Anda di halaman 1dari 14

PERAN MIKROORGANISME DALAM PROSES BIOFERTILIZER

BIOTEKNOLOGI PERTANIAN

Oleh Kelompok :
Claudia Angel M (1706541051)

Achmad Sultan (1706541053)

Gede Arya Supradnyana (1706541067)

Wahid Ardiansyah (1706541052)

Rut Megawati Simare-mare (1706541031)

Febrin Sidabutar (1706541070)

Program Studi Agroekoteknologi


Fakultas Pertanian
Universitas Udayana
2019
Peran Mikroorganisme dalam Proses Biofertilizer

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Pertanian terutama di Indonesia mulai mengalami penurunan dari segi kualitas dan kuantitas,
banyak faktor yang terjadi, salah satunya adalah penggunaan bahan kimia sebagai pelengkap
pertanian yang banyak memberi efek negatif berkelanjutan. Petani mulai merasakan efek buruk
yang terjadi secara berkepanjangan, namun juga banyak yang masih memanfaatkan bahan kimia
baik secara campuran ataupun langsung pada tanaman, alasannya tidak lain karena tuntutan
kuantitas. Petani yang mulai peka terhadap hasil berkelanjutan dan lingkungan pasti lebih
memilih pertanian yang kembali ke organik, meskipun masih dalam tahapan semi organik
sekalipun.

Sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran manusia dan utamanya petani akan
kerusakan lingkungan dan munculnya berbagai penyakit yang disebabkan penggunaan bahan
kimia secara berlebihan pada makanan, pertanian organik muncul sebagai sebuah alternatif yang
menjadi pilihan bagi banyak orang. Pertanian organik dapat dikatakan sebagai suatu sistem
bertani selaras alam, mengembalikan siklus ekologi dalam suatu areal pertanian membentuk
suatu aliran yang siklik dan seimbang.

Secara perlahan tapi pasti sistem pertanian organik mulai berkembang diberbagai belahan
bumi, baik dinegara maju maupun negara berkembang. Masyarakat mulai melihat berbagai
manfaat yang dapat diperoleh dengan sistem pertanian organik ini, seperti lingkungan yang tetap
terjaga kelestariannya dan dapat mengkonsumsi produk pertanian yang relatif lebih sehat karena
bebas dari bahan kimia yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan.

Beberapa lembaga penelitian dan pihak perguruan tinggi juga turut memberikan andilnya
dalam pengembangan pertanian organik melalui penelitian- penelitian dan juga penyampaian
informasi teknologi budidaya yang dapat diterapkan pada sistem pertanian organik. Upaya yang
mulai dilakukan adalah memperkenalkan bioteknologi dalam sistem pertanian organik yaitu
dengan memanfaatkan beberapa mikroorganisme yang dapat membantu penyediaan hara dan
pengendalian penyakit.

Untuk menggemakan kembali pertanian organik ini, banyak petani yang mulai beralih
menggunakan pemanfaatan mikroorganisme sebagai pengganti nahan kimia yang banyak
menghasilkan dampak negatif berkelanjutan. Dalam sistem pertanian organik upaya pertama
yang dilakukan adalah memperkenalkan bioteknologi dalam sistem pertanian organik yaitu
dengan memanfaatkan beberapa mikroorganisme yang dapat membantu penyedian unsur hara
dan pengendalian penyakit. Beberapa mikroba tanah seperti rhizobium,azaosprillium,
azotobacter mikoriza perombak sellulosa dan efektif mikroorgnisme dapat dimanfaatkan sebagai
biofertilizer pada pertanian organik.Biofertilizer tersebut memiliki fungsinya antara lain
membantu penyediaan unsur hara pada tanaman, membantu dekomposisi bahan organik,
meyediakan lingkungn rhizosfer sehingga pada akhirnya akan mendukung pertumbuhan dan
produksi peningkatan tanaman

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan biofertilizer?

