Anda di halaman 1dari 21

Makalah

EKOLOGI LANJUT
“HUBUNGAN KONSEP EKOLOGI HEWAN LAUT-TUMBUHAN DARAT
dan APLIKASINYA”

Disusun oleh :

Siti Rahmatia Badari

PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semua mahluk mempunyai tempat hidup. Tempat hidup itu disebut

habitat. Misalnya, habitat ikan mas ialah perairan tawar dan habitat ikan hiu ialah

perairan asin di laut. Setiap organisme di muka bumi menempati habitatnya

masing-masing. Dalam suatu habitat terdapat lebih dari satu jenis organisme dan

semuanya berada dalam satu komunitas. Komunitas menyatu dengan lingkungan

abiotik dan membentuk suatu ekosistem. Dalam ekosistem hewan berinteraksi

dengan lingkungan biotic, yaitu hewan lain, tumbuhan serta mikroorganisme

lainnya. Interaksi tersebut dapat terjadi antar individu, antar populasi dan antar

komunitas. Setiap organisme harus mampu beradaptasi untuk menghadapi kondisi

faktor lingkungan abiotik. Hewan tidak mungkin hidup pada kisaran faktor abiotik

yang seluas-luasnya. Pada prinsipnya masing-masing hewan memiliki kisaran

toleransi tertentu terhadap semua semua faktor lingkungan.

Menurut Brooker dkk, (2016), bahwa dampak kegiatan manusia terhadap

alam menjadi semakin jelas, dengan perkembangan dan eksploitasi yang cepat

terjadi dengan mengorbankan kualitas habitat dan keanekaragaman hayati.

Penurunan kualitas lautan sangat memprihatinkan, yang memegang nilai intrinsik

karena keunikan biologis mereka serta kepentingan sosiologis dan ekonomi

substansial mereka.

2
Sementara habitat hewan menyediakan semua sumber daya yang

diperlukan untuk bertahan hidup, bahkan mengandung sumber daya yang lebih

banyak dari yang digunakan. Seperti halnya pemilihan habitat, penggunaan

sumber daya untuk makanan, tempat tinggal, dan persyaratan penting lainnya

merupakan hasil dari keputusan perilaku aktif oleh individu, dengan rata-rata

spesies yang ada di suatu tempat di sepanjang sumbu dari spesialis, hanya

memilih berbagai kebutuhan terbatas dari yang tersedia, untuk umum,

menunjukkan fleksibilitas selektif yang lebih besar (MacNally, 1995) dalam

(Brooker dkk, 2016).

Habitat terestrial dan laut sangat berbeda dalam sifat biofisiknya, yang

memiliki konsekuensi mendasar bagi cara individu hidup dan bergerak di

lingkungan mereka.

Melalui makalah ini, diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih

mendalam mengenai hubungan konsep ekologi hewan laut- tumbuhan darat serta

aplikasinya.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Ekologi

Ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos yang berarti rumah dan logos

yang berarti ilmu atau studi tentang sesuatu. Dengan demikian ekologi

didefinisikan sebagai studi ilmiah tentang hubungan makhluk hidup (organisme)

dengan lingkungannya (Sumarto dan Koneri, 2016). Sejalan dengan pemikiran

tersebut, Utina dan Baderan (2006), menjelaskan bahwa ekologi merupakan studi

keterkaitan antara organisme dengan lingkungannya, baik lingkungan abiotik

maupun biotic.

Antara makhluk hidup dengan lingkungannya saling berinteraksi satu

sama lain dalam system yang kompleks. Sistem yang terbentuk karena inetraksi

makhluk hidup dengan lingkungannya disebut ekosistem, sedangkan ilmu yang

mempelajarai ekosistem disebut ekologi (Sumarto dan Koneri, 2016).

Jadi, dapat disimpulkan ekologi adalah suatu ilmu yang di dalamnya

mempelajari mengenai komponen penyusun ekosistem biotik (tumbuhan, hewan,

manusia, mikroorganisme) untuk hidup bersama dengan komponen abiotik dan

saling mempengaruhi di dalam lingkungannya.

B. Pembagian Ekologi

Pembagian ekologi menurut Odum (1996), terdiri atas 3 kelompok, yaitu :

1. Menurut bidang kajiannya

4
a. Autekologi : ekologi yang mempelajarai suatu jenis (spesies)

organisme yang berinteraksi dengan lingkungannya. Misal aspek daur

hidup, adaptasi, dll.

b. Sinekologi : ekologi yang mengkaji berbagai kelompok organisme

sebagai suatu kesatuan yang saling berinteraksi dalam suatu daerah

tertentu. Misalnya, ekologi populasi, ekologi jenis, dll.

