Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Pertanian Berkelanjutan Organik

Kelompok 3

Elissa Helena 150510150122

Adella Chintania Putri 150510150123

Wildan Al-Gipari 150510150128

Eleazar Handoyo 150510150132

Maria Kristina 150510150135

Kelas E

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan laporan praktikum ini. Laporan Praktikum ini dibuat sebagai
salah satu tugas mata kuliah Sistem Pertanian Berkelanjutan Organik. Dalam laporan ini kami
memaparkan mengenai penjelasan pertanian organik pada sistem tumpangsari antara tanaman
lobak dengan tanaman kangkung. Penulis berharap laporan ini dapat menambah wawasan
bagi para pembaca dan khususnya bagi kami sebagai penulis.
Kami menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berkenan
memfasilitasi dan memberi koreksi serta saran untuk terselesaikannya laporan ini. Penulis
menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan ini. Oleh karena itu, kami berharap
masukan serta saran yang membangun dari berbagai pihak agar laporan ini dapat lebih baik
lagi. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.

Sumedang, Desember 2017

Penulis

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertanian organik menjadi hal yang saat sedang dikembangkan dengan pesat. Hal ini
dilatarbelakangi dengan masalah dimana semakin jenuhnya pemberian pupuk yang berasal
dari industri. Tanah semakin kering, semakin miskin kandungan hara organik yang pada
akhirnya merugikan petani dan pertanian saat ini. Atas dasar itulah diperlukan upaya dalam
peningkatan kebutuhan bahan organik bagi tanaman. Salah satunya adalah dengan
memanfaatkan sisa-sisa bahan organik unuk diolah menjadi kompos. Kompos merupakan
hasil dari pelapukan bahan-bahan berupa dedaunan, jerami, kotoran hewan, sampah kota dan
sebagainya. Proses pelapukan bahan-bahan tersebut dapat dipercepat melalui bantuan
manusia. Secara garis besar membuat kompos berarti merangsang pertumbuhan bakteri
(mikroorganisme) untuk menghancurkan atau menguraikan bahan-bahan yang dikomposkan
sehingga terurai menjadi senyawa lain.

Proses yang terjadi adalah dekomposisi, yaitu menghancurkan ikatan organik molekul
besar menjadi molekul yang lebih kecil, mengeluarkan ikatan CO2 dan H2O serta penguraian
lanjutan yaitu transformasi ke dalam mineral atau dari ikatan organik menjadi anorganik.
Proses penguraian tersebut mengubah unsur hara yang terikat dalam senyawa organik yang
sukar larut menjadi senyawa organik yang larut sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat
terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang,
pemberian air yang cukup, mengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan.

Secara umum pengertian pengendalian hama secara biologi/hayati adalah penggunaan


makhluk hidup untuk membatasi populasi organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Makhluk
hidup dalam kelompok ini diistilahkan juga sebagai organisme yang berguna yang dikenal
juga sebagai musuh alami, seperti predator, parasitoid, patogen. Dalam hal penggunaan dan
pengendalian mikroorganisme (termasuk virus), pengertian organisme yang berguna
diperluas yaitu meliputi makhluk hidup termasuk yang bersel tunggal, virion, dan bahan
genetik. Pengendalian biologi (hayati) menunjukkan alternatif pengedalian yang dapat
dilakukan tanpa harus memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan dan sekitarnya,

2
salah satunya adalah dengan pemanfaatan agens hayati seperti virus, jamur atau cendawan,
bakteri atau aktiomisetes. Beberapa jamur atau cendawan mempunyai potensi sebagai agens
hayati dari dari jamur patogenik diantaranya adalah Trichoderma spp. (Baker dan Cook,1983
dalam Tindaon, 2008). Jamur Trichoderma spp. digunakan sebagai jamur atau cendawan
antagonis yang mampu menghambat perkembangan patogen melalui proses
mikroparasitisme, antibiosis, dan kompetisi (Mukerji dan Garg, 1988 dalam Rifai, et. al.,
1996).

Potensi jamur Trichoderma spp. sebagai jamur antagonis yang bersifat preventif
terhadap serangan penyakit tanaman telah menjadikan jamur tersebut semakin luas digunakan
oleh petani dalam usaha pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Disamping
karakternya sebagai antagonis diketahui pula bahwa Trichoderm spp. juga berfungsi sebagai
dekomposer dalam pembuatan pupuk organik. Aplikasi jamur Trichoderma spp. Pada
pembibitan tanaman guna mengantisipasi serangan OPT sedini mungkin membuktikan bahwa
tingkat kesadaran petani akan arti penting perlindungan preventif perlahan telah tumbuh.

Selain itu yang tidak kalah penting ialah penggunaan pupuk organik. Pupuk organik
mempunyai kelebihan antara lain meningkatkan kesuburan kimia, fisik, dan biologi tanah,
serta mengandung zat pengatur tumbuh yang penting untuk pertumbuhan
tanaman. Penggunaan pupuk cair dengan memanfaatkan jenis mikroorganisme lokal (MOL)
menjadi alternatif penunjang kebutuhan unsur hara dalam tanah. Larutan MOL
(mikroorganisme lokal) adalah larutan hasil fermentasi yang berbahan dasar berbagai sumber
daya yang tersedia. Larutan MOL mengandung unsur hara makro, mikro, dan mengandung
mikroorganisme yang berpotensi sebagai perombak bahan organik, perangsang pertumbuhan,
dan agen pengendali hama dan penyakit tanaman sehingga baik digunakan sebagai
dekomposer, pupuk hayati, dan pestisida organik. MOL adalah cairan hasil fermentasi yang
mengandung mikroorganisme hasil produksi sendiri dari bahan-bahan alami yang tersedia
disekeliling kita.

Bahan-bahan tersebut merupakan tempat yang disukai oleh mikroorganisme sebagai


media untuk hidup dan berkembangnya mikroorganisme yang berguna dalam mempercepat
penghancuran bahan-bahan organik (dekomposer) atau sebagai tambahan nutrisi bagi
tanaman. Selain itu MOL dapat juga berperan sebagai pestisida hayati karena kemampuanya
dalam mengendalikan beberapa macam organisme pengganggu tanaman (OPT).

3
1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimanakah bertani secara organik terhadap praktikum ini?


2. Bagaimanakah perbandingan dan pertumbuhan lobak dengan tanaman kangkung
dalam prinsip pertanian organik?
3. Bagaimanakah pembuatan serta peran pupuk kompos dalam penerapan prinsip
pertanian organik?
4. Bagaimanakah pembuatan serta peran Trichoderma dalam penerapan prinsip
pertanian organik.
5. Bagaimanakah pembuatan serta peran MOL (Mikroorganisme Lokal) dalam
penerapan prinsip pertanian organik?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui secara teori dan praktik dalam bertani secara organik.


