
produktivitas pertanian. Di dalam ekosistem pertanian terjadi interaksi antar komunitas
tumbuhan dan hewan serta lingkungan kimia dan fisik (Brotodjojo, 2009).
Ekosistem pertanian atau agroekosistem adalah faktor kunci dalam pemenuhan
kebutuhan pangan suatu bangsa (Prayoga et al., 2011). Agroekosistem memiliki kaidah-
kaidah ekologi umum yang memiliki khas tersendiri seperti yang terlihat pada ekosistem
sawah dengan ekosistem lainnya.Kesederhanaan dalam struktur dan fungsi agroekosistem
serta  pemeliharaannya  pemeliharaannya untuk mendapatkan mendapatkan hasil yang
maksimum, maksimum, menjadikannya menjadikannya mudah goyah dan peka akan
tekanan lingkungan seperti kekeringan dan meledaknya hama serta penyakit tanaman
lainnya. Masalah lingkungan serius di pedesaan dan pertanian adalah kerusakan hutan,
meluasnya padang alang-alang, degradasi lahan dan menurunnya lahan kritis,
desertifikasi, serta menurunnya keanekaragaman. Salah satu masalah utama dalam
peningkatan produksi tanaman sayuran adalah adanya serangan hama. Penggunaan
insektisida kimiawi untuk mengendalikan hama dapat menimbulkan dampak negatif yaitu
ketidakstabilan agroekosistem (Melhanah et al., 2015).
Permasalahan argoekosistem menyebabkan pentingnya analisis dan evaluasi dari
ekosistem tersebut. Khususnya Khususnya permasalahan yang dapat menurunkan
produksi agroekosistem tersebut. Hal yang perlu dikembangkan adalah pengelolaan
agroekosistem dari hasil analisis tersebut. Pengelolaan agroekosistem tidak hanya
mengedepankan tingginya produktivitas, tetapi juga mempertimbangkan aspek
lingkungan dan keberlanjutannya bagi generasi mendatang (Brotodjojo, 2009).
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka sangat penting untuk menulis
makalah yang berjudul “Evaluasi Agroekosistem Berdasarkan KajianStruktur dan Fungsi
Komunitas Tumbuhan”dengan membahas mengenai pengertian agroekosistem, struktur,
fungsi komunitas dan evaluasi agroekosistem berdasarkan kajian struktur dan fungsi
komunitas tumbuhannya. Penulisan makalah ini dapat menambah wawasan penulis dan

1
pembaca untuk mempelajaran materi agroekosistem pada mata kuliah Ekologi dan
Manajemen Lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, adapun rumusan makalah teori ini, sebagai
berikut:
1. Apakah pengertian agroekosistem?
2. Bagaimanakah struktur dan karakteristik agroekosistem?
3. Bagaimanakah fungsi komunitas tumbuhan pada agroekosistem?
4. Bagaimanakah evaluasi pada agroekosistem?

1.3 Tujuan Makalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, adapun tujuan makalah teori ini, sebagai
berikut:
1. Untuk menjelaskan pengertian agroekosistem
2. Untuk menjelaskan struktur dan karakteristik agroekosistem
3. Untuk menjelaskan fungsi komunitas tumbuhan pada agroekosistem
4. Untuk menjelaskan evaluasi pada agroekosistem

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Agroekosistem

Agroekosistem merupakan sistem pertanian berkelanjutan akan dapat menjamin


ketersediaan pangan dalam jangka panjang tanpa tanpa mengorbankan kepentingan
generasi mendatang untuk mendapatkan lingkungan yang sehat (Brotodjojo, 2009).
Agroekosistem merupakan ekosistem yang dimodifikasi dan dimanfaatkan secara
langsung atau tidak langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan
atau sandang (Sumarsono, 2006). Agroekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuhan
dan hewan serta lingkungan kimia dan fisik yang telah dimodifikasi manusia guna
menghasilkan makanan, serat, bahan bakar, dan produklainnya untuk konsumsi dan
pengolahan untuk kebutuhan umatmanusia (Reijntjes et al ., 1992 dalam  Soejono, 2006).
Agroekosistem tidak hanya mencakup unsur-unsur alami (iklim, topografi, altitude,
fauna, flora, jenis tanah, dan lain sebagainya) tetapi juga unsur-unsur buatan manusia.
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari pengaruh kemajuan teknologi dan investasi di
bidang infrastruktur. Sumaryanto dkk., (2008) dalam  Mayrowani dkk., (2010) yang
membedakan agroekosistem menjadi 3: (1) pesawahan, (2) lahan kering (terdiri dari: (i)
lahan kering berbasis tanaman pangan/hortikultura, dan (ii) lahan kering berbasis
tanaman perkebunan), dan (3) agroekosistem pesisir. Agroekosistem mengacu pada
modifikasi ekosistem alami dengan campur tangan manusia untuk menghasilkan bahan
pangan, serat, dan kayu untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan manusia (Salikin,
2003 dalam Soejono, 2006).
Agroekosistem juga disebut dengan padanan pertanian berkelanjutan ( sustainable
sustainable agriculture agriculture) yang dipakai pertama kali sekitar awal tahun1980-an
oleh pakar pertanian FAO (Food Agriculture Organization,1989). Pertanian
berkelanjutan oleh Conway (1990) dalam (Soejono, 2006) juga digunakan dengan
konteks agroekosistem, yang berupayamemadukan antara produktivitas (productivity),
stabilitas (stability),dan pemerataan (equity). Jadi pertanian  berkelanjutan  berkelanjutan
ialah pertanianyang pertanianyang mengoptimalkan mengoptimalkan pemanfaatan
pemanfaatan sumberdaya alam. Ada hubungan erat antara berfungsinya agroekosistem
dengan keragaman hayati dan stabilitas agroekosistem, sehingga menjadi pertimbangan

