Anda di halaman 1dari 14

LAHAN SAWAH

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah
Kajian Lingkungan Lahan Basah dalam Pembelajaran IPS
Yang dibina oleh Dr. Deasy Arisanty, M.Sc

Oleh

Ahmad Noor Suprayogie


NIM 1720112310002

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN IPS


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2018
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Ekosistem adalah suatu unit fungsional dari berbagai ukuran yang tersusun

dari bagian komponen dan sistem secara keseluruhan berfungsi berdasarkan suatu

urutan kegiatan yang menyangkut energi dan pemindahan energi. Dengan

beberapa perkecualian, sumber energi azali adalah matahari. Energi matahari

ditangkap oleh komponen ototrofik yaitu tumbuh-tumbuhan hijau. Energi yang

tertangkap disimpan dalam ikatan kimia zat organik tanaman, yang merupakan

tanaman yang mendorong terus berjalannya komponen heterotrofik sistem

tersebut. Organisme heterotrofik meliputi semua bentuk – bentuk kehidupan yang

lain.

Ekosistem pula merupakan kesatuan yang menyeluruh dan saling

mempengaruhi yang membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas

lingkungan hidup. Ekosistem dapat didefinisikan sebagai suatu organisasi antara

komponen-komponen biotik dan nonbiotik yang saling mempengaruhi. Ekosistem

dalam ekologi tidak hanya melibatkan suatu sistem antara tingkah laku (behavior)

dari faktor-faktor biotik dan non biotik, tetapi melibatkan berbagai sistem dalam

aliran energi dan siklus materi (Begon et al., 2006).

Dalam ekosistem, organisme dalam komunitas berkembang bersama-sama

dengan lingkungan fisik sebagai suatu sistem. Organisme akan beradaptasi dengan

lingkungan fisik, sebaliknya organisme juga memengaruhi lingkungan fisik untuk

keperluan hidup. Pengertian ini didasarkan pada Hipotesis Gaia, yaitu:

"organisme, khususnya mikroorganisme, bersama-sama dengan lingkungan fisik


menghasilkan suatu sistem kontrol yang menjaga keadaan di bumi cocok untuk

kehidupan". Hal ini mengarah pada kenyataan bahwa kandungan kimia atmosfer

dan bumi sangat terkendali dan sangat berbeda dengan planet lain dalam tata

surya.

Kehadiran, kelimpahan dan penyebaran suatu spesies dalam ekosistem

ditentukan oleh tingkat ketersediaan sumber daya serta kondisi faktor kimiawi dan

fisis yang harus berada dalam kisaran yang dapat ditoleransi oleh spesies tersebut,

inilah yang disebut dengan hukum toleransi. Misalnya: tikus memiliki toleransi

yang luas terhadap suhu, namun memiliki toleransi yang sempit terhadap

makanannya, yaitu bambu. Dengan demikian, panda dapat hidup di ekosistem

dengan kondisi apapun asalkan dalam ekosistem tersebut terdapat bambu sebagai

sumber makanannya. Berbeda dengan makhluk hidup yang lain, manusia dapat

memperlebar kisaran toleransinya karena kemampuannya untuk berpikir,

mengembangkan teknologi dan memanipulasi alam.

Ekosistem dibagi menjadi Ekosistem Alami (Natural Ecosystem) dan

Ekosistem Buatan (Man madeecosystem). Ekosistem alami merupakan ekosistem

yang terbentuk secara alami tanpa ada campur tangan manusia. Contoh ekosistem

alami antara lain : Ekosistem Hutan Tropis, Danau, Mangrove, dan Savana.

Ekosistem buatan merupakan ekosistem yang terbentuk dari hasil rekayasa

manusia untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhan hidup penduduk yang

jumlahnya terus meningkat (Resosoedarmo, 1985).


I.2. Tujuan

Tujuan dibuat malakalah ini kami susun mengacu kepada pertanyaan-pertanyaan

sebagai berikut:

1. Apa yang terjadi terhadap perubahan ekosistem pada areal pertanian?

2. Mengapa terjadi perubahan ekosistem pada areal pertanian?

3. Bagaimana dampak dan cara mengatasi perubahan ekosistem pada areal

pertanian?