2. Mengetahui perbandingan pertumbuhan tanaman lobak dengan tanaman kangkung
dalam prinsip pertanian organik.
3. Mengetahui cara pembuatan serta peran pupuk kompos dalam penerapan prinsip
pertanian organik.
4. Mengetahui cara pembuatan serta peran Trichoderma dalam penerapan prinsip
pertanian organik.
5. Mengetahui cara pembuatan serta peran MOL (Mikroorganisme Lokal) dalam
penerapan prinsip pertanian organik.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertanian Organik


Pertanian organik adalah sistem pertanian yang holistik yang mendukung
dan mempercepat biodiversiti, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah
(Mayrowani, 2012). Pertanian organik modern didefinisikan sebagai sistem budidaya
pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia
sintetis. Tujuan yang hendak dicapai dalam penggunaan sistempertanian organik
menurut IFOAM antara lain: 1) mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam sistem
usaha tani dengan mengaktifkan kehidupan jasad renik,flora dan fauna, tanah, tanaman
serta hewan; 2) memberikan jaminan yang semakin baik bagi para produsen pertanian
(terutama petani) dengan kehidupan yang lebih sesuai dengan hak asasi manusia untuk
memenuhi kebutuhan dasar serta memperoleh penghasilan dan kepuasan kerja,
termasuk lingkungan kerja yang aman dan sehat, dan 3) memelihara serta
meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan. Adapun pengelolaan pertanian
organik didasarkan pada 4 prinsip yaitu :
1. Prinsip kesehatan
Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap individu dan komunitas tak
dapat dipisahkan dari kesehatan ekosistem; tanah yang sehat akan menghasilkan
tanaman sehat yang dapat mendukung kesehatan hewan dan manusia. Peran
pertanian organik baik dalam produksi, pengolahan, distribusi dan konsumsi
bertujuan untuk melestarikan dan meningkatkan kesehatan ekosistem dan
organisme, dari yang terkecil yang berada di dalam tanah hingga manusia. Secara
khusus, pertanian organik dimaksudkan untuk menghasilkan makanan bermutu
tinggi dan bergizi yang mendukung pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan.
2. Prinsip ekologi
Prinsip ekologi meletakkan pertanian organik dalam sistem ekologi kehidupan.
Prinsip ini menyatakan bahwa produksi didasarkan pada proses dan daur ulang
ekologis. Makanan dan kesejahteraan diperoleh melalui ekologi suatu lingkungan
produksi yang khusus; sebagai contoh, tanaman membutuhkan tanah yang subur,
hewan membutuhkan ekosistem peternakan, ikan dan organisme laut membutuhkan
lingkungan perairan. Budidaya pertanian, peternakan dan pemanenan produk liar
organik haruslah sesuai dengan siklus dan keseimbangan ekologi di alam.

5
3. Prinsip keadilan
Prinsip ini menekankan bahwa mereka yang terlibat dalam pertanian organik
harus membangun hubungan yang manusiawi untuk memastikan adanya keadilan
bagi semua pihak di segala tingkatan; seperti petani, pekerja, pemroses, penyalur,
pedagang dan konsumen. Prinsip keadilan juga menekankan bahwa ternak harus
dipelihara dalam kondisi dan habitat yang sesuai dengan sifat-sifat fisik, alamiah dan
terjamin kesejahteraannya. Sumber daya alam dan lingkungan yang digunakan untuk
produksi dan konsumsi harus dikelola dengan cara yang adil secara sosial dan
ekologis, dan dipelihara untuk generasi mendatang.
4. Prinsip perlindungan
Prinsip ini menyatakan bahwa pencegahan dan tanggung jawab merupakan hal
mendasar dalam pengelolaan, pengembangan dan pemilihan teknologi di pertanian
organik. Ilmu pengetahuan diperlukan untuk menjamin bahwa pertanian organik
bersifat menyehatkan, aman dan ramah lingkungan. Tetapi pengetahuan ilmiah saja
tidaklah cukup. Seiring waktu, pengalaman praktis yang dipadukan dengan
kebijakan dan kearifan tradisional menjadi solusi tepat.
Pertanian organik dalam praktiknya dilakukan dengan cara, antara lain:
a) Menghindari penggunaan benih/bibit hasilrekayasa genetika (GMO = genetically
modified organism);
b) Menghindari penggunaan pestisida kimia sintetis (pengendalian gulma, hama, dan
penyakit dilakukan dengan cara mekanis, biologis, dan rotasi tanaman);
c) Menghindari penggunaan zat pengatur tumbuh (growth regulator) dan pupuk
kimia sintetis (kesuburan dan produktivitas tanah ditingkatkan dan dipelihara
dengan menambahkan pupuk kandang dan batuan mineral alami serta penanaman
legume dan rotasi tanaman);
d) Menghindari penggunaan hormon tumbuh dan bahan aditif sintetis dalam
makanan ternak.

2.2. Keuntungan dan Manfaat Pertanian Organik


Adapun keuntungan dan manfaat pertanian organik yaitu :
a. Tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, baik pencemaran tanah, air,
maupunudara, serta produknya tidak mengandung racun karena tidak menggunakan
pupuk maupun pestisida kimia.
b. Harga jual produk tanaman organik lebih mahal.
6
c. Dapat membantu mengurangi erosi karena pemakaian pupuk organik menjadikan
tanah lebih gembur dan tidak mudah terkikis aliran air.
d. Biaya operasional lebih rendah
Biaya operasional dan pemeliharaan mampu ditekan lebih rendah terutama pada
pupuk dan pestisida.
e. Menghasilkan produk yang lebih berkualitas
Produk pertanian yang dihasilkan lebih aman dan sehat karena tidak menggunakan
input bahan kimia.

2.3. Kangkung Organik


Kangkung ( Ipomoea spp )
merupakan salah satu jenis sayuran yang
tumbuh di daerah tropis , Indonesia terdapat
2 jenis kangkung yang banyak
dibudidayakan yaitu kangkung darat
(Ipomoea reptans) dan juga kangkung air
(Ipomoea aquatica). Tanaman kangkung
darat cenderung memiliki daun yang lebih
Sumber : mediatani.co runcing dan warna yang lebih cerah
sementara kangkung air daunnya berukuran lebih besar dengan warna yang lebih gelap.
Masyarakat biasanya lebih menyukai kangkung darat organik karena selain terlihat
lebih menarik, kangkung darat organik juga memiliki rasa yang lezat dengan tekstur
yang renyah.
Tanaman kangkung sangat cocok dibudidayakan hampir di semua jenis lahan,
baik itu di area perkebunan, di sawah, di tegalan dan lain-lain. Curah hujan menjadi
faktor penentu dalam budidaya menanam kangkung yakni berada pada curah 800-1.200
mm/tahun. Keadaan ketercukupan air sangat penting dan menjadi tolak ukur dalam
kesuksesan budidaya kangkung organik agar menguntungkan bagi para petani.
Syarat tanah yang ideal tergantung dari jenis kangkung, yaitu :
1. Kangkung air membutuhkan lahan yang memiliki banyak air dan lumpur. Bila
kekurangan air, kangkung akan tumbuh lambat dan kerdil, selain itu tanaman juga
menjadi liat atau alot.

7
2. Kangkung darat membutuhkan lahan yang subur dan gembur, kaya akan bahan
organik dan tidak becek. Lahan yang becek menyebabkan akar dan batang
kangkung mudah busuk dan mati.