3
dalam upaya membangun sistem pertanian berkelanjutan (Shennan, 2008 dalam Evizal,
2009).
Agroekosistem dapat dipandang sebagai sistem ekologi pada lingkungan  pertanian.
Melalui Melalui sistem ini diharapkan diharapkan terjadi terjadi pengembangan
pengembangan sistem pertanian pertanian yang sesuai dengan kondisi lingkungan.
Sehingga dapat meningkatkan  produktivitas  produktivitas tanah sesuai kondisi kondisi
agroekosistem agroekosistem dilandasi dilandasi masukan masukan teknologi teknologi
rendah dan sekaligus memperbaiki keseimbangan ekosistem karena memadukan aspek
agronomi dan ekologi. Agroekosistem sawah mempunyai keragaman flora dan fauna
yang rendah sehingga keseimbangan yang tercipta bersifat labil (Hendrival et al., 2017).
Agroekosistem memiliki keragaman tanaman dan hewan hampir sama dimana dapat
diharapkan tidak akan berbeda nyata. Faktor iklim merupakan komponen agroekosistem
yang paling sulit untuk dimodifikasi. Komponen iklim yang paling berpengaruh terhadap
keragaman tanaman agroekosistem adalah suhu dan kelembapan (Amin, 1997
dalam Rusna, 2008). Dan agroekosistem merupakan penyederhanaan dari
keanekaragaman hayati alami menjadi tanaman dalam bentuk monokultur yang
memerlukan perlakuan secara konstan berupa pemberian agrokimia (Prakoso, 2017).

2.2 Struktur Komunitas dan Karakteristik Agroekosistem

2.2.1. Struktur Komunitas Pada Agroekosistem


Struktur komunitas pada agroekosistem dibagi menjadi dua, yaitu struktur biotik
dan struktur abiotik, yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Struktur Biotik, terdiri dari sebagai berikut:
a. Gulma, Menurut Soerjani (1988) dalam  Soejono (2006), yang dimaksud gulma
ialah tumbuhan yang peranan, potensi, dan hak kehadirannya belum sepenuhnya
diketahui. Dari aspek ekologi, diketahui. Dari aspek ekologi, yang dimaksud
gulma yang dimaksud gulma adalah tumbuhan pioner atau adalah tumbuhan
pioner atau  perintis  perintis pada suksesi suksesi sekunder sekunder terutama
terutama pada lahan pertanian. pertanian. Gulma dalam 8 agroekosistem
mempunyai beberapa peranan penting yaitu sebagai pencegah erosi tanah,
penyubur tanah, dan inang pengganti (alternate host)  predator  predator atau
parasitoid serangga hama. Beberapa jenis gulma rumputan yang tumbuh tegak d

4
putan yang tumbuh tegak dan rapat seperti  Imperata  Imperata cylindrica
cylindrica (L.) Beauv., Saccharum spontaneum L., dan  Anastrophus
Anastrophus compressus compressus Schlechtend. atau yang tumbuh menjalar
seperti  Paspalum  Paspalum conjugatum conjugatum Berg. , Axonopus
Axonopus compessus compessus (Sw.) Beauv. , Ischaemum Ischaemum
timorense Kunth , dan Cynodon dactylon (L.) Pers. , ternyata dapat menutup dan
melindungi tanah terhadap ancaman erosi (Arsyad, 1989) dalam Soejono (2006).
Jenis-jenis gulma yang merupakan tumbuhan inang predator serangga hama
ialah  Ludwigia  Ludwigia hyssopifolia hyssopifolia (G.Don) Exell sebagai
inang Coccinella arquata dan Synedrella nodiflora (l.) Gaertn. Sebagai inang
Cytorhynus lividipenis. Kedua serangga tersebut adalah pemangsa  Nilaparvata
Nilaparvata lugens (wereng coklat) yang menyerang padi.  
Namun disisi lain, gulma dalam agroekosistem agroekosistem
menimbulkan menimbulkan berbagai berbagai masalah yaitu berkompetisi
dengan tanaman budidaya terhadap sumberdaya, mempersulit pemeliharaan
tanaman, patogen penyebab penyakit tumbuhan, menurunkan kualitas dan
kuantitas hasil tanaman sehingga mengakibatkan kerugian finansiil. Gulma agak
lebih berbahaya dibandingkan insekta dan  patogen,  patogen, bersifat bersifat
statis, statis, menyusun menyusun komunitas komunitas bersama bersama
tanaman tanaman budidaya budidaya dan sering menjadi resisten terhadap
herbisida (Kohli et al., 2001 dalam  Soejono, 2006). Sejak diketahui bahwa
keberadaan gulma dalam agroekosistem dapat menyebabkan penurunan hasil
tanaman, maka manusia berusaha untuk mengendalikan gulma dengan berbagai
cara. Pengendalian gulma digolongkan menjadi dua kelompok yaitu
pengendalian tanpa herbisida (non chemical methods) dan pengendalian dengan
herbisida (chemical method).
a) Pengendalian gulma tanpa herbisida meliputi cara pencegahan (prevention),
cara mekanis (mechanical methods), cara hayati (biological method) dan
cara kultur teknis (cultural methods). Cara pencegahan ialah suatu tindakan
untuk menghalangi masuknya suatu jenis gulma ke suatu daerah atau lahan
tertentu. Dengan karantina tumbuhan, masuknya jenis gulma baru ke
Indonesia dapat dicegah atau dikurangi.Pengendalian gulma secara mekanis