2. Menurut habitat

a. Ekologi bahari/kelautan (marine ecology)

b. Ekologi perairan tawar (fresh water ecology)

c. Ekologi darat (terrestrial ecology)

d. Ekologi esturai (estuarian ecology)

e. Ekologi padang rumput (grassland ecology), dll

3. Menurut taksonomi

a. Ekologi tumbuhan (plant ecology)

b. Ekologi hewan (zoo ecology)

c. Ekologi mikroba, dll.

Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem

dengan berbagai komponen penyusunya, yaitu factor abiotik dan biotic.

Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi

makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling

memepengaruhi dan merupakan suatu system yang menunjukkan kesatuan

(Suzyanna, 2013).

5
Suatu organisme hidup akan selalu membutuhkan organisme lain

dan lingkungan hidupnya. Dalam suatu ekosistem selalu terjadi adanya

saling ketergantungan antara organisme dengan organisme serta organisme

dengan lingkungannya, hal itu menyebabkan adanya aliran energy di dalam

ekologi. Di dalam suatu ekosistem terdapat struktur dan tingkat trofik dari

organismenya yang menyebabkan terjadi rantai makanan, aliran energy dan

siklus materi (biokimia).

Suatu interaksi dalam ekosistem yang menyediakan nutrisi untuk

setiap makhluk hidup yang sangat diperlukan untuk pemeliharaan diri,

pertumbuhan, dan perkembangbiakan.

a. Nutrisi Autotrof, mahluk hidup tertentu yang dapat mensisntesis

makanannya sendiri.

b. Nutrisi Heterotrof, hubungan makan diantara mahluk hidup yang

bergantung pada mahluk hidup yang lain sebagai sumber energinya.

1) Saprofit, mahluk hidup yang menggunakan bahan organic dari

organisme yang telah mati sebagai sumber makanannya.

2) Herbivor, mahluk hidup oemakan tumbuhan

3) Karnivor, mahluk hidup pemakan hewan lain

4) Omnivore, mahluk hidup pemakan segala.

C. Hubungan Konsep Ekologi Hewan Laut- Tumbuhan Darat dan

Aplikasinya

Menurut Park (1963) dalam terdapat empat elemen dalam studi ekologi,

keempat elemen tersebut adalah :

6
a. Individu/spesies, merupakan satuan dasar dalam memepelajarai

ekologi (contoh: udang jerbung Peneaeus merguensis);

b. Populasi, adalah satu kelompok individu dari satu spesies yang hidup

dalam satu tempat tertentu (contoh : kepiting, kerang, siput/keong);

c. Komunitas, kelompok populasi-populasi (contoh: komunitas

fitoplankton, komunitas bakau, komunitas bentos);

d. Ekosistem, kelompok dalam komunitas-komuniatas (contoh:

ekosistem lautan, ekosistem pantai, ekosistem estuaria).

Ahli ekologi umunya mengklasifikasikan ekosistem dalam 2 (dua)

kelompok besar, yaitu: ekosistem perairan (aquatic) dan ekosistem daratan

(terrestrial), Ekosistem perairan meliputi air tawar (danau, sungai, kolam, rawa)

dan ekosistem laut (estuarian, zona pasang surut terumbu karang, samudra,

lereng laut dan palung).

1. Konsep ekologi hewan (perairan laut)

Semua hewan bersifat heterotrof dalam arti tidak mampu untuk

menyusun makanan sendiri sehingga untuk memenuhi kebutuhan nutrisi

tubuhnya maka mereka harus memakan organisme lainnya.

Ekosistem di perairan mengandung berbagai detritus, ratusan jenis

organisme termasuk bakteri, fitoplankton, zooplankton, ikan, mamalia,

burung, dll. Semua komponen ini terhubung dalam rantai makanan yang

kompleks dengan interkasi yang berkembang. Sampai saat ini, pengelolaan

perikanan telah banyak berdasarkan pendekatan spesies tunggal (Beverton,

1984) dalam (Olii dan Sayuti, 2015).

7
Pada abad baru, manusia telah memulai eksplorasi laut untuk

meringankan krisis populasi, sumber daya dan krisis lingkungan.