2.4. Lobak Organik


Lobak (Raphanus sativus) termasuk
tanaman sayuran umbi dari suku kubis-
kubisan (Cruciferne atau Brassicaceae).
Lobak tumbuh di daerah yang beriklim
dingin (sub-tropis). Di daerah yang beriklim
panas (tropis) seperti Indonesia, lobak dapat
tumbuh

Sumber : cybex.pertanian.go.id pada suhu udara yang sejuk antara 15,60-


21,1o C. Tanaman ini tidak tahan terhadap curah hujan yang tinggi selama masa
pertumbuhannya, karena dapat menyebabkan busuknya umbi dan risiko serangan
penyakit cukup tinggi. Tanaman lobak dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran
tinggi (pegunungan) pada ketinggian ± 1.100 m dpl-1.250 m dpl. Kondisi lingkungan
tumbuh yang paling baik untuk tanaman ini adalah di dataran tinggi antara 1.000-1.500
m dpl. Tanah yang dikehendaki untuk tanaman lobak ialah tanah yang gembur dan
subur atau banyak mengandung humus dengan pH 5,0 – 6,0.
Lobak dapat dikonsumsi pada bagian umbi dan daunnya, lobak banyak
mengandung enzim diatase, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin C, vitamin E,
vitamin, minyak atsiri, beta karotin, niasin, mangan, kolin, asam folik, kalsium, zat
besi, fosfor, asam oksalat hingga serat kasar.
Budidaya lobak secara organik saat ini mulai diminati kembali oleh petani dan
konsumen. Budidaya tanaman secara organik adalah suatu budidaya yang dalam
pengelolaanya menggunakan bahan-bahan dasar organik ramah lingkungan yang tidak
meninggalkan residu bagi tanaman maupun lingkungan. Pengembangan pertanian
secara organik dapat dilakukan dari perubahan teknik budidaya atau cara bercocok
tanamnya.

8
BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1. Alat dan Bahan


3.1.1. Alat dan Bahan Pembuatan Kompos
A) Alat
1. Sekop
2. Karung plastik mulsa (hitam / perak)
3. Timbangan
4. Termometer lapangan
5. Kayu pencetak kompos
6. Tali rapia
7. Tong air
8. Emrat
9. Saringan ram kawat
B) Bahan
1. Kotoran ternak bercampur dengan urin sebanyak 80%
2. Sampah / dedaunan, dll sebanyak 15%
3. Dedak 5%
4. Air

3.1.2. Alat dan Bahan Pembuatan Agen Hayati Trichoderma


A) Alat
1. Ember
2. Ose
3. Bunsen
4. Plastik
B) Bahan
1. Biakan murni Trichoderma
2. Dedak
3. Air
3.1.3. Alat dan Bahan Pembuatan Mikroorganisme Lokal (MOL)

9
A) Alat
1. Botol mineral plastik
2. Solder
3. Wadah plastik / toples dan tutupnya
4. Selang
5. Kayu untuk mengaduk
6. Pisau
B) Bahan
1. Rebung atau bonggol pisang
2. Air cucian beras pertama
3. Air

3.1.4. Alat dan Bahan Penanaman Lobak dan Kangkung


A) Alat
1. Tugal
2. Meteran
3. Cangkul
B) Bahan
1. Benih kangkung 250 butir
2. Benih lobak 250 butir

3.2. Metode atau Langkah Kerja


3.2.1. Langkah Kerja Pembuatan Kompos
1. Bahan kompos/sisa-sisa dedaunan dipotong-potong hingga ukuran 2 cm.
2. Bahan kompos/sisa-sisa daun dan kotoran ternak dicampurkan, lalu
dimasukkan ke dalam cetakan bak pengomposan (terbuat dari kayu),
dipadatkan.
3. Diberikan air secara merata hingga 50 – 65% (bila bahan kompos diperas
oleh tangan akan keluar air 3 – 10 tetes).
4. Diberi perlakuan inokulasi dekomposer (dilarutkan dalam 25-50 L air,
dicampur dengan dedak, lalu disiramkan secara merata), bertujuan
mempercepat proses pengomposan.
5. Dosis pemakaian rata-rata sekitar 0,25% (= 2,5 kg dekomposer/ton bahan
kompos).
10
6. Pemberian dilakukan dengan cara ditabur secara bertahap pada tumpukan
kompos menjadi 4 lapisan.
7. Perlakuan aerasi: diberikan dengan tujuan memberikan udara pada
tumpukan bahan kompos. Dilakukan dengan cara pembalikan bahan
kompos secara manual dalam interval waktu 1 minggu sekali.
8. Pembalikan: dilakukan dengan cara membongkar tumpukan kompos dan
menempatkan bagian luar menjadi ke bagian dalam atau sebaliknya
(pembalikan pertama pada hari ke-7).
9. Susunan tersebut disusun kembali dengan menggunakan cetakan kayu, lalu
ditutup kembali dengan plastik hitam.
10. unit-unit pengomposan ditempatkan di lapangan & ditutup dengan terpal
atau plastik hitam untuk menjaga kelembaban selama proses pengomposan
berlangsung. Tiap unit pengomposan memerlukan 5 m plastik hitam agar
bahan kompos tertutup dengan rapat.
11. Pemeliharaan kompos dilakukan dengan membuka tutup plastik
seperlunya. Lalu dilakukan pengukuran dengan menggunakan termometer
digital pada 3 tempat di tumpukan bahan kompos, lalu dirata-ratakan data
pengukuran tersebut.
12. Proses awal pengomposan yang berjalan dengan baik akan dihasilkan
peningkatan suhu bahan kompos. Suhu optimal pengomposan 30 –60oC.
Dilakukan penyiraman dengan air untuk menjaga kelembaban 50 –65%
(bila bahan kompos diperas oleh tangan akan keluar air 3 – 10tetes). Bila
tumpukan bahan kompos terlalu kering maka ditambahkan air.
13. Pemanenan kompos dilakukan jika proses pengomposan telah selesai yaitu
jika suhu tumpukan bahan kompos selama 3 hari berturut-turut ≤ 35oC, dan
tinggi tumpukan bahan kompos tinggal 35 – 60%.
14. Pemanenan dilakukan dengan cara tutup plastik hitam serta tumpukan
bahan kompos dibongkar dan dikering anginkan selama 1 – 3 hari
sehingga kadar air ≤ 12%.
15. Kompos yang sudah jadi (matang) berwarna coklat kehitaman, suhu setara
dengan dengan suhu kamar (± 35oC), tidak berbau atau berbauseperti
tanah.

11
16. Kompos kering diayak dengan kawat ayakan ukuran 1 – 2 cm dan hasil
penyaringan dimasukkan ke dalam karung dan dapat disimpan/langsung
dipakai untuk pupuk.

3.2.2. Langkah Kerja Pembuatan Agen Hayati Trichoderma


1. Alat dan bahan disiapkan.
2. Pembakar bunsen dinyalakan.
3. Biakan murni Trichoderma diambil menggunakan ose yang sudah
disterilisasi dengan dibakar.
4. Lalu biakan murni Trichoderma dimasukkan ke dalam plastik yang sudah
berisi dedak. Langkah ini dilakukan dengan aseptik.
5. Lalu plastik ditutup dan disimpan.
6. Pada praktikum kali ini juga dilakukan pembuatan media pertumbuhan
untuk Trichoderma berupa dedak.
7. Dedak yang sudah disiapkan dimasukkan ke dalam ember.
8. Lalu ditambahkan air hingga kelembaban media mencapai 70 % (dapat
dicek dengan meremas media tersebut, tidak ada air yang menetes namun
media menggumpal).
9. Media tersebut lalu dimasukkan ke dalam plastik dan siap untuk
digunakan.

