Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang sebagian besar
penduduknya tinggal di perdesaan dengan mata pencaharian sebagai petani.
Penduduk Indonesia pada umumnya mengkonsumsi hasil pertanian untuk
makanan pokok mereka. Pertanian di Indonesia perlu ditingkatkan
produksinya semaksimal mungkin menuju swasembeda pangan akan tetapi,
tantangan untuk mencapai hal tersebut sangat besar karena luas wilayah
pertanian yang semakin lama semakin sempit, penyimpangan iklim,
pengembangan komoditas lain, teknologi yang belum modern dan masalah
yang satu ini adalah menurunnya kualitas tanah yang menjadi media tanam
utama petani Indonesia.
Menurut Badan Pusat Statistik (2013), United Nations (UN) mencatat
perkiraan penduduk Indonesia mencapai 248,8 juta jiwa, sedangkan laju
produksi padi sebagai pangan utama penduduk Indonesia pada tahun 2014
hanya sebanyak 70 juta ton dengan tingkat konsumsi beras per kapita 85,5
kg/tahun. Apabila tidak ada tambahan produk impor produksi tersebut hanya
mampu memenuhi tingkat konsumsi per kapita 0,286 kg/tahun sehingga
berpotensi mengancam stabilitas pangan dalam negeri. Badan Pusat Statistik
menambahkan dalam proyeksi pertumbuhan penduduk tahun 2013
memproyeksikan penduduk Indonesia akan terus meningkat mencapai lebih
dari 305 juta jiwa pada tahun 2035. Selain itu Bappenas (2014) menyatakan
laju pertumbuhan penduduk makin cepat yaitu dari 1,4%/tahun pada periode
1990-2000 menjadi 1,49%/tahun pada periode 2000-2010.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut pemerintah mengeluarkan
kebijakan dengan memberikan subsidi untuk menggunaan pupuk kimia.
Penggunaan pupuk kimia memang dapat membantu meningkatkan produksi
pertanian dalam waktu singkat. Beberapa tahun pertama memang peningkatan
panen sangat terasa manfaatnya. Program modernisasi pertanian mampu
menjawab satu tantangan ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang kian
hari terus meningkat. Namun setelah belasan tahun penerapan pupuk kimia,
penggunaan pupuk kimia mulai terlihat dampak dan efek sampingnya. Bahan
kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian seperti pupuk dan pestisida
telah merusak struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida diyakini
telah merusak ekosistem dan habitat beberapa binatang yang justru
menguntungkan petani sebagai predator hama tertentu. Di samping itu
pestisida telah menyebabkan imunitas pada beberapa hama. Lebih lanjut
resiko kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan terjadinya penurunan
produksi membuat ongkos produksi pertanian cenderung meningkat.
Akhirnya terjadi inefisiensi produksi dan melemahkan kegairahan bertani.
Pupuk kimia yang sebelumnya berhasil meningkatkan produksi pertanian
mulai menunjukkan penurunan hasil. Untuk mengembalikan produktivitas,
petani mulai menambah dosis pupuk kimianya sehingga lama kelamaan biaya
operasional jadi meningkat, dan keuntungan petani semakin merosot. Dari
tahun ke tahun hasil produksi menyusut bahkan kini di beberapa daerah hasil
pertanian sudah lebih rendah daripada sebelum menggunakan pupuk kimia
saat beberapa puluh tahun lalu. Untuk mengimbangi hal tersebut dibutuhkan
peningkatan produksi produk pertanian yang memadai dan berkelanjutan.
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) menjadi solusi penting
dalam pembangunan pertanian Indonesia masa depan, mengingat pesatnya
pertumbuhan penduduk yang tidak sebanding dengan laju pertumbuhan
produksi pertanian dan tingkat konversi lahan pertanian yang semakin tinggi.
Hal tersebut sesuai dengan hasil kesepakatan Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) Bumi di Rio De Janero tahun 1992 yang menyepakati suatu paradigma
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menghubungkan
aspek pertumbuhan ekonomi, sosial dan lingkungan salah satunya dengan
pertanian organik.
Pertanian organik merupakan jawaban atas revolusi hijau yang
digalakkan pada tahun 1960-an yang menyebabkan berkurangnya kesuburan
tanah dan kerusakan lingkungan akibat pemakaian pupuk dan pestisida kimia
yang tidak terkendali. Sistem pertanian berbasis high input energy seperti
pupuk kimia dan pestisida dapat merusak tanah yang akhirnya dapat
menurunkan produktifitas tanah, sehingga berkembang pertanian organik.
Pertanian organik sebenarnya sudah sejak lama dikenal, sejak ilmu bercocok
tanam dikenal manusia, semuanya dilakukan secara tradisional dan
menggunakan bahan-bahan alamiah. Pertanian organik modern didefinisikan
sebagai sistem budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami
tanpa menggunakan bahan kimia sintetis. Pengelolaan pertanian organik
didasarkan pada prinsip kesehatan, ekologi, keadilan, dan perlindungan.
Kondisi demikian juga terjadi di Kabupaten Magelang. Seiring dengan
berjalannya waktu akibat pemakaian pupuk dan pestisida secara terus
menerus menyebabkan kesuburan tanah berkurang dan terjadinya kerusakan
lingkungan. Revolusi hijau dengan asumsi yang mendasarkan pada
pertumbuhan itu ternyata salah. Revolusi hijau justru meminggirkan petani.
Petani menjadi tergantung pada perusahaan-perusahaan besar untuk
menjalankan usaha pertanian mereka. Selain memarjinalkan petani revolusi
hijau juga membawa dampak kerusakan yang luas terhadap lingkungan.
Tanah persawahan semakin lama menjadi semakin keras dan bantat.
Penggunaan pupuk kimia meningkat dari waktu kewaktu. Serangan hama
menjadi semakin eksplosif sehingga menuntut penggunaan pestisida yang
semakin meningkat pula.
Pertanian organik di Magelang khususnya untuk tanaman padi sudah
dirintis jauh hari ketika revolusi hijau masih dilaksanakan secara represif dan
kebebasan menanam belum diperoleh para petani. Sawangan yang merupakan
salah satu kecamatan di Kabupaten Magelang dapat dikatakan sebagai daerah
rintisan pertanian organik. Pengembangan pertanian organik di Sawangan
dirintis kelompok tani yang dibentuk tahun 1996 oleh Rama Kirjito, pastor di
Paroki Santo Yusup Pekerja Mertoyudan Magelang. Pelaku pertanian organik
karena berasal dari latar belakang yang beragam menyebabkan beragam pula
4 motif dan kepentingan yang mendasarinya. Pelaku pertanian organik yang
terlalu berorientasi pada keuntungan ekonomi sesaat seringkali melupakan
prinsip-prinsip dari pertanian organik yang terdiri dari prinsip kesehatan,
ekologi, keadilan dan perlindungan. Orientasi ekonomi sering kali
menyebabkan aspek perlindungan lingkungan menjadi suatu hal yang
terabaikan. Tahun 2003 muncul kelompok tani baru di Sawangan dengan
nama Paguyuban Petani Lestari (P2L) yang memulai usaha dengan
pembibitan ikan. P2L saat ini fokus pada pengembangan padi organik lokal
menthik wangi yang merupakan trade mark dari kecamatan Sawangan.
Perlakuan secara organik gabah hasil produksi. Petani konvensional
beranggapan apabila ia melakukan budidaya secara organik ada banyak
kesulitan yang akan dihadapi. Salah satu kesulitan terbesar, para petani
konvensional mempunyai kekhawatiran akan mengalami kesulitan dalam
memperoleh pupuk organik. Petani belum melihat potensi lokal yang ada
berupa limbah pertanian yang tersedia melimpah yang dapat dikelola menja 5
Di tengah berbagai keterbatasan yang dihadapi, P2L dengan para petani
anggotanya mampu membangun jaringan pasar dan mampu menjaga pasokan
produk beras organik. Hal ini menunjukkan bahwa pertanian organik dapat
dikembangkan di Kecamatan Sawangan dan lebih luas lagi di Kabupaten
Magelang bertumpu pada potensi dan sumber daya lokal yang ada. Berbagai
kegagalan yang dialami oleh para pelaku pertanian organik sebelumnya
bukan disebabkan oleh faktor teknis budidaya tetapi karena disebabkan oleh
hal-hal lain di luar faktor teknis.
Melalui pertanian organik ada banyak keuntungan yang bisa diraih yaitu
keuntungan secara ekologis, ekonomis, sosial / politis dan keuntungan
kesehatan. Berbagai keuntungan tersebut selama ini masih terbatas dirasakan
dan diyakini oleh para pelaku pertanian organik. Revolusi hijau dengan
berbagai tawaran kemudahan semu ternyata juga berpengaruh pada sikap
mental para petani dengan menciptakan budaya instan. Petani dalam
melaksanakan usaha pertanian menginginkan dapat memperoleh hasil yang
banyak dalam waktu singkat dan tidak terlalu direpotkan. Berbagai tanaman
yang dapat digunakan sebagai pestisida organik tidak lagi banyak
dimanfaatkan karena selain keterbatasan pengetahuan juga dipandang sebagai
sesuatu yang merepotkan. Kesadaran untuk mengelola lingkungan menjadi
lebih baik sering kali dikalahkan oleh pertimbangan teknis. Seiring dengan
meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mengembangkan
sistem pertanian yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, pertanian
organik menjadi salah satu pilihan yang dapat diambil.