Pengembangan dan pemanfaatan laut telah menjadi tren yang tidak dapat

diubah, dan ekonomi kelautan telah menjadi bagian penting dari ekonomi

nasional. Namun, dengan pengembangan dan pemanfaatan sumber daya laut

dan ruang, ekosistem laut terus memburuk, dan bencana lingkungan laut

seperti erosi pantai dan pasang merah sering terjadi. Ini menunjukkan bahwa

ekosistem laut dan lingkungan telah terkena dampak serius.

Mempertahankan keseimbangan ekologi laut telah menjadi basis strategis

yang penting untuk mengembangkan ekonomi kelautan dan mencapai

pembangunan berkelanjutan (Qu dkk, 2016).

2. Aplikasi Ekologi Perairan Laut

a. Handoko dkk, (2017). Hiu Paus di Pantai Botubarani, Gorontalo.

Perairan Botubarani, Kec. Kabila Bone, Kab. Bone Bolango, Prov.

Gorontalo, adalah salah satu kawasan perairan di mana Hiu Paus

diduga muncul setiap hari. Menurut masyarakat nelayan, kemunculan

Hiu Paus di perairan tersebut utamanya adalah saat mereka sedang

menjaring ikan nike (Awaous melancephalus). Jumlah ikan nike (ikan

duwo), ini cukup melimpah. Ikan nike yang memiliki ketertarikan

terhadap cahaya akan berkumpul di bawah lampu, yang selanjutnya

membuat Hiu Paus tertarik untuk mendekat. Kumpulan ikan nike

adalah mangsa yang mudah bagi Hiu Paus. Sementara itu, dugaan lain

8
menyebutkan bahwa kemunculan Hiu Paus di Perairan Botubarani

adalah akibat dari pemberian makan secara sengaja berupa kepala dan

kulit udang vaname (Litopenaus vannamei) melalui aktivitas wisata.

Kemunculan Hiu Paus di Botubarani tidak bias lepas dari keberadaan

satu perusahaan yang berdiri tepat dipinggir pantai. Adalah PT. Sinar

Ponula Deheto, perusahaan pabrik yang bergerak di bidang

pengepakan udang vaname (Litopenaeus vannamei) untuk ekspor.

Aktivitas pabrik berupa pemisahan kepala dan kulit dari udang, air

bekas pencucian dimana terdapat sedikit kulit dan kepala udang yng

mengalir ke laut ternayta membuat Hiu Paus tertarik untuk mendekati

pantai Botubarani. Banyaknya stok udang yang masuk turut

mempengaruhi kemunculan dan jumlah Hiu Paus yang mendatangi

perairan dekat pantai Botubarani. Selain itu, bahan anorganik yang

berasal dari kulit dan kepala udang menstimulasi kelimpahan

plankton di perairan. Lambat laun kedatangan Hiu Paus ke perairan

ini disadari dapat mengundang kedatangan wisatawan. Hal ini

diyakini dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat

melalui jasa-jasa wisata.

Disadari atau tidak oleh pihak-pihak yang berkaitan dengan wisata

Hiu Paus di Pantai Botubarani, aktivitas pemberian makan yang

dilakukan secara terus menerus telah merubah perilaku dari Hiu Paus.

Pola pergerakan Hiu Paus mulai berubah dari bergerak aktif di

perairan bebas, menjadi terpusat di satu tempat yang kecil dengan

9
jumlah banyak dalam waktu yang lama. Hiu Paus menjadi sangat

jinak dan cenderung diam serta tidak bereaksi dengan aktivitas

manusia. Kapal di permukaan perairan menjadi target Hiu Paus untuk

berenang mendekat. Adanya makanan yang selalu muncul dekat kapal

membuat Hiu Paus menganggap sebagai sumber makanan.

Luka-luka tubuh Hiu Paus yang dihasilkan akibat aktifitas wisata

terutama benturan dengan badan kapal cukup banyak terlihat. Bentuk

kapal yang dimiliki nelayan dengan baling-baling yang terpasang

sangat riskan membuat Hiu Paus terluka. Sampah yang terdapat di

lokasi akibat wisata missal tersebut cukup banyak berserakan, baik di

pantai maupun di perairan.