3.2.3. Langkah Kerja Pembuatan Mikroorganisme Lokal (MOL)


1. Alat dan bahan disiapkan.
2. Bonggol pisang dicacah menggunakan pisau lalu dimasukkan ke dalam
toples.
3. Ditambahkan air cucian beras sampai bonggol pisang terendam, lalu
diaduk menggunakan kayu.
4. Tutup wadah tersebut dilubangi menggunakan solder lalu dipasangkan
selang.
5. Selang tersebut dihubungkan ke botol mineral yang berisi air. Gunanya
untuk mengalirkan CO2 yang terbentuk selama proses fermentasi tersebut.
6. Lalu tutup toples dipasangkan pada wadahnya.
7. Kemudian disimpan hingga proses fermentasi selesai.

12
3.2.4. Langkah Kerja Penanaman Lobak dan Kangkung
1. Dilakukan persiapan lahan yaitu dengan membuat bedengan dengan lebar
80cm dan panjang 5m. Jarak antar bedengan yaitu 40 cm.
2. Pembuatan bedengan dilakukan menggunakan cangkul, bersamaan dengan
pembersihan lahan dari gulma-gulma.
3. Tanah tersebut digemburkan menggunakan cangkul.
4. Kemudian dilakukan aplikasi kompos dengan mnaburkannya diatas
bedengan lalu ditutup dengan tanah tipis.
5. Setelah itu lahan dibiarkan selama satu minggu.
6. Setelah satu minggu, dilakukan penanaman bersamaan dengan aplikasi
Trichoderma.
7. Lubang tanam dibuat menggunakan tugal dengan jarak tanam 20x20 cm.
Satu lubang tanam berisi 2 benih kangkung.
8. Di samping lubang tanam dibuat juga lubang untuk aplikasi Trichoderma.
9. Pada satu bedengan terdapat 2 baris lobak dan satu baris kangkung.
10. Setelah benih ditanam, lubang tanah ditutup kembali dengan tanah.
11. Seminggu setelah penanaman, dilakukan pengaplikasian mikroorganisme
lokal (MOL).
12. Aplikasi MOL dilakukan dengan mengencerkan cairan MOL dengan
menambahkan air.
13. Setelah itu MOL disiramkan pada bedengan yang sudah ditumbuhi
tanaman kangkung dan lobak.
14. Pemeliharaan yang dilakukan selama penanaman lobak dan kangkung
adalah penyiangan, penyiraman dan pembumbunan.

13
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembuatan Kompos

Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan


organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam
kondisilingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik (Modifikasi dari J.H.
Crawford, 2003). Sedangkan proses pengomposan adalah proses dimana bahan organik
mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang
memanfaatkan bahan organiksebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan
mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini
meliputi membuat campuran bahanyang seimbang, pemberian air yang cukup, mengaturan
aerasi, dan penambahan activator pengomposan.

Kompos ini berfungsi untuk memperbaiki kondisi fisik tanah dan sebagai penambah
unsur hara makro dan mikro. Unsur hara penting yang terkandung antara lain N, P, K
dilengkapi dengan unsur Ca, Mg, dan S. Kandungan hara kompos bergantung pada bahan
dasar dari komposnya karena bahan dasar kompos yang berbeda akan menghasilkan
komposisi hara yang berbeda pula (Anjarsari, et al 2007). Selain itu, kompos berfungsi untuk
memperbaiki tekstur dan struktur tanah, meningkatkan daya serap air, menggemburkan tanah
dan meningkatkan efesiensi pemakaian pupuk kimia (Yuniwati, et al 2012).

Dalam praktikum metode yang digunakan yakni metode open window composting.
Merupakan metode yang paling sederhana dan sudah sejak lama dilakukan. Untuk
mendapatkan aerasi dan pencampuran, biasanya tumpukan bahan organik tersebut dibalik
(diaduk). Hal ini juga dapat menghambat bau yang mungkin timbul. Pembalikan dapat
dilakukan baik secara mekanis maupun manual. Sistem windrow seperti ini sudah
berkembang di Indonesia untuk skala kecil, disebut dengan sistem UDPK.

Pengamatan kompos dilakukan 5 kali dengan pengukuran suhu kompos setiap 2 hari
sekali selama 2 minggu dengan menggunakan thermometer lapangan pada 5 titik yang
berbeda.

Tabel 1. Hasil pengamatan kompos

Pengamatan Suhu Kompos (oC)

14
ke-
2 minggu pertama 2 minggu kedua
Titik ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 36.0 39.2 39.9 43.1 46.2 51.2 40.2 41.8 36.7 33.7
2 29.1 36.4 39.7 48.1 46.8 47.3 42.6 41.2 35.8 31.18
3 30.2 38.5 40.7 50.6 49.3 52.6 45.6 42.2 40.2 37.3
4 26.7 34.5 39.4 48.1 48.3 50.1 40.3 41.6 35.6 33.7
5 29.8 32.1 38.4 41.6 43.6 49.8 43.0 39.5 32.7 33.6
Jumlah 151.8 180.7 198.1 231.5 234.2 251 211.3 206.3 181 169.48
Rata-rata 30.36 36.14 39.62 46.3 46.84 50.2 42.26 41.26 36.2 33.9

60

50

40
Suhu

30
suhu
20

10

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pengamatan ke-

Gambar 1. Grafik rata-rata perubahan suhu kompos

Berdasarkan pengamatan dapat terlihat bahwa terjadi peningkatan suhu pada tiap
pengamatan(Gambar 1.). Pada pengamatan 2 minggu pertama pada Tabel 1. terjadi
peningkatan suhu rata-rata dari 30.4oC menjadi 46.8oC. Menurut Sumekto (2006), pada
proses pengomposan yang ideal, tahap pertama yaitu tahap penghangatan (tahap mesofilik),
mikroorganisme hadir dalam bahan kompos secara cepat dan temperatur meningkat.
Pengomposan secara aerobik akan terjadikenaikan temperatur yang cukup kuat selama 3 –5
hari pertama dan temperatur kompos dapatmencapai 55 – 70°C. Dilihat dari
fungsinya,mikroorganisme mesofilik yang hidup pada temperatur rendah (10 – 45°C)

15
berfungsi untuk memperkecil ukuran partikel bahan organik sehingga luas permukaan bahan
bertambah dan mempercepat proses pengomposan. Sementara itu, bakteri termofilik yang
hidup pada temperature tinggi (45 – 65°C) yang tumbuh dalam waktu terbatas berfungsi
untuk mengonsumsi karbohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat terdegradasi
dengan cepat (Djuarnani, dkk., 2008).

Pada pengamatan ke-6 didapatkan suhu rata-rata tertinggi sebesar 50.2oC. Suhu yang
tinggi ini menggambarkan tahapan termofilik yaitu mikroorganisme termofilik hadir dalam
tumpukan bahan kompos. Mikroorganisme termofilik hidup pada suhu 45-60oC dan bertugas
mengkonsumsi karbohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat terdegradasi dengan
cepat. Mikroorganisme ini berupa Actinomycetes dan jamur termofilik. Sebagian dari
Actinomycetes mampu merombak selulosadan hemiselulosa. Kemudian proses dekomposisi
mulai melambat dan temperature puncak dicapai. Setelah temperatur puncak
terlewati,tumpukan mencapai kestabilan, dimana bahan lebih mudah terdekomposisikan.