B. TUJUAN
1. Untuk mengidentifikasi aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya di
lapangan.
2. Untuk mengetahui cara pembuatan dan cara kerja pupuk organik padat.
3. Untuk mengetahui cara pembuatan dan cara kerja pupuk organik cair.
4. Untuk mengetahui cara pembuatan dan cara kerja Plant Growth
Promoting Rhizobacteria.
5. Untuk mengetahui cara pembuatan dan cara kerja pestisida nabati.
BAB II
IDENTIFIKASI LAPANGAN

A. ASPEK EKOLOGI
1. TEORI
Ekologi dikenal sebagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal
balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Makhluk hidup
dalam kasus pertanian adalah tanaman, sedangkan lingkungannya dapat
berupa air, tanah, unsur hara, dan lain-lain. Ekologi berasal dari bahasa
Yunani oikos (rumah atau tempat hidup) dan logos (ilmu). Secara
harafiah ekologi merupakan ilmu yang mempelajari organisme dalam
tempat hidupnya atau dengan kata lain mempelajari hubungan timbal-
balik antara organisme dengan lingkungannya. Ekologi hanya bersifat
eksploratif dengan tidak melakukan percobaan, jadi hanya mempelajari
apa yang ada dan apa yang terjadi di alam. Umumnya yang dimaksud
dengan ekologi adalah “ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik
antara organisme atau kelompok organisme dengan lingkungannya”.
Saat ini ekologi lebih dikenal sebagai ”ilmu yang mempelajari
struktur dan fungsi dari alam”. Bahkan ekologi dikenal sebagai ilmu yang
mempelajari rumah tangga makhluk hidup. Kata ekologi pertama kali
diperkenalkan oleh Ernst Haeckel seorang ahli biologi Jerman pada tahun
1866. Beberapa para pakar biologi pada abad ke 18 dan 19 juga telah
mempelajari bidang-bidang yang kemudian termasuk dalam ruang
lingkup ekologi. Misalnya Anthony van Leeuwenhoek, yang terkenal
sebagai pioner penggunaan mikroskop, juga pioner dalam studi mengenai
rantai makanan dan regulasi populasi. Bahkan jauh sebelumnya,
Hippocrates, Aristoteles, dan para filosuf Yunani telah menulis beberapa
materi yang sekarang termasuk dalam bidang ekologi. Ekologi dapat
dibagi menjadi autekologi dan sinekologi:
a. Autekologi membahas sejarah hidup dan pola adaptasi individu-
individu organisme terhadap lingkungan
b. Sinekologi membahas golongan atau kumpulan organisme yang
berasosiasi bersama sebagai satu kesatuan.
Dimensi lingkungan alam menekankan kebutuhan akan stabilitas
ekosistem alam yang mencakup sistem kehidupan biologis dan materi
alam. Termasuk dalam hal ini ialah terpeliharanya keragaman hayati dan
daya lentur biologis (sumberdaya genetik), sumberdaya tanah, air dan
agroklimat, serta kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Penekanan
dilakukan pada preservasi daya lentur (resilience) dan dinamika
ekosistem untuk beradaptasi terhadap perubahan, bukan pada konservasi
suatu kondisi ideal statis yang mustahil dapat diwujudkan.
Pertanian berkelanjutan sering digambarkan sebagai kegiatan yang
layak secara ekologis yang tidak atau sedikit memberikan dampak negatif
terhadap ekosistem alam, atau bahkan memperbaiki kualitas lingkungan
dan sumberdaya alam pada mana kegiatan pertanian bergantung.
Biasanya hal di dicapai dengan cara melindungi, mendaur-ulang,
mengganti dan/atau mempertahankan basis sumberdaya alam seperti
tanah, air, keanekaragaman hayati dan kehidupan liar yang memberikan
sumbangan terhadap perlindungan modal alami. Pupuk sintetik dapat
digunakan untuk melengkapi input alami jika diperlukan. Dalam
pertanian berkelanjutan, penggunaan bahan kimia yang dikenal
berbahaya bagi organisme tanah, struktur tanah dan keanekaragaman
hayati dihindari atau dikurangi sampai minimum.

2. HASIL PENGAMATAN
Tabel 2.1 Hasil Pengamatan Aspek Ekologi/Lingkungan
Hasil Pengamatan
Aspek
Responden 1 (Ibu Siti Amining) Responden 2 (Bapak Suban)
Pengamatan
Hasil Keterangan Skala Hasil Keterangan Skala
Tanah dan Air
>50%
1. Penguasaan 100% milik
Sangat baik 5 sakap/bagi Kurang baik 2
lahan sendiri
hasil
2. Ketinggian 500-750 m Baik 4 500-750 m Baik 4
tempat
3. Kemiringan
3-5% Baik 4 3-5% Baik 4
lahan
4. Kedalaman
25-30 cm Cukup baik 3 <15 cm Tidak baik 1
solum
Geluh Geluh
5. Tekstur bahan pasir, geluh pasir, geluh
Cukup baik 3 Cukup baik 3
mineral lempung lempung
pasir pasir
6. Drainase Sedang Sangat baik 5 Sedang Sangat baik 5
7. pH tanah 5,5 - 7,5 Sangat baik 5 5,5-7,5 Sangat baik 5
8. pH air 5,5-7,5 Sangat baik 5 5,5-7,5 Sangat baik 5
9. Bahan organik 3,1-5,0% Cukup baik 3 3,1-5,0% Cukup baik 3
Tidak Tidak
10. Bau irigasi Sangat baik 5 Sangat baik 5
berbau berbau
11. Kekeruhan air
Jernih Sangat baik 5 Jernih Sangat baik 5
irigasi
12. Pengelolaan
OTS Tidak baik 1 OTS Tidak baik 1
tanah
Tanaman
1. Jenis tanaman 4-5 Jenis Baik 4 1 jenis Tidak baik 1
Selalu Selalu
2. Benih lahan
mebuat Sangat baik 5 mebuat Sangat baik 5
sawah
sendiri sendiri
Kadang-
3. Benih lahan
kadang Cukup baik 3 - Tidak ada -
tegalan
buat
4. Pupuk yang 50% 50%
Cukup baik 3 Cukup baik 3
digunakan organik organik
5. Penggunaan 100%
25% hayati Kurang baik 2 Sangat baik 5
pestisida hayati
Limbah
6. Pengelolaan 100%
tidak Tidak baik 1 Sangat baik 5
limbah dikelola
dikelola
Iklim
1. Curah hujan >1500 mm Sangat baik 5 >1500 mm Sangat baik 5
2. Suhu udara 24-29◦C Sangat baik 5 24-29◦C Sangat baik 5
3. Kelembaban
>40% Sangat baik 5 >40% Sangat baik 5
udara
4. Jumlah bulan 4-6 4-6
Cukup baik 3 Cukup baik 3
basah bulan/tahun bulan/tahun
5. Jumlah bulan 3-6 3-6
Baik 4 Baik 4
kering bulan/tahun bulan/tahun
TOTAL 88 84
Sumber : Praktikum Pertanian Berkelanjutan, 2018
Hasil pengamatan diperoleh total dari responden 1 dan 2 secara
berurutan adalah sebesar 88 dan 84 yang artinya kegiatan pesrtanian yang
dilakukan termasuk dalam kategori sangat ramah lingkungan.

B. ASPEK EKONOMI
1. TEORI
Dimensi ekonomi berkaitan dengan konsep maksimisasi aliran
pendapatan yang dapat diperoleh dengan setidaknya mempertahankan aset
produktif yang menjadi basis dalam memperoleh pendapatan tersebut.
Indikator utama dimensi ekonomi ini ialah tingkat efisiensi, dan daya
saing, besaran dan pertumbuhan nilai tambah (termasuk laba), dan
stabilitas ekonomi. Dimensi ekonomi menekankan aspek pemenuhan
kebutuhan ekonomi (material) manusia baik untuk generasi sekarang
maupun generasi mendatang.
Pertanian berkelanjutan secara ekonomi erat kaitannya dengan
kegiatan usaha tani. Usahatani yang berarti himpunan dari sumber-sumber
alam yang terdapat di tempat itu yang diperlukan untuk produksi pertanian
seperti tubuh tanah dan air, perbaikan-perbaikan yang telah dilakukan atas
tanah itu, sinar matahari,bangunan-bangunan yang didirikan di atas tanah
dan sebagainya. Usahatani ini bisa berupa usaha bercocok tanam atau
memelihara serta merawat ternak.Usahatani ini tidak dapat diartikan
sebagai perusahaan, namun usahatani ini sendiri adalah cara hidup (way of
life). Menurut Courtenay perkebunan adalah contoh dari perusahaan dan
lebih mendekati pabrik (factory) daripada usahatani.
Agar sebuah kegiatan bisa berlanjut, sebuah usahatani harus secara
ekonomi menguntungkan. Pertanian berkelanjutan dapat meningkatkan
kelayakan ekonomi melalui banyak cara. Secara singkat, meningkatkan
pengelolaan tanah dan rotasi tanaman akan meningkatkan hasil, dalam
jangka pendek maupun jangka panjang, karena meningkatkan kualitas
tanah dan ketersediaan air, seperti juga menimbulkan manfaat lingkungan.
Kelayakan ekonomi juga dapat dicapai dengan mengurangi penggunaan
peralatan mesin, mengurangi biaya pupuk kimia dan pestisida (dimana
kebanyakan petani tidak dapat membelinya), tergantung pada karakteristik
dari sistem produksinya.
Bernilai ekonomis (Economic Valueable), sistem budidaya pertanian
harus mengacu pada pertimbangan untung rugi, baik bagi diri sendiri dan
orang lain, untuk jangka pandek dan jangka panjang, serta bagi organisme
dalam sistem ekologi maupun diluar sistem ekologi.
Konsep pertanian berkelanjutan dalam perspektif ekonomi adalah
kehidupan sosial manusia (people), keberlanjutan ekologi alam (planet),
atau pilar triple-p. Segitiga pilar pembangunan (pertanian berkelanjutan)
dimensi ekonomi berkaitan dengan konsep maksimisasi aliran pendapatan
yang dapat diperoleh dengan setidaknya mempertahankan asset produktif
yang menjadi basis dalam memperoleh pendapatan tersebut yang menjadi
indikator utama dalam dimensi ekonomi ini ialah tingkat efisiensi
ekonomi, dan daya saing juga besaran dan pertumbuhan nilai tambah
termasuk dalam hal laba, serta stabilitas ekonomi.

2. HASIL PENGAMATAN
Tabel 2.2 Hasil Pengamatan Aspek Ekonomi
Hasil Pengamatan
Aspek Responden 2 (Bapak
Responden 1 (Ibu Siti Amining)
Pengamatan Suban)
Hasil Ket Skala Hasil Ket Skala
Sumber
Pendapatan
Petani Sangat Petani
5 Baik 4
1. Jenis pekerjaan pemilik baik penggarap
On +
On + off/non
2. Jenis Baik 4 off/non Baik 4
farm
pendapatan petani farm
Sistem Hasil
Cukup Kurang
Bulanan 3 Musiman 2
1. Distribusi hasil baik baik
Input Saprodi
Selalu Selalu
Sangat Sangat
1. Benih yang membuat 5 membuat 5
baik baik
digunakan sendiri sendiri
2. Pupuk yang Selalu Tidak 75%
1 Baik 4
digunakan membeli baik membuat
sendiri
Selalu
Selalu Tidak Sangat
3. Pestisida yang 1 membuat 5
membeli baik baik
digunakan sendiri
4. Tenaga kerja Semua TK Tidak Semua TK Tidak
1 1
yang terlibat upah baik upah baik
5. Kepemilikan Cukup Kurang
Milik sendiri 3 Bengkok 2
lahan baik baik
Milik
Milik sendiri
6. Alsintan yang Baik 4 sendiri + Baik 4
+ sewa/beli
digunakan sewa/beli
Tidak Sangat Tidak Sangat
5 5
7. Air pengairan membayar baik membayar baik
Tingkat
Pendapatan
Cukup
1. Tingkat Kadang bisa (tdk bisa Cukup
pendapatan menabung Baik 4 menabung) baik 3
Total 36 39
Sumber : Praktikum Pertanian Berkelanjutan, 2018
Hasil pengamatan menunjukkan total skala pengamatan pada
responden 1 dan 2 masing-masing sebesar 36 dan 39 yang artinya kegiatan
budidaya yang dilakukan dapat dikatakan menguntungkan.