Hiu Paus termasuk ke dalam jenis ikan. Walaupun keduanya bertubuh

besar, Hiu Paus tidak bernapas menggunakan paru-paru, melainkan

dengan insang. Pengaturan suhu tubuh Hiu Paus juga dipengaruhi

oleh suhu perairan di sekitarnya (ektotermik), sehingga hal ini yang

membuat Hiu Paus bergantung pada kualitas air tempatnya tinggal.

Hiu Paus hidup di perairan tropis hingga subtropics yang hangat,

kecuali di Laut Mediterania. Hiu Paus dianggap sepenuhnya pelagis

(memiliki habitat di perairan terbuka) dan biasa ditemukan di wilayah

lepas pantai dan dekat dengan daratan, masuk ke laguna atau atol

karang, serta dekat dengan mulut muara sungai untuk mencari makan

b. Suryono, dkk (2017), Ekologi Perairan Semarang-Demak:

Inventarisasi Jenis Kerang yang Ditemukan di Dasar Perairan.

10
Perairan laut antara Semarang sampai Demak merupakan daerah

fishing ground bagi nelayan tradisional Semarang dan Demak untuk

menangkap kerang, udang, rajungan maupun ikan. Perairan daerah

tersebut sebenarnya sudah terlalu padat oleh aktifitas nelayan, namun

sampai saat daerah tersebut masih menjadi tujuan utama penangkapan

kerang. Tingginya aktifitas tersebut dan perubahan lingkungan karena

banyak beralih fungsi lahan daratan pesisir tentunya juga akan

menyebabkan jumlah dan jenis biota yang hidup didaerah tersebut

akan berubah. Hal ini juga akan bepengaruh terhadap jenis dan jumlah

hasil tangkapan yang diperoleh nelayan. Berubahnya fungsi lahan di

pesisir daratan tentunya juga akan berpengaruh terhadap kualitas air

yang akan masuk ke pesisir laut. Karena kualitas air suatu perairan

sangat ditentukan oleh masukan material atau bahan ke perairan

tersebut dan akan menentukan manfaat maupun produksi ekonomi

perairan tersebut. Terlebih sekarang timbul permasalah baru terhadap

ekosistem perairan dengan adanya fenomena berubahan iklim

tentunya akan memberi dampak terhadap organisme yang ada di

dalamnya.

Dengan adanya perubahan penggunaan lahan daratan dari tambak dan

mangrove menjadi kawasan indutri, peningkatan jumlah nelayan,

tingginya masukan buangan melalui sungai yang mengalir di perairan

antara Semarang – Demak terntunya juga akan berpengaruh terhadap

jenis jenis kerang yang ada di dasar perairan tersebut.

11
c. Gormley, dkk (2012). First evidence that marine protected areas

can work for marine mammals. Kawasan perlindungan laut (KKL)

telah diadvokasi (sebagai media/cara) untuk perlindungan mamalia

laut yang terancam, tetapi tidak ada bukti empiris bahwa cara ini

efektif untuk melindungi mamalia laut yang terancam. Lumba-lumba

Hector Cephalorhynchus hectori (van Beneden) adalah spesies kecil

yang terancam punah yang endemik di perairan pesisir Selandia Baru.

Lebih dari 21 tahun, kami melakukan survei identifikasi-foto lumba-

lumba Hector di sepanjang transek standar dari perahu bertenaga

kecil. Dari tahun 1986 hingga 2006, tercatat sebanyak 462 individu

yang telah terdata. Kami memperkirakan kelangsungan hidup tahunan

rata-rata selama awal perlindungan dan periode setelah perlindungan

dengan menerapkan model Bayesian random capture-recapture dalam

pengumpulan data. Pertumbuhan populasi diperkirakan dari simulasi

populasi menggunakan model matriks tahap-terstruktur. Kami

memperkirakan probabilitas 90%, ini menandakan bahwa

kelangsungan hidup lumba-lumba tersebut telah meningkat antara

awal perlindungan dan dan setelah perlindungan, dengan perkiraan

probabilitas kelangsungan hidup rata-rata meningkat sebesar 5,4%

(dari 0,863 menjadi 0,917).

3. Konsep ekologi tumbuhan darat

12
Ekologi tumbuhan adalah hubungan timbal balik antara tumbuhan

dengan lingkungannya. Lingkungan hidup tumbuhan dibagi atas dua

kelompok yaitu lingkungan biotic dan abiotik. Dari lingkungan inilah

tumbuhan memperoleh sumberdaya cahaya, hara, mineral dan sebagainya.