Pada pengamatan ke-7, suhu rata-rata kompos mulai menurun secara berangsur-
angsur hingga pengamatan ke-10 mencapai 33.9oC. Menurunnya suhu kompos menunjukan
adanya penurunan aktivitas mikroba yang merupakan tahap ketiga yaitu tahap pendinginan
dan pematangan. Pada tahap ini, jumlah mikroorganisme termofilik berkurang karena bahan
makanan bagi mikroorganisme ini juga berkurang, halini mengakibatkan organisme mesofilik
mulai beraktivitas kembali. Organisme mesofilik tersebut akan merombak selulosadan
hemiselulosa yang tersisa dari prosessebelumnya menjadi gula yang lebih sederhana, tetapi
kemampuanya tidak sebaik organisme termofilik. Bahan yang telah didekomposisi menurun
jumlahnya danpanas yang dilepaskan relatif kecil. Menurut Yuniwati (2012) kenaikan suhu
pengomposan melewati batas optimal akan memperlambat penurunan C/N rasio.

Secara alami, pengomposan akan berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai
2 tahun hingga kompos benar-benar matang. Karena penguraian bahan organic berlangsung
dalam waktu yang cukup lama sehingga perlu diperhatikan kondisi optimum. Selain itu, pada
praktikum ini menggunakan konsorsium decomposer untuk mempercepat proses dekomposisi
karena mikroba ini memiliki kemampuan tinggi dalam mendegradasi bahan organik yang
mengandung substrat dan nutrisi bagi mikroba sehingga pengomposan dapat dipercepat
hingga 2 minggu.

Pada praktikum ini, kompos yang dihasilkan tidak berbau, suhu sekitar 30oC dan
berwarna coklat kehitaman sehingga dapat dikatakan berhasil karena kriteria kompos yang

16
baik yaitu tidak berbau atau baunya menyerupai tanah, berwarna coklat kehitaman, terjadi
penyusutan volume sekitar 20-40%.

4.2 Pembuatan Mikroorganisme Lokal

MOL adalah cairan yang berbahan dari berbagai sumber daya alam yang tersedia
setempat. MOLmengandung unsur hara makro dan mikro dan juga mengandung mikroba
yang berpotensi sebagai perombak bahan organik, peransang pertumbuhan dan sebagai agen
pengendalian hama penyakit tanaman.

Pada praktikum yang telah dilakukan, menggunakan air beras dan bonggol pisang
sebagai bahan dasar karbohidrat bagi pertumbuhan mikroba. Bonggol pisang mengandung
gizi yang cukup tinggi dengan komposisi yang lengkap, mengandung karbohidrat (66%),
mempunyai kandungan kadar protein 4,35%, sumber mikroorganisme pengurai bahan
organik atau dekomposer (Munadjim, 1983 dalam Ole 2013). Selain itu, air cucian beras juga
memiliki kandungan nutrisi yang melimpah di antaranya karbohidrat berupa pati sebesar 85-
90 persen, protein glutein, selulosa, hemiselulosa, gula, dan vitamin yang tinggi sehingga
dapat menunjang pertumbuhan mikroba. Menurut Hardinata (2008), secara terperinci bahan
utama dalam MOL terdiri dari 3 bagian jenis komponen antara lain :

 Karbohidrat, pada praktikum ini air tajin dan buah maja dapat digunakan sebagai
sumber karbohidrat
 Glukosa, pada praktikum ini menggunakan gula pasir
 Sumber bakteri, pada praktikum ini buah maja pun digunakan sebagai sumber bakteri

Dalam praktikum ini, pembuatan mol memiliki cara kerja anaerob atau tanpa adanya
sirkulasi udara. Hal ini karena mikroba yang ditumbuhkan pada proses dekomposer bahan-
bahan organik bersifat anaerob sehingga dengan masuknya udara/oksigen pada wadah plastik
akan menyebabkan proses dekomposisi terhambat akibat aktivitas mikroba yang terganggu.

Faktor-faktor yang menentukan kualitas larutan MOL antara lain media fermentasi,
kadar bahan baku atau substrat, bentuk dan sifat mikroorganisme yang aktif di dalam proses
fermentasi, pH, temperatur, lama fermentasi, dan rasio C/N larutan MOL (Suriawiria,1996
dalam Hidayat, 2006). Selama proses pembuatan MOL berlangsung, kandungan C-organik
pada bahan dicampurkan dalam larutan akan terus berkurang. Hal ini disebabkan oleh
kandungan C-organik pada larutan MOL semakin menurun akibat adanya perombakan oleh

17
mikroorganisme yang berkembang dalam larutan. Senyawa organik akan berkurang
sedangkan senyawa anorganik akan terbentuk semakin banyak.

Adanya proses biosintesis menimbulkan hasil reaksi sekunder yang disebut dengan sisa
metabolit. Terbentuknya metabolit sekunder akan terus terjadi dan bertambah selama
mikroba berkembang menjadi massa yang semakin besar. Metabolit sekunder yang terbentuk
dari aktivitas pembuatan MOL salah satunya karbondioksida. Metabolit sekunder yang
terakumulasi pada media tumbuh mikroba dapat meningkatkan percepatan penurunan
populasi mikroba. Hal ini karena metabolit sekunder yang terakumulasi pada konsentrasi
tertentu dapat bersifat toksik atau racun. Hal ini perlu ditangani dengan membuat penampung
metabolit sekunder khususnya karbondioksida. Gas karbondioksida yang telah terbentuk
dapat disalurkan melalui selang kecil dan dilarutkan pada air yang terdapat pada botol plastik.
Gas metanol yang terbentuk pun dapat dilarutkan dalam air pada botol plastik sehingga
akumulasi metabolit sekunder dapat dikurangi.

Pada praktikum ini, campuran larutan bahan MOL akan disimpan selama 2 minggu
ditempat yang teduh untuk menjaga suhu tetap stabil. Pada praktikum yang telah dilakukan,
MOL berhasil dibuat dengan ditandai MOL yang tidak berbau busuk.

4.3 Pembuatan biakan massal agens hayati Trichoderma spp.

Salah satu mikroorganisme fungsional yang dikenal luas sebagai pupuk biologis tanah
adalah jamur Trichoderma sp. disamping sebagai organisme pengurai, dapat pula berfungsi
sebagai agen hayati dan stimulator pertumbuhan tanaman. Jamur Trichoderma sp.
Keunggulan jamur Trichoderma sp. sebagai agensia pengendali hayati dibandingkan dengan
jenis fungisida kimia sintetik adalah selain mampu mengendalikan jamur patogen dalam
tanah, ternyata juga dapat mendorong adanya fase revitalisasi tanaman. Revitalisasi ini terjadi
karena adanya mekanisme interaksi antara tanaman dan agensia aktif dalam memacu hormon
pertumbuhan tanaman (Nasahi, 2010). Trichoderma sp. adalah mikroorganisme antagonis
yang banyak digunakan sebagai agen biokontrol penyakit tanaman. Penggunaan agen hayati
untuk pengendalian penyakit dirasakan sangat lambat perkembangannya karena terbatasnya
agen hayati yang diproduksi secara massal dan dapat digunakan secara komersial, sehingga
diperlukan teknologi untuk produksi massal Trichoderma sp pada beberapa macam media
(Dewi, 2006).