5
merupakan suatu 9 tindakan merusak gulma secara fisik dengan alat-alat
pertanian dari yang  paling  paling sederhana sederhana sampai modern
(mempergunakan (mempergunakan alat berat). berat). Pengendalian
Pengendalian secara mekanis ini meliputi pembajakan (tillage), penyiangan
(hand pulling),  pendangiran (hoeing), pemotongan (mowing) atau
pembabatan (slashing), dan  pembakaran (burning) atau pelayuan (flaming)
(Soejono, 2006).  
b) Pengendalian gulma secara kimiawi dengan herbisida banyak diminati
terutama pada lahan pertanian yang cukup luas karena lebih efektif dan
efisien dibandingkan cara mekanis. Dalam melakukan pengendalian gulma
secara kimiawi, yang perlu dipertimbangkan ialah dampak terhadap
organisme bukan sasaran seperti predator dan parasitoid hama serta jenis-
jenis gulma yang digunakan sebagai tumbuhan inangnya. Pemberantasan
(eradication) gulma secara total hendaknya dihindari. Gulma seharusnya
dikelola secara benar, hanya jenis-jenis gulma yang berbahaya dan betul-
betul merugikan (noxious weed)yang dibunuh, sedang jenis-jenis yang
berperan positif (sebagai  penyubur tanah,  penyubur tanah, inang predator
predator atau parasitoid parasitoid hama) hendaknya diles hendaknya
dilestarikan tarikan (Soejono, 2006).
b. Produsen Primer, untuk mengendalikan gulma terbaik antara lain adalah
dengan mengatur daur hidup bersama dengan tanaman pokok. Penelitian di
lapangan menunjukkan ada indikasi bahwa gulma sangat bervariasi tergantung
tipe tanaman dan musim  pertumbuhan. Sifat  pertumbuhan. Sifat fisik dan kimia
dan kimia tanah, faktor tanah, faktor iklim mikro di mikro di dekat permukaan
permukaan tanah, memungkin tanah, memungkinkan adanya variasi kualitatif
dan adanya variasi kualitatif dan kuantitatif dalam uantitatif dalam flora gulma
flora gulma di lapangan pertanian. Gulma berkompetisi dengan tanaman pokok
untuk faktor pertumbuhannya dan mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan
hasil. Biomassa merupakan yang  baik untuk struktur struktur komunitas.
komunitas. Tidak seperti seperti komunitas komunitas alam, biomassa biomassa
tanaman tanaman tetap bertambah dari permulaan, stadium pertumbuhan
vegetatif sampai panen.

6
Nilai biomassa biomassa tanaman tanaman yang diperoleh diperoleh
waktu panen memperlihatkan memperlihatkan variasi yang lebar di antara
tanaman yang berbeda di pertanaman monokultur. Kecuali ubi-ubian,
perbandingan yang lebih besar penimbunan bahan kering terjadi di batang. Akar
menempati proporsi yang kecil dari keseluruhan biomas 10 (15-20%). Dengan
demikian perbandingan akar dan batang kecil (0,1-0,3) di tanaman pertanian.
Perbandingan itu bervariasi antara 0,8 - 3,1 di padang rumput yang didominasi
oleh rumput tahunan dan legum memperlihatkan akumulasi  biomas bagian
dalam tanah lebih besar. Luas daun Luas daun tanaman merupakan tanaman
merupakan pengukuran terbaik pengukuran terbaik untuk besarnya besarnya
fotosintesis dan pengukuran luas daun yang lebih praktis untuk lapangan
pertanian dengan hasil ditunjukkan per unit luas lahan, ialah luas daun per unit
luas lahan (LAI). Komunitas tanaman pertanian mempunyai nilai rata-rata antara
6 - 13 (hutan) dan 3 - 15 (rumput-rumputan). Dalam tanaman semusim LAI terus
naik dengan bertambahnya umur dan menuju puncak pada pembungaan yang
kemudian turun.
Perhitungan lebih jauh dalam LAI tidak membawa efek positif  pada
produksi bersih  pada produksi bersih karena harus karena harus mengimbangi
kehilangan respirasi. mengimbangi kehilangan respirasi. Sudut daun Sudut daun
dan posisinya berinteraksi dengan LAI dalam peranan penetrasi cahaya ke dalam
kanopi. Daun yang tegak dengan sudut yang kecil/tajam semacam
rumputrumputan menyebabkan distribusi cahaya yang lebih efisien dalam
kanopi daripada yang horizontal. Umur tanaman dan komposisi kimia membawa
pengaruh terhadap variasi kandungan energi. Di beberapa varietas pada
kandungan energi. Di beberapa varietas pada kandung kandungan energi yang
tinggi terjadi an energi yang tinggi terjadi selama pertumbuhan vegetatif dari
awal. Pada gandum dan rumput memperlihatkan konsentrasi kalori berhubungan
dengan berubahnya  perbandingan lemak,  perbandingan lemak, karbohidrat dan
karbohidrat dan protein dalam protein dalam tanaman. Lemak tanaman. Lemak
dan minyak merupakan organ yang diperkaya energi. Pola akumulasi energi di
beberapa varietas padi terjadi selama fase pertumbuhan vegetatif. Pada
permulaan menunjukkan 41 - 53% dari titik energi diakumulasi di helaian daun