Kekurangan, kelebihan atau ketidakcocokan akan menyebabkan terjadinya

cekaman (stress) pada tumbuhan (Hanum, 2009).

Tumbuhan termasuk ke dalam makhluk hidup autotrof yang

merupakan makhluk hidup dapat/ mampu membuat makanan sendiri dengan

cara mengubah bahan anorganik menjadi bahan organik. Makhluk hidup ini

merupakan semua makhluk hidup yang mengandung klorofil sehingga

dengan bantuan sinar matahari dapat melakukan fotosintesis. Contohnya,

produsen atau tumbuhan hijau. Sehingga mataharai menjadi salah satu

factor abiotik yang sangat dibutuhkan oleh tumbuhan. Ekologi tumbuhan

memiliki hubungan yang sangat erat dengan faktor-faktor berikut:

a. Faktor cahaya

Cahaya merupakan faktor lingkungan yang sangat penting

sebagai sumber energi utama bagi ekosistem. Ada tiga aspek penting

yang perlu dikaji dari faktor cahaya, yang sangat erat kaitannya dengan

sistem ekologi, yaitu: 1) Kualitas cahaya atau komposisi panjang

gelombang, 2) Intensitas cahaya atau kandungan energi dari cahaya, 3)

Lama penyinaran, seperti panjang hari atau jumlah jam cahaya yang

bersinar setiap hari.

b. Faktor suhu

13
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat

berpengaruh terhadap kehidupan makhluk hidup. Suhu berperan

langsung hampir pada setiap fungsi dari tumbuhan dengan mengontrol

laju proses-proses kimia dalam tumbuhan tersebut, sedangkan tidak

langsung yaitu dengan mempengaruhi faktor-faktor lainnya terutama

suplai air. Suhu akan mempengaruhi laju evaporasi dan menyebabkan

tidak saja keefektifan hujan tetapi juga laju kehilangan air dari

organisme.

c. Faktor air

Air merupakan sumber kehidupan yang tidak dapat tergantikan

oleh apa pun juga. Tanpa air seluruh organisme tidak akan dapat hidup.

Bagi tumbuhan, air mempunyai peranan yang penting karena dapat

melarutkan dan membawa makanan yang diperlukan bagi tumbuhan

dari dalam tanah.

4. Aplikasi Ekologi Tumbuhan Darat

a. Kinho, Halawane dan Kafiar (2014). Evaluasi Pertumbuhan Eboni

(Diospyros rumphii Bakh.) Umur 2 Tahun di Arboretum Balai

Penelitian Kehutanan Manado. Salah satu jenis kayu komersil dari

Sulawesi Utara yaitu kayu eboni (Diospyros rumphii Bakh.). Jenis

kayu ini termasuk kelompok kayu indah satu dalam

pengelompokkan kayu jenis kayu perdagangan di Indonesia.

Pemanenan yang dilakukan terhadap jenis kayu ini telah berlangsung

14
sejak lama dan tidak dapat diimbangi dengan kemampuan regenerasi

alaminya, sehingga dikhawatirkan jenis ini sedang mengalami

ancaman kelangkaan bahkan kepunahan. Ancaman ini diperparah

dengan terganggunya habitat aslinya akibat perambahan hutan,

fragmentasi kawasan hutan, illegal logging dan lain-lain. Salah satu

langkah yang mendesak untuk dilakukan dalam rangka

menyelamatkan jenis tersebut dengan melakukan konservasi ex situ

yaitu penanaman yang dilakukan diluar habitat aslinya misalnya di

hutan kota, kebun koleksi (arboretum), kebun botani, hutan wisata,

hutan lindung, halaman rumah, halaman sekolah maupun halaman

perkantoran dan lain-lain.

Hasil penelitian pada Grafik pertumbuhan tinggi dan diameter eboni

(D. rumphii) umur 2 tahun di Arboretum Balai Penelitian Kehutanan

Manado terus menunjukkan variasi dari waktu ke waktu, dan hal ini

terlihat dari 5 kali hasil pengukuran setelah penanaman sampai umur

2 tahun di lapangan. Variasi pertumbuhan tinggi yang terjadi ini

diduga disebabkan oleh tiga faktor yaitu faktor genetik, faktor

lingkungan dan interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan.