18
Pada praktikum ini, indukan Trichoderma sp yang digunakan berasal dari koleksi
isolate dari Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Indukan dikultur pada media agar
PDA (Potato Dextrous Agar). Inokulasi Trichoderma sp dilakukan dengan steril di
laboratorium untuk mencegah terjadinya kontaminasi pada serbuk gergaji yang digunakan
sebagai media untuk perbanyakan. Menurut Mulyono, dkk, (1995) dalam Dewi (2005),
kandungan senyawa karbohidrat yang terkandung dalam media diperlukan Trichoderma sp.
Untuk menghasilkan bibit yang berkualitas maka diperlukan media yang optimal artinya
dapat menyediakan nutrisi yang diperlukan jamur untuk pertumbuhan dan perkembangannya
disamping kondisi lingkungan yang optimal. (Bakrun dkk, 2001 dalam Hamdiyati, dkk,
2005). Beberapa jenis media yang telah terbukti mampu mengaktivasi pertumbuhan
Trichoderma sp. adalah kentang, bekatul, beras jagung, jerami padi, campuran dedak dengan
serbuk gergaji, campuran sekam padi dengan sekam gandum (Sinaga, dkk; 1989, dalam
Nurbalis, 2010).

Proses inokulasi jamur Trichoderma sp pada praktikum ini berhasil karena terlihat
berwarna hijau menutupi media serbuk gergaji dimana jamur sudah tumbuh di atas
permukaan media. Faktor lain yang menyebabkan perubahan warna adalah terjadinya proses
pengomposan pada media biakan, sehingga partikel media menjadi hancur dan warna media
berubah menjadi hijau gelap. Inokulan Trichoderma sp dapat diaplikasikan pada lahan
pertanian dengan cara membenamkan massa jamur kedalam lubang tanam.

4.4 Hasil Pengamatan

Tabel 1. Hasil pengamatan 1 MST


Tabel Hasil Pengamatan
Tanaman Lobak dan Kangkung (1 MST)
Komoditas Tanaman
Lobak Kangkung
Bedengan Rata – rata Rata – rata Rata – rata Rata – rata
Tumbuh tinggi tanaman jumlah daun Tumbuh tinggi jumlah
(cm) (cm) tanaman (cm) daun (cm)
15 1 3 30 2 0
22 1 4 32 1 0,3
31 1 3 28 1 0
22 1 3 29 1 2

19
Jumlah tanaman yang tumbuh setelah 1 MST + pemberian kompos sangat bervariatif.
Data menunjukan bahwa tanaman yang tumbuh dalam setiap bedengan berbeda beda, tidak
seragam nya pertumbuhan pada lobak disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah
faktor lingkungan. Pada kankung pertumbuhan tanaman terlihat lebih serempak setiap
bedengannya. Tidak ada perbandingan yang begitu signifikan sehingga dikatakan serempak.
Hal yang sama ditunjukan oleh rata rata tinggi tanaman lobak dan kangkung. Menurut hasil
data yang didapat tinggi tanaman pada lobak dan kangkung tumbuh dengan baik dan
serempak. pada rata rata jumlah daun, lobak cenderung sudah memiliki daun sedangkan
kangkung terlihat belum memiliki daun namun ada beberapa yang sudah berdaun.

Dampak dari pemberian kompos pada tanaman lobak dan kangkung belum begitu
memberikan dampak yang signifikan. Dengan pemberian kompos diharapkan tanaman dapat
mendapat kan unsur hara lebih yang mampu memaksimalkan proses fotosintesis pada
tanaman. Pemberian pupuk kompos dapat memberikan sumbangsih pemenuhan akan unsur
hara yang di butuhkan oleh tanaman itu sendiri. Poerwowidodo (1992), menjelaskan bahwa
tanaman yang tidak mendapat unsur N akan tumbuh kerdil serta daun yang terbentuk lebih
kecil, tipis dan jumlahnya sedikit, namun jika yang mendapatkan unsur N tumbuh lebih tinggi
dan daun yang terbentuk lebih banyak dan lebar.

saat penanaman lobak dan kangkung kondisi cuaca di lapangan sedang hujan
sehingga penanaman kurang effektif. intensitas hujan dan curah hujan yang tinggi membuat
bedengan menjadi terkikis dan memendek. Selain itu banyak nya benih yang hilang akibat
terbawa oleh aliran air, sehingga pada beberapa bedengan terlihat kosong.

Tabel 2. Hasil pengamatan 2 MST


Tabel Hasil Pengamatan
Tanaman Lobak dan Kangkung (2 MST)
Komoditas Tanaman
Lobak Kangkung
Bedengan Rata – rata Rata – rata Rata – rata Rata – rata
Tumbuh tinggi tanaman jumlah daun Tumbuh tinggi jumlah
(cm) (cm) tanaman (cm) daun (cm)
15 1 6 30 3,1 0
22 1 5 32 1 0,3
31 1 6 28 1 0

20
21 1,5 5,6 29 2 5,5

Pada pengamatan 2 MST terjadi peningkatan rata rata jumlah daun pada masing
masing tanaman baik lobak maupun kangkung . Jumlah tanaman yang tumbuh pada lobak
dan kangkung cenderung sama tidak mengalami perubahan. dibandingkan dengan tanaman
kangkung, tanaman lobak mengalami peningkatan jumlah rata rata daun yang bertambah
cukup signifikan. Data menunjukan jumah rata rata jumlah daun terbanyak terdapat pada
lobak bedengan 4. Sedangkan untuk tinggi tanaman tanaman kangkung bedengan 1
menunjukan peningkatan dengan rata rata tinggi yang dihasilkan adalah 3,1 cm. tidak
seragam nya pertumbuhan pada lobak disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah
faktor lingkungan. Pada areal pertanaman lobak dan kankung ditumbuhi oleh beberapa
gulma. Terdapat gulam jenis teki tekian, gulma daun lebar, dan gulma rumput. Namun
adanya gulma tersebut tidak berdampak dan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan
tanaman. Tumbuh nya gulma di areal sekitar belum memenuhi ambang ekononomi sehingga
belum melakukan penyiangan.

Tabel 3. Hasil pengamatan 3 MST


Tabel Hasil Pengamatan
Tanaman Lobak dan Kangkung (3 MST)
Komoditas Tanaman
Lobak Kangkung
Bedengan Rata – rata Rata – rata Rata – rata Rata – rata
Tumbuh tinggi tanaman jumlah daun Tumbuh tinggi jumlah
(cm) (cm) tanaman (cm) daun (cm)
12 2 9 28 5,1 3
22 2,6 7 30 3,1 4
29 3 9 27 3 2.6
21 3,5 7,1 29 4 7

Pada pengamatan 3 MST terjadi peningkatan rata rata jumlah daun pada masing
masing tanaman baik lobak maupun kangkung . Sama dengan minggu sebelumnya, tanaman
lobak mengalami peningkatan jumlah rata rata daun yang bertambah cukup signifikan. Data
menunjukan jumah rata rata jumlah daun terbanyak terdapat pada lobak bedengan 4 dengan
jumlah rata rata 7,1. Sedangkan untuk tinggi tanaman, tanaman kangkung bedengan 1
menunjukan peningkatan dengan rata rata tinggi yang dihasilkan adalah 5,1 cm. Jumlah

21
tanaman lobak dan kangkung yang tumbuh mengalami penurunan. Beberapa tanaman
mengalami kekeringan dan mati ada juga tanaman yang mati akibat terserang hama.
Berkurangnya jumlah tanaman tumbuh dan tidak seragam nya pertumbuhan pada lobak
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor lingkungan dan adanya serangan
hama yang mulai menyerang pertanaman.