7
dan 16 - 23% di akar. Akumulasi energi di batang secara bertahap meningkat
sesuai dengan meningkatnya berat tanaman. Tingkat kemasakan 85 - 90%, total
energi diperlihatkan oleh biomas dalam bentuk biji dan daun, dan sisanya 10 -
15% berupa batang dan akar.
c. Konsumen, konsumen pertama sangat berpengaruh dalam rantai makanan suatu
ekosistem (Kusmeri & Rosanti, 2019). Karena produsen agroekoistemyang
homogen, maka hanya beberapa binatang yang sesuai saja yang mengambil
bagian dalam agroekosiste. Rantai makanan sangat sederhana dengan 2 - 3
tingkatan trofik. Lebih-lebih dengan beberapa aktivitas 11  pengolahan
pengolahan tanah, irigasi, irigasi, penyiangan penyiangan dan sebagainya
sebagainya yang mempengaruhi mempengaruhi  binatang  binatang dalam tanah
dan terkadang terkadang hal ini berpengaruh berpengaruh sangat tegas sehingga
sehingga tercipta kondisi baru. Komunitas tanaman hanya dapat dijadikan
tempat tinggal  binatang kecil yang hanya datang  binatang kecil yang hanya
datang secara temporer. secara temporer.
d. Pengurai, karena praktek-praktek pemeliharaan antara lain pemupukan,
penggunaan  pestisida  pestisida serta kecilnya kecilnya kandungan kandungan
bahan organik organik maka mempersempit mempersempit aktivitas aktivitas
dekomposer/pengurai dalam ekosistem pertanian.
2. Struktur Abiotik, di dalam ekosistem pertanian terjadi interaksi antar
komunitas tumbuhan dan hewan serta lingkungan kimia dan fisik (Brotodjojo,
2009). Praktek bercocok tanam yang berbeda dapat menyebabkan komposisi
fisik dan kimiawi tanah yang berbeda. Pemupukan kimia, irigasi dan pola
drainase menyebabkan perbedaan kualitas tanah. Ciri-ciri tanah pertanian :
1. Mudah tererosi
2. lapisan kesuburan ± 30 cm
3. akumulasi garam di lapisan bawah (pelindian)
4. miskin bahan organik
Untuk mengevaluasi struktur abiotik agroekosistem kita dapat
mengestimasi  jumlah  jumlah nutrien nutrien (N, P, K, dan sebagainya)
sebagainya) yang ada dalam biomassa biomassa dan tanah  pada setiap

8
waktu,sehingga waktu,sehingga dapat mempertimbangkan mempertimbangkan
pemupukan pemupukan dan irigasi irigasi yang tepat.

2.2.2. Karakteristik Pada Agroekosistem

Karakteristik agroekosistem meliputi faktor-faktor ekosistem, ekonomi, sosial


dan teknologi konservasi yang sesuai dengan daerah setempat. Menurut (Hidayat, 2011)
ciri-ciri dari agroekosistem adalah sebagai berikut:

1. Agroekosistem sering mengalami perubahan iklim mikro yang mendadak


sebagai akibat tindakan manusia dalam melakukan pengolahan tanah,
penggunaan  penggunaan benih/bibit benih/bibit tanaman tanaman yang
memerlukan memerlukan input yang tinggi, tinggi,  pengairan,  pengairan,
penyiangan, penyiangan, pembakaran, pembakaran, pemangkasan,
pemangkasan, penggunaan penggunaan bahan-  bahankimia, dan lain-lain.
2. Struktur agroekosistem yang didominasi oleh jenis tanaman tertentu yang dipilih
oleh manusia, beberapa di antaranya merupakan tanaman dengan materi genetik
yang berasal dari luar. Tanaman lain yang tidak mengandung gen asing biasanya
biasanya diberi perlakuan perlakuan pemeliharaan pemeliharaan untuk
perlindungan perlindungan dari serangan serangan hama sehingga tanaman
tersebut sangat menyerupai induknya.
3. Hampir semua agroekosistem mempunyai diversitas biotik dan spesies tanaman
mempunyai diversitas intraspesifik yang rendah karena manusia lebih
menyenangi pembudidayaan tanaman/varietas tanaman tertentu. Dengan
perkataan lain, secara genetik tanaman cenderung seragam. Biasanya ekosistem
hanya didominasi oleh satu spesies tunggal dan pembersihan spesies gulma
secara kontiniu mengakibatkan kondisi lingkungan menjadi lebih sederhana.
4. Fenologi tanaman seragam, karena untuk memudahkan pengelolaan manusia
menggunakan tanaman yang mempunyai tipe dan umur yang seragam.
Contohnya: waktu pembungaan atau pembentukan polong pada semua tanaman
terjadi pada waktu yang hampir bersamaan.
5. Pemasukan unsure hara yang sangat tinggi mengakibatkan menjadi lebih disukai
herbivora karena jaringan tanaman kaya unsur hara dan air .