C. ASPEK SOSIAL BUDAYA


1. TEORI
Sosial budaya adalah segala hal yang diciptakan oleh manusia
dengan pemikiran dan budi nuraninya untuk dan dalam kehidupan
bermasyarakat. Atau lebih singkatnya manusia membuat sesuatu
berdasarkan budi dan pikiranya yang diperuntukkan dalam kehidupan
bermasyarakat. Sosial budaya juga dapat diartikan sebagai suatu kebiasaan
yang berlandaskan akan kepercayaan. Suatu tradisi yang dipercaya dapat
membawa nasib baik meski tidak masuk dalam logika yang sehat.
Sosial budaya mengandung makna sosial dan budaya. Ranjabar
(2013) mengatakan sosial dalam arti masyarakat atau kemasyarakatan
yang bertalian dengan sistem hidup bersama atau hidup bermasyarakat.
Budaya dimaknai sebagai kultur atau kebudayaan yaitu suatu cara atau
sikap hidup manusia dalam hubungannya secara timbal balik dengan alam
dan lingkungan hidupnya yang di dalamnya sudah tercakup segala hasil
dari cipta, rasa, karsa dan karya, baik bentuk fisik materil maupun
psikologis, idiil dan spritual. Secara antropolgi, sosial budaya digambarkan
tentang bagaimana perilaku manusia dengan konteks sosial budayanya.
Sedangkan Supardan (2008), berpendapat susunan masyarakat dilihat dari
sudut pandang bagaimana hubungan antarmanusia dan proses-proses sosial
yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat yang memiliki
pranata sosial budaya. Masyarakat juga pada dasarnya selalu hidup di
dalam suatu lingkungan yang serba berpranata. Hal yang sama dikatakan
Narwoko dan Suyatno (2011), segala tindak tanduk atau perilaku manusia
senantiasa akan diatur menurut cara-cara tertentu yang sudah disepakati
bersama.
Dimensi sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan dengan
kebutuhan akan kesejahteraan sosial yang dicerminkan oleh kehidupan
sosial yang harmonis (termasuk tercegahnya konflik sosial), preservasi
keragaman budaya dan modal sosio-kebudayaan, termasuk perlindungan
terhadap suku minoritas. Untuk itu, pengentasan kemiskinan, pemerataan
kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipasi sosial politik dan
stabilitas sosial-budaya merupakan indikator-indikator penting yang perlu
dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan.
Berwatak sosial atau kemasyarakatan (Socially Just), sistem
pertanian harus selaras dengan norma-noma sosial dan budaya yang dianut
dan di junjung tinggi oleh masyarakat disekitarnya sebagai contoh seorang
petani akan mengusahakan peternakan ayam di pekarangan milik sendiri.
Mungkin secra ekonomis dan ekologis menjanjikkan keuntungan yang
layak, namun ditinjau dari aspek sosial dapat memberikan aspek yang
kurang baik misalnya, pencemaran udara karena bau kotoran ayam.
Norma-norma sosial dan budaya harus diperhatikan, apalagi dalam sistem
pertanian berkelanjutan di Indonesia biasanya jarak antara perumahan
penduduk dengan areal pertanian sangat berdekatan. Didukung dengan
tingginya nilai sosial pertimbangan utama sebelum merencanakan suatu
usaha pertanian dalam arti luas.
2. HASIL PENGAMATAN
Tabel 2.3 Hasil Pengamatan Aspek Sosial Budaya
Hasil Pengamatan
Responden 1 (Ibu Siti
Aspek Pengamatan Responden 2 (Bapak
Amining)
Suban)
Hasil Ket Skala Hasil Ket Skala
Umur Petani
>55 Tidak 36-45 Cukup
1. Usia petani 1 3
tahun baik tahun baik
Pendidikan Petani
Sangat Cukup
1. Pendidikan formal PT 5 SMP 3
baik baik
2 kali Cukup 3-4 kali
2. Pendidikan nonformal 3 Baik 4
/musim baik /musim
Luas Lahan Usahatani
0,51- Cukup <0,25 Tidak
1. Luas lahan 3 1
0,75 ha baik ha baik
Tingkat Keterbukaan
1. Terbuka terhadap
Terbuka Baik 4 Terbuka Baik 4
inovasi
2. Kemampuan Cukup Tidak
41-60% 3 <21% 1
pendanaan inovasi Baik baik
Total 19 16
Sumber : Praktikum Pertanian Berkelanjutan, 2018
Hasil pengamatan mengenai aspek sosial dan budaya pada responden
1 dan 2 masing-masing menunjukkan total sebesar 19 dan 16 yang artinya
kedua reponden tersebut termasuk petani yang hai-hati dalam bertindak
dan mengambil keputusan.

