Disusun Oleh:
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TIDAR
2022
KATA PENGANTAR
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki. Untuk itu kami
mengharapkan segala bentuk saran dan kritik yang membangun dari berbagai
pihak demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................
3.1. Kesimpulan........................................................................................................
3.2. Saran..................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................
Dokumentasi.......................................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah “Sistem Agroforestri di Dusun Barisan,
Desa Mranggen, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang” adalah sebagai
berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan sistem agroforestri? Bagaimana
bentuknya?
2. Bagaimana klasifikasi agroforestry berdasarkan komponen penyusunnya?
3. Apakah yang dimaksud dengan agrisilvikultur?
4. Bagaimana pola agrisilvikultur yang ada di Dusun Barisan?
5. Bagaimana penerapan agroforestry di Dusun Barisan dan bagaimana pola
interaksi yang terjadi?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sesuai dengan rumusan
masalah yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan sistem agroforestry dan
bagaimana bentuknya,
2. Untuk mengetahui klasifikasi sistem agroforestry,
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan agrisilvikultur,
4. Untuk mengetahui pola agrisilvikultur yang ada di Dusun Barisan, dan
5. Untuk mengetahui penerapan agroforestry yang ada di Dusun Barisan
beserta interaksi antar tanaman yang terjadi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Sardjono dkk (2003), agroforestri adalah salah satu cabang ilmu
pertanian dan kehutanan yang baru dengan upaya untuk mengenali dan
mengembangkan keberadaan sisitem agroforestri. Secara sederhana, agroforestri
yaitu menenam pepohonan di lahan pertanian. Agroforestri dapat menjadi salah
satu upaya konservasi dalam bentuk penanaman kegiatan kehutanan, pertanian,
perikanan, dan peternakan ke arah usaha tani yang terpadu maka dapat tercapai
optimalisasi penggunaan lahan. Kemudian, menurut Definisi lain (Huxley 1999
dalam Hairiah 2003) menyatakan bahwa agroforestri merupakan sistem
pengelolaan sumberdaya alam yang dinamis secara ekologi dengan penanaman
pepohonan di lahan pertanian atau padang penggembalaan untuk memperoleh
berbagai produk secara berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan keuntungan
sosial, ekonomi dan lingkungan bagi semua pengguna lahan. Dengan demikian,
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa agroforestri merupakan suatu
sistem penggunaan lahan yang tepat untuk mendukung 18 pertanian
berkelanjutan, karena selain dapat berfungsi sebagai peningkatan pendapatan
perekonomian juga dapat berfungsi sebagai konservasi lingkungan. Menurut De
Foresta et al (2000) sistem agroforestri memiliki keuntungan antara lain;
kesuburan tanah terpelihara, konservasi tanah dan air, mengurangi resiko
kegagalan panen, peningkatan produksi serta sebagai pengendalian hama dan
penyakit.
3
Suatu sistem pertanian dengan pepohonan ditanam secara tumpang
sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa
ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara
acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam
larikan sehingga membentuk lorong/pagar. Jenis-jenis pohon yang ditanam
juga sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa,
karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, belinjo, petai, jati dan
mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan
kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan
yaitu padi (gogo), jagung, kedelai, kacangkacangan, ubi kayu, sayur-
mayur dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya.
b. Sistem Agroforestri Kompleks
Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian
menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon)
baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang
lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai
hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga
tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan
rerumputan dalam jumlah banyak. Penciri utama dari sistem agroforestri
kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang
mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan
sekunder. Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistim
agroforestri kompleks ini dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau
pekarangan berbasis pohon (home garden) yang letaknya di sekitar tempat
tinggal dan ‘agroforest’, yang biasanya disebut ‘hutan’ yang letaknya jauh
dari tempat tinggal.
4
Agrisilvikultur merupakan sistem agroforestri dengan
mengkombinasikan komponen kehutanan (tanaman berkayu) dengan
komponen pertanian (tanaman non kayu). Kegiatan usaha tani yang
dilakukan melalui perpaduan jenis tanaman berkayu atau berdaur
panjang dengan tanaman semusim pada lahan garnbut memerlukan
pertimbangan tersendiri. Contoh sistem agrisilvikultur, pohon mahoni
ditanam berbaris di antara ubikayu di Lampung Utara.
2) Silvopastura (Silvopastural systems)
Silvopastura adalah komponen kehutanan dnegan komponen
peternakan. Contoh silvopastura: pohon atau perdu pada padang
penggembalaan. Pada hasil pengamatan di lapangan pola agroforestri.