2. Bagaimanakah peranan biofertilizer terhadap pertanian organic?

3. Bagaimanakah peranan mikroba tanah terhadap kegiatan fertilizer?

4. Bagaimanakah teknik pemanfaatan biofertolizer?

1.3. Tujuan

1. Menjelaskan pengertian biofertilizer dan peranannya terhadap pertanian organic

2. Menjelaskan peranan mikroba tanah terhadap kegiatan fertilizer

3. Menjelaskan tekhnik pemanfaatan biofertilizer


BAB II
Pembahasan

1.2 Biofertilizer

Biofertilizer merupakan suatu zat  yang digunakan untuk  meningkatkan kesuburan tanah
dengan  menggunakan limbah biologis, bermanfaat dalam memperkaya tanah dengan kandungan
mikro-organisme yang menghasilkan nutrisi organik untuk tanah dan membantu memerangi
penyakit. Zat yang mengandung mikroorganisme, yang ditambahkan pada bibit, permukaan
tanaman, atau tanah, akan mendorong pertumbuhan dengan meningkatkan pasokan atau
ketersediaan nutrisi utama untuk tanaman inang.
Tidak seperti pupuk kimia pada umumnya yang langsung meningkatkan kesuburan tanah
dengan menambahkan nutrisi, biofertilizers menambahkan nutrisi melalui proses alami dengan
cara memperbaiki atmosfer nitrogen, melarutkan fosfor, dan merangsang pertumbuhan tanaman
dengan memicu sintesis zat tertentu yang dibutuhkan. Mikroorganisme dalam biofertilizer
mengembalikan siklus hara alami dan membangun materi organik tanah.

2.2 Peranan Biofertilizer

Pertanian organik dapat didefinisikan sebagai sistem pengelolaan produksi pertanian yang
holistik yang mendorong dan meningkatkan kesehatan agro-ekosistem, termasuk biodiversitas,
siklus biologi dan aktivitas biologi tanah, dengan menekankan pada penggunaan input dari dalam
dan menggunakan cara-cara mekanis, biologis dan kultural. Dalam sistem pertanian organik
masukan (input) dari luar (eksterna) akan dikurangi dengan cara tidak menggunakan pupuk
kimia buatan, pestisida, dan bahan bahan sintetis lainnya. Dalam sistem pertanian organik
kekuatan hukum alam yang harmonis dan lestari akan dimanfaatkan untuk meningkatkan
kuantitas dan kualitas hasil pertanian sekaligus miningkatkan ketahanan terhadap serangan hama
dan penyakit.
Pada dasarnya kesuburan tanah lokal merupakan kunci keberhasilak sistem pertanian
organik, baik kesuburan fisik, kimia maupun biologi. Bila kesuburan tanah telah baik, maka akan
tercipta lingkungan pertanaman terutama untuk perakaran yang diinginkan, ketersediaan hara –
hara makro dan mikro terpenuhi dan aktivitas mikroorganisme tanah untuk membantu kesuburan
tanah juga terjaga.

Pemanfaatan mikroba tanah untuk meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah


dalam sistem pertanian organik sangat penting. Peran mikroba dalam tanah antara lain adalah
daur ulang hara, penyimpan sementara dan pelepasan untuk dimanfaatkan tanaman dan lain-lain.

Keberhasilan memanfaatkan mikroba untuk tujuan meningkatkan kesuburan tanah


memerlukan pengetahuan darii berbagai disiplin ilmu secara terpadu. Pakar mikrobiologi tanah
mengawali dengan mempelajari dan mengidentifikasi ekologi mikroorganisme yang akan
digunakan sebagai biofertilizer (pupuk hayati).

Selanjutnya mikroorganisme hasil isolasi dari tanah dikembangbiakkan pada kondisi


laboratorium menggunakan media buatan. Setelah mikroorganisme tersebut berhasil dibiakkan,
maka harus diperoleh galur yang dikehendaki, karena tidak semua spesies dari suatu populasi
bersifat efektif. Selanjutnya galur yang efektif diisolasi, dan dilakukan pengujian di lapangan
apakah hasil inokulasi dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Mikroorganisme
yang diinokulasi harus sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu, harus mampu menyesuaikan
dengan fluktuasi kondisi lingkungan dan tidak kalah bersaing atau dimangsa mikroorganisme
asli.

Apabila mikroorganisme yang diinokulasikan cukup efektif dalam meningkatkan hasil


tanaman, maka tugas selanjutnya mengembangkan metode untuk memperbanyak dengan skala
dengan skala yang besar. Pada umumnya, mikroorganisme akan tumbuh dan berkembang
melalui proses fermentasi. Apabila populasi mikroorganisme mencapai ukuran tertentu,
kemudian tahap berikutnya adalah memanen dan mengemas untuk tujuan komersial. Tugas
selanjutnya adalah membuat formula cara kerja inokulan, termasuk cara memanfaatkan inokulan
di lapangan (disemprotkan ke tanah atau dicampur dengan biji), termasuk memecahkan semua
masalah yang mungkin dihadapi dalam mempertahankan inokulan tettap efektif, terutama yang
berhubungan dengan pengiriman, kemasan, penyimpanan, dan pemanfaatan.