9
2.3 Fungsi Komunitas Tumbuhan Pada Agroekosistem

Fungsi tumbuhan dalam suatu agroekosistem berkaitan dengan konsep produktivitas


tumbuhan. Produktivitas tumbuhan merupakan rata-rata produksi pada luasan lahan
tertentu atau merupakan laju produksi zat-zat organik dalam suatu ekosistem, yang
dimulai dengan konservasi energi cahaya matahari menjadi zat-zat organik melalui
fotosintesis pada tumbuhan hijau (Ramli, 1989).Adapun fungsi komunitas tumbuhan pada
agroeksistem sebagai berikut:

2.3.1. Konsep Produktivitas


Produktivitas adalah laju penambatan atau penyimpanan energi oleh suatu
komunitas dalam ekosistem. Di dalam suatu ekosistem dikenal adanya produsen dan
konsumen sehingga dikenal juga adanya produktivitas oleh produsen dan produktivitas
oleh konsumen. Produktivitas pada aras konsumen disebut produktivitas primer (dasar),
sedangkan pada aras konsumen disebut produktivitas sekunder . Produktivitas ini dibagi
menjadi dua yaitu:
1. Produktivitas primer, adalah laju penyimpanan energi sinar matahari oleh
aktivitas fotosintetik (terutama tumbuhan hijau atau fitoplankton) ke bentuk
bahan organik yang dapat digunakan sebagai bahan makanan. Produktivitas
primer juga merupakan laju pembentukan senyawa organik yang kaya akan
energi dari senyawa anorganik. Pengukuran didasari kepada produksi O2 dalam
aktivitas fotosintesis. Setiap ekosistem atau komunitas memiliki produktivitas
dasar yang disebut dengan produktivitas primer. Batasan produktivitas primer
adalah kecepatan penyimpanan energi potensial oleh organisme produsen
melalui proses fotosintesis dan kemosintesis, dalam bentuk bahan-bahan organik
yang dapat digunakan sebagai bahan pangan. Produktivitas primer dapat dibagai
lagi menjadi dua yaitu:
a. Produktivitas primer kotor, adalah laju total dari fotosintesis termasuk
bahan organik yang dihabiskan dalam respirasi selama waktu
pengukuran yang dikenal juga dengan fotosintesis total
b. Produktivitas primer bersih, adalah laju penyimpanan bahan organik
dalam jaringan tumbuhan setelah digunakan dalam respirasi oleh
tumbuhan selama waktu pengukuran. Produktivitas ini yang akan

10
digunakan oleh tingkatan tropik atau istilah lainnya untuk produktivitas
primer bersih adalah fotosintesis nyata (Odum, 1993).

Produksi primer yang menumpuk pada produsen atau tumbuhan selama


suatu periode tertentu merupakan biomassa tumbuhan. Sebagian dari biomassa ini
akan diganti melalui proses dekomposisi dan sebagian lagi tetap disimpan dalam
waktu yang lebih lama sebagai materi yang berdaur hidup (life cycle). Jumlah
akumulasi materi organik yang hidup pada suatu waktu disebut Standing Crop
Biomass (biomassa hasil bawaan). Dengan demikian, jelas bahwa biomassa
berbeda dengan produksi (produktivitas). Produktivitas komunitas bersih
merupakan laju penyimpanan materi organik oleh produsen, yang tidak digunakan
(dimakan) oleh heterotrof (herbivora). Jadi, produktivitas komunitas bersih
merupakan sisa produktivitas primer sesudah dikurangi yang digunakan
(dikonsumsi) oleh herbivora. Produktivitas primer mempunyai arti yang sangat
penting bagi manusia. Hal ini disebabkan karena produktivitas primer merupakan
salah satu komponen penting dari sumber makanan bagi manusia. Kita sebagai
manusia memiliki salah satu sumber makanan utama yang mengandung
karbohidrat. Karbohidrat ini dihasilkan oleh tumbuhan terutama tanaman serealia,
misalnya padi, jagung, dan gandum. Selain itu ada pula tanaman tebu, kentang,
dan ketela pohon. Selain berfungsi sebagai sumber makanan, tumbuhan juga
berfungsi sebagai penghasil serat-serat yang penting bagi manusia. Demikian pula
dengan kayu yang juga diperlukan oleh manusia untuk material perumahan
meskipun kayu dari tumbuhan bukan berfungsi sebagai sumber makanan (Odum,
1993) (Nurindah, 2015).

2. Produktivitas Sekunder, Produktivitas primer bersih merupakan energi makanan


yang terdapat pada tumbuhan tersedia bagi konsumen. Memang tidak semua
energi yang dapat dimanfaatkan oleh konsumen, misalnya kayu tidak dimakan
oleh herbivora, ulat yang hanya makan daun-daun tertentu dan burung memakan
biji atau buahnya saja. Kemampuan pencernaan konsumen berbeda-beda,
misalnya Belalang hanya mengasimilasi 30% dari rumput yang dimakannya,
Tikus mengasimilasi 85-90% dari apa yang dimakannya. Kemampuan populasi
konsumen untuk mengubah energi yang dikonsumsinya juga berbeda-beda.