Pemberian trichoderma pada minggu sebelumnya di harapkan dapat memberikan


menurunkan tingkat serangan penyakit. jamur Trichoderma sp adalah Salah satu
mikroorganisme fungsional yang digunakan sebagai bioaktivator. Pemberian jamur
Trichoderma sp. pada saat pengomposan dapat mempercepat proses pengomposan dan
memperbaiki kualitas kompos yang dihasilkan karena jamur ini menghasilkan enzim
celobiohidrolase, endoglikonase dan glokosidase yang bekerja secara sinergis sehingga
proses penguraian dapat berlangsung lebih cepat dan intensif (Salma dan Gunarto, 1996).
Trichoderma sp. disamping sebagai organisme pengurai, dapat pula berfungsi sebagai agen
hayati dan stimulator pertumbuhan tanaman. Biakan jamur Trichoderma sp. diberikan ke
areal pertanaman dan berlaku sebagai biodekomposer, mendekomposisi limbah organik
menjadi kompos yang bermutu. Disamping kemampuan sebagai pengendali hayati,
Trichoderma sp. memberikan pengaruh positif terhadap perakaran tanaman, pertumbuhan
tanaman dan hasil tanaman. Keunggulan yang dimiliki kompos Trichoderma sp. antara lain
mudah diaplikasikan, tidak menghasilkan racun atau toksin, ramah lingkungan, tidak
mengganggu organisme lain terutama yang berada di dalam tanah serta tidak meninggalkan
residu di dalam tanaman maupun tanah (Puspita et al., dalam Amin, 2015). Teknologi
pemberian kompos yang didekomposisi dengan jamur Trichoderma sp. sudah banyak
dilakukan, diantaranya pada tanaman padi (Elfina et al. 2011), dan jagung (Afitin dan
Darmanti 2009)

Pada areal pertanaman lobak dan kankung ditumbuhi oleh beberapa gulma. Terdapat
gulam jenis teki tekian, gulma daun lebar, dan gulma rumput. Tumbuh nya gulma di areal
sekitar sudah memenuhi ambang ekononomi sehingga dilakukan beberapa penyiangan secara
mekanik dengan mencabutnya secara langsung oleh tangan.

22
Tabel 4. Hasil pengamatan 4 MST
Tabel Hasil Pengamatan
Tanaman Lobak dan Kangkung (4 MST)
Komoditas Tanaman
Lobak Kangkung
Bedengan Rata – rata Rata – rata Rata – rata Rata – rata
Tumbuh tinggi tanaman jumlah daun Tumbuh tinggi jumlah
(cm) (cm) tanaman (cm) daun (cm)
12 5 10 28 6,1 6
22 4 9 30 4,1 5
29 5.6 8 27 4 7
21 8 7,6 29 5 8,5

Pada pengamatan 4 MST terjadi peningkatan rata rata jumlah daun pada masing
masing tanaman baik lobak maupun kangkung . Jumlah tanaman yang tumbuh pada lobak
dan kangkung cenderung sama tidak mengalami perubahan. dibandingkan dengan tanaman
kangkung, tanaman lobak mengalami peningkatan jumlah rata rata daun yang bertambah
cukup signifikan. Data menunjukan jumah rata rata jumlah daun terbanyak terdapat pada
lobak bedengan 1 dengan jumlah rata rata daun 10. Sedangkan untuk tinggi tanaman,
tanaman kangkung bedengan 1 menunjukan peningkatan dengan rata rata tinggi yang
dihasilkan adalah 6,1 cm. Pada pengamatan kali ini dilakukan juga pemberian MOL MOL
adalah larutan hasil fermentasi yang berbahan dasar dari berbagai sumber daya yang tersedia
setempat. Larutan MOL mengandung unsur hara mikro dan makro dan juga mengandung
bakteri yang berpotensi sebagai perombak bahan organik, perangsang tumbuhan dan sebagai
agen pengendali

Pada areal pertanaman lobak dan kankung ditumbuhi oleh beberapa gulma. Terdapat
gulam jenis teki tekian, gulma daun lebar, dan gulma rumput. Tumbuh nya gulma di areal
sekitar sudah memenuhi ambang ekononomi sehingga dilakukan beberapa penyiangan secara
mekanik dengan mencabutnya secara langsung oleh tangan.

23
Tabel 5. Hasil pengamatan 5 MST
Tabel Hasil Pengamatan
Tanaman Lobak dan Kangkung (5 MST)
Komoditas Tanaman
Lobak Kangkung
Bedengan Rata – rata Rata – rata Rata – rata Rata – rata
Tumbuh tinggi tanaman jumlah daun Tumbuh tinggi jumlah
(cm) (cm) tanaman (cm) daun (cm)
11 7 12,6 28 9 9
22 6 10 29 7.6 7,1
28 7.6 10 27 5 6
21 10 9.1 28 6 8,1

Pada pengamatan 5 MST terjadi peningkatan rata rata jumlah daun pada masing
masing tanaman baik lobak maupun kangkung . Sama dengan minggu sebelumnya, tanaman
lobak mengalami peningkatan jumlah rata rata daun yang bertambah cukup signifikan. Data
menunjukan jumah rata rata jumlah daun terbanyak terdapat pada lobak bedengan 1 dengan
jumlah rata rata 12,6. Jumlah rata – rata tertinggi pada tinggi tanaman lobak yaitu pada
bedengan 4 dengan tinggi 10 cm. Sedangkan untuk tinggi tanaman pada kangkung, bedengan
1 menunjukan peningkatan dengan rata - rata tinggi yang dihasilkan adalah 9 cm dan jumlah
rata – rata daun terbanayak terdapat pada bedengan 1 dengan jumlah rata rata daun 9. Jumlah
tanaman lobak dan kangkung yang tumbuh mengalami penurunan. Beberapa tanaman
mengalami kekeringan dan mati ada juga tanaman yang mati akibat terserang hama.
Berkurangnya jumlah tanaman tumbuh dan tidak seragam nya pertumbuhan pada lobak
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor lingkungan dan adanya serangan
hama yang mulai menyerang pertanaman.

Disamping itu pertambahan yang sangat konstan pada tinggi tanaman dan jumlah
daun tidak terlepas dari pemberian kompos, trichoderma dan mol. Menurut Maspari (2012),
larutan MOL rebung bambu mempunyai kandungan C organik dan giberelin yang tinggi
sehingga mampu merangsang pertumbuhan tanaman. Selain itu larutan MOL rebung bambu
juga mengandung mikroorganisme yang sangat penting untuk membantu pertumbuhan
tanaman yaitu Azotobacter dan Azospirillum. Jika dilihat dari kandungannya, larutan MOL
rebung bambu bisa digunakan sebagai perangsang pertumbuhan pada fase vegetatif.

24
Sehingga dalam penerapannya diharapkan bahwa larutan MOL rebung bambu memiliki
pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman lobak dan kangkug.