I.3. Rumusan Masalah

Kehidupan yang ada di muka bumi ini sebenarnya merupakan satu sistem

ekologis. Sebagai suatu sistem, semua komponen penyusunnya seperti manusia,

hewan, tumbuhan dan lingkungan akan saling memengaruhi komponen yang

lainnya. Yang dimaksud system ekologis adalah berfungsinya perpindahan energi

dan daur biogeokimia pada suatu ekosistem. Berpindahnya energi disertai dengan

perpindahan zat dari air, tanah, dan udara ke organisme, lalu kembali ke air, tanah

dan udara lagi. Lingkungan yang dapat menjamin kelangsungan sistem ekologi

tersebut dinamakan lingkungan yang seimbang. Keseimbangan lingkungan yang

dimaksud dapat terjadi jika faktor biotik dalam rantai makanan, jaring-jaring

makanan, dan piramida makanan berada dalam komposisi seimbang. Kondisi

lingkungan semacam itu yang akan menjamin terbentuknya ekosistem yang sehat.

Keseimbangan ekosistem tidaklah statis, artinya komponen penyusun

ekosistem dapat mengalami kenaikan maupun penurunan jumlah populasi, namun


dalam komposisi yang proporsional. Ekosistem seimbang didukung oleh banyak

alternatif lintasan yang dapat dilalui zat untuk terjadinya daur materi dan

perpindahan energi. Semakin banyak variasi jenis tumbuhan, herbivora, karnivora

dan mikroba maka semakin banyak lintasan zat. Hal tersebut menyebabkan

ekosistem tersebut semakin mantap keseimbangannya.

Jika satu jenis tumbuhan berkurang, masih tersedia jenis tumbuhan lain

sebagai produsen yang menjadi sumber makanan bagi herbivora. Demikian pula,

bila hewan herbivora tertentu jumlahnya berkurang masih ada jenis herbivora

lainnya yang dapat dimakan oleh hewan karnivora. Seterusnya, bila ada jenis

karnivora tertentu yang punah masih ada karnivora lain yang meneruskan

perpindahan energi dan zat dalam komunitas tersebut. Sebaliknya, bila komunitas

hanya beberapa jenis organisme yang terbatas akan menjadi kurang stabil.

Bila ada satu atau dua jenis organisme mengalami kepunahan tidak akan

ada alternatif jalur yang dapat dilalui oleh zat dan energi, sehingga bila ada

perubahan lingkungan maka akan ada yang mengalami kepunahan atau bahkan

ada pertumbuhan populasi (booming populasi) yang tidak seimbang.

Keseimbangan lingkungan akan stabil dan akan tetap terjaga apabila jumlah

individu produsen lebih besar daripada jumlah konsumen I, demikian juga jumlah

konsumen I harus lebih besar dari jumlah konsumen II, dan seterusnya jumlah

konsumen II harus lebih besar dari jumlah konsumen III. Apabila faktor biotik dan

abiotik mengalami perubahan maka keseimbangan lingkungan menjadi terganggu,

misalnya akibat penggundulan hutan, bencana alam adan perburuan liar.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Lahan pertanian yang mengalami degradasi

Tekanan pada ekosistem tanah di Indonesia akan terus meningkat sejalan

dengan perkembangan kepadatan jumlah penduduk. Jumlah penduduk di

Indonesia diproyeksikan pada tahun 2020 akan mencapai 262 juta jiwa, sehingga

sector pertanian dipacu meningkatkan produksi dan produktivitas berbagai

komoditi pertanian (pangan, holtikulutura, perkebunan, dan lain-lainnya) baik

melalui program intensifikasi maupun ekstentifikasi.

Degradasi lahan ditandai oleh penurunan atau kehilangan produktivitas

lahan, baik secara fisik, kimia, dan biologi maupun ekonomi. Degradasi lahan

diakibatkan oleh kesalahan dalam pengelolaan dan penggunaan lahan.

Pengelolaan dan penggunaan lahan meliputi pembukaan lahan (land clearing),

penebangan hutan (deforestation), konversi untuk nonpertanian, dan irigasi.

Kesalahan dalam pengelolaan dan penggunaan lahan akan menimbulkan polusi,

erosi, kehilangan unsur hara, pemasaman, penggaraman (salinization), sodifikasi

dan alkalinasi (sodification and alkalinization), pemadatan (compaction),

hilangnya bahan organik, penurunan permukaan, kerusakan struktur tanah,

penggurunan (desertification), dan kehilangan vegetasi alami dalam jangka

panjang (Agus 2002).