3) Agrosilvopastura (Agrosilvopastural systems)
Agrosilvopastura adalah pengkombinasian komponen berkayu
(kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus
peternakan/binatang pada unit manajemen lahan yang sama. Terdapat
beberapa contoh Agrosilvopastura di Indonesia, baik yang berada di
Jawa maupun di luar Jawa. Contoh praktek agrosilvopastura yang luas
diketahui adalah berbagai bentuk kebun pekarangan (home-gardens),
kebun hutan (forest-gardens), ataupun kebun desa (village-forest-
gardens), seperti sistem Parak di Maninjau (Sumatera Barat) atau
Lembo dan Tembawang di Kalimantan, dan berbagai bentuk kebun
pekarangan serta sistem Talun di Jawa.
b. Berdasarkan istilah teknis yang digunakan
1) Sistem Agroforestri
Sistem agroforestri dapat didasarkan pada komposisi biologis serta
pengaturannya, tingkat pengelolaan teknis atau ciri-ciri sosial-
ekonominya. Penggunaan istilah sistem sebenarnya bersifat umum.
Ditinjau dari komposisi biologis, contoh sistem agroforestri adalah
agrisilvikultur, silvopastura, agrosilvopastura.
2) Sub-Sistem Agroforestri
5
Sub-sistem agroforestri memiliki ciri-ciri yang lebih rinci dan lingkup
yang lebih mendalam. Sebagai contoh sistem agrisilvikultur masih
terdiri dari beberapa sub-sistem agroforestri yang berbeda seperti
tanaman lorong (alley cropping), tumpangsari (taungya system) dan
lain-lain. Penggunaan istilah-istilah dalam sub-sistem agroforestri yang
dimaksud, tergantung bukan saja dari tipe maupun pengaturan
komponen, akan tetapi juga produknya, misalnya kayu bakar, bahan
pangan dll.
3) Praktek Agroforestri
Praktek agroforestri lebih menjurus pada operasional pengelolaan
lahan yang khas dari agroforestri yang murni didasarkan pada
kepentingan/kebutuhan ataupun juga pengalaman dari petani lokal atau
unit manajemen yang lain, yang di dalamnya terdapat komponen-
komponen agroforestri. Praktek agroforestri dapat berlangsung dalam
suasana sistem yang bukan agroforestri, misalnya penanaman pohon-
pohon turi di persawahan di Jawa adalah praktek agroforestri pada
sistem produksi pertanian.
4) Teknologi Agroforestri
Penggunaan istilah ini yaitu inovasi dan penyempurnaan terhadap
sistem atau pratik agroforestri yang sudah ada untuk memperoleh
keuntungan yang lebih besar. Sebagai contoh, pengenalan mikoriza
atau teknologi penanganan gulma dalam upaya mengkonservasikan
lahan alang-alang (Imperata grassland) ke arah sistem agroforestri
(agrisilvikultur; sub-sistem tumpangsari) yang produktif.
c. Klasifikasi Berdasarkan Masa Perkembangannya
1) Agroforestri tradisional/klasik (traditional/classical agroforestry)
Dalam lingkungan masyarakat lokal dijumpai berbagai bentuk praktek
pengkombinasian tanaman berkayu (pohon, perdu, palem-paleman,
bambu, bambuan, dll.) dengan tanaman pertanian dan atau peternakan.
Praktek tersebut dijumpai dalam satu unit manajemen lahan hingga
pada suatu bentang alam (landscape) dari agroekosistem pedesaan.
6
2) Agroforestri modern (modern atau introduced agroforestry)
Agroforestri modern umumnya hanya melihat pengkombinasian antara
tanaman keras atau pohon komersial dengan tanaman sela terpilih.
Berbeda dengan agroforestri tradisional/klasik, ratusan pohon
bermanfaat di luar komponen utama atau juga satwa liar yang menjadi
bagian terpadu dari sistem tradisional kemungkinan tidak terdapat lagi
dalam agroforestri modern.
d. Klasifikasi Berdasarkan Zona Agroekologi
1) Agroforestri Pada Zona Monsoon
Zona ini dicirikan oleh batas yang jelas antara musim kemarau dan
musim hujan (separo tahun).
2) Agroforestri Pada Zona Tropis Lembab
Ekosistem ini memiliki karakter biofisik penting antara lain tingginya
curah hujan dan kelembaban udara. Topografi berbukit-bukit dengan
dominasi jenis tanah podsolik merah kuning yang memiliki kesuburan
(dan berarti daya dukung lahan) yang rendah.
3) Agroforestri pada zona kering (zona semi arid, atau semi ringkai)
Ciri khas daerah ini adalah perbedaan musim hujan dan kemarau yang
sangat menyolok. Rata-rata hujan turun dalam 3–4 bulan dan musim
kemarau 7-8 bulan. Curah hujan tahunan berkisar kurang dari 1000
mm di daerah tertentu sampai dengan 1200 mm. Di dataran yang lebih
tinggi, curah hujan bisa mencapai lebih dari 1500 sampai 2000
mm/tahun dengan lama musim hujan enam bulan. Evapotranspirasi
jauh lebih besar daripada presipitasi (Roshetko, et al., 2000).