Perbedaan kondisi geografis antara habitat asli dan diluar habitat asli

dari suatu jenis dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan suatu jenis

tanaman.

b. Mudiana, (2017). Karakteristik Habitat Syzygium pycnanthum

(Merr.) L.M Perry di Gunung Baung, Jawa Timur. Gunung Baung

15
adalah salah satu kawasan konservasi yang memiliki tipe

ekosistem hutan munson dataran rendah di Jawa Timur.

Keanekaragaman spesies tumbuhan beserta kondisi lingkungan

yang terdapat di dalamnya membentuk suatu ekosistem yang

khas. Salah satu spesies tumbuhan yang cukup banyak dijumpai

di Gunung Baung adalah Syzygium pycnanthum (Merr.) L.M.

Perry. Secara umum jenis ini memiliki struktur populasi yang

normal untuk mampu berkembang, dimana kurva strata

pertumbuhannya berbentuk “J terbalik”. Tempat tumbuh S.

pycnanthum di Gunung Baung adalah di daerah lereng mulai

landai hingga curam. Pada fase permudaan (strata semai dan

pancang) jenis ini banyak tumbuh di daerah lereng pada tempat

yang ternaungi dan berdekatan dengan rumpun bambu duri

(Bambusa blumeana). Pada strata tiang dan pohon jenis ini banyak

tumbuh di tempat yang lebih terbuka dengan vegetasi campuran

semak, pohon dan sedikit bambu. Faktor jumlah individu pohon

dan ketinggian tempat adalah faktor lingkungan yang

mempengaruhi keberadaannya di Gunung Baung.

Untuk fase permudaan berupa semai dan pancang, terlihat bahwa

keberadaan rumpun bambu dan kelerengan adalah dua faktor ling-

kungan yang berpengaruh terhadap ke- beradaannya. Kondisi

Gunung Baung yang berbukit dan bergelombang me- mungkinkan

pertumbuhan anakan S. pycnanthum lebih banyak dijumpai di daerah

16
lereng. Hal ini berkaitan dengan penyebaran bijinya yang dibawa

oleh agen pemencar biji seperti kera ekor panjang dan kelelawar

buah (Mudiana, 2012). Kedua satwa ini cukup banyak dijumpai

hidup di Gunung Baung. Buah dan biji S. pycnanthum jatuh dan

tersebar di daerah- daerah lereng. Kemungkinan biji tersebut tertahan

oleh rumpun-rumpun bambu yang rapat sehingga selanjutnya ber-

kecambah dan tumbuh di sekitarnya.

Perbedaan fisik antara sistem laut dan terrestrial (darat) jelas berdampak

pada cara organisme berinteraksi satu sama lain dan lingkungan mereka. Namun,

daripada mengasumsikan bahwa perbedaan-perbedaan ini telah menghasilkan

proses ekologi yang berbeda secara fundamental di dua domain, secara hati-hati

ditafsirkan perbandingan lintas sistem di mana perbedaan fisik dapat dihilangkan

semaksimal mungkin. (misalnya, dengan membandingkan komunitas sedimen air

dan darat) atau secara eksplisit dicatat dalam analisis (misalnya, terkait atribut

biologis seperti ukuran tubuh atau ukuran jangkauan ke metrik lingkungan

biofisik) menawarkan efek - rute tive untuk memahami bagaimana lingkungan

menentukan proses ekologis. Fakta bahwa hambatan struktural ada pada

kolaborasi lintas sistem seperti itu, dalam hal pemisahan kelembagaan dan

intelektual kelautan dari ekologi 'mainstream', mungkin menjelaskan mengapa

upaya semacam itu secara historis agak tipis di lapangan. Jika salah satu

merangkul variabilitas di dalam dan di antara ekosistem, apakah mungkin untuk

mengolok-olok secara generalitas/ umum dengan cara 'aturan' perkiraan (ekologis

17
putative) yang bergantung pada pengaturan biotik dan abiotik tertentu? Kita harus

berharap demikian, karena memprediksi bagaimana masyarakat akan menanggapi

perubahan lingkungan akan bergantung padanya (Webb, 2012).