2.3 Peranan Mikroba dalam Pertanian

Aktifitas mikroba yang memanfaatkan oksigen dalam proses dekomposisi akan


menghasilkan panas sehingga penggunaan proses pengomposan menghasilkan kenaikan suhu
dari 29°C sampai 37 °C (terjadi pada penggunaan Azotobacter) Sesuai dengan adanya
ketersediaan nutrisi yang melimpah, mikroba tumbuh dan berkembang biak secara cepat
sehingga jumlahnya berlipat ganda. Akibatnya, reaksi penguraian juga berjalan cepat. Reaksi
antara senyawa kimia dengan oksigen akan menghasilkan karbondioksida dan air, serta
menghasilkan energi panas. Akibatnya, tumpukan seresah daun mengalami kenaikan suhu
(proses dekomposisi) dan secara perlahan menurun sesuai suhu awal pengomposan.

Pemanfaatan mikroba tanah untuk meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah


dalam sistem pertanian organik sangat penting. Peran mikroba tanah antara lain adalah daur
ulang hara, penyimpanan sementara dan pelepasan untuk dimanfaatkan tanaman dan lain-lain.
Keberhasilan memanfaatkan mikroba untuk tujuan meningkatkan kesuburan tanah memerlukan
pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu secara terpadu.

Pakar mikrobiologi tanah mengawali dengan mempelajari dan mengidentifikasi ekologi


mikroorganisme yang akan digunakan sebagai biofertilizer (pupuk hayati). Selanjutnya
mikroorganisme hasil isolasi dari tanah dikembangbiakkan pada kondisi laboratorium
menggunakan media buatan. Setelah mikroorganisme tersebut berhasil dibiakkan, maka harus
diperoleh galur yang dikehendaki, karena tidak semua spesies dari suatu populasi bersifat efektif.
Selanjutnya galur yang efektif di isolasi, dan dilakukan pengujian di lapangan apakah hasil
inokulasi harus sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu, harus mampu menyesuaikan dengan
fluktuasi kondisi lingkungan dan tidak kalah bersaing atau dimangsa mikroorganisme asli.
2.4 Mikroorganisme sebagai Biofertilizer

Mikroorganisme tanah yang menguntungkan ini dapat dikategorikan sebagai biofertilizer


(pupuk hayati). Secara garis besar fungsi menguntungkan tersebut dapat dibagi menjadi sebagai
berikut;

1. Penyedia hara
2. Peningkat ketersediaan hara
3. Pengontrol organisme pengganggu tanaman
4. Pengurai bahan organik dan pembentuk humus
5. Pemantap agregat tanah
6. Perombak persenyawaan agrokimia

Beberapa mikroorganisme yang mampu diamnfaatkan sebagai biofertilizer adalah

1. Bakteri Rhizobium
Bakteri Rhizobium adalah salah satu contoh kelompok bakteri yang berkemampuan sebagai
penyedia hara bagi tanaman. Bila bersimbiosis dengan tanaman legum, kelompok bakteri ini
akan menginfeksi akar tanaman dan membentuk bintil akar di dalamnya. Rhizobium hanya dapat
memfiksasi nitrogen atmosfer bila berada di dalam bintil akar dari mitra legumnya. Peranan
Rhizobium terhadap pertumbuhan tanaman khususnya barkaitan dengan masalah ketersediaan
nitrogen bagi tanaman inangnya.
Rhizobium yang berasosiasi dengan tanaman legum mampu menfiksasi 100-300 kg N/ha
dalam satu musim tanam dan meninggalkan sejumlah n untuk tanaman berikutnya. Permasalahan
yang perlu diperhatikan adalah efisiensi inokulen Rhizobium untuk jenis tanaman tertentu.
Rhizobium mampu mencukupi 80% kebutuhan nitrogen tanaman legum dan meningkatkan
produksi antara 10% – 25 %. Tanggapan tanaman sangat bervariasi tergantung pada kondisi
tanah dan efektifitas populasi asli.
2. Azospirillum dan Azotobacter