Memburuknya kondisi lahan menyebabkan masyarakat yang tinggal di

kawasan yang mengalami degradasi menghadapi berbagai ancaman seperti

kekurangan sumber air, kelaparan, dan munculnya berbagai penyakit. Selain itu,

degradasi lahan secara global akan mengancam kelestarian keanekaragaman


hayati dan menaikkan suhu permukaan bumi. Pada tahun 1992, Departemen

Pertanian mencatat lebih dari 18 juta ha lahan di Indonesia telah terdegradasi,

meliputi 7,50 juta ha lahan potensial kritis, 6 juta ha lahan semikritis, dan 4,90

juta ha lahan kritis. Sementara itu Departemen Kehutanan mencatat 13,20 juta ha

lahan yang terdegradasi, 5,90 juta ha terdapat di dalam kawasan hutan dan 7,30

juta ha di luar kawasan hutan. Badan Pusat Statistik (2002) bahkan mencatat luas

lahan yang terdegradasi mencapai 38,60 juta ha.

Perbedaan data ini terjadi karena criteria yang digunakan untuk

mendelineasi lahan tidak sama antara ketiga institusi tersebut. Selain itu,

penelitian Badan Litbang Pertanian bekerja sama dengan IRRI menyimpulkan

bahwa banyak lahan sawah intensif terutama di Jawa mengalami degradasi

kesuburan (kimiawi) terutama penurunan kandungan Corganik, atau kadang

disebut sebagai lahan sakit (soil sickness). Hal ini merupakan tantangan dalam

menetapkan kriteria baku lahan terdegradasi sehingga dapat digunakan secara

nasional dan perbedaan data yang mencolok dapat dihindarkan.

2.2 Perubahan Terhadap Lahan Pertanian

Penggunaan lahan diatas daya dukungnya tanpa diimbangi dengan upaya

konservasi dan perbaikan kondisi lahan akan menyebabkan degradasi lahan.

Lahan di daerah hulu dengan lereng curam yang hanya sesuai untuk hutan, apabila

mengalami alih fungsi menjadi lahan pertanian tanaman semusim akan rentan

terhadap bencana erosi dan atau tanah longsor. Perubahan penggunaan lahan

miring dari vegetasi permanen (hutan) menjadi lahan pertanian intensif

menyebabkan tanah menjadi lebih mudah terdegradasi oleh erosi tanah. Praktek
penebangan dan perusakan hutan (deforesterisasi) merupakan penyebab utama

terjadinya erosi di kawasan daerah aliran sungai (DAS).

Penurunan produktivitas usaha tani secara langsung akan diikuti oleh

penurunan pendapatan petani dan kesejahteraan petani. Disamping menyebabkan

ketidak-berlanjutan usaha tani di wilayah hulu, kegiatan usaha tani tersebut juga

menyebabkan kerusakan sumber daya lahan dan lingkungan di wilayah hilir, yang

akan menyebabkan ketidak-berlanjutan beberapa kegiatan usaha ekonomi

produktif di wilayah hilir akibat terjadinya pengendapan sedimen, kerusakan

sarana irigasi, bahaya banjir dimusim penghujan dan kekeringan dimusim

kemarau.

Tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan di lingkungan pertanian

dapat disebabkan karena penggunaan agrokimia (pupuk dan pestisida) yang tidak

proporsional. Dampak negatif dari penggunaan agrokimia antara lain berupa

pencemaran air, tanah, dan hasil pertanian, gangguan kesehatan petani,

menurunnya keanekaragaman hayati, ketidak berdayaan petani dalam pengadaan

bibit, pupuk kimia dan dalam menentukan komoditas yang akan ditanam.

Penggunaan pestisida yang berlebih dalam kurun yang panjang, akan berdampak

pada kehidupan dan keberadaan musuh alami hama dan penyakit, dan juga

berdampak pada kehidupan biota tanah. Hal ini menyebabkan terjadinya ledakan

hama penyakit dan degradasi biota tanah.

Penggunaan pupuk kimia yang berkonsentrasi tinggi dan dengan dosis yang tinggi

dalam kurun waktu yang panjang menyebabkan terjadinya kemerosotan

kesuburan tanah karena terjadi ketimpangan hara atau kekurangan hara lain, dan

semakin merosotnya kandungan bahan organik tanah.


Penanaman varietas padi unggul secara mono cultur tanpa adanya pergiliran

tanaman, akan mempercepat terjadinya pengurasan hara sejenis dalam jumlah

tinggi dalam kurun waktu yang pendek. Hal ini kalau dibiarkan terus menerus

tidak menutup kemungkinan terjadinya defisiensi atau kekurangan unsur hara

tertentu dalam tanah.