11
Invertebrata menggunakan sebanyak 79% dari energi yang diasimilasi untuk
metabolisme dan 21% sisanya disimpan dalam tubuhnya, sedangkan vertebrata
menggunakan 98% dari energi yang diasimilasinya untuk metabolisme. Jadi,
invertebrata justru mampu mengubah energi lebih besar menjadi biomassa
dibandingkan dengan vertebrata. Hal tersebut menunjukkan bahwa efisiensi
penangkapan energi oleh organisme berbeda-beda. Perlu diketahui bahwa hewan
dikelompokkan menjadi dua kelompok energetika. Mereka adalah kelompok
termoregulator atau homoioterm, dan kelompok nontermoregulator atau
poikiloterm. Dalam hal ini poikiloterm lebih efisien dalam mengubah energi
menjadi biomassa dibandingkan dengan homoioterm. Efisiensi asimilasi oleh
poikiloterm hanya sekitar 30% saja dalam mencerna makanan, sedangkan
homoioterm mempunyai efisiensi sebesar 70%. Oleh karena itu, poikiloterm
harus mengkonsumsi lebih banyak kalori untuk memperoleh energi yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan untuk pemeliharaan, pertumbuhan, dan reproduksi,
dibandingkan dengan homoiterm(Odum, 1993).
Laju penyimpanan materi organik oleh konsumen disebut sebagai
produktivitas sekunder. Untuk produktivitas sekunder ini tidak dibedakan
menjadi produktivitas bersih dan produktivitas kasar. Hal ini disebabkan
konsumen hanya menggunakan energi makanan yang dihasilkan oleh produsen,
kemudian mengubahnya menjadi jaringan tubuh konsumen melalui suatu proses
yang menyeluruh. Jumlah energi yang mengalir dalam aras heterotropik adalah
analog dengan produksi kasar pada aras autotropik, dan ini disebut sebagai
asimilasi. Produktivitas sekunder juga mempunyai manfaat yang cukup besar
bagi manusia. Seperti kita ketahui, produktivitas sekunder dapat digunakan
sebagai sumber protein hewani bagi manusia. Manusia di dalam hidupnya tidak
hanya memerlukan karbohidrat saja, tetapi juga memerlukan protein serta lipida.
Keperluan akan protein dan lipida ini harus dicukupi dari produktivitas
sekunder. Protein dan lipida nabati saja tidak akan mencukupi bagi keperluan
manusia bahkan diketahui manusia memerlukan asam amino tertentu yang tidak
terdapat dalam tubuh tumbuhan, tetapi hanya terdapat dalam tubuh hewan
(Odum, 1993) (Nurindah, 2015).
2.3.2. Aliran Energi

12
Dikenal adanya dua hukum termodinamika, yaitu 1) energi tidak dapat
diciptakan atau dimusnahkan, dan energi dapat berubah bentuk, 2) perubahan bentuk
penggunaan energi tidak pernah terjadi secara 100% efisien. Aliran energi dalam alam
semesta atau ekosistem tunduk kepada hukum-hukum termodinamika tersebut. Dengan
proses fotosintesis energi cahaya matahari ditangkap oleh tumbuhan, dan diubah
menjadi energi kimia atau makanan yang disimpan di dalam tubuh tumbuhan. Proses
aliran energi berlangsung melalui proses rantai makanan. Tumbuhan dimakan oleh
herbivora. Dengan demikian, energi makanan dari tumbuhan mengalir masuk ke tubuh
herbivora masuk ke tubuh karnivora. Di alam, rantai makanan tidak sederhana, tetapi
ada banyak, satu dengan yang lain saling terkait atau berhubungan sehingga membentuk
jaring-jaring makanan. Organisme-organisme yang memperoleh energi makanan dari
tumbuhan dengan jumlah langkah yang sama dimasukkan ke dalam aras tropik yang
sama. Makin tinggi aras tropiknya maka makin tinggi pula efisiensi ekologinya

Gambar 1: Aliran energi dan daur materi dalam suatu ekosistem (Jayadi et al.,
1988).
2.3.3. Subsidi Energi

13
Laju produksi (produktivitas) yang tinggi baik pada ekosistem alami maupun
ekosistem buatan terjadi apabila faktor-faktor fisik cocok, terlebih lagi bilamana ada
subsidi energi dari luar. Subsidi energi alami dapat berupa angin, hujan, arus, dan
ombak dan ini sudah barang tentu terjadi pada ekosistem alami. Angin dapat membawa
oksigen, karbon dioksida (CO2) ataupun debu-debu yang dapat dimanfaatkan sebagai
unsur hara bagi tumbuhan maupun organisme lain. Hujan selain memberi air juga
membawa unsur hara. Arus dan ombak maupun air pasang dapat membawa hara dari
laut ke pantai serta ke daerah estuaria yang kemudian dimanfaatkan oleh organisme
yang ada di tempat tersebut.
Manusia juga dapat memberikan subsidi energi pada suatu ekosistem. Sebagai
contoh adalah pada ekosistem pertanian, manusia memberikan subsidi energi berupa
pengolahan tanah, pemberian pupuk, irigasi, pestisida, dan lain-lain. Demikian juga
halnya pada ekosistem perkebunan, tambak, dan kolamkolam perikanan. Dengan
pemberian subsidi energi kepada ekosistem pertanian menyebabkan tanaman tidak
mengeluarkan energi atau mengurangi pengeluaran energi yang digunakan untuk
memperbesar sistem perakaran dalam upaya mencari unsur hara dan air, absorbsi hara
dan air, serta untuk perlindungan terhadap hama, dan lain-lain. Energi yang semestinya
untuk keperluan hal-hal tersebut, dapat digunakan sepenuhnya untuk pertumbuhan
tanaman semaksimal mungkin (ini merupakan produksi bersih). Jadi, subsidi energi
tersebut mengurangi beban pengeluaran energi yang diperuntukkan bagi pemeliharaan
tubuh sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik dan cepat serta akibatnya hasil yang
dapat dipanen oleh manusia juga lebih baik (Jayadi et al., 1988).
2.3.4. Daur Materi
Daur materi terjadi sebagai akibat dari proses makan memakan materi yang
berawal dari daun yang dimakan kambing, kambing, kemudian dimakan oleh manusia,
dan materi manusia jika mati akan dimakan oleh jasad renik atau mikroba di tanah.
Selanjutnya materi yang ada pada mikroba dicerna, kemudian dikeluarkan menjadi
mineral yang dibutuhkan oleh tanah dan akar tumbuh-tumbuhan. Demikian seterusnya
daur materi yang berasal dari tumbuhan akan kembali lagi kepada tumbuhan (Jayadi et
al., 1988).