Azospirillum mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan sebagai pupuk hayati.
Bakteri ini banyak dijumpai berasosiasi dengan tanaman jenis rerumputan, termasuk beberapa
jnis serelia, jagung, cantel, dan gandum. Sampai saat ini ada tiga spesies yang telah ditemukan
dan mempunyai kemampuan sama dalam menambat nitrogen yaitu Azospirillum brasilense, A.
Lipoferum, dan A. Amazonese. Azospirillum merupakan salah satu jenis mikroba di daerah
perakaran. Infeksi yang disebakan oleh bakteri ini tidak menyebabkan perubahan morfologi
perakaran, meningkatnya jumlah akar rambut, menyebabkan percabangan akar lebih berperan
dalam penyerapan hara.

Keuntungan lain dari bakteri ini, bahwa apabila saat berasosiasi dengan perakaran tidak dapat
menambat nitrogen, maka pengaruhnya adalah meningkatkan penyerapan nitrogen yang ada di
dalam tanah. Dalam hal ini pemanfaatan bakteri ini tidak berkelanjutan, tetapi apabila
Azospirillum yang berasosiasi dengan perakaran tanaman mampu menambat nitrogen, maka
keberadaan nitrogen di dalam tanah dapat dipertahankandalam waktu yang lebih panjang.
Keadaan ini relatif lebih menguntugkan karena dapat mengurangi pasokan pupuk nitrogen.
Disamping itu, Azospirillum meningkatkan efisiensi penyerapan nitrogen dan menurunkan
kehilangan akibat pencucian, denitrifikasi atau bentuk kehilangn nitrogen lain Azotobacter spp.
Juga merupaka bakteri non – simbiosis yang hidup di daerah perakaran. Dijumpai hampir pada
semua jenis tanah, tetapi populasinya relatif rendah. Selain kmampuannya dalam membuat
nitrogen, bakteri ini juga menghasilkan sejenis hormon yang kurang lebih sama dengan hormon
pertumbuhan tanaman dan menghambat pertumbuhan jenis jamur tertentu. Seperti halnya
Azospirillum, Azotobacter dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui pasoka
nitrogenudara, pasokan pengatur tumbuh, mengurangi kompetisi dengan mikroba lain dalam
menambat nitrogen, atau membuat kondisi tanah lebih menguntungkan untuk pertumbuhan
tanaman.

3. Mikroba pelarut Fosfat


Ada beberapa jenis fungsi dan bakteri seperti Bacullus polynyxa, pseudomonas striata,
Aspergillus awamori, dan Penicillium digitatum yang diidentifikasikan mampu melarutkan
bentu P tak larut menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman. Jumlah bakteri pelarut P dalam
tanah sekitar 104-106 tiap gram tanah. Pemanfaatan bakteri pelarut fosfat di Indonesia masih
terbatas pada skala penelitian, belum dimanfaatkan dan dimasyarakatkan secaraluas kepada
petani. Cukup banyak kendala yang dihadapi dalam pengembangan pupuk jenis hayati ini.
Mengingat potensinya dalam menanggulangi kendala pemupukan fosfat, terutama pada tanah-
tanah bereaksi asam seperti kebanyakan tanah ya ng terdapat pada daerah tropis, maka
peranannya perlu diperhitungkan.

4. Mikoriza

Asosiasi antara jamur dan sistem perakaran tanaman tinggi diistilahkan dalam mikoriza.
Dalam fenomena ini jamur menginfeksi dan mengkoloni akar tanpa menimbulkan nekrosis
sebagaimana  bisa terjadi pada infeksi jamur paogen, dan mendapat pasokan nutrisi secara
teratur. Istilah mikoriza yang berarti jamur akar pertama kali diperkenalkan olehfrank pada tahun
1855. Dalam deskripsinya kemudian frank membagi mikoriza berdasarkan tempat
jamurberkembang dalam akar menjadi dua golongan (Schneck, 1982):
1. Ektomikoriza,  jamur yang berkembang di permukaan luar akar dan diantara sel- sel
korteks akar.
2. Endomikoriza, jamur yang berkembang di dalam akar di antara dan di dalam sl-sel
korteks akar.
2.5 Proses Produksi Biofertilizer