Akibat dari ditinggalkannya penggunaan pupuk organik berdampak pada

penyusutan kandungan bahan organik tanah. Sistem pertanian bisa menjadi

sustainable (berkelanjutan) jika kandungan bahan organik tanah lebih dari 2%.

Bahan organik tanah disamping memberikan unsur hara tanaman yang lengkap

juga akan memperbaiki struktur tanah, sehingga tanah akan semakin remah.

Namun jika penambahan bahan organik tidak diberikan dalam jangka panjang

kesuburan fisiknya akan semakin menurun.

2.3 Mengembalikannya Ekosistem Pada lahan Pertanian

Dalam praktek budidaya pertanian sendiri sering akan menimbulkan

dampak pada degradasi lahan. Dua faktor penting dalam usaha pertanian yang

potensial menimbulkan dampak pada sumberdaya lahan, yaitu tanaman dan

manusia (sosio kultural) yang menjalankan pertanian. Diantara kedua faktor,

faktor manusialah yang berpotensi berdampak positip atau negatip pada lahan,

tergantung cara menjalankan pertaniannya. Apabila dalam menjalankan

pertaniannya benar maka akan berdampak positip, namun apabila cara

menjalankan pertaniannya salah maka akan berdampak negatif. Kegiatan

menjalankan pertanian atau cara budidaya pertanian yang menimbulkan dampak

antara lain meliputi kegiatan pengolahan tanah, penggunaan sarana produksi yang
tidak ramah lingkungan (pupuk dan insektisida) serta sistem budidaya termasuk

pola tanam yang mereka gunakan.

Konsep pertanian berkelanjutan untuk mengembalikan ke ekosistem alami

haruslah menjamin kualitas lahan kita tetap produktif dengan menerapkan upaya

konservasi dan rehabilitasi terhadap degradasi. Kebijakan pembangunan pertanian

dewasa ini lebih banyak terfokus kepada usaha yang mendatangkan keuntungan

ekonomi jangka pendek dan mengabaikan multifungsi yang berorientasi pada

keuntungan jangka panjang dan keberlanjutan (sustainabilitas) system usaha tani.

Pertanian berkelanjutan, suatu bentuk yang memang harus dikembangkan jika kita

ingin menjadi pewaris yang baik yang tidak semata memikirkan kebutuhan sendiri

tetapi berpandangan visioner ke depan. Pembangunan pertanian berkelanjutan

menyiratkan perlunya pemenuhan kebutuhan (aspek ekonomi), keadilan antar

generasi (aspek sosial) dan pelestarian daya dukung lingkungan/lahan (aspek

lingkungan).

Sehingga harus ada keselarasan antara pemenuhan kebutuhan dan

pelestarian sumberdaya lahannya. Pembangunan pertanian yang dilaksanakan

masa lalu belumlah sepenuhnya menggunakan tiga aspek pembangunan yang

berkelanjutan secara seimbang, sehingga masih banyak keluarga yang tergolong

miskin, dan terjadi degradasi lahan sehingga mengganggu keberlanjutan

pembangunan ekonomi dan sosial.

Berbagai praktek explorasi lahan yang tidak sesuai dengan daya dukung

lahannya hendaklah dihindari. Penggunaan lahan diatas daya dukung lahan

haruslah disertai dengan upaya konservasi yang benar-benar. Oleh karena itu,

untuk menjamin keberlajutan pengusahaan lahan, dapat dilakukan upaya strategis


dalam menghindari degradasi lahan melaui: (1) Penerapan pola usaha tani

konservasi seperti agroforestry, tumpang sari, dan pertanian terpadu; (2)

Penerapan pola pertanian organik ramah lingkungan dalam menjaga kesuburan

tanah; dan (3) Penerapan konsep pengendalian hama terpadu merupakan usaha-

usaha yang harus kita lakukan untuk menjamin keberlanjutan usaha pertanian kita

dan jika kita ingin menjadi pewaris yang baik.

Membawa atau merubah ekosistem buatan ke ekosistem alami

membutuhkan proses yang lama karena melibatkan sifat dan mental dari petani

yang bersangkutan. Pelaksanaan kegiatan ini melibatkan tenaga- tenaga akademis

sebagai mediator atau fasilitator dan motifator dan didukung dengan konsep

pertanian terintegrasi.