D. PEMBAHASAN
1. ASPEK EKOLOGI
Hasil pengamatan diperoleh total dari responden 1 dan 2 secara
berurutan adalah sebesar 88 dan 87 yang artinya kegiatan pesrtanian yang
dilakukan termasuk dalam kategori sangat ramah lingkungan.
Berdasarkan hasil pengamatan indikator aspek ekologi pertanian
berkelanjutan yang diamati didapatkan aspek ekologi dari responden Bu
Siti sebagai berikut; lahan yang dimiliki oleh Bu Siti 100% milik sendiri
dengan ketinggian lahannya 500-750 m dengan kemiringan 3-5%.
Kedalaman solum sebesar 25-30 cm dengan tekstur bahan mineral berupa
geluh pasir, geluh lempung pasir, drainase sedang, pH tanah antara 5,5-7,5
dan pH air antara 5,5-7,5, besarnya pH tanah dan air didapat dari
pengukuran dengan pH stick pada sampel tanah dan sampel air. Air irigasi
tidak berbau dan jernih. Bahan organiknya tergolong cukup yang berkisar
antara 3,1-5,0%, pengamatan bahan organik yang terdapat didalam tanah
dapat dilihat dari banyaknya gelembung yang muncul ketika pengujian
dengan meneteskan larutan H2O2 10% sebanyak 3 kali pada sampel tanah..
Pengelolaan tanah yang dilakukan yaitu pengolahan tanah sempurna
dengan pengolahan sebanyak dua kali dalam satu tahun. Jenis tanaman
yang dibudidayakan oleh Bu Siti empat sampai lima komoditas, antara
lain; padi, cabai, tomat, dan ketela pohon. Benih yang digunakan oleh Bu
Siti untuk lahan sawh yaitu membuat sendiri sedangkan untuk lahan
tegalan kadang-kadang membuat. Pupuk yang diaplikasikan berupa pupuk
campuran organik dan kimia, antara lain; pupuk NPK, ZA, pupuk kandang
dari kotoran sapi dan ayam. Pestisida yang digunakan oleh Bu Siti untuk
pengendalian OPT sebagian besar berupa pestisda kimia. Limbah yang
diperoleh dari kegiatan budidaya di lahan belum dilakukan pengelolaan.
Berdasarkan hasil pengamatan indikator aspek ekologi pertanian
berkelanjutan yang diamati didapatkan aspek ekologi dari responden Pak
Suban sebagai berikut; lahan yang dimiliki oleh Pak Suban adalah lahan
garapan atau bagi hasil dengan ketinggian lahannya 500-750 m dengan
kemiringan 3-5%. Kedalaman solum sebesar <15 cm dengan tekstur bahan
mineral berupa geluh pasir, geluh lempung pasir dengan drainase sedang,
pH tanah antara 5,5-7,5 dan pH air antara5,5-7,5, besarnya pH tanah dan
air didapat dari pengukuran dengan pH stick pada sampel tanah dan
sampel air. Air irigasi tidak berbau dan jernih (tidak keruh). Bahan
organiknya tergolong cukup yang berkisar antara 3,1-5,0%, pengamatan
bahan organik yang terdapat didalam tanah dapat dilihat dari banyaknya
gelembung yang muncul ketika pengujian dengan meneteskan larutan
H2O2 10% sebanyak 3 kali pada sampel tanah. Pengelolaan tanah yang
dilakukan yaitu pengolahan tanah sempurna dengan pengolahan sebanyak
dua kali dalam satu tahun. Jenis tanaman yang dibudidayakan oleh Pak
Suban adalah satu jenis tanaman saja yaitu padi. Benih yang digunakan
oleh Pak Suban selalu ia buat sendiri. Pupuk yang diaplikasikan cmpuran
pupuk organik yang berasal dari kotoran sapi dan ayam serta pupuk kimia.
Pestisida yang digunakan oleh Pak Suban untuk pengendalian OPT berupa
pestsisda nabati. Limbah yang diperoleh dari kegiatan budidaya di lahan
dilakukan pengelolaan.
Iklim di Dusun Ngentak, Sawangan, Magelang memiliki curah hujan
yang tergolong tinggi yaitu di atas >1500 mm dengan suhu udara berkisar
antara 24-29oC dan kelembaban udara >40%. Jumlah bulan basah
sebanyak 4-6 bulan dalam satu tahun dan jumlah bulan kering sebanyak 3-
6 bulan dalam satu tahun.
Desa Sawangan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang,
merupakan daerah yang berpotensi untuk mengembangkan pertanian
secara umum, dapat dilihat dari sumber daya alamnya sendiri seperti tanah
di lingkungan sekitar masih merupakan tanah muda sehingga banyak
mengandung unsur hara, selain itu sumber air yang melimpah dapat
menjadikan pengairan yang sangat lancar di Desa Sawangan sendiri.
Meskipun sumber air sangat berlimpah, masyarakat desa belum dapat
memanfaatkan air tersebut secara optimal. Dapat dilihat di lapangan bahwa
air hanya digunakan untuk keperluan sehari-hari, mengairi sawah, dan
membuat kolam-kolam ikan milik pribadi. Oleh karena itu, diperlukan
adanya sosialisasi ataupun pelatihan kepada masyarakat agar dapat
mengoptimalkan penggunaan sumber daya alam yang ada seoptimal
mungkin, seperti dengan membuat pembangkit listrik tenaga air ataupun
membuat perikanan yang dikelola bersama. Tidak hanya itu, terdapat
beberapa persoalan yang ada di desa Sawangan, yaitu pola pergiliran
tanaman di Desa Sawangan kurang serempak sehingga mengakibatkan
tetap adanya hama di sekitar lahan karena pergiliran tanaman yang belum
terorganisisr dengan baik. Hal itu dapat perlahan diatasi dengan
diadakannya pola pergiliran tanaman yang terstruktur agar dapat
memutuskan mata rantai hama.
Seperti yang telah dibahas di atas bahwa pola pergiliran tanaman di
Sawangan masih belum terstruktur, biasanya petani Sawangan hanya
menanam padi terus menerus. Hal tersebut berakibat pada menurunnya
kualitas tanah karena dilakukan pengolahan secara terus menerus. Oleh
sebab itu, diperlukan adanya perbaikan cara pengolahan tanah dan pola
pergiliran tanaman agar sifat fisik, kimia, dan biologi tanah tetap terjaga.
Sebagai akibat dari penanaman padi secara terus menerus, maka timbul
persoalan lain yaitu belum adanya pengolahan limbah hasil pertanian itu
sendiri. Selama ini limbah seperti jerami hanya digunakan sebagai pakan
ternak atau dibirkan begitu saja di sawah dengan tujuan sebagai penyubur,
bahakan masih terdapat beberapa petani yang membakar jerami tersebut di
lahan persawahan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, perlu diadakannya
sosialisasi kepada petani mengenai pemanfaatan dan pengolahan limbah
pertanian seperti diolah menjadi pupuk organik padat maupun cair yang
berasal dari jerami sehingga akan mudah terserap oleh tanah dan tanaman.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa tujuan jangka panjang di Desa
Sawangan adalah menjadi sentra pertanian padi organik. Namun faktanya
saat ini masih banyak petani yang tetap menggunakan pupuk kimia
ataupun pestisida yang mereka beli di pasaran. Padahal hal itu dapat
mempengaruhi juga pada lahan-lahan sekitar yang telah menggunakan
sistem pertanian organik. Oleh karena itu, dalam kelompok tani
seharusnya sering dilakukan pengontrolan terhadap penggunaan pupuk,
pestisida, dan insketisida. Agar para perkembangan petani yang masih
semi organik mengarah ke organik dapat mengalami kemajuan yaitu
kearah pertanian organik sutuhnya.
2. ASPEK EKONOMI
Hasil pengamatan menunjukkan total skala pengamatan pada
responden 1 dan 2 masing-masing sebesar 36 dan 39 yang artinya kegiatan
budidaya yang dilakukan dapat dikatakan menguntungkan. Berdasarkan
hasil pengamatan tersebut dapat dikatakan bahwa budidaya dilahan
tersebut merupakan kegiatan pertanian yang layak untuk dikembangkan
karena mendatangkan keuntungan bagi petani.
Berdasarkan hasil pengamatan indikator aspek ekonomi pertanian
berkelanjutan yang diamati didapatkan aspek ekonomi Bu Siti yaitu jenis
pekerjaan sebagai petani pemilik dengan pendapatan yang berasal dari
pertanian (on farm) dari lahan yang dimiliki dan off/non farm, tenaga kerja
yang terlibat dalam penggarapan lahan semuanya berasal dari tenaga kerja
upah. Pendapatan Bu Siti diperoleh secara bulanan, sesuai dengan
komoditas tanaman yang ditanam, pendapatan yang diperoleh Bu Siti
dinilai tinggi dan kadang mampu menabung dari pendapatannya. Bu Siti
mendapatkan benih atau bahan tanam dengan cara sebagian besar
membuat sendiri, selain itu Bu Siti selalu memenuhi kebutuhan pupuk dan
pestisida dengan membeli. Bu Siti memiliki sendiri alat dan mesin
pertanian berupa cangkul, alat penyemprot pestisida, gembor, dan alat
bajak yang sewa pada kelompok tani. Petani di Dusun Ngentak tidak
membayar iuran untuk air pengairan. Berdasarkan hal-hal di atas, Bu Siti
memiliki skor sebesar 36 dalam aspek ekonomi, hal ini menunjukkan
bahwa praktik pertanian yang dilakukan oleh Bu Siti dapat dinilai
meguntungkan.
Pada responden Bapak Suban didapatkan aspek ekonomi sumber
pendapatan dengan jenis pekerjaan petani penggarap dengan tenaga kerja
yang terlibat adalah semua merupakan tenaga kerja upah. Jenis pendapatan
Bapak Suban adalah on farm dan off/non farm. Distribusi hasil yaitu
musiman, untuk manajemen usaha tani pada benih atau bahan tanam
Bapak Suban membuat sendiri, pupuk yang digunakan sebagian besar
dibuat sendiri dari kotoran ternak, pestisida yang digunakan berupa
pestsisida nabati yang selalu membuat sendiri. Alat dan mesin pertanian
yang digunakan merupakan milik sendiri dan sewa, air pengairan yang
digunakan tidak dikenai biaya iuran. Berdasarkan indikator aspek ekonomi
tersebut didapatkan total skor sebesar 39 yang termasuk kriteria
menguntungkan, artinya sistem pertanian berkelanjutan ini
menguntungkan bagi Bapak Suban.
Desa Sawangan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang,
memiliki beberapa potensi apabila dilihat dari aspek ekonomi. Beberapa
potensi di Desa Sawangan diantaranya yaitu sebagian besar pendapatan
warga desa diperoleh dari hasil pertanian dan non pertanian, pendapatan
yang didapatkan oleh pemilik lahan sudah cukup tinggi, dan benih ataupun
bibit yang digunakan oleh petani sebagian besar berasal atau dibuat sendiri
oleh petani tersebut. Seperti halnya benih padi dibuat sendiri oleh para
petani di desa tersebut. Selain itu, potensi lain yang ada yaitu karena
melimpahnya keberadaan sumber daya air di Desa Sawangan maka
pengairan untuk lahan-lahan persawahan disana hampir tidak
mengeluarkan biaya.
Akan tetapi, meskipun terdapat beberapa potensi yang cukup
menguntungkan, di Desa Sawangan juga masih terdapat beberapa persolan
dalam aspek ekonomi yang belum dapat teratasi secara keseluruhan.
Persoalan pertama yang muncul yaitu para petani hanya memperoleh
pendapatan atau hasil pada saat panen padi saja. Hal itu dapat diatasi
dengan petani sebaiknya menanam tanaman lain yang memiliki usia panen
tidak selama padi agar petani tetap memperoleh pendapatan atau hasil dari
hasil panen komoditi yang lain. Komoditas yang dapat digunakan dapat
berupa tanaman kacang-kacangan ataupun tanaman cabai, karena hasil dari
tanaman ini dapat menggantikan pendapatan petani dari padi. Selain itu,
penanaman tanaman Kacang-kacangan juga dapat menurunkan kebutuhan
petani dalam pemberian pupuk Nitrogen terhadap tanaman selanjutnya.
Hal ini dikarenakan tanaman kacang-kacangan dapat menambat nitrogen
sehingga dapat menurunkan penambahan pupuk nitrogen dari luar, dengan
demikian pengeluaran petani untuk membeli pupuk akan berkurang.
Apabila penambahan komoditas tanaman telah dilakukan, petani
penggarap akan dapat meningkatkan penghasilan yang pada awalnya rata-
rata rendah.
Petani di Desa Sawangan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten
Magelang juga memiliki persoalan dimana terdapat beberapa sarana dan
prasarana serta modal untuk kegiatan usaha tani yang masih terbatas.
Solusi terbaik untuk memecahkan persoalan tersebut yaitu dengan cara
dibentuk koperasi di Desa Sawangan sebagai penyedia sarana dan
prasarana serta pinjaman mdal kepada petani di desa tersebut. Selain itu
dilihat dari segi ekonomi, kelompok tani di desa ini juga masih belum
memiliki sistem administrasi keuangan yang terstruktur. Oleh karena itu
diperlukan adanya sosialisasi dan pendampingan kepada petani dan
kelompok tani mengenai administrasi atau pembukuan kelembagaan agar
lebih tersusun secara sistematis. Belum adanya pembukuan di dalam
kelompok tani juga berakibat pada belum terpenuhinya permintaan pasar
akan beras dengan baik. Dengan demikian seharusnya petani dan
kelompok tani lebih bisa meningkatkan produkivitas serta lebih bisa
melihat seberapa besar permintaan pasar sesuai kemampuan yang dapat
dipenuhi.

3. ASPEK SOSIAL BUDAYA


Hasil pengamatan mengenai aspek sosial dan budaya pada responden
1 dan 2 masing-masing menunjukkan total sebesar 19 dan 16 yang artinya
kedua reponden tersebut termasuk petani yang hai-hati dalam bertindak
dan mengambil keputusan.
Berdasarkan hasil pengamatan indikator variabel faktor ekternal dan
internal petani yang diamati diketahui data pada responden Bu Siti dan
Bapak Suban. Bu Siti berusia >55 tahun dengan pendidikan terakhir tidak
tamat Perguruan Tinggi, pendidikan nonformalnya yaitu Bu Siti mengikuti
kegiatan pelatihan 2 kali per musim, luas lahan usaha tani seluas 0,51-0,75
ha. Bu Siti terbuka terhadap inovasi baru dengan cara menerima dan
menyebarkan inovasi-inovasi baru tersebut, artinya Bu Siti bersedia
menerapkan inovasi-inovasi baru yang diajarkan dari penyuluhan dan
bimbingan tentang pertanian berkelanjutan. Kemampuan pendanaan Bu
Siti dalam melakukan usahanya ada pada kriteria sedang, Bu Siti mampu
mendanai sebesar 41-60%, artinya Bu Siti kurang mampu mendanai
usahanya sendiri dan masih membutuhkan pendanaan dari pihak luar.
Total skor keseluruhan antara variabel faktor eksternal dan internal pada
Bu Siti yaitu 17 yang termasuk dalam kriteria hati-hati dalam bertindak
dan mengambil keputusan.
Pada responden Pak Suban, diketahui Pak Suban berusia antara 36-
45 tahun dengan pendidikan terakhir tidak tamat SMP, pendidikan
nonformalnya berupa pelatihan yang diikutinya sebanyak 3-4 kali per
musim, luas lahan usaha tani seluas <0,25 ha, tingkat keterbukaan inovasi
yaitu Pak Suban terbuka terhadap inovasi baru. Kemampuan pendanaan
Pak Suban dalam melakukan usahanya ada pada kriteria <21% yang
berarti sangat kurang, artinya Pak Suban kurang mampu mendanai
usahanya sendiri dan masih membutuhkan pendanaan dari pihak luar.
Total skor Pak Suban sebesar 16 yaitu termasuk dalam kriteria hati-hati
dalam bertindak dan mengambil keputusan.
Pada aspek sosial/budaya para petani di desa Sawangan, Kecamatan
Sawangan, Kabupaten Magelang memiliki beberapa potensi yang
diantaranya pendidikan yang cukup baik. Masyarakat desa Sawangan juga
terbuka akan inovasi-inovasi baru yang berkembang di desa tersebut.
Seperti contohnya penggunaan varietas baru yang lebih menguntungkan,
mereka bersedia untuk menggunakan varietas tersebut untuk sawah
mereka. Sikap gotong royong antar warga sangat terjaga dengan baik.
Meskipun pada aspek sosial/budaya di desa Sawangan memiliki
potensi yang cukup baik, desa Sawangan juga memiliki permasalahan
dalam apek sosial/budaya. Permasalahan tersebut antara lain usia rata-rata
petani di desa Sawangan sudah cukup tua sehingga untuk mengatasi hal
mengenai pengembangan sosial/budaya seharusnya para petani yang sudah
tua di bantu oleh para pemuda-pemudi. Petani di desa Sawangan juga
memiliki lahan pertanian yang kurang luas hanya berkisar kurang lebih
1000 m2 tiap petani penggarap yang ada. Oleh karena itu para petani
diharapkan dapat mengadopsi pola tanam yang tepat agar mendapatkan
hasil yang maksimal. Seperti konsep pertanian SRI yang digiatkan oleh
pemerintah saat ini, atau menggunakan pola penanaman Jajar Legowo
yang sedang digiatkan pula oleh pemerintah saat ini.
Permasalahan lain yang ada di desa Sawangan adalah para petani
tidak mampu dalam pendanaan inovasi sehingga perlu dilakukan
sosialisasi terkait kemitraan dengan pihak lain. Kurang seringnya diadakan
penyuluhan kepada petani juga menjadi masalah yang ada di desa
Sawangan. Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut perlu ditingkatkan
kegiatan penyuluhan kepada petani untuk meningkatkan tingkat
keorganikan dari produk-produk yang dihasilkan. Peran pemuda dalam
bidang pertanian di desa Sawangan juga masih sangat kurang sehingga
diharapkan adanya karang taruna sebagai wadah para pemuda-pemudi di
desa Sawangan untuk dapat berkontribusi dalam bidang pertanian. Dengan
begitu, pertanian di desa Sawangan dapat berkembang lebih baik.
BAB III
PUPUK ORGANIK PADAT