Keseimbangan air (water balance) yang khas di daerah ini menuntut
pemilihan pola dan jenis tanam yang memadai. Wilayah ini mencakup
kawasan NTT, NTB, sebagian Bali dan Jawa Timur sebagian Sulawesi
Selatan/Tenggara dan sebagian Papua bagian selatan.
4) Agroforestri pada zona pesisir dan kepulauan
Ciri utama pada zona kepulauan adalah lahan terbatas dengan
kemiringan yang tinggi, berbatu atau berpasir serta sangat rentan
7
terhadap erosi dan longsoran atau pergerakan tanah jika terjadi hujan
lebat, apalagi jika penutupan tanah sangat rendah baik oleh vegetasi
alami maupun vegetasi buatan. Di zona kepulauan di kawasan Nusa
Tenggara, umumnya kontras terdapat tanaman pantai dan tanaman di
kawasan pegunungan.
5) Agroforestri pada zona pegunungan
Zona pegunungan umumnya mempunyai iklim yang lebih dingin dan
basah. Agroforestri biasanya dikaitkan dengan pengembangan
hortikultura seperti sayuran dan buah-buahan. Kontras dengan dataran
rendah, jenis ternak di kawasan pegunungan terbatas. Kawasan
pegunungan umumnya ideal untuk tanaman buah-buahan dan sayuran.
e. Klasifikasi Berdasarkan Orientasi Ekonomi
1) Agroforestri Skala Subsisten (Subsistence Agroforestry)
Sesuai dengan skalanya yang subsisten (seringkali diistilahkan ‘asal-
hidup’), maka bentuk-bentuk agroforestri dalam klasifikasi ini
diusahakan oleh pemilik lahan sebagai upaya mencukupi kebutuhan
hidup sehari-hari.
2) Agroforestri Skala Semi-Komersial (Semi-Commercial Agroforestry)
Pada wilayah-wilayah yang mulai terbuka aksesibilitasnya, terutama
bila menyangkut kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki
motivasi ekonomi dalam penggunaan lahan yang cukup tinggi, terjadi
peningkatan kecenderungan untuk meningkatkan produktivitas serta
kualitas hasil yang dapat dipasarkan untuk memperoleh uang tunai.
3) Agroforestri Skala Komersial (Commercial Agroforestry)
Pada orientasi skala komersial, kegiatan ditekankan untuk
memaksimalkan produk utama, yang biasanya hanya dari satu jenis
tanaman saja dalam kombinasi yang dijumpai (lihat pembahasan
tentang agroforestri modern).
f. Klasifikasi Berdasarkan Sistem Produksi
1) Agroforestri Berbasis Hutan (Forest Based Agroforestry)
8
pada dasarnya adalah berbagai bentuk agroforestri yang diawali
dengan pembukaan sebagian areal hutan dan/atau belukar untuk
aktivitas pertanian, dan dikenal dengan sebutan agroforest.
2) Agroforestri Berbasis Pada Pertanian (Farm Based Agroforestry)
dianggap lebih teratur dibandingkan dengan agroforest (forest based
agroforestry) dengan produk utama tanaman pertanian dan atau
peternakan tergantung sistem produksi pertanian dominan di daerah
tersebut. Komponen kehutanan merupakan elemen pendukung bagi
peningkatan produktivitas dan/atau sustainabilitas sistem.
3) Agroforestri Berbasis Pada Keluarga (Household Based Agroforestry)
Agroforestri yang dikembangkan di areal pekarangan rumah ini juga
disebut agroforestri pekarangan (homestead agroforestry) di
Bangladesh. Di Indonesia, yang terkenal adalah model kebun talun di
Jawa Barat.
g. Klasifikasi Berdasarkan Lingkup Manajemen
1) Agroforestri Pada Tingkat Tapak (Skala Plot)
Pengkombinasian komponen tanaman berkayu (kehutanan), dengan
tanaman non-kayu (pertanian) dan/atau peternakan pada satu unit
manajemen lahan ini umum dibicarakan dalam agroforestri. Sistem ini
biasanya dilakukan pada lahan-lahan milik perorangan (petani) atau
milik badan hukum.