Perilaku yang terkait dengan pemilihan habitat dan ceruk ekologi tertentu

mungkin mempengaruhi kerentanan spesies terhadap penurunan populasi dan

potensi pemulihan, bagaimana pengetahuan variasi perilaku di dalam dan antar

populasi dapat dipengaruhi oleh tekanan eksternal dan bagaimana hal itu dapat

mempengaruhi tingkat pemulihan populasi , dan bagaimana perubahan pada

lingkungan eksternal dapat mempengaruhi fisiologi dan perilaku organisme

laut. Kami menyarankan bagaimana perubahan pada praktik industri, seperti

metode penangkapan ikan komersial saat ini , mungkin menyebabkan peningkatan

keanekaragaman hayati dan memiliki efek positif pada pengerahan pola dan

bagaimana pentingnya upaya konservasi yang berfokus pada spesies ekologis

tertentu (misalnya karang pembangun habitat atau umpan lebih bersih) dapat

terbukti sangat penting untuk inisiatif konservasi dengan mempromosikan

fasilitator alami keanekaragaman hayati (Brooker dkk, 2016).

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan sebelumnya

yaitu :

1. Ekologi merupakan studi keterkaitan antara organisme dengan

lingkungannya, baik lingkungan abiotik maupun biotic.

2. Dalam suatu ekosistem selalu terjadi adanya saling ketergantungan

antara organisme dengan organisme serta organisme dengan

lingkungannya, hal itu menyebabkan adanya aliran energy di dalam

ekologi.

3. Ekologi Hewan merupakan ilmu yang mempelajari mengenai hubungan

dan interaksi antara hewan dengan lingkungannya.

4. Ekologi Tumbuhan merupakan ilmu yang mempelajari mengenai

hubungan dan interaksi antara tumbuhan dengan lingkungannya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Brooker, R.M, Feeney, W.E, White, J.R, Manassa, R.P, Johansen, L.P, Dixson,
D.L. 2016. Using Insights From Animal Behaviour and Behavioural
Ecology to Inform Marine Conservation Initiatives. Anim Behav. Vol. 120.
(211-221).

Gormley, A.M., Slooten, E., Dawson, S., Barker, R.J., Rayment, W., Fresne, S.,
dan Bra¨ger, S. 2012. First Evidence that Marine Protected Areas Can
Work for Marine Mammals. Journal of Apllied Ecology. Vol. 49. (474-
480).

Handok, K., Himawan, M., Tania, C., Syafrudin, U., Jaksukmana, M.,
Maduppa, H., dan Subhan, B. 2017. Hiu Paus di Pantai Botubarani,
Gorontalo. Maros: Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut
Makassar.

Hanum, C. 2009. Ekologi Tanaman. Medan : USU Press.

Khino, J., Halawane, J., dan Kafiar, Y. 2014. Evaluasi Pertumbuhan Eboni
(Diospyros rumphii Bakh.) Umur 2 Tahun di Arboretum Balai Penelitian
Kehutanan Manado. Medan: Prosiding Seminar Nasional MAPEKI XVII.

Mudian, D. 2017. Karakteristik Habitat Syzygium pycnanthum (Merr.) L.M.


Perry Di Gunung Baung, Jawa Timur. Jurnal Penelitian dan
Konservasi Alam. Vol. 14. (2). (67-89).

Olii, A., H., dan Sayuti, M. 2015. Ekosistem Mangrove Perairan Teluk Kwandang
Kabupaten Gorontalo Utara. Jurnal Perikanan dan Kelautan. Vol. 20. (2).
49-55.

Qu, Q., Tsai, S., Tang, M., Xu, C, dan Dong, W. Marine Ecological Environment
Management Based on Ecological Compensation Mechanisms.
Sustainability, Vol. 8. Online (www.mdpi.com/journal/sustainability),
Diakses, 02 November 2018.

Sumarto, S dan Koneri, R. 2016. Ekologi Hewan. Bandung: CV. Patra Media
Grafindo.

Suzyanna. 2013. Interaksi Antara Predator-Prey dengan Faktor Pemanen Prey.


Journal of Scientific & Computation, Vol. 1, (1), (58-66).

20
Suryono, C.A., Riniatsih, I., Azizah, R., dan Djunaedi, A. 2017. Ekologi Perairan
Semarang-Demak: Inventarisasi Jenis Kerang yang Ditemukan di Dasar
Perairan. Jurnal Kelautan Tropis. Vol. 20. (2). (84-89).

Utina, R., dan Baderan, D. 2009. Ekologi dan Lingkungan Hidup.

Webb, J.T. 2012. Marine and Terresterial Ecology: Unifying Concepts, Revealing
Differences. Trends in Ecology and Evolution. Vol. 27. 10. (535-541).

21

Anda mungkin juga menyukai