A. TEORI
Pupuk adalah material yang ditambahkan pada media tanam atau
tanaman untuk mencukupi kebutuhan hara yang diperlukan tanaman sehingga
mampu berproduksi dengan baik. Material pupuk dapat berupa bahan organik
ataupun nonorganik. Pupuk organik umumnya dihasilkan dari proses
pengomposan sehingga sering disebut juga dengan kompos. Pengomposan
merupakan proses dimana bahan-bahan organik mengalami penguraian secara
biologis , khususnya oleh mikroba-mikroba yang dapat memanfaatkan bahan
organik sebagai sumber energy (Dwicaksono dkk, 2013).
Pupuk organik merupakan pupuk yang sebagian atau seluruhnya berasal
dari hewan maupun tumbuhan yang berfungsi sebagai penyuplai unsur hara
tanah sehingga dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah
menjadi lebih baik (Nurhidayati, dkk., 2008). Pupuk organik merupakan hasil
dekomposisi bahan-bahan organik yang diurai (dirombak) oleh mikroba, yang
hasil akhirnya dapat menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pupuk organik sangat penting
artinya sebagai penyangga sifat fisik, kimia, dan biologi tanah sehingga dapat
meningkatkan efisiensi pupuk dan produktivitas lahan. Sejumlah penelitian
menunjukkan bahwa pemakaian pupuk organik juga dapat memberi
pertumbuhan dan hasil tanaman yang baik (Rahmatika, 2010).
Pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik tanah karena pembentukan
agregat yang lebih stabil, memperbaiki aerasi dan drainase tanah, dapat
mengurangi erosi karena infiltrasi air hujan berlangsung baik serta
kemampuan tanah menahan air meningkat. Pupuk organik dapat memperbaiki
sifat kimia tanah karena dapat meningkatkan unsur hara tanah baik makro
maupun mikro, meningkatkan efisiensi pengambilan unsur hara,
meningkatkan kapasitas tukar kation, dan dapat menetralkan sifat racun Al
dan Fe. Pupuk organik juga dapat memperbaiki sifat biologi tanah karena
pupuk organik menjadi sumber energi bagi jasad renik/mikroba tanah yang
mampu melepaskan hara bagi tanaman.
Pupuk organik juga memilik keunggulan dan kelemahan (Novitam,
1999). Keunggulan dari pupuk organik adalah.
1. Meningkatkan kandungan air dan dapat menahan air untuk kondisi
berpasir.
2. Meningkatkan daya tahan terhadap pengikisan.
3. Meningkatkan pertukaran udara, jumlah pori-pori dan sifat peresapan air
4. untuk kondisi tanah liat.
5. Menurunkan tingkat kekerasan lapisan permukaan tanah.
6. Aman (ramah lingkungan).
7. Efektif dan ekonomis (murah/mudah di dapat).
8. Aplikasi yang mudah (bisa diaplikasikan sebelum atau sesudah masa
tanam).
Kelemahan dari pupuk organik yaitu diperlukannya dalam jumlah yang
sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan unsur hara dari suatu pertanaman,
hara yang dikandung untuk bahan yang sejenis sangat bervariasi baik dalam
pengangkutan maupun penggunaannya dilapangan, dan kemungkinan akan
menimbulkan kekahatan unsur hara apabila bahan organik yang diberikan
belum cukup matang (Novitam, 1999).
Pupuk kandang adalah pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak.
Kualitas pupuk kandang sangat tergantung pada jenis ternak, kualitas pakan
ternak, dan cara penampungan pupuk kandang. Penambahan pupuk kandang
dapat meningkatkan kesuburan dan produksi pertanian. Hal ini disebabkan
tanah lebih banyak menahan air sehingga unsur hara akan terlarut dan lebih
mudah diserap oleh buluh akar. Sumber hara makro dan mikro dalam keadaan
seimbang yang sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Unsur mikro yang tidak terdapat pada pupuk lainnya bisa
disediakan oleh pupuk kandang, misalnya S, Mn, Co, Br, dan lain-lain
(Sarief, 1989).
Ciri-ciri pupuk kandang yang baik dapat dilihat secara fisik atau kimiawi.
Ciri fisiknya yakni berwarna kehitaman, cukup kering, tidak mengandung dan
tidak berbau menyengat. Ciri kimiawinya adalah C/N rasio kecil (bahan
pembentuknya sudah tidak terlihat) dan temperaturnya relatif stabil (Novizan,
2002).
Feses adalah produk buangan saluran pencernakan hewan yang
dikeluarkan melalui anus atau kloaka. Pada manusia proses pembuangan
kotoran dapat terjadi (tergantung pada individu dan kondisi) antara sekali
setiap satu atau dua hari hingga beberapa kali dalam sehari. Kotoran sapi
yang berupa feses mengandung nitrogen yang tinggi. Jumlah Nitrogen yang
dapat diperoleh dari kotoran sapi dengan total bobot badan ± 120 kg (6 ekor
sapi dewasa) dengan periode pengumpulan kotoran selama tiga bulan sekali
mencapai 7,4 kg. Jumlah ini dapat disetarakan dengan 16,2 kg Urea (46%
Nitrogen) (Prihandini, 2007).
Menurut Putro (2007) bau khas dari feses disebabkan oleh aktivitas
bakteri. Bakteri menghasilkan senyawa seperti indole, skatole, dan thiol
(senyawa yang mengandung belerang), dan juga gas hidrogen sulfida. Feses
hewan dapat digunakan sebagai pupuk kandang dan sebagai sumber bahan
bakar yang disebut bio gas.
Pupuk kandang dari kotoran sapi memiliki kandungan serat yang tinggi.
Serat atau selulosa merupakan senyawa rantai karbon yang akan mengalami
proses dekomposisi lebih lanjut. Proses dekomposisi senyawa tersebut
memerlukan unsur N yang terdapat dalam kotoran. Sehingga kotoran sapi
tidak dianjurkan untuk diaplikasikan dalam bentuk segar, perlu pematangan
atau pengomposan terlebih dahulu (Risnandar, 2012).
Pengomposan merupakan salah satu cara untuk membuat pupuk organic,
namun cara ini membutuhkan waktu yang relatif lama. Usaha untuk
mempercepat pengomposan telah banyak dilakukan, diantaranya adalah
dengan perlakuan fisik seperti memperkecil ukuran bahan yang akan
dikomposkan atau dengan perlakuan kimia seperti
pemberian effective innoculant sebagai dekomposer bahan organic menjadi
kompos/humus. Pengomposan adalah proses dimana bahan organic
mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba
yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos
adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat
terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang
seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan
pemberian effective innoculant/aktivator pengomposan (Haumahu, 2012).
Faktor-faktor yang mempengaruhui proses pengomposan antara lain:
1. Rasio C/N
Rasio C/N yang efektif untuk proses v pengomposan berkisar antara
30: 1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa senyawa C sebagai
sumber energy dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio
C/N di sntsrs 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi N
untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan
kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan
lambat. Umumnya, masalah utama pengomposan adalah rasio C/N yang
tinggi, terutama jika bahan utamanya adalah mengandung kadar kayu
tinggi (sisa gergaji kayu, ranting, ampas tebu, dsb). Untuk menurunkan
rasio C/N diperlukan khusus, misalnya menambahkan mikrooganisme
selulotik atau dengan menambahkan kotoran hewan mengandung banyak
senyawa nitrogen.
2. Ukuran Partikel
Aktivitas mikroba berada di antara permukaan area dan udara.
Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara
mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat.
Ukuran partikel juaga menentukan besarnya ruang antara bahan
(porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan
memperekecil ukuran partikel bahan tersebut.
3. Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjhadi dalam kondisi yang cukup
oksigen (aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi
peningkatan suhu yang menybabkan udara hangat keluar dan udara yang
lebih dingin masuk kedalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh
porositas dan kandungan air bahan (kelembapan). Apabila aerasi
terhambat. Maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan
bau yang tidak sedap. Aerasi dapat di tingkatkan dengan melakukan
pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos.
4. Porositas
Porositas adalah ruang di antara partikel di dalam tumpukan kompos.
Porositas di hitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan
volume total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara
akan mensuplay Oksigen untuk proses pengomposan. Apabila dijenuh
oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan
juga akan terganggu.
5. Kelembapan (Moisture content)
Kelembapan memegang peranan yang sangat penting dalam proses
metabolism mikroba dan secar tidak langsung berpengaruh pada suplay
oksigen. Mikrooranisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila
tersebut larut di dalam air. Kelmbapan 40 – 60% adalah kisaran optimum
untuk metabolism mikroba. Apabila kelembapan di bawah 40%, aktivitas
mikroba akan mengalami penururnan dan akan lebih rendah lagi pada
kelembapan 15%. Apabila kelembapan lebih besar dari 60%, hara akan
tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan
menurun dan akan terjadi fementasi anaerobik yang menimbulkan bau
tidak sedap.
6. Temperatur/Suhu
Panas dihasilkan dari sktivitas mikroba. Ada hubungan langsung
antara peningkatan suhu dengan komsumsi oksigen. Semakin tinggi
temperature akan semakin banayak komsumsi oksigen dan akan semakin
cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan
cepat pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30 –
6000C menunjukan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih
tinggi dari 6000C akan membunuh sebagian miikroba dan hanya mikroba
thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga
akan membunuh mikroba-mikroba pathogen tanaman dan benih-benih
gilma.
7. pH
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH
yang optimum untuk proses pengomposan bersekitar antara 6.5 sampai
7.5 pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 sampai 7.4. Proses
pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organic
dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara
temporer atau local, akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman),
sedangkan produksi amoni dari senyawa-senyawa yang mengandung
nitrogen akan meningkatkan pH dan fase-fase awal pengomposan. pH
kompos yang sudah matang biasanya omendekati netral.
8. Kandungan Hara
Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan
biasanya terdapat di dalam kompos-kompos dari pertenakan. Hara ini
akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan.
9. Kandungan Bahan Berbahaya
Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang
berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logan berat seperti Mg, Cu,
Zn, Nickel, Cr adalah beberapa tahun yang termasuk katagori ini.
Logam-logam berat akan mengalami imobilisai selama proses
pengomposan.
10. Lama Pengomposan
Lama waktu pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang
dikomposkan, metode pengomposan yang dipergunakan dan dengan atau
tanpa penambahan aktivator pengomposan. Secara alami pengomposan
akan berlangsung dalam waktu beberapa dalam waktu beberapa minggu
sampai 2 tahun hingga kompas benar-benar matang (Toharisma, 1991).
B. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
a. Cangkul
b. Garu
c. Gembor
d. Ember
e. Terpal
f. Alat pengangkut kotoran sapi (gerobak sorong)
g. Tempat pembuatan dan penyimpanan
2. Bahan
a. Kotoran sapi 80-83%
b. Kapur gamping 2%
c. Bioaktivator 0,25%
d. Air secukupnya
e. Molase
f. Serbuk gergaji 5%
g. Abu sekam 10%