2) Agroforestri Pada Tingkat Bentang Lahan
Pada suatu bentang lahan pedesaan di beberapa wilayah di Indonesia,
dapat ditemukan tata guna lahan yang bervariasi antar tapak. Bahkan
pada beberapa kelompok masyarakat pedesaan, alokasi lahan
dimusyawarahkan sebaikbaiknya berdasarkan kebutuhan bersama serta
kesesuaian terhadap kondisi/karakterisitik tapak berdasarkan
pengalaman tradisional. Sebagai contoh, pada masyarakat Dayak
Kenyah di Batu Majang (Kalimantan Timur),
9
Agrisilvikultur adalah sistem wanatani dengan komponen utama berupa
tanaman tahunan dan tanaman pertanian. Beberapa sistem agrisilvikultur telah
dikembangkan oleh masyarakat Indonesia, seperti sistem talun, tumpangsari,
pekarangan, budidaya lorong dan sebagainya. Pada dasarnya bahwa pola
Agroforestri ini pada dasarnya adalah memanfaatkan sinar matahari secara
maksimal, sehingga pada sebidang tanah dapat ditanam berbagai jenis tanaman
sesuai dengan lingkungannya, misalnya dibawah tegakan kayu Albasia, Mahoni,
Jabon dan lainnya dapat tumbuh tanaman kopi, kakao serta dibawahnya pula
tumbuh tanaman empon (kunir, jahe, lengkuas, kencur), kapollaga atau talas dan
berbagai jenis tanaman yang tahan terhadap naungan,
Dengan kondisi demikian serta mengacu kepada bentuk/model
Agroforestry, pola tanam yang diterapkan secara garis besar sebagai berikut:
10
tanaman pokok, tujuan penanaman untuk untuk memperoleh hasil buah
(non kayu). Jenis yang terpilih adalah tanaman kopi.
2.5 Pola Penerapan Agrisilvikultur di Dusun Barisan
Pola agrisilvikultur yang diterapkan di Dusun Barisan yaitu terdapat jenis
tanaman pertanian berupa salak, yang sengaja ditanam yang dikombinasikan
dengan tanaman sengon dengan jumlah lebih sedikit dari tanaman salak. Pada
sistem ini, tanaman salak ditanam dengan sistem jalur (baris) dengan jarak tanam
teratur, yaitu kurang lebih satu meter antar tanaman. Sedangkan tanaman sengon
ditanam tidak teratur/menyebar diantara tanaman salak. Penerapan agrisilvikultur
yang ada di Dusun Barisan yaitu terdapat penyebaran tegakan pohon tumbuh
tersebar secara tidak merata pada lahan perkebunan sebagai pelindung tanaman
pertanian dan tanaman pertanian ditanam dalam bentuk jalur (baris) dengan jarak
tanam teratur (Mataputung, Nurmawan, & Sumakud, 2019).
Salah satu jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk menjaga kualitas
tanah pada sistem agroforestri adalah legume. Legume seperti sengon dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk hijau. Biomassa dari tanaman ini cepat
terdekomposisi sehinggaharasegera tersediabagi tanaman, dandapat
mempertahankan serta meningkatkan kesuburan tanah (Uddinetal. 2009;
Firmansyah 2011; Mutuaetal. 2014).
11
Pemanfaatan tegakan sengon yang ditanam sebagai tanaman sela pada
perkebunan salak sudah dilakukan oleh beberapa petani. Hal ini disebabkan
karena tanaman sengon dapat memberikan naungan bagi tanaman salak dan
meningkatkan produktivitas lahan. Selain itu, penambahan bahan organik ke
dalam tanah melalui pengembalian sisa panen, kompos, pangkasan tanaman
penutup dan lainnya dapat memperbaiki cadangan total BOT (Capitalsore C).
Akan tetapi, praktek pertanian ini jika dilakukan secara terus menerus akan
mengurangi cadangan total C dan N di dalam tanah. Peningkatan kandungan
karbon dan unsur lain selain merupakan hasil dekomposisi seresah dan akar
pohon, juga terkait dengan fungsi pohon sebagai jaring penyelamat dan
pemompa hara, sehingga akan mengurangi jumlah hara yang hilang
(Widiyanto2014). Hasil analisis yang dikatakan oleh Khalif et. al. (2014)
menunjukan bahwa penanaman sengon mampu meningkatkankualitas
kesuburantanahyang diindikasikan dari adanya peningkatan masukan bahan
organik. Lahan dengan sistem tanam agroforestri memiliki nilai kandungan C-
organik, N total dan N yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem
monokultur. Penambahan bahan organik berasal dari tajuk di atas tanah
maupun bagian akar bawah tanah akan memperbaiki kesuburan tanah pada
perkebunan salak. Hal tersebut tentu mempengaruhi kondisi iklim mikro
perkebunan, keanekaragaman fauna serta vegetasi bawah pada
sistemkebunyang berbeda. Produksi salak pada pola agroforestri (full trees)
yang dilakukan oleh Aminah (2019) menunjukkan bahwa produksi salak
pondoh belum maksimal. Hal ini terjadi karena penentuan jarak tanam bagi
tanaman penaung (sengon) digunakan sebagai salah satu faktor penentu
peningkatan produksi salak pondoh pada pola agroforestri sengon dan salak.
Di samping itu, kesuburan tanah juga menjadi faktor yang dapat
mempengaruhi produktivitas lahan pada pola agroforestri sehingga sifat tanah
pada pola agroforestri dan pola monokultur dimungkinkan berbeda.