1. Menentukan Mikroba Bahan Aktif


Pertama adalah menentukan mikroba-mikroba apa yang akan digunakan sebagai bahan aktif
biofertilizer. Pilihan yang biasa digunakan adalah mikroba penambat N, mikroba pelarut P,
mikoriza, atau PGPR
2. Mengisolasi Mikroba Target
Melakukan isolasi mikroba-mikroba target tersebut. Mikroba-mikroba umumnya diisolasi dari
Rhizosphere atau daerah di sekitar perakaran. Untuk mikroba-mikroba yang bersimbiosis
diisolasi dari akarnya langsung, seperti Rhizobium atau mikoriza. Atau mikroba yang hidup
dipermukaan akar tanaman. Tanah-tanah sampel dikumpulkan dari berbagai tempat yang
memiliki kondisi tanah, iklim, dan komoditas yang berbeda-beda. Tanah-tanah yang memiliki
kondisi ekstrim bisa juga dipilih. Setiap jenis mikroba memiliki metode isolasi sendiri-sendiri.
3. Menyeleksi Mikroba Target
Menyeleksi mikroba merupakan langkah yang sangat penting. Tujuannya adalah mendapatkan
mikroba yang benar-benar unggul. Mikroba unggul adalah kunci dari kualitas biofertilizer yang
ingin Anda buat. Banyak orang yang memproduksi biofertilizer, tetapi umumnya biasa-biasa
saja. Seleksi juga sama sulitnya dengan mengisolasi mikroba. Waktu, tenaga, pikiran dan biaya
yang dikeluarkan juga besar. Tapi jika berhasil, aku rasa akan setimpal dengan semua yang telah
dikeluarkan.
Metode seleksi mikroba bermacam-macam, sama seperti metode isolasinya. Seleksi bisa
dilakukan dalam beberapa tahap. Misalnya: 1) tahap laboratorium, 2) tahap rumah kaca, dan 3)
uji coba skala lapang. Teknik seleksi biasanya diawali dengan seleksi kasar tujuannya untuk
mendapatkan kandidat-kandidat mikroba unggul. Setelah seleksi di laboratorium dalam skala
kecil selanjutnya adalah seleksi di rumah kaca. Seleksi masih dilakukan di rumah kaca yang
kondisinya terkontrol.
Jika perlu dilakukan beberapa kali ujicoba untuk lebih menyakinkan. Kesalahan dalam seleksi
akan membuat pekerjaan kita jadi sia-sia. Apalagi jika kita sudah melangkah cukup jauh.
4. Menentukan Metode Dan Bahan Pembawa (Carrier)
Berikutnya adalah bagaimana mikroba ini akan ‘dikemas’. Pilihan yang umum adalah dikemas
dalam bentuk padat, serbuk, granul, pelet, tablet, atau cair. Saya belum pernah menemukan
produk biofertilizer dalam bentuk gel. Banyak pertimbangan untuk menentukan dalam bentuk
apa biofertilizer akan dikemas. Salah satunya adalah karakteristik dari mikroba tersebut. Sebagai
contoh: ektomikoriza umumnya dibuat dalam bentuk padat, pelet, atau tablet; endomikoriza
umumnya padat; biofertilizer berbahan aktif bakteri dan fungi bisa padat atau cair.
bahan-bahan organik, mineral, atau liat. Bahan organik bisa tepung-tepungan: terigu, tapioka,
maizena, sagu, atau tepung kompos, gambut, dll. Bahan mineral biasanya zeolit (biasa digunakan
untuk mikoriza), gypsum, bentonit, kapur dan lainnya. Ada juga yang mengguanakan tanah liat
tertentu, seperti untuk endomikoriza. Bahan-bahan ini bisa tunggal atau bisa juga merupakan
campuran dari beberapa bahan. Ada juga yang memberikan tambahan nutrisi pada bahan
pembawa tersebut.
Beberapa pertimbangan lain untuk memilih bahan pembawa adalah kemampuan dalam
mempertahankan viabilitas dan efektivitas mikroba. Dan yang tak kalah penting adalah
pertimbangan ekonomi. Mungkin saja bahan pembawanya sangat bagus, tetapi kalau harganya
mahal jadi tidak bisa dijual. Setiap bahan juga memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-
masing. Misalnya bahan organik cukup bagus, tetapi bahan ini juga disukai oleh banyak
organisme.
Untuk menguji viabilitas biasanya diukur jumlah populasi mikroba dalam rentang waktu
penyimpanan. Bisa setiap bulan, setiap tiga bulan hingga satu tahun lamanya. Waktu
penyimpanan satu tahun sudah cukup bagus. Kemudian pengujian evektivias mikroba tersebut
terhadap tanaman target. Langkah membuat formulasi bahan pembawa ini bisa dilakukan sambil
melakukan seleksi mikroba. Terutama jika sudah diketahui jenis mikrobanya. Jadi dilakukan
secara pararel.
5. Menentukan Metode Perbanyakan Secara Masal
Setelah kita mendapatkan mikroba unggul dan bawah pembawa yang sesuai, langkah penting
lainnya adalah mendapatkan metode berbanyakan mikroba secara massal. Pada tahap-tahap
sebelumnya perbanyakan mikroba dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan kimia sesaui
dengan standard baku mikrobiologi. Bahan-bahan kimia ini harganya cukup mahal dan sangat
tidak ekonomis jika digunakan untuk produksi massal. Oleh karena itu perlu dilakukan pula riset
untuk memproduksi mikroba tersebut dalam skala besar.
Metode umum untuk memproduksi mikroba antara lain adalah fermentasi cair dan fermentasi
padat. Bakteri dan aktinomycetes umumnya diproduksi dalam medium cair, sedangkan kapang
dan jamur diproduksi dalam medium padat.
6. Membuat Prototipe
Prototipe bisa terdiri dari beberapa contoh. Contoh-contoh ini mungkin sudah diseleksi dari
beberapa percobaan dan dianggap sebagai hasil terbaik, misal: lima prototipe terbaik. Contoh
biofertilizer dalam bentuk: cair, granul, serbuk, dan pelet. Atau bisa saja satu bentuk tetapi
dengan beberapa formula, misal: cair A, cair B, cair C, dan seterusnya. Prototipe ini yang
selanjutnya harus diuji dan dipilih mana prototipe yang akan menjadi produk akhir.
7. Menguji Prototipe
Pengujian prototipe pertama bisa dilakukan di rumah kaca dengan tanaman-tanaman target atau
tanaman model.. Gunakan prosedur statistik sebagai alat untuk mengambil keputusan