C. CARA KERJA
1. Menyiapkan tempat pembuatan pupuk
2. Menyiapkan alat dan bahan untuk pembuatan pupuk
3. Memasukkan 1/3 bagian kotoran sapi pada lapisan pertama
4. Menambahkan serbuk gergaji, dolomit, abu sekam bakar diatas lapisan
kotoran sapi
5. Menyiram dengan molase dan bioaktivator yang telah dilarutkan dalam
air secara merata
6. Membuat ulangan seperti lapisan pertama untuk lapisan kedua
7. Menambahkan kotoran sapi untuk lapisan ketiga
8. Menyiram dengan molase dan bioaktivator yang telah dilarutkan dalam
air secara merata
9. Menutup dengan menggunakan terpal, agar proses dekomposisi berjalan
dengan baik

D. HASIL PENGAMATAN
Tabel 3.1. Hasil Pengamatan Pembuatan Pupuk Organik Padat
Waktu Parameter
Pengamatan Warna Bau Tekstur
Minggu ke-1 Hijau Menyengat Lembek
Agak lembek
Minggu ke-2 Coklat kehijauan Agak menyengat

Sumber : Praktikum Pertanian Berkelanjutan, 2018

E. PEMBAHASAN
Pada praktikum pembuatan pupuk organik padat ini, setelah dilakukan
pemeraman selama satu minggu kemudian dilakukan pembalikan pupuk.
Proses pengomposan yang baik dan berjalan cepat memerlukan sirkulasi
udara yang berjalan lancar. Membalik pupuk dilakukan setiap satu minggu
sekali bertujuan membuang panas yang berlebihan, memperlancar sirkulasi
udara, meratakan proses pelapukan di setiap bagian tumpukan, membantu
penghancuran bahan menjadi partikel kecil-kecil, mempercepat penurunan
kadar air dan meningkatkan homogenitas bahan. Berdasarkan hasil praktikum
pembuatan pupuk organik padat dengan bahan dasar berupa kotoran sapi
dapat diketahui bahwa hasil pengamatan pada minggu pertama, pupuk masih
berwarna hijau dengan bau menyengat dan tekstur masih seperti kotoran sapi
pada umumnya (lembek). Pada minggu kedua warna pupuk mengalami
sedikit perubahan yaitu coklat kehijauan. Namun bau pupuk tersebut masih
agak menyengat dengan tekstur pupuk yang masih agak lembek atau seperti
tekstur awal kotoran sapi. Dari kedua pengamatan tersebut dapat diartikan
bahwa pupuk organik padat dari kotoran sapi belum mengalami dekomposisi
secara sempurna sehingga belum matang. Hal tersebut dikarenakan proses
dekomposisi kotoran sapi membutuhkan waktu yang lama. Perombakan pada
pupuk kandang sapi berjalan lambat karena air dan udara sulit menembus
kedalam pupuk karena strukturnya keras sehingga hara tersedia lambat bagi
tanaman.
Ciri-ciri kompos sudah jadi dan baik adalah: warna kompos biasanya
coklat kehitaman. Aroma kompos yang baik tidak mengeluarkan aroma yang
menyengat, tetapi mengeluarkan aroma lemah seperti bau tanah atau bau
humus hutan. Apabila dipegang dan dikepal, kompos akan menggumpal.
Apabila ditekan dengan lunak, gumpalan kompos akan hancur dengan mudah
(Farida, 2000).
Pemberian dolomit pada proses pengomposan bertujuan untuk
memberikan pengaruh yang baik, maka pH kompos harus mendekati netral
atau agak alkalin.Pada kondisi tersebut mikroorganisme mampu berkembang
dengan baik sehingga proses dekomposisi berjalan dengan baik.
Pada pembuatan pupuk organik padat ini juga ditambahkan bioaktivator
berupa EM4 dan ditambahkan molase. Effective microorganism (EM4)
merupakan bahan yang mengandung beberapa mikroorganisme yang sangat
bermanfaat dalam proses pengomposan. Mikroorganisme yang terdapat
dalam EM4 terdiri dari Lumricus (bakteri asam laktat) serta sedikit bakteri
fotosintetik, Actinomycetes, Streptomyces sp., dan ragi. EM4 sangat
bermanfaat untuk menghilangkan bau pada limbah dan mempercepat
pengolahan limbah. EM4 dapat digunakan untuk memproses bahan limbah
menjadi kompos dengan proses yang lebih cepat dibandingkan dengan
pengolahan limbah secara tradisiona (Djuarnani, 2005).
Molasses merupakan hasil samping dari industri gula yang didapat
setelah sukrosanya dikristalkan dan sentrifuge dari sari gula tebu. Molasses
mengandung karbohidrat yang cukup tinggi untuk kebutuhan
mikroorganisme, sehingga dapat dijadikan bahan alternatif untuk sumber
energi dalam media fermentasi. Guna sumber energi yaitu untuk pertumbuhan
sel mikroorganisme dan dapat meningkatkan kandungan unsur hara terutama
pada C-Organik untuk mengoptimalkan kualitas fermentasi pupuk organik
cair menjadi lebih tinggi.
Kelebihan molasses selain mudah didapat dan harganya murah yaitu
kandungan gula yang terdapat pada molasses membuat cairan ini menjadi
sumber energi yang tersedia bagi mikroorganisme. Menurut Simanjuntak
(2009), molasses banyak mengandung gula dan asam-asam organik.
Kandungan gula pada molasses terutama sukrosa berkisar 48-55%, sehingga
cukup potensial untuk fermentasi asam asetat yang merupakan sumber
glukosa utama bagi bakteri (Huda, 2013).
BAB IV
PUPUK ORGANIK CAIR

A. TEORI
Pupuk organik cair merupakan larutan yang berisi satu atau lebih zat
yang dibutuhkan oleh tanaman yang mudah larut. Pupuk ini berasal dari
larutan pembusukan sisa tanaman, kotoran hewan dan manusia. Pupuk
organik cair mengandung unsur hara Fosfor, Nitrogen, dan Kalium yang di
butuhkan oleh tanaman, serta memperbaiki struktur tanah dan
mikroorganisme di dalam tanah. Menurut hasil penelitian Muhsin (2011),
kandungan pupuk organik cair limbah tebu yaitu, Fosfor (P) 1,57%, Nitrogen
(N) 0,93%, dan Kalium (K) 0,30%. Penggunaan pupuk organik cair lebih
mudah dan efisien karena mampu memberikan hara sesuai kebutuhan
tanaman. Pemberian pupuk organik cair dapat lebih merata dan kepekatannya
dapat diatur sesuai kebutuhan. Serta dikuatkan Menurut hasil penelitian
Riansyah (2012), tentang pemanfaatan limbah nilam sebagai pupuk cair dapat
meningkatkan unsur N, C, P, K yang di butuhkan oleh tumbuhan.
Berdasarkan penelitian Siboro (2013), tentang pembuatan pupuk cair dan
biogas dari campuran limbah sayuran hasil optimal dengan komposisi EM4
350 ml, yaitu unsur N 1%, P 1.98%, K 0.85%. Dalam pembuatan pupuk
organik cair dibutuhkan bahan-bahan yang mengandung unsur-unsur seperti
Nitrogen, Carbon, Pospor dan Kalium. Salah satu tanaman yang mengandung
unsur Kalium adalah lamtoro, pada daun lamtoro dapat ditemukan kandungan
Kalium yang cukup (Saputra, 2016).
Urin sapi mengandung zat perangsang tumbuh yang dapat digunakan
sebagai pengatur tumbuh diantaranya IAA. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
urin sapi juga memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan vegetatif
tananaman. Karena baunya yang khas, urin sapi juga dapat mencegah
datangnya berbagai hama tanaman, sehingga urin sapi juga dapat berfungsi
sebagai pengendalian hama tananman serangga. Menurut Lingga (1991)
dalam Yuliarti (2009), jenis kandungan hara pada urin sapi yaitu N = 1,00%,
P = 0,50% dan K = 1,50%(Susetyo,2013).
Menurut penelitian Soleh dalam Susetyo (2013), pupuk cair sudah dapat
digunakan setelah melalui beberapa proses selama 14 hari dengan indikator
bau ureum pada urin sudah berkurang atau hilang. Proses fermentasi yang
dilakukan dengan menambahkan agens hayati sebanyak 2%.
Pada proses dekomposisi urin sapi ditambahkan lengkuas, kencur, kunyit,
temulawak dan jahe. Bau urin sapi diharapkan dapat dinetralisir dengan
minyak atsiri yang terkandung dalam empon-empon (Tandi et al dalam
Nuraini dan Rurin, 2017). Minyak atsiri tersusun atas eugenol (Kartika et al.
dalam Nuraini dan Rurin, 2017), yang berfungsi sebagai antimikroba
(Nurawaliyah dalam Nuraini dan Rurin, 2017), sehingga mikroba anaerob
dalam proses pengomposan dapat berkurang. Berkurangnya mikroba anaerob
ini menyebabkan berkurangnya bau pada biourin.
Memperbaiki kualitas urin sapi dapat dilakukan dengan cara fermentasi.
Untuk melakukan fermentasi dibutuhkan starter guna mempercepat proses
penguraian dan perombakan bahan organik dari urin tersebut. Salah satu
starter yang umum digunakan dalah Effective microorganism 4 (EM4). EM4
merupakan kultur campuran berbagai jenis mikroorganisme yang bermanfaat,
yaitu bakteri sintetik, bakteri asam laktat, ragi, actinomycetes dan jamur yang
dapat dimanfaatkan inokulan untuk meningkatkan keragaman mikrobia tanah
(Saputra S, 2014).

B. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
a. Gayung
b. Jerigen 5 L
c. Aqua gelas
d. Ember
e. Sendok teh
2. Bahan
a. Urin Sapi 2 Liter
b. Molase 240 mililiter
c. Urea 1 pucuk sendok teh
d. Empon-empon

C. CARA KERJA
1. Menghaluskan Empon-empon dan memasukkan ke jerigen
2. Menambahkan 2 liter urin sapi
3. Menambahkan 240 mili liter Molase
4. Menambahkan 1 Liter air dan 1 pucuk sendok teh urea
5. Menutup rapat dan diaduk

D. HASIL PEMBAHASAN
Tabel 4.1. Hasil Pengamatan Pembuatan Pupuk Organik Cair
Waktu Pengamatan Parameter
Warna Bau
Minggu ke-1 Coklat pekat Bau
Minggu ke-2 Coklat Bau
Minggu ke-3 Kuning kecoklatan Bau
Sumber : Praktikum Pertanian Berkelanjutan, 2018

E. PEMBAHASAN
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan selama 3 minggu didapat
hasil, pada minggu ke 1 pupuk organik cair berwarna coklat pekat dengan bau
yang sangat menyengat. Pada minggu ke 2, pupuk organik cair berwrna
coklat dengan bau yang tidak terlalu menyengat dibanding pada minggu
sebelumnya. Pada minggu ke 3 pupuk berwarna kuning kecoklatan dengan
bau yang sudah sangat berkurang (bau masam yang khas).
Indikator keberhasilan pembuatan pupuk organik cair yaitu cairan yang
dihasilkan dari proses ini akan berwarna kuning kecokelatan dan aroma khas
fermentasi (bau masam). Jadi dapat disimpulkan bahwa pembuatan pupuk
organik cair yang dilakukan pada praktikum Pertanian Berkelanjuan pada
kelompok 11 c berhasil.
BAB V
PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA

A. TEORI
PGPR merupakan konsorsium bakteri yang aktif mengkolonisasi
akar tanaman yang berperan penting dalam meningkatkan
pertumbuhan tanaman, hasil panen dan kesuburan lahan (Gusti et al.,
2012). Pinsip pemberian PGPR adalah meningkatkan jumlah bakteri
yang aktif di sekitar perakaran tanaman sehingga memberikan
keuntungan bagi tanaman. Keuntungan penggunaan PGPR adalah
meningkatkan kadar mineral dan fiksasi nitrogen, meningkatkan
toleransi tanaman terhadap cekaman lingkungan, sebagai
biofertiliser, agen biologi kontrol, melindungi tanaman dari patogen
tumbuhan serta peningkatan produksi indol-3-acetic acid (IAA)
(Figueiredo et al., 2010; Mafia et al., 2009).Rahni (2012) menyatakan
bahwa, bakteri dari genus Pseudomonas, Azotobacter, Bacillus dan
Serratia diidentifikasi sebagai PGPR penghasil fitohormon yang
mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman jagung.
Beberapa hasil penelitian (Syamsiah & Rayani, 2014 ; Iswati,
2012) menunjukkan bahwa penerapan PGPR terhadap berbagai
tanaman menghasilkan respon pertumbuhan yang lebih baik
dibandingkan dengan kontrol, tetapi pemberian variasi konsentrasi
PGPR mempengaruhi pertumbuhan dan berdampak berbeda
terhadap respon pertumbuhan tanaman seperti tinggi tamanan, berat
segar, jumlah daun, dan jumlah akar. Penelitian yang telah dilakukan
oleh Syamsiah & Rayani (2014) menyatakan, konsentrasi PGPR
1,25% (v/v) dapat mempengaruhi tinggi tanaman dan konsentrasi
PGPR 0,75% mempengaruhi jumlah buah dan berat segar tanaman
cabai. Penelitian Iswati (2012) menyatakan, konsentrasi PGPR
1,25% (v/v) mempengaruhi tinggi dan panjang akar pada tanaman
tomat, sedangkan jumlah daun dan jumlah akar dipengaruhi pada
konsentrasi PGPR 0,75%.
Manfaat dari PGPR secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi 3 (tiga) yaitu sebagai berikut:
1. Biofertilizer
PGPR berfungsi sebagai penambat nitrogen, pelarut fosfat dan
menghasilkan asam organik sehingga meningkatkan ketersediaan
unsur hara mikro seperti Fe dan Mn. Bakteri yang berperan sebagai
penambat nitrogen adalah Azotobacter sp dan Azospirillum sp.
Sedangkan bakteri yang berperan sebagai pelarut fosfat adalah
Pseodomonas fluorescens.
2. Biostimulan
PGPR memproduksi ZPT/fitohormon alami seperti auksin,
sitokinin dan giberellin serta memproduksi zat anti etylen, dimana
zat etylen inilah yang menyebabkan tanaman cepat tua dan mati.
3. Bioprotektan
PGPR berfungsi sebagai agens antagonis atau sebagai agens
hayati yang dapat mengendalikan penyakit tular tanah, seperti layu
fusarium, layu bakteri, phitophtora, phytium, bulai pada jagung,
dsb. Bakteri dan cendawan yang berperan sebagai agens antagonis
untuk mengendalikan penyalit tular tanah adalah Pseuodomonas
fliorescens, Bacillus subtilis, Trichoderma sp dan Gliocladium sp.
Mekanisme PGPR dalam meningkatkan kesuburan tanaman dapat
terjadi melalui 3 cara (Amalia, 2007), yaitu:
1. Menekan perkembangan hama/penyakit (bioprotectant):
mempunyai pengaruh langsung pada tanaman dalam menghadapi
hama dan penyakit;
2. Memproduksi fitohormon (biostimulant): IAA (Indole Acetic Acid);
Sitokinin; Giberellin; dan penghambat produksi etilen: dapat
menambah luas permukaan akar-akar halus;
3. Meningkatkan ketersediaan nutrisi bagi tanaman (biofertilizer) .Bila
penyerapan unsur hara dan air yang lebih baik dan nutrisi tercukupi,
maka menyebabkan kebugaran tanaman juga semakin baik,
sehingga akan semakin meningkatkan ketahanan tanaman terhadap
tekanan-tekanan, baik tekanan biologis (OPT) maupun non biologis
(Iklim).
Aplikasi PGPR dapat dilakukan melalui pelapisan benih dan
perendaman benih dalam suspensi. Bakteri PGPR merupakan bakteri
tanah yang masa hidupnya tidak panjang karena itu perlu
mengembalikan populasinya setiap akan menebar benih. Menurut
Bowen and Rovira (1999), media perkecambahan yang digunakan
harus memiliki kemampuan untuk menahan air, bersih dan bebas dari
benih lain, cendawan, bakteri atau zat beracun yang dapat
mempengaruhi perkecambahan benih dan pertumbuhan kecambah,
untuk media tanah dan pasir harus dalam keadaan yang cukup seragam
dan sebelum digunakan perlu dicuci dan disterilisasi.
Bibit akan tumbuh dengan baik di lapang jika kecambah tumbuh
dengan baik pada fase perkecambahan. Penggunaan media
perkecambahan yang tepat akan memudahkan kecambah untuk
menembus permukaan media. Pada pengujian daya berkecambah benih
maka akan dihitung persentase daya berkecambahnya (Raybum, 1993).
Sebagaimana pemahaman mengenai kompleksnya lingkungan rizosfer,
mekanisme aksi PGPR, dan aspek praktek dari formulasi inokulan, kita
dapat menduga untuk mengetahui produk PGPR baru menjadi tersedia.
Sukses dari produk ini akan bergantung pada kemampuan untuk
mengelola rizosfer untuk meningkatkan ketahanan dan data kompetisi
dari mikroorganisme bermanfaat ini (Bowen and Rovira, 1999).Bakteri
pemacu tumbuh secara tidak langsung juga menghambat patogen
melalui sintesis senyawa antibiotik, sebagai kontrol biologis. Beberapa
jenis endofitik bersimbiosis mutualistik dengan tanaman inangnya
dalam meningkatkan ketahanannya terhadap serangga hama melalui
produksi toksin, di samping senyawa anti mikroba seperti fungi
Pestalotiopsis microspora, danTaxus walkchiana yang memproduksi
taxol (zat antikanker) (Raybum, 1993) melaporkan bawa endofitik
Neotyphodium sp. Menghasilkan N-formilonine dan a paxiline
(senyawa antiserangga hama).

B. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
a. Ember
b. Panci
c. Gayung
d. Penyaring
e. Cobek
f. Kompor
2. Bahan
a. 2 ons gula pasir
b. 1 ons terasi
c. 1/2 kg dedak halus atau bekatul
d. 5 liter air bening
e. 1 kg kedelai
f. 1 ons gula merah
g. 1 sdm injet

C. CARA KERJA
1. Pembuatan Biang PGPR
100 gr akar bambu atau rumput gajah atau putri malu (sebagai biang)
yang Telah Ditumbuk Dan direndam selama 2-4 hari di dalam 1 liter air
bersih.
2. Pembuatan Larutan Nutrisi Bakteri
a. Memanaskan air pada panic
b. Memasukkan kedelai dan menunggu hingga lunak diikuti
memasukkan gula pasir, gula merah, terasi, dan injet
c. Mengaduk hingga mendidih
d. Mendinginkan campuran hingga dingin
3. Pencampuran PGPR
Menuangkan biang PGPR ke dalam larutan nutrisi yang telah dingin.