12
yang telah dilakukan oleh Aminah (2019), intensitas cahaya matahari yang
lolos dari tajuk sengon berkisar antara 40-60%. Nilai intensitas tersebut masih
dapat mendukung pertumbuhan tanaman salak di bawah tegakan sengon
karena tanaman salak pondoh dapat tumbuh optimal pada
intensitascahayamatahari 40-80%.
13
Hasil produktivitas buah pada lahan agroforestri berdasarkan pada
penelitian ini memiliki hasil yang lebih rendah. Rendahnya nilai produktivitas
salak juga dapat dipengaruhi oleh tegakan segon yang ditanam pada lahan
penelitian sudah memasuki usia pemanenan (±5 tahun). Meskipun masukan C-
organik dari seresah semakin banyak dan nitrogen hasil fiksasi oleh bakteri
dalam akar meningkatkan nilainya di dalam tanah, tetapi unsur hara tersebut
juga diserap sengon seiring pertumbuhannya, kemudian terjadi
persainganvnutrisi antaravtanaman salak dan sengon.
Pengaruh lainnya dapat berasal dari faktor lingkungan seperti iklim dan
teknik budiday a atau pemeliharaan dari petani. Selain itu, cuaca dan
kondisi alam yang tidak mendukung juga sangat mempengaruhi masa panen
buah salak, seperti kekeringan lahan yang mengakibatkan pohon salak
mengering sehingga perkembangan buah terhambat dan juga hujan angin yang
menumbangkan sebagian tegakan sengon dengan ukuran yang cukup besar
menimpa pohon salak.
Interaksi pohon sengon dengan salak pada lahan yang berada di dusun
barisan desa mranggen yaitu sengon berperan sebagai naungan tanaman salak
dan seresah dari sengon juga berguna dalam pemupukan. Salak juga berperan
dalam pemupukan dengan seresah yang berjatuhan. Tetapi terdapat kerugian
akibat sengon terhadap salak yaitu pohon sengon menyerap unsur hara dalam
tanah yang menyebabkan salak kekurangan dalam unsur hara. Selain itu juga
pohon sengon yang telah tumbuh besar dapat menutupi pohon salak yang
14
berada dibawahnya sehingga menghalangi atau mengurangi pohon salak
untuk mendapatkan cahaya matahari. Intensitas cahaya dan unsur hara yang
didapat oleh salak menjadi berkurang. Sehingga dapat menyebabkan
menurunnya produktivitas salak.
2.6.2 Jurnal Pendukung Pola Interaksi Pohon Sengon dan Tanaman Salak
Menurut jurnal yang berjudul “Pengaruh Tegakan Sengon (Paraserianthes
falcataria L) terhadap Kandungan C, N Tanah dan Produktivitas Buah
Perkebunan Salak” didapatkan hasil sebagai berikut.
Hasil penelitian menunjukan bahwa tegakan sengon pada perkebunan
salak memberikan pengaruh pada kondisi mikro-klimatik lahan menjadi lebih
tertutup. Selain itu, lahan AFT memiliki kandungan C dan N tertinggi masing-
masing adalah 1,7% dan 0,1%. Hasil produktivitas pada lahan monokultur
memiliki hasil tertinggi 1150 kg/ha tidak berbeda nyata dengan lahan AFT
dan AFS yaitu masing-masing 1.085 dan1.035 kg/ha. Hal ini menunjukkan
bahwa pola tanam AFT dan AFS antara sengon dan salak meningkatkan
ketersediaan hara tanah khususnya C dan N, tetapi tidak memiliki pengaruh
signifikan pada produktivitas buah salak.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pola pertanaman agroforestri
mempengaruhi faktor lingkungan yang juga mempengaruhi kondisi iklim
mikro, meliputi kondisi klimatik dan edafis. Wijayanto dan Aziz (2013) yang
menyatakan bahwa lingkungan biofisik adalah faktor utama yang
mempengaruhi pertumbuhan dan hasil produksi dalam budidaya tanaman.
Kondisi lingkungan ini meliputi vegetasi bawah, tanah, suhu, kelembaban,
intensitas cahaya matahari dan curah hujan.
Intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam lahan terendah berada
pada lahan AFT. Hal ini disebabkan karena tutupan tajuk tegakan sengon lebih
mendominasi sehingga mempengaruhi iklim mikro di bawah tegakan. Pada
penelitian yang telah dilakukan oleh Aminah (2019), intensitas cahaya
matahari yang lolos dari tajuk sengon berkisar antara 40-60%. Nilai intensitas
tersebut masih dapat mendukung pertumbuhan tanaman salak di bawah
15
tegakan sengon karena tanaman salak pondoh dapat tumbuh optimal pada
intensitascahayamatahari 40-80%.