2.4 Evaluasi Pada Agroekosistem

14
Evaluasi dilaksanakan untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan yang timbul
maupun tingkat keberhasilan yang dapat dicapai dalam pelaksanaan atau pengelolaan
kegiatan agroekosistem. Salah satu upaya untuk menghasilkan agroekosistem yang sehat
adalah dengan memperbanyak keragaman genetik, melalui pola tumpang sari.
Peningkatan keragaman vegetasi melalui sistem tanam tumpang sari merupakan praktek
budidaya yang mudah diterima oleh petani. Walaupun demikian, pemilihan jenis tanaman
yang akan ditumpang sarikan dan sistem tanam yang tepat perlu dipertimbangkan untuk
mendapatkan produktivitas lahan yang optimal dan mempunyai keuntungan sosial dan
ekonomi yang sesuai dengan lokasi setempat (spesifik lokasi). Penerapan sistem tumpang
sari hendaknya tidak menurunkan produksi secara nyata dari tanaman-tanaman yang
dipadukan. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan tentang pengaturan jarak tanam,
populasi tanaman, serta umur panen untuk diterapkan dengan mempertimbangkan aspek
pengendalian hama dan produktivitas lahan yang optimal
Pola ini, selain untuk meningkatkan produktivitas lahan, juga untuk menekan risiko
serangan OPT. Masalah kerusakan tanaman akibat serangan organisme pengganggu
tanaman (OPT) telah menjadi perhatian manusia sejak awal kegiatan budidaya tanaman.
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dalam arti luas adalah semua bentuk gangguan
pada manusia, ternak dan tanaman (Nurindah, 2015).
Organisme pengganggu tanaman ini meliputi hama, patogen, dan gulma. Hama
Tanaman adalah semua hewan, yang karena aktifitas hidupnya, merusak tanaman atau
hasilnya, sehingga menimbulkan kerugian secara ekonomi. Hewan yang dapat menjadi
hama antara lain serangga, tungau, tikus, burung, dan mamalia besar. Patogen Tanaman
adalah semua organisme hidup yang mendapatkan makanan dari tanaman sehingga
tanaman sakit dan menimbulkan kerugian secara ekonomi. Patogen yang dapat
menyebabkan penyakit tanaman antara lain adalah golongan jamur (cendawan), bakteri,
molikut (bakteri tanpa dinding sel), nematoda, protozoa, virus dan viroid (partikel yang
menyerupai virus), serta tumbuhan berbiji tingkat tinggi yang bersifat sebagai parasit.
Gulma Tanaman adalah semua bentuk tanaman yang pertumbuhannya tidak
dikehendaki seperti rumput, semak, dan lain-lain yang dapat mengganggu tanaman
pertanian utama. Belajar dari pengalaman tersebut mulailah dikembangkan konsep
Pengendalian Hama Terpadu (PHT), yaitu pengendalian OPT melalui cara-cara ramah
lingkungan sehingga rantai makanan dalam ekosistem tetap berjalan secara seimbang.

15
Pengganggu tanaman (hama dan patogen) tidak harus dimusnahkan, organisme tersebut
tetap boleh berada di lingkungan pertanian sepanjang aktivitasnya masih bisa ditolerir
sehingga tidak mengganggu produksi pertanian (Jayadi et al., 1988).
Pengelolaan agroekosistem untuk mendapatkan produksi yang berkelanjutan dan
sesedikit mungkin berdampak negatif terhadap lingkungan dan sosial, serta input rendah
dimungkinkan dengan menerapkan prinsip-prinsip ekologi sebagai berikut (Reijntes et
al., 1992):
1) Meningkatkan daur ulang dan optimalisasi ketersediaan dan keseimbangan alur hara.
Prinsip ini dapat dilakukan dengan melakukan rotasi dengan tanaman-tanaman pupuk
hijau.
2) Memantapkan kondisi tanah untuk pertumbuhan tanaman dengan mengelola bahan
organik dan meningkatkan biota tanah. Pemberian biomassa pada lahan akan menambah
bahan organik yang selanjutnya akan meningkatkan biota tanah yang berguna dalam
peningkatan kesuburan tanah.
3) Meminimalkan kehilangan karena keterbatasan ketersediaan air melalui pengelolaan
air. Air dibutuhkan tanaman untuk dapat berproduksi optimal, sehingga ketersediaannya
pada waktu dan jumlah yang cukup, sangat berpengaruh terhadap produktivitas lahan.
Pengelolaan air dapat dilakukan dengan teknik-teknik pengawetan air tanah.
4) Meningkatkan keragaman spesies dan genetik dalam agroekosistem, sehingga terdapat
interaksi alami yang menguntungkan dan sinergi dari komponen-komponen
agroekosistem melalui keragaman hayati.
5) Karakteristik vegetasi yang terdapat di lingkungan agroekosistem
Vegetasi yang terdapat di lingkungan agroekositem didominasi oleh tanaman pangan
(padi dan palawija) untuk di lingkungan persawahan dan tegalan, dan tanaman tahunan
(tanaman-tanaman keras) untuk di lingkungan perkebunan. Khusus di lingkungan sawah,
jenis tanaman yang banyak dibudidayakan adalah tanaman semusim (annual), terutama
padi dan palawija, dan sebagian kecil tanaman dua musim (biennial), misalnya tebu,
dengan sistem monokultur. Kondisi yang demikian itu yang menyebabkan ekosistem ini
rentan terhadap guncangan, baik yang datang dari eksternal, maupun internal. Salah satu
contohnya adalah seringnya terjadi serangan OPT (hama dan penyakit). Sementara itu, di
lingkungan perkebunan, lebih banyak ditanami dengan tanaman tahunan/tanaman keras