D. HASIL PENGAMATAN
Tabel 5.1. Hasil Pengamatan Pembuatan PGPR
Minggu ke- Warna Bau Kondisi Jerigen
Minggu ke-1 Putih keruh Bau kedelai Jerigen
menggelembung
Minggu ke-2 Putih keruh Bau Fermentasi Jerigen tidak
(banyak residu) (Tapai) menggelembung
Sumber : Praktikum Pertanian Berkelanjutan, 2018

E. PEMBAHASAN
Berdasarkan table pengamatan hasil pembuatan PGPR, kondisi PGPR
mengalami perubahan kondisi dari minggu pertama hingga minggu kedua
selama pembuatan. Pada minggu pertama kondisi larutan yang berisikan
PGPR dan nutrisi masih berbau kedelai seperti pada saat pertama kali
memasukkan ke dalam jerigen dan juga warna dari cairan yang berada di
dalam jerigen berwarna putih keruh. Serta, pada jerigen terdapat gas yang
banyak sehingga menyebabkan jerigen menggelembung. Namun, pada
minggu ke dua, kondisi jerigen sudah tidak lagi mengandung gas. Serta,
warna dari cairan didalamnya sudah lebih cerah dan residu yang terbentuk
sudah semakin banyak. Selain itu bau yang dihasilkan ketika jerigen dibuka
yaitu berupa bau tapai atau hasil fermentasi. Dengan kondisi tersebut dapat
diartikan bahwa PGPR yang dibuat telah berhasil.
Keberhasilan dari pembuatan tersebut dapat diketahui dari bau yang
dihasilkan. Dengan bau yang berupa fermentasi menandakan bahwa
mikroorganisme yang dibiakkan dapat hidup dengan baik serta dapat
merombak glukosa dari gula merah dan gula pasir menjadi etanol.
Mikroorganisme itu sendiri mendapatkan energy untuk merombak glukosa
dari protein yang terkandung dalam kedelai. Dengan demikian, PGPR yang
telah dibuat dapat diaplikasikan pada tanaman untuk memacu pertumbuhan.
BAB VI
PESTISIDA NABATI

A. TEORI
Konsep pertanian ramah lingkungan adalah konsep pertanian yang
mengedepankan keamanan seluruh komponen yang ada pada lingkungan
ekosistem dimana pertanian ramah lingkungan mengutamakan tanaman
maupun lingkungan serta dapat dilaksanakan dengan menggunakan bahan
yang relatif murah dan peralatan yang relatif sederhana tanpa meninggalkan
dampak yang negatif bagi lingkungan.
Dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida kimia
mendorong untuk memberlakukan pembatasan penggunaan bahan- bahan
kimia pada proses produksi terutama pestisida kimia sintetik dalam
pengendalian hama dan penyakit di bidang pertanian, perkebunan dan
kehutanan. Kebijakan nasional telah diberlakukan dalam pelindungan
tanaman yaitu program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dengan
mengutamakan pemanfaatan agens pengendali hayati atau biopestisida
termasuk pestisida nabati.
Pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya
dari tumbuhan. Pestisida nabati dimasukkan ke dalam kelompok pestisida
biokimia karena mengandung biotoksin. Pestisida biokimia adalah bahan
yang terjadi secara alami dapat mengendalikan hama dengan mekanisme non
toksik. Secara evolusi tumbuhan telah mengembangkan bahan kimia sebagai
alat pertahanan alami terhadap pengganggunya. Tumbuhan mengandung
banyak bahan kimia yang merupakan metabolit sekunder dan digunakan oleh
tumbuhan sebagai alat pertahanan dari serangan organisme pengganggu.
Bahan aktif pestisida nabati adalah produk alam yang berasal dari
tanaman yang mempunyai kelompok metabolit sekunder yang mengandung
beribu-ribu senyawa bioaktif seperti alkaloid, terpenoid, fenolik, dan zat – zat
kimia sekunder lainnya. Senyawa bioaktif tersebut apabila diaplikasikan ke
tanaman yang terinfeksi OPT, tidak berpengaruh terhadap fotosintesis
pertumbuhan ataupun aspek fisiologis tanaman lainnya, namun berpengaruh
terhadap sistem saraf otot, keseimbangan hormone, reproduksi, perilaku
berupa penarik, anti makan dan sistem pernafasan OPT (Setiawati et al.
2008). Di Indonesia sebenarnya sangat banyak jenis tumbuhan penghasil
pestisida nabati, diperkirakan sekitar 2400 jenis tanaman yang termasuk ke
dalam 235 famili (Asmaliyah et al, 2010).
Jenis- jenis tumbuhan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai
pestisida nabati antara lain: Akar hijau, akar tuba, akasia, balik angin, bawang
putih, belimbing wuluh, brotowali, birah, maja, baru cina, cambai, kencur,
cengkeh, cupa, duku, durian, gullasar, gadung, jarak, jarak pagar, jejer, jeruk
purut, dlingo, kacang panjang, kapas, kapuk, karet, kecubung, keluwih,
kelapa, kenikir, kayu manis, kemiri, kemang, lada, lempuyang, mengkudu,
mimba, mindi, nangke, pacar cina, papaya, petai, serai wangi, sirsak,
tembakau, terong asam (Setiawati et al. 2008).
Keuntungan yang didapat dari penggunaan pestisida nabati antara
lain (Suriana N.,2012) :
1. Mempunyai cara kerja unik yaitu tidak meracuni (non toksik).
2. Mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan secara
relatif aman bagi manusia dan hewan peliharaan karena residunya mudah
hilang.
3. Penggunaan dalam jumlah (dosis) kecil / rendah.
4. Mudah diperoleh di alam.
5. Cara pembuatan relatif mudah dan secara sosial ekonomi
penggunaannya menguntungkan bagi petani kecil di negara berkembang.
Dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman, pestisida nabati
menjalankan prinsip kerja yang unik dan spesifik. Prinsip kerja pestisida
nabati ada tiga yaitu menghambat, merusak dan menolak. Hal ini akan
tampak pada cara kerja pestisida nabati dalam melindungi tanaman dari
gangguan hama dan penyakit. Cara kerja pengendaliannya bisa melalui
perpaduan beberapa cara ataupun cara tunggal. Berikut adalah beberapa
mekanisme kerja pestisida nabati dalam melindungi tanaman dari organisme
pengganggu (Suriana N.,2012):
1. Menghambat proses reproduksi serangga hama, khususnya serangga
betina.
2. Mengurangi nafsu makan
3. Menolak makan
4. Merusak perkembangan telur, larva dan pupa, sehingga
perkembangbiakan serangga hama dapat dihambat.
5. Menghambat pergantian kulit.

B. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
a. Blender
b. Drigen
c. Sendok teh
2. Bahan
a. Air 0,5L
b. Bawang putih 100g
c. Detergen 10g
d. Minyak tanah

C. CARA KERJA
1. Haluskan bawang putih 100g dengan blender
2. Lalu isi drigen dengan air sebangak 0,5L
3. Setelah itu masukkan minyak tanah sebanyak 2 sendok the, detergen 10g,
dan bawang putih yang telah dihaluskan
4. Tutup derigen dan diamkan selama seminggu.
5. Saring dan encerkan 20 kali\
D. HASIL PENGAMATAN
Tabel 6.1. Hasil Pengamatan Pembuatan Pestisida Nabati
Waktu Parameter
Pengamatan Warna Bau Bercak putih
Aroma bawang
Minggu ke -1 Putih Tidak ada
dan minyak tanah
Aroma
Minggu ke - 2 Putih kekuningan menyengat Ada bercak putih
bawang putih
Sumber : Praktikum Pertanian Berkelanjutan, 2018

E. PEMBAHASAN
Pestisida nabati yang dibuat pada praktikum pertanian berkelanjutan
berbahan dasar dari bawang putih dan bawang merah, detergen, minyak tanah
dan air. Kami menggunakan bawang putih karena bawang putih memiliki
senyawa yang dapat membuat hama tertarik untuk memakannya. Detergen
adalah sebagai senyawa yang berfungsi sebagai pengemulsi antara bawang
dengan air. Pada minggu pertama pestisida nabati yang dibuat berwarna putih
dan aromanya berbau khas bawang dan minyak tanah serta tidak terdapat
bercak putih. Setelah disimpan dalam derigen selama seminggu, pada minggu
ke dua kami melakukan pengamatan kembali dan warnanya berubah menjadi
putih kekuningan dan aromanya pun tambah menyengat serta terdapat
bebrapa bercak putih dan sedikit buih.
BAB VII
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari segi aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya di Kecamatan
Sawangan Kabupaten Magelang mempunyai potensi yang sangat baik
terhadap pertanian berkelanjutan khususnya pada pertanian organik. Karena
penduduknya masih sadar akan kebutuhan utama dalam bertani bukanlah
produktifitas hasil pertanian yang tinggi namun berkelanjutan lahan tersebut
untuk tetap menghasilkan produk-produk pertanian yang akan memenuhi
kebutuhan pangan masyarakat Kecamatan Sawangan hingga masyarakat
Indonesia. Pertanian organik tersebut dapat di dukung dengan penggunaan
pupuk dan pestisida nabati atau yang terbuat dari bahan-bahan organik.
Misalnya pupuk organik padat yang terbuat dari kotoran hewan ternak, pupuk
organik cair yang terbuat dari urine hewan ternak, plant growth promoting
rhizobacteria yang berbahan utama akar-akar tanaman serta pestisida nabati
dengan menggunakan bahan baku alami.

B. SARAN
Setelah melihat dan menganalisis masalah yang ada di Kecamatan
sawangan Kabuaten Magelang, terdapat beberapa saran yang bisa diambil
dari hasil pengamatan lapangan yaitu :
1. Saran terhadap petani Indonesia agar melakukan kegiatan-kegiatan
bertani seperti peningkatan produksi organik dan peningkatan
kemampuan dasar berorganik agar lebih ditempa dan dilatih untuk
memiliki kemampuan dalam penyampaiannya agar semakin menarik
petani yang menggunakan sistem pertanian konvensional menjadi
menggunakan sistem pertanian organik.
2. Pada pemerintahan secara umum juga diharapkan untuk mendukung
kegiatan berproduksi organik dikarenakan pemerintahan pada saat ini
juga lebih sering untuk menggalangkan program yang berkaitan dengan
sistem pertanian konvensional.
3. Masyarakat terutama petani setidaknya juga harus bisa memilah dan
memilih antara sistem pertanian konvensional yang bersifat praktis akan
tetapi berdampak buruk dengan pertanian organik yang memiliki unsur
kesehatan didalamya.

Anda mungkin juga menyukai