Lahan yang ditanami sengon memiliki persentasi lempung yang lebih
tinggi dibandingkan dengan lahan monokultur yang dimana pada lahan
monokultur terdapat presentase debu dan pasir yang tinggi. Pada tanah
bertekstur pasir atau debu aktivitas biomassa lebih besar dua kali lipat
daripada tanah berteksturlempung atau liat. Hal ini karenaC/N rasio pada
tanah bertekstur pasir lebih tinggi dibandingkan tanah bertekstur liat
(Susilawati et al. 2013). Hal ini menunjukan bahwa tegakan sengon kerapatan
tegak an ting g i deng an po l a a g ro fo r e s tri mempunyainilai kandungan
hara (C-organik, N-total dan Fos for) lebih baik dibandingkan pola
monokultur.
C-organik
Berdasarkan kriteria penilaian status hara C-organik, N-total dan P-
tersedia pada ketiga lahan berada dalam kategori rendah. Namun, lahan
agroforestri memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan
monokultur. Kerapatan tegakan sengon pada masing-masing lahan
berpengaruh terhadap sumbangan hara c-organik dalam tanah perkebunan
salak. Masukan karbon pada lahan agroforestry lebih tinggi jika dibandingkan
dengan lahan monokultur salak. Susanti (2017) menyebutkan bahwa
penambahan unsur hara dalam tanah, selain oleh pemupukkan, dapat
bersumber dari proses dekomposisi seresah.
N-total
Perbedaan sistem lahan menunjukkan tidak ada pengaruh nyata (p>0,05)
pada kandungan N-total dalam tanah (Tabel 3). Hasil analisis regresi
menunjukkan nilai regresi dengan koefisien positif. Hasil lainnya juga
menunjukkan bahwa kerapatan 2 sengon pada sistem memberikan kontribusi
(R ) sebesar 60% dan 40% merupakan faktor lainya yang mempengaruhi nilai
kandungan nitrogen di dalam tanah pada perkebunan salak. Sumber lain
masukan nitrogen dalam tanah dapat berasal dari mineralisasi bahan organik
16
maupun dari pengikatan nitrogen udara oleh bakteri rhizobium pada lahan
dengan tegakan sengon.
P-tersedia
Berdasarkan hasil anova, kandungan P-tersedia dalam tanah (Tabel 3)
pada tiap lahan dengan hasil yang signifikan/berpengaruh nyata a (p,0,05). Hal
tersebut menunjukkan bahwa kerapatan tegakan sengon pada masing-masing
lahan berpengaruh terhadap sumbangan hara P-tersedia dalam tanah. Hasil uji
regresi menunjukkan bahwa semakin rapatnya tegakan
sengonpadapolaagroforestri memberikankontribusi 2 (R ) sebesar 93%
terhadap ketersediaan unsur P dan memiliki nilai persamaan positif.
Produktivitasbuah Produktivitas buah salak dengan hasil tertinggi dari
lahan monokultur (1.150kg/ha), selanjutnya AFT (1.085 kg/ha) dan AFS
(1.035 kg/ha). Hasil produktivitas buah pada lahan agroforestri pada penelitian
ini memiliki hasil yang lebih rendah. Namun, jika ditinjau dari produktivitas
lahan (barang/jasa dan kesuburan) pada lahan agroforestri memiliki hasil yang
lebih tinggi sebab sengon juga memiliki nilai ekonomis tinggi dan kesuburan
hara yang lebih tinggi sehingga mampu mengurangi biaya perawatan.
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
17
Ordo : Arecales
Familia : Arecaceae
Genus : Salacca
Bunga salak memiliki ukuran kecil yang tumbuh rapat menjadi satu
rangkaian di punggung ketiak daun. Bunga salak yang masih muda dilindungi
oleh selubung berbentuk bulat lonjong. Bunga salak terdiri dari bunga betina,
bunga jantan. Pada saat penanaman, perlu untuk mengetahui jenis kelamin
tanaman salak untuk memberikan jarak optimal untuk menunjang pembuahan
dan menyediakan pollinator yang cukup. Hal ini dapat dijumpai melalui
perbanyakan vegetatif jika memungkinkan melalui kultur jaringan atau mungkin
dengan penanda genetik yang mengidikasikan jenis kelamin bibit (Ashari, 2012).
2.7.1 Penyerbukan Tanaman Salak
Perkembangbiakan pada tanaman secara seksual dibagi menjadi dua,
yaitu penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri. Penyerbukan silang
dilakukan dengan bantuan manusia setiap saat dengan syarat tersedianya
serbuk sari yang masih segar. Apabila penyerbukan dilakukan menggunakan
bunga jantan yang masih segar dan dilakukan secara teliti, maka presentase
keberhasilan dapat mencapai 90 %. Sekitar satu minggu setelah penyerbukan,
maka akan terbentuk calon buah yang berwarna hitam dengan tangkai bunga
hijau dan tidak kering. Adapun penyerbukan sendiri yaitu penyatuan sel telur
dan sel sperma yang berasal dari satu tanaman. Penyerbukan sendiri terjadi
karena sifat genetik (kemampuan sel kelamin tanaman tersebut untuk dapat
bergabung sendiri) dan susunan morfologi bunga (susunan bunga yang dapat
menghalangi masuknya tepung sari tanaman lain ke sel telur)
(Poespodarsono dalam Agung, 2020).