Sejalan dengan perubahan yang telah dilakukan untuk mengembalikan

lahan pertanian berbasis organic untuk melestarikan salah satu pembentuk

ekosisitem alami yaitu biotok khususnya musuh alami. Selain itu untuk

mengembalikan tanah yang sudah dicemari oleh kimia aktif yang residunya dapat

merusak tanah sekaligus makhluk hidup dalam tanah. Pertanian yang alami dan

bebas dari pengaruh pestisida walaupun produk pertanian tersebut di dapat dengan

harga yang lebih mahal dari produk pertanian yang menggunakan pestisida (Ton,

1991).

Walaupun demikian abiotik sangat berpengaruh terhadap perubahan

ekosistem salah satu yang sangat berpangaruh yaitu ikilim yang sangat tidak tentu

yang menyebabkan terjadinya kurang seimbangnya pada lahan pertanian. Salah

satu contohnya yaitu hewan dan tumbuhan dapat bermigrasi untuk beradaptasi

terhadap kenaikan temperatur akibat perubahan iklim, kecepatan migrasi jenis


berbeda-beda sehingga di habitat yang baru terjadi perubahan komunitas hewan

dan tumbuhan. Pada umumnya kecepatan migrasi jenis tumbuhan lebih rendah

daripada kecepatan migrasi hewan. Dalam kasus ini bila tumbuhan tersebut

merupakan makanan utama jenis hewan yang bermigrasi maka hewan tersebut di

habitat yang baru kurang atau tidak mendapat makanan utama. Akibatnya akan

berpengaruh terhadap kehidupanny a dan bila hewan tersebut tidak mampu

beradaptasi dengan jenis makanan yang tersedia di habitat y ang baru, populasinya

akan terhambat bahkan akhirnya dapat punah.

Kita tidak sadar bahwa organisme pada lahan pertanian sebagian besar

adalah musuh alami bagi hama, namun karena pemakian pestida itulah

keanekaragaman musuh alami punah pada lahan pertanian. Salah satu cara untuk

meningkatkan musuh alami tersebut dengan menggunakan pengendalian musuh

alami dan dihilangkannya penggunaan pestisida kimia dan beralih ke pestisida

hayati atau organic.


BAB III
KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan yang telah merujuk dari pertanyaan

yang telah di ungkapkan:

1. Perubahan yang terjadi sangatlah menghawatirkan hilangnya organisme lain

menyebabkan tidak seimbangnya beberapa musuh alami untuk hama pada areal

pertanian.

2. Terjadinya perubahan ekosistem pada areal pertanian secara tidak langsung

disengaja oleh para petani yang mempunyai areal lahan tersebut, dengan

menggunakan bahan kimia aktif untuk meningkatkan kualias dan kuantitas hasil

yang diperoleh. Mereka tidak sadar akan tidak seimbangnya antara biotic dan

abiotik tersebut sangat mempengaruhi hasil yang lebih baik. Selain itu terjadinya

ekosistem diakibatkan Karena alam itu sendiri.

3. Dampak yang terasa yaitu hilangnya organisme yang lain akibat perubahan

ekosistem alami ke ekosistem buatan, pada dasarnya pertnanian mengubah

ekosistem dari alami kebuatan akan tetapi manusia bisa mengembalikan ekosistem

tersebut namun secara perlahan dan membutuhkan waktu yang lama.


DAFTAR PUSTAKA

E. Kang. 2006. Vegetation and carbon sequestration and their relation to water

resources in an inland river basin of Northwest China.

Hosam E. A. F. Bayoumi Hamuda, István Patkó. 2010. Relationship between

Environmental Impacts and Modern Agriculture. Rejtő Sándor Faculty of

Light Industry and Environmental Protection Engineering, Óbuda

University.

Jeriels Matatula. Upaya Rehabilitasi Lahan Kritis Dengan Penerapan Teknologi

Agroforestry Sistem Silvopatoral Di Desa Oebila Kecamatan Fatlue

Kabupaten Kupang. Politeknik Pertanian Negeri Kupang.

Prof Dr Ir Soemarno MS, pslp-ppsub. 2010. Ekosistem Sawah.

Stewart Locki and David carpenter. Agriculture, Biodiversity and market

Livelohoods and Agroecology In Comparatif Perspektif. London,

Wasington DC.

Steven F. Railsback, Matthew D. Johnson. 2011. Ecological Modelling, Pattern-

oriented modeling of bird foraging and pest control in coffee farms.

Department of Wildlife, Humboldt State University, Arcata. USA.

Titus Tri Wibowo, 1990, Dampak Perubahan Iklim terhadap Ekosistem, Genewa.

Anda mungkin juga menyukai