Pada areal pertanaman lobak dan kankung ditumbuhi oleh beberapa gulma. Terdapat
gulam jenis teki tekian, gulma daun lebar, dan gulma rumput. Tumbuh nya gulma di areal
sekitar sudah memenuhi ambang ekononomi sehingga dilakukan beberapa penyiangan secara
mekanik dengan mencabutnya secara langsung oleh tangan.

Tabel 6. Hasil pengamatan 6 MST


Tabel Hasil Pengamatan
Tanaman Lobak dan Kangkung (6 MST)
Komoditas Tanaman
Lobak Kangkung
Bedengan Rata – rata Rata – rata Rata – rata Rata – rata
Tumbuh tinggi tanaman jumlah daun Tumbuh tinggi jumlah
(cm) (cm) tanaman (cm) daun (cm)
11 10 13 28 10 10
22 11 11 29 9 9
28 11,3 10,6 27 6 8,4
21 12,5 10 28 8 9

Pengamatan pada 6 MST ini merupakan pengamatan terakhir yang dilakukan. Pada
pengamatan 6 MST terjadi peningkatan rata rata jumlah daun pada masing masing tanaman
baik lobak maupun kangkung . Sama dengan minggu sebelumnya, tanaman lobak
mengalami peningkatan jumlah rata rata daun yang bertambah cukup signifikan. Data
menunjukan jumah rata rata jumlah daun terbanyak terdapat pada lobak bedengan 1 dengan
jumlah rata rata 13. Jumlah rata – rata tertinggi pada tinggi tanaman lobak yaitu pada
bedengan 4 dengan tinggi 12,5 cm. Sedangkan untuk tinggi tanaman pada kangkung,
bedengan 1 menunjukan peningkatan dengan rata - rata tinggi yang dihasilkan adalah 10 cm
dan jumlah rata – rata daun terbanayak terdapat pada bedengan 1 dengan jumlah rata rata
daun 10. Jumlah tanaman lobak dan kangkung yang tumbuh terus menerus mengalami
penurunan namun penurunan tersebut tidak terjadi secara signifikan. Beberapa tanaman
mengalami kekeringan dan mati ada juga tanaman yang mati akibat terserang hama.
Berkurangnya jumlah tanaman tumbuh dan tidak seragam nya pertumbuhan pada lobak
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor lingkungan dan adanya serangan

25
hama yang mulai menyerang pertanaman. Kurang meratanya pemberian perlakuan
Trichoderma dan mol merupakan salah satu faktor yang membuat pertumbuhan tanaman
menjadi tidak serempak. di beberapa bedengan terdapat tanaman yang kerdil. Tanaman yang
kerdil ini disebabkan oleh kekurangan unsur hara salah satunya adalah unsur N.

Dari hasil perlakuan yang telah diberikan pada sistem peretanian organik ini cukup
berpengaruh terhadap pertanaman lobak dan kangkung. Pertambahan jumlah tinggi dan
jumlah banyak nya daun pada satu tanaman merupakan indkator keberhasilan dilakukan
sistem pertanian organik ini. Disi lain banyak nya tanaman yang tidak tumbuh dan mati
merupakan faktor yang harus dibenahi dalam sistem ini. Banyak nya faktor yang kurang
termaksimalkan membuat hasil yang berkecukupan. Apabila pengolahan dan perencanaan
yang dilakukan lebih matang dan setiap pemberian perlakuan tepat waktu maka hasil yang
didapatkan akan lebih baik.

26
DAFTAR PUSTAKA

Afitin, R dan Darmanti. 2009. Pengaruh Dosis Kompos dengan Stimulator Trichoderma
Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung (Zea mays L.) Varietas Pioner-
11 pada Lahan Kering. Jurnal Bioma. Universitas Diponegoro.

Amin, F., Adiwirman dan Sri Yosefa. 2015. Studi Waktu Aplikasi Pupuk Kompos
Leguminosa Dengan Bioaktivator Trichoderma sp. Terhadap Pertumbuhan dan
Produksi Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L.) Jorn Faperta Vol 2.
Universitas Riau.

Anjarsari, I.R.D., S. Rosniawaty, dan M. Ariyanti, 2007. Pengaruh Kombinasi Pupuk P Dan
Kompos Terhadap Pertumbuhan Tanaman Teh (Camellia sinensis (L.) O. Kuntze)
Belum Menghasilkan Klon Gambung 7 . Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran.
Bandung.

Deptan, 2006. Teknik Pembuatan Kompos. http://deptan.go.id. Diakses pada 14 Desember


2017.

Djuarnani, N., Kristia, B. S., dan Setiawan, 2008.Cara Tepat Membuat Kompos.
AgromediaPustaka, Jakarta.

Elfina, Y., A Arsyad, Agus Salim, Jefri Efendi dan Efita Rahmi. 2001. Penggunaan Agens
Hayati Trichoderma Local Riau Sebagai Biofertilizer dan Biopestisida Dalam PHT
untuk Mengendalikan Penyakit dan Meningkatkan Produksi Padi. Laporan Penelitian.
Universitas Riau dan Litbang Pertanian

Hardianata. 2008. Pembuatan Mikroorganisme Lokal (MOL). Diakses pada


http://cyber.pertanian.go.id

Hidayat, N. 2006. Mikrobiologi Industri. Andi offset, Yogyakarta

Hamdiyati Y. 2005. Serbuk Gergaji Kayu dan Biji Jagung sebagai Media dalam Pembuatan
Bibit Induk

Mayrowani D. 2012. Pengembangan pertanian organik di Indonesia. Forum Penelitian Agro


Ekonomi, vol. 30 (2) : 91 -108.

Murbandono, 2000. Membuat kompos. PenebarSwadaya. Jakarta.

27
Nasahi C. Ir.MS, 2010. Peran Mikroba Dalam Pertanian Organik. Universitas Pajajaran.
Bandung

Nurbalis. 2010. Pemanfaatan Jerami Padi Sebagai Medium Perbanyakan Trichoderma


Harzianum dan Aplikasinya Pada Tanaman Cabai. Sumatra Barat

Ole, M.B.B. 2013. Penggunaan Mikroorganisme Bonggol Pisang (Musa Paradisiaca) Sebagai
Dekomposer Sampah Organik. Jurnal. Universitas Atma Jaya Yogyakarta Fakultas
Teknobiologi Program Studi Biologi. Yogyakarta.

Parnata, Ayub.S. 2004. Pupuk Organik Cair dan Mikro Organisme Lokal. Jakarta: PT
Agromedia Pustaka.

Poerwowidodo, M. (1992). Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa Bandung.

Salma, S. dan L. Gunarto. 1996. Aktivitas Trichoderma dalam Perombakan Selulosa.


Penelitian Pertanian Tanaman Pangan.

Sumekto R. 2006. Pupuk Organik. PT IntanSejati; Klaten Jawa Tengah.

Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan.


Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Yuniwati, M., F.Iskarima, dan A.Padulemba. 2012. Optimasi Kondisi Proses Pembuatan
Kompos Dari Sampah Organik Dengan Cara Fermentasi Menggunakan EM4. Jurnal
Teknologi 5(2): 172 – 181.

Yuniwati. 2012. Optimasi kondisi prosespembuatan kompos dari sampahorganik dengan cara
fermentasimenggunakan EM4. Jurnal Teknologi.5(2): 172-181

28

Anda mungkin juga menyukai