Proses penyerbukan dikatakan berhasil atau tidak dapat dilihat melalui
jumlah buah per tandan (fruit set) dan kualitas benih yang dihasilkan. Pada
saat bunga betina mekar dapat dicapai jumlah buah yang tinggi. Selain itu
18
serbuk sari yang viable dalam jumlah cukup berpeluang untuk menghasilkan
jumlah buah yang tinggi, karena semua bunga dapat diserbuki (Buana dalam
Agung, 2020). Kemudian bunga yang telah diserbuki harus diberi tudung
untuk menghindari curah hujan dan penyinaran matahari langsung (Agung,
2020).
2.7.2 Penurunan Umur Salak
Buah salak yang baik diperoleh jika pemanenan dilakukan pada tingkat
kemasakan yang baik. Buah salak dapat dipanen apabila sudah masak di
pohon, biasanya berumur 6 bulan setelah bunga mekar (anthesis). Hal ini
ditandai dengan dengan warna kulit yang merah kehitaman atau kuning tua
(Prajoko dkk, 2019).
Menurut Prajoko dkk, (2019), periode panen buah salak, terdapat 4 musim,
yaitu:
1) Panen raya, yaitu sekitar bulan Naovember, Desember, dan Januari
2) Panen sedang, yaitu sekitar bulan Mei, Juni, dan Juli
3) Panen kecil, yaitu sekitar bulan Februari, Maret, dan April
4) Masa kosong (istirahat), yaitu sekitar bulan Agustus, September, dan
Oktober
Tanaman salak akan mengalami penurunan produktivitas pada usia
tanaman 25 tahun. Penurunan produktivitas perlu ditangani agar petani dapat
meningkatkan produksi buah salak. Salah satunya yaitu dengan regenerasi
atau dengan replanting tanaman, yaitu tanaman yang sudah memasuki usia
nonproduktif diganti dengan tanaman baru dan diganti dengan bibit buah
yang lebih unggul. Cara selanjutnya yaitu dengan meningkatkan jumlah
populasi tanaman dengan menambah jumlah pohon per rumpun, disarankan
menambah 4 pohon per rumpun (Prajoko dkk, 2019). Upaya lain untuk
meningkatkan produksi buah salah yaitu dengan mengatur jarak tanam pohon
salak, yaitu yang ideal adalah 2,5 x 2 meter. Populasi yang ditentukan oleh
jarak tanam yang terlalu lebar akan kurang efisien dalam pemanfaatan lahan.
Apabila terlalu sempit akan terjadi persaingan yang tinggi yang
mengakibatkan produktivitas rendah. Selain itu, lahan yang digunakan untuk
19
budidaya tanaman salak jangan sampai terlalu kering (Prajoko dkk, 2019).
20
2.7.4 Salak Toleran Terhadap Cahaya Matahari
Tanaman intoleran terhadap cahaya merupakan kemampuan tanaman yang
dapat tumbuh baik dan berproduksi dibawah naungan pohon lain. Ciri-ciri dari
tanaman toleran yaitu dapat melakukan permudaan sendiri di bawah nanungan
pohon lain, membentuk tegakan bawah, mempunyai tajuk tebal, dan umumnya
batang tanaman berbentuk kerucut. Tanaman salak termasuk kedalam tanaman
toleran terhadap cahaya karena tidak tahan terhadap sinar matahari penuh
(100%), tanaman salak hanya membutuhkan cahaya yang cukup yaitu 50%-
70%.
2.7.5 Kriteria Salak Ekspor
Menurut Badan Karantina Pertanian (2014), ekspor buah salak ke luar
negeri harus memenuhi standar protocol ekspor buah salak. Salah satunya
yaitu bebas dari organisme Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Syarat
pengendalian OPT dari setiap negara berbeda-beda, misalnya China. Untuk
ekspsor salak ke China, yang menjadi OPT karantina China yaitu lalat buah
Bactrocera carambolae, Bactrocera papaya, Dysmicoccus brevipes, dan
Marasmius palmivorus. Salak yang diekspor harus berasal dari kebun yang
telah terregistrasi yang menerapkan Pengendalian Hama Terpadu sesuai
dengan ketentuan pemerintah agar terhindar dari OPT. Kemudian salak yang
diekspor ke setiap negara harus dikemas dan disimpan di tempat yang
terpisah, untuk menghindari adanya re-investasi OPT.
Salak yang akan diekspor ke luar negeri harus berasal dari kebun registrasi
yang menerapkan teknik budidaya yang baik dan benar (Good Agriculture
Practices, GAP) dan Standar Operasional Prosedur (SOP). Produksi salak
ekspor harus diawasi dalam hal aplikasi bahan kimia dan pemerintah harus
melakukan pemeriksaan terhadap pestisida untuk syarat keamanan pangan dari
pihak negara tujuan (Badan Karantina Pertanian, 2014).