16
(perennial), sehingga relatif lebih stabil dibandingkan dengan lingkungan sawah (Jayadi,
2015).

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan materi yang dipaparkan dalam makalah ini maka, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Agroekosistem adalah merupakan ekosistem yang dimodifikasi dan dimanfaatkan
secara langsung atau tidak langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan akan
pangan dan atau sandang atau disebut juga dengan sistem pertanian berkelanjutan.
2. Struktur komunitas agroekosistem terdiri dari struktur biotik, dan struktur abiotik,
Sedangkan komunitas agroekosistem meliputi faktor-faktor ekosistem, ekonomi,
sosial dan teknologi konservasi yang sesuai dengan daerah setempat.
3. Fungsi komunitas tumbuhan pada agroekosistem mencakup konsep produktivitas,
aliran energi, subsidi energi, dan daur nutrisi/bahan.
4. Evaluasi pada agroekosistem dilaksanakan untuk mengindentifikasi berbagai
permasalahan yang timbul maupun tingkat keberhasilan yang dapat dicapai dalam
pelaksanaan atau pengelolaan kegiatan agroekosistem seperti pengendalian OPT
dengan PHT.

17
3.2 Saran
Diharapkan kedepannya dalam penyusunan makalah penulis berpedoman pada
banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, diksusi sharing antar
materi juga perlu mengingat informasi bisa saja menjadi simpang siur dan tumpang
tindih. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan
makalah dalam di atas.

DAFTAR RUJUKAN

Brotodjojo, R. R. R. (2009). Pengendalian Hama dengan Pengelolaan Agroekosistem


dalam Kerangka Pertanian Berkelanjutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan.
Pangan, 18(55), 17–24.
Hendrival, Hakim, L., & Halimuddin. (2017). Komposisi Dan Keanekaragaman
Arthropoda Predator Pada Agroekosistem Padi. Jurnal Floratek, 12(1), 21–33.
Hidayat. (2011). Agroekosistem.
Jayadi, E. M. (2015). Ekologi Tumbuhan. IAIN Mataram Press.
http://repository.ut.ac.id/4431/2/BIOL4411-TM.pdf
Jayadi, E. M., Natawigena, H., & Ekologi, R. L. (1988). Dasar-dasar Perlindungan
Tanaman. IAIN Mataram Press. http://repository.ut.ac.id/4431/2/BIOL4411-TM.pdf
Kusmeri, L., & Rosanti, D. (2019). Struktur Komunitas Zooplankton Di Danau Opi
Jakabaring Palembang. Jurnal Ilmiah Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam,
53(9), 1689–1699.
Melhanah, Supriati, L., & Saraswati, D. (2015). Komunitas Arthropoda Pada
Agroekosistem Jagung Manis Dan Kacang Panjang Dengan Dan Tanpa Perlakuan
Insektisida Di Lahan Gambut (Arthropods Community In Sweet Corn And Long
Bean Agroecosystem Which Treat And Untreated Insecticide In Peatland). Jurnal

18
AGRI PEAT, 16(1), 36–44.
Nurindah. (2015). Pengelolaan Agroekosistem dalam Pengendalian Hama. Perspektif,
5(2), 78–85. https://doi.org/10.21082/p.v5n2.2006.
Odum, E. P. (1993). Dasar-dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press.
Prakoso, B. (2017). Biodiversitas Belalang (Acrididae : Ordo Orthoptera) pada
Agroekosistem (Zea mays L.) dan Ekosistem Hutan Tanaman. Biosfera, 34(2), 80.
https://doi.org/10.20884/1.mib.2017.34.2.490
Prayoga, M. K., Ismail, A., & Karuniawan, A. (2011). Keragaman Hayati Agroekosistem
Ubi Jalar ( Ipomoea batatas ( L .) Lam .) di Desa Cilembu Kabupaten Sumedang
Keragaman Hayati Agroekosistem Ubi Jalar ( Ipomoea batatas ( L .) Lam .) di Desa
Cilembu Kabupaten Sumedang. Proshiding Seminar Nasional: Pemuliaan Tanaman
Berbasis Potensi Dan Kearifan Lokal Menghadapi Tantangan Globalisasi., July.
Ramli, D. (1989). Ekologi. Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi DepartemenPendidikan
dan Kebudayaan.

19

Anda mungkin juga menyukai