8. Pengujian Multi Komoditas


Apabila prototipe lolos dari pengujian di rumah kaca, langkah berikutnya adalah pengujian
lapang. Pengujian bisa dilakukan di kebun percobaan, tetapi skalanya kecil. Kalau percobaan ini
mendapatkan hasil yang konsisten, coba lagi di tempat yang lebih luas atau diulang di tempat
yang berbeda-beda.
Pada tahap ini sebenarnya bisa juga dilakukan pengujian pasar.
9. Pengembangan Produk
Apabila mikroorganisme yang diinokulasikan cukup efektif dalam meningkatkan hasil produksi
tanaman, maka selanjutnya mengembangka metode daam skala jumlah besar. Pada umumnya
mikroorganisme akan berkembang melalui proses fermentasi. Apabila populasi mikroorganisme
mencapai ukuran tertentu, maka selanjutnya adalah memanen dan mengemas hasil produksi.
BAB III

KESIMPULAN

Sistem pertanian organik sebagai suatu sistem yang menjadi jawaban pertanain masa kini dan
nanti, pemanfaatan Biofertilizer (pupuk hayati) merpakan upaya pendukungnya untuk membantu
penyediaan hara bagi tanaman sangat penting. Pemanfaatan beberapa jenis mikroba tanah dapat
membantu ketersediaan hara bagi tanaman seperti hara nitrogen dan fosfat, selain itu ada
mikroba tanah yang berperan dalam mempercepat dekomposisi bahan organik Mikroorganisme
memegang peranan penting dalam aktivitas perombakan di dalam tanah karena tanpa aktivitas
mikroba maka segala kehidupan di bumi ini lambat laun akan terhambat. Selain itu, mikroba juga
berperan dalam siklus energi, siklus hara, pembentukan agregat tanah, dll.
DAFTAR PUSTAKA

Prihatini, T., A. Kentjanasari, dan Subowo. 1996. Pemanfaatan Biofertilizer untuk Peningkatan

Produktivitas lahan pertanian Jurnal Litbang Pertanian XV (1)

Rao, N.S.S. 1994. Soil Microorganisms and plant Growth. Oxford and IBM Publishing Co.

(Terjemahan H. Susilo. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman.

Universitas Indonesia Press).

Febriana. 2017. Azotobacter sebagai Agen Biofertilizer Berbentuk Granul Vol.6. No. 2. JURNAL

SAINS DAN SENI ITS.

Anda mungkin juga menyukai