Selama proses pengemasan, salak harus dikemas dalam rumah kemas yang
telah diregistrasi oleh pemerintah Indonesia. Sebelum dilakukan pengemasan,
salak harus harus melalui proses seleksi, sortasi, grading, dan pemrosesan
untuk menjamin salak terbebas dari serangga, tungau, gulma, buah busuk, dan
21
tanah. Kemasan yang digunakan harus baru dan bersih. Selama proses
pengemasan, penyimpanan, hingga pengangkutan buah salak harus diawasi
oleh Kementerian Pertanian (Badan Karantina Pertanian, 2014).
22
3. Sirup Salak
Sirup salak yaitu cairan yang diperoleh dari pemerasan buah dan
diteruskan dengan proses pemekatan, baik dengan cara pemanasan
biasa maupun menggunakan cara lain semisal penguapan dan lainya.
Cairan sirup ini tidak dapat langsung dikonsumsi, tetapi harus
dicampur dulu dengan air atau diencerkan dengan air (1 bagian sirup
dengan 5 bagian air). Sirup buah salak bisa bertahan selama kurang
lebih 3 bulan.
4. Sari salak
Sari buah yaitu cairan yang diperoleh dari pemerasan buah salak
segar yang telah masak. Sari buah ini berupa cairan encer yang dapat
langsung dikonsumsi, yaitu cairan buah yang diperoleh dari pemersan
buah, setelah itu dilanjutkan dengan tambahan air serta gula pasir.
23
Pada saat pengamatan di lahan yang menerapakan sistem agrisilvikultur
tepatnya di Dusun Barisan, Desa Mranggen terdapat dua tanaman yaitu tanaman
tahunan yang berupa pohon sengon dan tanaman pertanian yang berupa pohon
salak. Setelah mengamati pola tanam dan keadaan tanaman di lahan didapatkan
hasil bahwa jumlah pohon sengon yang berada di lahan di Dusun Barisan Desa
Mranggen terdapat sebanyak 15 pohon dengan umur rata-rata yaitu 7 tahun. Pada
pohon sengon di lahan tersebut terdapat diameter pohon sengon antara 15-30 cm.
Sedanngkan pada tanaman salak di lahan tersebut jumlahnya yaitu 500 pohon
salak. Menurut petani yang memiliki lahan tersebut pohon salak tersebut berumur
12 tahun. Dengan demikian, hasil produksi yang petani dapatkan untuk saat ini
yaitu dari tanaman salak, karena pohon sengon tersebut masih berumur 7 tahun
dan petani belum ingin menjualnya sehingga penghasilan petani sementara
diperoleh dari hasil panen buah salak dengan tanpa terdapat produk hilirisasi yang
diterapkan petani salak di lahan tersebut.
24
BAB III
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Sistem agroforestri merupakan salah satu cabang ilmu pertanian dan
kehutanan yang baru dengan upaya untuk mengenali dan mengembangkan
keberadaan sisitem agroforestri. Secara sederhana, agroforestri yaitu menenam
pepohonan di lahan pertanian. Salah satu bentuk agroforestri berdasarkan
komponen penyusunnya yaitu agrisilvikultur. Agrisilvikultur adalah sistem
wanatani dengan komponen utama berupa tanaman tahunan dan tanaman
pertanian. Pola penerapan agrisilvikultur yang ada di Dusun Barisan yaitu
terdapat penyebaran tegakan pohon tumbuh tersebar secara tidak merata pada
lahan perkebunan sebagai pelindung tanaman pertanian dan tanaman pertanian
ditanam dalam bentuk jalur (baris) dengan jarak tanam teratur.
Interaksi pohon sengon dengan salak pada lahan yang berada di dusun
barisan desa mranggen yaitu sengon berperan sebagai naungan tanaman salak
dan seresah dari sengon juga berguna dalam pemupukan. Salak juga berperan
dalam pemupukan dengan seresah yang berjatuhan. Tetapi terdapat kerugian
akibat sengon terhadap salak yaitu pohon sengon menyerap unsur hara dalam
tanah yang menyebabkan salak kekurangan dalam unsur hara. Selain itu juga
pohon sengon yang telah tumbuh besar dapat menutupi pohon salak yang
berada dibawahnya sehingga menghalangi atau mengurangi pohon salak
untuk mendapatkan cahaya matahari. Intensitas cahaya dan unsur hara yang
didapat oleh salak menjadi berkurang. Sehingga dapat menyebabkan
menurunnya produktivitas salak.
25
DAFTAR PUSTAKA
Sardjono, M. A., Djogo, T., Arifin, H. S., & Wijayanto, N. 2003. Klasifikasi dan
pola kombinasi komponen agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestri, 2.
26
LAMPIRAN
Foto Keterangan
Wawancara dengan
pemilik lahan
27